GEMMPAR
(Bentuk Resistensi Paguyuban Pedagang Pasar Rejosari Terhadap Relokasi Pasar Rejosari Salatiga)
Oleh : ARISTA AYU NANDA
352013030
JURNAL
Diajukan Kepada
Program Studi Sosiolog Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Komunikasi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
1. Latar Belakang
Pasar Rejosari merupakan salah satu pasar tradisional yang ada
di Kota Salatiga, yang terbakar pada 26 Oktober 2008 sehingga
hampir 350 pedagang kehilangan mata pencariaanya. Kemudian
pemerintah kota Salatiga mengeluarkan kebijakan untuk
melakukan revitalisasi atau pembangunan kembali pasar Rejosari
menggunakan dana swasta atau investor.
Pemerintah kota Salatiga membangun kerja sama dengan PT
Patra Berkah Itqoni (PBI) yang merupakan pemborong dari Malang
untuk melakukan revitalisasi pasar Rejosari, yang akhirnya
terbentuk kesepakatan harga kios sebesar Rp. 13.000.000/m2 dan
harga los sebesar Rp. 9.000.000/m2.
Hasil kesepakatan harga antara pemerintah kota Salatiga dan PT
PBI kemudian disosalisasikan ke pedagang pasar dengan sistem
perwakilan yaitu diwakili oleh Persatuan Pedagang Pasar Rejosari
(P3R), yang kemudian ketika perjajian kesepakatan harga tersebut
disebarkan ke pedagang lain ternyata menimbulkan konflik karena
ada banyak pedagang yang merasa tidak dilibatkan dalam
kesepakatan tersebut akhirnya membentuk Paguyuban Pedagang
Pasar Rejosari (P3R Baru) atas dasar rasa kekecewaan atas P3R
Lama.
P3R Baru, akhirnya membentuk gerakan berbasis mahasiswa
dan masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Gemmpar
(Gerakan Masyarakat dan Mahasiswa Perduli Pasar Rejosari) untuk
menyampaikan tuntutannya dalam bentuk gerakan massa.Gerakan
massa ini dilakukan dibarengi dengan perjuangan di ranah hukum,
tanggal 15 Mei 2013 dengan nomor 33/Pdt.G/2013/PN.Sal, dengan
meminta pendampingan hokum dari pengacara Dwi Heru
Wismanto Sidi, SH. Namun ditolak karena kurang kuatnya gugatan
yang diajukan P3R Baru yang waktu itu ingin menggugat P3R Baru
dan P3R Lama terkait dengan pemalsuan tanda tangan ketika
sosialisasi kesepakatan harga los dan kois yang dilakukan PT PBI.
Sehingga dari latar belakang diatas, memunculkan rumusan
masalah bagaimana P3R Baru melakukan resistensi terhadap
implementasi kebijakan pasar Rejosari? Dengan tujuan penelitian
adalah menjelaskan bentuk-bentuk resistensi pedagang pasar
Rejosari terhadap implementasi kebijakan pasar Rejosari.
2. Kajian Teori
Resitensi bisa diartikan sebagai perlawanan dari
ketidakpuasaan seperti yang diungkapkan Lila
Abu-Lugdod1perlawanan, saya berpendapat, sebuah ketidakpuasan
yang berkembang dengan cara-cara kita memahami kekuasaan dan
hal yang paling menarik yang muncul dari ini bekerja pada
resistensi adalah rasa yang lebih besar dari kompleksitas sifat dan
bentuk-bentuk dominasi. Sehingga konflik terjadi karena adanya
dominasi dari pihak lain yang dibarengi dengan kesenjangan
kekuasaan antara satu pihak yang dikuasai dengan pihak lain yang
berkuasai, ujung dari konflik sosial sebagai suatu perjuangan
terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka,
kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan
dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya (Zeitlin,
1998:156). Sehingga konflik dapat menggerakan satu kelompok
masyarakat secara bersamaan guna menentang, memperjuangkan,
atau mengambil alih kembali apa yang menjadi hak masyarakat
yang telah diambil oleh pihak-pihak lain bisa dari pemerintah
ataupun swasta yang seringkali disebut dengan gerakan sosial.
Definisi gerakan sosial menurut Wilson (1973) adalah bentuk
respon masyarakat terhadap suatu keadaan yang membuat
masyarakat merasa tidak puas sehingga menuntut sebuah
perubahan. Sehingga gerakan sosial merupakan gerakan kolektif
yang dilakukan secara sadar dan ditujukan untuk mendorong atau
menentang perubahan yang terjadi dimasyarakat dengan cara-cara
yang tidak melembaga. Gerakan sosial awalnya dilakukan oleh
sekelompok masyarakat kecil saja, namun membawa pesan yang
membuat gerakan ini berpotensi berkembang dan diikuti ribuan,
bahkan jutaan orang. Dalam konteks ini ada banyak metode yang
digunakan seperti petisi, memilih perwakilan dalam perundingan,
menyelesaikan masalah diluar peradilan, atau mengorganisir
pemogokan (Manalu, 2009:44-45). Gerakan sosial memiliki potensi
dalam mendorong perubahan kebijakan, terutama kebijakan yang
merugikan atau mendeskriditkan rakyat sebagai posisi minor.
Bahkan bisa jadi gerakan ini dilakukan bukan untuk memperoleh
kepentingan pribadi anggotanya, akan tetapi secara spesifik
ditujukan sebagai tawar menawar untuk mempengaruhi pembuat
kebijakan (decision makers) mengambil solusi yang
menguntungkan mereka. Dengan demikian tujuan akhir dari
Seringkali pemerintah telah memainkan peran dominan dalam
keputusan dan kebijakan yang telah mempengaruhi setiap segi
kehidupan keluarga dan individu. Sementara menggunakan
retorika pembangunan nasional untuk membenarkan perilaku
mereka, para elite di negara-negara ini kemudian menggunakan
negara dan kebijakannya untuk memperkaya diri mereka sendiri
dan untuk menyalurkan, mengendalikan, dan menekan tindakan
masyarakat oleh kaum miskin dan kelompok pinggiran. Dalam
keadaan seperti itu, partisipasi warga negara telah dibungkam.
Gerakan sosial dalam keadaan ini bukan saja dibutuhkan untuk
mempromosikan perubahan kebijakan tetapi untuk
mengembalikan pilihan politis yang telah hilang (Miller&Covey,
2005; Fakih, 2010).
Melihat perkembangan paradigama gerakan sosial, McAdam
(1999:2) mengulas kembali strategi resistensi masyarakat dalam
memperjuangkan kepentingannya ada dua faktor utama dalam
menganalisis kemunculan dan perkembangan gerakan sosial,
yakni; mobilisasi sumberdaya (resource mobilization)dan proses
pembingkaian (framming process).
Pertama, strategi mobilisasi sumberdaya (resource
mobilization), menjadi cara masyarakat guna memperoleh
dukungan dari oramg-orang diluar kepentingannya untuk
bersama-sama melakukan resistensi, atau hanya sekedar
mendapatkan simpati sehingga bisa menjadi buah bibir serta
keresahan dari masyarakat sekitar yang mengahui permasalahan
tersebut, sehingga mampu memberikan tekanan kepada pihak lain.
kelompok gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif, termasuk
didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial.
Tujuannya adalah mencari lokasi-lokasi di dalam masyarakat untuk
dapat dimobilisasi, dalam konteks ini unit-unit keluarga, jaringan
pertemanan, asosiasi tenaga sukarela, unit-unit tempat bekerja,
dan elemen-elemen negara itu sendiri menjadi lokasi-lokasi sosial
bagi struktur mobilisasi mikro.
Dengan definisi diatas McCarthy menyimpulkan adanya dua
kategori dalam membuat struktur mobilisasi yaitu struktur formal
dan informal. Lebih lanjut dijelakan bahwa mempergunakan
mekanisme mobilisasi mikro dia ingin mengatakan bahwa
hubungan formal dan informal diantara masyarakat dapat menjadi
sumber solidaritas (Situmorang, 2007:7-9). Kelompok-kelompok
organisasi formal juga memainkan peranan penting dalam
membentuk struktur mobilisasi, sehingga gerakan sosial yang
dilakukan tergantung pada kemampuan mobilisasi sumber daya
yang ada untuk merespon masalah tersebut (Manalu, 2009:27).
Sehingga siapa penggerak dan siapa yang mendukung menjadi
penting, tetapi tergantung bagaimana ketidakpuasan diubah dalam
makna yang mampu menarik perhatian orang.
Terkait dengan organisasi yang terbentuk dalam gerakan sosial
berfungsi sebagai kontruksi dan rekontruksi keyakinan-keyakinan
kolektif, untuk mentransformasikan ketidakpuasaan dalam aksi
kolektif, dan mempertahankan komitmen dalam gerakan
(Klandermans, 2005:xxviii). Singkatnya, pendekatan ini
menyatakan gerakan sosial muncul sebagai konsekuensi dari
kepentingan mereka, dan adanya peran sentral organisasi serta
para kader pemimpin prefesional untuk memobilisasi
sumber-sumber daya yang ada pada mereka. Kekuatan gerakan bergantung
pada tersedianya sumber daya material (usaha, uang, keuntungan
kongkret, dan jasa) maupun sumber daya non material (otoritas,
pertalian moral, kepercayaan, dan persahabatan) dalam organisasi
berikut (della porta dan Diani, 1998:8), termasuk didalamnya
besarnya partisipan dana, publikasi media, serta dukungan opini
publik dan elit (Halcli, 2000:467).
Sehingga keberhasilan suatu gerakan dapat dipastikan
bagaimana gerakan tersebut mampu menekan dan memberikan
ancaman yang sepadan pada stabilitas dan tatanan sosial. Sehingga
tuntutan-tuntutan mampu diperjuangan dan dipenuhi, dengan
legitim politik. Biasanya hal-hal ini terjadi karena tidak adanya
akses memperjuangkan kepentingannya dan tertutup oleh
kepentingan-kepentingan elit yang lain. salah satu hakikat
kebijakan publik adalah konflik, khususnya memperebutkan
sumber daya politik pada suatu kawasan baik sumber daya politik
yang berasal dari ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. kebijakan
publik muncul ditengah konflik, dan sebagaian besar untuk
mengatasi konflik yang telah, sedang, dan akan terjadi
(Dwidjowijoto, 2007).
Kedua, proses pembingkaian (framming process) menjadi salah
satu strategi yang penting dalam melihat gerakan sosial,
dikarenakan suksesnya suatu gerakan terletak sampai dimana
mereka memenangkan pertempuran atas arti. Hal ini berkaitan
kebijakan publik. Oleh karena itu para pelaku perubahan memiliki
tugas penting mencapai perjuangannya melalui pembuatan
framingmasalah-masalah sosial dan ketidakadilan. Ini sebuah cara
menyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga
mereka mendorong mendesak sebuah perubahan. Sehingga dalam
framing ada dua komponen penting yang perlu diperhatikan yaitu
diagnosis elemen atau mendefinisikan masalah dan sumbernya dan
prediksi elemen sekaligus mengidentifikasi strategi yang tepat
untuk memperjuangkan masalah tersebut (Snow dan
Banford,1988).
Didalam konsep framing ada beberapa komponen penting yang
menjadi dasar dari pembentukan wacana tersebut, yaitu
topik-topik yang menjadi sumber utama. Topik pertama adalah
kontradiksi budaya dan alur sejarah, kesempatan politik dan
mobilisasi, seringkali tercipta melalui ketegangan budaya dan
kontradiksi yang telah berlangsung lama muncul menjadi bahan
proses framing seperti, keluhan dan ketidakadilan, sehingga aksi
kolektif menjadi mungkin. Kontradiksi budaya juga menjadi
penyebab mobilisasi ketika dua atau lebih tema-tema budaya
memiliki pontensi kontradiksi dan diangkat kembali menjadi topik
melalui kekuatan aksi kolektif.
Pada topik kedua proses farming sebagai salah sebuah aktifitas
strategi. Keretakan dan kontradiksi budaya menyediakan kontesks
dan sekaligus kesempatan bagi kader-kader gerakan yaitu,
pemimpin, pertisipan inti, aktivis, dan simpatisan. Akan tetapi,
adanya proses aktif framing dalam mendefinisan ideologi, simbol,
moral. Para penguasa moral ini bisa dari kalangan aktivis maupun
pada kalangan luar aktivis. Kalangan wartawan, masyarakat,
asosiasi pemimpin, politisi, dan penulis juga berkontribusi
menentukan pilihan strategi framing dalam gerakan sosial
(Situmorang, 2007:12).
Pengonsepan terkait dengan framing dilakukan untuk
menyalurkan infromasi, ideologi, keresahan, dan perasaan tertekan
dari kelompok sosial yang melakukan perlawanan kepada pihak
lagi, bisa melalui media yaitu media cetak, elektronik, buku,
pamflet, dan tanpa media bisa melalui orasi, debat publik, ataupun
diskusi sehingga dapat melempar isu sehingga kelompok
masyarakat lain dapat ikut bergabung dalam melakukan resistensi
tersebut. Aktor gerakan sosial bisa menggunakan strategi yang
berbeda untuk masuk kedalam kelompok sosial yang ingin
dipengaruhi untuk ikut terlibat didalamnya.
Sehingga bisa disimpulkan gerakan sosial menjadi salah satu
kekuatan masyarakat untuk mampu merubah kebijakan dari
pemerintah, gerakan sosial dipilih masyarakat ketika masyarakat
tidak lagi mampu memperjuangkan aspirasinya diranah
pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan
sosial mempunyai dimensi politik atau kebijakan dan upaya
keberhasilannya, salah satunya dengan mengubah kebijakan yang
ada(Triwibowo, 2006:xx).
3. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
natural dimana peneliti tidak mencoba memanipulasi fenomena
yang diamati. Karena peneliti akan berusaha menggali dan
mengamati pemaknaan akan kebenaran akan berbeda-beda
sehingga tidak bisa menghindari subyektif dari peneliti (Sarosa,
2012:9)
Jenis penelitian deskriptif yang digunakan karena peneliti akan
menggambarkan setiap kejadian-kejadian yang diteliti. Unit amatan
adalah resistensi P3R Baru terhadap implementasi kebijakan
relokasi pasar Rejosari. Sehingga unit analisanya adalah
bentuk-bentuk resistensi pedagang. Sumber data didapatkan dari
wawancara dan telaah dokumen, yang dianalisis dengan cara data
direduksi, data disajikan, dan penarikan kesimpulan (Sugiyono,
2006:276-284). Ditetapkan lokasi penelitian di Tempat
Penampungan Pedagang Sementara (TPPS)Pasar Rejosari.
4. Hasil Penelitian 4.1gambaran umum pedagang pasar Rejosari
Pasar Rejosari memiliki luas 10.000 m2, dengan kios sebanyak
103 buah dan los 248 buah sehingga ada sekitaran 351 pedagang
yang ada di pasar Rejosari. Pasar tersebut terletak di wilayah
kelurahan Mangunsari persimpangan jalan Veteran, jalan
Hasanudin, jalan Ahmad Yani, dan jalan Osamaliki, dan didukung
dengan letaknya yang strategis karena pasar ini dilewati jalur yang
menghubungkan dengan 3 kota yaitu Solo, Semarang, dan
Magelang. Selain itu sebelah pasar Rejosari menjadi terminal jalur
Salatiga-Kopeng. Mengingat letak dan posisi dari pasar tersebut
Pedagang pasar Rejosari dibagi menjadi dua jenis pedagang
yaitu pedagang kios berupa ruko dan los berupa lapak dagangan.
Namun ada perbedaam jumlah pedagang los dan kios tersebut
berubah sebelum dan setelah terjadi kebakaran yaitu awalnya 351
dengan pedagang kios sebelum terbakar ada 103 sedangkan 248
pedagang los, pasca kebakaran menjadi 204 pedagang dengan
pedagang kios berjumlah 114 dan los berjumlah 90 orang. Jumlah
pedagang memang tidak bisa dipastikan berapa yang berjualan di
Pasar Rejosari, bahwa sebelum pasar terbakar ada sekitar 350
pedagang yang ada disana namun tidak semua terdaftar secara sah
di Unit Pelaksana Teknis (UPT) IV hanya terdaftar 102 pedagang.
Berbeda lagi ketika penandatanganan Surat Kuasa kepada
solidaritas pengacara yang bertanda tangan ada 114 pedagang.
Dalam hal ini lemahnya administrasi pemerintah pendataan terkait
dengan jumlah pedagang eksis, sehingga membuat peneliti terbatas
dalam mendiskripsikan detail pedagang.
4.2 Relokasi Pasar Rejosari
Kebijakan dari pemerintah kota Salatiga terkait pembangunan
kembali pasar Rejosari akibat terbakar tanggal 26 oktober 2008,
terdapat pro kontra tentang anggaran pembangunan pasar apakah
dengan penggunaan dana APBD atau dengan dana investor.
Penggunaan keduanya memang ada keuntungannya, menggunakan
dana APBD maka harga los dan kios relatif lebih murah bagi
pedagang, sedangkan penggunaan dana investor, dana APBD bisa
dialihkan untuk pembangunan lainnya.
Pro kontra tersebut akhirnya diselesaikan dengan cara
Rejosari atas kerjasama investasi dengan Investor dengan sistem
Pembiayaan Bangun Guna Serah/BOT (Build Operate & Transfer).
Hasil Kepala DISPERINDAGKOP dan UKM Kota Salatiga
menerbitkan Surat Penunjukan Badan Hukum kepada PT Patra
Berkah Itqoni pelaksana dari pekerjaan investasi Pasar Rejosari,
sebagaimana tersebut dalam Surat Kepala DISPERINDAGKOP dan
UKM Kota Salatiga Nomor:511/924/106 tertanggal 21 Nopember
2011.
Pemerintah Kota Salatiga dengan PT Patra Berkah Itqoni
membuat dan menandatangani Kesepakatan Bersama (MoU)
tentang kerjasama Pembangunan Pasar Rejosari Kota Salatiga,
sebagaimana tersebut dalam Kesepakatan bersama (MoU)
Nomor:41/Perj-XII/2011, No.09/MoU/PBI-S3/2011 tertanggal 6
Desember 2011. Dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam
pembangunan tersebut antara lain ; Perencanaan pembangunan
Pasar Rejosari harus mendapat pengesahan dari SKPD teknis,
gambar rencana dan gambar detail, perhitungan struktur termasuk
laporan penyidikan tanah, perhitungan mekanikal dan elektrikal,
rencana kerja dan syarat-syarat, rencana anggaran biaya, dan
spesifikasi teknis kontruksi.
Sedangkan dalam pelaksanaan pembangunan PT PBI harus
memenuhi, yaitu berita acara kesepakatan sosialisasi sebagai
rencana revitalisasi pasar Rejosari, berita acara kesepakatan
sosialisasi harga kios dan los kepada para pedagang, berita acara
hasil kesepakatan musyawarah relokasi pedagang ke tempat
Menindaklanjuti proses penataan dan pembangunan kembali
Pasar Rejosari, PT PBI telah menandatangani berita acara tentang
Sosialisasi Dalam Rangka Pembangunan Pasar Rejosari Salatiga,
sebagaimana tersebut dalam Berita Acara Sosialisasi Dalam Rangka
Pembangunan. Pasar Rejosari Salatiga tertanggal 8 Mei tahun 2012;
Bahwa sesuai dengan Berita Acara Sosialisasi di atas, berisi tentang
kesepakatan antara beberapa orang yang mengaku sebagai
perwakilan para pedagang2 dan PT PBI tentang Harga Jual Los dan
Kios dari Pasar Rejosari Salatiga yang akan dikenakan biayalos
dengan ukuran 1.5x1.5 = 2.25 m² sehargaRp. 20.434,-/hari;
sedangkan dengan ukuran 1.5x2 = 3 m² seharga Rp. 27.245,-/hari;
dan 2 x2 = 4 m²seharga Rp. 36.326,-/hari. Kios dengan ukuran 2x2
=4 m² seharga Rp. 52.471,-/hari; dan dengan ukuran 2x3=6 m²
seharga Rp. 78.707,-/hari. Bahwa apabila dikaitan dengan
catatan-catatan sebagaimana tersebut diatas maka harga rata-rata harga
los yang harus dibayarkan selama masa angsuran 5 tahun sebesar
± Rp.9.000.000,-/m² dan kios sebesar ± Rp. 13.000.000,/m².
kesepakatan harga ini dirasakan sangat memberatkan bagi P3R
Baru.
Dalam perjanjian yang dibangun antara pemerintah kota
Salatiga, investor, dan P3R Lama sebagai perwakilan pedagang
sudah memenuhi prosedur yang sudah ditentukan terutama bagi
pedagang lama pasar Rejosari mendapatkan hak istimewa sehingga
pedagang lama tetap bisa berjualan dengan tempat yang strategis.
4.3Bentuk-Bentuk Resistensi Pedagang 4.3.1 Mobilisasi Sumber Daya
Keberhasilan suatu gerakan dapat dipastikan bagaimana
gerakan tersebut mampu menekan dan memberikan ancaman yang
sepadan pada stabilitas dan tatanan sosial. Sehingga
tuntutan-tuntutan mampu diperjuangan dan dipenuhi, dengan legitim
politik. Biasanya hal-hal ini terjadi karena tidak adanya akses
memperjuangkan kepentingannya dan tertutup oleh
kepentingan-kepentingan elit yang lain. Salah satu hakikat kebijakan publik
adalah konflik, khususnya memperebutkan sumber daya politik
pada suatu kawasan baik sumber daya politik yang berasal dari
ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. kebijakan publik muncul
ditengah konflik, dan sebagaian besar untuk mengatasi konflik
yang telah, sedang, dan akan terjadi (Dwidjowijoto, 2007).
Keberhasilan P3R Baru membangun gerakan massa yaitu
mampu menggabungkan masyarakat dan mahasiswa Salatiga
untuk ikut dalam garis perjuangan pedagang sehingga
diperolehnya kekuatan massa yang tidak hanya banyak namun
juga mempunyai kontribusi secara pemikiran sehingga berjalan
tidak asal-asalan.
Membangun jejaring internal dan eksternal menjadi penting
dibangun dari internal pedagang saja, karena hal tersebut tidak
membuat gerakan itu semakin kuat malah semakin melemah
karena tekanan dari elit politik akan membenturkan pedagang
pada kebutuhan ekonomi dari internal aktor dari pedagang sendiri,
sehingga pembangunan jejaring eksternal pedagang menjadi kunci
bagi pedagang untuk terus mempunyai kekuatan melakukan
resistensi.
Penguatan dari internal pedagang sendiri, dilakukan P3R Baru
dengan terus melakukan pertemuan internal membahas tindakan
berikutnya yang bisa dilakukan P3R Baru untuk menarik pedagang
pasif supaya ikut bergabung dengan gerakan, biasanya dilakukan
dengan bercerita dan perkeluh kesah dengan kondisi pasar.
Tindakan ini membuahkan hasil karena pada akhirnya hampir 60
pedagang ikut dalam demonstrasi pada 17 Maret 2015.
Dirasa penguatan internal saja tidak cukup dalam membangun
gerakan, karena akhirnya memunculkan pedagang hanya
ikut-ikutan saja tidak berani dan tidak mau untuk tergabung dalam P3R
Baru sehingga P3R baru yang aktif hanya pengurusnya saja,
sehingga penguatan eksternal dilakukan secara bersama-sama
dengan cara P3R Baru menarik simpati dengan melakukan sharing
atau diskusi bersama-sama dengan LSM.
Pada waktu itu sempat melakukan safari beberapa pedagangyang ditunjuk untuk
melakukan safari ke LSM-LSM memaparkan
kemudian ke STAIN dan pedagang sendiri yang
jelas ada yang namanya pak suroso, kemudian
pak widodo, pak rukimin, dan alm. Tiarso 3.
Akhirnya pedagang mendapatkan simpati, dengan bimbingan
Bonifasius sebagai penasehat hukum, dan SPPQT sebagai
pendamping aksi mengumpulkan mahasiswa dari organisasi
ekstrakampus untuk bergabung bersama-sama P3R melakukan
aksi-aksi terorganisir yang akhirnya menamakan diri sebagai
Gemmpar (Gerakan Masyarakat Mahasiswa Perduli Pasar Rejosari).
Simpatisan yang terlibat dari FPPI (Front Pergerakan Pemuda
Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan dari
UKSW, yang kemudian meluas karena adanya devisi konsolidasi
massa dimana bertugas untuk mencari simpatisan, yang akhirnya
bertambah dari PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia),
BEM Stie Ama, dan LMND (Liga Mahasiswa Nasional Untuk
Demokrasi).
P3R Baru mulai muncul kesadaran bahwa massa begitu penting
dalam membangun sebuah gerakan, sehingga melakukan diskusi
bersama pengacara, safari ke LSM-LSM, dan pertemuan-pertemuan
internal pedagang sebagai bentuk adanya desakan kepentingan
yang mulai terancam. Sehingga pengorganisiran konsentrasi massa
menjadi penting, strategi mobilisasi sumberdaya (resource
mobilization), menjadi cara pedagang guna memperoleh dukungan
dari oramg-orang diluar kepentingannya untuk bersama-sama
melakukan resistensi, atau hanya sekedar mendapatkan simpati
sehingga bisa menjadi buah bibir serta keresahan dari masyarakat
sekitar yang mengahui permasalahan tersebut, sehingga mampu
memberikan tekanan kepada pihak lain. Akhirnya dengan
terorganisirnya massa pedagang mampu melakukan aksi-aksi
seperti demonstrasi pembuatan press release, pemasangan
spanduk dan pembuatan zine serta pemberitaan menggunakan
jalur alternatif atau pembingkaian situasi didepan publik.
Gambar 1
Elemen-elemen yang terlibat dalam Gemmpar
Keberhasilan pedagang dalam membentuknya gerakan P3R
Baru menjadi Gemmpar, yaitu sebagai keberhasilan P3R Baru
dalam membangun jejaring untuk memperjuangkan
kepentingannya tidak hanya membantu P3R Baru dalam
mengorganisir gerakan tetapi juga menguatkan secara mental,
karena dengan adanya Gemmpar perjuangan P3R Baru mampu
dikenal masyarakat secara luas. Pembangunan opini publik melalui
pembuatan pamflet dan zine yang memungkinkan masyarakat luas
4.3.2 Framing/Pembingkaian
Pembentukan opini publik menjadi bagian penting dalam
gerakan sosial, keberhasilannya bagaimana masyarakat secara luas
bisa tahu atau bahkan ikut bergerak karena bersimpati dengan apa
yang terjadi pada si aktor bahkan mampu membuat permasalahan
dari si aktor menjadi permasalahan semua orang. Begitu juga yang
dilakukan Gemppar guna menjadikan permasalahan Pasar Rejosari
menjadi permasalah umum dengan cara pemasangan spanduk yang
dipasang di atas ruko yang menghadap ke perempatan jalan raya
sehingga orang tidak hanya orang Salatiga yang melihat namun
juga orang yang dalam perjalan ke arah Solo.
Gambar 2
Pemasangan Spanduk di depan Pasar Rejosari
Spanduk dilakukan pada hari menjelang adanya gusuran paksa
yang dilakukan pemkot. Hal ini menunjukkan secara
terang-terangan adanya perlawanan pedagang kepada pihak pemerintah
kota Salatiga. Sehingga tidak lama kemudian datang Satpol PP
zine yang digunakan untuk menarik massa, yang tidak hanya
disebarkan dikalangan akademisi tetapi juga kepada masyarakat
secara umum. Berikut merupakan rincian dari zine yang dibuat
Gemmpar :
Gambar 3 Cover Zine pertama
Pada cover zine menunjukkan adanya resistensi dari pedagang
Rejosari, ditambah lagi dengan gambar orang menggunakan caping
yang menunjukkan rakyat bawah tanpa akses politik dengan
tangan mengepal yang menunjukkan keberanian serta tulisan
Ekonomi Rakyat pada bajunya menunjukkan perlu tututan pedagang kepada elit politik untuk memihak kepada perekonomian
rakyat. Kemudian adanya tulisan Terima, Baca Lalu Sebarkan
menunjukkan perjuangan rakyat harus disebarkan kesemua orang
berimbas kepada pedagang saja tapi juga kepada rakyat secara
luas.
Gambar 4 Zine kolom 2
Zine ini terdiri dari 8 kolom yang berisikan gambar-gambar dan
penjelasan pada seperti yang tertera pada contoh zine diatas jika
pada kolom kedua zine ini ingin menyampaikan apa itu monopoli
pasar serta apa akibatnya. Pada kolom ke 3 menjelaskan bahwa
harga yang disepakati memberatkan pedagang, kolom ke 4
menjelaskan bahwa pemerintah kota sebagai pengambil kebijakan
tidak bersikap demokratis dengan mengabaikan kepentingan
pedagang. Kolom ke 5 menyampaikan bahwa pemerintah kota
tidak belajar dari penanganan pasar-pasar sebelumnya yang
menggunakan metode yang sama yaitu dengan menggandeng
investor yang berakhir makrak dan merugikan pedagang. Pada
tersebut dibangun untuk kesejahteraan masyarakat dengan tingkat
ekonomi menengah kebawah4.
Kesimpulannya zine ini dibuat untuk menjelaskan secara
singkat persoalan kasus pasar Rejosari sehingga bisa dengan
mudah dipahami publik, dengan menjelaskan dari latar belakang
disertai dengan solusinya.Pengonsepan terkait dengan framing
dilakukan untuk menyalurkan infromasi, ideologi, keresahan, dan
perasaan tertekan dari kelompok sosial yang melakukan
perlawanan kepada pihak lagi, bisa melalui media yaitu media
cetak, elektronik, buku, pamflet, dan tanpa media bisa melalui
orasi, debat publik, ataupun diskusi sehingga dapat melempar isu
sehingga kelompok masyarakat lain dapat ikut bergabung dalam
melakukan resistensi tersebut. Aktor gerakan sosial bisa
menggunakan strategi yang berbeda untuk masuk kedalam
kelompok sosial yang ingin dipengaruhi untuk ikut terlibat
didalamnya.
Tidak hanya berhenti di Zine penyebaran poster juga dilakukan
desainnya memang dibuat sama, Ini sebuah cara menyakinkan
kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka
mendorong mendesak sebuah perubahan. Sehingga dalam framing
ada dua komponen penting yang perlu diperhatikan yaitu diagnosis
elemen atau mendefinisikan masalah dan sumbernya dan prediksi
elemen sekaligus mengidentifikasi strategi yang tepat untuk
memperjuangkan masalah tersebut (Snow dan Banford,1988).
Dengan begitu poster ini dibuat dengan berisikan ini berisikan
alasan kenapa Gemmpar menolak Revitalisasi pasar dengan
investor dan pembangunan dengan model modern bertingkat.
Gambar 5
Poster yang Juga Berupa Undangan untuk Ikut bergabung
Poster ini dibuat juga merupakan ajakan untuk ikut
bergambung dalam Gemmpar, poster ini juga digunakan untuk
menggugah masyarakat agar tahu bahwa permasalahan ini adalah
permasalahan bersama.Dalam setiap pembentukan opini memang
dilakukan oleh para akademisi yang terlibat didalamnya, terutama
dilakukan oleh devisi Agitasi dan Propaganda didalam Gemmpar.
5. Penutup
Bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan P3R Baru yaitu
mobilisasi sumber daya dengan cara meminta bantuan kepada
LSM-LSM, pengacara, dan mahasiswa untuk ikut dalam perjuangan
pedagang sehingga terbentuklah Gemmpar. Kedua, proses
pembingkaian yang dilakukan Gemmpar untuk mendapatkan
simpati publik dengan cara penyebaran pamflet, pemasangan
Daftar Pustaka
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2007. Analisis Kebijakan. PT Alex
Media Komputindo. Jakarta
Klandermans, Bert. 2005. Protes Dalam Kajian Psikologi Sosial.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Lughod, Lila Abu. The Romance Of Resistance : Tracing Tranformation of The Power Though Bedouin Women
Website : http://www.jston.org/pss/645251
Miller, Valerie dan Jane Covey. 2005. Pedoman Advokasi :
Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Yayasan Obor Indonesia.
Yogyakarta
Snow, David A & Robert D. Benford. 1988. Ideology, Frame
Resonance and Participant Mobilization. JAI Press. Greenwich
Conn.
Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan sosial Studi Kasus
Beberapa Perlawanan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Triwibowo, Darmawan. 2006. Gerakan Sosial : Wahana Civil Society
bagi Demokrasi. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta
Wilson, John. 1973. Introduction To Social Move. New York. Basic
book, Inc
Zeitlin, Irving M. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Gadjah Mada