TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDI>D AL-NIKA>H KARENA
RAGU KEABSAHAN NIKAH TERDAHULU
(Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo)
SKRIPSI
Oleh
M. Ilyas Akil
NIM. C01212027
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo yang berjudul ”Tinjauan Yuridis Terhadap Tajdi>d Al-Nika>h Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Sedati Sidoarjo)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo serta bagaimana tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data penelitiannya diperoleh melalui wawancara kepada Kepala Kantor Urusan Agama Sedati selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu penelitian yang menggambarkan hasil penelitian diawali dengan mengemukakan kenyataan yang bersifat umum dari hasil penelitian tentang adanya fakta tajdi>d al-nika>h di Kantor Urusan Agama Sedati Sidoarjo kemudian dicocokkan dengan teori yang bersifat khusus tentang tajdi>d al-nika>h.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ………. i
SURAT PERNYATAAN...………. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING………... iii
HALAMAN PENGESAHAN…..………... iv
PERSEMBAHAN……… v
ABSTRAK ………... vi
KATA PENGANTAR ………. vii
DAFTAR ISI ………. x
DAFTAR TRANSLITERASI ……….. xiv
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Identifikasi dan batasan Masalah ……….. 13
C. Rumusah Masalah ……….. 14
D. Kajian Pustaka ………... 15
E. Tujuan Penelitian ………... 19
F. Kegunaan Penelitian ……….. 19
G. Definisi Operasional ……….. 20
H. Metode Penelitian ……….. 20
BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEABSAHAN
PERKAWINAN ……… 27
A. Pengertian Perkawinan ………... 27
B. Syarat dan Rukun Perkawinan ……… 28
C. Pengertian Wali ………... 29
D. Syarat-syarat Wali ……….. 29
E. Macam-macam Wali ………... 32
1. Wali Nasab ……….. . 33
2. Wali Hakim ……….. 33
3. Wali Hakam ………. 35
4. Wali Muhakam ………. 35
F. Kedudukan Wali dalam Perkawinan …………... 36
G. Kawin Wanita Hamil Sebab Zina ………... 38
H. Nasab ……… 40
1. Pengertian Nasab ………... 40
2. Batas Minimal Kehamilan ………. 43
3. Batas Maksimal Kehamilan ……… 44
I. Tajdi>d Al-Nika>h ………. 44
1. Pengertian Tajdi>d Al-Nika>h ……… 44
2. Hukum Tajdi>d Al-Nika>h ……….. 45
J. Pernikahan yang Batal ……… 48
BAB III PELAKSANAAN TAJDI>D AL-NIKA>H DI KANTOR URUSAN
AGAMA SEDATI ……… 55
A. Gambaran Secara Umum Kantor Urusan
Agama Sedati .………... 55
1. Profil Kantor Urusan Agama Sedati ……… 55
2. Struktur Kantor Urusan Agama Sedati …... 55
3. Fasilitas Pendukung……….. 56
4. Fungsi Kantor Urusan Agama Sedati …….. 57
5. Visi Kantor Urusan Agama Sedati ……….. 58
6. Misi Kantor Urusan Agama Sedati ………. 58
B. Deskripsi Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h di Kantor
Urusan Agama Sedati ………. 58
C. Deskripsi Kasus yang Melatarbelakangi
Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h di Kantor
Urusan Agama Sedati ………. 61
1. Alasan Pasangan Suami Isteri Ragu Keabsahan
Pernikahan Terdahulu ……….. 61
2. Argumentasi dan Dasar Hukum Kepala Kantor
Urusan Agama Sedati melakukan Tajdi>d
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDI>D
AL-NIKA>H KARENA RAGU KEABSAHAN NIKAH
TERDAHULU ……… 71
A. Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h di Kantor Urusan Agama Sedati ……… 71
B. Kasus yang Melatarbelakangi Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h ……… 73
1. Alasan Pasangan Suami Isteri Ragu Keabsahan Pernikahan Terdahulu ……… 73
2. Argumentasi dan Dasar Hukum Kepala Kantor Urusan Agama Sedati ……….. 87
C. Tinjauan Yuridis Terhadap Tajdi>d al-Nika>h di Kantor Urusan Agama Sedati ……… . 94
BAB V PENUTUP ……….. 99
A. Kesimpulan ……….. 99
B. Saran ………. 101
C.
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda suku
berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, tanah air, bahkan berbeda agama, akan tetapi
merupakan satu kesatuan manusia karena sesama makhluk Allah,
sama-sama mengharapkan kehidupan yang bahagia dan damai dan sama-sama-sama-sama
dari Nabi Adam. Sesuai firman Allah dalam Surat Al-Hujur>at ayat 13:
ْﻛَأ ﱠنِإ اْﻮُـﻓَرﺎَﻌَـﺘِﻟ َﻞِﺋﺎَﺒَـﻗَو ﺎًﺑْﻮُﻌُﺷ ْﻢُﻛﺎَﻨْﻠَﻌَﺟَو ﻰَﺜْـﻧُأَو ٍﺮَﻛَذ ْﻦِﻣ ْﻢُﻛﺎَﻨْﻔَﻠَﺧ ﺎﱠﻧِإ ُسﺎﱠﻨﻟاﺎَﻬﱡـﻳَأﺎَﻳ
َﺮ
َﺪْﻨِﻋ ْﻢُﻜَﻣ
ْﻢُﻛﺎَﻘْـﺗَأ ِﷲا
)
تاﺮﺠﳊا
:
۱۳
(
Artinya: ”Wahai manusia, kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS: Al-H}ujura>t [49] : 13).1
Perbedaan tersebut di atas tidak menjadi penghalang sunnatulla>h
bahwa manusia saling membutuhkan dan saling ingin hidup berdampingan
berjodoh-jodohan untuk mempunyai dan memperbanyak keturunan. Dalam
agama Islam, jalan yang sah untuk mempunyai dan memperbanyak
keturunan ialah melalui perkawinan,sebagaimana Firman Allah swt:
1 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,
2
ْﻦِﻣَو
ِﻪِﺗﺎَﻳآ
ْنَأ
َﻖَﻠَﺧ
ﻢُﻜَﻟ
ْﻦﱢﻣ
ْﻢُﻜِﺴُﻔﻧَأ
ﺎًﺟاَوْزَأ
اﻮُﻨُﻜْﺴَﺘﱢﻟ
ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ
َﻞَﻌَﺟَو
ﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ
ًةﱠدَﻮﱠﻣ
ًﺔَْﲪَرَو
ﱠنِإ
ِﰲ
َﻚِﻟَذ
ٍتﺎَﻳ َﻵ
ٍمْﻮَﻘﱢﻟ
َنوُﺮﱠﻜَﻔَـﺘَـﻳ
Artinya: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isterimu dari jenimusendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(QS: Al-Ru>m [30] : 21).2
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui
jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud
aturan-aturan yang disebut dengan hukum perkawinan.3
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dijelaskan, pengertian
perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (mitsa>qan
ghali>dzan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.4 Sedangkan pengertian perkawinan menurut Pasal 1
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah suatu ikatan lahir batin antara seseorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. 5
Dalam perspektif fikih munakahat, pernikahan merupakan bagian
integral dari syari'at Islam. Pernikahan diatur melalui aturan-aturan hukum
Islam. Pernikahan memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah
menurut hukum Islam. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat
2 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 644. 3 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 13.
