• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDID AL-NIKAH KARENA RAGU KEABSAHAN NIKAH TERDAHULU : STUDI KASUS DI KANTOR URUSAN AGAMA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDID AL-NIKAH KARENA RAGU KEABSAHAN NIKAH TERDAHULU : STUDI KASUS DI KANTOR URUSAN AGAMA SEDATI KABUPATEN SIDOARJO."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDI>D AL-NIKA>H KARENA

RAGU KEABSAHAN NIKAH TERDAHULU

(Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo)

SKRIPSI

Oleh

M. Ilyas Akil

NIM. C01212027

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo yang berjudul ”Tinjauan Yuridis Terhadap Tajdi>d Al-Nika>h Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Sedati Sidoarjo)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo serta bagaimana tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data penelitiannya diperoleh melalui wawancara kepada Kepala Kantor Urusan Agama Sedati selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu penelitian yang menggambarkan hasil penelitian diawali dengan mengemukakan kenyataan yang bersifat umum dari hasil penelitian tentang adanya fakta tajdi>d al-nika>h di Kantor Urusan Agama Sedati Sidoarjo kemudian dicocokkan dengan teori yang bersifat khusus tentang tajdi>d al-nika>h.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ………. i

SURAT PERNYATAAN...………. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING………... iii

HALAMAN PENGESAHAN…..………... iv

PERSEMBAHAN……… v

ABSTRAK ………... vi

KATA PENGANTAR ………. vii

DAFTAR ISI ………. x

DAFTAR TRANSLITERASI ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi dan batasan Masalah ……….. 13

C. Rumusah Masalah ……….. 14

D. Kajian Pustaka ………... 15

E. Tujuan Penelitian ………... 19

F. Kegunaan Penelitian ……….. 19

G. Definisi Operasional ……….. 20

H. Metode Penelitian ……….. 20

(7)

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEABSAHAN

PERKAWINAN ……… 27

A. Pengertian Perkawinan ………... 27

B. Syarat dan Rukun Perkawinan ……… 28

C. Pengertian Wali ………... 29

D. Syarat-syarat Wali ……….. 29

E. Macam-macam Wali ………... 32

1. Wali Nasab ……….. . 33

2. Wali Hakim ……….. 33

3. Wali Hakam ………. 35

4. Wali Muhakam ………. 35

F. Kedudukan Wali dalam Perkawinan …………... 36

G. Kawin Wanita Hamil Sebab Zina ………... 38

H. Nasab ……… 40

1. Pengertian Nasab ………... 40

2. Batas Minimal Kehamilan ………. 43

3. Batas Maksimal Kehamilan ……… 44

I. Tajdi>d Al-Nika>h ………. 44

1. Pengertian Tajdi>d Al-Nika>h ……… 44

2. Hukum Tajdi>d Al-Nika>h ……….. 45

J. Pernikahan yang Batal ……… 48

(8)

BAB III PELAKSANAAN TAJDI>D AL-NIKA>H DI KANTOR URUSAN

AGAMA SEDATI ……… 55

A. Gambaran Secara Umum Kantor Urusan

Agama Sedati .………... 55

1. Profil Kantor Urusan Agama Sedati ……… 55

2. Struktur Kantor Urusan Agama Sedati …... 55

3. Fasilitas Pendukung……….. 56

4. Fungsi Kantor Urusan Agama Sedati …….. 57

5. Visi Kantor Urusan Agama Sedati ……….. 58

6. Misi Kantor Urusan Agama Sedati ………. 58

B. Deskripsi Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h di Kantor

Urusan Agama Sedati ………. 58

C. Deskripsi Kasus yang Melatarbelakangi

Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h di Kantor

Urusan Agama Sedati ………. 61

1. Alasan Pasangan Suami Isteri Ragu Keabsahan

Pernikahan Terdahulu ……….. 61

2. Argumentasi dan Dasar Hukum Kepala Kantor

Urusan Agama Sedati melakukan Tajdi>d

(9)

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDI>D

AL-NIKA>H KARENA RAGU KEABSAHAN NIKAH

TERDAHULU ……… 71

A. Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h di Kantor Urusan Agama Sedati ……… 71

B. Kasus yang Melatarbelakangi Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h ……… 73

1. Alasan Pasangan Suami Isteri Ragu Keabsahan Pernikahan Terdahulu ……… 73

2. Argumentasi dan Dasar Hukum Kepala Kantor Urusan Agama Sedati ……….. 87

C. Tinjauan Yuridis Terhadap Tajdi>d al-Nika>h di Kantor Urusan Agama Sedati ……… . 94

BAB V PENUTUP ……….. 99

A. Kesimpulan ……….. 99

B. Saran ………. 101

C.

DAFTAR PUSTAKA

(10)
(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda suku

berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, tanah air, bahkan berbeda agama, akan tetapi

merupakan satu kesatuan manusia karena sesama makhluk Allah,

sama-sama mengharapkan kehidupan yang bahagia dan damai dan sama-sama-sama-sama

dari Nabi Adam. Sesuai firman Allah dalam Surat Al-Hujur>at ayat 13:

ْﻛَأ ﱠنِإ اْﻮُـﻓَرﺎَﻌَـﺘِﻟ َﻞِﺋﺎَﺒَـﻗَو ﺎًﺑْﻮُﻌُﺷ ْﻢُﻛﺎَﻨْﻠَﻌَﺟَو ﻰَﺜْـﻧُأَو ٍﺮَﻛَذ ْﻦِﻣ ْﻢُﻛﺎَﻨْﻔَﻠَﺧ ﺎﱠﻧِإ ُسﺎﱠﻨﻟاﺎَﻬﱡـﻳَأﺎَﻳ

َﺮ

َﺪْﻨِﻋ ْﻢُﻜَﻣ

ْﻢُﻛﺎَﻘْـﺗَأ ِﷲا

)

تاﺮﺠﳊا

:

۱۳

(

Artinya: ”Wahai manusia, kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS: Al-H}ujura>t [49] : 13).1

Perbedaan tersebut di atas tidak menjadi penghalang sunnatulla>h

bahwa manusia saling membutuhkan dan saling ingin hidup berdampingan

berjodoh-jodohan untuk mempunyai dan memperbanyak keturunan. Dalam

agama Islam, jalan yang sah untuk mempunyai dan memperbanyak

keturunan ialah melalui perkawinan,sebagaimana Firman Allah swt:

1 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,

(12)

2

ْﻦِﻣَو

ِﻪِﺗﺎَﻳآ

ْنَأ

َﻖَﻠَﺧ

ﻢُﻜَﻟ

ْﻦﱢﻣ

ْﻢُﻜِﺴُﻔﻧَأ

ﺎًﺟاَوْزَأ

اﻮُﻨُﻜْﺴَﺘﱢﻟ

ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ

َﻞَﻌَﺟَو

ﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ

ًةﱠدَﻮﱠﻣ

ًﺔَْﲪَرَو

ﱠنِإ

ِﰲ

َﻚِﻟَذ

ٍتﺎَﻳ َﻵ

ٍمْﻮَﻘﱢﻟ

َنوُﺮﱠﻜَﻔَـﺘَـﻳ

Artinya: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isterimu dari jenimusendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(QS: Al-Ru>m [30] : 21).2

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui

jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud

aturan-aturan yang disebut dengan hukum perkawinan.3

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dijelaskan, pengertian

perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (mitsa>qan

ghali>dzan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.4 Sedangkan pengertian perkawinan menurut Pasal 1

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah suatu ikatan lahir batin antara seseorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. 5

Dalam perspektif fikih munakahat, pernikahan merupakan bagian

integral dari syari'at Islam. Pernikahan diatur melalui aturan-aturan hukum

Islam. Pernikahan memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah

menurut hukum Islam. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat

2 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 644. 3 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 13.

4 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

(13)

3

perkawinan6, yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu

sendiri.

Pernikahan merupakan ikatan suci berdasarkan nilai

ketuhanan.Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga sakinah

dan mawaddah di dunia maupun akhirat. Karena itu, ikatan pernikahan

diistilahkan dalam al-Qur’ān dengan ”mitha>qan ghali>z}an” suatu ikatan yang mengandung nilai ubu>diyyah.Dengan demikian, memperhatikan

keabsahannya menjadi hal yang menjadi sangat prinsipil bagi setiap

Muslim yang hendak melaksanakan akad nikah.7

Indonesia telah mengundang-undangkan perkawinan melalui Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Materi undang-undang

tersebut merupakan kumpulan tentang hukum muna>kahat yang terkandung

didalam al-Qur’ān, Sunnah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer.Konsepsi tentang hukum muna>kahat telah diangkat oleh

sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum

tertulis dan hukum positif.Ketentuan hukum tersebut mempunyai kekuatan

mengikat dan memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat

muslim Indonesia.8

Di Indonesia hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif,

artinya hukum Islam merupakan hukum yang pada saat ini berlaku di

(14)

4

Indonesia. Hukum Islam berlaku secara normatif dan yuridis9. Hukum

Islam yang berlaku secara normatif adalah bagian dari hukum Islam yang

mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila norma-normanya dilanggar.

Hukum Islam yang berlaku secara yuridis adalah bagian dari hukum Islam

yang mengatur manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat.10

Hukum perkawinan Islam menjadi hukum positif di Indonesia karena

ditunjuk oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Pasal 2 Undang-undang ini pada pokoknya menegaskan bahwa:

”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu”.

Berdasarkan pasal ini, orang-orang Islam yang akan melangsungkan

perkawinan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum

Islam. Sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan yang

ada dalam hukum Islam. Sesuai dengan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam

menjelaskan bahwa: ”Suatu perkawinan dikatakan sah apabila perkawinan

tersebut dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)

undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”.

Hukum Islam menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bila

telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun rukun perkawinan

menurut Hukum Islam yaitu: (1) adanya calon pengantin laki-laki (2) calon

pengantin perempuan, dan di antara mereka berdua harus ada persetujuan

yang bebas. (3) harus ada dua orang saksi yang beragama Islam, laki-laki,

(15)

5

a>qil ba>ligh, dan adil (tidak berdosa besar), (4) harus ada wali dari calon

pengantin wanita, (5) adanya pengucapan ijab-qabul (sigha>t) antara kedua

pengantin itu.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebutkan tentang

rukun-rukun nikah, yakni dalam Pasal 14 yang berbunyi:11

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a. Calon suami;

b. Calon isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan kabul.

Keberadaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Hal ini

sesuai dengan hadist Rasul:

ْﻟا َقﺎَﺤْﺳِإ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َﺔَﻧاَﻮَﻋ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ِبِراَﻮﱠﺸﻟا ِﰉَأ ِﻦْﺑ ِﻚِﻠَﻤْﻟا ِﺪْﺒَﻋ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ﱡِﱐاَﺪْﻬَﻤ

,

َةَدْﺮُـﺑ ِﰉَأ ْﻦَﻋ

,

ﻰَﺳْﻮُﻣ ِﰉَأ ْﻦَﻋ

:

َلﺎَﻗ

:

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر

:

ﱠﻻِإ َحﺎَﻜِﻧَﻻ

ﱟِﱄَﻮِﺑ

Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdul Malik bin Abi al-Syawarib, telah menceritakan kepadaku Abu Awanata, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq al-Mahdaniyyu, dari Abi Burdata, dari Abi Musa. Abi Musa berkata, Rasulullah saw bersabda: ”Tidak sah pernikahan tanpa adanya seorang wali”.12

11 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

12 Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, Juz 1, (Beirut:

(16)

6

Pengertian wali dalam pernikahan adalah seorang yang bertindak atas

nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan

oleh kedua belah pihak yaitu laki yang dilakukan oleh mempelai

laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.13

Oleh karena itu, keberadaan wali dalam pernikahan sangatlah urgen

sekali sehingga apabila dalam melangsungkan akad nikah wali dari pihak

calon mempelai perempuan tidak dapat hadir, maka ia dapat mewakilkan

atau memberikan kuasa walinya kepada orang lain untuk menikahkan

perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Pasal 28 disebutkan: ”Akad nikah dilaksanakan sendiri secara

pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan

kepada orang lain”.

Orang-orang yang berhak menjadi wali dalam perkawinan adalah wali

nasab, yaitu yang paling utama adalah ayah. Bila tidak ada ayah mungkin

karena meninggal atau gha>ib (hilang tak tentu), maka ayah dari ayahlah

(kakek) yang berhak tampil menjadi wali nikah dari cucu perempuannya.

Apabila tidak ada ayah atau kakek, maka dapat beralih lagi kepada saudara

laki-laki kandung dari calon pengantin perempuan. Saudara laki-laki dari

calon pengantin perempuan tersebut harus sudah a>qil-ba>ligh (dewasa dan

berakal), laki-laki beragama Islam dan adil. Bila tidak ada saudara laki-laki,

maka beralih kepada saudara laki-laki dari ayah (paman) dari si perempuan

yang akan menikah itu. Wali setelah ayah dan kakek disebut wali nasab

(17)

7

biasa (tidak memaksa), sedangkan ayah dan kakek merupakan wali nasab

yang dapat memaksa (mujbi>r).14

Apabila tidak ada sama sekali wali nasab yang disebutkan di atas,

maka berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 23 ayat (1) dan (2):

(1)Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhol atau enggan

(2)Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut

Jadi, yang dapat bertindak sebagai wali nikah ketika wali nasab tidak

ada atau adhol adalah wali hakim atas permintaan pihak mempelai

perempuan yang sudah mendapatkan keputusan Pengadilan Agama. Wali

hakim yaitu Pejabat Pencatat Nikah (PPN)/ Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal perempuan. Jadi wali hakim

ialah pejabat yang diangkat oleh Pengadilan Agama khusus untuk mencatat

pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi wanita yang tidak

mempunyai wali nasab atau wali nasabnya enggan untuk menikahkan anak

perempuannya (ad}al).

Telah dijelaskan di atas bahwasannya yang berhak untuk menikahkan

anak perempuannya adalah wali nasab, yaitu yang paling utama adalah

ayah. Seorang perempuan dapat dinasabkan kepada ayahnya apabila

perempuan tersebut lahir sebagai anak yang sah.

(18)

8

Dalam kaitannya dengan kategori anak yang sah atau tidak, ini ada

kaitannya dengan hubungan biologis antara ayah dan ibunya. Anak yang

sah dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang halal

yakni hubungan yang sudah sah dalam ikatan perkawinan.

Pada zaman sekarang ini, sudah marak sekali hubungan biologis

antara laki-laki dengan seorang perempuan di luar nikah (perzinaan). Dari

hubungan tersebut tidak sedikit yang mengakibatkan para perempuan hamil

di luar nikah. Jika sudah terlanjur hamil, tidak sedikit laki-laki yang

menghamilinya tidak mau bertanggung jawab bahkan meninggalkan

perempuan yang dihamili tersebut. Jika demikian maka jalan satu-satunya

yang ditempuh untuk menutupi rasa malu adalah dengan menggugurkan

kandungannya (aborsi). Namun terkadang inisiiatif untuk menggugurkan

kandungannya tersebut datang dari laki-laki dan perempuan itu sendiri.

Selain dari itu, ada juga yang ingin mempertahankan bayi hasil hubungan

di luar nikah tersebut, yakni si laki-laki mau bertanggung jawab untuk

menikahi perempuan tersebut.

Bagi seorang laki-laki yang bertanggung jawab akan menikahi

perempuan yang dihamilinya akan menimbulkan hukum baru yaitu

bagaimana hukum pernikahan seorang perempuan yang sedang hamil

karena hasil perzinaan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53

dijelaskan tentang kawin hamil yaitu:

(19)

9

(2)Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya (3)Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,

tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dari penjelasan Pasal 53 ayat (1) (2) dan (3) KHI dapat disimpulkan

bahwasannya seorang laki-laki yang menghamili seorang wanita boleh

menikahi wanita tersebut dalam keadaan hamil dan hukum perkawinannya

sah tanpa harus menunggu anak yang dikandung lahir, dan setelah anak

yang dikandung lahir tidak memerlukan nikah ulang.

Dalam Hukum Islam sendiri terdapat perbedaan di kalangan para

ulama tentang sah atau tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang

hamil karena zina. Ada yang berpendapat bahwasannya tidak

diperbolehkan menikahi perempuan tersebut sebelum perempuan tersebut

melahirkan, baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh

laki-laki lain. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa diperbolehkan

menikahi perempuan yang sedang hamil tersebut dikarenakan belum

terkukuhkannya nasab.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka juga akan menimbulkan hukum

yang baru yakni mengenai kategori anak yang sah. Seorang anak dapat

dikatakan sebagai anak yang sah dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dijelaskan dalam Pasal 99 yang berbunyi: ”Anak yang sah adalah: (a)

Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) Hasil

perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri

(20)

10

Jadi menurut KHI, anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah

atau dalam perkawinan namun tidak sah bukanlah anak yang sah dan tidak

bernasab kepada ayahnya tetapi bernasab dengan ibunya sehingga ayahnya

tidak dapat menjadi wali nasab, begitu pula wali nasab yang lain akan

terputus karena wali nasab yang lain adalah melalui jalur ayah, sehingga

ketika ayah tidak menjadi wali nasab maka yang lain juga tidak dapat

menjadi wali nasab. Hal tersebut dijelaskan dalam KHI Pasal 100 yang

berbunyi: ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Sama halnya dengan KHI, Undang-undang Perkawinan juga

menjelaskan tentang definisi anak yang sah. UU Perkawinan bahkan lebih

menegaskan tentang hubungannya dengan ibunya, bukan saja masalah

hubungan nasab saja, tetapi lebih luas yaitu hubungan keperdataan, ini

berarti selain perkawinan. Jadi anak yang tidak sah tidak mempunyai

hubungan keperdataan dengan ayanhya, misalnya dalam masalah warisan,

dan lain-lain. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 42 dan Pasal 43 yang

berbunyi:

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42)

(1)Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

(21)

11

Sedangkan dalam hukum Islam, sudah jelas bahwasannya anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan akibat hubungan suami isteri dalam

perkawinan yang sah.

Dalam kaitannya dengan maraknya hamil di luar nikah, maka untuk

status seorang anak yang dilahirkan dari hubungan biologis di luar nikah,

terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai kategori anak yang

sah. Namun, pendapat yang paling kuat adalah pendapat imam Al-Syafi’i

yakni jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama enam

bulan atau lebih sampai sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti

garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. Akan tetapi jika

si ibu menjalani kehamilannya kurang dari enam bulan sampai

kelahirannya, maka si anak hanya bisa mengikuti garis keturunan si ibu dan

tidak bernasab dengan ayahnya, sehingga ketika anak itu perempuan dan

ketika ingin menikah maka ayahnya tidak bisa menjadi wali si anak

tersebut.

Kasus yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Sidoarjo

adalah mengenai tajdi>d al-nika>h (pembaruan nikah) karena pasangan suami

isteri ragu keabsahan pernikahan mereka terdahulu. Pernikahan terdahulu

yang menjadi wali adalah ayah biologisnya, yakni wali nasab. Namun, si

isteri tersebut lahir dua bulan setelah pernikahan orang tuanya, ini berarti

ibu dari si isteri tersebut menikah dalam keadaan hamil sudah tujuh bulan.

Hal ini yang menyebabkan pasangan suami isteri tersebut ragu dengan

(22)

12

Namun, ada sedikit kejanggalan, alasan pasangan suami isteri

tersebut ragu dengan keabsahan nikah terdahulu karena yang menikahkan

adalah ayahnya, sedangkan si isteri lahir dua bulan setelah pernikahan, ini

berarti ayahnya tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan menurut

pendapat yang kuat. Tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati ini yang melakukan

tajdi>dal-nika>h yakni yang mengawinkan si isteri tersebut adalah Kepala

KUA Sedati atas nama wali hakim. Dengan pelaksanaan tajdi>dal-nika>h

yang dinikahkan oleh wali hakim ini, Kepala KUA Sedati menyatakan

bahwa wali yang menikahkan dalam pernikahan terdahulu yakni ayah si

isteri adalah tidak berhak dan ini berarti menyatakan pernikahan terdahulu

itu bukan diragukan keabsahannya, akan tetapi sudah jelas tidak sah.

Namun mengapa dilakukan tajdi>d al-nika>h terhadap pernikahan yang tidak

sah, padahal tajdi>dal-nika>h itu sendiri tidak membatalakn pernikahan

terdahulu, tidak mempengaruhi pernikahan yang terdahulu. Tajdi>d al-nika>h

sendiri hanya memperbaharui saja, yakni memperbarui nikah yang sudah

sah. Tajdi>d al-nika>h biasanya dilakukan ketika ada alasan seperti kurang

harmonisnya rumah tangga, dalam rangka kehati-hatian dalam menjalani

rumah tangga dikhawatirkan terucap kata talak, dan lain sebagainya yang

mana pernikahan terdahulunya sah.

Dari sedikit penjelasan kasus di atas, karena ada kejanggalan seperti

itu, yakni dari alasan dan penjelasan Kepala KUA yang menyatakan

pernikahan terdahulu itu tidak sah, bukan diragukan, tapi mengapa

(23)

13

seharusnya dilakukan oleh Kepala KUA Sedati dalam menyelesaikan

permasalahan tersebut. Akhirnya penulis melakukan penelitian terhadap

kasus tersebut dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tajdi>d al-Nika>h

Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu(Studi Kasus di Kantor Urusan

Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo).”

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang permasalahan di atas, penulis

mengidentifikasi permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai

berikut:

1. Alasan dilakukannya tajdi>d al-nika>h

2. Dasar hukum tajdi>d al-nika>h

3. Kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu

4. Pelaksanaan tajdi>d al-nika>h

5. Dasar pertimbangan dan dasar hukum Kepala KUA Sedati melakukan

tajdi>d al-nika>h

6. Tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan

nikah terdahulu di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo

Pembatasan masalah dalam penelitian perlu dilakukan untuk

mengarahkan peneliti pada permasalahan-permasalahan yang khusus dari

objek yang akan diteliti, sehingga peneliti dapat membuat keputusan yang

(24)

14

identifikasi masalah di atas, maka penulis perlu kiranya memberikan

batasan-batasan supaya dalam pembahasan “Tinjauan Yuridis Terhadap

Tajdi>d Al-Nika>h Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu(Studi Kasus di

Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoajo)” tidak melebar. Maka

mengenai judul penelitian tersebut,penulis membatasi masalah sebagai

berikut:

1. Penelitian ini hanya mengenai kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu

keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati

Kabupaten Sidoarjo

2. Penelitian ini terbatas tentang tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d

al-nika>h karena ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan

Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo?

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah

terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten

Sidoarjo?

2. Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena ragu

keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati

(25)

15

D. Kajian Pustaka

Penelitian tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAJDI>D

AL-NIKA>H KARENA RAGU KEABSAHAN NIKAH TERDAHULU

(Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Sedati Kabupaten Sidoarjo)” belum

pernah diteliti. Namun secara umum, terkait dengan penelitian tentang

tajdi>d al-nika>h sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan, namun

pembahasannya berbeda dengan bahasan yang ada dalam penelitian ini.

Adapun penelitian tentang tajdi>d al-nika>h yang pernah diteliti adalah

sebagai berikut:

Pertama yaitu penelitian yang dilakukan oleh Umi Rosyidah pada

tahun 2000 dengan judul “Persepsi Ulama Kelurahan Ujung Kecamatan

Semampir Kota Surabaya Tentang Tajdi>d al-Nika>h”. Penelitian yang

dilakukan oleh Umi Rosyidah ini lebih menekankan kepada beberapa

pendapat ulama dalam menyikapi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang

disebabkan oleh perselisihan rumah tangga yang dihadapi yang tidak

menemukan titik temu dan keluarga yang kurang harmonis. Sedangkan

dalam penelitian penulis ini, keadaan rumah tangga dari suami isteri yang

melakukan tajdi>d al-nika>h ini baik-baik saja, harmonis, tidak ada

permasalahan sedikitpun. Namun mereka melakukan tajdi>d al-nika>h karena

(26)

16

mengarah pada benar atau tidak benarkah pelaksanaan tajdi>d al-nika>h

karena ragu keabsahan nikah terdahulu.15

Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Iwan Djauhuri pada

tahun 2005 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan

Tajdi>d al-Nika>h Massal Di Dusun Pandaan Kelurahan Japanan Kecamatan

Gempol Kabupaten Pasuruan”. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Iwan

Djauhuri ini hasilnya lebih menekankan pada tujuan baik untuk masyarakat

desa setempat agar lebih memahami makna dari tajdi>d al-nika>h sebenarnya,

bukan untuk tujuan menghilangkan bala’. Sedangkan dalam penelitian

penulis ini, dalam pernikahan terdahulu itu tidak pernah ada masalah dalam

kehidupan rumah tangga mereka.16

Ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wiamul Umam pada

tahun 2002 dengan judul “Studi Tentang Persepsi Pelaku Tajdi>d al-Nika>h

di Desa Ketetang Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Terhadap

Tajdi>d al-Nika>h Dalam Membentuk Keluarga Sakinah”. Penelitian yang

dilakukan oleh Wiamul Umam ini hasilnya lebih ditekankan pada tujuan

tajdi>d al-nika>h yang dilakukan bertujuan untuk membina rumah tangga

yang lebih harmonis dari sebelumnya dikarenakan banyaknya ketidak

cocokan di antara keduanya. Sedangkan dalam penelitian penulis ini,

keadaan rumah tangga dari suami isteri yang melakukan tajdi>d al-nika>h ini

15 Umi Rosyidah, ”Persepsi Ulama Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Surabaya

Tentang Tajdi>d al-Nika>h”, (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2000), 10.

16 Iwan Djauhuri, ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Tajdi>d al-Nika>h Massal di

(27)

17

baik-baik saja, harmonis, tidak ada permasalahan sedikitpun. Namun

mereka melakukan tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan pernikahan

mereka terdahulu.17

Keempat yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ratna Ayu Anggraini

pada tahun 2014 dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdi>d

al-nika>h (Studi Kasus di Desa Pandean, Banjarkemantren Kecamatan Buduran

Kabupaten Sidoarjo)”. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Ayu ini

hasilnya lebih mengarah pada tata cara pelaksanaan tajdi>d al-nika>h, yakni

ada yang melakukan dalam kurun waktu satu tahun sekali. Selain itu juga

mengarah pada tujuan tajdi>d al-nika>h yaitu untuk memperoleh keturunan

dan untuk kehati-hatian dikhawatirkan terjadinya kata talak. Sedangkan

dalam penelitian penulis ini, suami isteri yang melakukan tajdi>d al-nika>h

sudah dikaruniai dua orang anak, dan akan bertambah tiga (si isteri hamil

anak ke tiga), dan keadaan rumah tangga mereka harmonis, tidak pernah

terjadi percekcokan yang sangat sehingga tidak pernah terucap kata talak

dari si suami.18

Dari beberapa penelitian tentang tajdi>d al-nika>h di atas, dapat

disimpulkan bahwa penelitian penulis dengan judul Tinjauan Yuridis

Terhadap Tajdi>d al-Nika>h Karena Ragu Keabsahan Nikah Terdahulu (Studi

17 Wiamul Umam, ”Studi Tentang Persepsi Pelaku Tajdi>d al-Nika>h di Desa Ketetang Kecamatan

Kwanyar Kabupaten Bangkalan Terhadap Tajdi>d al-Nika>h Dalam Membentuk Keluarga Sakinah”, (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 13.

18 Ratna Ayu Anggraini, Analisis Hukum Islam Terhadap Tajd>id al-Nika>h (Studi Kasus di Desa

(28)

18

Kasus di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten Sidoarjo) ini

belum pernah diteliti sebelumnya.

Perbedaan antara penelitian tentang tajdi>d al-nika>h yang pernah

diteliti sebelumnya dengan penelitian ini yang pertama adalah tempat dan

orang yang melakukan tajdi>d al-nika>h. Pada penelitian sebelumnya,

pelaksanaan tajdi>d al-nika>h dilaksanakan di luar KUA dan dilaksanakan

oleh tokoh masyarakat. Sedangkan pada penelitian ini, pelaksanaan tajdi>d

al-nika>h dilaksanakan di KUA dan dilakukan oleh Kepala KUA atas nama

wali hakim. Kedua adalah mengenai status pernikahan terdahulu. Pada

penelitian sebelumnya, status pernikahannya sah, sedangkan pada

penilitian ini, status pernikahannya masih diragukan keabsahannya. Ketiga

adalah mengenai tujuan dari pelaksanaan tajdi>d al-nika>h. Pada penelitian

tentang tajdi>d al-nika>h sebelumnya lebih menekankan pada tujuan tajdi>d

al-nika>h yang dilakukan untuk keharmonisan rumah tangga, memperoleh

keturunan, sebagai kehati-hatian dikhawatirkan terucap kata talak oleh

suami, untuk memberikan penjelasan terhadap masyarakat yang salah

dalam menilai tajdi>d al-nika>h sebagai penghilang bala’. Sedangkan dalam

penelitian ini, tujuan pelaksanaan tajdi>d al-nika>h adalah untuk

menghilangkan keraguan keabsahan nikah terdahulu, yang mana keadaan

rumah tangga suami isteri yang melakukan tajdi>d al-nika>h dalam keadaan

harmonis, tidak dikhawatirkan terucap kata talak, sudah dikaruniai dua

(29)

19

Dengan adanya keraguan dengan keabsahan nikah terdahulu

kemudian melakukan tajdi>d al-nika>h itu apakah dapat menghilangkan

keraguan keabsahan nikah terdahulu dan menjadikan nikah terdahulu sah?

Apakah sudah benar tentang pelaksanaan tajdi>d al-nika>h dengan alasan dan

permasalahan tersebut?. Dengan alasan inilah penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan mengambil judul seperti tersebut di atas.

E. Tujuan Penelitian

Dalam melaksanakan segala sesuatu tidak terlepas dari yang namanya

tujuan. Dalam hal ini, peneliti melakukan penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui kasus tajdi>d al-nika>h karena ragu keabsahan nikah

terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten

Sidoarjo

2. Untuk mengetahui tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h karena

ragu keabsahan nikah terdahulu di Kantor Urusan Agama (KUA)

Sedati Kabupaten Sidoarjo

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis

khususnya dan pembaca pada umumnya dalam menambah khazanah

keilmuan. Selain itu juga bisa berguna bagi pengembangan ilmu-ilmu

(30)

20

penelitian berikutnya dan memperoleh khazanah ilmu hukum yang

berhubungan dengan perkawinan khususnya tentang tajdi>d al-nika>h

(pembaruan nikah).

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari keraguan dan kesalah pahaman dalam penafsiran

istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis

mendefinisikan istilah-istilah sebagai berikut:

1. Yuridis adalah seperangkat hukum di sebuah negara yang sudah

disahkan oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Dalam penelitian

ini yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Tajdi>d al-nika>h adalah memperbarui nikah yang sudah sah yang

sudah berjalan seperti pernikahan sebelumnya.

3. Ragu keabsahan nikah terdahulu adalah keraguan pasangan suami

isteri terhadap keabsahan nikah terdahulu dari segi hukum Islam

terkait dengan wali yang menikahkan pada pernikahan terdahulu yang

menurut hukum Islam wali tersebut tidak berhak menikahkan.

H. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

(31)

21

1. Data Yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

a) Data tentang deskripsi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati.

b) Data tentang deskripsi kasus yang melatarbelakangi adanya

pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang memuat tentang alasan

pasangan suami isteri tersebut ragu dengan keabsahan nikah

mereka terdahulu serta argumentasi dan dasar hukum Kepala

KUA Sedati memberikan solusi kepada pasangan suami isteri

tersebut untuk melakukan tajdi>d al-nika>h atas nama wali

hakim.

2. Sumber Data

Sumber data adalah tempat di mana kita mendapatkan data

yang kita butuhkan dalam suatu penelitian, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat

utama dan penting yang muncul untuk mendapatkan sejumlah

informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.19

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah sumber

data responden, yakni orang yang terlibat dan memberikan

penjelasan mengenai alasan pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yaitu

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Sedati Kabupaten

19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

(32)

22

Sidoarjo yakni Drs. H. Abdul Halim AR., M. HI yang

memberikan solusi kepada pasangan suami isteri tersebut untuk

melakukan tajdi>d al-nika>h.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang diambil

dan diperoleh dari bahan pustaka dengan mencari data atau

informasi.

Sumber data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

3) Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di

Indonesia

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, penulis mengumpulan data menggunakan

metode wawancara. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara

dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi

dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,

berdasarkan tujuan tertentu.20

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk

mengumpulkan data dengan cara berdialog, bertanya kepada Kepala

KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo untuk mendapatkan informasi

mengenai:

20 Deddy Mulyana, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

(33)

23

a) Deskripsi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati.

b) Deskripsi kasus yang melatarbelakangi adanya pelaksanaan tajdi>d

al-nika>h yang memuat tentang alasan pasangan suami isteri

tersebut ragu dengan keabsahan nikah mereka terdahulu serta

argumentasi dan dasar hukum Kepala KUA Sedati memberikan

solusi kepada pasangan suami isteri tersebut untuk melakukan

tajdi>d al-nika>h atas nama wali hakim.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan kontak langsung atau

melakukan wawancara sendiri dengan sumber data yakni Kepala

KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo agar pertanyaan yang disampaikan

mengarah pada sasaran yang diharapkan.21

4. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Deskriptif

Deskriptif adalah metode yang diawali dengan

menjelaskan atau menggambarkan data hasil penelitian.

Peneliti menggunakan teknik deskriptif ini untuk mengetahui

tentang alasan pelaksanaan tajdi>d al-nika>h dan untuk

mengetahui apakah pelaksanaan tajdi>d al-nika>h tersebut sudah

benar dan tepat sebagai solusi dari alasan permasalahan

tersebut.

(34)

24

b. Deduktif

Deduktif adalah teknik analisis data yang

menggambarkan hasil penelitian diawali dengan

mengemukakan kenyataan yang bersifat umum dari hasil

penelitian tentang adanya fakta tajdi>d al-nika>h di KUA Sedati

kemudian dicocokkan dengan dalil atau teori yang bersifat

khusus tentang tajdi>d al-nika>h.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh gambaran serta memudahkan dalam memahami

penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun suatu sitematika pembahasan,

yaitu:

Bab Pertama merupakan Pendahuluan. Dalam bab ini penulis

kemukakan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah dan

pembatasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

Bab Kedua merupakan Landasan Teori (tinjauan yuridis mengenai

keabsahan perkawinan). Dalam bab ini penulis kemukakan tentang

pengertian perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, pengertian wali,

(35)

25

perkawinan, kawin wanita hamil sebab zina, nasab, tajdi>d al-nika>h,

pernikahan yang batal, dan pembatalan pernikahan.

Bab Ketiga merupakan pemaparan data tentang deskripsi hasil

penelitian. Dalam bab ini penulis kemukakan tentang gambaran secara

umum KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, deskripsi pelaksanaan tajdi>d

al-nika>h di KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, deskripsi kasus yang

melatarbelakangi adanya pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang memuat tentang

alasan pasangan suami isteri tersebut ragu dengan keabsahan nikah mereka

terdahulu, dan argumentasi dan dasar hukum KUA Sedati memberikan

solusi kepada pasangan suami isteri tersebut untuk melakukan tajdi>d

al-nika>h.

Bab Keempat merupakan Analisis Data. Dalam bab ini penulis

memaparkan analisis terhadap deskripsi pelaksanaan tajdi>d al-nika>h di

KUA Sedati Kabupaten Sidoarjo, deskripsi kasus yang melatarbelakangi

adanya pelaksanaan tajdi>d al-nika>h yang memuat tentang alasan pasangan

suami isteri tersebut ragu dengan keabsahan nikah mereka terdahulu,

perkawinan orang tua si isteri, nasab si isteri, argumentasi dan dasar hukum

KUA Sedati memberikan solusi kepada pasangan suami isteri tersebut

untuk melakukan tajdi>d al-nika>h dan tinjauan yuridis terhadap tajdi>d

al-nika>h karenan ragu keabsahan nikah terdahulu.

Bab Kelima merupakan Penutup. Dalam bab ini penulis memaparkan

kesimpulan yang berisi tentang jawaban rumusan masalah di atas, yakni

(36)

26

KUA Sedati dan bagaimana tinjauan Yuridis terhadap tajdi>d al-nika>h

karena ragu keabsahan nikah terdahulu di KUA Sedati, penulis juga

(37)

27

BAB II

(Tinjauan Yuridis Tentang Keabsahan Perkawinan)

A.

Pengertian Perkawinan

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah adalah melakukan

suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan

wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,

dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan

suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi kasih sayang dan

ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai Allah.

1

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dijelaskan, perkawinan menurut

hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (

mitsa>qan ghali>dzan)

untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2

Sedangkan

pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974

adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3

(38)

28

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 dijelaskan: ”Perkawinan adalah

sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)

undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Dalam

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (1) menegaskan

bahwa: ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dalam ayat (2) pasal 2 dijelaskan:

”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

B.

Syarat dan Rukun Perkawinan

Dalam perspektif fikih munakahat, pernikahan merupakan bagian

integral dari syari'at Islam. Pernikahan diatur melalui aturan-aturan hukum

Islam. Pernikahan memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah

menurut hukum Islam. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat

perkawinan yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu sendiri.

4

Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan tentang rukun-rukun nikah,

yakni dalam Pasal 14 yang berbunyi:

5

”Untuk melaksanakan perkawinan harus

ada: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan, ijab dan kabul”.

(39)

29

dijelaskan, namun dalam undang-undang Perkawinan dijelaskan mengenai

syarat-syarat perkawinan yakni dalam Pasal 6 sampai Pasal 12.

C.

Pengertian Wali

Yang dimaksud wali secara umum adalah seseorang yang karena

kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.

Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena

orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak

memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak

atas harta atau atas dirinya. Sedangkan pengertian wali dalam pernikahan

adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu

akad nikah.

6

D.

Syarat-Syarat Wali

Mengenai syarat-syarat wali, dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan

dalam Pasal 20 ayat (1) : ”Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang

(40)

30

Dalam hukum Islam, orang-orang yang dapat menjadi wali nikah harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

7

1.

Telah dewasa dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atu orang gila

tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seorang

yang melakukan akad. Hal ini mengambil dalil dari hadis Nabi:

َةَدﺎَﺘَـﻗ ْﻦَﻋ ٌمﺎﱠَﳘ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َﺮَﻤُﻋ ُﻦْﺑ ُﺮْﺸِﺑ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ﱡيِﺮْﺼَﺒْﻟا ﱡﻲِﻌَﻄُﻘْﻟا َﲕَْﳛ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ِﻦَﻋ

َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا َلْﻮُﺳَر ﱠنَأ ﱟﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ ﱢيِﺮْﺼَﺒْﻟا ِﻦَﺴَْﳊا

:

َﺛَﻼَﺛ ْﻦَﻋ ُﻢَﻠَﻘْﻟا َﻊِﻓُر

ٍﺔ

َﻞِﻘْﻌَـﻳ ﱠﱴَﺣ ِﻩْﻮُـﺘْﻌَﻤْﻟا ِﻦَﻋَو ﱠﺐِﺸَﻳ ﱠﱴَﺣ ﱢِﱯﱠﺼﻟا ِﻦَﻋَو َﻆِﻘْﻴَـﺘْﺴَﻳ ﱠﱴَﺣ ِﻢِﺋﺎﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya

al-Quthaiyyu al-Bashriyyu, telah menceritakan kepadaku Bisyri bin Umara,

telah menceritakan kepadaku Hammam dari Qotadata dari Hasan

al-Bashriyyu dari Ali, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ”Diangkatlah

qalam (tidak diperhitungkan secara hukum) seseorang yang tertidur

sampai ia bangun, seorang yang masih kecil sampai ia dewasa, dan orang

gila sampai ia sehat

8

.

2.

Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. Dalilnya adalah hadis

Nabi dari Abu Hurairah:

(41)

31

Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Jamil bin Hasan

Atakiyyu, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Marwan

al-Uqaliyyu, telah menceritakan kepadaku Hisam bin Hassan dari

Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairata, Abu Hurairata berkata,

Rasulullah saw bersabda “Perempuan tidak boleh mengawinkan

perempuan lain dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya

sendiri. Maka sesungguhnya perempuan pezina adalah perempuan yang

mengawinkan dirinya sendiri”.

9

3.

Muslim. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali nikah

untuk muslim. Sesuai dengan firman Allah SWT:

َْﲔِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ِنْوُد ْﻦِﻣ َءﺎَﻴِﻟْوَأ َﻦْﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻟا َنْﻮُـﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ِﺬِﺤﱠﺘَـﻳَﻻ

,

ِﰱ ِﷲا َﻦِﻣ َﺲْﻴَﻠَـﻓ َﻚِﻟَذ ْﻞَﻌْﻔَـﻳ ْﻦَﻣَو

ٍﺊْﻴَﺷ

)

ناﺮﻤﻋ لا

:

٢٨

(

Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir

menjadi wali dengan meninggalkan orang muslim. Barang siapa berbuat

demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. (QS Ali ‘Imr>an [3]

: 28).

10

4.

Merdeka

5.

Tidak berada dalam pengampuan

(mahju>r ‘alaihi). Alasannya ialah

bahwa orang yang berada di bawah ppengampuan tidak dapat berbuat

hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu

tindakan hukum.

6.

Berpikiran baik

(a>qil). Orang yang terganggu pikirannya karena

ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan

mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.

(42)

32

7.

Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering

terlibat dosa kecil serta tetap memelihara muru>’ah (sopan santun).

8.

Tidak sedang melakukan

ihram, untuk haji maupun umrah. Hal ini

berdasarkan hadis Nabi:

ِﺪْﻴَـﺒُﻋ َﻦْﺑ َﺮَﻤُﻋ ﱠنَأ ٍﺐْﻫَو ِﻦْﺑ ْﻪْﻴَـﺒُـﻧ ْﻦَﻋ ٍﻊِﻓﺎَﻧ ْﻦَﻋ ٍﻚِﻟﺎَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُتْأَﺮَـﻗ َلﺎَﻗ َﲕَْﳛ ًﻦْﺑ ﻰَْﳛ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ْﺑا َﺔَﺒْﻴَﺷ َﺖْﻨِﺑ َﺮَﻤَﻋ َﻦْﺑ َﺔَﺤْﻠَﻃ َجﱢوَﺰُـﻳ ْنَأ َداَرَأ ِﷲا

ﱠَﱄَإ َﻞَﺳْرَﺄَﻓ ٍْﲑَـﺒُﺟ ِﻦ

ُﺮُﻀَْﳛ َنﺎَﻤْﺜُﻋ َﻦْﺑ َنﺎَﺑَأ

ُلْﻮُﻘَـﻳ َنﺎﱠﻔَﻋ َﻦْﺑ َنﺎَﻤْﺜُﻋ ُﺖْﻌَِﲰ ٌنﺎَﺑَأ َلﺎَﻘَـﻓ ﱢﺞَْﳊا ُﺮْـﻴِﻣَأ َﻮُﻫَو َﻚِﻟَذ

:

ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ

:

َـﻳَﻻ

ُﺢَﻜْﻨُـﻳَﻻَو ُمِﺮْﺤُﻤْﻟا ُﺢِﻜْﻨ

ُﺐُﻄَْﳜ َﻻَو

Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Yahya

bin Yahya berkata saya membaca hadis di hadapan Imam Malik dari

Nafi’ dari Nubaih bin Wahbin bahwasannya Umar bin Ubaidillah

menghendaki mengawinkan Thalhah bin Amar dengan anak perempuan

Syaibah bin Jubair, maka Umar menyuruhku untuk menemui Aban bin

Utsman yang menghadiri perkawinan tersebut. Aban adalah pimpinan

haji, maka Aban berkata, saya mendengar Utsman bin Affan berkata,

Rasulullah saw bersabda “Orang yang sedang ihram tidak boleh

menikahkan orang lain dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang

dan tidak boleh melamar atau dilamar”.

11

E.

Macam-Macam Wali

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan

macam-macam wali nikah yaitu: ”Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab, b. wali

(43)

33

Dalam hukum Islam, wali bagi seorang perempuan yang akan menikah

itu dibagi menjadi 4 macam, yaitu:

1.

Wali Nasab

Wali nasab adalah wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan

calon pengantin perempuan. Yang termasuk wali nasab ialah ayah, kakek,

saudara laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta keturunannya menurut

garis patrilinial.

12

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (1) dijelaskan mengenai

urutan wali nasab, yaitu:

”Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,

kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat

tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,

kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari

pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki

kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,

saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok

saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan

laki-laki mereka”.

2.

Wali Hakim

Wali hakim adalah penguasa atau wali penguasa yang berwenang dalam

bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen

Agama. Dalam hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada

halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seseorang

(44)

34

melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur yang dapat

ditempuh.

13

Wali hakim adalah wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah

pihak (calon suami dan calon isteri). Wali hakim harus mempunyai ilmu

pengetahuan yang sama dengan

qo>dli. Pengertian wali hakim ini termasuk

qadli di Pengadilan. Rasulullah SAW bersabda:

14

ُﻦْﺑ ِﷲا ُﺪْﺒَﻋ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ٍﺐْﻳَﺮُﻛ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ِﻦَﻋ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﻦَﻋ َةَوْﺮُﻋ ْﻦَﻋ ﱢيِﺮْﻫﱡﺰﻟا ِﻦَﻋ ٍجﺎﱠﺠَﺣ ْﻦَﻋ كَرﺎَﺒُﻤْﻟا

ﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِّْﱯﱠﻨﻟا

َﻻﺎَﻗ ٍسﺎﱠﺒَﻋ ِﻦْﺑ ِﻦَﻋ َﺔَﻣِﺮْﻜِﻋ ْﻦَﻋَو َﻢ

:

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ

َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ِﺚْﻳِﺪَﺣ ِﰱَو ﺰﱟﻴِﻟَﻮِﺑ ﱠﻻِإ َحﺎَﻜِﻧَﻻ

:

ُنﺎَﻄْﻠﱡﺴﻟﺎَﻓ

ُﻪَﻟ ﱠِﱄَو َﻻ ْﻦَﻣ ﱡِﱄَو

Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib, telah menceritakan

kepadaku Abdullah bin al-Mubarak dari hajjaj dari al-Zuhriyyi dari Urwata dari

Aisyah dari Nabi saw, dan dari Ikrimata dari ibni Abbas. Mereka berdua

berkata, rasulullah saw bersabda “tidak sah pernbikahan tanpa adanya seorang

wali”. Dalam hadis Aisyah “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi

seseorang yang tidak ada walinya”.

15

Orang-orang yang diberi hak untuk menjadi wali hakim adalah: kepala

pemerintahan

(al-sultan),

pemimpin

(khalifah),

penguasa

(rais)

atau

qa>dli

nikah yang diberi wewenang oleh kepala negara untuk menikahkan wanita

yang tidak mempunyai wali. Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka

(45)

35

wali hakim dapat diangkat dari orang-orang yang terkemuka di daerah tempat

perempuan tinggal atau orang-orang ‘a>lim.

16

Untuk ketentuan diangkatnya wali hakim ini dijelaskan dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) Pasal 23 ayat (1) dan (2):

(1)

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali

nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak

diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.

(2)

Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat

bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan Pengadilan

Agama tentang wali tersebut.

3.

Wali Hakam

Wali

hakam adalah seseorang yang bertindak sebagai wali nikah yang

masih masuk keluarga si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab,

tidak mempunyai hubungan darah patrilinial dengan perempuan tersebut tetapi

dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali

perkawinan. Dalam ajaran bilateral, wali itu dapat saja dari keluarga bapak

perempuan dan dapat pula dari keluarga pihak ibunya.

17

4.

Wali Muhakam

Muhakam adalah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan yang

akan menikah dan bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai

pengetahuan keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan.

(46)

36

untuk lancar sempurnanya perkawinan, seyogyanyalah dipilih seseorang lain

untuk menjadi wali dalam arti wali muhakam ini bagi golongan yang

mensyaratkan adanya wali nikah.

18

F.

Kedudukan Wali Dalam Perkawinan

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan

tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu

ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama

secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan

sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula

sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan

tersebut.

19

UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali dalam

persyaratan perkawinan dalam pengertian yang melangsungkan akad nikah

bukan wali, tetapi mempelai perempuan. Yang disebutkan dalam UU

Perkawinan hanyalah orang tua, itu pun dalam kedudukannya sebagai orang

yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang

demikian pun bila kedua calon mempelai berumur di bawah 21 tahun. Hal ini

(47)

37

orang tua tidak ada sama sekali. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4),

(5), dan (6).

20

Namun meskipun UU Perkawinan tidak menjelaskan wali sebagai salah

satu syarat atau rukun dalam perkawinan, UU Perkawinan ada menyinggung

wali nikah dalam Pembatalan Perkawinan pada Pasal 26 dengan rumusan:

”Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang

tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa

dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh…..”.

Bagian ketiga KHI membahas mengenai wali nikah yang dijelaskan

dalam Pasal 19: ”Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.

Para ulama yang mengatakan bahwa wali itu menjadi syarat sah

perkawinan mempunyai dasar, di antaranya:

َﺣ

َﻤْﻟا َقﺎَﺤْﺳِإ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َﺔَﻧاَﻮَﻋ ْﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ِبِراَﻮﱠﺸﻟا ِﰉَأ ِﻦْﺑ ِﻚِﻠَﻤْﻟا ِﺪْﺒَﻋ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ

ﱡِﱐاَﺪْﻬ

,

ْﻦَﻋ

َةَدْﺮُـﺑ ِﰉَأ

,

ﻰَﺳْﻮُﻣ ِﰉَأ ْﻦَﻋ

:

ًلﺎَﻗ

:

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ

:

ﱟِﱄَﻮِﺑ ﱠﻻِإ َحﺎَﻜِﻧَﻻ

Artinya

:

Artinya: ”Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdul

Malik bin Abi al-Syawarib, telah menceritakan kepadaku Abu Awanata, telah

menceritakan kepadaku Abu Ishaq al-Mahdaniyyu, dari Abi Burdata, dari Abi

Musa. Abi Musa berkata, Rasulullah saw bersabda: ”Tidak sah pernikahan

tanpa adanya seorang wali”.

21
(48)

38

G.

Kawin Wanita Hamil Sebab Zina

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) yang

diatur dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama

Nomor 154/1991 disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah hanya

dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan

wanita hamil tersebut dapat dilaksanakan secara langsung tanpa menunggu

wanita itu melahirkan, tidak diperlukan perkawinan ulang. Jika anak tersebut

lahir, maka anak tersebut menjadi anak sah.

22

Mazhab Hanafi berpendapat, jika perempuan yang dizinai tidak hamil,

maka sah akad nikah kepadanya dari laki-laki yang tidak melakukan zina

kepadanya. Begitu juga ketika dia hamil akibat perbuatan zina tersebut maka

dia boleh dinikahi. Akan tetapi tidak digauli sampai dia melahirkan anaknya.

Berdasarkan dalil-dalil berikut:

23

1.

Perempuan yang berzina tidak disebutkan di dalam para perempuan yang

haram dinikahi. Berarti dia boleh untuk dinikahi. Berdasarkan firman

Allah SWT:

ﱠﻞِﺣُأَو

ْﻢُﻜِﻟَذَءاَرَوﺎﱠﻣ ْﻢُﻜَﻟ

(49)

39

Artinya: ”Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”. (QS.

Al-Nisa>’ [4] : 24).

24

2.

Tidak ada kehormatan bagi air sperma zina. Dengan dalil bahwa

perbuatan zina ini tidak menetapkan nasab.

Abu Yusuf dan Zufar berpendapat, tidak boleh melaksanakan akad

terhadap perempuan yang tengah hamil akibat hubungan zina, karena

kehamilan ini mencegah persetubuhan, maka dilarang juga pelaksanaan akad,

sebagaimana kehamilan juga mencegah penetapan nasab. Maksudnya,

sebagaimana tidak sah dilaksanakan akad terhadap perempuan yang hamil

yang bukan karena hubungan zina, maka tidak sah dilaksanakan akad terhadap

perempuan yang hamil akibat perbuatan zina.

25

Mazhab Maliki berpendapat, tidak boleh dilaksanakan akad terhadap

perempuan yang melakukan perbuatan zina sebelum dia dibebaskan dari zina

dengan tiga kali haid, atau setelah lewat masa 3 (tiga) bulan. Jika dilaksanakan

akad pernikahan kepadanya sebelum dia dibebaskan dari zina, maka akad

pernikahan ini adalah sebuah akad yang

fa>sid

. Akad ini harus dibatalkan, baik

muncul kehamilan atau tidak

.

26

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil karena zina dapat saja

dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya dan sah sebagai suami isteri

(50)

40

dengan segala akibat hukumnya. Jadi laki-laki dan wanita yang menikah itu

dapat melakukan hubungan seksual tanpa menunggu kelahiran anaknya,

demikian juga tentang kedudukan anak yang dilahirkan itu menjadi anak sah

dari suami isteri yang menikah itu meskipun bukan dari orang yang

menghamili wanita tersebut

.

27

Untuk pendapat mazhab hanbali mengenai

perkawinan wanita hamil sebab zina penulis tidak menemukan.

H.

Nasab

1.

Pengertian Nasab

Nasab atau keturunan artinya pertalian atau perhubungan yang

menentukan asal-usul seorang manusia dalam pertalian darahnya.

Disyari’atkannya pernikahan adalah untuk menentukan keturunan menurut

Islam agar anak yang lahir dengan jalan pernikahan yang sah memiliki status

yang jelas. Artinya anak itu sah mempunyai bapak dan mempunyai ibu. Akan

tetapi, kalau anak itu lahir di luar pernikahan yang sah, maka anak itu

statusnya menjadi tidak jelas, hanya mempunyai ibu, tetapi tidak mempunyai

(51)

41

Dalam halnya dengan keturunan darah, maka semua anak dibangsakan

kepada bapaknya bukan kepada ibunya. Hal ini berdasarkan pada firman allah

swt dalam surat al-ah}za>b [33] ayat 5:

29

َأ َﻮُﻫ ْﻢِﻬِﺋﺎَﺑَِﻷ ْﻢُﻫْﻮُﻋْدُا

ِﷲا َﺪْﻨِﻋ ُﻂَﺴْﻗ

Artinya: ”Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)

nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah….(QS.

Al-Ah}za>b [33] : 5).

30

Menurut agama Islam, bahwa istilah “bapak” dan “ibu” dalam hubungan

anak ini adalah disebabkan oleh pernikahan yang sah dengan mengucapkan ijab

Kabul. Andaikata lahir seorang anak dari antara bapak dan ibu ini, maka anak

ini dinamakan anak yang sah. Akan tetapi, kalau anak itu lahir bukan dari

pernikahan yang sah, maka anak itu disebut anak hasil zina atau anak tidak

sah.

31

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99 dijelaskan bahwa ”anak

yang sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang

sah, (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar dan dilahirkan oleh isteri

tersebut”. Dan dalam Pasal 100 KHI dijelaskan bahwa ”anak yang lahir di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya”.

32

(52)

42

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga

dijelaskan tentang pengertian anak yang sah, yaitu dalam Pasal 42 ”anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang

sah. Dan dalam Pasal 43 ayat (1) dijelaskan ”anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya”.

33

Dalam pandangan hukum Islam, ada 4 (empat) syarat supaya nasab anak

dianggap sah, yaitu, pertama, kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang

mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak

mensyaratkan seperti ini, menurut beliau, meskipun suami isteri tidak

melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang

dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Kedua, tenggang

waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya 6 (enam)

bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi

ijma>’

para pakar

hukum Islam

(fuqaha>’)

sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan. Ketiga,

anak yang lahir ini terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan.

Keempat, suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga

li’an

. Jika

seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah

(53)

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi Experiential Marketing maka akan semakin tinggi Kepuasan Pelanggan, hasil penelitian Penelitian yang dilakukan oleh

16 Tahun 2013 Tentang Bantuan Hukum masih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yang menjadi kendala dalam pemberian bantuan hukum, faktor tersebut banyak

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hasil belajar siswa dengan menggunakan media kartu dalam melatih keterampilan menulis bahasa Jerman pada siswa kelas

(2009) menyimpulkan bahwa hubungan pengaruh yang paling kuat terhadap sikap petani adalah variabel keuntungan yang dirasakan, variabel kemudahan yang dirasakan dan variabel norma

Dengan kata lain bahwa persamaan regresi yang terbentuk dari variabel pengendalian internal, kompetensi sumber daya manusia dan penerapan e-commerce sebagai variabel

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui kombinasi pupuk organik, asam humat, dan mikoriza terhadap tingkat infeksi mikoriza pada perakaran tanaman cabai dan

Berdasarkan hasil statsitik menggunakan uji chi square test, diproleh hasil dengan nilai p-value sebesar 0.002 < 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat

In this chapter, we’ll learn to use standard library and open source commu- nity tools that make it incredibly simple to create a conventional, idiomatic command-line interface