• Tidak ada hasil yang ditemukan

Literate dan Liberate Kaum Terdidik dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Literate dan Liberate Kaum Terdidik dan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

‘Literate’ dan ‘Liberate’:  

Kaum Terdidik dan Liberalisme Salah Arah 

 

Oleh : Afandi Satya .K   

Sebuah motto dalam bahasa Latin di logo Saint John College Amerika                      Serikat yang lahir pada tahun 1696 berbunyi, “facio liberos ex liberis libris                        libraque” (dengan buku dan keseimbangan, saya menjadikan anak­anak                yang lahir sebagai manusia merdeka). Motto tersebut menjadi tujuan Saint                    John College untuk membuat murid­murid merdeka melalui pendidikan                liberal dengan berpedoman pada kurikulum ‘Great Books’, yakni sejumlah                  100­150 jenis literatur berbeda yang menjadi pondasi utama kebudayaan                  Barat, yang tetap berlaku hingga hari ini. Pada motto tersebut, terdapat dua                        hal yang saling berkaitan, yakni keberaksaraan (competency of ‘literate’)                  dan paham tentang kebebasan (ideology of ‘liberate’), selain juga gambaran                    singkat mengenai semangat liberalisme dalam peri kehidupan Barat.  ________________________________________________________________________________   

Liberalisme 

Sebagai sebuah paham, liberalisme berasaskan pada esensi kata        liberal—yang menjadi ruh sekaligus nafas dari paham tersebut.       ​Oxford Wordpower    mendefinisikan kata liberal sebagai sebuah sikap yang terbuka, “      ​willing to accept      different opinions or kinds of behaviour; tolerant​            ” (Oxford, 2011:460). Namun,        pengertian tersebut cenderung mengaburkan makna ‘liberal’ itu sendiri jika tidak        ditelusuri pada asal katanya. Definisi yang diberikan oleh kamus Oxford adalah        salah bentuk aspek     ​ethic​, titik akhir dari keniscayaan yang seharusnya terjadi oleh        karena paham liberal atau sistem liberal yang dianut. Secara terminologis, ‘liberal’        bermakna sebagai   ​freedom​, ‘kebebasan’, meski secara literal, makna ‘liberal’ adalah       

‘​tolerant​’, berantonim dengan sifat “        ​conservative, intolerant, strict, oppressive,       

totalitarian​” (Parker, 2008:133). Bisa juga ia disebut sebagai ‘       ​libertate​’ untuk kata     

(2)

yang semakna dengan ‘      ​freedom​’ (Parker, 2008:133). Hal ini dibuktikan dalam        bahasa Latin, ‘    ​liberatus​’, yakni bentuk     ​past participle   (Verb 3) dari kata ‘        ​liberare​’  yang bermakna ‘merancang kebebasan’, dari asal kata ‘       ​liber​’ dengan pengucapan ‘i’        panjang, yang bermakna ‘bebas’ sebagaimana dalam kalimat, “      ​de oppresso liber      (lii­ber)”, “merdeka dari penindasan”. ‘      1  ​Libertus​’ dimaknai sebagai seorang yang          terbebas dari belenggu perbudakan:       ​a freedman   (Riddle, 1838:180). Dalam bahasa        Perancis, kata liberal memiliki medan makna yang sama dengan dengan kata liberal        dalam bahasa Inggris, ‘      ​liberate​’ yang berarti “to set free; to set freedom” misalkan        pada kalimat, “    ​Voltaire aura incarné la force de la culture à éclairer et à libérer les                            peuples​”, yang berarti “Voltaire memasukkan kekuatan budaya untuk mencerahkan        dan membebaskan masyarakat. Ia termasuk juga sebagai ‘      ​free will​  ’, atau ‘    ​libré​’, 

‘​liberté​’, seperti dalam kalimat “        ​Il vous est libre de faire ce qu’il vous plaira​                  ”, “  ​you may   

do what you please (with freewill)​          ” (Boyer, 1833:325). Esensi kata ‘liberal’ berarti        sebagai sebuah sifat     ​‘liberty’​, ‘  ​freedom​’, atau kebebasan. Kamus Bahasa Indonesia        (KBI) memaknai kata ‘liberal’ sebagai, “sifat yang condong kepada kebebasan; orang        yang berpandangan bebas (luas dan terbuka)” (Pusat Bahasa, 2008:857). Dengan        makna asal sebagai sifat yang terus memperjuangkan kebebasan, dengan demikian        paham ‘liberal’ (liberalisme) dapat dilihat sebagai sebuah paham yang menyiratkan        perjuangan kebebasan atau serangkaian usaha untuk membebaskan diri dari        berbagai macam unsur yang mengekang kebebasan, kemerdekaan, dan        kemajemukan dalam dan oleh berbagai unsur, baik itu ekonomi, sosial, budaya,        politik, dan agama yang mewujud dalam bentuk otoritas; teks (dogma), individu        atau kelompok. Kendati dipenuhi oleh semangat ‘pembebasan’, dalam Liberalisme,        setiap individu berhak untuk menentukan nilai­nilainya sendiri yang berasal dari        apa yang ia inginkan tanpa ada satu pun bentuk campur tangan maupun paksaan        dari pihak­pihak di luar dirinya untuk menggunakan nilai­nilai yang ia pilih itu. Oleh        karena itu, sebagai sebuah paham yang memusatkan perhatiannya pada individu,       

(3)

liberalisme terkait erat dengan humanisme—di mana ukuran kebenaran adalah        manusia—yang berarti nilai kebenaran selalu berubah seiring berubahnya manusia.        Sandra Pralong (Suda & Musil, 2000:85) bahkan menyimpulkan dalam kalimat        sarkastik bahwa sejatinya Liberalisme adalah sistem tanpa nilai.   2

Dalam pengertian yang lebih padu, Liberalisme mencakup filsafat politis        yang mengakui kebebasan individu sebagai tujuan politik yang paling utama, dan        memberi penekanan pada hak­hak individu dan persamaan kesempatan.        Liberalisme adalah sebuah filsafat pemerintahan dan sosial (      ​government and social      philosophy​) yang menekankan pada kata ‘kemerdekaan’, ‘       ​liberty​’, sebuah kata yang        penuh tenaga dan melintasi generasi (Reitan, 2003:1). Dari berbagai aliran liberal        yang ada, semuanya sepakat bahwa apa yang kaum liberal perjuangkan adalah        sejumlah prinsip seperti kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berbicara,        pembatasan kekuatan pemerintah, penerapan peraturan hukum, ekonomi pasar,        dan sistem pemerintahan yang demokratis dan transparan. Liberalisme meyakini        bahwa masyarakat seharusnya diatur bersesuaian dengan Hak Asasi Manusia yang        tidak berubah dan tidak dapat diganggu gugat, terutama hak untuk hidup, hak        kebebasan, dan properti. Selain pada pembatasan campur­tangan pemerintah pada    3        individu, liberalisme juga berarti sebuah kepercayaan pada rasionalitas dan        tanggung jawab individu (Emy, 1973:2). Dalam bentuk yang lebih ekstrim dan        radikal, Liberalisme mewujud sebagai anarkisme—yang jika dipandang dari sudut       

2 I shall argue that the ‘value’ of liberalism is precisely that it lacks any claim to substantive values, both for                                       

the individual and collectively. Thus liberalism’s greatest value is  the absence of values!” 

3 Terdapat dua macam pemikiran besar yang terkait dengan Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan                         

Liberalisme Sosial. Liberalisme Klasik meyakini bahwa kemerdekaan yang asasi adalah “kemerdekaan dari        segala macam paksaan”, dan bahwa intervensi negara dalam tataran ekonomi adalah sebuah bentuk        kekuatan yang memaksa terjadinya pembatasan dalam kebebasan ekonomi setiap individu. Sedangkan,        Liberalisme Sosial berpendapat bahwa pemerintah harus memainkan peran aktif dalam mengajukan dan        menjamin kebebasan para rakyatnya, kemerdekaan atau kebebasan sejati hanya akan terwujud jika rakyat        berada dalam kondisi sehat, terdidik, dan terbebas dari kemiskinan yang mengerikan. Selain dua macam        aliran tersebut, masih ada beberapa aliran Liberal lainnya seperti; Liberalisme Konservatif, Liberalisme        Ekonomi, Liberalisme Baru (Neoliberalism), Liberalisme Amerika, Libertarianisme, Liberalisme Nasional,        Ordoliberalisme, Paleoliberalisme, dan Liberalisme Kultural. 

(4)

pandang sejarah, liberalisme maupun anarkisme sama­sama berdiri sebagai lawan        dari berbagai bentuk otoritarianisme; baik itu komunisme, sosialisme, fasisme, atau        jenis lain dari totalitarianisme. Seiring berjalannya waktu, pada beberapa dekade        berjalan, pengertian Liberalisme juga perubahan yang membuat maknanya berbeda        dengan liberalisme yang muncul pertama kali (von Mises, 1985:v).  

Perkembangan Liberalisme: Peran ‘Literate’ 

Liberalisme memiliki genealogi atau silsilah yang merujuk pada tiga masa;        demokrasi Yunani, kesadaran Renaissance pada kepribadian individu, dan        penekanan pada reformasi hubungan antara manusia dengan tuhannya (Reitan,        2003:2). Perkembangan Liberalisme awal (        ​early liberalism​  ) yang pertama terjadi        ketika King John (1166­1216) di Inggris, pada tahun 1215 mengeluarkan dokumen       

Magna Charta   (Piagam Besar,​    ​Great Charter​  ) atau yang juga disebut sebagai       Magna  Carta Libertatum   ​(Piagam Besar tentang Kemerdekaan)       ​yang membatasi otoritas      raja. Selanjutnya, perkembangan liberalisme terus berjalan terutama setelah        terjadinya “  ​The Glorious Revolution of 1688​        ” di Britania yang setahun setelahnya,       ​Bill  of Right   ​diakui oleh parlemen Inggris dengan isi; penghapusan kekuasaan raja,        jaminan terhadap hak­hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Proses lahirnya        liberalisme yang damai di Inggris, tidak terjadi di daratan Eropa raya yang berada di        seberang gugusan pulau Britannia Raya.  4

4 Pendapat yang mungkin untuk dijadikan alasan sebab lahirnya Liberalisme yang damai di Inggris dan tidak                             

demikian dengan negara di daratan Eropa, yakni Perancis, yang lebih disebabkan oleh adanya perbedaan        faktor kebudayaan (Perancis (baca: Eropa) yang terkekang oleh Roma, dan Inggris, yang mandiri dan tidak        terkekang oleh Roma), selain kemungkinan faktor sentimen Raja Henry VII yang menolak tradisi Katolik        untuk tidak bercerai dengan istrinya sampai mati. Raja Henry VII menceraikan istrinya, Ratu Catherine dari        Aragon untuk dapat menikahi Anne Boleyn. Keputusan Henry VII sekaligus menandai keputusannya untuk        memisahkan hubungan antara Inggris dengan Vatikan, dengan berdirinya ordo baru bernama Anglikan.        Bebasnya Inggris dari pengaruh Roma yang juga mengekang otoritas raja dan kemerdekaan berpikir para        cendekiawan, besar kemungkinan memicu timbulnya revolusi damai 1688 yang timbul lebih karena        kesadaran akan Liberalisme, bukan karena kebutuhan akan Liberalisme seperti yang dialami oleh Perancis.        Di luar masalah tersebut, hal yang tak kalah kuat menjadi pembeda proses terjadinya Liberalisme di Inggris        dan Perancis adalah masalah kebudayaan. Seorang sarjana sejarah Eropa, Henri Pirenne menyebutkan        bahwa identitas mayoritas masyarakat di dataran Eropa adalah identitas Romawi, sedangkan Inggris lebih       

(5)

Revolusi Perancis yang digerakkan oleh ide­ide liberal pada 1789­1799        memainkan peranan penting bagi masa depan Liberalisme, di lain hal, Revolusi        Perancis juga muncul sebagai titik kulminasi muaknya masyarakat sipil, terutama        dipelopori oleh kaum pelajar terhadap dominasi para       ​monarch (raja) dan   ​bishop  (tokoh agama di gereja) yang telah lama melakukan pengekangan dalam bentuk        pemikiran, dan hak milik. Selain dikenal sebagai      5       ​Declaration of the Right Man and            the Citizen​  , Revolusi Perancis juga muncul oleh pemikir liberal abad ke­18 seperti        François­Marie Arouet (Voltaire) (1694­1778) dan Baron de Montesqiau        (1689­1755) yang terinspirasi oleh contoh kesuksesan Liberalisme yang terjadi di        Inggris (Reitan, 2003:2). Namun, Liberalisme secara keseluruhan tidak dibangun        oleh satu orang tokoh saja, melainkan muncul dari rangkaian pemikiran para        sarjana Barat yang bermula       ​setelah masa skolastik, yang semua sarjana itu meski        memiliki konsep berbeda, tetap memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, ketika      6          Revolusi Perancis pecah, slogan yang didengungkan adalah nafas yang telah mereka        (para sarjana) itu mimpikan sejak lama, “      ​liberté, égalité, fraternité,”     ​(kebebasan,  keadilan, persaudaraan) dengan satu kata yang berfungsi sebagai opsi pada        akhirannya, “  ​ou la mort!​    ” (atau mati!). Dengungan nafas dan semangat ide­ide        liberal yang dihembuskan pada zaman Empirisme dan Rasionalisme menimbulkan        corak bagi cikal bakal corak kebudayaan Eropa modern; ilmu alam dan ilmu pasti        berkembang, menentang tradisi menjadi sangat kritis, analisis psikologis        dipentingkan, bahasa Latin ditinggalkan sebagai bahasa ilmiah dan diganti       

pada identitas Nordik. “Negeri Inggrislah di antara negeri­negeri Kaum Biadab yang paling sedikit mengalami        pengaruh kebudayaan Romawi, dan disitu kesusilaan dunia baru Jerman dan Nordik telah berdaya        memperkukuh diri. Disitu mereka hidup sebagai dirinya sendiri. (Al­Attas, 1972:7)” 

5 The Father of Liberalism      ’, John Locke melalui        Two Treatises on Government        pada tahun 1689 menetapkan       

dua pemikiran yang mendasar mengenai Liberalisme, yakni kemerdekaan ekonomi—yang berarti sebagai        hak untuk memiliki dan menggunakan barang miliknya—dan juga kemerdekaan intelektual yang juga        mencakup mengenai kemerdekaan nurani, ‘​freedom of conscience​’. 

6  Lihat corak rangkaian pemikiran daripada para sarjana terhadap ide­ide Liberalisme; John Locke                       

(1632­1704), David Hume (1711­1776), J.J Rousseau (1712­1778), Adam Smith (1723­1790), dan Immanuel        Kant (1724­1804). 

(6)

bahasa­bahasa modern, watak­watak perseorangan dan nasional lebih tampak ke        muka, cita­cita kebebasan menjadi anarki (Sudiarja, dkk, 2006:1044).  

Pada abad ke­18, kata ‘        ​liberty’  ​memiliki makna sebagai kemerdekaan       

(​independence​) atau hak­hak istimewa (        ​privileges​) bagi kelompok­kelompok khusus       

terhadap hak­hak individual, yang mana oleh John Locke (1632­1704), ditegaskan        melalui hak­hak kodrati yang melekat pada seluruh manusia; hak hidup,        kemerdekaan, dan hak kepemilikan (Reitan, 2003:1).       ​Liberté ​menggambarkan cita    tentang kebebasan dari segala kungkungan otoritas gereja dan raja,      ​égalité  menggambarkan cita tentang kesejahteraan yang tidak merata dari ancaman        diskriminasi sosial,   ​fraternité ​adalah cita tentang bangsa yang bersatu padu dalam        satu semangat, dan     ​ou la mort     adalah pilihan terakhir dalam bentuk anarkisme yang        menjadi semangat—jika tidak dapat dibilang sebagai keputusasaan—untuk memilih        satu dari dua hal:       ​liberté, égalité, fraternité     di satu sisi dan​        ​ou la mort         di sisi yang  lain, semakna dengan perkataan jenderal John Stark pada tahun 1809 dalam Perang        Revolusi Amerika, yang mengatakan, “        ​live free or die: death is not the worst of evils​                    ”,  “merdeka atau mati”, “hidup mulia atau mati syahid.” Artinya, kematian dalam        berjuang, atau kematian itu sendiri adalah lebih baik daripada tidak terwujudnya       

liberté, égalité, fraternité.     Kasus ini juga sama dengan pernyataan Patrick Henry        yang menyatakan, “    ​give me liberty, or give me death!​            ” ketika berusaha meredam        gangguan gubernur Dunmore pada Konvensi Virginia kedua di St. John’s Church,        Williamsburgh pada 1755. Apa yang disampaikan oleh Patrick Henry memiliki dua        makna; pertama, sebagai klaimnya sendiri atas posisinya sebagai seorang individu.        Kedua, sebagai tuntutan merdeka dari koloni Virginia dari kaum asing dan        pemerintahan tirani Raja George III. Piagam Kemerdekaan,      ​Declaration of    Independence 1776   merupakan satu bentuk deklarasi yang bernafaskan dua maksud       

‘​liberty​’ pada kasus Patrick Henry (Reitan, 2003:1). Bagi Liberalisme, unsur apapun       

yang menciderai prinsip kebebasan adalah ancaman bagi kehidupan ideal yang       

(7)

semestinya dilawan. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaan ketika Revolusi        Perancis berhasil, pengusung ide Liberalisme—dan juga mereka yang        setuju—enggan untuk mengulangi masa kelam mereka dahulu dengan memberikan        atau sekedar membiarkan peluang bagi unsur­unsur yang pernah mengekang        kebebasan untuk meraih otoritasnya kembali. Dekonstruksi adalah alat yang paling        efektif untuk mencegah kembalinya otoritas bagi mereka yang pernah menciderai        prinsip­prinsip liberal. 

Ada banyak faktor yang membuat pasang surut Liberalisme, yang semuanya        berkaitan pada pengalaman hidup kaum terdidik (      ​scholar​) pada masa­masa      skolastik hingga masa ketika sebagian besar masyarakat Eropa akhirnya sepakat        bahwa Liberalisme adalah jalan keluar bagi permasalahan lokal mereka—yang        mana hal ini ditunjukkan dengan pemberian dukungan pada pecahnya Revolusi        Perancis di akhir abad yang ke­18 Masehi—dan sayangnya, dijadikan sebagai        patokan baku bahwa pengalaman lokal dan kekecewaan mereka terhadap otoritas        politik maupun agama adalah pengalaman universal semua bangsa. Akhir hidup      7      yang tidak baik, yang dialami oleh Giordano Bruno (1548­1600) setelah berpikir        tentang panteisme, monade, dan emanasi, juga bantahan Copernicus dan        pembuktian ilmiah Galileo (1564­1642) mengenai tata surya sekaligus untuk        membantah pendapat geosentris Ptolomeus yang telah ditetapkan oleh gereja        sebagai sebuah kebenaran     ​a priori​  —bahwa bumi itu datar dan seperti pulau yang        mengapung di udara—mengakibatkan mereka berakhir di bawah hukuman gereja        dengan tuduhan sebagai pelaku inovasi, tindak heretik (bid’ah) yang murtad.      8 

7 Sebagai catatan, Revolusi Perancis tidak digagas oleh para filosof besar seperti Descartes, Hume, maupun                           

Hegel. Revolusi Perancis terjadi karena usaha­usaha sebuah kelompok yang dinamakan sebagai       philosophes​ ,​  yakni kelompok non­filsuf akademis profesional yang lebih sebagai tipe cendekiawan, pencipta opini, aktivis        politik dalam ilmu pengetahuan dan seni, pemberitaan dan pengkaji gagasan para filosof. Sebagian anggota        philosophes ​adalah tokoh penyair, dramawan, sejarawan, esais, seperti Voltaire, Diderot, La Metrie,        Helvetius dan Holbach. 

8  Gereja menanggapi teori Copernicus dengan sangat keras, para ilmuwan yang mendukung teori                       

heliosentris segera dikucilkan, dipenjara, dianggap murtad. Copernicus sadar dengan reaksi gereja sehingga        ia mengumumkan teorinya secara diam­diam, akan tetapi para pengikutnya seperti Bruno maupun Galileo       

(8)

Hukuman inkuisisi yang ditetapkan oleh gereja pada siapapun yang melawan        doktrin gereja adalah jerami pemantik bagi api kebencian kaum terdidik (      ​literate​)  bahwa agamawan (gereja) adalah musuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan        kebebasan berpikir yang pada akhirnya menjadi pra­syarat bagi kukuhnya        Liberalisme—bahwa untuk meraih hidup yang merdeka, sebelumnya seseorang itu        harus merdeka dahulu dari kungkungan agama, atau teks­teks agama yang dianggap        memiliki penafsiran tunggal (      ​rigid​). Secara perlahan, satu per satu bukti yang9        menyatakan bahwa gereja—sebagai representasi agama—telah berperan besar        dalam menghambat kebebasan kodrati dan ilmu pengetahuan, terbongkar pada        masa filsafat Modern ketika empirisme dan rasionalisme menjadi semakin kritis        terhadap segala hal, terlebih ketika berhadapan dengan ilmu “mengenai ada yang        nampak” (fisika), juga ilmu “mengenai ada yang tidak nampak” (metafisika) yang        sama­sama membedah pengetahuan warisan (        ​taqlid​) doktrin gereja. Sementara itu,          otoritas gereja nampaknya lebih memilih untuk tetap berpegang teguh pada        ‘kebenaran’ ‘teks­teks suci’ yang terbukti tidak sejalan dengan bukti­bukti ilmiah        daripada menerima kebenaran pembuktian (        ​bayan, demonstrasi​  ) secara lapang      dada. Gereja bahkan mengeluarkan semacam antagonisme untuk mempertahankan        dan melakukan pembelaan terhadap kebenaran         ​a priori­​  nya tentang kesakralan      injil, Paus, gereja, dan       ​Curia Romana  10 yang terancam oleh ilmu pengetahuan dengan        menghukumi pelanggarnya sebagai orang­orang murtad, kafir, pelaku bid’ah yang        patut dihukum dengan hukuman sepihak bernama inkuisisi. Dengan berbagai       

menyuarakannya dengan apa adanya. Sebagai akibatnya, pada 1600 gereja membakar hidup­hidup Bruno di        Roma. Seorang naturalis bernama Vanini juga dibakar hidup­hidup pada 1620 di Toulouse, demikian pula        Foontainer di Paris setahun setelah kematian Vanini. Galileo agaknya lebih beruntung karena ia hanya        dikenakan hukuman tahanan rumah seumur hidup, dipaksa berlutut dan menyangkal keyakinannya        mengenai Heliosentrisme dan harus membaca tujuh ayat Zabur seminggu sekali selama tiga tahun. 

9 Lihat definisi tentang Liberalisme yang diberikan oleh Simon Blackburn dalam Oxford Dictionary of                         

Philosophy, “liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak        dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak       ​serta bebas dari     

ikatan­ikatan agama dan ideologi​ (Blackburn, 2005:209­210).” 

10 Departemen yang bertanggung jawab pada ajaran dan semua hukum kanon gereja Katolik (                       codex luris    

cannonici​), yang juga berfungsi sebagai pengatur tata­tertib aturan gereja (​regula fidei​). 

(9)

macam faktor tersebut, gereja semakin memperkuat keyakinan para sarjana dan        rakyat bahwa gereja melakukan pengekangan terhadap hak­hak dasar manusia        secara semena­mena. Bahkan, pandangan buruk pun semakin bertambah ketika        rahasia gereja mengenai penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya terbongkar.        Kini gereja tidak hanya menghadapi kritikan dari luar, yakni para sarjana yang        bukan agamawan, tetapi juga oleh para sarjana yang berasal dari lingkungan gereja        itu sendiri. Ditemukannya mesin cetak oleh seorang anggota keuskupan agung di        Mainz, Johannes Gutenberg (1398­1468) pada tahun 1450­an adalah awal bencana        bagi gereja. Pertama, karena ia telah membuat Gutenberg untuk ‘mengisi waktu        luangnya’ mencetak lebih banyak ‘surat pengampunan’ gereja yang banyak        disalahgunakan oleh para     ​bishop ​sebagai komoditi untuk memperkaya diri, dan        kedua, karena mesin cetak Gutenberg memicu penyebaran informasi secara lebih        cepat dan lebih merata pada masyarakat Eropa—yang menyebabkan meningkatnya        jumlah kaum literer, dan kesadaran bahwa liberate adalah jawaban yang diperlukan        bagi perubahan kehidupan mereka yang lebih baik. Singkatnya, ditemukannya        mesin cetak Gutenberg adalah awal dari berkembangnya liberalisasi sekaligus awal        dari kejatuhan gereja.  

Martin Luther (1483­1546) yang menemukan penyalahgunaan otoritas       ​Curia  Romana  Vatikan (Katolik Roma) pada masalah ‘surat pengampunan’—yang        disalahgunakan dengan memperbolehkan dibelinya ‘        ​letters of credit​    ’ untuk    mendapatkan indulgensia menjadi semacam ‘perdagangan suci,      ​the holy    trade’​—juga menyerang otoritas gereja dalam melakukan monopoli pada        interpretasi injil dengan cara menulis perjanjian baru dalam bahasa Jerman.      11 

11 Pada masa Luther, dalam ranah bahasa pengantar ilmu pengetahuan, bahasa Latin memiliki kedudukan                         

sebagai ‘ ​lingua franca  ​’ yang digunakan di seluruh daratan Eropa sebagai bahasa pengantar dalam penulisan        karya­karya ilmu pengetahuan. Bahasa­bahasa daerah (Jerman, Inggris, Perancis, dll disebut sebagai bahasa        kampung, “  ​it’s a language of farmers        ​.” Namun sayangnya bahasa Latin hanya dipelajari secara terbatas oleh        para sarjana dan kaum gereja sehingga pemahaman mengenai karya­karya ilmiah, termasuk juga injil yang        ketika itu ditulis hanya dalam bahasa Latin.  

(10)

Luther yang berasal dari ordo Sanct Augustin Eremita menolak monopoli penafsiran        gereja dengan menyatakan,setiap orang berhak menafsirkan alkitab menurut Roh        yang bergerak di dalam dirinya (Bayer, 2008:89). Orang­orang yang membencinya,        menyebut Luther sebagai ‘tukang protes’, yang segera menjadi aliran gereja dengan        penafsiran baru bernama Protestan. Usaha yang telah dilakukan Luther membawa      12        banyak dampak baru dalam segi politik, sosial, dan agama dalam peri kehidupan        Eropa. Pertama, adalah jatuhnya kepercayaan terhadap gereja (yang juga dapat        diartikan sebagai kejatuhan otoritas gereja), kedua adalah tumbuh dan        mengerasnya semangat identitas kebangsaan regional daerah­daerah di Eropa,      13  ketiga, adalah pemicu bagi jatuhnya kuasa para raja, dan keempat, yang paling        penting bagi Liberalisme adalah tersebarnya ‘      ​frijheit​’ (semangat kebebasan atau        kemerdekaan), kebebasan menafsir yang ditampilkan oleh Luther telah merangsang        kebebasan dalam bidang lainnya, terutama dalam ranah akademik. Mesin Gutenberg        menimbulkan kapitalisasi percetakan dan menggemakan suara­suara yang        berkaitan dengan ‘    ​frijheit​’. Kemenangan Luther terhadap Vatikan adalah separuh        kemenangan liberalisme atas “dua kekuasaan yang mengekang”, yang satu unsur        lainnya—otoritas para raja—baru dapat dihancurkan dan kemenangan bulat        sepenuhnya terjadi ketika Revolusi Perancis meletus.  

 

Liberalisme Salah Arah 

12 Luther disebut gereja sebagai ‘pelaku bid’ah yang keji’. Bahkan Vatikan menetapkan Luther sebagai                         

buronan agama yang harus ditangkap hidup­hidup. 

13 Setelah terbitnya injil baru dalam bahasa Jerman, dan dibantu penyebarannya oleh mesin cetak                         

Gutenberg, imbasnya adalah munculnya kesadaran daerah­daerah regional untuk menjadi bangsa sendiri        dengan penguatan unsur­unsur partikularnya, yakni bahasa. Banyak raja yang pada mulanya mendukung        gereja, tiba­tiba beralih dengan melepaskan diri dan melakukan penerjemahan kitab suci dalam bahasanya        masing­masing. Bahasa Latin mulai ditinggalkan, sementara itu karya­karya ilmiah, humaniora, susastra, dan        filsafat, banyak bermunculan dalam bahasa selain Latin. 

(11)

Revolusi Perancis berhasil membawa Eropa menuju babak baru, bukan        dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai lambang bagi dunia modern bahwa ruh       

‘​frijheit​’ dan ‘    ​liberte​’ berhasil berjaya di atas tiran, meski pada kenyataannya, hasil       

yang ditampakkan adalah kenyataan yang saling bertentangan. Demokrasi liberal      14      mewujud dalam bentuk republik untuk menggantikan otoritas raja (      ​monarch​), suara    rakyat menjadi otoritas politik dan pengawalnya. Bertujuan untuk ‘membebaskan’        manusia dari terkungkungnya hak­hak kodrati mereka. Liberalisme mungkin telah        berhasil menumbangkan otoritas raja dan membuat otoritas Paus maupun Vatikan        menjadi semakin terbatas, akan tetapi ia tidak benar­benar yakin telah berhasil        menumbangkan agama (baca: Kristen). Oleh karena itu, agar doktrin agama maupun       

para ​cleric tidak turut dalam otoritas pemerintahan, maka disahkanlah sekularisme       

sebagai asas politik yang murni dilandasi oleh prinsip­prinsip semangat        humanisme, bukan dengan semangat ‘       ​God Sovereignty​  ’, yakni supremasi kedaulatan        Tuhan melalui hukum­hukum yang ia turunkan sendiri melalui kitab sucinya. Bagi        Sekularisme, mengukuhkan prioritas pada hak­hak manusia adalah lebih penting        daripada memperjuangkan hak­hak Tuhan. Liberalisme, pada akhirnya bersikap        antipati terhadap agama. Jika tidak, Liberalisme mengupayakan dekonstruksi        teks­teks keagamaan agar sejalan dengan prinsip­prinsip humanisme yang sedang        berlaku. Pada titik yang lebih ekstrim, liberalisme memicu timbulnya atheisme,        revolusi nilai­nilai adat yang kukuh dalam budaya tertentu dan dianggap        mengekang hak kodrati manusia. Liberalisme adalah pembebasan, perjuangan pada        kebebasan, dan usaha membebaskan diri dari segala hal yang dianggapnya        mengekang. Dalam praktiknya, karena tidak ada batasan mengenai makna       

14 “Tujuan politik Revolusi Perancis adalah menjatuhkan rezim Louis XVI dan menggantinya dengan                       

republik­­namun revolusi berakhir dengan pembalikan fakta lainnya, konsekuensi yang tidak diharapkan atas        bangkitnya Napoleon yang berkuasa sebagai kaisar Perancis, yang pemerintahan tangan besinya jauh lebih        absolut daripada raja yang sudah dieksekusi. Lebih lagi, Revolusi Perancis sebenarnya berdiri untuk kejayaan        pandangan perjuangan manusia atas kemerdekaan, namun kenyataannya justru terbalik, berdiri sebagai        pandangan kapasitas manusia yang memalukan karena berubah menjadi pemuasan kebiadaban dan        pembunuhan masal (Lavine, 2002:184­185).” 

(12)

‘kebebasan kodrati’ yang jelas­­bahkan kata ‘kebebasan’ mengindikasikan dirinya        sebagai lawan dari ‘batasan­batasan’­­membuat Liberalisme menjadi perjuangan        tentang kebebasan yang seringkali­­dan hampir selalu­­salah arah dalam        perjuangannya. 

 

Daftar Pustaka​: 

Al­Attas, Syed Muhammad Naguib. 1972.         ​Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan          Melayu​. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. 

Blackburn, Simon. 2005.     ​The Oxford Dictionary of Philosophy: Second Edition​            . Oxford:    Oxford University Press. 

Bayer, Oswald. 2008.     ​Martin Luther’s Theology: A Contemporary Interpretation​          .  Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 

Boyer, Abel. 1833.      ​Boyer’s French Dictionary​    . Boston: Hilliard, Gray and Co.        Brattleboro’ Power Press Office. 

Emy, H. V. 1973.       ​Liberals Radicals and Social Politics 1892­1914​          . London: Cambridge      University Press. 

Lavine, T.Z. 2002.     ​Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre​          . Yogyakarta: Penerbit      Jendela. 

Oxford Dictionary. 2011.     ​Oxford Wordpower: English­Arabic Dictionary A­Z​        . Great    Clarendon: Oxford University Press. 

Parker, Philip. M. 2008.        ​Webster’s Romanian (Latin Script)–English Thesaurus          Dictionary​.  San Diego: ICON Group International, Inc. 

(13)

Reitan, Earl. A. 2003.       ​Liberalism: Time­Tested Principles for the Twenty­First Century.             

Lincoln: iUniverse, Inc. 

Riddle, Joseph Esmond. 1838.       ​A Complete English­Latin Dictionary, for The Use of                Colleges and Schools​    . London: Longman, Orme, Brown, Green, and Longmans,        Paternoster­Row. 

Suda, Zdenek, and Musil, Jiri. 2000.       ​The Meaning of Liberalism: East and West​            .  Budapest: Central European University Press. 

Sugono, Dendy, dkk. 2008.        ​Kamus Bahasa Indonesia​    . Jakarta: Pusat Bahasa,        Departemen Pendidikan Nasional. 

Von Mises, Ludwig. 1985.       ​Liberalism in the Classical Tradition​        . San Fransisco: The        Foundation for Economic Education, Inc. 

Referensi

Dokumen terkait