4 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
3
perkawinan6, yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu
sendiri.
Pernikahan merupakan ikatan suci berdasarkan nilai
ketuhanan.Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga sakinah
dan mawaddah di dunia maupun akhirat. Karena itu, ikatan pernikahan
diistilahkan dalam al-Qur’ān dengan ”mitha>qan ghali>z}an” suatu ikatan yang mengandung nilai ubu>diyyah.Dengan demikian, memperhatikan
keabsahannya menjadi hal yang menjadi sangat prinsipil bagi setiap
Muslim yang hendak melaksanakan akad nikah.7
Indonesia telah mengundang-undangkan perkawinan melalui Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Materi undang-undang
tersebut merupakan kumpulan tentang hukum muna>kahat yang terkandung
didalam al-Qur’ān, Sunnah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer.Konsepsi tentang hukum muna>kahat telah diangkat oleh
sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum
tertulis dan hukum positif.Ketentuan hukum tersebut mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat
muslim Indonesia.8
Di Indonesia hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif,
artinya hukum Islam merupakan hukum yang pada saat ini berlaku di
4
Indonesia. Hukum Islam berlaku secara normatif dan yuridis9. Hukum
Islam yang berlaku secara normatif adalah bagian dari hukum Islam yang
mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila norma-normanya dilanggar.
Hukum Islam yang berlaku secara yuridis adalah bagian dari hukum Islam
yang mengatur manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat.10
Hukum perkawinan Islam menjadi hukum positif di Indonesia karena
ditunjuk oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pasal 2 Undang-undang ini pada pokoknya menegaskan bahwa:
”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”.
Berdasarkan pasal ini, orang-orang Islam yang akan melangsungkan
perkawinan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum
Islam. Sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan yang
ada dalam hukum Islam. Sesuai dengan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan bahwa: ”Suatu perkawinan dikatakan sah apabila perkawinan
tersebut dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”.
Hukum Islam menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bila
telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun rukun perkawinan
menurut Hukum Islam yaitu: (1) adanya calon pengantin laki-laki (2) calon
pengantin perempuan, dan di antara mereka berdua harus ada persetujuan
yang bebas. (3) harus ada dua orang saksi yang beragama Islam, laki-laki,
5
a>qil ba>ligh, dan adil (tidak berdosa besar), (4) harus ada wali dari calon
pengantin wanita, (5) adanya pengucapan ijab-qabul (sigha>t) antara kedua
pengantin itu.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebutkan tentang
rukun-rukun nikah, yakni dalam Pasal 14 yang berbunyi:11
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami;
b. Calon isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan kabul.
Keberadaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Hal ini
sesuai dengan hadist Rasul:
ْﻟا َقﺎَﺤْﺳِإ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َﺔَﻧاَﻮَﻋ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ِبِراَﻮﱠﺸﻟا ِﰉَأ ِﻦْﺑ ِﻚِﻠَﻤْﻟا ِﺪْﺒَﻋ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ﱡِﱐاَﺪْﻬَﻤ
,
َةَدْﺮُـﺑ ِﰉَأ ْﻦَﻋ
,
ﻰَﺳْﻮُﻣ ِﰉَأ ْﻦَﻋ
:
َلﺎَﻗ
:
َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر
:
ﱠﻻِإ َحﺎَﻜِﻧَﻻ
ﱟِﱄَﻮِﺑ
Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdul Malik bin Abi al-Syawarib, telah menceritakan kepadaku Abu Awanata, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq al-Mahdaniyyu, dari Abi Burdata, dari Abi Musa. Abi Musa berkata, Rasulullah saw bersabda: ”Tidak sah pernikahan tanpa adanya seorang wali”.12
11 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
12 Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, Juz 1, (Beirut:
6
Pengertian wali dalam pernikahan adalah seorang yang bertindak atas
nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan
oleh kedua belah pihak yaitu laki yang dilakukan oleh mempelai
laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.13
Oleh karena itu, keberadaan wali dalam pernikahan sangatlah urgen
sekali sehingga apabila dalam melangsungkan akad nikah wali dari pihak
calon mempelai perempuan tidak dapat hadir, maka ia dapat mewakilkan
atau memberikan kuasa walinya kepada orang lain untuk menikahkan
perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 28 disebutkan: ”Akad nikah dilaksanakan sendiri secara
pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan
kepada orang lain”.
Orang-orang yang berhak menjadi wali dalam perkawinan adalah wali
nasab, yaitu yang paling utama adalah ayah. Bila tidak ada ayah mungkin
karena meninggal atau gha>ib (hilang tak tentu), maka ayah dari ayahlah
(kakek) yang berhak tampil menjadi wali nikah dari cucu perempuannya.
Apabila tidak ada ayah atau kakek, maka dapat beralih lagi kepada saudara
laki-laki kandung dari calon pengantin perempuan. Saudara laki-laki dari
calon pengantin perempuan tersebut harus sudah a>qil-ba>ligh (dewasa dan
berakal), laki-laki beragama Islam dan adil. Bila tidak ada saudara laki-laki,
maka beralih kepada saudara laki-laki dari ayah (paman) dari si perempuan
yang akan menikah itu. Wali setelah ayah dan kakek disebut wali nasab
7
biasa (tidak memaksa), sedangkan ayah dan kakek merupakan wali nasab
yang dapat memaksa (mujbi>r).14
Apabila tidak ada sama sekali wali nasab yang disebutkan di atas,
maka berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 23 ayat (1) dan (2):
(1)Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhol atau enggan
(2)Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut
Jadi, yang dapat bertindak sebagai wali nikah ketika wali nasab tidak
ada atau adhol adalah wali hakim atas permintaan pihak mempelai
perempuan yang sudah mendapatkan keputusan Pengadilan Agama. Wali
hakim yaitu Pejabat Pencatat Nikah (PPN)/ Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal perempuan. Jadi wali hakim
ialah pejabat yang diangkat oleh Pengadilan Agama khusus untuk mencatat
pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi wanita yang tidak
mempunyai wali nasab atau wali nasabnya enggan untuk menikahkan anak
perempuannya (ad}al).
Telah dijelaskan di atas bahwasannya yang berhak untuk menikahkan
anak perempuannya adalah wali nasab, yaitu yang paling utama adalah
ayah. Seorang perempuan dapat dinasabkan kepada ayahnya apabila
perempuan tersebut lahir sebagai anak yang sah.
8
Dalam kaitannya dengan kategori anak yang sah atau tidak, ini ada
kaitannya dengan hubungan biologis antara ayah dan ibunya. Anak yang
sah dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang halal
yakni hubungan yang sudah sah dalam ikatan perkawinan.
Pada zaman sekarang ini, sudah marak sekali hubungan biologis
antara laki-laki dengan seorang perempuan di luar nikah (perzinaan). Dari
hubungan tersebut tidak sedikit yang mengakibatkan para perempuan hamil
di luar nikah. Jika sudah terlanjur hamil, tidak sedikit laki-laki yang
menghamilinya tidak mau bertanggung jawab bahkan meninggalkan
perempuan yang dihamili tersebut. Jika demikian maka jalan satu-satunya
yang ditempuh untuk menutupi rasa malu adalah dengan menggugurkan
kandungannya (aborsi). Namun terkadang inisiiatif untuk menggugurkan
kandungannya tersebut datang dari laki-laki dan perempuan itu sendiri.
Selain dari itu, ada juga yang ingin mempertahankan bayi hasil hubungan
di luar nikah tersebut, yakni si laki-laki mau bertanggung jawab untuk
menikahi perempuan tersebut.
Bagi seorang laki-laki yang bertanggung jawab akan menikahi
perempuan yang dihamilinya akan menimbulkan hukum baru yaitu
bagaimana hukum pernikahan seorang perempuan yang sedang hamil
karena hasil perzinaan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53
dijelaskan tentang kawin hamil yaitu:
9
(2)Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya (3)Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari penjelasan Pasal 53 ayat (1) (2) dan (3) KHI dapat disimpulkan
bahwasannya seorang laki-laki yang menghamili seorang wanita boleh
menikahi wanita tersebut dalam keadaan hamil dan hukum perkawinannya
sah tanpa harus menunggu anak yang dikandung lahir, dan setelah anak
yang dikandung lahir tidak memerlukan nikah ulang.
Dalam Hukum Islam sendiri terdapat perbedaan di kalangan para
ulama tentang sah atau tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang
hamil karena zina. Ada yang berpendapat bahwasannya tidak
diperbolehkan menikahi perempuan tersebut sebelum perempuan tersebut
melahirkan, baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh
laki-laki lain. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa diperbolehkan
menikahi perempuan yang sedang hamil tersebut dikarenakan belum
terkukuhkannya nasab.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka juga akan menimbulkan hukum
yang baru yakni mengenai kategori anak yang sah. Seorang anak dapat
dikatakan sebagai anak yang sah dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dijelaskan dalam Pasal 99 yang berbunyi: ”Anak yang sah adalah: (a)
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) Hasil
perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
10
Jadi menurut KHI, anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah
atau dalam perkawinan namun tidak sah bukanlah anak yang sah dan tidak
bernasab kepada ayahnya tetapi bernasab dengan ibunya sehingga ayahnya
tidak dapat menjadi wali nasab, begitu pula wali nasab yang lain akan
terputus karena wali nasab yang lain adalah melalui jalur ayah, sehingga
ketika ayah tidak menjadi wali nasab maka yang lain juga tidak dapat
menjadi wali nasab. Hal tersebut dijelaskan dalam KHI Pasal 100 yang
berbunyi: ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Sama halnya dengan KHI, Undang-undang Perkawinan juga
menjelaskan tentang definisi anak yang sah. UU Perkawinan bahkan lebih
menegaskan tentang hubungannya dengan ibunya, bukan saja masalah
hubungan nasab saja, tetapi lebih luas yaitu hubungan keperdataan, ini
berarti selain perkawinan. Jadi anak yang tidak sah tidak mempunyai
hubungan keperdataan dengan ayanhya, misalnya dalam masalah warisan,
dan lain-lain. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 42 dan Pasal 43 yang
berbunyi:
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42)
(1)Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
11
Sedangkan dalam hukum Islam, sudah jelas bahwasannya anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan akibat hubungan suami isteri dalam
perkawinan yang sah.
Dalam kaitannya dengan maraknya hamil di luar nikah, maka untuk
status seorang anak yang dilahirkan dari hubungan biologis di luar nikah,
terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai kategori anak yang
sah. Namun, pendapat yang paling kuat adalah pendapat imam Al-Syafi’i
yakni jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama enam
bulan atau lebih sampai sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti
garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. Akan tetapi jika
si ibu menjalani kehamilannya kurang dari enam bulan sampai
kelahirannya, maka si anak hanya bisa mengikuti garis keturunan si ibu dan
tidak bernasab dengan ayahnya, sehingga ketika anak itu perempuan dan
ketika ingin menikah maka ayahnya tidak bisa menjadi wali si anak
tersebut.
Kasus yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Sidoarjo
adalah mengenai tajdi>d al-nika>h (pembaruan nikah) karena pasangan suami
isteri ragu keabsahan pernikahan mereka terdahulu. Pernikahan terdahulu
yang menjadi wali adalah ayah biologisnya, yakni wali nasab. Namun, si
isteri tersebut lahir dua bulan setelah pernikahan orang tuanya, ini berarti
ibu dari si isteri tersebut menikah dalam keadaan hamil sudah tujuh bulan.
Hal ini yang menyebabkan pasangan suami isteri tersebut ragu dengan
12
Namun, ada sedikit kejanggalan, alasan pasangan suami isteri
tersebut ragu dengan keabsahan nikah terdahulu karena yang menikahkan
adalah ayahnya, sedangkan si isteri lahir dua bulan setelah pernikahan, ini
berarti ayahnya tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan menurut
pendapat yang kuat. Tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati ini yang melakukan
tajdi>dal-nika>h yakni yang mengawinkan si isteri tersebut adalah Kepala
KUA Sedati atas nama wali hakim. Dengan pelaksanaan tajdi>dal-nika>h
yang dinikahkan oleh wali hakim ini, Kepala KUA Sedati menyatakan
bahwa wali yang menikahkan dalam pernikahan terdahulu yakni ayah si
isteri adalah tidak berhak dan ini berarti menyatakan pernikahan terdahulu
itu bukan diragukan keabsahannya, akan tetapi sudah jelas tidak sah.
Namun mengapa dilakukan tajdi>d al-nika>h terhadap pernikahan yang tidak
sah, padahal tajdi>dal-nika>h itu sendiri tidak membatalakn pernikahan
terdahulu, tidak mempengaruhi pernikahan yang terdahulu. Tajdi>d al-nika>h
sendiri hanya memperbaharui saja, yakni memperbarui nikah yang sudah
sah. Tajdi>d al-nika>h biasanya dilakukan ketika ada alasan seperti kurang
harmonisnya rumah tangga, dalam rangka kehati-hatian dalam menjalani
rumah tangga dikhawatirkan terucap kata talak, dan lain sebagainya yang
mana pernikahan terdahulunya sah.
Dari sedikit penjelasan kasus di atas, karena ada kejanggalan seperti
itu, yakni dari alasan dan penjelasan Kepala KUA yang menyatakan
pernikahan terdahulu itu tidak sah, bukan diragukan, tapi mengapa
13
seharusnya dilakukan oleh Kepala KUA Sedati dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut. Akhirnya penulis melakukan penelitian terhadap
kasus tersebut dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tajdi>d al-Nika>h
Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu(Studi Kasus di Kantor Urusan
Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo).”
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang permasalahan di atas, penulis
mengidentifikasi permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai
berikut:
1. Alasan dilakukannya tajdi>d al-nika>h
2. Dasar hukum tajdi>d al-nika>h
3. Kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu
4. Pelaksanaan tajdi>d al-nika>h
5. Dasar pertimbangan dan dasar hukum Kepala KUA Sedati melakukan
tajdi>d al-nika>h
6. Tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan
nikah terdahulu di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo
Pembatasan masalah dalam penelitian perlu dilakukan untuk
mengarahkan peneliti pada permasalahan-permasalahan yang khusus dari
objek yang akan diteliti, sehingga peneliti dapat membuat keputusan yang
14
identifikasi masalah di atas, maka penulis perlu kiranya memberikan
batasan-batasan supaya dalam pembahasan “Tinjauan Yuridis Terhadap
Tajdi>d Al-Nika>h Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu(Studi Kasus di
Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoajo)” tidak melebar. Maka
mengenai judul penelitian tersebut,penulis membatasi masalah sebagai
berikut:
1. Penelitian ini hanya mengenai kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu
keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati
Kabupaten Sidoarjo
2. Penelitian ini terbatas tentang tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d
al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan
Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo?
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah
terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten
Sidoarjo?
2. Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena ragu
keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati
15
D. Kajian Pustaka
Penelitian tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDI>D
AL-NIKA>H KARENA RAGU KEABSAHAN NIKAH TERDAHULU
(Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo)” belum
pernah diteliti. Namun secara umum, terkait dengan penelitian tentang
tajdi>d al-nika>h sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan, namun
pembahasannya berbeda dengan bahasan yang ada dalam penelitian ini.
Adapun penelitian tentang tajdi>d al-nika>h yang pernah diteliti adalah
sebagai berikut:
Pertama yaitu penelitian yang dilakukan oleh Umi Rosyidah pada
tahun 2000 dengan judul “Persepsi Ulama Kelurahan Ujung Kecamatan
Semampir Kota Surabaya Tentang Tajdi>d al-Nika>h”. Penelitian yang
dilakukan oleh Umi Rosyidah ini lebih menekankan kepada beberapa
pendapat ulama dalam menyikapi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang
disebabkan oleh perselisihan rumah tangga yang dihadapi yang tidak
menemukan titik temu dan keluarga yang kurang harmonis. Sedangkan
dalam penelitian penulis ini, keadaan rumah tangga dari suami isteri yang
melakukan tajdi>d al-nika>h ini baik-baik saja, harmonis, tidak ada
permasalahan sedikitpun. Namun mereka melakukan tajdi>d al-nika>h karena
16
mengarah pada benar atau tidak benarkah pelaksanaan tajdi>d al-nika>h
karena ragu keabsahan nikah terdahulu.15
Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Iwan Djauhuri pada
tahun 2005 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan
Tajdi>d al-Nika>h Massal Di Dusun Pandaan Kelurahan Japanan Kecamatan
Gempol Kabupaten Pasuruan”. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Iwan
Djauhuri ini hasilnya lebih menekankan pada tujuan baik untuk masyarakat
desa setempat agar lebih memahami makna dari tajdi>d al-nika>h sebenarnya,
bukan untuk tujuan menghilangkan bala’. Sedangkan dalam penelitian
penulis ini, dalam pernikahan terdahulu itu tidak pernah ada masalah dalam
kehidupan rumah tangga mereka.16
Ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wiamul Umam pada
tahun 2002 dengan judul “Studi Tentang Persepsi Pelaku Tajdi>d al-Nika>h
di Desa Ketetang Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Terhadap
Tajdi>d al-Nika>h Dalam Membentuk Keluarga Sakinah”. Penelitian yang
dilakukan oleh Wiamul Umam ini hasilnya lebih ditekankan pada tujuan
tajdi>d al-nika>h yang dilakukan bertujuan untuk membina rumah tangga
yang lebih harmonis dari sebelumnya dikarenakan banyaknya ketidak
cocokan di antara keduanya. Sedangkan dalam penelitian penulis ini,
keadaan rumah tangga dari suami isteri yang melakukan tajdi>d al-nika>h ini
15 Umi Rosyidah, ”Persepsi Ulama Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Surabaya
Tentang Tajdi>d al-Nika>h”, (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2000), 10.
16 Iwan Djauhuri, ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h Massal di
17
baik-baik saja, harmonis, tidak ada permasalahan sedikitpun. Namun
mereka melakukan tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan pernikahan
mereka terdahulu.17
Keempat yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ratna Ayu Anggraini
pada tahun 2014 dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdi>d
al-nika>h (Studi Kasus di Desa Pandean, Banjarkemantren Kecamatan Buduran
Kabupaten Sidoarjo)”. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Ayu ini
hasilnya lebih mengarah pada tata cara pelaksanaan tajdi>d al-nika>h, yakni
ada yang melakukan dalam kurun waktu satu tahun sekali. Selain itu juga
mengarah pada tujuan tajdi>d al-nika>h yaitu untuk memperoleh keturunan
dan untuk kehati-hatian dikhawatirkan terjadinya kata talak. Sedangkan
dalam penelitian penulis ini, suami isteri yang melakukan tajdi>d al-nika>h
sudah dikaruniai dua orang anak, dan akan bertambah tiga (si isteri hamil
anak ke tiga), dan keadaan rumah tangga mereka harmonis, tidak pernah
terjadi percekcokan yang sangat sehingga tidak pernah terucap kata talak
dari si suami.18
Dari beberapa penelitian tentang tajdi>d al-nika>h di atas, dapat
disimpulkan bahwa penelitian penulis dengan judul Tinjauan Yuridis
Terhadap Tajdi>d al-Nika>h Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu (Studi
17 Wiamul Umam, ”Studi Tentang Persepsi Pelaku Tajdi>d al-Nika>h di Desa Ketetang Kecamatan
Kwanyar Kabupaten Bangkalan Terhadap Tajdi>d al-Nika>h Dalam Membentuk Keluarga Sakinah”, (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 13.
18 Ratna Ayu Anggraini, Analisis Hukum Islam Terhadap Tajd>id al-Nika>h (Studi Kasus di Desa
18
Kasus di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo) ini
belum pernah diteliti sebelumnya.
Perbedaan antara penelitian tentang tajdi>d al-nika>h yang pernah
diteliti sebelumnya dengan penelitian ini yang pertama adalah tempat dan
orang yang melakukan tajdi>d al-nika>h. Pada penelitian sebelumnya,
pelaksanaan tajdi>d al-nika>h dilaksanakan di luar KUA dan dilaksanakan
oleh tokoh masyarakat. Sedangkan pada penelitian ini, pelaksanaan tajdi>d
al-nika>h dilaksanakan di KUA dan dilakukan oleh Kepala KUA atas nama
wali hakim. Kedua adalah mengenai status pernikahan terdahulu. Pada
penelitian sebelumnya, status pernikahannya sah, sedangkan pada
penilitian ini, status pernikahannya masih diragukan keabsahannya. Ketiga
adalah mengenai tujuan dari pelaksanaan tajdi>d al-nika>h. Pada penelitian
tentang tajdi>d al-nika>h sebelumnya lebih menekankan pada tujuan tajdi>d
al-nika>h yang dilakukan untuk keharmonisan rumah tangga, memperoleh
keturunan, sebagai kehati-hatian dikhawatirkan terucap kata talak oleh
suami, untuk memberikan penjelasan terhadap masyarakat yang salah
dalam menilai tajdi>d al-nika>h sebagai penghilang bala’. Sedangkan dalam
penelitian ini, tujuan pelaksanaan tajdi>d al-nika>h adalah untuk
menghilangkan keraguan keabsahan nikah terdahulu, yang mana keadaan
rumah tangga suami isteri yang melakukan tajdi>d al-nika>h dalam keadaan
harmonis, tidak dikhawatirkan terucap kata talak, sudah dikaruniai dua
19
Dengan adanya keraguan dengan keabsahan nikah terdahulu
kemudian melakukan tajdi>d al-nika>h itu apakah dapat menghilangkan
keraguan keabsahan nikah terdahulu dan menjadikan nikah terdahulu sah?
Apakah sudah benar tentang pelaksanaan tajdi>d al-nika>h dengan alasan dan
permasalahan tersebut?. Dengan alasan inilah penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan mengambil judul seperti tersebut di atas.
E. Tujuan Penelitian
Dalam melaksanakan segala sesuatu tidak terlepas dari yang namanya
tujuan. Dalam hal ini, peneliti melakukan penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah
terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten
Sidoarjo
2. Untuk mengetahui tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena
ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA)
Sedati Kabupaten Sidoarjo
F. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya dalam menambah khazanah
keilmuan. Selain itu juga bisa berguna bagi pengembangan ilmu-ilmu
20
penelitian berikutnya dan memperoleh khazanah ilmu hukum yang
berhubungan dengan perkawinan khususnya tentang tajdi>d al-nika>h
(pembaruan nikah).
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari keraguan dan kesalah pahaman dalam penafsiran
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis
mendefinisikan istilah-istilah sebagai berikut:
1. Yuridis adalah seperangkat hukum di sebuah negara yang sudah
disahkan oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Dalam penelitian
ini yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Tajdi>d al-nika>h adalah memperbarui nikah yang sudah sah yang
sudah berjalan seperti pernikahan sebelumnya.
3. Ragu keabsahan nikah terdahulu adalah keraguan pasangan suami
isteri terhadap keabsahan nikah terdahulu dari segi hukum Islam
terkait dengan wali yang menikahkan pada pernikahan terdahulu yang
menurut hukum Islam wali tersebut tidak berhak menikahkan.
H. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
21
1. Data Yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
a) Data tentang deskripsi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati.
b) Data tentang deskripsi kasus yang melatarbelakangi adanya
pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang memuat tentang alasan
pasangan suami isteri tersebut ragu dengan keabsahan nikah
mereka terdahulu serta argumentasi dan dasar hukum Kepala
KUA Sedati memberikan solusi kepada pasangan suami isteri
tersebut untuk melakukan tajdi>d al-nika>h atas nama wali
hakim.
2. Sumber Data
Sumber data adalah tempat di mana kita mendapatkan data
yang kita butuhkan dalam suatu penelitian, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat
utama dan penting yang muncul untuk mendapatkan sejumlah
informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.19
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah sumber
data responden, yakni orang yang terlibat dan memberikan
penjelasan mengenai alasan pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yaitu
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten
19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
22
Sidoarjo yakni Drs. H. Abdul Halim AR., M. HI yang
memberikan solusi kepada pasangan suami isteri tersebut untuk
melakukan tajdi>d al-nika>h.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diambil
dan diperoleh dari bahan pustaka dengan mencari data atau
informasi.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
3) Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, penulis mengumpulan data menggunakan
metode wawancara. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara
dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi
dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu.20
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk
mengumpulkan data dengan cara berdialog, bertanya kepada Kepala
KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo untuk mendapatkan informasi
mengenai:
20 Deddy Mulyana, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
23
a) Deskripsi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati.
b) Deskripsi kasus yang melatarbelakangi adanya pelaksanaan tajdi>d
al-nika>h yang memuat tentang alasan pasangan suami isteri
tersebut ragu dengan keabsahan nikah mereka terdahulu serta
argumentasi dan dasar hukum Kepala KUA Sedati memberikan
solusi kepada pasangan suami isteri tersebut untuk melakukan
tajdi>d al-nika>h atas nama wali hakim.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan kontak langsung atau
melakukan wawancara sendiri dengan sumber data yakni Kepala
KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo agar pertanyaan yang disampaikan
mengarah pada sasaran yang diharapkan.21
4. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Deskriptif
Deskriptif adalah metode yang diawali dengan
menjelaskan atau menggambarkan data hasil penelitian.
Peneliti menggunakan teknik deskriptif ini untuk mengetahui
tentang alasan pelaksanaan tajdi>d al-nika>h dan untuk
mengetahui apakah pelaksanaan tajdi>d al-nika>h tersebut sudah
benar dan tepat sebagai solusi dari alasan permasalahan
tersebut.
24
b. Deduktif
Deduktif adalah teknik analisis data yang
menggambarkan hasil penelitian diawali dengan
mengemukakan kenyataan yang bersifat umum dari hasil
penelitian tentang adanya fakta tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati
kemudian dicocokkan dengan dalil atau teori yang bersifat
khusus tentang tajdi>d al-nika>h.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran serta memudahkan dalam memahami
penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun suatu sitematika pembahasan,
yaitu:
Bab Pertama merupakan Pendahuluan. Dalam bab ini penulis
kemukakan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab Kedua merupakan Landasan Teori (tinjauan yuridis mengenai
keabsahan perkawinan). Dalam bab ini penulis kemukakan tentang
pengertian perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, pengertian wali,
25
perkawinan, kawin wanita hamil sebab zina, nasab, tajdi>d al-nika>h,
pernikahan yang batal, dan pembatalan pernikahan.
Bab Ketiga merupakan pemaparan data tentang deskripsi hasil
penelitian. Dalam bab ini penulis kemukakan tentang gambaran secara
umum KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, deskripsi pelaksanaan tajdi>d
al-nika>h di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, deskripsi kasus yang
melatarbelakangi adanya pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang memuat tentang
alasan pasangan suami isteri tersebut ragu dengan keabsahan nikah mereka
terdahulu, dan argumentasi dan dasar hukum KUA Sedati memberikan
solusi kepada pasangan suami isteri tersebut untuk melakukan tajdi>d
al-nika>h.
Bab Keempat merupakan Analisis Data. Dalam bab ini penulis
memaparkan analisis terhadap deskripsi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h di
KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, deskripsi kasus yang melatarbelakangi
adanya pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang memuat tentang alasan pasangan
suami isteri tersebut ragu dengan keabsahan nikah mereka terdahulu,
perkawinan orang tua si isteri, nasab si isteri, argumentasi dan dasar hukum
KUA Sedati memberikan solusi kepada pasangan suami isteri tersebut
untuk melakukan tajdi>d al-nika>h dan tinjauan yuridis terhadap tajdi>d
al-nika>h karenan ragu keabsahan nikah terdahulu.
Bab Kelima merupakan Penutup. Dalam bab ini penulis memaparkan
kesimpulan yang berisi tentang jawaban rumusan masalah di atas, yakni
26
KUA Sedati dan bagaimana tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h
karena ragu keabsahan nikah terdahulu di KUA Sedati, penulis juga
27
BAB II
(Tinjauan Yuridis Tentang Keabsahan Perkawinan)
A.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah adalah melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi kasih sayang dan
ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai Allah.
1Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dijelaskan, perkawinan menurut
hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (
mitsa>qan ghali>dzan)
untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
2Sedangkan
pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974
adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3
28
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 dijelaskan: ”Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (1) menegaskan
bahwa: ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dalam ayat (2) pasal 2 dijelaskan:
”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
B.
Syarat dan Rukun Perkawinan
Dalam perspektif fikih munakahat, pernikahan merupakan bagian
integral dari syari'at Islam. Pernikahan diatur melalui aturan-aturan hukum
Islam. Pernikahan memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah
menurut hukum Islam. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat
perkawinan yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu sendiri.
4Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan tentang rukun-rukun nikah,
yakni dalam Pasal 14 yang berbunyi:
5”Untuk melaksanakan perkawinan harus
ada: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan, ijab dan kabul”.
29
dijelaskan, namun dalam undang-undang Perkawinan dijelaskan mengenai
syarat-syarat perkawinan yakni dalam Pasal 6 sampai Pasal 12.
C.
Pengertian Wali
Yang dimaksud wali secara umum adalah seseorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.
Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena
orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak
memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak
atas harta atau atas dirinya. Sedangkan pengertian wali dalam pernikahan
adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu
akad nikah.
6D.
Syarat-Syarat Wali
Mengenai syarat-syarat wali, dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan
dalam Pasal 20 ayat (1) : ”Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang
30
Dalam hukum Islam, orang-orang yang dapat menjadi wali nikah harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
71.
Telah dewasa dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atu orang gila
tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seorang
yang melakukan akad. Hal ini mengambil dalil dari hadis Nabi:
َةَدﺎَﺘَـﻗ ْﻦَﻋ ٌمﺎﱠَﳘ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َﺮَﻤُﻋ ُﻦْﺑ ُﺮْﺸِﺑ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ﱡيِﺮْﺼَﺒْﻟا ﱡﻲِﻌَﻄُﻘْﻟا َﲕَْﳛ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ِﻦَﻋ
َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا َلْﻮُﺳَر ﱠنَأ ﱟﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ ﱢيِﺮْﺼَﺒْﻟا ِﻦَﺴَْﳊا
:
َﺛَﻼَﺛ ْﻦَﻋ ُﻢَﻠَﻘْﻟا َﻊِﻓُر
ٍﺔ
َﻞِﻘْﻌَـﻳ ﱠﱴَﺣ ِﻩْﻮُـﺘْﻌَﻤْﻟا ِﻦَﻋَو ﱠﺐِﺸَﻳ ﱠﱴَﺣ ﱢِﱯﱠﺼﻟا ِﻦَﻋَو َﻆِﻘْﻴَـﺘْﺴَﻳ ﱠﱴَﺣ ِﻢِﺋﺎﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya
al-Quthaiyyu al-Bashriyyu, telah menceritakan kepadaku Bisyri bin Umara,
telah menceritakan kepadaku Hammam dari Qotadata dari Hasan
al-Bashriyyu dari Ali, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ”Diangkatlah
qalam (tidak diperhitungkan secara hukum) seseorang yang tertidur
sampai ia bangun, seorang yang masih kecil sampai ia dewasa, dan orang
gila sampai ia sehat
8.
2.
Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. Dalilnya adalah hadis
Nabi dari Abu Hurairah:
31
Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Jamil bin Hasan
Atakiyyu, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Marwan
al-Uqaliyyu, telah menceritakan kepadaku Hisam bin Hassan dari
Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairata, Abu Hurairata berkata,
Rasulullah saw bersabda “Perempuan tidak boleh mengawinkan
perempuan lain dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya
sendiri. Maka sesungguhnya perempuan pezina adalah perempuan yang
mengawinkan dirinya sendiri”.
93.
Muslim. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali nikah
untuk muslim. Sesuai dengan firman Allah SWT:
َْﲔِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ِنْوُد ْﻦِﻣ َءﺎَﻴِﻟْوَأ َﻦْﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻟا َنْﻮُـﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ِﺬِﺤﱠﺘَـﻳَﻻ
,
ِﰱ ِﷲا َﻦِﻣ َﺲْﻴَﻠَـﻓ َﻚِﻟَذ ْﻞَﻌْﻔَـﻳ ْﻦَﻣَو
ٍﺊْﻴَﺷ
)
ناﺮﻤﻋ لا
:
٢٨
(
Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang muslim. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. (QS Ali ‘Imr>an [3]
: 28).
104.
Merdeka
5.
Tidak berada dalam pengampuan
(mahju>r ‘alaihi). Alasannya ialah
bahwa orang yang berada di bawah ppengampuan tidak dapat berbuat
hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu
tindakan hukum.
6.
Berpikiran baik
(a>qil). Orang yang terganggu pikirannya karena
ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan
mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
32
7.
Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering
terlibat dosa kecil serta tetap memelihara muru>’ah (sopan santun).
8.
Tidak sedang melakukan
ihram, untuk haji maupun umrah. Hal ini
berdasarkan hadis Nabi:
ِﺪْﻴَـﺒُﻋ َﻦْﺑ َﺮَﻤُﻋ ﱠنَأ ٍﺐْﻫَو ِﻦْﺑ ْﻪْﻴَـﺒُـﻧ ْﻦَﻋ ٍﻊِﻓﺎَﻧ ْﻦَﻋ ٍﻚِﻟﺎَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُتْأَﺮَـﻗ َلﺎَﻗ َﲕَْﳛ ًﻦْﺑ ﻰَْﳛ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ْﺑا َﺔَﺒْﻴَﺷ َﺖْﻨِﺑ َﺮَﻤَﻋ َﻦْﺑ َﺔَﺤْﻠَﻃ َجﱢوَﺰُـﻳ ْنَأ َداَرَأ ِﷲا
ﱠَﱄَإ َﻞَﺳْرَﺄَﻓ ٍْﲑَـﺒُﺟ ِﻦ
ُﺮُﻀَْﳛ َنﺎَﻤْﺜُﻋ َﻦْﺑ َنﺎَﺑَأ
ُلْﻮُﻘَـﻳ َنﺎﱠﻔَﻋ َﻦْﺑ َنﺎَﻤْﺜُﻋ ُﺖْﻌَِﲰ ٌنﺎَﺑَأ َلﺎَﻘَـﻓ ﱢﺞَْﳊا ُﺮْـﻴِﻣَأ َﻮُﻫَو َﻚِﻟَذ
:
ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ
َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ
:
َـﻳَﻻ
ُﺢَﻜْﻨُـﻳَﻻَو ُمِﺮْﺤُﻤْﻟا ُﺢِﻜْﻨ
ُﺐُﻄَْﳜ َﻻَو
Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Yahya
bin Yahya berkata saya membaca hadis di hadapan Imam Malik dari
Nafi’ dari Nubaih bin Wahbin bahwasannya Umar bin Ubaidillah
menghendaki mengawinkan Thalhah bin Amar dengan anak perempuan
Syaibah bin Jubair, maka Umar menyuruhku untuk menemui Aban bin
Utsman yang menghadiri perkawinan tersebut. Aban adalah pimpinan
haji, maka Aban berkata, saya mendengar Utsman bin Affan berkata,
Rasulullah saw bersabda “Orang yang sedang ihram tidak boleh
menikahkan orang lain dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang
dan tidak boleh melamar atau dilamar”.
11E.
Macam-Macam Wali
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan
macam-macam wali nikah yaitu: ”Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab, b. wali
33
Dalam hukum Islam, wali bagi seorang perempuan yang akan menikah
itu dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1.
Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan
calon pengantin perempuan. Yang termasuk wali nasab ialah ayah, kakek,
saudara laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta keturunannya menurut
garis patrilinial.
12Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (1) dijelaskan mengenai
urutan wali nasab, yaitu:
”Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,
kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok
saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka”.
2.
Wali Hakim
Wali hakim adalah penguasa atau wali penguasa yang berwenang dalam
bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen
Agama. Dalam hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada
halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seseorang
34
melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur yang dapat
ditempuh.
13Wali hakim adalah wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah
pihak (calon suami dan calon isteri). Wali hakim harus mempunyai ilmu
pengetahuan yang sama dengan
qo>dli. Pengertian wali hakim ini termasuk
qadli di Pengadilan. Rasulullah SAW bersabda:
14ُﻦْﺑ ِﷲا ُﺪْﺒَﻋ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ٍﺐْﻳَﺮُﻛ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ِﻦَﻋ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﻦَﻋ َةَوْﺮُﻋ ْﻦَﻋ ﱢيِﺮْﻫﱡﺰﻟا ِﻦَﻋ ٍجﺎﱠﺠَﺣ ْﻦَﻋ كَرﺎَﺒُﻤْﻟا
ﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِّْﱯﱠﻨﻟا
َﻻﺎَﻗ ٍسﺎﱠﺒَﻋ ِﻦْﺑ ِﻦَﻋ َﺔَﻣِﺮْﻜِﻋ ْﻦَﻋَو َﻢ
:
َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ
َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ِﺚْﻳِﺪَﺣ ِﰱَو ﺰﱟﻴِﻟَﻮِﺑ ﱠﻻِإ َحﺎَﻜِﻧَﻻ
:
ُنﺎَﻄْﻠﱡﺴﻟﺎَﻓ
ُﻪَﻟ ﱠِﱄَو َﻻ ْﻦَﻣ ﱡِﱄَو
Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib, telah menceritakan
kepadaku Abdullah bin al-Mubarak dari hajjaj dari al-Zuhriyyi dari Urwata dari
Aisyah dari Nabi saw, dan dari Ikrimata dari ibni Abbas. Mereka berdua
berkata, rasulullah saw bersabda “tidak sah pernbikahan tanpa adanya seorang
wali”. Dalam hadis Aisyah “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi
seseorang yang tidak ada walinya”.
15Orang-orang yang diberi hak untuk menjadi wali hakim adalah: kepala
pemerintahan
(al-sultan),
pemimpin
(khalifah),
penguasa
(rais)
atau
qa>dli
nikah yang diberi wewenang oleh kepala negara untuk menikahkan wanita
yang tidak mempunyai wali. Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka
35
wali hakim dapat diangkat dari orang-orang yang terkemuka di daerah tempat
perempuan tinggal atau orang-orang ‘a>lim.
16Untuk ketentuan diangkatnya wali hakim ini dijelaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 23 ayat (1) dan (2):
(1)
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.
(2)
Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan Pengadilan
Agama tentang wali tersebut.
3.
Wali Hakam
Wali
hakam adalah seseorang yang bertindak sebagai wali nikah yang
masih masuk keluarga si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab,
tidak mempunyai hubungan darah patrilinial dengan perempuan tersebut tetapi
dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali
perkawinan. Dalam ajaran bilateral, wali itu dapat saja dari keluarga bapak
perempuan dan dapat pula dari keluarga pihak ibunya.
174.
Wali Muhakam
Muhakam adalah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan yang
akan menikah dan bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai
pengetahuan keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan.
36
untuk lancar sempurnanya perkawinan, seyogyanyalah dipilih seseorang lain
untuk menjadi wali dalam arti wali muhakam ini bagi golongan yang
mensyaratkan adanya wali nikah.
18F.
Kedudukan Wali Dalam Perkawinan
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan
tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu
ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama
secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan
sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula
sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan
tersebut.
19UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali dalam
persyaratan perkawinan dalam pengertian yang melangsungkan akad nikah
bukan wali, tetapi mempelai perempuan. Yang disebutkan dalam UU
Perkawinan hanyalah orang tua, itu pun dalam kedudukannya sebagai orang
yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang
demikian pun bila kedua calon mempelai berumur di bawah 21 tahun. Hal ini
37
orang tua tidak ada sama sekali. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4),
(5), dan (6).
20Namun meskipun UU Perkawinan tidak menjelaskan wali sebagai salah
satu syarat atau rukun dalam perkawinan, UU Perkawinan ada menyinggung
wali nikah dalam Pembatalan Perkawinan pada Pasal 26 dengan rumusan:
”Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa
dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh…..”.
Bagian ketiga KHI membahas mengenai wali nikah yang dijelaskan
dalam Pasal 19: ”Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Para ulama yang mengatakan bahwa wali itu menjadi syarat sah
perkawinan mempunyai dasar, di antaranya:
َﺣ
َﻤْﻟا َقﺎَﺤْﺳِإ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َﺔَﻧاَﻮَﻋ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ِبِراَﻮﱠﺸﻟا ِﰉَأ ِﻦْﺑ ِﻚِﻠَﻤْﻟا ِﺪْﺒَﻋ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ
ﱡِﱐاَﺪْﻬ
,
ْﻦَﻋ
َةَدْﺮُـﺑ ِﰉَأ
,
ﻰَﺳْﻮُﻣ ِﰉَأ ْﻦَﻋ
:
ًلﺎَﻗ
:
َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ
:
ﱟِﱄَﻮِﺑ ﱠﻻِإ َحﺎَﻜِﻧَﻻ
Artinya
:Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdul
Malik bin Abi al-Syawarib, telah menceritakan kepadaku Abu Awanata, telah
menceritakan kepadaku Abu Ishaq al-Mahdaniyyu, dari Abi Burdata, dari Abi
Musa. Abi Musa berkata, Rasulullah saw bersabda: ”Tidak sah pernikahan
tanpa adanya seorang wali”.
21
38
G.
Kawin Wanita Hamil Sebab Zina
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) yang
diatur dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama
Nomor 154/1991 disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah hanya
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan
wanita hamil tersebut dapat dilaksanakan secara langsung tanpa menunggu
wanita itu melahirkan, tidak diperlukan perkawinan ulang. Jika anak tersebut
lahir, maka anak tersebut menjadi anak sah.
22Mazhab Hanafi berpendapat, jika perempuan yang dizinai tidak hamil,
maka sah akad nikah kepadanya dari laki-laki yang tidak melakukan zina
kepadanya. Begitu juga ketika dia hamil akibat perbuatan zina tersebut maka
dia boleh dinikahi. Akan tetapi tidak digauli sampai dia melahirkan anaknya.
Berdasarkan dalil-dalil berikut:
231.
Perempuan yang berzina tidak disebutkan di dalam para perempuan yang
haram dinikahi. Berarti dia boleh untuk dinikahi. Berdasarkan firman
Allah SWT:
ﱠﻞِﺣُأَو
ْﻢُﻜِﻟَذَءاَرَوﺎﱠﻣ ْﻢُﻜَﻟ
39
Artinya: ”Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”. (QS.
Al-Nisa>’ [4] : 24).
242.
Tidak ada kehormatan bagi air sperma zina. Dengan dalil bahwa
perbuatan zina ini tidak menetapkan nasab.
Abu Yusuf dan Zufar berpendapat, tidak boleh melaksanakan akad
terhadap perempuan yang tengah hamil akibat hubungan zina, karena
kehamilan ini mencegah persetubuhan, maka dilarang juga pelaksanaan akad,
sebagaimana kehamilan juga mencegah penetapan nasab. Maksudnya,
sebagaimana tidak sah dilaksanakan akad terhadap perempuan yang hamil
yang bukan karena hubungan zina, maka tidak sah dilaksanakan akad terhadap
perempuan yang hamil akibat perbuatan zina.
25Mazhab Maliki berpendapat, tidak boleh dilaksanakan akad terhadap
perempuan yang melakukan perbuatan zina sebelum dia dibebaskan dari zina
dengan tiga kali haid, atau setelah lewat masa 3 (tiga) bulan. Jika dilaksanakan
akad pernikahan kepadanya sebelum dia dibebaskan dari zina, maka akad
pernikahan ini adalah sebuah akad yang
fa>sid
. Akad ini harus dibatalkan, baik
muncul kehamilan atau tidak
.
26Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil karena zina dapat saja
dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya dan sah sebagai suami isteri
40
dengan segala akibat hukumnya. Jadi laki-laki dan wanita yang menikah itu
dapat melakukan hubungan seksual tanpa menunggu kelahiran anaknya,
demikian juga tentang kedudukan anak yang dilahirkan itu menjadi anak sah
dari suami isteri yang menikah itu meskipun bukan dari orang yang
menghamili wanita tersebut
.
27Untuk pendapat mazhab hanbali mengenai
perkawinan wanita hamil sebab zina penulis tidak menemukan.
H.
Nasab
1.
Pengertian Nasab
Nasab atau keturunan artinya pertalian atau perhubungan yang
menentukan asal-usul seorang manusia dalam pertalian darahnya.
Disyari’atkannya pernikahan adalah untuk menentukan keturunan menurut
Islam agar anak yang lahir dengan jalan pernikahan yang sah memiliki status
yang jelas. Artinya anak itu sah mempunyai bapak dan mempunyai ibu. Akan
tetapi, kalau anak itu lahir di luar pernikahan yang sah, maka anak itu
statusnya menjadi tidak jelas, hanya mempunyai ibu, tetapi tidak mempunyai
41
Dalam halnya dengan keturunan darah, maka semua anak dibangsakan
kepada bapaknya bukan kepada ibunya. Hal ini berdasarkan pada firman allah
swt dalam surat al-ah}za>b [33] ayat 5:
29َأ َﻮُﻫ ْﻢِﻬِﺋﺎَﺑَِﻷ ْﻢُﻫْﻮُﻋْدُا
ِﷲا َﺪْﻨِﻋ ُﻂَﺴْﻗ
Artinya: ”Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah….(QS.
Al-Ah}za>b [33] : 5).
30Menurut agama Islam, bahwa istilah “bapak” dan “ibu” dalam hubungan
anak ini adalah disebabkan oleh pernikahan yang sah dengan mengucapkan ijab
Kabul. Andaikata lahir seorang anak dari antara bapak dan ibu ini, maka anak
ini dinamakan anak yang sah. Akan tetapi, kalau anak itu lahir bukan dari
pernikahan yang sah, maka anak itu disebut anak hasil zina atau anak tidak
sah.
31Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99 dijelaskan bahwa ”anak
yang sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah, (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar dan dilahirkan oleh isteri
tersebut”. Dan dalam Pasal 100 KHI dijelaskan bahwa ”anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
32
42
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga
dijelaskan tentang pengertian anak yang sah, yaitu dalam Pasal 42 ”anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Dan dalam Pasal 43 ayat (1) dijelaskan ”anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
33Dalam pandangan hukum Islam, ada 4 (empat) syarat supaya nasab anak
dianggap sah, yaitu, pertama, kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang
mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak
mensyaratkan seperti ini, menurut beliau, meskipun suami isteri tidak
melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang
dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Kedua, tenggang
waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya 6 (enam)
bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi
ijma>’
para pakar
hukum Islam
(fuqaha>’)
sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan. Ketiga,
anak yang lahir ini terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan.
Keempat, suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga
li’an
. Jika
seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah