Prosiding Seminar Nasional Kimia-Lombok 2016 Lombok, 10-11 Agustus 2016
Artikel No.XXX
ASPEK KEAMANAN DAN FUNGSIONAL DARI PANGAN KHAS LOMBOK UNTUK PERKULIAHAN KIMIA BAHAN MAKANAN
SAFETY AND FUNCTIONAL ASPECTS OF TRADITIONAL FOOD OF LOMBOK FOR FOOD CHEMISTRY COURSE
Nova Kurnia1*, Liliasari2, Dede Robiatul Adawiyah3 dan FM Titin Supriyanti2
1Pendidikan Kimia IKIP Mataram, Jalan Pemuda No 59 A Mataram, 83511
2Pendidikan IPA, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Dr. Setiabudhi
No.229 Bandung, 40154
3Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Jalan Raya Darmaga Bogor, 16680
email: novakimia88@yahoo.com
ABSTRAK
Lombok memiliki beragam kebudayaan, di antaranya di bidang pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pangan khas Lombok, aspek keamanannya dan fungsionalnya sehingga dapat dijadikan sebagai kasus dalam perkuliahan kimia bahan makanan. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara wawancara terhadap dua orang budayawan Lombok dan empat orang masyarakat setempat. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu pedoman wawancara, catatan lapangan dan kamera. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu (1) pangan khas Lombok diantaranya Ares, Bebalung, Sate Pusut, Cengeh, Pelecing Kangkung dan Ayam Taliwang; (2) aspek keamanan secara umum terlihat dari pemilihan bahan baku dan penggunaan garam dapur; dan (3) potensi pangan fungsionalnya sangat beragam mulai dari adanya serat yang dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler dan menghindarkan dari obesitas; bawang putih sebagai antioksidan dan antibakteri; bawang merah sebagai anti kanker dan antifungal; jahe sebagai antioksidan; lengkuas sebagai antibakteri dan neuroprotective; dan daun asam jawa sebagai antioksidan. Dengan demikian, pangan khas Lombok memiliki aspek keamanan pangan dan pangan fungsional yang dapat dijadikan sebagai kasus dalam perkuliahan kimia bahan makanan.
Kata Kunci: Keamanan, fungsional, kimia bahan makanan
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Saat ini masyarakat makin menyadari pentingnya meningkatkan kesehatan melalui konsumsi produk pangan yang mempunyai khasiat lebih dibandingkan makanan pada umumnya. Produk pangan tersebut umumnya dikenal saat ini sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan [1]. Sementara menurut Functional Food Center
(FFC) Dallas USA dalam 17th International Conference 2014 menyatakan bahwa
pangan fungsional merupakan pangan alami ataupun olahan yang mengandung senyawa bioaktif yang tidak bersifat toksik dalam jumlah yang efektif saat dikonsumsi, yang dibuktikan secara klinis dan memiliki dampak kesehatan untuk pencegahan, pemeliharaan atau perlakuan terhadap penyakit kronis [2].
Istilah pangan fungsional mulanya diperkenalkan di Jepang pada awal 1980-an, yang mengacu pada pangan olahan dengan ingredient yang berdampak menguntungkan bagi fungsi fisiologis tubuh manusia, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang telah mengatur “Food for Specified Health Use” (FOSHU) sebagai sistem peraturan yang mengizinkan klaim atau pernyataan dalam label makanan yang berdampak baik bagi kesehatan tubuh [2,3]. Meskipun demikian, suatu pangan fungsional tidak akan berdampak baik jika pangan tersebut tidak memenuhi aspek keamanannya.
Isu keamanan pangan (food safety) telah menjadi perhatian utama dunia melalui WHO dalam peringatan Hari Kesehatan Sedunia 2015 yang bertema
“From farm to plate, make food safe.” Tema tersebut menyimpan pesan bahwa
Cemaran atau bahaya biologi dapat bersumber dari bakteri patogen, jamur
(fungi), virus dan parasit yang dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti
diare dan gangguan pencernaan. Beberapa jenis bakteri yang menyebabkan keracunan diantaranya Salmonella spp. Staphylococcus aureus, E. coli, Listeria, Clostridium perfringens, Bacillus aureus, dan Clostridium botulinum. Untuk cemaran atau bahaya kimia dapat berasal dari dalam pangan itu sendiri, maupun berasal dari luar. Bahaya kimia yang berasal dari bahan pangan itu bisa berasal dari proses metabolisme bahan ataupun hasil metabolisme yang berada pada bahan pangan tersebut. Selanjutnya bahaya kimia yang berasal dari luar pangan itu antara lain cemaran dari polusi pestisida dan logam berat seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), arsenik (As), dan uranium (U) [5].
