• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Antar Budaya dalam Ranah Intel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Interaksi Antar Budaya dalam Ranah Intel"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Interaksi Antar Budaya dalam Ranah Intelektual

dan Proyek Kreatif: Refleksi Terhadap Dinamika Budaya Melayu dalam Menjawab tantangan Globalisasi

Oleh: Dasril Guntara

Kebanggaan pada identitas budaya dalam konteks pergaulan gobal memiliki makna yang sangat berarti. Istilah kebanggaan biasanya diidentikkan dengan kesombongan, namun dalam konteks interaksi masyarakat, kebanggaan pada identitas menjadi ukuran kecintaan dan harga diri sebagai sebuah kelompok masyarakat yang berdaulat. Globalisasi nyatanya telah membuat pergaulan sosial tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis (borderless). Dengan kata lain, globalisasi telah menciptakan dimensi pergaulan sosial yang jauh lebih luas, kompleks dan sangat dinamis. Kondisi ini kemudian memaksa setiap entitas kelompok masyarakat mengalami proses perubahan sosial yang cepat akibat pertemuan-pertemuan antar budaya yang berbeda di setiap momentum interaksi sosial.

Sadar atau tidak kita acap kali meligitimasi seseorang atau kelompok dengan melekatkan budaya sebagai elemen penyebut atas identitas dan perilaku mereka. Itu semua karena setiap perilaku manusia adalah representasi dari ide, gagasan, serta pengetahuan tentang suatu realitas yang dikonsepsikan. Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat

seseorang sebagai anggota masyarakat (Michelli, 2007:2-3). Demikian halnya kita menyebut orang Melayu bagi mereka yang mewujudkan perilaku kehidupannya berdasarkan nilai dan falsafah budaya Melayu.

(2)

Dinamika Budaya Melayu dalam Interaksi Antar Budaya

Memotret hubungan dinamis antara Melayu sebagai sebuah entitas budaya dengan budaya lain di arena global tidaklah sesederhana lazimnya melihat proses akulturasi atau asimilasi antara budaya pendatang dengan budaya lokal. Hal ini dikarenakan, budaya Melayu merupakan satu referensi kebudayaan yang mendominasi sebagain besar wilayah Asia

Tenggara. Dengan cakupan wilayah kekuasaan yang luas serta populasi masyarakat pendukung yang banyak, budaya Melayu layak menjadi satu dari wakil budaya timur yang di segani. Kini dalam sistem geopolitik Internasional berbasis nation-state, masyarakat Melayu tersebar di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sebagai kebudayaan dominan di kawasan tenggara Asia, tak heran jika budaya Melayu juga memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan suhu politik dan ekonomi regional.

Interaksi sebagai hubungan dinamis antara elemen (budaya) lazimnya berproses diantara dua kutub ”ekstrim”, yaitu konflik dan integrasi. Secara teoritis konflik umumnya melahirkan penolakan sementara integrasi berimplikasi pada penyesuaian meski pada realitasnya tidak selalu demikian. Oleh karena itu, baik konflik yang dapat melahirkan penolakan maupun integrasi sebagai sebuah proses sesuai-menyesuaikan tidak selamanya berjalan secara sempurna. Dalam pertemuan dua budaya yang berbeda tidak semua unsur budaya yang masuk tertolak secara keseluruhan dan juga tidak dapat terintegrasi secara penuh. Di antara dua kutub tersebut dapat terjadi proses tarik menarik yang dapat mendorong terjadinya kompromitas, yaitu adaptasi/akomodasi maupun asimilasi (Akbar, 2010). Sebuah unsur kebudayaan tertolak dalam sebuah proses interaksi bila terjadi pertentangan yang sangat menyolok dengan nilai-nilai lokal. Namun, unsur-unsur tersebut dapat saja terakomodasi apabila unsur-unsur yang bertentangan tersebut dimodifikasi sesuai dengan budaya yang berlaku, atau unsur-unsur baru tersebut dapat diterima dengan jalan melakukan reinterpretasi dalam rentang waktu tertentu.

Manusia bagaimanapun juga adalah makhluk sosial yang unik, kompeks, dan

unpredictable. Oleh karena itu, kompromitas sebagai sebuah pilihan kelompok masyarakat

(3)

ADAPTASI/ AKOMODASI

KONFLIK

ASIMILASI

INTEGRASI

Proses adaptasi dan asimilasi yang terjadi di antara konflik dan integrasi pada akhirnya bermuara pada perpaduan antara masing-masing nilai budaya untuk mencapai satu budaya

khas dan bercitra lokal. Perpaduan ini merupakan konsekuensi logis dari proses interaksi. Dalam dinamika pertemuan antara dua budaya, manusia membentuk, memanfaatkan, dan mengubah hal-hal yang paling sesuai dengan kebutuhan. Berangkat dari titik inilah kerangka kebudayaan khususnya dalam proses akulturasi lahir konsep local genius, yaitu kemampuan menyerap dan mengolah secara aktif pengaruh kebudayaan yang datang sesuai dengan watak dan kemampuan sendiri (Ayatroehaedi, 1986:18-19), sehingga tercipta modifikasi baru pada sisi tertentu dari kebudayaan Melayu

Barat dan Timur di Arena Intelektual: Sebuah Refleksi

Dampak globalisasi secara ontologis tidak selalu tertuju pada impliksasi negatif. Hal ini tergantung bagaimana budaya yang berkontestasi di arena tersebut mendefinisikannya. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan tatanannya. Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai kebudayaan pascaindustri atau

postmodern. Keadaan masyarakat di milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis

pada situasi yang akan menggiring kita, sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa realita sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang dunia (Al Mudra, 2007a dan 2008a).

Sayangnya pada konteks budaya Melayu, implikasi lain munculnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di atas ialah mulai ditinggalkannya

(4)

Hibridisasi yang terjadi pada masyarakat Melayu sebagai betnuk integrasi terhadap perubahan sosial, nyatanya mengundang pro dan kontra kehususnya dikalangan cendekiawan, budayawan, hingga seniman. Sebagian kalangan ada yang menganggap bahwa hibridisasi adalah bentuk “penjajahan” budaya Barat terhadap kedaulatan budaya-budaya di belahan Timur. Argumentasi mereka bukanlah tidak beralasan. Kegelisahan mereka tidak hanya

sebatas pada boleh tidaknya diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada sikap penafian budaya lama (peninggalan warisan leluhur) oleh generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis identitas (jatidiri).

Kegelisahan ini merupakan satu isu penting yang harus diperhatikan. Wacana konflik antara Barat dan Timur memang mengisahkan kisah panjang sejarah perjalanan peradaban. Di sejarah millenium ke-tiga ini setidaknya telah mencatat sederetan kemenangan Barat atas Timur, sekaligus pertanda bahwa zaman telah berubah. Dahulu boleh jadi Timur menjadi adidaya dengan kebudayan Eufrat, Tigris, Babylon, India, China, dan Timur tengah dengan Islam-nya. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendulum waktu terus beputar menempatkan setiap entitas pada kejayaan di satu masa lalu terpuruk di masa berikutnya. Realitas dunia senantiasa berputar pada garis logika manusia dalam prosesnya mewujudkan peradaban yang lebih baik

Setiap masa memiliki kisahnya sendiri, itulah uniknya manusia yang selalu menghiasi wajah sejarah dunia dengan aneka warna dialektika peradaban. Kredibilitas budaya dipertaruhkan seperti layaknya kursi kepresidenan yang menjadi aksi berebut antara kubu-kubu politik yang ingin berkuasa. Siapa yang berhasil menduduki kursi tersebut maka ia yang layak dan berhak memberi perintah melalui jika mampu dan mau. Dalam putaran sejarah peradaban, aktor (kelompok) yang telah berhasil menguasai akses kredibilitas global dengan serta merta ia juga memaksakan prinsip-prinsip maupun nilai-nilai kelompoknya kepada kelompok lain yang di taklukan. Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan kepentingan sekaligus mempertahankan kekuasaannya selama mungkin.

Interaksi Timur-Barat secara epistimologi

(5)

sisi lain. “Orientalism” menggali pemahaman yang belum diangkat sebelumnya, yakni penjajahan (imperialisme/kolonialisme) sebagai perilaku kultural dan bahkan epistemologis (keilmuan) yang menyertai nafsu untuk mendominasi dan menguasai wilayah-wilayah yang jauh (hegemoni). Orientalisme juga menciptakan streotipe dan ideologi tentang the Orient yang diidentikan dengan the Other, dari the Occident (Self). Dengan demikian, Timur dan

Barat merupakan hasil konstruksi (representasi) ide atau gagasan berkaitan dengan realitas sosial budaya. Imaji Barat tentang Timur, kuasa dan pengetahuan saling kait-mengait studi kaum Orientalis.

Merujuk Hassan Hanafi (2000), istilah Timur (orient) dan ketimuran (orientalism) memiliki pengertian yang berbeda. Pertama, istilah ‘orientalisme’ sebagai studi wilayah, yaitu studi tentang bahasa, sastra, antropologi, dan sosiologi mengenai dunia Timur. Saat kolonialisme tumbuh subur, dunia Timur umumnya berada pada posisi negara yang dijajah, sedangkan negara seperti Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, Portugis, dan lain-lain, sebagai representasi Barat, adalah negara penjajah. Karena itu hampir semua teks-tks sosial-budaya dan agama mengenai dunia Timur yang dihasilkan ilmuwan pada waktu itu disebut kajian ketimuran atau Oriental(is). Kedua, mengacu pada model atau gaya berpikir. Yaitu, gaya berpikir orang Barat dengan gaya berpikir dunia Timur yang berbeda secara ontologis dan epistemologis.

Perbedaan cara berpikir antara Timur dan Barat dapat ditemukan bukan saja pada masa kolonialisme, tapi sampai sekarang, bahkan mungkin terus berlangsung dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Tulsi B. Saral (2004), misalnya, mengemukakan beberapa kelemahan komunikasi antarbudaya yang bersifat analitik-reduksionis dan kuantitafif antara lain:

1. Budaya Barat terlalu banyak indra visual dan auditif: ada kemungkinan perbedaan dalam mengindra stimulasi yang sama dari bangsa yang berbeda;

2. Fokusnya hampir terbatas pada penelitian yang obyektif-empiris, sehingga menghilangkan cara berpikir mistis.

3. Terlalu bertumpu pada kebenaran obyektif (objective truth), pandangan dunia yang

tunggal serta tidak memahami asumsi-asumsi paradigma yang digunakan.

4. Pandangan dualistik: memilah secara tegas antara tubuh-jiwa, individu-lingkungan, kesadaran individu-kesadaran kosmis.

(6)

Dari cara pandang superior dan dikotomik di atas, Joe Biden, juga ingin menghadirkan suasana bahwa dia, anak bangsa Amerika adalah pusat segalanya. Melalui kuasa bahasanya, Amerika (terutama AS) telah menjadi simbol “kedigdayaan” suatu ruang dan waktu. “Kedigdayaan” ini tentunya dibangun melalui konstruksi ideologi, terutama melalui penciptaan opini publik media massa dan teks-teks pelajaran, lengkap dengan simbol-simbol

kemegahannya, seperti infrastruktur/bangunan yang megah, pusat sosial dan kebudayaan dan peradaban yang “demokratis”, dan sebagainya. Tidak hanya itu, “kedigdayaan” tersebut, yang kemudian menjadi hegemoni (Bonvillain, 1993).

Sebagaimana dikatakan Henry Levebre, Filsuf Prancis pascamodern, bahwa hegemoniii dalam bentuk yang lebih detail lagi, adalah proses penguasaan ruang hidup (lebensraum) oleh kekuatan dominan, dengan tujuan menciptakan kelanggengan. Hegemoni dalam ruang ditujukan untuk melanggengkan sistem kekuasaan yang lebih maju dari sekedar masalah pemerintahan. Hegemoni dalam ruang publik adalah politik penguasaan ruang konkrit itu sendiri. Ruang hidup tidak mungkin bebas nilai, ia merupakan medan dialog kekuatan-kekuatan dominan. Di mana penguasaan ruang dilakukan dengan menciptakan tanda-tanda (simbol) keberhasilan sebuah ideologi dalam wujud bangunan megah, pertanian, dan pabrik-pabrik adalah wujud keberhasilan suatu ideologi terhadap ideologi lainnya. Penguasaan ruang sebagai media dikemudian waktu akan menjadi medan pertarungan penciptaan opini dan legitimasi publik.

Pandangan ini, tentunya mengacu pada empunya Hegemoni, Antonio Gramsci. Gramsci memberikan argumentasinya bahwa hegemoni sebenarnya adalah praktik dominasi kekuatan pemerintah (state) terhadap publik (people/civic) dengan cara “halus”. Dalam praktik dominasi ini, kelas dominan tidak secara kentara menyusun aturan permainan, memaksa, mengajak atau mengontrol kelas terdominasi. Demikian pula kelas terdominasi yang tanpa sadar (unconciusness) dan tanpa paksa (unforceness) mengikuti permainan tadi.

Konflik, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan satu dari kenyataan globalisasi terhadap budaya Melayu. Konflik antara budaya Barat dengan budaya

(7)

Apakah kondisi yang demikian adalah sebuah kekalahan? Nyatanya dalam fenomena interaksi, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Mendominasi atau terhegemoni hanyalah sebuah realitas sosial yang terus berputar dalam pendulum sejarah. Bagi sebuah kebudayaan harusnya hal ini bukanlah sebuah beban yang harus dipusingkan, sebab yang lebih penting adalah bagaimana bertahan dan menyesuaikan diri dengan segala perubahan lingkungan.

Demikian halnya, seperti yang terjadi dalam budaya Melayu. Tidak semua elemen budaya mengalami degradasi nilai, justru pergeseran yang terjadi perlu mendapat apresiasi sebagai bentuk rekonstruksi positif bagi budaya Melayu dalam menjawab perubahan zaman.

Rekonstruksi budaya tidak selamanya mengindikasikan kekalahan akibat hegemoni budaya lain. Justru sebaliknya, rekonstruksi harusnya dipahami sebagai upaya proyek kreatif bagi sebuah budaya dalam menjawab tantangan perubahan sosial. Budaya sebagai pandangan hidup tidaklah statis sebab manusia sebagai subjek yang menentukan warna budaya memiliki sifat dinamis. Rekontruksi budaya Melayu sebagai jawaban terhadap globalisasi adalah upaya dialektika internal akan nilai-nilai transendental maupun material budaya untuk di konseptualisasikan (diterjemahkan) kembali dan disesuaikan dengan logika berfikir masyarakat global kini. Tentu tidak semua harus di sesuaikan, dan besar kecilnya perubahan sang-budaya tergantung sejauh apa budaya tersebut mampu berdialog dengan habitus dan modal dalam ranah interaksi di lingkup internal.

Peran Habitus, Modal dan Ranah dalam Rekonstruksi Budaya Melayu

Kompromitas sebagai pilihan bagi tindakan praktis budaya Melayu menjawab tantangan global dapat dilihat dari bagaimana unsur-unsur pembentuk tindakan social itu bekerja. Dalam hal ini budaya Melayu dilihat dari bagiamana masyarakatnya bertindak dilevel interaksi antar mereka dengan panduan nilai-nilai budaya Melayu maupun dengan masyarakat lain dimana mereka bertoleransi dengan nilai-nilai di luar budaya melayu. Salah satu logika yang paling mudah dalam menjelaskan proses ini adalah dengan merujuk pada teori tindakan sosial yang di kemukakan oleh seorang sosiolog Prancis, Pierre Felix Bordieu.

(8)

Secara sederhana, habitus diindikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari objek-objek dalam realitas sosial (Harker, 1990: xviii). Melalui skema dari struktur kognitif tersebut, agen kemudian merasakan, memahami, menyadari dan menilai realitas sosial. Dan melalui pola-pola tersebut, agen memproduksi tindakan mereka, dan juga menilainya (Ritzer, 2004: 522). Habitus inilah yang memberikan pengetahuan dan

pemahaman agen terhadap dunia, yang memberikan kontribusi makna tersendiri pada realitas dunia itu (Harker, 1990: 14). Perwujudan bahasa, seni, tarian, gurindam, puisi, pantun, serta seluruh nilai dan prinsip-prinsip hidup adalah bentuk dari habitus masyarakat Melayu terhadap budayanya. Mereka menggunakan pengetahuan ini sebagai pedoman berinteraksi satu sama lain dan terus diwariskan dari generasi ke generasi

Secara dialektis, habitus dari budaya Melayu juga merupakan produk internalisasi dari struktur dunia sosial dan juga sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan dan diwujudkan dalam realitas sosial. Karenanya, habitus akan muncul berbeda-beda, yang bergantung pada wujud posisi agen dalam realitas sosialnya masing-masing. Di sini, habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Pada satu sisi, habitus merupakan struktur yang mencitpakan struktur kehidupan sosial (structuring structure) (Ritzer, 2004: 522-523). Di sisi lain, habitus adalah struktur yang diciptakan oleh struktur kehidupan sosial (structured structure). Dalam definisi lain, habitus adalah dialektika internalisasi dari eksternalitas dan juga eksternalisasi dari internalitas (Bourdieu, 1977: 72).

Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni pengaruh historis yang secara tidak sadar dianggap alamiah. Habitus bukan-lah pengetahuan ataupun ide-ide bawaan. Habitus muncul melalui proses internalisasi yang sangat halus, sehingga tidak disadari dan dianggap muncul sebagai hal yang wajar, sehingga seakan-akan sebagai sesuatu yang alamiah, sesuatu yang sudah ada dari sana-nya (Harker, 1990: xviii). Begitu pun, habitus berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan agen (Bourdieu, 1984: 466). Meski tidak disadari, habitus mewujudkan eksistensinya sendiri dalam praktik tindakan yang nyata dalam sejumlah

kebiasaan sebagai sebuah struktur tindakan (Ritzer, 2004: 524). Kebiasaan tersebut menjadi panduan kognitif dan emosional bagi agen untuk menyikapi realitas sosial yang mereka hadapi.

(9)

dan kemauan agen (Ritzer, 2004: 525). Habitus memungkinkan agen hidup dalam realitas sosial mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar tersebut, terbentuklah ranah (Harker, 1990).

Bourdieu pun juga merujuk ranah pada ranah kekuatan (Harker, 1990: 9-10). Suatu ranah dimana beragam potensi mampu eksis. Di dalam ranah trersebut berlangsung perjuangan

posisi-posisi dari para agen (Ritzer, 2004: 525). Posisi tersebut ditentukan oleh kepemilikan modal dari masyarakat Melayu sebagai agen yang berada di dalam ranah tersebut. Ranah juga didefinisikan sebagai sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi-posisi sosial yang berkaitan dengan modal. Perjuangan di sini merupakan upaya mentransformasikan atau mempertahankan kekuatan. Karenanya, ranah di sini memiliki karakter yang sangat dinamis sebagai efek perjuangan-perjuangan agend (individu) tersebut di dalamnya

Dalam rentang sejarah masyarakat yang kemudian bersepakat terikat dalam habitus ke-Melayu-an, telah terjadi sekian ribuan atau jutaan proses penyesuaian diantara mereka secara individu. Semua terjadi dalam perilaku anggota masyarakat (orang Melayu) dalam ranah interaksi antar mereka dan bahakn kemudian terlambaga secara sah dalam wujud pemerintahan bersama yang tersistematis dan lebih mengikat kepada anggota-anggotanya (agen). Secara historis kita ketahui bersama bahwa pada abad k-7 kerajaan Melayu merupakan benteng kedaulatan Asia tenggara yang yang kokoh dan sangat berpengaruh bagi wilayah-eilayah disekitarnya. Pada masa kegemilangannya ranah bagi masyarakat Melayu telah sedemikian kompleks dengan sistem perundangan, struktur permerintahan, modal ekonomi, dan angkatan perang yang keseluruhannya adalah wujud habitus orang Melayu dalam aktivitas kehidupan sosial.

Seperti yang digambarkan dalam definisi ranah, bahwa pada konteks interaksi antar budaya disini merupakan sebuah ruang kontestasi dari kebudayaan-kebudayaan yang berada di dalamnya. Semua bentuk dinamika di dalam ranah tersebut mengidikasikan adanya kontestasi modal. Karenanya, logika dalam ranah tersebut adalah logika modal (Harker, 1990: 16). Tetapi, bagi Bourdieu (1986), definisi modal ini sangat luas bukan sekedar modal dalam

definisi material, yang memiliki nilai ekonomis. Namun, modal juga meliputi berbagai atribut ‘yang tak tersentuh’, namun memiliki signifikansi secara kultural, seperti prestise, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik).

(10)

pada modal simbolik. Sebab, dalam bentuk inilah bentuk-bentuk modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimit. Agar dapat dipandang sebagai agen (budaya) yang bersatatus dan memiliki prestise, berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang legitimit, dan terkadang, sebagai otoritas yang juga legitimit. Posisi semacam ini, membawa serta ‘kekuasaan untuk memberi nama, kekuasaan untuk mewakili pendapat umum (common

sense), dan yang terpenting, kekuasaan untuk menciptakan ‘versi dunia sosial yang resmi’.

Rekonstruksi hibryd

Secara ringkas, Bordieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan:

(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Bordieu, 1984:101)

Rumus ini mengganti setiap relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. Pemahaman terhadap rumusan ini kemudian mengantarkan pada penjelasan Bordieu tentang

Doxa. ‘Doxa’ adalah sejenis tatanan sosial dalam diri subjek (budaya melayu) yang stabil dan

terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan oleh masyarakat pendukungnya. Dalam praktiknya, Doxa tampil melalui pengetahuan-pengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu tanpa dipikir atau ditimbang terlebih dahulu. Misalnya seperti tradisi silaturahmi bagi masyarakat Melayu merupakan suatu praktik sosial yang tidak perlu lagi dipertanyakan alasannya.

Lebih jauh lagi Bordieu menemukan adanya semacam aturan yang bekerja sebagai modus dari apa yang ia sebut sebagai kekerasan simbolik (Symbolic Violence). ‘Kekerasan

simbolik’ adalah kekerasan dalam bentuk halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen

sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus. Pada konteks ranah interaksi global, budaya Melayu bukanlah kontestan baru yang tidak tahu apa-apa. Sebaliknya, orang Melayu telah menjadi bagian dalam “diplomasi budaya” sejak milineum pertama berputar.

(11)

Hibriditas: Kreatifitas Menghadapi Dominasi

Ide tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi membawa kita kepada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-beda. Inilah yang disebut

hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi.

Pada tahap ini menjadi penting untuk berbicara tentang kreolisasi. Dalam kreolisasi elemen-elemen kebudayaan lain diserap, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Subkultur rasta di Jamaika memakai rantai di sabuk celana, panjang, menjuntai ke bawah, menyapu lantai. Mereka memakainya sebagai bentuk solidaritas kepada teman-temanya yang dipenjara. Tetapi di Indonesia, rantai semacam itu dipakai untuk pengikat dompet, selain sebagai asesori fesyen, juga agar tak mudah kecopetan.

Konsep kreolisasi sekaligus memberikan cara berpikir alternatif, yang berbeda dengan konsep imperialisme kultural (Tomlinson 1991), yang menganggap Barat telah berhasil melakukan dominasi budaya atas Timur dengan menciptakan “kesadaran palsu” lewat budaya massa, benda-benda konsumen dll. Karena kenyataannya konsumen tidaklah pasif, melainkan menciptakan makna-makna baru bagi benda-benda dan simbol-simbol yang mereka konsumsi.

Homi Bhabha (1994) mengajukan konsep mimikri untuk menggambarkan proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Menurutnya mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit berwarna kepada kulit putih, tetapi peniru menikmati/bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang “tidak tepat” dan “salah tempat”, ia imitasi sekaligus subversi. Dengan begitu mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Inilah dasar sebuah identitas hibrida.

Merumuskan Jati Diri Ke-Melayu-an yang Elegan: Sebuah Simpulan

Ben Anderson, dalam bukunya Imagined Communities: Reflections on the Origins and

Spread of Nationalism (1983), menyatakan bahwa “bangsa” adalah sebuah “komunitas

(12)

bahasa, kesadaran waktu, dan kesadaran ruang, merupakan konstruksi yang diciptakan lewat fasilitas-fasilitas komunikasi dalam ranah interaksi.

Kritik yang bisa dikemukan atas pemikiran Anderson ini adalah bahwa ia menganggap bahasa bersifat statis. Anderson terlalu memkasakan aspek homogen, kesatuan, dan kekuatan perasaan kebangsaan yang mengatasi perbedaan klas, gender, etnisitas dsb, dan tidak melihat

bahwa perbedaan konteks dan lapangan-lapangan interaksi ternyata menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda. Seolah-olah sebuah bangsa hanya hidup dalam kotak (ranah) budayanya (habitus), padahal setiap bangsa saling terjalin ikatan relasi dalam ranah yang lebih luas. Dari sinilah kemusian istia ketidak stabilan budaya mengemuka. Ketidakstabilan serperti yang terjadi pada bahasa, menurut Homi Bhabha (1994), memaksa kita untuk tidak memikirkan kebudayaan dan identitas sebagai entitas yang bersifat tetap, tetapi selalu berubah.

Pemikiran Anderson jelas tidak memadai untuk melihat konteks kebudayaan dan identitas terbentuk dan berdinamika dalam globalisasi. Globalisasi menyediakan sebuah tempat yang lapang bagi konstruksi identitas; pertukaran benda-benda/simbol-simbol dan pergerakan antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, membuat percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin mudah.

Dalam globalisasi, kebudayan dan identitas bersifat translokal (Pieterse 1995). Kebudayaan dan identitas tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam term tempat, tetapi akan lebih baik jika dikonseptualisasikan dalam term perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, juga kebudayaan sebagai sites of criss-crossing travellers (Clifford 1992). Oleh krena itu, globalisasi pada hakikatnya telah membawa perubahan besar bagi sebuah entitas kebudayaan. Serangkaian penjabaran dinamika budaya Melayu di atas ingin membwa pada pemahaman akan pentingnya upaya-upaya pelestarian tinggalan budaya Melayu di tengah derasnya arus globalisasi. Penggalian, pendokumentasian dan perawatan, pelestarian, hingga pada akhirnya penyajian —kalau tidak ingin disebut “penjualan”— kepada dunia merupakan langkah yang

harus ditempuh demi lestarinya budaya Melayu. Namun, sebagai bagian dari ranah interaksi bduaya global, kebudayaan Melayu tealh mencerminkan sikap akomodatif yang elegan dalam waktu yang singkat. Hidbridisasi sebagai wujud rekonstuksi identitas ke-melayu-an di ranah pergaulan internasional menjadi satu keharusan agar Kebudayaan ini tetap menempati martabatnya sebagai budaya bangsa yang berdaulat.

(13)

tidak sebentar. Dalam perjalanannya budaya Melayu melalui masyarakat pendukungnya mencoba menafsirkan kembali niali-nilai falsafah dan norma-norma adiluhung dari budaya melayu itu sendiri (self reflection). Kemudian dengan seiring jalannya waktu, pergaulan antar budaya dalam dinamika globalisasi mendorong masyakat Melayu untuk bertoleransi dengan budaya lain khususnya Barat, untuk diadopsi pada fragmen-fragmen tertentu dalam “tubuh”

budaya Melayu. Alhasil beberapa perwujudan dari bentuk material budaya Melayu kini terkesan lebih metropolis dan modern (dalam presepektif umum bahwa modern merupakan representasi budaya barat)

Tradisi atau gagasan pelestarian dan komodifikasi produk-produk budaya yang muncul dari Barat tampaknya adalah satu hal pelajaran tersendiri bagi eksitensi budaya Melayu ke depan. Masyarakat melayu sebagai salah satu representasi masyarakat Timur, barangkali kerap bersikap skeptis terhadap hal ini. Namun, perlu di ingat bahwa tidak semua yang datang dari Barat itu buruk dan harus dihindari, nyataannya justru mampu mendorong kreatifitas bagi konsruksi budaya dan membawa keuntungan bagi pelestarian serta pengembangan kebudayaan Melayu modern. Selain itu dalam ranah intelektual global, budaya yang bekerja pada basis ide, gagasan, maupun pengetahuan dapat menjadikan ranah interaksi ini sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya Barat melalui peruwujudan budaya hybrid.

i

Istilah ini dipakai Edward W. Said. Untuk lebih jauh lihat bukunya, Orientalism:Western Representations of the Orient, London: Routledge and Kegan Paul, 1978.

ii

Istilah hegemoni berasal dari kata Yunani yaitu hegeisthai (to lead atau shidouken). Kata ini banyak dipakai oleh para ahli sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa. Tokoh hegemoni yang terkenal adalah Antonio Gramsci (1891-1937). Analisis hegemoninya merupakan usaha improvisasi terhadap konsep determinasi ekonomi dan kritik terhadap kaum kapitalis. Meskipun analisis hegemoni Gramsci berkisar pada kekuasaan ekonomi, namun konsep hegemoni dapat diperluas ke wilayah sosial dan regional

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2004. Warisan Budaya. Dalam “Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya”, Arwan Tuti Artha. Yogyakarta: Kunci Ilmu.

Ayatroehaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local genius). Jakarta:Pustaka Jaya Akbar, Taufik . 2010. Islam dan budaya lokal. Radar lampung, 22 Mei 2010.

Al Mudra, Mahyudin. 2007a. MelayuOnline.com Sebagai Sara¬na Merekonstruksi Peradaban Melayu di era Gelom¬bang Ketiga. http://melayuonline.com/article

(14)

Anderson, B. 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang. Terj. Omi

Intan Naomi dari buku Imagined Communities: Reflections on the origin and Spread of Nationalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajara & Insist Press.

Benedict R O’G Anderson, dalam Komunitas-komunitas Imajiner: Nasionalisme (terj: Omi Intan Naomi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: a Social Critique of the Judgment of Taste, dalam Jonathan H Turner (1998) The Structure of Sociological Theory. New York: Wadsworth Publishing Company. h: 515.

Bourdieu, Pierre. 1990. In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology. California: Stanford University Press. h: 60-1.

Bourdieu, Pierre. 1990. The Field of Cultural Production of the Economic World, dalam Richard Harker dkk. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. h: 10.

Friedman, Jonathan. 1994. Cultural Identity and Global Process. London: Sage Publications. Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture, London and New York: Routledge.

Hasan Hanafi. 2000. “Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat”. Bandung: Penerbit Paramadina.

Suparlan, Parsudi, 2001b, “Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme”. Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.

Takwin, Bagus. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu, Pengantar dalam Richard Harker dkk. (1990) An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory (Edisi

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan regresi linear berganda menghasilkan persamaan Y= 6,591+0,109+0,311, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel citra merek dan harga memiliki pengaruh yang

Pandangan yang dikemukakan oleh para sarjana awal ini tidak jauh berbeza dengan mengukur kegagalan PKM hanya selepas Darurat, tetapi gagal melihat satu faktor utama

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir dengan judul “Aplikasi

pendidikan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada UAN 2004/2005 meraih nilai NEM tertinggi se Kabupaten Malang.7 Berangkat dari landasan pemikiran ini

Mereka yang bekerja di sektor informal bisa menjadi sukses dan memiliki pendapatan yang memadai adalah mereka yang baik dengan memilih kesungguhan, akhlaq mulia

RKA - SKPD 2.2 TAHUN ANGGARAN 2014 Organisasi Urusan Pemerintahan : : 1.03.. - DINAS PEKERJAAN UMUM CIPTA KARYA DAN

RIP'S (Ribosome In-activating Protein) merupakan jenis senyawa yang secara intensif diteliti pada beberapa jenis tanaman dari famili Cucurbitaceae, seperti

Dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-undang No 13 tahun 2013yang menyatakan “ pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh