Al-Dakhi>l dalam Tafsir al-
Muni>r li Ma’a
>lim al-Tanzi>l
Karya Syaikh Nawawi al-Bantani
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
SRIWAYUTI NIM: E03213085
JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Sriwayuti, E03213085. Al-Dakhi>l dalam Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l Karya Syaikh Nawawi al-Bantani.
Tafsir sebagai suatu proses, akan terus berkembang tanpa adanya kata final yang berlandaskan pada perkembangan peradaban manusia. Perbedaan tafsir tidak terlepas dari makna Alquran sendiri yang multitafsir. Selain itu wawasan serta kecenderungan mufassir juga berpengaruh besar di dalamnya. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tetap mengarah pada satu muara, yaitu untuk mencari maksud dan tujuan suatu teks.
Seiring dengan perkembangan tafsir, para mufassir sering melakukan pemotongan sanad, sehingga menyulitkan bagi generasi selanjutnya untuk membedakan riwayat yang sahih dan tidak. Hal ini terus berlanjut dan menjadi
peluang besar untuk menyusupkan kisah-kisah Isra>iliyya>t, hadis-hadis palsu,
hadis lemah dan sebagainya. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk
menganalisa penggunaan riwayat syaikh Nawawi dalam tafsirnya, tafsir al-Muni>r
li Ma’a>lim al-Tanzi>lterkait bentuk-bentuk dakhi>l, terutama dakhil naqli yang ada di dalamnya.
Sebelum masuk dalam penafsirannya, diperlukan gambaran utuh tentang syaikh Nawawi dan seluk beluk kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif yang bersifat library research, selanjutnya data dikelolah secara
deskriptif-analitis. Penelitian ini mengacu pada kiprah syaikh Nawawi sebagai
ulama pribumi yang go internasional, yang mana dalam penafsirannya meskipun
menggunakan bi al-Ra’y, namun juga tidak meninggalkan sumber bi al-Riwayah.
Dalam pengutipan sebuah riwayat, syaikh Nawawi sering melakukan pemotongan sanad, selain itu juga jarang mengomentari hadis yang digunakan.
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa penggunaan riwayat-riwayat isra>iliyya>t untuk menjelaskan kisah-kisah lama, hadis d}a’i>f dan maud}u>’. Namun
terlepas dari itu semua, tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l merupakan salah satu
kitab tafsir lokal yang telah banyak memberikan manfaat dan pengaruh, khususnya terhadap citra masyarakat Indonesia.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
ABSTRAK ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN SKRIPSI ... v
PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Keguanaan Penelitian ... 8
F. Telaah Pustaka ... 8
G. Metodologi Penelitian ... 11
H. Sistematika Pembahasan ... 14
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG AL-DAKHI>L DALAM TAFSIR A. Definisi Tafsi>r... 16
C. Macam-macam al-Dakhi>l ... 20
D. Transformasi dakhi>lke dalam Kajian Tafsir ... 22
E. Respon terhadap al-Dakhi>l ... 26
BAB III: MENGENAL SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI A. Sosio-Historis Syaikh Nawawi al-Bantani ... 29
B. Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani ... 32
C. Guru dan Murid Syaikh Nawawi al-Bantani ... 36
D. Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani ... 37
E. Madzhab Syaikh Nawawi al-Bantani ... 40
F. Latar Belakang Kepenulisan Kitab Tafsir al-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 42
G. Karakteristik Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 44
H. Metode dan Corak Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 48
BAB IV: TELAAH BENTUK AL-DAKHI>L DALAM PENAFSIRAN SYAIKHNAWAWI AL-BANTANI A. al-Dakhi>l dalam Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 51
B. Analisa Terjadinya Dakhi>ldalam Tasi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 67
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika perkembangan tafsir terus berkembang secara signifikan seiring
dengan persoalan umat manusia. Perkembangan tersebut merupakan sebuah
keniscayaan yang memang Alquran sendiri diturunkan kepada manusia, bukan
untuk Tuhan, agar manusia menjadikannya sebagai petunjuk. Oleh sebab itu
ketika Alquran turun, maka ia diapresiasi, dikaji dan dipahami oleh generasi
sahabat waktu itu. Begitu Alquran disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah
kepada para sahabat, kemudian mereka memahami dan mengamalkannya.1
Setelah Rasulullah wafat, perbedaan pemahaman terhadap Alquran antara
sahabat satu dengan sahabat lainnya kerap terjadi. Tidak hanya berhenti pada
masa sahabat, perbedaan-perbedaan itu juga berlangsung sampai sekarang. Hal
ini merupakan sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh dua hal, pertama faktor
dalam Alquran itu sendiri yang memang memiliki beragam cakupan makna,
kedua, faktor eksternal Alquran yaitu keahlian Mufassir yang didukung dengan
adanya syarat-syarat sebagai mufassir, yang meliputi akidah yang benar, bersih
dari hawa nafsu, mengambil Alquran sebagai sumber utama penafsiran sebelum
beralih pada al-sunnah, mengetahui bahasa arab dengan berbagai cabang
keilmuannya, mengetahui ulu>m Alqura>n, dan memahami dengan cermat terhadap
2
suatu makna dalam Alquran.2 Serta kecenderungan para mufassir dalam
memahami Alquran yang terbentuk dari latar belakang penulis, ideologi, politik,
penguasa pada waktu itu dan sebagainya. Dengan demikian tafsir tidak mengenal
final, melainkan akan terus berkembang sebagaimana persoalan-persoalan
manusia yang terus bermunculan.
Seiring dengan perkembangan penafsiran, penyimpanga-penyimpangan
dalam penafsiran (dakhi>l) juga marak dalam karya tafsir. Secara bahasa dakhi>l
berasal dari kata dakhila yang bermakna bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh
kerusakan dan mengandung cacat.3 Sedangkan secara terminologi dakhi>l dalam
tafsir yaitu suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tutupi dan disamarkan
hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir Alquran yang
otentik.4
Adanya dakhi>l tidak dapat dipisahkan dari dinamika penafsiran yang
secara garis besar dibagi dalam dua periode, yaitu periwayatan dan pembukuan.
Perkembangan tafsir bi al-ma’thu>r berakhir dengan dihapuskannya isnad-isnad,
dan orang mengutipnya tanpa menyebutkan urutan sanad-sanad tersebut.
Penggunaan riwayat-riwayat yang lemah bahkan maudhu’ serta pengutipan
riwayat isra>iliyya>t yang sering dilakukan oleh para ulama klasik, menjadi
masalah tersendiri dalam khazanah kitab-kitab tafsir, karena dapat merusak
akidah umat Islam. Selain sumber bi al-ma’thu>r, sumber bi al-ra’yi juga berakhir
2Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, trj.Mudzakir AS. (Bogor: Litera AntarNusa, 2011), 462-465.
3Ibra>hi>m Mus}t}afa>, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Turki: Da>r al-Da’wah, 1990), 275.
3
karena didominasi oleh kecenderungan-kecenderungan perorangan dan
madzhab-madzhab teologik atau madzhab-madzhab-madzhab-madzhab yang lain.5
Penghapusan isnad-isnad pada tafsi>r bi al-ma’thu>r, telah memberi ruang
kejahatan bagi kaum muslimin. Hal ini memungkinkan manipulasi penafsiran
dengan memasukkan kisah-kisah legenda isra>iliyya>t ke dalamnya. Selain itu,
penggunaan hadis tanpa adanya isnad juga bisa dilakukan demi melegitimasi
aliran yang dianut dengan mengatasnamakan bahwa hadis tersebut merupakan
hadis Nabi saw, sehingga oleh para pembaca hadis tersebut diyakini
kebenarannya, meskipun pada kenyataannya bukan dari Nabi saw.6
Pembuangan sanad juga mengakibatkan banyaknya riwayat-riwayat yang
lemah, palsu dan bohong. Sebab penyebutan sanad sering kali menunjukkan
tempat cacat, sumber penyakit, dan orang yang menjadi sebab bencana bagi
orang.7
Berbagai dampak yang bermunculan sebagaimana di atas, dapat
diminimalisir dengan menyertakan kembali sanad-sanad dalam periwayatan
hadis. Para mufassir yang menyertakan sanad-sanad dalam tafsirnya, sebenarnya
telah melaksanakan kewajibannya, walaupun dalam hubungan ini mereka tidak
melakukakn pengecekan terhadap kualitas hadis tersebut, seperti yang dilakukan
oleh al-T{aba>riy.8
5Muh}ammad H{usein adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran
al-Qur’an, trj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 11-12.
6Ibid., 12.
7Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Isra>‘iliyya>t dan Hadis-hadis Palsu Tafsir
4
Selain pembuangan sanad, adanya dakhi>l dilatarbelakangi dua faktor
besar, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang muncul dari umat
islam itu sendiri, terkait dengan keterbatasan keilmuan mufassir dan subjektifitas
mufassir, sikap mufassir yang kurang hati-hati dalam mencantumkan riwayat dan
tidak selektif dalam menerima sumber dari luar islam. Sedangkan faktor
eksternal berasal dari luar Islam, yang ingin merusak islam melalui penafsiran
Alquran.
Mengingat begitu pentingnya tafsir terhadap pemahaman Alquran, maka
tidak sedikit ulama yang menuangkan pemahamannya secara tertulis dalam suatu
karya, termasuk Indonesia yang telah banyak mengalami metamofosis dalam
bentuk penafsiran. Dari segi generasi, Howard M. Federsipiel membagi dalam
tiga generasi. Generasi pertama, dari awal abad 20 sampai awal tahun 1960-an.
Pada generasi ini, cenderung dalam bentuk penerjemahan dan penafsiran yang
masih parsial dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir.
Generasi kedua, sebagai penyempurna dari generasi pertama yang muncul pada
pertengahan tahun 1960-an. Pada generasi ini, tafsir mempunyai beberapa
catatan, catatan kaki, terjemahan mufradat, dan terkadang disertai indeks yang
sederhana. Selanjutnya tafsir generasi ketiga yang mulai muncul pada 1970-an,
merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas dan
juga disertai terjemahnya.9
Salah satu karya tafsir Nusantara yang muncul pada abad 19 M secara
utuh dengan berbahasa Arab yaitu tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya
9
5
Syaikh Nawawi al-Bantani. Syaikh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abdal
Mu’ti Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani (1813-1879 M),
merupakan salah satu mufassir Indonesia yang produktif. Hasil karyanya yang
cukup monumental adalah kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l, yang selesai
ditulis pada hari Rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 H.10 karya tafsirnya ini
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, karena memang ditulis di
Makkah dan sebagai rujukan umat Islam, tidak hanya Indonesia, sehingga tafsir
al-Muni>r li Ma’alim al-Tanzi>l tidak hanya tersebar di wilayah Indonesia saja,
namun telah memberi pengaruh terhadap perkembangan islam di Timur Tengah
dan belahan dunia islam. Sebagai mufassir yang tergolong pada periodesasi
pertama, tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l atau Tafsi>r Mara>h} Labi>d tergolong
sudah menggunakan metode bi al-Ra’y.
Meskipun penafsiran Syaikh Nawawi tergolong bi al-Ra’y, namun juga
tidak serta merta meninggalkan metode klasik, yang mengambil syaikh Nawawi
terkadang tidak menyebutkan sanadnya sama sekali atau mengomentarinya.
Seperti ketika menafsirkan surat an-Naml ayat 82 yang menggunakan hadis d}a‘i>f
berikut:
ِإَن
يُط
َل
ي
ِست
َني
ِ
عا
يِ
ِ
ِعا
ي
دآ
ِي
عَ
يِه
ي
سلا
َا
ي
َا
يي
ُِك
يَط
ِل
ي
َا
ي
ه في
ي
ِ
11
Dalam menukil hadis tersebut, syaikh Nawawi tidak menyebutkan
rangkaian sanadnya sama sekali. Dan penulis hanya mendapatkan redaksi hadis
tersebut dalam kitab tafsir al-Muni>r.
10Ibid. 43.
11
6
Dalam menafsirkan Alquran, syaikh Nawawi merujuk dari kitab-kitab
tafsir terdahulu, seperti tafsi>r al-Kabi>r Mafa>tih} al-Ghai>b karya ar-Razi, al-Siraj
al-Muni>r karya Muhammad bin Ahmad al-Syirbani, Tanwi>r al-Miqbas karya Ibn
Abbas, dan Tafsi>r Abi> al-Sa’u>d.12
Melihat syaikh Nawawi sebagai ulama’ pribumi yang go Internasional,
namun dalam pengambilan riwayat cenderung melakukan pemotongan terhadap
sanad hadis, maka perlu adanya penelitian terhadap kualitas Hadis baik dari segi
sanad, maupun penerimaannya untuk menganalisa adanya penyimpangan
penafsiran. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang komprehensif terhadap
kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l terkait dakhi>l (penyimpangan) dalam
menggunakan hadis sebagai sumber periwayatan tafsir, mengklasifikasi
bentuk-bentuk penyimpangan terutama yang terkait dengan dakhi>l naqli serta
menganalisa sikap syaikh al-Nawawi dalam penggunaan sumber penafsiran
dengan sanad yang tidak lengkap.
B. Identifikasi Masalah
Berlandaskan dari uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang
dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metodologi dan kecenderungan penafsiran yang digunakan
Shaykh Nawawi al-Bantani dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l?
2. Bagaimana pendapat ulama terhadap Shai>kh Nawawi al-Bantani?
3. Bagaimana bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim
al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?
7
4. Apa yang melatarbelakangi terjadinya penyimpangan dalam Tafsi>r al-Muni>r
li Ma’a>lim al-Tanzi>l?
5. Bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi penyimpangan-penyimpangan
dalam tafsir?
Dengan melihat keluasan pembahasan tentang
penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran, maka penelitian ini difokuskan pada nomor 3
dan 4, yaitu bentuk-bentuk dakhi>l terutama dakhi>l dalam bentuk al-Naql serta
hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li
Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani serta dengan berpedoman
pada teori dakhi>l sebagai pisau analitis.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka memunculkan
permasalahan-perasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim
al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?
2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li
Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li
8
2. Untuk menganalisa terjadinya dakhi>l dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim
al-Tanzi>l.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian \ini secara garis besar \ memiliki dua kegunaan, yaitu:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah
pengetahuan dan referensi \metodologi kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim
al-Tanzi>l karya al-Nawawi al-Bantani serta bentuk-bentuk dakhi>l \ didalamnya.
2. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menjadi salah satu pertimbangan
dalam upaya menyikapi penyimpangan-penyimpangan terhadap karya-karya
tafsir, khususnya tafsir Nusantara.
F. Telaah Pustaka
Penelitian terhadap al-Dakhil bukanlah hal yang baru. Di antara beberapa
penelitian terdahulu terkait dengan penelitian al-dakhi>l adalah sebagai berikut:
1. Dakhi>l al-Naqli dalam Alquran dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi
2004, karya Dr. Ibrahim Syuaib Z. Dalam Executive Summary Lembaga
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2009. Pada
penelitian ini hanya membahas dakhil dari segi naqli saja.
2. Infiltration of Shia: Segmentation of Dakhil in Interpretation of
al-Misbah, karya Afrizal Nur dalam Jurnal Ushuluddin vol. 23 no. 1, Juni 2015.
3. Al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Studi Kritis dalam Metodologi Tafsir), karya Ahmad
9
2014. Penelitian ini menjelaskan secara umum dakhil dalam Alquran serta
sikap yang harus diambil para mufassir dalam menafsirkan Alquran.
4. Dakhi>l dalam Kitab Tafsir Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l Karya Al
-Bayd}a>wi> (Kajian Surat al-Fa>tih}ah dan Surat al-Baqarah), disertasi yang
ditulis oleh Fahul Bari pada program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya tahun 2013. Penelitian ini mengkaji dakhi>l dalam tafsir al-Bayd}a>wi>
pada surat al-Fa>tih}ah dan Surat al-Baqarah.
Sedangkan penelitian terkait dengan penelitian kitab al-Nawawi yaitu:
1. Metode Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Sebuah
Tinjauan terhadap Tafsir Mirahu Labid), skripsi yang ditulis oleh Mhd.
Ikhsan Kolba Siregar pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Sulthan Syarif Kasim Riau Pekanbaru 2011. Skripsi ini membahas metode
yang digunakan oleh imam al-Nawawi. Selain itu juga disebutkan bahwa
salah satu kelemahan kitab tersebut yaitu, mengambil hadis sebagai
penafsiran dengan isnad yang tidak lengkap, namun dalam skripsi ini tidak
mengklarifikasi hadis-hadis tersebut.
2. Isra’iliyyat in Interpretative Literature of Indonesia: A Comparison between
Tafsir Marah Labid and Tafsir al-Azhar, karya Ahmad Levi Fachrul Avivy,
Jawiah Dakir dan Mazlan Ibrahim dalam Mediterranean Journal of Social
Sciences mcser Publishing vol. 6 no. 3 S2 May 2015 The National
University of Malaysia. Penelitian ini membahas tentang bagian daripada
dakhi>l, yaitu Isra>iliyya>t dengan menkomparasikan antara kitab Marah Labid
10
3. Konsep Toleransi Beragama dalam Pandangan Syekh Nawawi Banten (Studi
Analisis terhadap Tafsir Mara>h Labi>d), karya Nur Hidayat dalam Jurnal
Budaya dan Agama, Sahaja, volume 4 No. 2 Juli 2014. Pada penelitian ini,
tidak mengungkap dakhi>l yang ada pada kitab Mara>h Labi>d, melainkan
pemikiran syaikh Nawawi terkait dengan kebudayaan.
4. Karakteristik Tafsir Mara>h Labi>d Karya Syaikh Nawawi al-Bantani, ditulis
oleh Ahmad Muttaqin dalam Jurnal Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu
al-Qur’an dan al-Hadits, Vol. 8 No. 1 Januari-Juni 2014. Jurnal ini menjelaskan
ruang lingkup kitab Mara>h Labi>d, mulai dari biografi sampai metodologinya.
5. Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren (Analisis terhadap Tafsir Mara>h
Labi>d Karya K.H. Nawawi Banten), yang ditulis oleh Mamat S.
Burahanuddin tahun 2006. Buku ini menjelaskan bahwa konsepsi
hermeneutika Nawawi cenderung mengarah pada upaya pemahaman teks
ayat Alquran yang sedikit banyak dipengaruhi unsur subjektivitasnya
sebagai seorang guru yang moderat, intelektual yang tengah merespon
perkembangan zaman, seorang mujaddid tanpa menafikan ulama salaf,
seorang yang kecewa dengan kondisi politik di tanah airnya. Nawawi
berhasil menghadirkan Alquran ‚hidup‛ dalam irama problema kehidupan
manusia di masanya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, penelitian tentang dakhi>l
dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l secara komprehensif belum
11
dakhi>l naql, serta alasan yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam Tafsi>r
al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.
G. Metodologi Penelitian
Sebuah riset ilmiah dilakukan untuk mencari kebenaran obyektif. Untuk
merealisasikan itu semua, peneliti harus mempunyai metodologi dalam
penelitiannya. Metodologi merupakan serangkaian proses dan prosedur yang
harus ditempuh oleh seorang peneliti, untuk sampai pada kesimpulan yang benar
tentang riset yang dilakukan.13Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu:
1. Model dan jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Kirk dan Miller
mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah:
Tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.14
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang
bentuk-bentuk dakhi>l yang ada pada kitab al-Munir li Ma’a>lim al-Tanzi>l melalui
riset kepustakaan (Library Research) dan disajikan secara deskriptif-analitis,
yaitu mendeskripsikan konstruksi dasar teori dakhi>l, lalu menganalisa
dakhil-dakhil yang ada pada kitab al-Munir serta memberikan kesimpulan terkait
sikap al-Nawawi dalam menafsirkan Alquran.
13Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2015), 5.
12
2. Sumber data
Sesuai dengan jenis penelitiannya, sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Sumber data primer.
Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab
tafsir Mara>h} Labi>d karya syaikh Nawawi al-Bantani.
b. Sumber data sekunder.
Sumber pendukung yaitu literatur yang relevan dengan penelitian,
yang meliputi:
1. Buku-buku biografi syaikh Nawawi seperti: Penghulu Ulama di
Negeri Hijajz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani karya Amirul
Ulum, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani
Samsul Munir Amin, Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren:
Analisis terhadap Tafsi>r Mara>h} Labi>d Karya K.H. Nawawi Banten
buku dari Mamat S. Burhan.
2. skripsi, artikel dan sebagainya, yang dapat menunjang kevalidan
suatu data. Seperti: ‚ad-Dakhi>l dalam Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al
-Qur’a>n Karya al-Qurtubi>: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah‛, karya
Maryam Shofa, dalam jurnal S}uh}u>f, Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam,
‚al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r: Studi Kritis dalamMetodologi Tafsir‛,
13
3. Teknik pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan langah-langkah sebagai
berikut:
1. Penulis menetapkan tokoh yang dikaji dan objek formal yang menjadi
fokus kajian, yaitu tokoh Shaikh Nawawi al-Bantani dengan objek formal
kajiannya tentang dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’alim al
-Tanzi>l.
2. Menginventarisasi data dan menyeleksi karya-karya Shaykh Nawawi al-Bantani dan literatur lain yang terkait dengan penelitian ini.
3. Melakukan identifikasi elemen-elemen penting tentang dakhi>l, mulai dari asumsi dasar, argumentasi hingga implikasi-implikasinya.
4. Data yang penulis peroleh akan penulis abstraksikan melalui metode deskriptif, bagaimana sebenarnya syaikh Nawawi al-Bantani menyikapi
dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.
5. Penulis akan melakukan analisis kritis terhadap asumsi-asumsi dasar tentang dakhi>l tersebut.
6. Penulis akan membuat kesimpulan-kesimpulan secara komprehensif sebagai jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan.
4. Teknik analisis data
Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan metode
14
penjelasan data tersebut dan dilanjutkan dengan analisis terhadap objek yang
ditemukan pada data.15
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penelusuran dalam melakukan penelitian, penulis
menyuguhkan alur pembahasan dalam beberapa bab dan sub bab tertentu.
Adapun rasionalisasi pembahasan penelitian adalah:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah yang membahas tentang seberapa unik dan menarik tema yang dibahas
untuk dijadikan penelitian. Selanjutnya mengenai identifikasi masalah yang
membahas tentang kemungkina permasalahan-permasalahan yang muncul untuk
dijadikan fokus pembahasan, dilanjutkan dengan rumusan masalah yang akan
dijawab dalam penelitian ini, kemudian mengenai tujuan penelitian tentang arah
yang ingin dituju dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian.
Dilanjutkan dengan telaah pustaka yang memaparkan penelitian terdahulu yang
relevan dengan topik yang bersangkutan untuk menghindari adanya persamaan
pembahasan. Selanjutnya, metode penelitian yang berisi tentang jenis penelitian,
sumber data, pendekatan penelitian dan teknik pengolahan data. Sedangkan
sistematika pembahasan merupakan bagian terakhir dari bab ini yang
menjelaskan tentang gambaran umum isi penelitian. Bab pertama inilah yang
akan menjadi acuan dalam penelitian.
Bab kedua akan menyuguhkan tinjauan umum tentang al-dakhi>l, yang
terdiri dari tiga sub bab, yang dimulai dari tafsir definisi tafsir, definisi dakhi>l
15
dan macam-macamnya, transformasi dakhi>l ke dalam kajian tafsir. Dilanjutkan
respon para ulama terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam karya tafsir.
Bab ini merupakan gambaran umum yang digunakan sebagai bahan analisis pada
bab selanjutnya.
Kemudian bab ketiga menyuguhkan tentang biografi Syaikh Nawawi
al-Bantani dan kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l, yang meliputi latar
belakang kehidupan Syaikh Nawawi al-Bantani, guru dan murid, karya-karya,
madzhab Syaikh Nawawi, latar belakang kepenulisan kitab dan metodologi
Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l. Bab ketiga ini dimaksudkan untuk analisis
pemikiran Syaikh Nawawi tentang al-dakhi>l melalui setting sosio-historis.
Bab keempat mencakup bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Syaikh
Nawawi. Pada bab ini, membahas macam-macam dakhi>l, serta menganalisa
terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang
merupakan jawaban singkat yang diajukan dalam rumusan masalah serta saran
untuk penelitian selanjutnya. Pada bagian akhir, penulis akan menyertakan daftar
BAB I
I
TINJAUAN UMUM TENTANG
AL-
DAKHI<L
DALAM TAFSIR
A. Definisi Tafsi>r
Alquran sebagai petunjuk manusia pada realitanya tidak semua dapat
diterapkan secara langsung, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisa
yang mendalam melalui tafsir. Secara harfiah, kata tafsir berasal dari kata fassara
yang berararti menjelaskan, membuka dan menampakkan makna yang ma’qu>l.1
Meminjam definisi dari Abdul Mustaqim, tafsir adalah hasil ijtihad atau
interpretasi mufasir atas teks-teks Alquran yang harus dipandang sebagai sesuatu
yang tidak final dan harus selalu diletakkan dalam konteks di mana tafsir itu
diproduksi.2
Berbicara tentang hakikat Tafsir, Abdul Mustaqim menyatakan
setidaknya ada dua paradigma utama dalam melihat hakikat tafsir, yaitu tafsir
sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Berangkat dari asumsi bahwa Alquran
itu berlaku universal dan bersifat s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n, maka Alquran
meskipun turun di masa lalu dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu,
harus selalu dijadikan landasan moral teologis dalam menjawab persoalan di era
modern-kontemporer. Oleh karena itu tafsir harus selalu berproses seiring dengan
tuntutan zaman.3 Sedangkan hakikat tafsir sebagai produk adalah sebuah
1Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 12.
2Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 4.
17
pemahaman seorang mufasir terhadap teks kitab suci yang sangat terkait dengan
konteks sosio-kultural baik internal maupun eksternal penafsirannya.4
Berangkat dari pengertian tafsir sebagaimana di atas, maka segala upaya
yang dimaksudkan untuk menjelaskan dan menyingkapkan makna yang
tersembunyi di balik firman Allah SWT yang tertuang dalam teks Alquran dapat
disebut sebagai tafsir, terlepas apakah tafsir tersebut dalam kategori tafsir yang
terpuji atau yang tercela. Namun, sudah pasti tafsir yang terpuji lebih
diperioritaskan sebagai pedoman dan basis teologi dalam menyelesaikan problem
sosial keagamaan. Suatu penafsiran dapat diterima sebagai tafsir yang terpuji
dengan kata lain al-As}i>l, jika sumber penafsirannya menggunakan Alquran,
Hadis, aqwa>l al-S}ah}a>bah, bahasa Arab yang benar, Ijma’ dari tabi’in serta ijtihad
yang dibenarkan, yang sudah memenuhi syarat sebagai mujtahid.5 Adapun
bentuk as}i>l al-Naql meliputi:
1. Menafsirkan Alquran dengan Alquran. Penafsiran bentuk ini merupakan
penafsiran yang mempunyai kredibilitas tinggi.
2. Menafsirkan Alquran dengan hadis yang layak dijadikan hujjah. Alquran
yang bersifat global, masih membutuhkan penjelasan dari hadis-hadis untuk
mendapatkan keterangan yang lebih rinci.
3. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang setara dengan hadis
marfu>’.
4Ibid., 21.
5Seorang Mujtahid harus memiliki kredibilitas tinggi diidang Alquran, Sunnah, Bahasa
18
4. Menafsirkan Alquran dengan hasil ijma’ para sahabat atau tabi’in.
Mengingat persoalan yang terus bermunculan, sementara wahyu telah
berhenti maka sangat memungkinkan kebutuhan akan ijtihad dari para
tabi’in dalam menginterpretasikan Alquran.
Keempat bentuk as}i>l al-Naql ini wajib diterima sebagai penafsir Alquran
sesuai dengan urutannya, dengan syarat bentuk as}i>l al-Naql yang manapun
dari keempat bentuk as}i>l al-Naql itu tidak kontradiktif dalam bentuk
kontradiksi yang kontras dan tidak dapat dikompromikan dengan logika
positif. Bila kontradiksi seperti ini terjadi maka as}i>l al-Naql tersebut wajib
ditakwil.
5. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang kontradiktif dengan
pendapat sahabat lain, tetapi kontradiksinya tidak kontras dan dapat
dikompromika dan ditarjih.
6. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang tidak merupakan hasil
ijma’ sahabat dan tidak pula kontradiktif dengan pendapat sahabat lain
7. Menafsirkan Alquran dengan hadis mursal yang setara dengan hadis marfu>’
dan yang mengutarakannya adalah termasuk salah seorang tokoh tafsir yang
belajar kepada sahabat atau hadis mursal tersebut diperkuat oleh hadis
mursal lain. 6
19
B. Definisi al-Dakhi>l
Secara bahasa ََلِخَد artinya bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh kerusakan
dan mengandung cacat.7 Menurut ibn Mandu>r al-dakhi>l adalah kerusakan yang
menimpa akal atau tubuh.8al-Ra>ghib al-As}fa>h}a>ni> menyebutkan bahwa kata
dakhala merupakan kinayah dari suatu kerusakan.9
Al-Zamakhshari> dalam kitabnya asa> al-Bala>ghah mengartikannya sebagai
aib atau makanan yang bisa merusak tubuh. Al-Ra>zi> memaknai al-dakhi>l sebagai
aib atau keraguan. Sementara kata dakhalan dalam surat al-Nah}l ayat 94
bermakna suatu perbuatan makar atau penipuan.10
Dari berbagai pengertian istilah dakhi>l di atas, dapat disimpulkan bahwa
al-dakhi>l yang berasal dari kata kerja dakhila mempunyai arti: kerusakan, aib,
penyakit, makar, dan penipuan. Sedangkan istilah dakhi>l dalam kajian tafsir yaitu
suatu metode atau cara penafsiran yang tidak memiliki asal penetapannya dalam
islam, bertentangan dengan ruh Alquran dan bertolak belakang dengan akal
sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang tidak tetap terhadap Alquran.11
Ibra>hi>m Khali>fah dalam bukunya Dakhi>l fi> Tafsi>r mendefinisikan
al-dakhi>l sebagai penafsiran yang tidak memiliki sumber yang valid dalam Islam,
7Ibra>hi>m Mus}t}afa>, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Turki: Da>r al-Da’wah, 1990), 275.
8Ibn Mandu>r al-Ifri>qi, Lisan al-‘Arab (Beirut: Da>r S}a<dir, 1956), 241.; Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, ‚al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r: Studi Kritis dalamMetodologi Tafsir‛, Tafaqquh, Vol. 2 No. 2, Desember 2014, 81.
9Al-Ra>ghib al-As}fa>h}a>ni>, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n (Lubnan: Da>r al-Ma’rifah: T. th), 166.
20
baik penafsiran tersebut menggunakan riwayat-riwayat hadis lemah dan palsu
ataupun menggunakan teori-teori sesat.12
Menurut Jamal Mus}t}afa> al-Najja>r, al-dakhi>l adalah penafsiran yang
didustakan kepada Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in atau penafsiran dengan
menggunakan riwayat yang memang bersumber dari sahabat atau tabi’in, tetapi
riwayat tersebut tidak memenuhi syarat diterimanya sebuah riwayat.13
C. Macam-macam Dakhi>l
Secara garis besar dakhi>l dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu
pertama, dakhi>l al-Naql yang meliputi:
1. Menafsirkan Alquran dengan hadis yang tidak layak dijadikan hujjah,
seperti hadis mawd}u>‘ (palsu), yaitu hadis yang dicipta serta dibuat oleh
seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW,
secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak,14 dan hadis
d}a’i>f, yaitu hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadis s}ah}i>h} atau h}asan.15
2. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang tidak valid.
3. Penafsiran dengan pendapat sahabat yang diduga mengacu riwayat
isra>iliyya>t. Bentuk dakhi>l ini meliputi riwayat isr>iliyya>t16 yang bertentangan
12Ibra>hi>m Khali>fah, al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Kairo: Universitas al-Azhar, 1996), 41.
13Jama>l Mus}t}afa> al-Najja>r, Us}u>l al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r Ayy al-Tanzi>l (Kairo: Universitas al-Azhar, 2009), 26.
14Fatchur Rahman, Ikhtisa>r Musht}ala>h} al-Hadi>th (Bandung: al-Ma’arif, T.th), 169. 15Ibid., 166.
16
21
dengan Alquran dan hadis s}ah}i>h} serta riwayat isr>iliyya>t yang tdak sesuai dan
senada dengan Alquran dan hadis s}ah}i>h}.
4. Penafsiran dengan pendapat sahabat yang saling kontradiktif satu sama lain
dan tidak dapat dikompromikan ataupun ditarjih.
5. Penafsiran Alquran dengan pendapat tabi’in yang tidak valid.
6. Penafsiran Alquran dengan hadis mursal yang berupa isra>iliyya>t, meskipun
sesuai dengan Alquran maupun hadis sahih, selama hadis mursal tersebut
tidak ada penguat hadis lain yang dapat menaikkan derajat kualitas hadis
pada hadis hasan lighairih.
7. Penafsiran Alquran dengan empat bentuk as}i>l al-Naql yang pertama yang
bertolak belakang dengan logika
8. Penafsiran Alquran dengan tiga bentuk as}i>l al-Naql yang terakhir yang
bertolak belakang dengan logika, sekalipun logika tersebut asumtif.
9. Penafsiran Alquran dengan salah satu bentuk as}i>l al-Naql yang bertolak
belakang dengan as}i>l al-Naql yang lebih kuat kedudukannya.
Sedangkan bentuk dakhi>l yang kedua yaitu dakhi>l al-Aql yang meliputi:
1. Kesalahpahaman karena kurang terpenuhinya syarat-syarat ijtihad
2. Mengabaikan riwayat yang s}ah}i>h} dan mengabaikan makna z}a>hir ayat
3. Berpegang teguh pada z}a>hir ayat dan mengabaikan tuntutan nalar dan
menuntut upaya ta’wil.
4. Ekstrimitas pengungkapan makna-makna filosofis yang mendalam
22
6. Ekstrimitas pembuktian kemukjizatan Alquran dalam berbagai disiplin ilmu
sehingga mengungkapkan hal-hal baru seperti penemuan ilmiah yang tidak
terkait dengan tujuan diturunkannya Alquran
7. Pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan upaya untuk merusak Islam
D. Transformasi Dakhi>l ke dalam Kajian Tafsir
Fase tafsir sebagai ilmu yang independen, dimulai sejak masa al-Farra’
(w. 207 H) melalui kitabnya, ma’ani Alqur’a>n,17 merupakan katalisator
unsur-unsur luar yang masuk ke dalam kajian tafsir, hal ini yang kemudian dikenal
dengan istilah dakhi>l. Pada abad kedua ini, meskipun tafsir sudah terpisah dari
hadis, namun para mufassir masih menggunakan sumber bi al-ma’thu>r. Meskipun
demikian, seringkali mufassir meringkas sanad dan menukil perkataan-perkataan
tanpa menisbatkan kepada orang yang mengatakannya. Sehingga bercampurlah
antara periwayatan yang s}ah}i>h} dan yang tercela. Ironisnya periwayatan yang
tanpa menyebutkan sumbernya ini juga dikutip oleh para generasi selanjutnya.
Interaksi antara umat Islam dengan ahli kitab terutama Yahudi, menjadi
salah satu faktor terjadinya transformasi dakhi>l ke dalam kajian tafsir yang
ditandai dengan banyaknya ahli kitab yang masuk Islma, seperti ‘Abd al-‘Azi>z
ibn Juraij, Abdullah ibn Sala>m Ka’ab al-Ah}ba>r, dan Wahb ibn Munabbih.
Sehingga keberadaan mereka yang notabene sebagai sumber primer riwayat
isra>iliyya>t cukup berpengaruh dalam penyebaran riwayat-riwayat tersebut.18
17Mustaqim, Pergeseran Epistemologi..., 40.
23
Istilah al-dakhi>l sebagaimana penuturan Ibra>hi>m Shu’ay>b, pertama kali
dicetuskan dan diperkenalkan kepada publik tahun 1980-an oleh Ibra>hi>m
Khali>fah melalui bukunya al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r.19 Menurut Muhammad bin
Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya al-Isra>’iliyya>t wa al-Mawd}u>‘a>t fi>
Kutub al-Tafsi>r menyebutkan bahwa pemalsuan tafsir bi al-Ma‘thu>r disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu:20
1. Penyusupan orang-orang zindiq di antara orang-orang Yahudi, Persia,
Romawi dan lainnya dalam riwayat Islam.
2. Pertentangan-pertentangan politik dan madzhab.
Perpecahan umat Islam pasca Rasululah SAW wafat rupanya telah
mendorong umat menutup kebenaran kelompok lain. Berawal dari masalah
politik yang selanjutnya ditarik ke ranah agama. Setiap kelompok mengklaim
kebenaran madzhab yang diikutinya. Tidak hanya berhenti disitu saja, bahkan
sampai mengarang hadis-hadis palsu dan menarik penafsiran untuk sekedar
melegitimasi madzhab yang dianutnya.
3. Para pendongeng.
Sekelompok pendongeng biasanya bercerita di masjid-masjid,
memberikan motivasi dan peringatan kepada masyarakat untuk menarik
perhatian mereka dengan menukil kisah-kisah isra>iliyya>t, khurafat dan
kebatilan lainnya. Adapun tujuan para pendongeng menceritakan isra>iliyya>t
24
yaitu untuk mencari popularitas dan penghormatan di hadapan masyarakat
serta untuk mencari rejeki.
4. Sebagian yang mengaku zahid dan sufi
Mereka telah membolehkan diri untuk mengarang hadis-hadis dan
kisah-kisah tentang motivasi, ancaman dan lainnya. mereka berasumsikan
mendustai untuk Nabi dan bukan berdusta atas Nabi.
5. Penukilan dari ahl kitab yang masuk Islam.
Isra>iliyya>t dan riwayat-riwayat ini tidak berkaitan dengan pokok agama,
melainkan seputar kisah-kisah, cerita-cerita umat terdahulu,
peperangan-peperangan besar, bencana-bencana, awal penciptaan, rahasia alam semesta
dan tentang hari kiamat.
6. Banyak penukilan dari perkataan dan pendapat yang dinisbatkan kepada para
sahabat dan tabi’in tanpa menyebutkan sanad dan tanpa meneliti para
rawinya.
Sementara DR. Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam kitab Asba>b
al-Khat}a>’ fi> al-Tafsi>r: Dira>satuhu wa Tashiliyyatu, menjelaskan empat penyebab
timbulnya kesalahan dalam penafsiran, yaitu:
1. Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan sahih
Kaidah-kaidah dan us}u>l dalam setiap keilmuan merupakan pokok yang
menjadi landasan untuk melangkah. Berpaling dari sumber merupakan
langkah awal dari suatu penyimpangan. Penyimpangan dalam hal ini bisa
dilakukan dengan penggunaan ijtihad atas ayat yang sudah dijelaskan dalam
25
dan d}a’i>f, riwayat-riwayat isra>’iliyya>t, prasangka dan dongeng, berpedoman
pada makna bahasa semata dan mengalahkan riwayat yang sahih, serta
berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziyah dan tunduk pada tamsil
dan imajinasi, terlalu larut dalam filsafat dan ilmu kalam, serta hanya
mengandalkan perkataan ahli bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.
2. Tidak teliti memahami teks ayat dan dalalah-nya.
3. Menundukkan nash Alquran untuk kepentingan hawa nafsu, fanatisme
madzhab, dan bid’ah.
Seperti pada surat al-Ra’d ayat 25:
ينيِ ّ لا
ييِفي ن دِسحفي ي لص ييحن أيِهِبيهّ لاي أي ي ن ع طحقي يِهِق ثيِيِدعبينِيِهّ لايد عي ن ضُقني
ِاّدلايُء سي ل يُنعّ لاي ليكِ ل ُأيِ أا
Artinya:
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).
Sebagian ulama’ syi’ah mengatakan bahwa ayat tersebut turun
berkaitan dengan kaum khawarij, kemudian sebagai balasannya, khawarij
menyatakan bahwa yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 204
adalah Ali bin Abi Thalib.
عيهّ لايدِ شي ي ينّدلايِ يححلاييِفيهُل قيك ِجعيين يِس ّنلاينِ
ِ ِخحلايّد ل أي يِهِح قييِفي يى
Artinya:
26
4. Mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir.
Berdasarkan sebab-sebab di atas, secara garis besar sebab-sebab tersebut
tercover dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yaitu faktor yang berasal dari Islam itu sendiri, yang berkaitan langsung
dengan keilmuan mufassir dan yang melatarbelakanginya. Seperti tidak
memenuhi persyaratan sebagai mufassir, atau memiliki kecederungan yang
menjadikan penafsirannya menyimpang seperti karena adanya
pertentangan-pertentangan madzhab dan teologi. Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor
eksternal, yang berasal dari luar Islam untuk menghancurkan islam. Alquran
adalah kekuatan terbesar umat islam, maka kelemahan terbesar juga ada padanya.
Jika Alquran yang sudah dijamin keontetikannya oleh Allah, maka jalan lain
untuk menghancurkan islam adalah melalui penafsiran-penafsiran, yang
selanjutnya dapat menyesatkan para pengikutnya. Melalui
penyusupan-penyusupan riwayat isra>iliyya>t, hadis-hadis palsu dan sebagainya.
E. Respon terhadap Dakhi>l
Berdasarkan pemaparan dakhi>l di atas, secara garis besar dakhi>l
mempunyai orientasi lebih luas, yaitu periwayatan-periwayatan baik yang berupa
hadis-hadis d}a‘i>f, palsu, maupun isra>’iliyya>t. Adapun mengenai pengamalan
hadis d}a’i>f masih terdapat perbedan pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan
27
1. Tidak dapat diamalkan
Pendapat pertama ini diikuti oleh Yahya ibn Ma’in, Abu Bakar ibn ‘Arabi,
al-Bukhari, Muslim dan bn Hazm yang secara mutlak menolak hadis dhaif
baik dalam masalah fad}>ail al-A‘ma>l maupun hukum.
2. Dapat diamalkan secara mutlak
Pendapat ini diikuti oleh Abu Dawud dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka
berpendapat bahwa hadis d}a‘i>f lebih kuat daripada pendapat manusia.
3. Dapat dijadikan hujjah dalam hal fad}a>’il al-A’ma>l, Mawa>iz}, Id}ai>f al-Tarhi>b
wa al-Targhi>b. Menurut ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis ini dapat dijadikan
hujjah ketika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Ke-d}a’i>f-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para
pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan.
b. Terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan
c. Ketika mengamalkannya tidak beriktikad bahwa hadis itu thubu>t,
melainkan dalam rangka hati-hati.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, pendapat yang paling kuat adalah
pendapat pertama karena pada dasarnya kemuliaan akhlak merupakan
tiang-tiang agama yang sama halnya dengan hukum yang berlandaskan pada hadis
yang maqbu>l.21
Sementara yang terkait dengan isra>iliyya>t, terdapat tiga pandangan yaitu:
1. Selaras dengan kebenaran Alquran dan Hadis. Alquran sudah memuat
segalanya, namun pengambilan isra>’iliyya>t bisa diamalkan untuk
28
menguatkan dalil dan menegakkan hujjah atas ahl kitab dari kitabnya
sendiri.
2. Meninggalkan apa yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ma>’idah ayat 41:
ينِي ِ كحلاي ن ُفِّحي
ِهِعِضا يِدعب
Artinya:
‚Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya.‛22
3. Bagian yang didiamkan, yaitu tidak mempercayai dan juga tidak
mendustakan apa yang berasal dari ahl kitab.
Sementara itu mengenai hadis mawd}u>‘, para ulama salaf dan khalaf
melarang meriwayatkan hadis mawd}u>’ (palsu) dalam hal apapun, kecuali disertai
dengan penjelasan bahwa itu adalah hadis palsu dan dusta, begitu pula dengan
isra>iliyya>t.23 Sementara itu M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa segala riwayat yang tidak dapat dipastikan kebenarannya seperti jalinan
kisah cinta nabi Sulaiman dengan ratu Balqis yang berujung pada pernikahan
hendaknya disingkirkan dari uraian tafsir.
22Lajnah Pentas}h}i>h mus}h}af Alquran, Alqur’a>n al-Kari>m (Jakarta: Menara Kudus, 2006), 114.
BAB III
MENGENAL SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
A. Sosio-Historis Syaikh Nawawi al-Bantani
K. H. Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti
Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Ia lahir di kampung Tanara, Serang,
Banten pada tahun 1815 M/ 1230 H. Mengenai tahun kelahiran Syaikh Nawawi,
masih terdapat beberapa versi. Versi pertama, Chaidar meyebut bahwa Syaikh
Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan tahun 1813 M.1 Sedangkan
menurut versi lain, jika dilihat dari persesuaian antara tahun hijriyah dan Masehi,
tahun 1230 H sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, lebih tepatnya yaitu bulan
Muharram 1230 H sama dengan bulan Desember 1814 M. akan tetapi jika
kelahiran syaikh Nawawi setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah
1815 M, atau antara bulan Januari dan November 1815 M.2
Syaikh Nawawi hidup di masa ketika semangat pembaharuan Islam
bergema di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir. Ia hidup sezaman dengan
gerakan Pan-Islamisme, Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M), Muhammad
Abduh (lahir 1349 M), dan Rifaah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873 M).3
1Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979), 5.; Ahmad Muttaqin, “Karakteristik Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi al-Bantani”, al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadis, Vol. 8. No. 1 Januari-Juni 2014, 63.
2Yuyun Rosdiana, “Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat Hidup dan Sumbangannya
terhadap Islam”, skripsi, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990), 12.; Muttaqin, Karakteristik Tafsir, 63.
30
Syaikh Nawawi hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang religius.
Ayahnya yaitu Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki Jantan
bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Tajul Arsyi (Pangeran
Sunyararas) bin Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati,4 seorang ulama yang
sangat mencintai ilmu dan penghulu di desa Tanara. Selain itu, ia mendedikasikan
dirinya untuk masjid dengan mengadakan berbagai pertemuan bersama para
ulama dan mengajar ilmu agama termasuk kepada putera-puterinya sendiri.
Sementara ibunya, Nyai Zubaidah binti Singaraja adalah wanita sholihah, yang
tidak pernah berhenti mendoakan syaikh Nawawi sejak masih dalam kandungan.5
Kiai Umar memberi nama Nawawi kepada putra sulungnya, diinspirasi
dari seorang ulama yang banyak menguasai disiplin ilmu agama, yaitu Syaikh
Abu Zakariya bin Sharaf bin Murri bin H{asan Hizami Haurani Nawawi Dimasyqi (631 H-676 / 1233 M-1277 M) atau lebih dikenal dengan imam
al-Nawawi dari Nawa, Damaskus. Suriah.6 Dengan memberi nama Nawawi, kiai
Umar berharap kelak syaikh Nawawi mampu menjadi ulama yang handal seperti
halnya imam Nawawi.
Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12
dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon). Sebagaimana
ditulis oleh Rafiuddin Ramli, urutan silsilah Syaikh Nawawi dari ayahnya, yaitu
syaikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki
Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqum bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsy (Pangeran
4Amirul Ulum, Penghulu Ulama di Negeri Hijajz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015), 50.
5Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (Yogyakarta:LKIS, 2009), 19-20.
31
Suryanaras) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon
bin Raja Amaruddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar
Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir
Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad
Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra binti
Rasululah SAW.7
Dalam perjalanan hidupnya, Syaikh Nawawi al-Bantani menikah dengan
Nyai Nursimah, seorang gadis asal Tanara. Dalam pernikannya ini, Nawawi
dikarunia tiga puteri yaitu Nafisah, Maryam dan Rubi’ah. Namun dalam
pernikahannya nyai Nursimah meninggal lebih dulu dari Nawawi. Setelah istri
pertama wafat, syaikh Nawawi menikah dengan Nyai Hamdanah, putri K.H.
Sholeh Darat, yang masih berusia sekitar 7-12 tahun. Pada pernikahan yang kedua
ini, al-Nawawi dikaruniai dua anak, yaitu Abdul Mu’thi dan Zahroh. Sepeninggal
syekh al-Nawawi, Nyai Hamdanah menikah dengan K.H. Raden Asnawi, salah
seorang murid dari al-Nawawi, dan tinggal di Kudus Jawa Tengah.8
Mengingat begitu alimnya syaikh Nawawi, dikisahkan bahwa ketika
syaikh Nawawi berkunjung ke Jayakarta (sekarang Jakarta), tepatnya masjid yang
dibangun oleh Sayyid Usman bin Aqil bin Yahya al-Alawi. Ketika melihat posisi
masjid tersebut, syaikh Nawawi berpendapat bahwa masjid tersebut tidak
7
Amin, Sayyid Ulama..., 14-16.
8Ainur Ruchama’, “Kehujjahan dan Reinterpretasi Hadis Misogini dalam kitab Syarah
32
mengarah kiblat, maka syaikh Nawawi menunjukkan arah kiblat yang tepat.
Namun kiai Usman tetap dengan pendiriannya bahwa masjid tersebut sudah pada
posisi yang tepat. Kemudian syaikh Nawawi menarik lengan baju kiai Usman
untuk berdiri lebih dekat dan menunjukkan arah kiblat yang dimaksud, dan
ternyata benar, bahwa posisi masjid tersebut terlalu ke kiri dari ka’bah.9
Semasa hidupnya, syaikh Nawawi banyak memanfaatkan waktunya untuk
megkaji ilmu-ilmu agama, menyibukkan diri mengajar dan mengarang untuk
dijadikan suatu karya. Usianya yang cukup berumur sehingga jalannya
membungkuk danmengharuskan syaikh Nawawi untuk memakai tongkat. Sampai
pada akhirnya syaikh Nawawi kembali ke rahmat Alla>h dalam usia 84 tahun, bertepatan pada 25 Syawwal 1314 H/ 1879 M, sedangkan menurut al-Zarkali,
syaikh Nawawi wafat pada tahun 1316 H/ 1898 M. syaikh Nawawi dimakamkan
di pemakaman Ma’la bersanding dengan makam ibn Hajar dan Asma’ binti Abu
Bakar.10
B. Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani
Sebagai anak sulung dari ke-enam saudaranya, yaitu Ahmad, Shihabuddin,
Tamim, Said, Abdullah, Sakilah, dan Shahriyah,11 syaikh Nawawi dikader untuk
menjadi panutan bagi adik-adiknya. Sejak usia 5 tahun, Syaikh Nawawi sudah
mendapat pendidikan agama dari ayahnya sendiri, seperti pengetahuan dasar
bahasa Arab (Nahwu dan s}arf), fiqh}, tauh}i>d dan tafsi>r. Setelah tiga tahun belajar bersama sang ayah, tepatnya pada tahun 1821 M dalam usia 8 tahun, syaikh
9Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), 2-3. 10Ulum, Penghulu Ulama..., 94.
33
Nawawi bersama kedua saudaranya, yaitu Tamim dan Ahmad belajar kepada kiai
Sahal, seorang ulama terkenal di Banten.12
Sebelum syaikh Nawawi beserta adik-adiknya pergi, ibu nyai Zubaidah
berpesan kepada ketiganya untuk tidak pulang sebelum buah Kelapa yang ditanam
berbuah. Hal ini dimaksudkan bahwa ibu nyai Zubaidah menginginkan putranya
belajar sungguh-sungguh tanpa adanya batasan waktu. Setelah belajar pada kiai
Sahal, ketigaya melanjutkan ke pesantren yang ada di Purwakerta, yaitu pesantren
yang diasuh oleh K. H. Yusuf.13
Setelah belajar di Purwakarta, syaikh Nawawi dan kedua saudaranya
melanjutkan studinya ke pesantren Cikampek, Jawa Barat untuk mempelajari
Bahasa Arab dan Gramatikanya. Sebagaimana pada pesantren umumnya, untuk
masuk ke pesantren Cikampek ini, setiap calon santri harus melalui ujian sebagai
standarisasi pesantren. Atas ijin Allah SWT ketiganya mampu melaluinya dengan
baik. Selain itu ketiganya juga mendapat apresiasi karena kecerdasannya, terlebih
syaikh Nawawi. Setelah dirasa cukup, sang kiai menyuruh syaikh Nawawi dan
kedua adiknya untuk pulang. Adapun rentan waktu belajar yang dibutuhkan
syaikh Nawawi dan kedua saudaranya dari ketiga pesantren tersebut diperkirakan
enam atau tujuh tahun, yang mengacu pada masa tanam buah Kelapa sampai
berbuah.14
Kedatangan syaikh Nawawi dan kedua adiknya mendapatkan simpati yang
cukup dari kedua orang tuanya. Dalam rangka menguji kualitas keilmuan syaikh
34
Nawawi, maka kiai Umar menyuruhnya untuk turut membantu mengajar di
pesantren. Ternyata harapan orang tua berbanding lurus dengan kualitas keilmuan
anaknya. Keilmuan syaikh Nawawi meningkat drastis, sehingga banyak para
santri yang turut serta dalam pengajiannya.15
Melihat usia syaikh Nawawi yang masih muda, kiai Umar berkeinginan
agar syaikh Nawawi melanjutkan studi-nya ke daerah Haramain. Kiai Umar
memilih daerah Haramain karena memang daerah yang menjadi pusat keislaman
pada waktu itu. Namun sebelum keberangkatannya, syaikh Nawawi mendapat
ujian yang cukup berat atas kepergian ayahnya, kiai Umar pada tahun 1826.
Sehingga secara otomatis segala tanggungjawab kiai Umar beralih kepada syaikh
Nawawi. Namun melihat keinginan syaikh Nawawi yang begitu kuat untuk
menuntut ilmu di negeri Hijaz dan demi mewujudkan keinginan ayahnya, maka
nyai Zubaidah pun merestui syaikh Nawawi untuk tetap melanjutkan studi-nya
pada tahun 1828. Sehingga tanggungjawab pesantren beralih dari syaikh Nawawi
kepada adiknya, Tamim.16
Pada tahun 1830 M, syaikh Nawawi kembali ke Nusantara setelah lebih
kurang tiga tahun berkelana di negeri Hijaz, tepatnya pada usia 17 tahun. Sebelum
sampai rumah, syaikh Nawawi menyempatkan diri untuk belajar di pesantren
Qura yang ada di Karawang. Di pesantren yang berbasis qiraah ini, syaikh
Nawawi menyimakkan hafalannya kepada pengasuh pesantren Qura. Tradisi
seperti ini biasa disebut dengan istilah “ngaji tabarukan”, yaitu sebuah proses
belajar mengajar yang berupa transfer ilmu dari seorang kiai kepada seorang santri
15Ibid., 63.
35
yang bertujuan untuk ziya>dah al-Khay>r(bertambah kebaikannya) berkucuran pada santri tersebut.17
Kembalinya syaikh Nawawi disambut gembira oleh keluarga dan juga
masyarakat sekitar. Karena kecerdasannya, para masyarakat menaruh simpati
lebih kepadanya, sehingga kedatangannya membuat pesantren yang dibina
ayahnya membludak dari berbagai pelosok.18 Pengaruh kuat dari Nawawi dan
pesantrennya cukup membuat perhatian pemerintah Belanda yang trauma
terhadap gerakan pemberontakan santri Diponegoro (1825-1830).19
Selama 25 tahun syaikh Nawawi bersama istri pertamanya, Nyai Nursimah
mengasuh pesantren milik ayahnya, ia selalu mendapatkan intimidasi dari Belanda
untuk turut mengisi roda pemerintahannya, seperti menjadi penghulu sebagaimana
adiknya, Ahmad. Namun syaikh Nawawi tidak menggandrungi ranah
pemerintahan, ia lebih memilih berjuang yang orientasinya pada pendidikan.
Penolakan yang dilakukan syaikh Nawawi membuat Belanda semakin geram dan
tertekan karena ulama adalah poros umat, sehingga pergerakan islam selalu
diawasi. Selain itu para ulama juga harus dengan sangat terpaksa melihat
penderitaan rakyat, termasuk syaikh Nawawi, hal ini membuatnya tidak nyaman
sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Hijaz. Kemblinya syaikh Nawawi ke
Hijaz bukan berarti menghindar dari perlawanan Belanda, namun mental rakyat
pasca kekalahan perang Diponegoro semakin susut, yang tidak memungkinkan
syaikh Nawawi berjuang sendirian. Oleh karena itu syaikh Nawawi kembali ke
17Ibid., 71-72. 18
36
Hijaz dengan harapan mampu mempelajari islam sedalam-dalamya untuk
ditularkan kepada umat Islam, sehingga terwujudlah umat yang militan dalam
mempertahanakan agama dan negara.20
Syaikh Nawawi bersama keluarga ke negeri Hijaz pada tahun 1855 M.
Sehingga tanggungjawab pesantren dilimpahkan kepada adik-adiknya. Sesampai
di Hijaz, syaikh Nawawi juga melanjutkan pengembaraannya ke Mesir dan Syam
untuk belajar agama.21
C. Guru dan Murid Syaikh Nawawi al-Bantani
Semangat belajar syaikh Nawawi telah menyita banyak waktu dalam
hidupnya. Baginya belajar adalah harga mati yang tidak terikat oleh tempat,
namun guru adalah modal utama dalam proses belajar. Syaikh Nawawi tidak
hanya belajar kepada orang-orang pribumi, namun juga kepada ulama di negeri
Hijaz. Guru-guru Syaikh Nawawi selama belajar di Indonesia dan Arab, yaitu:
Kyai Sahal, kyai Yusuf, syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dahlan, Syaikh
Ahmad Zaini Dahlan, syaikh Muhammad Khatib al-Hanbali, syaikh Muhammad
Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Samulaweni, syaikh
Abdul Hamid Dagastani.22
Selain sebagai santri, syaikh an-Nawawi juga seorang guru yang
reputasinya dapat menarik banyak kalangan untuk belajar kepadanya, baik di
wilayah Melayu-Indonesia terutama Jawa Barat maupun di tanah Hijaz. Menurut
Azra, murid syaikh Nawawi selama di Hijaz berjumlah sekitar 200 orang setiap
20Amirul Ulum, Penghulu Ulama..., 74-77. 21Ibid., 77.
37
tahunnya, sedangkan syaikh Nawawi mengajar di sana selama 15 tahun, maka
dapat dikalkulasikan tidak kurang dari 3.000 orang.23
Di antara murid-murid syaikh Nawawi yang berasal dari Indonesia, yaitu:
K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang Jawa Timur, K.H. Khalil dari
Bangkalan Madura Jawa Timur, K.H. Asy’ari dari Bawean (menikah dengan
putrinya, Nyai Maryam), K.H. Nahjun dari Kampong Gunung (menikah dengan
cucu syaikh Nawawi, Nyai Salmah binti Ruqayyah binti Nawawi), K.H. Asnawi
dari Carigin Labuan Pandeglang Benten, K.H. Ilyas dari kampong Teras Tanjung
Keragilan Serang Banten, K.H. Abdul Ghaffa>r dari kampong Lamung Tirtayasa Serang Banten, K.H. Arsyad T}awi>l dari Banten, K.H. Tubagus Bakri dari Sempur Purwakarta Jawa Barat, Kiai Mahfuz} Termas dari pondok pesantren Termas Pacitan Jawa Timur, K.H. R. Asnawi Kudus Jawa Tengah, K.H. Wasit} (seorang ulama dan pemimpin pemberontakan Ciregon pada tahun 1888), K.H. Tubagus
Ismail, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri lembaga Muhammadiyah), Kiai Abdus al-Satta>r al-Dahlawi dari Delhi India dan sebagainya.24
D. Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani
Sebagai ulama yang produktif, syaikh Nawawi telah banyak menghasilkan
karya baik yang sempat diterbitkan maupun yang sudah diterbitkan. Menurut
Snouck, Syaikh Nawawi cenderung lebih tajam penanya daripada lidahnya.
Mengenai jumlah karya syaikh Nawawi, masih terjadi banyak perbedaan, menurut
23
Taufik Abdullah Et. All, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. 1, Jilid 5, 134.
38
Amirul Ulum karya-karya syaikh Nawawi berkisar 155 atau 99 karya.25 Data dari
sarkis mengungkapkan ada 38 karya sementara dalam versi Brocklemen
menyebutkan 40 buah dengan klasifikasi dalam tujuh bidang, di antaranya:
1. Bidang tafsi>r
Kitab Tafsir Mara>h} Labi>d atau Tafsi>r al Muni>r li Ma’a>lim Tanzi>l al-Musfar ‘an Wuju>h Mah{a>sin al-Ta’wi>l diterbitkan tahun 1305 H di Kairo.
2. Bidang tawh}i>d
a. Dhari>’a>t al-Yaqi>n (1317 H), Sharh} kitab> ‘Umm al-Bara>him. b. Nu>r al-Z}ula>m (1329 H), komentar tentang ‘Aqi>dah al-‘Awa>m.
c. Ti>ja>n Dara>riy ditulis pada tahun 1301 H, Sharh} kitab Risa>lah fi ‘Ilm al-Tawh}i>d karya Syekh Ibra>hi>m al-Bajuri.
d. Qat}r al-Ghai>th Sharh} Masa>’il Abi> Lay>th, sharh} dari kitab al-Masa>’il.
e. H}ilyah al-S}ibya>n, sharh} kitab Fath} al-Rah}ma>n.
f. Fath} al-Maji>d (1298 H), Sharh} kitab al-Du>rr al-Fari>d fi> ‘Ilm al-Tawh}i>d. g. al-Thama>r al-Ya>ni’ah (1299 H), sharh} dari kitab al-Riya>d al-Badi>‘ah fi>
Us}u>l al-Di>n wa Ba‘d Furu>‘ al-Shari>‘ah karya Muh}ammad ibn Sulaima>n
H}asb Allah.
h. al-Nahjah al-Jadi>dah (1303 H).
3. Bidang fiqh
a. Qu>t al-H}abi>b (Kairo: 1301,1305,1310 H) atau Tawshi>h} ‘ala> ibn Qa>sim Qu>t al-H}abi>b al-Ghari>b, Syarh} dari Fath} al-Qari>b.
b. Mara>qy al-‘Ubu>diyah, Sharh} Bida>yah al-Hida>yah karya al-Ghazali.
39
c. Fath} al-Muji>b (1276 H), Sharh} dari Mana>qib al-H}ajj. d. Sullam al-Muna>ja>t (1297 H), sharh} dari Safi>nah al-S}ala>h
e. al-‘Aqd al-Thami>n Sharh} al-Manz}u>mah al-Sitti>n al-Mas’alah al-Musama> al-Fath} al-Mubi>n (Kairo 1300 H).
f. Ka>shifah al-Saja> (1305 H), merupakan sharh} dari kitab Safi>na>t al-Naja> karya Ibn Sami>r dari Sih}r di Hadramawi.
g. Niha>yah al-Zay>n (1297 H)
h. ‘Uqu>d al-Lujay>n fi> Bayan al-H}uqu>q al-Zawjay>>n (1297 H). i. Mirqat ash-Shu’ud al-Tas}di>q (1292 H).
j. Suluk al-Jadah (1300 H).
4. Bidang akhla>q atau tasawuf
a. Sala>lim Fud}ala>’ (Kairo 1301, Mekka 1315), Sharh} dari Manzu>m Hida>yat al-Azkiya> ila> T}ari>q al-Awliya>’ karya Zainuddin al-Malibari (w. 928 H). b. Manz}u>ma>t fi> Shu’abi al-Imam Nawawi menulis Qa>mi’ al-T}ughya>n
(1296).
c. Mis}ba>h} al-Z}ala>m ‘ala> Manhaj al-Ta>mm fi> Tabwi>b al-H}ika>m (1314 H).
d. Bida>yah al-Hida>yah
e. Maraq al-‘Ubudiyah (1298 H),
5. Bidang ta>ri>kh
a. Fath} al-S}ama>d (1292 H), atau al-‘Uru>s, Bugyah al-Awa>m (1207 H). b. Targhi>b al-Mus}ta>qi>n (1292 H) atau dengan nama lain mada>rij as-Su’u>d ila>
Iktisa>’il al-Buru>d (1296 H), sharh} Mawli>d karya Ja’far ibn Hasan.
40
d. Al-Ibri>z al-Da>ni> (1292 H), kutipan dari Mawlid karya al-Qastallani .
6. Bidang bahasa
a. Fath} Gha>fir al-Khat}iyah ala al-Kawa>kib al-Jaliyah fi> Naz}m al-Juru>miyah (1298 H), sharh} dari Jurumiyah.
b. Al-Fushush Yaqutiyah (1299 H), sharh} Al-Rauda Bahiyya fi> al-Abwa>b al-Tasrifiyya.
c. Kashf al-Marut}iy (1299 H), sharh} dari al-A<jurumiyah.
7. Bidang retorika
Luba>b Baya>n si> ‘ilm Baya>n (1301 H), sharh} dari Risalat al-Isra>’iliyya>t karya Husain al-Nawawi al-Malikiy.26
Karya lainnya yang belum selesai karena imam Nawawi telah meninggal dunia, yaitu Sharh} Minha>j al-T}a>libi>n.27
E. Madzhab Syaikh Nawawi al-Bantani
Syaikh Nawawi adalah seorang ulama multidisipliner yang menguasai
semua bidang keilmuan Islam. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang tidak
hanya pada satu bidang, sebagaimana pengklasifikasian Brockleman yang