Keamanan pangan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis seperti faktor air, oksigen, pH, suhu, penanganan dan waktu. Dengan demikian, upaya peningkatan keamanan pangan dapat diartikan sebagai usaha-usaha komprehensif untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan pengaruh dan interaksi negatif faktor-faktor tersebut. Masyarakat memiliki pengetahuan dan budaya tersendiri, bagaimana menyajikan makanan yang aman untuk dikonsumsi. Budaya tersebut sudah lahir sejak lama dan terus diturunkan dari generasi ke generasi.
Kebudayaan merupakan sebuah simbol dari masyarakat dan dapat untuk dipelajari [6]. Begitu pula dengan masyarakat di Pulau Lombok, tentu memiliki berbagai pangan khas sebagai kekayaan budayanya dengan aspek keamanannya dan potensinya sebagai pangan fungsional yang perlu diungkap. Sampai saat ini, belum pernah ada laporan penelitian yang mengangkat keamanan pangan dan potensi pangan fungsional dari budaya Lombok. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menggali aspek pangan fungsional (functional food) dan aspek keamanan pangan (food safety) budaya Lombok sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai kasus dalam perkuliahan kimia bahan makanan.
METODE PENELITIAN
Sebagai informan dari penelitian ini yaitu budayawan Lombok, antara lain Ketua Pengemban Budaya Sasak Kota Mataram dan Ketua Pengemban Budaya Sasak Kabupaten Lombok Tengah. Selain itu, informan penting lainnya yaitu 4 orang pembuat makanan khas Lombok.
Adapun instrumen penelitian yang digunakan yaitu pedoman wawancara, catatan lapangan dan kamera untuk alat dokumentasi. Prosedur penelitian dimulai dengan melakukan wawancara terhadap 2 orang budayawan Lombok untuk menggali informasi terkait pangan khas Lombok. Setelah mendapatkan informasi tersebut, dilakukan pengambilan data berikutnya ke tempat dimana berlangsung pembuatan pangan khas Lombok tersebut disamping melakukan wawancara kepada 4 orang pembuat makanan khas Lombok. Wawancara dilakukan pada bulan April 2016 selama 2 minggu.
Lokasi pengambilan data yaitu di (1) Desa Plambik, Kecamatan Praya Barat Daya, (2) Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, (3) Desa Penujak, Kecamatan Praya Barat yang semuanya berada di Kabupaten Lombok Tengah, dan (4) Kampung Karang Taliwang, Kota Mataram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil wawancara kepada narasumber baik budayawan maupun pembuat makanan khas Lombok dirangkum dan dirincikan segala bahannya dengan potensi sifat fungsionalnya seperti yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pangan khas Lombok dan potensinya sebagai pangan fungsional.
jawa Anti mikroba [17],antioksidan [18]
3 Cengeh Aneka sayuran
putih Anti antimikroba [10];antioksidan [24]
Serat Menurunkan resiko
Selain serat, potensi pangan fungsional lainnya berasal dari penambahan bumbu tradisional berupa bawang putih (Allium sativum), bawang merah (Allium cepa), jahe (Zingiber officinale Rosc) dan lengkuas (Alpinia galanga). Efek menguntungkan bawang putih bagi kesehatan yang seringkali ditonjolkan antara lain sebagai antibakteri gram positif maupun gram negatif. Begitu pula dengan bawang merah yang juga memiliki potensi sebagai anti kanker dengan kandungan polifenolnya dan sebagai antifungal [12]. Kemampuan sayuran dari genus Allium dalam melawan potensi kanker juga dengan adanya senyawa organosulfur [20]. Adapun jahe dikenal dapat berperan sebagai antioksidan [14] dan antibakteri [13].
Sementara itu, menurut informan 1 dan 2 sebagai pembuat makanan khas Lombok terkait proses pembuatan bebalung, penambahan lengkuas ditujukan untuk menghilangkan bau amis dari daging. Lengkuas diketahui memiliki sifat antibakteri baik dari daun maupun rizomanya terhadap Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhi [15] serta memiliki sifat
neuroprotective yang mencegah amnesia [16]. Sedangkan penambahan daun
asam jawa muda agar rasa masakan menjadi lebih segar. Daun asam jawa
(Tamarindus indica) memiliki khasiat sebagai antioksidan dengan terkandungnya
senyawa metabolit sekunder berupa senyawa fenolik [18] juga dapat berperan sebagai antimikroba [17].
Aspek keamanan pangan dari masyarakat Lombok umumnya berhubungan dengan garam dapur. Hal ini dapat terlihat pada pembuatan ares dan pelecing kangkung. Ketika pembuatan ares, sebelumnya harus dipilih batang pohon pisang yang layak untuk dijadikan sayur ares. Batang pisang yang dipilih tentunya yang tidak terkena hama atau penyakit, yang oleh masyarakat Lombok disebut sebagai ireng. Menurut Ketua Pengemban Budaya Sasak Lombok Tengah, bahwa pohon pisang yang terkena penyakit ireng memiliki ciri-ciri tumbuh tidak normal dan daunnya banyak sobekan. Setelah didapatkan batang pisang yang sesuai, selanjutnya masuk ke tahapan proses pembuatannya. Batang pisang yang telah diiris diberikan taburan garam dapur dan didiamkan sekitar 30 menit. Hal ini menurut informan 1 memiliki beberapa tujuan sebagaimana yang terangkum pada hasil wawancara berikut ini:
Informan 1 : Aden saq lemes, telang getaqn, pekurang aiqn, pekurang rase
pait, dait aden lebih bersih ruen dait putiq. (Artinya : supaya batang pisang
lunak, menghilangkan getah, mengurangi kadar air, mengurangi rasa pahit, dan agar terlihat makin bersih dan putih).
Sepanjang pengamatan, terlihat bahwa lama-kelamaan irisan batang pisang tersebut berair. Secara kimia, hal ini dapat disebut sebagai peristiwa osmosis. Osmosis dikenal sebagai proses yang fundamental dalam sel tanaman, hewan, maupun manusia [21]. Secara tradisonal, garam dapur telah dikenal sebagai bahan pengawet makanan untuk meningkatkan kesehatan manusia dengan cara membunuh atau membatasi pertumbuhan dari patogen penyakit makanan dan organisme penyebar penyakit lainnya setelah menurunkan aktivitas air pada makanan. Ketersediaan air biasanya menjadi faktor utama pertumbuhan mikroba pada makanan [22]. Umumnya dalam lingkungan dengan kondisi garam (saline), kebanyakan bakteri, jamur dan organisme patogen lainnya mengalami dehidrasi dan mati atau menjadi tidak aktif karena osmosis [23].
Penambahan garam dapur juga pada pembuatan pelecing kangkung. Garam dapur atau dalam bahasa Lomboknya disebut sie digunakan untuk membersihkan kangkung dari kontaminasi bakteri dan lintah setelah dipetik.
Peneliti : Berembe entan aden kangkung aman tedaran? (Artinya : Bagaimana caranya supaya kangkungnya aman untuk dimakan?)
Informan 2 : Perlun tebeng sie pasn tebesoq aden mati kuman dait lentaq.
(Artinya : perlu diberikan garam dapur ketika dicuci supaya kuman/bakterinya dan lintah mati).
Untuk makanan khas lainnya, aspek keamanannya terlihat seperti biasa dengan pencucian dengan air bersih.
KESIMPULAN
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih untuk Ketua Pengemban Budaya Sasak Kota Mataram dan Lombok Tengah serta kepada empat orang informan pembuat makanan khas Lombok.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK 00.05.52. 0685 Tahun 2005 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Funsional.
[2] Martirosyan, D. M and J. Singh. 2015. A new definition of functional food by FFC: what makes a new definition unique?. Functional food in Helath and
Disease. 5(6): 209-223.
[3] Shimizu, T. 2012. Functional food in Japan: current status and future of gut-modulating food. Journal of Food and Drug Analysis. 20(1): 213-216.
[4] UU RI Nomor 18 tahun 2012 Tentang Pangan.
[5] Wallace, C.A., W. H. Sperber, and S. E. Mortimore. 2011. Food safety for the 21st century. Wiley-Blackwell, USA.
[6] Kottak, C.P. 2011. Cultural anthropology. McGraw-Hill, New York.
[7] Kaczmarczyk, M. M., M. J. Miller, and G. G. Freund. 2012. The health benefits of dietary fiber: beyond the usual suspects of type 2 diabetes, cardiovascular disease and colon cancer. Metabolism. 61(8): 1058-1066.
[8] Slavin, J. 2013. Fiber and prebiotics: mechanisms and health benefits.
Nutrients. 5: 1417-1435.
[9] Lattimer, J. M and M. D. Haub. 2010. Effects of dietary fiber and its components on metabolic health. Nutrients. 2: 1266-1289.
[10] Tacouri, D. D., D. Ramful-Baboolall, and D. Puchooa. 2013. In vitro bioactivity and phytochemical screening of selected spices used in Mauritian spices. Asian Pasific Journal of Tropical Disease. 3(4): 253-261.
[11] Han, M. H., W. S. Lee., J. H. Jung., J. H. Jeong., C. Park., H. J. Kim., K. GonSup., J. M. Jung., T. K. Kwon., G. Y. Kim., C. H. Ryu., S. C. Shin., S. C. Hong, and Y. H. Choi. 2013. Polyphenols isolated from Allium cepa L. induces apoptosis by suppressing IAP-1 through inhibiting PI3K/Akt signalling pathways in human leukemic cells. Food and Chemical
Toxicology. 62: 382-389.
[12] Teshima, Y., T. Ikeda., K. Imada., K. Sasaki., M. El-Sayed., M. Shigyo., S. Tanaka, and S. Ito. 2013. Identification and biological activity of fungal saponins from shallot (Allium cepa L. Aggregatum group). Journal of
Agricultural and Food Chemistry. 61: 7440-7445.
[14] Han, J. S., S. Lee., H. Y. Kim, and C. W. Lee. 2015. MS-based metabolite profiling of aboveground and root components of Zingiber mioga and
officinale. Molecules. 20: 16170-16185.
[15] Bhunia, D and A. K. Mondal. 2012. Antibacterial activity of Alpinia L. (Zingiberaceae) from santal and lodha tribal areas of paschim medinipur district in eastern india. Advances in Bioresearch. 3(1): 54-63.
[16] Singh, J. C. H., V. Alagarsamy., P. V. Diwan., S. S. Kumar., J.C. Nisha, and Y. N. Reddy. 2011. Neuroprotective effect of Alpinia galangal (L.) fractions on
Aβ(25-35) induced amnesia in mice. Journal of Ethnopharmacology. 138:
85-91.
[17] Kuru, P. 2014. Tamarindus indica and its health related effects. Asian Pasific
Journal of Tropical Biomedicine. 4(9): 676-681.
[18] Caluwe, E. D., K. Halamiva, and P. Van Damme. 2010. Tamarindus indica
L.–A review of traditional uses, phytochemistry and pharmacology. Afrika
Focus. 23(1): 53-83.
[19] Otles, S and S. Ozgoz. 2014. Health effects of dietary fibers. Acta
Scientiarium Polonorium Technology Alimentarium. 13(2): 191-202.
[20] Park, H. S., E. J. Choi., J. H. Lee, and G. H. Kim. 2013. Evaluation of Allium vegetables for anti-adipogenic, anti-cancer, and anti-inflammatory activities in vitro. Journal of Life Science. 5(2): 127-132.
[21] Cannon, J., D. Kim., S. Maruyama, and J. Shiomi. 2012. Influence of ion size and charge on osmosis. The Journal of Physical Chemistry. 116: 4206-4211.
[22] Liem, D. G., F. Miremadi, and R. S. J. Keast. 2011. Reducing sodium in foods: the effect of flavour. Nutrients. 3: 694-711.
[23] Doyle, M. E and K. A. Glass. 2010. Sodium reduction and its effect on food safety, food quality and human health. Comprehensive Reviews in Food
Science and Food Safety. 9: 44-56.
[24] Meriga, B., R. Mopuri, and T. MuraliKhrisna. 2012. Insecticidal, antimicrobial and antioxidant activities of bulb extracts of Allium sativum. Asian Pasific