‘Literate’ dan ‘Liberate’:
Kaum Terdidik dan Liberalisme Salah Arah
Oleh : Afandi Satya .K
Sebuah motto dalam bahasa Latin di logo Saint John College Amerika Serikat yang lahir pada tahun 1696 berbunyi, “facio liberos ex liberis libris libraque” (dengan buku dan keseimbangan, saya menjadikan anakanak yang lahir sebagai manusia merdeka). Motto tersebut menjadi tujuan Saint John College untuk membuat muridmurid merdeka melalui pendidikan liberal dengan berpedoman pada kurikulum ‘Great Books’, yakni sejumlah 100150 jenis literatur berbeda yang menjadi pondasi utama kebudayaan Barat, yang tetap berlaku hingga hari ini. Pada motto tersebut, terdapat dua hal yang saling berkaitan, yakni keberaksaraan (competency of ‘literate’) dan paham tentang kebebasan (ideology of ‘liberate’), selain juga gambaran singkat mengenai semangat liberalisme dalam peri kehidupan Barat. ________________________________________________________________________________
Liberalisme
Sebagai sebuah paham, liberalisme berasaskan pada esensi kata liberal—yang menjadi ruh sekaligus nafas dari paham tersebut. Oxford Wordpower mendefinisikan kata liberal sebagai sebuah sikap yang terbuka, “ willing to accept different opinions or kinds of behaviour; tolerant ” (Oxford, 2011:460). Namun, pengertian tersebut cenderung mengaburkan makna ‘liberal’ itu sendiri jika tidak ditelusuri pada asal katanya. Definisi yang diberikan oleh kamus Oxford adalah salah bentuk aspek ethic, titik akhir dari keniscayaan yang seharusnya terjadi oleh karena paham liberal atau sistem liberal yang dianut. Secara terminologis, ‘liberal’ bermakna sebagai freedom, ‘kebebasan’, meski secara literal, makna ‘liberal’ adalah
‘tolerant’, berantonim dengan sifat “ conservative, intolerant, strict, oppressive,
totalitarian” (Parker, 2008:133). Bisa juga ia disebut sebagai ‘ libertate’ untuk kata
yang semakna dengan ‘ freedom’ (Parker, 2008:133). Hal ini dibuktikan dalam bahasa Latin, ‘ liberatus’, yakni bentuk past participle (Verb 3) dari kata ‘ liberare’ yang bermakna ‘merancang kebebasan’, dari asal kata ‘ liber’ dengan pengucapan ‘i’ panjang, yang bermakna ‘bebas’ sebagaimana dalam kalimat, “ de oppresso liber (liiber)”, “merdeka dari penindasan”. ‘ 1 Libertus’ dimaknai sebagai seorang yang terbebas dari belenggu perbudakan: a freedman (Riddle, 1838:180). Dalam bahasa Perancis, kata liberal memiliki medan makna yang sama dengan dengan kata liberal dalam bahasa Inggris, ‘ liberate’ yang berarti “to set free; to set freedom” misalkan pada kalimat, “ Voltaire aura incarné la force de la culture à éclairer et à libérer les peuples”, yang berarti “Voltaire memasukkan kekuatan budaya untuk mencerahkan dan membebaskan masyarakat. Ia termasuk juga sebagai ‘ free will ’, atau ‘ libré’,
‘liberté’, seperti dalam kalimat “ Il vous est libre de faire ce qu’il vous plaira ”, “ you may
do what you please (with freewill) ” (Boyer, 1833:325). Esensi kata ‘liberal’ berarti sebagai sebuah sifat ‘liberty’, ‘ freedom’, atau kebebasan. Kamus Bahasa Indonesia (KBI) memaknai kata ‘liberal’ sebagai, “sifat yang condong kepada kebebasan; orang yang berpandangan bebas (luas dan terbuka)” (Pusat Bahasa, 2008:857). Dengan makna asal sebagai sifat yang terus memperjuangkan kebebasan, dengan demikian paham ‘liberal’ (liberalisme) dapat dilihat sebagai sebuah paham yang menyiratkan perjuangan kebebasan atau serangkaian usaha untuk membebaskan diri dari berbagai macam unsur yang mengekang kebebasan, kemerdekaan, dan kemajemukan dalam dan oleh berbagai unsur, baik itu ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama yang mewujud dalam bentuk otoritas; teks (dogma), individu atau kelompok. Kendati dipenuhi oleh semangat ‘pembebasan’, dalam Liberalisme, setiap individu berhak untuk menentukan nilainilainya sendiri yang berasal dari apa yang ia inginkan tanpa ada satu pun bentuk campur tangan maupun paksaan dari pihakpihak di luar dirinya untuk menggunakan nilainilai yang ia pilih itu. Oleh karena itu, sebagai sebuah paham yang memusatkan perhatiannya pada individu,
liberalisme terkait erat dengan humanisme—di mana ukuran kebenaran adalah manusia—yang berarti nilai kebenaran selalu berubah seiring berubahnya manusia. Sandra Pralong (Suda & Musil, 2000:85) bahkan menyimpulkan dalam kalimat sarkastik bahwa sejatinya Liberalisme adalah sistem tanpa nilai. 2
Dalam pengertian yang lebih padu, Liberalisme mencakup filsafat politis yang mengakui kebebasan individu sebagai tujuan politik yang paling utama, dan memberi penekanan pada hakhak individu dan persamaan kesempatan. Liberalisme adalah sebuah filsafat pemerintahan dan sosial ( government and social philosophy) yang menekankan pada kata ‘kemerdekaan’, ‘ liberty’, sebuah kata yang penuh tenaga dan melintasi generasi (Reitan, 2003:1). Dari berbagai aliran liberal yang ada, semuanya sepakat bahwa apa yang kaum liberal perjuangkan adalah sejumlah prinsip seperti kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berbicara, pembatasan kekuatan pemerintah, penerapan peraturan hukum, ekonomi pasar, dan sistem pemerintahan yang demokratis dan transparan. Liberalisme meyakini bahwa masyarakat seharusnya diatur bersesuaian dengan Hak Asasi Manusia yang tidak berubah dan tidak dapat diganggu gugat, terutama hak untuk hidup, hak kebebasan, dan properti. Selain pada pembatasan campurtangan pemerintah pada 3 individu, liberalisme juga berarti sebuah kepercayaan pada rasionalitas dan tanggung jawab individu (Emy, 1973:2). Dalam bentuk yang lebih ekstrim dan radikal, Liberalisme mewujud sebagai anarkisme—yang jika dipandang dari sudut
2 “I shall argue that the ‘value’ of liberalism is precisely that it lacks any claim to substantive values, both for
the individual and collectively. Thus liberalism’s greatest value is … the absence of values!”
3 Terdapat dua macam pemikiran besar yang terkait dengan Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan
Liberalisme Sosial. Liberalisme Klasik meyakini bahwa kemerdekaan yang asasi adalah “kemerdekaan dari segala macam paksaan”, dan bahwa intervensi negara dalam tataran ekonomi adalah sebuah bentuk kekuatan yang memaksa terjadinya pembatasan dalam kebebasan ekonomi setiap individu. Sedangkan, Liberalisme Sosial berpendapat bahwa pemerintah harus memainkan peran aktif dalam mengajukan dan menjamin kebebasan para rakyatnya, kemerdekaan atau kebebasan sejati hanya akan terwujud jika rakyat berada dalam kondisi sehat, terdidik, dan terbebas dari kemiskinan yang mengerikan. Selain dua macam aliran tersebut, masih ada beberapa aliran Liberal lainnya seperti; Liberalisme Konservatif, Liberalisme Ekonomi, Liberalisme Baru (Neoliberalism), Liberalisme Amerika, Libertarianisme, Liberalisme Nasional, Ordoliberalisme, Paleoliberalisme, dan Liberalisme Kultural.
pandang sejarah, liberalisme maupun anarkisme samasama berdiri sebagai lawan dari berbagai bentuk otoritarianisme; baik itu komunisme, sosialisme, fasisme, atau jenis lain dari totalitarianisme. Seiring berjalannya waktu, pada beberapa dekade berjalan, pengertian Liberalisme juga perubahan yang membuat maknanya berbeda dengan liberalisme yang muncul pertama kali (von Mises, 1985:v).
Perkembangan Liberalisme: Peran ‘Literate’
Liberalisme memiliki genealogi atau silsilah yang merujuk pada tiga masa; demokrasi Yunani, kesadaran Renaissance pada kepribadian individu, dan penekanan pada reformasi hubungan antara manusia dengan tuhannya (Reitan, 2003:2). Perkembangan Liberalisme awal ( early liberalism ) yang pertama terjadi ketika King John (11661216) di Inggris, pada tahun 1215 mengeluarkan dokumen
Magna Charta (Piagam Besar, Great Charter ) atau yang juga disebut sebagai Magna Carta Libertatum (Piagam Besar tentang Kemerdekaan) yang membatasi otoritas raja. Selanjutnya, perkembangan liberalisme terus berjalan terutama setelah terjadinya “ The Glorious Revolution of 1688 ” di Britania yang setahun setelahnya, Bill of Right diakui oleh parlemen Inggris dengan isi; penghapusan kekuasaan raja, jaminan terhadap hakhak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Proses lahirnya liberalisme yang damai di Inggris, tidak terjadi di daratan Eropa raya yang berada di seberang gugusan pulau Britannia Raya. 4
4 Pendapat yang mungkin untuk dijadikan alasan sebab lahirnya Liberalisme yang damai di Inggris dan tidak
demikian dengan negara di daratan Eropa, yakni Perancis, yang lebih disebabkan oleh adanya perbedaan faktor kebudayaan (Perancis (baca: Eropa) yang terkekang oleh Roma, dan Inggris, yang mandiri dan tidak terkekang oleh Roma), selain kemungkinan faktor sentimen Raja Henry VII yang menolak tradisi Katolik untuk tidak bercerai dengan istrinya sampai mati. Raja Henry VII menceraikan istrinya, Ratu Catherine dari Aragon untuk dapat menikahi Anne Boleyn. Keputusan Henry VII sekaligus menandai keputusannya untuk memisahkan hubungan antara Inggris dengan Vatikan, dengan berdirinya ordo baru bernama Anglikan. Bebasnya Inggris dari pengaruh Roma yang juga mengekang otoritas raja dan kemerdekaan berpikir para cendekiawan, besar kemungkinan memicu timbulnya revolusi damai 1688 yang timbul lebih karena kesadaran akan Liberalisme, bukan karena kebutuhan akan Liberalisme seperti yang dialami oleh Perancis. Di luar masalah tersebut, hal yang tak kalah kuat menjadi pembeda proses terjadinya Liberalisme di Inggris dan Perancis adalah masalah kebudayaan. Seorang sarjana sejarah Eropa, Henri Pirenne menyebutkan bahwa identitas mayoritas masyarakat di dataran Eropa adalah identitas Romawi, sedangkan Inggris lebih
Revolusi Perancis yang digerakkan oleh ideide liberal pada 17891799 memainkan peranan penting bagi masa depan Liberalisme, di lain hal, Revolusi Perancis juga muncul sebagai titik kulminasi muaknya masyarakat sipil, terutama dipelopori oleh kaum pelajar terhadap dominasi para monarch (raja) dan bishop (tokoh agama di gereja) yang telah lama melakukan pengekangan dalam bentuk pemikiran, dan hak milik. Selain dikenal sebagai 5 Declaration of the Right Man and the Citizen , Revolusi Perancis juga muncul oleh pemikir liberal abad ke18 seperti FrançoisMarie Arouet (Voltaire) (16941778) dan Baron de Montesqiau (16891755) yang terinspirasi oleh contoh kesuksesan Liberalisme yang terjadi di Inggris (Reitan, 2003:2). Namun, Liberalisme secara keseluruhan tidak dibangun oleh satu orang tokoh saja, melainkan muncul dari rangkaian pemikiran para sarjana Barat yang bermula setelah masa skolastik, yang semua sarjana itu meski memiliki konsep berbeda, tetap memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, ketika 6 Revolusi Perancis pecah, slogan yang didengungkan adalah nafas yang telah mereka (para sarjana) itu mimpikan sejak lama, “ liberté, égalité, fraternité,” (kebebasan, keadilan, persaudaraan) dengan satu kata yang berfungsi sebagai opsi pada akhirannya, “ ou la mort! ” (atau mati!). Dengungan nafas dan semangat ideide liberal yang dihembuskan pada zaman Empirisme dan Rasionalisme menimbulkan corak bagi cikal bakal corak kebudayaan Eropa modern; ilmu alam dan ilmu pasti berkembang, menentang tradisi menjadi sangat kritis, analisis psikologis dipentingkan, bahasa Latin ditinggalkan sebagai bahasa ilmiah dan diganti
pada identitas Nordik. “Negeri Inggrislah di antara negerinegeri Kaum Biadab yang paling sedikit mengalami pengaruh kebudayaan Romawi, dan disitu kesusilaan dunia baru Jerman dan Nordik telah berdaya memperkukuh diri. Disitu mereka hidup sebagai dirinya sendiri. (AlAttas, 1972:7)”
5 ‘The Father of Liberalism ’, John Locke melalui Two Treatises on Government pada tahun 1689 menetapkan
dua pemikiran yang mendasar mengenai Liberalisme, yakni kemerdekaan ekonomi—yang berarti sebagai hak untuk memiliki dan menggunakan barang miliknya—dan juga kemerdekaan intelektual yang juga mencakup mengenai kemerdekaan nurani, ‘freedom of conscience’.
6 Lihat corak rangkaian pemikiran daripada para sarjana terhadap ideide Liberalisme; John Locke
(16321704), David Hume (17111776), J.J Rousseau (17121778), Adam Smith (17231790), dan Immanuel Kant (17241804).
bahasabahasa modern, watakwatak perseorangan dan nasional lebih tampak ke muka, citacita kebebasan menjadi anarki (Sudiarja, dkk, 2006:1044).
Pada abad ke18, kata ‘ liberty’ memiliki makna sebagai kemerdekaan
(independence) atau hakhak istimewa ( privileges) bagi kelompokkelompok khusus
terhadap hakhak individual, yang mana oleh John Locke (16321704), ditegaskan melalui hakhak kodrati yang melekat pada seluruh manusia; hak hidup, kemerdekaan, dan hak kepemilikan (Reitan, 2003:1). Liberté menggambarkan cita tentang kebebasan dari segala kungkungan otoritas gereja dan raja, égalité menggambarkan cita tentang kesejahteraan yang tidak merata dari ancaman diskriminasi sosial, fraternité adalah cita tentang bangsa yang bersatu padu dalam satu semangat, dan ou la mort adalah pilihan terakhir dalam bentuk anarkisme yang menjadi semangat—jika tidak dapat dibilang sebagai keputusasaan—untuk memilih satu dari dua hal: liberté, égalité, fraternité di satu sisi dan ou la mort di sisi yang lain, semakna dengan perkataan jenderal John Stark pada tahun 1809 dalam Perang Revolusi Amerika, yang mengatakan, “ live free or die: death is not the worst of evils ”, “merdeka atau mati”, “hidup mulia atau mati syahid.” Artinya, kematian dalam berjuang, atau kematian itu sendiri adalah lebih baik daripada tidak terwujudnya
liberté, égalité, fraternité. Kasus ini juga sama dengan pernyataan Patrick Henry yang menyatakan, “ give me liberty, or give me death! ” ketika berusaha meredam gangguan gubernur Dunmore pada Konvensi Virginia kedua di St. John’s Church, Williamsburgh pada 1755. Apa yang disampaikan oleh Patrick Henry memiliki dua makna; pertama, sebagai klaimnya sendiri atas posisinya sebagai seorang individu. Kedua, sebagai tuntutan merdeka dari koloni Virginia dari kaum asing dan pemerintahan tirani Raja George III. Piagam Kemerdekaan, Declaration of Independence 1776 merupakan satu bentuk deklarasi yang bernafaskan dua maksud
‘liberty’ pada kasus Patrick Henry (Reitan, 2003:1). Bagi Liberalisme, unsur apapun
yang menciderai prinsip kebebasan adalah ancaman bagi kehidupan ideal yang
semestinya dilawan. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaan ketika Revolusi Perancis berhasil, pengusung ide Liberalisme—dan juga mereka yang setuju—enggan untuk mengulangi masa kelam mereka dahulu dengan memberikan atau sekedar membiarkan peluang bagi unsurunsur yang pernah mengekang kebebasan untuk meraih otoritasnya kembali. Dekonstruksi adalah alat yang paling efektif untuk mencegah kembalinya otoritas bagi mereka yang pernah menciderai prinsipprinsip liberal.
Ada banyak faktor yang membuat pasang surut Liberalisme, yang semuanya berkaitan pada pengalaman hidup kaum terdidik ( scholar) pada masamasa skolastik hingga masa ketika sebagian besar masyarakat Eropa akhirnya sepakat bahwa Liberalisme adalah jalan keluar bagi permasalahan lokal mereka—yang mana hal ini ditunjukkan dengan pemberian dukungan pada pecahnya Revolusi Perancis di akhir abad yang ke18 Masehi—dan sayangnya, dijadikan sebagai patokan baku bahwa pengalaman lokal dan kekecewaan mereka terhadap otoritas politik maupun agama adalah pengalaman universal semua bangsa. Akhir hidup 7 yang tidak baik, yang dialami oleh Giordano Bruno (15481600) setelah berpikir tentang panteisme, monade, dan emanasi, juga bantahan Copernicus dan pembuktian ilmiah Galileo (15641642) mengenai tata surya sekaligus untuk membantah pendapat geosentris Ptolomeus yang telah ditetapkan oleh gereja sebagai sebuah kebenaran a priori —bahwa bumi itu datar dan seperti pulau yang mengapung di udara—mengakibatkan mereka berakhir di bawah hukuman gereja dengan tuduhan sebagai pelaku inovasi, tindak heretik (bid’ah) yang murtad. 8
7 Sebagai catatan, Revolusi Perancis tidak digagas oleh para filosof besar seperti Descartes, Hume, maupun
Hegel. Revolusi Perancis terjadi karena usahausaha sebuah kelompok yang dinamakan sebagai philosophes , yakni kelompok nonfilsuf akademis profesional yang lebih sebagai tipe cendekiawan, pencipta opini, aktivis politik dalam ilmu pengetahuan dan seni, pemberitaan dan pengkaji gagasan para filosof. Sebagian anggota philosophes adalah tokoh penyair, dramawan, sejarawan, esais, seperti Voltaire, Diderot, La Metrie, Helvetius dan Holbach.
8 Gereja menanggapi teori Copernicus dengan sangat keras, para ilmuwan yang mendukung teori
heliosentris segera dikucilkan, dipenjara, dianggap murtad. Copernicus sadar dengan reaksi gereja sehingga ia mengumumkan teorinya secara diamdiam, akan tetapi para pengikutnya seperti Bruno maupun Galileo
Hukuman inkuisisi yang ditetapkan oleh gereja pada siapapun yang melawan doktrin gereja adalah jerami pemantik bagi api kebencian kaum terdidik ( literate) bahwa agamawan (gereja) adalah musuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir yang pada akhirnya menjadi prasyarat bagi kukuhnya Liberalisme—bahwa untuk meraih hidup yang merdeka, sebelumnya seseorang itu harus merdeka dahulu dari kungkungan agama, atau teksteks agama yang dianggap memiliki penafsiran tunggal ( rigid). Secara perlahan, satu per satu bukti yang9 menyatakan bahwa gereja—sebagai representasi agama—telah berperan besar dalam menghambat kebebasan kodrati dan ilmu pengetahuan, terbongkar pada masa filsafat Modern ketika empirisme dan rasionalisme menjadi semakin kritis terhadap segala hal, terlebih ketika berhadapan dengan ilmu “mengenai ada yang nampak” (fisika), juga ilmu “mengenai ada yang tidak nampak” (metafisika) yang samasama membedah pengetahuan warisan ( taqlid) doktrin gereja. Sementara itu, otoritas gereja nampaknya lebih memilih untuk tetap berpegang teguh pada ‘kebenaran’ ‘teksteks suci’ yang terbukti tidak sejalan dengan buktibukti ilmiah daripada menerima kebenaran pembuktian ( bayan, demonstrasi ) secara lapang dada. Gereja bahkan mengeluarkan semacam antagonisme untuk mempertahankan dan melakukan pembelaan terhadap kebenaran a priori nya tentang kesakralan injil, Paus, gereja, dan Curia Romana 10 yang terancam oleh ilmu pengetahuan dengan menghukumi pelanggarnya sebagai orangorang murtad, kafir, pelaku bid’ah yang patut dihukum dengan hukuman sepihak bernama inkuisisi. Dengan berbagai
menyuarakannya dengan apa adanya. Sebagai akibatnya, pada 1600 gereja membakar hiduphidup Bruno di Roma. Seorang naturalis bernama Vanini juga dibakar hiduphidup pada 1620 di Toulouse, demikian pula Foontainer di Paris setahun setelah kematian Vanini. Galileo agaknya lebih beruntung karena ia hanya dikenakan hukuman tahanan rumah seumur hidup, dipaksa berlutut dan menyangkal keyakinannya mengenai Heliosentrisme dan harus membaca tujuh ayat Zabur seminggu sekali selama tiga tahun.
9 Lihat definisi tentang Liberalisme yang diberikan oleh Simon Blackburn dalam Oxford Dictionary of
Philosophy, “liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari
ikatanikatan agama dan ideologi (Blackburn, 2005:209210).”
10 Departemen yang bertanggung jawab pada ajaran dan semua hukum kanon gereja Katolik ( codex luris
cannonici), yang juga berfungsi sebagai pengatur tatatertib aturan gereja (regula fidei).
macam faktor tersebut, gereja semakin memperkuat keyakinan para sarjana dan rakyat bahwa gereja melakukan pengekangan terhadap hakhak dasar manusia secara semenamena. Bahkan, pandangan buruk pun semakin bertambah ketika rahasia gereja mengenai penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya terbongkar. Kini gereja tidak hanya menghadapi kritikan dari luar, yakni para sarjana yang bukan agamawan, tetapi juga oleh para sarjana yang berasal dari lingkungan gereja itu sendiri. Ditemukannya mesin cetak oleh seorang anggota keuskupan agung di Mainz, Johannes Gutenberg (13981468) pada tahun 1450an adalah awal bencana bagi gereja. Pertama, karena ia telah membuat Gutenberg untuk ‘mengisi waktu luangnya’ mencetak lebih banyak ‘surat pengampunan’ gereja yang banyak disalahgunakan oleh para bishop sebagai komoditi untuk memperkaya diri, dan kedua, karena mesin cetak Gutenberg memicu penyebaran informasi secara lebih cepat dan lebih merata pada masyarakat Eropa—yang menyebabkan meningkatnya jumlah kaum literer, dan kesadaran bahwa liberate adalah jawaban yang diperlukan bagi perubahan kehidupan mereka yang lebih baik. Singkatnya, ditemukannya mesin cetak Gutenberg adalah awal dari berkembangnya liberalisasi sekaligus awal dari kejatuhan gereja.
Martin Luther (14831546) yang menemukan penyalahgunaan otoritas Curia Romana Vatikan (Katolik Roma) pada masalah ‘surat pengampunan’—yang disalahgunakan dengan memperbolehkan dibelinya ‘ letters of credit ’ untuk mendapatkan indulgensia menjadi semacam ‘perdagangan suci, the holy trade’—juga menyerang otoritas gereja dalam melakukan monopoli pada interpretasi injil dengan cara menulis perjanjian baru dalam bahasa Jerman. 11
11 Pada masa Luther, dalam ranah bahasa pengantar ilmu pengetahuan, bahasa Latin memiliki kedudukan
sebagai ‘ lingua franca ’ yang digunakan di seluruh daratan Eropa sebagai bahasa pengantar dalam penulisan karyakarya ilmu pengetahuan. Bahasabahasa daerah (Jerman, Inggris, Perancis, dll disebut sebagai bahasa kampung, “ it’s a language of farmers .” Namun sayangnya bahasa Latin hanya dipelajari secara terbatas oleh para sarjana dan kaum gereja sehingga pemahaman mengenai karyakarya ilmiah, termasuk juga injil yang ketika itu ditulis hanya dalam bahasa Latin.
Luther yang berasal dari ordo Sanct Augustin Eremita menolak monopoli penafsiran gereja dengan menyatakan,setiap orang berhak menafsirkan alkitab menurut Roh yang bergerak di dalam dirinya (Bayer, 2008:89). Orangorang yang membencinya, menyebut Luther sebagai ‘tukang protes’, yang segera menjadi aliran gereja dengan penafsiran baru bernama Protestan. Usaha yang telah dilakukan Luther membawa 12 banyak dampak baru dalam segi politik, sosial, dan agama dalam peri kehidupan Eropa. Pertama, adalah jatuhnya kepercayaan terhadap gereja (yang juga dapat diartikan sebagai kejatuhan otoritas gereja), kedua adalah tumbuh dan mengerasnya semangat identitas kebangsaan regional daerahdaerah di Eropa, 13 ketiga, adalah pemicu bagi jatuhnya kuasa para raja, dan keempat, yang paling penting bagi Liberalisme adalah tersebarnya ‘ frijheit’ (semangat kebebasan atau kemerdekaan), kebebasan menafsir yang ditampilkan oleh Luther telah merangsang kebebasan dalam bidang lainnya, terutama dalam ranah akademik. Mesin Gutenberg menimbulkan kapitalisasi percetakan dan menggemakan suarasuara yang berkaitan dengan ‘ frijheit’. Kemenangan Luther terhadap Vatikan adalah separuh kemenangan liberalisme atas “dua kekuasaan yang mengekang”, yang satu unsur lainnya—otoritas para raja—baru dapat dihancurkan dan kemenangan bulat sepenuhnya terjadi ketika Revolusi Perancis meletus.
Liberalisme Salah Arah
12 Luther disebut gereja sebagai ‘pelaku bid’ah yang keji’. Bahkan Vatikan menetapkan Luther sebagai
buronan agama yang harus ditangkap hiduphidup.
13 Setelah terbitnya injil baru dalam bahasa Jerman, dan dibantu penyebarannya oleh mesin cetak
Gutenberg, imbasnya adalah munculnya kesadaran daerahdaerah regional untuk menjadi bangsa sendiri dengan penguatan unsurunsur partikularnya, yakni bahasa. Banyak raja yang pada mulanya mendukung gereja, tibatiba beralih dengan melepaskan diri dan melakukan penerjemahan kitab suci dalam bahasanya masingmasing. Bahasa Latin mulai ditinggalkan, sementara itu karyakarya ilmiah, humaniora, susastra, dan filsafat, banyak bermunculan dalam bahasa selain Latin.
Revolusi Perancis berhasil membawa Eropa menuju babak baru, bukan dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai lambang bagi dunia modern bahwa ruh
‘frijheit’ dan ‘ liberte’ berhasil berjaya di atas tiran, meski pada kenyataannya, hasil
yang ditampakkan adalah kenyataan yang saling bertentangan. Demokrasi liberal 14 mewujud dalam bentuk republik untuk menggantikan otoritas raja ( monarch), suara rakyat menjadi otoritas politik dan pengawalnya. Bertujuan untuk ‘membebaskan’ manusia dari terkungkungnya hakhak kodrati mereka. Liberalisme mungkin telah berhasil menumbangkan otoritas raja dan membuat otoritas Paus maupun Vatikan menjadi semakin terbatas, akan tetapi ia tidak benarbenar yakin telah berhasil menumbangkan agama (baca: Kristen). Oleh karena itu, agar doktrin agama maupun
para cleric tidak turut dalam otoritas pemerintahan, maka disahkanlah sekularisme
sebagai asas politik yang murni dilandasi oleh prinsipprinsip semangat humanisme, bukan dengan semangat ‘ God Sovereignty ’, yakni supremasi kedaulatan Tuhan melalui hukumhukum yang ia turunkan sendiri melalui kitab sucinya. Bagi Sekularisme, mengukuhkan prioritas pada hakhak manusia adalah lebih penting daripada memperjuangkan hakhak Tuhan. Liberalisme, pada akhirnya bersikap antipati terhadap agama. Jika tidak, Liberalisme mengupayakan dekonstruksi teksteks keagamaan agar sejalan dengan prinsipprinsip humanisme yang sedang berlaku. Pada titik yang lebih ekstrim, liberalisme memicu timbulnya atheisme, revolusi nilainilai adat yang kukuh dalam budaya tertentu dan dianggap mengekang hak kodrati manusia. Liberalisme adalah pembebasan, perjuangan pada kebebasan, dan usaha membebaskan diri dari segala hal yang dianggapnya mengekang. Dalam praktiknya, karena tidak ada batasan mengenai makna
14 “Tujuan politik Revolusi Perancis adalah menjatuhkan rezim Louis XVI dan menggantinya dengan
republiknamun revolusi berakhir dengan pembalikan fakta lainnya, konsekuensi yang tidak diharapkan atas bangkitnya Napoleon yang berkuasa sebagai kaisar Perancis, yang pemerintahan tangan besinya jauh lebih absolut daripada raja yang sudah dieksekusi. Lebih lagi, Revolusi Perancis sebenarnya berdiri untuk kejayaan pandangan perjuangan manusia atas kemerdekaan, namun kenyataannya justru terbalik, berdiri sebagai pandangan kapasitas manusia yang memalukan karena berubah menjadi pemuasan kebiadaban dan pembunuhan masal (Lavine, 2002:184185).”
‘kebebasan kodrati’ yang jelasbahkan kata ‘kebebasan’ mengindikasikan dirinya sebagai lawan dari ‘batasanbatasan’membuat Liberalisme menjadi perjuangan tentang kebebasan yang seringkalidan hampir selalusalah arah dalam perjuangannya.
Daftar Pustaka:
AlAttas, Syed Muhammad Naguib. 1972. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Blackburn, Simon. 2005. The Oxford Dictionary of Philosophy: Second Edition . Oxford: Oxford University Press.
Bayer, Oswald. 2008. Martin Luther’s Theology: A Contemporary Interpretation . Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
Boyer, Abel. 1833. Boyer’s French Dictionary . Boston: Hilliard, Gray and Co. Brattleboro’ Power Press Office.
Emy, H. V. 1973. Liberals Radicals and Social Politics 18921914 . London: Cambridge University Press.
Lavine, T.Z. 2002. Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre . Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Oxford Dictionary. 2011. Oxford Wordpower: EnglishArabic Dictionary AZ . Great Clarendon: Oxford University Press.
Parker, Philip. M. 2008. Webster’s Romanian (Latin Script)–English Thesaurus Dictionary. San Diego: ICON Group International, Inc.
Reitan, Earl. A. 2003. Liberalism: TimeTested Principles for the TwentyFirst Century.
Lincoln: iUniverse, Inc.
Riddle, Joseph Esmond. 1838. A Complete EnglishLatin Dictionary, for The Use of Colleges and Schools . London: Longman, Orme, Brown, Green, and Longmans, PaternosterRow.
Suda, Zdenek, and Musil, Jiri. 2000. The Meaning of Liberalism: East and West . Budapest: Central European University Press.
Sugono, Dendy, dkk. 2008. Kamus Bahasa Indonesia . Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Von Mises, Ludwig. 1985. Liberalism in the Classical Tradition . San Fransisco: The Foundation for Economic Education, Inc.