• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Sosiologi Sastra . docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Sosiologi Sastra . docx"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sastra sebagai produk budaya yang sebagian besar dinskripsikan dalam bentuk tulisan merupakan representasi pikiran dan perasaan manusia sebagai makhluk sosial. Selain menggambarkan ide dan gagasan penulisnya, sastra juga dapat menggambarkan sistem sosial dan budaya sebagai tempat penulis itu hidup. Hal ini dapat dilihat apabila penulis sastra adalah orang yang berdomisili di Arab dan berbudaya Arab maka sebagian besar karya sastra ciptaannya pasti

merepresentasikan sistem sosial dan budaya Arab. Contohnya novel ‘Girls of Riyadh’ (banāt al-Riyadh) yang ditulis oleh Rajaa al-Sanea. Rajaa al-Sanea yang merupakan representasi pribadi yang hidup di tengah masyarakat Arab telah menggambarkan sistem sosial dan budaya Arab dalam novelnya tersebut. Dalam novel ‘Girls of Riyadh’ penulis melukiskan sistem patriarki yang masih sangat kental dalam sistem sosial di Saudi Arabia. Sastra dengan demikian merupakan produk budaya yang menggambarkan aktivitas sosial masyarakat yang diwakili oleh tokoh-tokohnya dalam suatu setting tertentu.1

Sebuah karya sastra dapat dipandang sebagai potret kehidupan manusia. Di dalamnya sang penulis mengetengahkan model kehidupan para tokoh dan kondisi sosial yang antara lain mencakup struktur sosial, hubungan sosial, pertentangan sosial, hubungan kekeluargaan, dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah, dan sisi-sisi kehidupan sosial lainnya seperti layaknya kehidupan nyata. Dengan demikian, menghayati dan memahami karya sastra sama halnya dengan menghayati dan memahami manusia dan kehidupannya dalam segala segi, yang pada hakikatnya dapat dikaji oleh disiplin-disiplin ilmu yang berhubungan dengan manusia (ilmu humaniora atau ilmu sosial). Salah satu disiplin ilmu yang dapat mengkaji karya sastra dalam kaitannya dengan kehidupan sosial adalah sosiologi sastra.

Sosiologi sastra merupakan kajian sastra dalam kaitannya dengan masyarakat. Sosiologi sastra berarti mengkaji karya sastra dengan cara

(2)

menghubungkannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam makalah ini lebih terarah, maka perlu diberikan rumusan masalah sehingga tidak keluar dari topik permasalahan yang ingin dibahas.

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah relasi atau hubungan antara sosiologi dengan sastra? 2. Bagaimanakah kerangka teoritis sosiologi sastra?

3. Bagaimanakah aplikasi teori sosiologi sastra?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan relasi atau hubungan antara sosiologi dengan sastra.

2. Untuk mendeskripsikan kerangka teoritis sosiologi sastra. 3. Untuk mendeskripsikan aplikasi teori sosiologi sastra.

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Sosiologi Sastra

(3)

pertemanan’.2 Sosiologi juga sering disebut sebagai kajian tentang masyarakat

atau kajian tentang kehidupan sosial.3

Menurut Ritzer, sosiologi merupakan disiplin ilmu tentang masyarakat yang melandaskan pada tiga paradigma yaitu pertama paradigma fakta sosial yang berupa lembaga-lembaga dan struktur sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang nyata, yang berada di luar individu; kedua paradigma definisi sosial yang

memusatkan perhatian pada cara-cara individu dalam mendefinisikan situasi sosial dan efek dari definisi itu terhadap tindakan yang mengikutinya; dan ketiga paradigma perilaku manusia sebagai subjek yang nyata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan disiplin ilmu tentang kehidupan masyarakat yang objek kajiannya mencakup fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial yang menunjukkan hubungan interaksi dalam suatu masyarakat.4

Dalam kaitannya dengan masyarakat, sastra merupakan sarana yang sering dipergunakan untuk mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup dalam

masyarakat.5 Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang

ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman tersebut. Penulis mengarang karya sastra sebagai seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang juga merupakan anggota

masyarakat.6

Sastra sebagai cerminan masyarakat dan tidak lahir dari kekosongan budaya dapat dikaji secara interdisipliner. Studi sastra interdisipliner adalah teori yang menggunakan disiplin ilmu bantu lain dalam mengkaji karya sastra, melihat hubungannya dengan disiplin ilmu lain, dan persoalan lain yang lebih luas. 7 Salah

satu bidang ilmu yang dapat digunakan untuk mengkaji sastra adalah sosiologi sastra.

Secara sederhana, sosiologi sastra adalah kajian sastra dalam kaitannya dengan masyarakat. Definisi lainnya mengungkapkan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang membahas hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya,

2Heri Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. op.cit., hlm.4.

3Syahrial Syarbaini dan A. Rahman, Sosiologi dan Politik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004,hlm.9.

4Heri Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, op.cit., hlm.4.

5Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Terjemahan oleh Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm.12.

6Ibid., hlm.23.

(4)

status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan segmen pembaca yang ditujunya.Dalam sosiologi sastra, sebuah karya sastra baik isi maupun bentuknya dilihat secara mutlak terkondisikan oleh lingkungan dan kekuatan sosial tertentu pada periodenya.8

2.2. Relasi Sosiologi dengan Sastra

Sebagai produk budaya yang berupa tulisan bermedia bahasa, sastra tidak bisa dilepaskan dari manusia sebagai penulisnya.Sastra eksis karena ada manusia yang menulisnya (penulis) dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi objek kajian sosiologi. Dalam konteks ini, relasi sosiologi dengan sastra digambarkan sebagai berikut.

Pertama, relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh pengarang. Penulis karya sastra adalah individu yang hidup dalam konteks masyarakat. Oleh karena itu, pikiran dan perasaan yang ditulis dalam karya sastra selalu merepresentasikan pandangan-pandangannya pada masyarakat tempat penulis itu eksis. Pandangan-pandangan penulis umumnya merepresentasikan keadaan sosial masyarakatnya. Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk bermasyarakat yang akan selalu melakukan proses internalisasi dan asimilasi terhadap nilai dan norma dalam masyarakat. Nilai-nilai yang menginternal dalam diri penulis sebagai bentukan dalam kehidupan bermasyarakat itulah yang selanjutnya muncul sebagai pandangan dunia dalam karya sastra.

Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah sebuah bentuk refleksi keadaan, nilai, dan kehidupan masyarakat yang menghidupi penulisnya, atau pernah mempengaruhi penulisnya. Penulis sebagai anggota masyarakat memotret kehidupan masyarakat tersebut sesuai dengan pandangan dan ideologinya. Oleh karena itu, hubungan masyarakat dengan sastra dimediasi oleh penulisnya.

Dengan melihat fakta ini, maka sosiologi sastra menjadikan penulis sebagai individu yang perlu menjadi fokus kajiannya. Sosiologi sastra sering

(5)

diorientasikan untuk menelaah ideologi atau pandangan dunia penulis terhadap kondisi masyarakat yang ada.

Kedua, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh fakta sastra. Fakta sastra dalam sebuah karya sastra berupa peristiwa yang aspeknya adalah tokoh, tempat, dan waktu (alur) yang membentuk keterpaduan. Dalam hal ini, peristiwa dan kejadian yang dideskripsikan dalam sastra bisa jadi merupakan hasil rekaan tetapi secara substansi merepresentasikan ideologi penulis terhadap suatu kondisi sosial masyarakat tertentu. Oleh karena itu, peristiwa dalam sastra

memiliki relasi dengan kondisi sosial masyarakat yang diacu. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Teeuw (1980) bahwa sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Artinya konteks peristiwa yang dibangun dan disusun dalam karya sastra jelas berkaitan dengan budaya dan kondisi sosial.

Ketiga, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh pembaca. Karya sastra pada hakikatnya adalah produk budaya yang akan bermakna bila terjadi komunikasi dengan pembaca melalui interpretasi pembacaan yang intens. Tanpa interpretasi pembacaan oleh pembaca, karya sastra tetap tidak bermakna. Hal inilah yang menjadikan fokus kajian terhadap pembaca. Pembaca adalah pemberi makna terhadap eksistensi karya sastra. Oleh karena itu, analisis terhadap

pemaknaan pembaca terhadap karya sastra menjadi bagian yang penting. Pembaca karya sastra adalah individu yang hidup dalam kondisi masyarakat tertentu

sehingga kondisi budaya dan sosial masyarakat sebagai tempat pembaca hidup dan mendapatkan segala nilai dan pengetahuannya jelas mempengaruhi

interpretasi pembaca terhadap karya sastra.

Keempat, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh kenyataan. Hal ini menandakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat. Sastra menggambarkan dunia yang sebenarnya. Oleh karena itu, kenyataan sosial imajiner sastra juga merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya. Dari konsep inilah hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh kenyataan sosial yang sebenarnya.

(6)

menunjukkan keberadaan suatu masyarakat sehingga penggunaan bahasa dalam sastra pun mencerminkan kondisi masyarakatnya. Begitu juga halnya dengan bahasa Arab yang mencerminkan keadaan sosial masyarakat Arab pada zamannya. Bahasa Arab yang digunakan pada zaman jahiliyah tentu berbeda dengan bahasa Arab yang digunakan pada zaman modern seperti dalam hal diksi, kalimat, hingga ungkapan-ungkapannya. Hal ini terjadi karena kondisi sosial berbahasa dalam masyarakatnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahasa juga menjadi mediasi dalam hubungan antara sosiologi dengan sastra.

Dengan melihat berbagai mediasi yang merelasikan hubungan antara sosiologi dengan sastra , maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara sastra dengan sosiologi adalah hubungan yang secara eksistensi disiplin ilmu memang ada dan tidak bersifat mengada. Hubungannya bersifat kompleks dan menyeluruh karena melibatkan berbagai unsur pembangun sastra yaitu penulis, fakta sastra, pembaca, dunia yang diacu, dan bahasa.9

2.3. Teori Sosiologi Sastra

Teori memegang peranan penting dalam sebuah penelitian. Teori

memberikan kerangka pendekatan, metode, dan teknik sehingga memungkinkan untuk berpikir secara teoritis dan sistematis. Begitu juga halnya dengan teori sosiologi sastra. Teori sosiologi sastra bertolak dari asumsi bahwa kehidupan dalam karya sastra mempunyai sistem sosial yang dapat disamakan dengan sistem sosial di luar karya sastra (dalam masyarakat nyata).10

Teori sosiologi sastra ini berawal dari konsep mimesis (tiruan) dari Plato (428-348 SM) yang melihat karya sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Berbeda dengan Plato, Aristoteles (384-322) berpendapat bahwa dalam meniru realitas, sastrawan tidak semata-mata meniru realitas, melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru karena karya sastra ditentukan oleh sikap kreatif sastrawan dalam memandang realitas. Dalam teori sastra Arab, adanya teori muhakah (meniru) dan tasni’ (mencipta) baik dalam bentuk tahsin (memperbagus) maupun taqbih (memperburuk) menunjukkan kuatnya pengaruh teori Aristoteles.

9Heri Kuniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, op.cit., hlm.6-10.

(7)

Pada abad ke-18, teori mimesis Plato dan Aristoteles itu dikembangkan oleh Hyppoyte Taine (1766-1817), kritikus Perancis sebagai peletak dasar

sosiologi sastra modern. Menurutnya, sebuah karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ras (apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya),

moment (situasi sosial politik pada masanya), dan lingkungan (kedaan alam, iklim, dan sosial). Dalam khazanah sastra Arab, kritikus sastra yang berpandangan hampir sama dengan Taine adalah Ahmad asy-Syayib (kritikus Arab abad ke-20). Menurutnya, faktor yang mempengaruhi sastra adalah tempat tinggal

sastrawannya, zaman dimana ia hidup, etnisitas, kontak dengan bangsa lain, agama, dan keadaan politik.11

Hubungan antara karya sastra dengan kenyataan mengalami

perkembangan yang cukup menarik di Rusia. Pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra bertumpu pada ajaran Karl Marx dan Lenin. Ajaran tersebut adalah teori pertentangan kelas atau yang dikenal dengan sosialisme komunis. Bagi Marx, setiap zaman pada suatu bangsa terdapat pertentangan kelas. Kelas atas adalah kaum bangsawan atau borjuis sementara kelas bawah adalah rakyat jelata (proletar). Antara kelas atas dan kelas bawah selalu terjadi

perlawanan. Teori pertentangan kelas ini disebut juga teori Marxisme. Menurut Marxisme, sastra adalah refleksi masyarakat yang secara terus menerus berusaha mencerminkan masyarakat. Setiap karya sastra menyuarakan kelas tertentu dan karya sastra merupakan bayangan dan akibat dari sistem ekonomi masyarakat sehingga karya sastra dapat dijadikan alat untuk perjuangan.12

Teori lain yang terdapat dalam sosiologi sastra adalah teori patronase negara (penguasa) terhadap sastrawan dari Diana Laurenson, teori hegemoni dari Raymond William, dan teori sastra kontekstual yang diungkapkan oleh Ariel Heryanto. Diana Laurenson mengungkapkan bahwa salah satu cara penelitian yang mengkaji hubungan antara sastra dengan politik adalah dengan analisis patronase. Menurutnya, ada tiga jenis sistem patronase dalam kesusastraan yaitu sistem patronase lama, sistem patronase kemudian, dan sistem patronase baru yang tidak langsung.

11Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, op.cit., hlm.113-114.

(8)

Dalam sistem patronase lama, hubungan antara sastrawan dan patronnya bersifat pribadi dan kuat bahkan banyak yang tinggal di kediaman sang patron. Oleh karena itu, sastrawan kemudian sering kali menempatkan kesetiaan dirinya kepada sang patron lebih kuat daripada pada profesinya sebagai sastrawan. Di Barat, para patron ini adalah raja-raja dan bangsawan. Dalam patronase kemudian seperti yang terjadi di Inggris sejak abad ke-16, hubungan pribadi antara

sastrawan dengan patronnya cenderung longgar. Sedangkan dalam sistem

patronase baru yang tidak langsung, sang patron hanya berfungsi sebagai mediator dari hubungan antara sastrawan dengan publiknya. Sistem patronase yang tidak langsung ini terjadi pada masa modern yang di dalamnya kehidupan sastrawan tidak bergantung pada patron, tetapi bergantung pada audiensnya, pada hukum penawaran dan permintaan pasar. Sastrawan pun harus berhadapan dengan para mediator yaitu para penerbit, media, pemerintah, dan yayasan swasta yang bergerak di bidang sastra dengan menggandeng para pengusaha.

Selain teori patronase Diana Laurenson, Raymond William (1967) juga memunculkan teori hegemoni untuk melihat hubungan antara sastra dengan politik. Menurut Raymon William, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Ia membagi kebudayaan pada tiga bagian yaitu kebudayaan residual (pengalaman, makna-makna, dan nilai-nilai yang terbentuk pada masa lalu), kebudayaan dominan (yang dominan

dipraktikkan saat ini), dan kebudayaan yang bangkit (alternatif dan bertentangan dari kebudayaan yang dominan).13

Adapun teori sastra kontekstual yang diutarakan oleh Ariel Heryanto mengungkapkan bahwa sastra sebagai seni yang lahir dari sosial. Salah seorang penganut sastra kontekstual di Indonesia adalah Rendra yang dalam sebagian puisinya ia menggeluti persoalan politik.

Dalam kaitannya dengan sosiologi sastra, Wellek dan Warren (1956) mengemukakan tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang. Inti dari analisis sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam

(9)

memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat. Kedua, sosiologi karya sastra. Analisis sosiologi ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga, sosiologi pembaca. Kajian pada sosiologi pembaca ini mengarah pada dua hal yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang diciptakan karya sastra.

Sementara itu, Ian Watt (1964) menyebutkan tiga paradigma dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Adapun analisis sosial pengarang ini meliputi mata pencaharian pengarang, profesionalisme pengarang, dan masyarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Sastra sebagai cermin masyarakat berarti sastra yang merefleksikan masyarakat atau merepresentasikan semangat zamannya. Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan fungsi sastra yang mampu mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat sehingga sastra memiliki fungsi sosial yaitu berperan serta dalam proses terjadinya

perubahan sosial.14

Berdasarkan dua paradigma yang dikemukakan Wellek dan Warren (1956) dan Ian Watt (1964), dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi sastra mengkaji tiga aspek yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Tetapi teori sosiologi sastra tetap berpusat pada karya sastra yang digunakan sebagai data utama untuk memaknai ideologi pengarang, kondisi sosial masyarakat, atau pun proses perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

2.4. Aplikasi Teori Sosiologi Sastra

Teori sosiologi sastra tampaknya hanya mengungkapkan absahnya pengkajian interdisipliner antara sastra dan sosiologi. Akan tetapi, dalam teori tersebut tidak dijelaskan secara rinci bagaimana metode (langkah kerja) yang

(10)

perlu dilakukan dalam sebuah penelitian. Oleh karena itu, dalam praktiknya teori sosiologi sastra ini harus digabung dengan teori lain yang menjelaskan metodologi pengkajian sastra hingga ke mikro teks misalnya digabung dengan teori

strukturalisme genetik atau strukturalisme semiotik. Sehingga aspek intrinsik dan ekstrinsik karya sastra dapat diungkap.

Dalam pengaplikasian teori sosiologi sastra yang fokus kajiannya pada karya sastra, hal yang perlu dilakukan adalah menganalisis unsur-unsur

pembentuk karya sastra yang dikaji secara sosiologis. Tujuannya untuk

mendeskripsikan kenyataan sosial dalam karya sastra. Karena kenyataan sosial dalam karya sastra berimajiner, maka data-data sosial yang disuguhkan dalam karya sastra sebenarnya bersifat terbatas. Oleh karena itu, kedalaman analisis sosiologi sastra ditentukan oleh interpretasi terhadap teks yang dielaborasikan dengan kenyataan sosial dan teori-teori sosiologi. Dalam hal ini, analisis sosiologi sastra dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis struktur intrinsik karya sastra seperti tokoh (syakhsiyyah), latar (khalfiyyah), dan alur (habkah). Ketiga struktur ini menjadi pusat perhatian karena seperti halnya kehidupan, aspek sosial dalam karya sastra dan kehidupan sehari-hari juga berpusat pada tiga hal ini. Analisisnya adalah memahami hubungan yang terjalin antarstruktur tersebut.

Analisis sosiologi dalam struktur karya sastra dilakukan untuk memahami dan memaknai struktur sosial masyarakat di luarnya. Apabila struktur sosiologi dalam karya sastra telah ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah

merelevansikan acuan ‘reference’ struktur sosial karya sastra dengan struktur sosial masyarakat yang sebenarnya. Pada tahap ini, peneliti menganalisis hubungan-hubungan yang terbangun antara struktur sosial karya sastra dengan struktur sosial masyarakat. Dengan analisis ini, maka dapat diketahui hubungan teks dengan konteks sehingga melalui karya sastra dapat dipahami gejala-gejala sosial masyarakat yang terjadi dan pengaruh gejala sosial masyarakat tersebut dengan struktur karya sastra.

(11)

Teori sosiologi sastra digunakan sebagai alat untuk menganalisis keterkaitan novel al-Karnak dengan fakta sosial yang terjadi pada masyarakat Mesir.

Analisis karya sastra dengan menggunakan teori sosiologi sastra juga dapat dilakukan pada puisi (syair) Abu Nawas yang banyak menceritakan tentang khamar (minuman keras). Tema puisi yang menggambarkan tentang khamar tersebut dapat dijadikan objek kajian sosiologi sastra untuk melihat kenyataan sosial yang terjadi pada saat puisi tersebut ditulis.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sosiologi sastra merupakan ilmu yang membahas hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan segmen pembaca yang ditujunya. Dalam sosiologi sastra, karya sastra baik isi maupun bentuknya dilihat secara mutlak terkondisikan oleh lingkungan dan kekuatan sosial tertentu pada periodenya.

(12)

3. Teori sosiologi sastra berawal dari konsep mimesis (tiruan) dari Plato yang melihat karya sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa dalam meniru realitas, sastrawan tidak semata-mata meniru realitas melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru. Teori mimesis Plato dan Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh Hyppoyte Taine sebagai peletak dasar sosiologi sastra modern. Adapun teori lain yang terdapat dalam sosiologi sastra meliputi teori patronase negara dari Diana Laurenson, teori hegemoni dari Raymond William, dan teori sastra kontekstual yang diungkap Ariel Heryanto. Adapun paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra dari Wellek dan Warren adalah sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca. Sementara itu Ian Watt menyebutkan tiga paradigma dalam sosiologi sastra yaitu konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.

Referensi

Dokumen terkait

Agar validitas metode ini terjamin, maka akan diberikan suatu contoh kasus dari persamaan integral fuzzy Volterra dan membandingkan penyelesaian eksak dan

Shukla ve ark (1999) ile benzer şekilde, topikal uygulanan fizyolojik tuzlu suyun iyileşen deri yarası dokusunda hidroksiprolin düzeyini etkileyebileceği yönünde

Ketentuan mengenai pengaturan lokasi tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.3.

Sifat onsetnya yang samar serta perjalanannya yang progresif lambat maka timbulnya gejalanya pun lambat dan tidak disadari sampai akhirnya berlanjut dengan kebutaan. Keluhan

Jadi, etnomusikolog dan etnomusikologi tidak hanya berada di dalam konteks akademik untuk mengembangkan teori yang berlaku di kampus saja tetapi juga kerangka kebijakan yang

Pada tahap ini kegiatan penerapan google form sebagai kuisioner online supaya di isi oleh masyarakat yang mengurus international certificate vaccine (ICV) pada

Framas Plastic Tecnology pada bulan April 2008 dengan menggunakan metode rata-rata Kumulatif, Moving Average 3 bulan dan Moving Average 5 Bulan memiliki hasil yang lebih baik,