• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masuknya Agama Kristen Di Desa Hilisimaetano Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan (Tahun 1911-1965)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Masuknya Agama Kristen Di Desa Hilisimaetano Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan (Tahun 1911-1965)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONDISI MASYARAKAT DESA HILISIMAETANO SEBELUM

MASUKNYA AGAMA KRISTEN

2.1 Letak Desa Hilisimaetano

Kabupaten Nias Selatan berada di sebelah barat Pulau Sumatera jaraknya 92

mil laut dari kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Nias Selatan

berada di sebelah Selatan Kabupaten Nias yang berjarak 120 km dari Gunungsitoli ke

Telukdalam (ibukota Kabupaten Nias Selatan). Kabupaten Nias Selatan mempunyai

luas wilayah 1.825,2 Km2. Kabupaten Nias Selatan terletak pada garis 0o12‟-1o32‟

Lintang Utara (LU) dan 97o-98o Bujur Timur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa,

suhu udara rata-rata di Nias Selatan sebesar 26,5oC dengan berkisar antara 22,4oC

sampai dengan 31,5oC. Kelembaban udara di Nias Selatan rata-rata 91%.

Desa Hilisimaetano merupakan desa yang terletak di Kabupaten Nias Selatan

dengan keadaan geografis 0 s/d 800 meter di atas permukaan laut, berbatasan dengan

- Sebelah Utara = Kecamatan Aramo, Kecamatan Amandraya

- Sebelah Selatan = Kecamatan Fanayama

- Sebelah Barat = Laut Indonesia

(2)

Kondisi alam/topografinya berbukit-bukit sempit dan terjal, dataran rendah,

tanah bergelombang. Hal ini yang menyebabkan kondisi topografi seperti ini

menyulitkan pembuatan jalan-jalan lurus dan lebar. Wilayah ini juga terletak di

daerah khatulistiwa maka curah hujannya pun cukup tinggi. Akibat banyaknya curah

hujan maka kondisi alamnya sangat lembab dan basah. Musim kemarau dan musim

hujan silih berganti dalam setahun. Keadaan iklim dipengaruhi oleh Samudera

Hindia. Suhu udara berkisar antara 210-360 dengan kelembaban sekitar 80-90% dan

kecepatan angin antara 6-15 knot/jam, curah hujan pun tinggi dan relatif turun

sepanjang tahun.16

2.2 Penduduk

Mata pencaharian penduduk desa Hilisimaetano sebagian besar

berladang/berkebun, dan beternak. Masyarakat mengelola karet, pala, nilam, kakao,

pinang serta berladang dengan komoditas padi/beras dengan didukung oleh iklim

yang baik dan tanah yang subur. Masyarakat Nias telah mengenal dengan baik

berbagai tanaman seperti kelapa dan tanaman sejenis seperti pinang, aren, dan

lain-lain. Masyarakat Nias juga telah mengenal sagu, kapas, pala, dan kopi. Mereka telah

menanam palawija seperti : beras, singkong, pisang, jagung, tebu, dan tembakau.

Masyarakat juga memiliki mata pencaharian lainnya yaitu beternak babi yang

paling banyak dipelihara disana, mengingat bahwa babi merupakan hewan ternak

utama di Nias khususnya di daerah Nias Selatan. Pendapatan penduduknya rata-rata

16

(3)

kelas ekonomi menengah ke bawah disebabkan minimnya pendidikan yang mereka

tempuh sehingga sebagian besar bekerja sebagai petani/peternak.

2.3 Kehidupan Masyarakat Desa Hilisimaetano Sebelum Masuknya Injil

2.3.1 Sistem Kepercayaan

Masyarakat Nias termasuk desa Hilisimaetano sebelum masuknya injil telah

memiliki agama tersendiri, yaitu menyembah adu yang sering disebut agama asli

suku Nias.

Agama suku atau agama asli itu ialah kerohanian khas dari suatu bangsa atau

suku bangsa, sejauh itu berasal dan dikembangkan tengah-tengah bangsa itu sendiri

dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian bangsa lain atau menirunya.17

Kepercayaan masyarakat sebelum masuknya Agama Kristen atau masuknya

injil yaitu menyembah adu, hampir di setiap rumah penduduk memiliki adu. Adanya

tambahan jumlah patung nenek moyang disebabkan karena setiap orang kuat di desa,

orang yang amat berbakat, pemburu yang hebat, dan para ksatria juga dipahat

patung-patung mereka dalam bentuk kayu. Patung yang paling penting dan paling dihormati

di jejeran patung-patung itu adalah patung nenek moyang di pihak laki-laki (adu

zatua) dan patung nenek moyang di pihak perempuan yang disebut (adu nuwu). Pada

umumnya, setiap keluarga memahat patung nenek moyang mereka masing-masing

(adu nuwu dan adu zatua). Setiap desa juga memahat patung kesatria mereka (adu

17

(4)

zato)18. Masyarakat harus menyembah kedua jenis patung ini demi hubungannya

dengan keluarga dan masyarakat desanya. Pasangan Adu Zato dan Adu Nuwu atau

Adu Zatua tak boleh disembah secara terpisah.19 Namun penting untuk diketahui

bahwa Adubukanlah Allah melainkan hanya “media” untuk di-Allah-kan.

Banyak suku tradisional termasuk Desa Hilisimaetano mengakui adanya Dewa

Surgawi Yang Tertinggi. Tapi hakekat dewa itu diketahui hanya sedikit. Dewa itu

dikenal sebagai pencipta. Setelah menciptakan dunia, dewa itu meninggalkan

ciptaannya, bersembunyi di balik awan. Dewa itu menyerahkan urusan ciptaannya

kepada dewa-dewi atau makhluk-makhluk lain. Karena jauh, dewa itu dilupakan, dan

kemudian dianggap sebagai dewa yang menganggur (Deus Otiosus). Namun, meski

dilupakan dalam kultus dan kehidupan religius, Dewa ini akan akan muncul pada

peristiwa (penampakan diri) tatkala terjadi malapetaka diatas bumi, misalnya :

kemarau panjang, ndrundru tanӧ (gempa bumi), goloro (tsunami), atau wabah

penyakit.20

Diantara semua jenis patung yang digunakan oleh masyarakat, yang paling

dihormati adalah Adu zatua. Jenis adu tersebut dianggap masih tersimpan arwah

orangtua mereka yang dapat memberi mereka berkat dan keberuntungan dalam

hidup.21 Pernyataan ini didukung oleh buku W. Gulo yang menyatakan bahwa : Adu

18

Adu zato adalah patung para pendiri desa, patriot, berbakat, pemburu yang hebat, dan sebagainya.

19

Bambowo La‟iya., Opcit, hal 28

20

Victor Zebua, Jendela Nias Kuno, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, 2006, Hal 129-130

21

(5)

Zatua adalah salah satu patung sebagai bayangan orangtua yang dihormati dalam

setiap keluarga. Meneruskan tradisi yang telah dimulai oleh leluhur, adu zatua itu

dibuat jika orangtua sudah meninggal. Melalui adu zatua sebagai bayangan orangtua

yang sudah meninggal dianggap bahwa yang bersangkutan tetap berada dengan

anak-anaknya sepanjang kehidupan mereka.22 Walaupun mereka telah meninggal, orangtua

tetap diakui eksistensinya. Oleh karena itu, anak-anak harus mengikuti dan

melaksanakan pesan orangtua ketika masih hidup di dunia. Apabila hal ini dilalaikan

oleh anak-anaknya, akan mendatangkan musibah. Segala macam musibah ini dilihat

sebagai fӧnu zatua(murka leluhur) dan musibah ini dapat berwujud penyakit yang

beraneka ragam. Hal ini berhubungan dengan keyakinan mereka terhadap penyakit

adalah pelanggaran terhadap fondrakӧ, diantaranya mereka tidak atau kurang

menghormati orangtua dan leluhur mereka. Satu-satunya cara untuk meredakan

penyakit adalah dengan mengadakan upacara adat di hadapan adu zatua yang

dipimpin oleh ere.23Ere adalah imam agama kuno di Nias dan selalu hadir dalam

ritus-ritus adat yang selalu berhubungan dengan kepercayaan kuno tersebut.

Pembuatan adu oleh leluhur Ono Niha kepada satu generasi agar dilanjutkan

turun temurun. Tujuannya untuk menciptakan keselarasan antara manusia dan para

dewa. Ono Niha membuat adu untuk mengenang dan menghormati nenek moyang

22

W. Gulo., Injil dan Budaya Nias, Tanpa Penerbit, 2004, hal 26

23

(6)

sambil mengharapkan berkat materi atau untuk menyelamatkan mereka dari bencana

atau menyembuhkan mereka ketika sakit.24

Kegiatan keagamaan agama asli Nias pada saat itu tak terlepas kaitannya

dengan ere. Ere adalah pimpinan seluruh kegiatan keagamaan, baik yang bersifat

upacara pribadi maupun massa, Ere bukan hanya pemimpin agama tetapi juga

pemimpin sosial atau masyarakat. Ere memiliki kuasa, pengetahuan istimewa dan

kebijaksanaan lebih dari orang biasa. Nafkah ataupun penghasilan Ere biasanya

ditanggung oleh seluruh masyarakat desa. Mereka membawakan beras dan babi

kepadanya, tak ada orang yang terkecuali dalam hal ini sebab ere bisa marah lalu

akan timbul bala bencana seperti penyakit menular dan kematian.25Ere merupakan

mereka yang memiliki kekuatan magis melebihi masyarakat biasa sehingga oleh

karena itulah masyarakat desa segan dan takut serta tak meragukan kekuatan ere,

sehingga apapun yang dikatakan ere harus dituruti karena kalau tidak akan

menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan.26 Dalam setiap kegiatan upacara adat

melalui ere, mereka akan selalu memakai Fo’ere. Fo’ere merupakan nama sebuah

instrumen perkusi tradisional di Nias Selatan, yang berfungsi mengiringi pengucapan

mantra yang dilakukan oleh ere. Fo’ere digunakan sebagai alat musik pukul untuk

mengiringi upacara yang berkaitan dengan religi lama. Fo’ere hanya digunakan oleh

para ere, sehingga fo’ere memiliki tempat yang sangat sakral bagi masyarakat. Alat

24

Johannes P Hammerle., Hikaya Nadu, Gunungsitoli: Penerbit Yayasan Pusaka Nias, 1995, hal 7

25

Bambowo La‟iya., Opcit, hal 29

26

(7)

musik ini dapat dimainkan secara solo (tanpa alat musik lainnya), atau dapat juga

dimainkan bersamaan dengan gong atau alat musik lainnya.27

Ada tempat sakral juga dulu sebelum masuk Agama Kristen di desa, setelah

gerbang desa terdapat sebuah tempat yang dinamakan bale. Terdiri dari kursi batu

besar untuk para bangsawan/Si‟ulu dan bawahannya, dan kursi-kursi batu memanjang untuk tempat masyarakat desa, disitulah diadakan rapat desa atau apapun mengenai

desa itu.28 Pernyataan ini didukung oleh pustaka dalam buku Bambowo La‟iya yang

menyatakan bahwa : bale adalah tempat kegiatan keagamaan segenap masyarakat,

itulah sebabnya fungsi bale sangat penting. Selain untuk kegiatan keagamaan, bale

juga digunakan sebagai tempat musyawarah untuk membicarakan masalah desa itu

sendiri dan segala urusan pemerintahan. Bale digunakan juga sebagai tempat

menafsirkan hukum, mengadili dan menghukum pelanggar hukum. Bale merupakan

simbol kesatuan bagi anggota masyarakat dan tempat untuk merencanakan hukum

serta norma.29Bale merupakan rumah mufakat (osali) para petinggi kampung, di

dalamnya terdapat patung Si‟ulu, Si‟ila, dan lain-lain. Di dalamnya juga terdapat

sebuah takaran adat, sebuah batang pengukur babi, sebuah batu berukir, peringatan

tentang yang boleh dan yang tidak boleh.30 Di dalam semua kegiatan ini, ere berperan

27

Ketut Wiradnyana., Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, Jakarta, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010, Hal 32-34

28

Wawancara dengan Ama Sederhana Dachi, tanggal 19 April 2017

29

Bambowo La‟iya., Opcit, hal 29

30

(8)

penting sebagai penghubung antara manusia dan roh-roh leluhur. Ritus-ritus yang

dilakukan adalah demi mempertahankan keharmonisan kosmos.31

Menurut kebiasaan pada zaman dahulu, setiap tujuh tahun dilaksanakan

penetapan hukum (Fondrakӧ) dan dan melakukan penghancuran patung harimau

(Famadaya Harimaoatau Famato Harimao). Mereka akan membaharui hukum

Fondrakӧ dengan hukum yang baru dengan kesepakatan bersama bersama para

petinggi-petinggi kampung dengan melakukan pertemuan di bale sebelumnya.

Kemudian akan membuat patung berbentuk harimau dan menghancurkannya

kemudian membuangnya di sungai dengan menyakini bahwa dosa-dosa mereka yang

mereka perbuat selama ini akan terhapuskan dan ikut dengan patung harimau

tersebut.32Sebenarnya patung tersebut tidak berbentuk seperti harimau, melainkan

dengan bentuk badan lebih mungil seperti kucing dan kepala seperti kepala naga,

dikatakan patung harimau disebabkan karena menurut kebiasaan orang dulu binatang

yang ditakuti, buas, dan perkasa dijadikan bagian dalam ritus adat terutama dalam

kepercayaan agama kuno. Memang tidak pernah ditemukan harimau di Nias, tetapi

berita dari pulau Sumatera tentang harimau sebagai hakim desa sudah lama terdengar

di Nias.

31

Peter Suzuki., Opcit, hal 52-53

32

(9)

2.3.2 Ekonomi Tradisional

Untuk waktu yang cukup lama, mereka mempraktikkan sistem pertanian

pengembara, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka menanam

jagung dan padi dan juga memelihara babi dan ayam.33

Di bidang pertanian, masyarakat Nias mempraktikkan pekerjaan, yaitu

mengelola tanah/berladang dan memelihara babi/beternak. Penduduk membuka lahan

baru, pohon-pohon akan ditebang dan dibakar. Setengah dari lahan itu akan ditanami

jagung dan beras, sedangkan setengah lagi dijadikan kandang babi, Kandang babi

terbuat dari pagar bambu dengan sebuah pintu. Pendapatan yang didapat dari hasil

usaha ini biasanya digunakan untuk membayar utang, mendirikan rumah, membiayai

upacara pernikahan anak-anak, juga untuk membuat pesta yang menaikkan status

keluarga dalam masyarakat. Berdasarkan status ekonomi, masyarakat Nias dapat

dibagi atas kelas orang kaya, orang biasa dan budak. Orang kaya adalah mereka yang

memiliki banyak tanah, rumah yang besar, dan dapat mengadakan pesta besar ketika

anak-anaknya menikah. Namun mayoritas orang Nias tergolong orang biasa. Mereka

harus bekerja keras untuk nafkah mereka, karena itu jarang bisa membuat pesta besar.

Mereka tidak mampu membayar jujuran ketika anak-anak mereka menikah. Mereka

tidak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan kepada para ilah ketika mereka sakit.34

33

F Harefa., Opcit, hal 115-116

34

(10)

Masyarakat Nias mempunyai konsep kerja yang komunal ketimbang individual.

Karena itu, di dalam satu kampung mereka selalu mulai dengan satu pertemuan untuk

membincangkan bagaimana memulai dan melanjutkan pekerjaan. Mereka harus

sepakat tentang waktu menanam, sistem mengukur dan menimbang, cara berburu dan

sistem mengkoordinasikan semua aspek itu.Mereka menyebut sistem kerja ini

falulusa(saling tolong-menolong). Misalnya bila hari ini mereka bekerja di kebun A,

besok mereka bekerja di kebun B, dan seterusnya. Sistem ini cukup kuat dan

mengikat sehingga memungkinkan orang dapat mengolah lahan yang besar secara

bersama-sama. Sistem ini juga mengokohkan solidaritas dan persatuan diantara

mereka. Bagi mereka, bekerja juga mempunyai hubungan dengan dimensi agama atau

kepercayaan. Dalam pemahaman mereka, tanaman dan hewan, seperti beras dan babi,

adalah milik para ilah. Pemilik beras disebut Sibaya Wakhe; pemilik ternak babi

disebut Sobawi (pemilik babi), pemilik babi hutan disebut Bela (dewa yang berdiam

di rimba), pemilik ikan air tawar/sungai disebut Tuha Zangarӧfa (dewa yang

mendiami sungai)35. Jadi upaya sistem ekonomi mereka adalah bagian dari ritus

agama dan ritus adat. Masyarakat Nias percaya bahwa pelanggaran aturan adat,

sebagaimana yang diatur dalam fondrakӧ, akan berakibat buruk pada situasi ekonomi

mereka, yang dapat dikatakan bahwa sistem perekonomian Nias dulunya selalu

didasari pada atau dimulai dengan penyembahan kepada adu. Bila ada yang tidak

berhasil, mereka selalu berpikir bahwa penyebabnya adalah ketidakpatuhan atau

kelalaian melakukan tradisi tertentu. Satu hal yang penting diketahui bahwa segenap

35W. Gulӧ.,

(11)

kegiatan dalam bidang pertanian dan peternakan ini selalu didasarkan pada keyakinan

bahwa dewa-dewa yang menguasai dan yang juga mempunyai sumber berkat. Oleh

karena itu Ono Niha melakukan ritual memohon berkat dari “Allah yang mereka

percayai” untuk memberi keuntungan kepada mereka.

Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara yang mengatakan bahwa :

Dalam hal bercocok tanam sebagai mata pencaharian Desa Hilisimaetano, masyarakat

menggunakan bantuan ere. Ere akan memberkati lahan tersebut dan berdoa serta

masyarakat tadi diminta menyembelih seekor babi dan memberikan beras sebagai

persembahan serta dibuat adu yang kemudian ere akan bertemu arwah di dalam

bayangannya untuk penentuan lokasi panen dan waktu terbaik dalam melaksanakan

hal bercocok tanam agar hasil panen bagus.36 Dalam berburu juga masyarakat desa

tetap menggunakan bantuan ere untuk mendapatkan izin berburu karena mereka

percaya bahwa binatang-binatang yang akan menjadi buruan tersebut telah ada yang

mempunyai, sehingga ketika diambil secara sembarangan sembarangan maka roh

pemilik binatang tersebut bisa murka. Ere dipercaya bisa bercakap-cakap dengan roh

tersebut untuk mencapai kesepakatan apakah bisa diburu ataupun tidak.37

36

Wawancara dengan Ama Ukiran Dachi, tanggal 18 April 2017

37

(12)

2.3.3 Aspek Budaya dan Adat Istiadat

Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan

makhluk manusia merupakan pendukung kebudayaan. Sekalipun makhluk manusia

akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan untuk keturunannya,

demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak hanya terjadi

secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka, melainkan dapat pula dilakukan secara

horizontal atau manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya.

Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya akan

diteruskan kepada generasi berikutnya atau dapat dikomunikasikan dengan individu

lainnya karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk

lambang-lambang vokal berupa bahasa serta dikomunikasikan dengan orang lain

melalui kepandaiannya berbicara dan menulis.38

Kebudayaan sebagai ciptaan atau warisan hidup bermasyarakat adalah hasil dari

daya cipta atau kreativitas para pendukungnya dalam rangka berinteraksi dengan

ekologinya, yaitu untuk memenuhi keperluan biologi dan kelangsungan hidupnya

sehingga ia mampu tetap survival. Untuk itu manusia telah mempergunakan segala

sumber yang ada di sekitarnya secara teratur dan tersusun, menciptakan peralatan dan

teknik-teknik untuk membantu menghasilkan berbagai bahan berguna bagi keperluan

hidupnya sekaligus ia juga mempelajari sifat-sifat dan kejadian-kejadian alam. Irama

38

(13)

pergantian alam ini menjadi pedoman jadwal kerja untuk mengorganisasikan kegiatan

kelompok agar selalu selaras dengan peredaran musim dan irama alam lainnya.

Sebagai akibat tindakan dalam kelompok yang diilhami dari irama alam itu

menimbulkan sesuatu dalam diri makhluk manusia, berupa suatu gagasan (idea),

peralatan (technology), dan kelembagaan (institutional). Akhirnya manusia mencapai

suatu keteraturan (order) yang semakin lama semakin berkembang.39

Kebudayaan merupakan bagian dari lingkungan yang diciptakan oleh manusia.

Secara implisit hal itu berarti adanya pengakuan, bahwa manusia hidup dalam suatu

lingkungan alam dan lingkungan sosial, hal dimana berarti juga bahwa kebudayaan

tidak semata-mata merupakan suatu gejala biologis. Kebudayaan mencakup semua

unsur yang didapatkan oleh manusia dari kelompoknya, dengan jalan mempelajarinya

secara sadar atau dengan suatu proses penciptaan keadaan-keadaan tertentu. Hal itu

semuanya mencakup pelbagai macam teknik, lembaga-lembaga sosial, kepercayaan,

maupun pola-pola perilaku.

40

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, kebudayaan

merupakan keseluruhan yang kompleks, dan didalamnya terkandung

39

Ibid, hal 91

40

(14)

pengetahuan,kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan

kemampuan-kemampuan lain yang didapat sesorang sebagai anggota masyarakat.41

Masyarakat Nias masih hidup dalam kebudayaan dan adat-istiadat yang masih

tinggi dalam berbagai aspek. Kebudayaan dan adat-istiadat tersebut telah mengatur

tata cara kehidupan masyarakat dan bersifat mengikat. Desa Hilisimaetano

merupakan desa adat yang memiliki tata kehidupan dengan aturan adat yang masih

tinggi yang mengatur dalam setiap selingkaran kehidupan masyarakat desa tersebut.

2.3.3.1 Kelahiran dan Pemberian Nama

Ketika bayi masih dalam kandungan, si ibu dari calon anak tersebut akan

berkunjung ke rumah orangtuanya untuk memberitahukan sekaligus memohon berkat

atas kandungan itu, yang acara ini disebut dengan fangoroma beto (memberitahu

kehamilan) atau fangaruwasi lalu orangtua mereka akan memberi berkat melalui

upacara fanefe idanӧ42. Selain memohon berkat kepada orangtua, pasangan suami

istri yang mengandung bayi tersebut juga memohon berkat kepada ere dengan

melakukan acara dengan fo’ere, dan meminta berkat kepada adu.43

41

Muhammad Syukri Albani Nasution, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2016, hal 16

42

Pemercikan air terhadap orang yang akan diberkati sambil mengucap kata-kata pemberkatan

43

(15)

Orangtua dari bayi yang masih dalam kandungan dulu sangat bergantung

kepada ere dӧrӧu44 untuk menebak jenis kelamin dari anak mereka yang di dalam

kandungan, dukun/ere jenis ini juga dipercaya oleh masyarakat mempunyai kekuatan

magis yang tak dapat diperbuat oleh rakyat biasa.45

Ketika anak tersebut lahir, maka para pihak saudara dari pasangan suami istri

tersebut akan berkunjung dan melihat anak tersebut dan selalu membawa seekor anak

babi dan emas sebagai turut tanda sukacita mereka juga. Pemberian nama bagi anak

yang baru lahir tersebut akan digelar pesta setelah 1 bulan ataupun 2 bulan setelah

kelahiran si anak. Pihak keluarga akan menyembelih babi, dan menjamu para

masyarakat yang diundang.46 Hal ini sejalan dengan buku yang menyatakan bahwa :

pemberian nama bagi anak tersebut yang sudah lahir akan direncanakan dengan

mengundang seluruh sanak saudara dan kampung lalu kemudian mengadakan pesta

dan menyembelih babi untuk menjamu semua para undangan tersebut. Setelah

semuanya selesai maka diberikanlah nama daripada anak tersebut oleh ere, si‟ulu,

ataupun orang terkemuka dalam adat. Nama daripada si anak tersebut biasanya akan

mengandung makna, harapan, prinsip, atau sebuah kejadian yang berkesan. Maka

sesudah nama diberikan, orangtua dari anak tersebut akan disapa sesuai nama anak

44

Profesi Ere yang bertugas sebagai tukang obat ataupun dukun. Ere menurut pekerjaannya terbagi atas : tukang besi (ere defao), tukang rumah (ere nomo), tukang penyair (ere hoho), tukang

cerita (ere manӧ-manӧ), tukang obat/dukun (ere dӧrӧu)

45

Wawancara dengan Ama Sederhana Dachi, tanggal 19 April 2017

46

(16)

yang pertama47. Ritus pemberian nama akan memberikan status baru bagi orangtua,

dan nama panggilan orangtuanya akan seperti itu hingga seterusnya.48

Sebelum masuknya injil juga tidak boleh ada anak dari pasangan suami istri

yang memiliki dua anak sekaligus ataupun kembar, mereka menggangap bahwa itu

merupakan sebuah aib dan salah satu dari anak kembar tersebut harus dibuang atau

dimusnahkan, sehingga masyarakat yang akan memiliki anak berharap agar tersebut

nantinya yang lahir adalah bukanlah anak kembar.49

2.3.3.2 Pernikahan

Salah satu upacara yang paling penting dan menentukan dalam adat selingkaran

hidup di kalangan suku Nias adalah perkawinan. Pada upacara ini, solidaritas

kekeluargaan didemonstrasikan sungguh-sungguh dan segenap anggota masyarakat

desa ikut terlibat sebagaimana lazimnya, yang menunjukkan bahwa perkawinan di

Nias bukan hanya merupakan urusan diantara dua orang saja yaitu seorang pengantin

laki-laki dan seorang perempuan melainkan adalah urusan antara keluarga dengan

keluarga yang lain, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.50

Adapun adat perkawinan pada saat itu dimana perempuan dibawa ke rumah

pihak laki-laki dengan lebih dahulu membayar jujuran (bӧwӧ) yang telah ditetapkan

47Misalnya anak pertama adalah Sion, maka ayah dari Sion akan disapa “Ama Sion”. begitu

juga dengan ibu dari anak tersebut akan disapa “Ina Sion” 48

Tuhoni Telaumbanua;Uwe Hummel., Opcit, hal 38-39

49

Wawancara dengan Ama Seba Zeraluo, tanggal 13 April 2017

50

(17)

menurut derajat (bosi) dalam adat yang penentuan jujuran tersebut akan dibahas juga

di bale oleh semua lapisan masyarakat. Perkawinan di pulau Nias haruslah menurut

kemauan orangtua kedua belah pihak (orangtua si laki-laki dan orangtua si

perempuan) bukannya menurut kedua pasangan tersebut yang bertunangan dan

ditunangkan. Tetapi kebanyakan perkawinan yang semacam itu, diterima oleh

pemuda karena terpaksa dan sudah diadatkan, bukan dengan tulus dan ikhlas hati, dan

bukannya karena cinta melainkan karena takut pada orangtuanya saja.51 Pernyataan

ini bahkan didukung oleh informan yang mengatakan bahwa mereka dijodohkan

bahkan ketika masih dalam kandungan melalui perantara si’ila sehingga ketika anak

mereka besar nantinya mereka akan menikah sesuai dengan harapan keluarga

masing-masing.52

Selain jenis perjodohan di dalam kandungan, terdapat juga perjodohan ketika si

anak yang akan dikawinkan tumbuh dewasa. Perantara si’ila53sangatlah penting

dalam membicarakan kesepakatan dua keluarga tersebut, tanda keluarga perempuan

suka terhadap pihak laki-laki yaitu akan dijamu makan ketika berkunjung ke rumah,

namun sebaliknya jikalau tidak tertarik pada pihak laki-laki maka tak akan dijamu

makan. Keluarga perempuan akan meminta perhiasan emas, bola nafo54, dan meminta

kepastian. Setelah itu maka pihak keluarga laki-laki diminta sabar menunggu

pembicaraan jujuran sesuai kesepakatan sembari menilai perlakuan calon

51

F Harefa., Opcit, hal 27-28

52

Wawancara dengan Ama Flinser Dachi, tanggal 12 April 2017

53

Orang kepercayaan dari keluarga bangsawan yang sering disebut penasehat atau orang yang dihormati dan mengetahui betul tentang adat wilayah tersebut

54

(18)

suami/menantu hingga tiba saatnya menanyakan jujuran dan pelaksanaan pesta

pernikahan dengan mengundang para masyarakat desa untuk dijamu makan. Namun

sebelum menikah, harus menjumpai ere agar calon pengantin tersebut diberkati, ere

akan meminta arwah-arwah untuk meminta yang terbaik dalam pernikahan.55

Di Nias Selatan seorang keturunan bangsawan akan kehilangan statusnya,

jikalau dia kawin dengan rakyat biasa (sato). Sehingga dapat dikatakan pihak

keluarga bangsawan akan merasa mendapat penghinaan besar jikalau menikah

dengan rakyat biasa. Istilah resmi pada peristiwa itu adalah : No mӧi ba zato(sudah

menjadi rakyat biasa). Tetapi dulu seorang bangsawan yang sudah kawin sesuai

dengan tingkat kastanya, biasanya masih mempunyai istri-istri lain dari kasta rendah

(sato) yang akan bekerja dalam mengurus keperluan rumah tangga. Seorang

bangsawan boleh juga mengawini lagi seorang istri kedua atau ketiga dari kasta

rendah itu, bila ia hendak mengambil hati masyarakat.56

Setelah mereka menikah maka pasangan suami istri yang baru menikah tersebut

akan mengundang ere untuk melaksanakan pemberkatan. Pemberkatan yang

diberikan ere adalah berupa doa permohonan yang berisikan agar rumah tangga

mereka baik-baik saja dan cepat memiliki anak.57

55

Wawancara denganAma Flinser Dachi, tanggal 12 April 2017

56

P. Johannes Maria Hammerle., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Gunungsitoli: Penerbit Yayasan Pusaka Nias, 2001, hal 194-195. Bnd W. Gulo, Benih Yang Tumbuh 13, Satya Wacana, 1983, Hal 198-199

57

(19)

2.3.3.3 Kematian dan Pemakaman

Pada saat orangtua sakit, semua anak-anaknya berupaya untuk mencari

pengobatan kepada orangtuanya. Karena bagi mereka orangtua merupakan tulang

punggung ekonomi keluarga, pemimpin dan pemberi berkat. Apalagi kalau orangtua

itu mempunyai jabatan di kampung, sehingga jika orangtua meninggal dunia, maka

lakhӧmi (kemuliaan, kewibawaan) yang telah ia miliki dengan sendirinya sedikit

demi sedikit hilang dalam keluarga yang ia tinggalkan, untuk itulah orangtuanya

diupayakan sembuh dan sehat kembali.

Harapan satu-satunya yang bisa mengobati orang yang sedang sakit hanya ere.

Mereka percaya bahwa penyakit ada akibat oleh roh-roh jahat, oleh sebab itu roh

jahat tersebut dikeluarkan dalam tubuh orang yang sakit dan menggunakan media adu

dalam menjalankan ritus tersebut. Jikalau memang tidak bisa berhasil juga maka ere

akan mengumumkan kepada pihak keluarga bahwa yang sakit tersebut tidak dapat

tertolong lagi.58

Sebelum seseorang akan meninggal terutama orangtua, maka seluruh anggota

keluarga menyelenggarakan suatu jamuan akhir dengan orang yang akan meninggal

dalam bentuk upacara adat yang bernama “fangotome’ӧ” (perjamuan) atau “famalakhisi” (perpisahan). Sebelum masuk injil di Nias, seorang bangsawan Si’ulu

yang akan meninggal akan memesan beberapa kepala manusia untuk ditanam

mengawal kuburannya. Warisan penting yang akan diserahkan oleh seorang Si’ulu

58

(20)

kepada anak laki-lakinya sulung ialah “roh kemuliaan” yang disebut eheha atau lӧfӧ. Roh ini akan keluar dari mulut pada waktu orangtua tersebut meninggal, dan

ditangkap dengan perantara ere lalu kemudian diterima oleh anaknya. Sering roh

orangtua itu disimpan dalam patung orangtua (adu zatua) dan diyakini menjadi

sumber berkat dan roh orangtua mereka masih hidup di dalam patung tersebut.59 Hal

ini berkaitan dengan keterangan informan di lapangan yang mengatakan bahwa ere

akan memegang nafas mayat tersebut lalu memindahkannya kepada adu untuk

menyelamatkannya sehingga pihak keluarga merasa masih dapat merasakan

kehadiran dari yang meninggal tersebut.60

Ketika seseorang meninggal, maka akan datang untuk para kerabat dan tetangga

ke rumah orang yang berduka dan menangis menandakan bahwa turut berduka dan

bersedih. Sementara kaum wanita menangis, warga laki-laki akan memperdengarkan

fahoho61, atau bagi kaum bangsawan akan dipentaskan beberapa jenis tari seperti :

sifamanu, maluaya (tari lingkaran), mamualӧ (tari perang), dan fatele (kombat).

Semua laki-laki yang menghadiri upacara penguburan akan berpakaian pesta perang

yang dilengkapi dengan perisai tombak dan pisau.62 Peristiwa kematian sering

menjelma menjadi pesta besar. Beberapa ekor babi disembelih dan nasi dimasak,

sehingga dapat disimpulkan bahwa : seseorang akan rela terjerumus ke dalam hutang

demi memperoleh bahan-bahan yang perlu untuk pesta ini. Seseorang juga dapat

59W. Gulӧ.,

Benih yang Tumbuh XIII, Opcit, hal 205

60

Wawancara dengan Ama Seba Zeraluo, tanggal 13 April 2017.

61

Lagu tradisionil yang mempunyai melodi khusus

62

(21)

yakin bahwa tujuan utama pesta penguburan bukanlah penguburan itu sendiri

melainkan pestanya, dan kematian tak dapat dilukiskan tanpa pesta.63

Di Desa Hilisimaetano mayat digantungkan pada pohon, diikat dalam anyaman

tua, mayat digantungkan pada suatu cabang pohon dalam gaya duduk dan dibiarkan

disitu, atau mereka mempersiapkan di hutan suatu rak bambu atau kayu bulat yang

sekitar dua meter tingginya dan mayat dibaringkan di atasnya (lahare yawa).64

Orangtua hendak meninggal dalam ketentraman hati, maka segala pekerjaan sudah

harus diselesaikan sebelumnya : rumah sudah dibangun, anaknya sudah dibesarkan

dan dikawinkan, pesta-pesta jasa sudah dirayakan, segala pekerjaan sudah selesai

hingga saatnya orangtua tersebut sudah siap untuk mofanӧ(berangkat), artinya

meninggalkan dunia yang fana.65 Hal ini sejalan informasi yang diberikan informan

yang mengatakan bahwa : pemakaman dulu tidak dikubur akan tetapi digantung

karena takut mayat tersebut dimakan hewan. Makna penggantungan mayat tersebut

dengan tujuan pihak keluarga bisa melayat dan keluarga yang ditinggalkan bisa

berbicara kepada mayat melalui perantara ere.66

Ada satu bagian dari upacara penguburan masa lampau yaitu famaoso dӧla

(pengangkatan tulang-tulang kembali). Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum

63

Seringkali pesta penguburan menghabiskan biaya yang cukup besar setara dengan biaya pernikahan ; Bnd Peter Suzuki., The Religious System And Culture of Nias Indonesia, Uitgeverij

Excelsior „S Gravenhage, 1959,Hal 118

64

Wawancara dengan Ama Nasehati Laoli, tanggal 22 April 2017.

65

P. Johannes Maria Hammerle., Opcit, hal 203-204

66

(22)

bangsawan. Ada pandangan yang mengharapkan bahwa orang mati itu akan bangkit

kembali atau akan terjadi kelahiran kembali.67

Setelah pemakaman selesai, maka keluarga yang masih berkabung tersebut

akan mengadakan upacara adat “fangasi” yaitu menjamu para masyarakat sekampung

dengan memotong babi. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa jika fangasi tidak

dilaksanakan, berarti merendahkan derajat sosial orang yang meninggal dan

keluarganya yang masih hidup. Tidak dilaksanakannya upacara fangasi dapat pula

menimbulkan amarah dari arwah orang yang meninggal dengan mencekik leher

keluarganya yang masih hidup dan kesialan pada segala lapangan usaha mereka.68

Kemudian setelah itu akan diadakan upacara adat berikutnya yaitu “fondra’u gawu”, pada upacara ini barang-barang yang dipergunakan sehari-hari oleh orang

yang meninggal ketika ia hidup seperti : tikar, piring, mangkok, dan sebagainya

diantarkan ke kuburannya dengan kepercayaan bahwa arwah tersebut tidak kembali

ke rumah dan menganggu orang yang masih hidup, sehingga barang-barangnya

diserahkan ke kuburannya.69

67

Peter Suzuki., Opcit, hal 126

68

W. Gulo., Opcit, hal 206

69

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu informasi tentang kesehatan gigi merupakan bagian dari kesehatan secara keseluruhan yang tidak bisa dipisahkan dan penting dalam menunjang kualitas

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai bahasa Madura lisan dan tulis, reseptif Menilai penggunaan bahasa Madura pada Tingkat keilmuan yang mendukung mata

[r]

bagi para pedagang dari adanya pengembangan pariwisata di destinasi wisata. taman Diponegoro ini adalah Pengembangan dan pembukaan lapangan

Pada umumnya konsentrasi asam lemak terbang akan mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi pada saat tanaman pakan yang diberikan masih muda, karena tana- man yang

JUDUL : FK UGM KEMBANGKAN METODE ALAMI KURANGI KASUS DBD. MEDIA : SUARA MERDEKA TANGGAL : 27

[r]

JUDUL : VIOLINIS INTERNASIONAL AYKE AGUS KEMBALI KE YOGYA, GELAR KONSER AMAL. MEDIA :