• Tidak ada hasil yang ditemukan

AL DAKHIL DALAM TAFSIR AL MUNIR LI MA'ALIM AL TANZIL KARYA SYAIKH NAWAWI AL BANTANI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AL DAKHIL DALAM TAFSIR AL MUNIR LI MA'ALIM AL TANZIL KARYA SYAIKH NAWAWI AL BANTANI."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Al-Dakhi>l dalam Tafsir al-

Muni>r li Ma’a

>lim al-Tanzi>l

Karya Syaikh Nawawi al-Bantani

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

SRIWAYUTI NIM: E03213085

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Sriwayuti, E03213085. Al-Dakhi>l dalam Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l Karya Syaikh Nawawi al-Bantani.

Tafsir sebagai suatu proses, akan terus berkembang tanpa adanya kata final yang berlandaskan pada perkembangan peradaban manusia. Perbedaan tafsir tidak terlepas dari makna Alquran sendiri yang multitafsir. Selain itu wawasan serta kecenderungan mufassir juga berpengaruh besar di dalamnya. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tetap mengarah pada satu muara, yaitu untuk mencari maksud dan tujuan suatu teks.

Seiring dengan perkembangan tafsir, para mufassir sering melakukan pemotongan sanad, sehingga menyulitkan bagi generasi selanjutnya untuk membedakan riwayat yang sahih dan tidak. Hal ini terus berlanjut dan menjadi

peluang besar untuk menyusupkan kisah-kisah Isra>iliyya>t, hadis-hadis palsu,

hadis lemah dan sebagainya. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk

menganalisa penggunaan riwayat syaikh Nawawi dalam tafsirnya, tafsir al-Muni>r

li Ma’a>lim al-Tanzi>lterkait bentuk-bentuk dakhi>l, terutama dakhil naqli yang ada di dalamnya.

Sebelum masuk dalam penafsirannya, diperlukan gambaran utuh tentang syaikh Nawawi dan seluk beluk kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif yang bersifat library research, selanjutnya data dikelolah secara

deskriptif-analitis. Penelitian ini mengacu pada kiprah syaikh Nawawi sebagai

ulama pribumi yang go internasional, yang mana dalam penafsirannya meskipun

menggunakan bi al-Ra’y, namun juga tidak meninggalkan sumber bi al-Riwayah.

Dalam pengutipan sebuah riwayat, syaikh Nawawi sering melakukan pemotongan sanad, selain itu juga jarang mengomentari hadis yang digunakan.

Dalam penelitian ini ditemukan beberapa penggunaan riwayat-riwayat isra>iliyya>t untuk menjelaskan kisah-kisah lama, hadis d}a’i>f dan maud}u>’. Namun

terlepas dari itu semua, tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l merupakan salah satu

kitab tafsir lokal yang telah banyak memberikan manfaat dan pengaruh, khususnya terhadap citra masyarakat Indonesia.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN SKRIPSI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Keguanaan Penelitian ... 8

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 11

H. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG AL-DAKHI>L DALAM TAFSIR A. Definisi Tafsi>r... 16

(8)

C. Macam-macam al-Dakhi>l ... 20

D. Transformasi dakhi>lke dalam Kajian Tafsir ... 22

E. Respon terhadap al-Dakhi>l ... 26

BAB III: MENGENAL SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI A. Sosio-Historis Syaikh Nawawi al-Bantani ... 29

B. Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani ... 32

C. Guru dan Murid Syaikh Nawawi al-Bantani ... 36

D. Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani ... 37

E. Madzhab Syaikh Nawawi al-Bantani ... 40

F. Latar Belakang Kepenulisan Kitab Tafsir al-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 42

G. Karakteristik Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 44

H. Metode dan Corak Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 48

BAB IV: TELAAH BENTUK AL-DAKHI>L DALAM PENAFSIRAN SYAIKHNAWAWI AL-BANTANI A. al-Dakhi>l dalam Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 51

B. Analisa Terjadinya Dakhi>ldalam Tasi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 67

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika perkembangan tafsir terus berkembang secara signifikan seiring

dengan persoalan umat manusia. Perkembangan tersebut merupakan sebuah

keniscayaan yang memang Alquran sendiri diturunkan kepada manusia, bukan

untuk Tuhan, agar manusia menjadikannya sebagai petunjuk. Oleh sebab itu

ketika Alquran turun, maka ia diapresiasi, dikaji dan dipahami oleh generasi

sahabat waktu itu. Begitu Alquran disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah

kepada para sahabat, kemudian mereka memahami dan mengamalkannya.1

Setelah Rasulullah wafat, perbedaan pemahaman terhadap Alquran antara

sahabat satu dengan sahabat lainnya kerap terjadi. Tidak hanya berhenti pada

masa sahabat, perbedaan-perbedaan itu juga berlangsung sampai sekarang. Hal

ini merupakan sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh dua hal, pertama faktor

dalam Alquran itu sendiri yang memang memiliki beragam cakupan makna,

kedua, faktor eksternal Alquran yaitu keahlian Mufassir yang didukung dengan

adanya syarat-syarat sebagai mufassir, yang meliputi akidah yang benar, bersih

dari hawa nafsu, mengambil Alquran sebagai sumber utama penafsiran sebelum

beralih pada al-sunnah, mengetahui bahasa arab dengan berbagai cabang

keilmuannya, mengetahui ulu>m Alqura>n, dan memahami dengan cermat terhadap

(10)

2

suatu makna dalam Alquran.2 Serta kecenderungan para mufassir dalam

memahami Alquran yang terbentuk dari latar belakang penulis, ideologi, politik,

penguasa pada waktu itu dan sebagainya. Dengan demikian tafsir tidak mengenal

final, melainkan akan terus berkembang sebagaimana persoalan-persoalan

manusia yang terus bermunculan.

Seiring dengan perkembangan penafsiran, penyimpanga-penyimpangan

dalam penafsiran (dakhi>l) juga marak dalam karya tafsir. Secara bahasa dakhi>l

berasal dari kata dakhila yang bermakna bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh

kerusakan dan mengandung cacat.3 Sedangkan secara terminologi dakhi>l dalam

tafsir yaitu suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tutupi dan disamarkan

hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir Alquran yang

otentik.4

Adanya dakhi>l tidak dapat dipisahkan dari dinamika penafsiran yang

secara garis besar dibagi dalam dua periode, yaitu periwayatan dan pembukuan.

Perkembangan tafsir bi al-ma’thu>r berakhir dengan dihapuskannya isnad-isnad,

dan orang mengutipnya tanpa menyebutkan urutan sanad-sanad tersebut.

Penggunaan riwayat-riwayat yang lemah bahkan maudhu’ serta pengutipan

riwayat isra>iliyya>t yang sering dilakukan oleh para ulama klasik, menjadi

masalah tersendiri dalam khazanah kitab-kitab tafsir, karena dapat merusak

akidah umat Islam. Selain sumber bi al-ma’thu>r, sumber bi al-ra’yi juga berakhir

2Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, trj.Mudzakir AS. (Bogor: Litera AntarNusa, 2011), 462-465.

3Ibra>hi>m Mus}t}afa>, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Turki: Da>r al-Da’wah, 1990), 275.

(11)

3

karena didominasi oleh kecenderungan-kecenderungan perorangan dan

madzhab-madzhab teologik atau madzhab-madzhab-madzhab-madzhab yang lain.5

Penghapusan isnad-isnad pada tafsi>r bi al-ma’thu>r, telah memberi ruang

kejahatan bagi kaum muslimin. Hal ini memungkinkan manipulasi penafsiran

dengan memasukkan kisah-kisah legenda isra>iliyya>t ke dalamnya. Selain itu,

penggunaan hadis tanpa adanya isnad juga bisa dilakukan demi melegitimasi

aliran yang dianut dengan mengatasnamakan bahwa hadis tersebut merupakan

hadis Nabi saw, sehingga oleh para pembaca hadis tersebut diyakini

kebenarannya, meskipun pada kenyataannya bukan dari Nabi saw.6

Pembuangan sanad juga mengakibatkan banyaknya riwayat-riwayat yang

lemah, palsu dan bohong. Sebab penyebutan sanad sering kali menunjukkan

tempat cacat, sumber penyakit, dan orang yang menjadi sebab bencana bagi

orang.7

Berbagai dampak yang bermunculan sebagaimana di atas, dapat

diminimalisir dengan menyertakan kembali sanad-sanad dalam periwayatan

hadis. Para mufassir yang menyertakan sanad-sanad dalam tafsirnya, sebenarnya

telah melaksanakan kewajibannya, walaupun dalam hubungan ini mereka tidak

melakukakn pengecekan terhadap kualitas hadis tersebut, seperti yang dilakukan

oleh al-T{aba>riy.8

5Muh}ammad H{usein adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran

al-Qur’an, trj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 11-12.

6Ibid., 12.

7Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Isra>‘iliyya>t dan Hadis-hadis Palsu Tafsir

(12)

4

Selain pembuangan sanad, adanya dakhi>l dilatarbelakangi dua faktor

besar, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang muncul dari umat

islam itu sendiri, terkait dengan keterbatasan keilmuan mufassir dan subjektifitas

mufassir, sikap mufassir yang kurang hati-hati dalam mencantumkan riwayat dan

tidak selektif dalam menerima sumber dari luar islam. Sedangkan faktor

eksternal berasal dari luar Islam, yang ingin merusak islam melalui penafsiran

Alquran.

Mengingat begitu pentingnya tafsir terhadap pemahaman Alquran, maka

tidak sedikit ulama yang menuangkan pemahamannya secara tertulis dalam suatu

karya, termasuk Indonesia yang telah banyak mengalami metamofosis dalam

bentuk penafsiran. Dari segi generasi, Howard M. Federsipiel membagi dalam

tiga generasi. Generasi pertama, dari awal abad 20 sampai awal tahun 1960-an.

Pada generasi ini, cenderung dalam bentuk penerjemahan dan penafsiran yang

masih parsial dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir.

Generasi kedua, sebagai penyempurna dari generasi pertama yang muncul pada

pertengahan tahun 1960-an. Pada generasi ini, tafsir mempunyai beberapa

catatan, catatan kaki, terjemahan mufradat, dan terkadang disertai indeks yang

sederhana. Selanjutnya tafsir generasi ketiga yang mulai muncul pada 1970-an,

merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas dan

juga disertai terjemahnya.9

Salah satu karya tafsir Nusantara yang muncul pada abad 19 M secara

utuh dengan berbahasa Arab yaitu tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya

9

(13)

5

Syaikh Nawawi al-Bantani. Syaikh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abdal

Mu’ti Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani (1813-1879 M),

merupakan salah satu mufassir Indonesia yang produktif. Hasil karyanya yang

cukup monumental adalah kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l, yang selesai

ditulis pada hari Rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 H.10 karya tafsirnya ini

menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, karena memang ditulis di

Makkah dan sebagai rujukan umat Islam, tidak hanya Indonesia, sehingga tafsir

al-Muni>r li Ma’alim al-Tanzi>l tidak hanya tersebar di wilayah Indonesia saja,

namun telah memberi pengaruh terhadap perkembangan islam di Timur Tengah

dan belahan dunia islam. Sebagai mufassir yang tergolong pada periodesasi

pertama, tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l atau Tafsi>r Mara>h} Labi>d tergolong

sudah menggunakan metode bi al-Ra’y.

Meskipun penafsiran Syaikh Nawawi tergolong bi al-Ra’y, namun juga

tidak serta merta meninggalkan metode klasik, yang mengambil syaikh Nawawi

terkadang tidak menyebutkan sanadnya sama sekali atau mengomentarinya.

Seperti ketika menafsirkan surat an-Naml ayat 82 yang menggunakan hadis d}a‘i>f

berikut:

ِإَن

يُط

َل

ي

ِست

َني

ِ

عا

يِ

ِ

ِعا

ي

دآ

ِي

عَ

يِه

ي

سلا

َا

ي

َا

يي

ُِك

يَط

ِل

ي

َا

ي

ه في

ي

ِ

11

Dalam menukil hadis tersebut, syaikh Nawawi tidak menyebutkan

rangkaian sanadnya sama sekali. Dan penulis hanya mendapatkan redaksi hadis

tersebut dalam kitab tafsir al-Muni>r.

10Ibid. 43.

11

(14)

6

Dalam menafsirkan Alquran, syaikh Nawawi merujuk dari kitab-kitab

tafsir terdahulu, seperti tafsi>r al-Kabi>r Mafa>tih} al-Ghai>b karya ar-Razi, al-Siraj

al-Muni>r karya Muhammad bin Ahmad al-Syirbani, Tanwi>r al-Miqbas karya Ibn

Abbas, dan Tafsi>r Abi> al-Sa’u>d.12

Melihat syaikh Nawawi sebagai ulama’ pribumi yang go Internasional,

namun dalam pengambilan riwayat cenderung melakukan pemotongan terhadap

sanad hadis, maka perlu adanya penelitian terhadap kualitas Hadis baik dari segi

sanad, maupun penerimaannya untuk menganalisa adanya penyimpangan

penafsiran. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang komprehensif terhadap

kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l terkait dakhi>l (penyimpangan) dalam

menggunakan hadis sebagai sumber periwayatan tafsir, mengklasifikasi

bentuk-bentuk penyimpangan terutama yang terkait dengan dakhi>l naqli serta

menganalisa sikap syaikh al-Nawawi dalam penggunaan sumber penafsiran

dengan sanad yang tidak lengkap.

B. Identifikasi Masalah

Berlandaskan dari uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang

dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana metodologi dan kecenderungan penafsiran yang digunakan

Shaykh Nawawi al-Bantani dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l?

2. Bagaimana pendapat ulama terhadap Shai>kh Nawawi al-Bantani?

3. Bagaimana bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim

al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?

(15)

7

4. Apa yang melatarbelakangi terjadinya penyimpangan dalam Tafsi>r al-Muni>r

li Ma’a>lim al-Tanzi>l?

5. Bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi penyimpangan-penyimpangan

dalam tafsir?

Dengan melihat keluasan pembahasan tentang

penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran, maka penelitian ini difokuskan pada nomor 3

dan 4, yaitu bentuk-bentuk dakhi>l terutama dakhi>l dalam bentuk al-Naql serta

hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li

Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani serta dengan berpedoman

pada teori dakhi>l sebagai pisau analitis.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka memunculkan

permasalahan-perasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim

al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?

2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li

Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li

(16)

8

2. Untuk menganalisa terjadinya dakhi>l dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim

al-Tanzi>l.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian \ini secara garis besar \ memiliki dua kegunaan, yaitu:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah

pengetahuan dan referensi \metodologi kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim

al-Tanzi>l karya al-Nawawi al-Bantani serta bentuk-bentuk dakhi>l \ didalamnya.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menjadi salah satu pertimbangan

dalam upaya menyikapi penyimpangan-penyimpangan terhadap karya-karya

tafsir, khususnya tafsir Nusantara.

F. Telaah Pustaka

Penelitian terhadap al-Dakhil bukanlah hal yang baru. Di antara beberapa

penelitian terdahulu terkait dengan penelitian al-dakhi>l adalah sebagai berikut:

1. Dakhi>l al-Naqli dalam Alquran dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi

2004, karya Dr. Ibrahim Syuaib Z. Dalam Executive Summary Lembaga

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2009. Pada

penelitian ini hanya membahas dakhil dari segi naqli saja.

2. Infiltration of Shia: Segmentation of Dakhil in Interpretation of

al-Misbah, karya Afrizal Nur dalam Jurnal Ushuluddin vol. 23 no. 1, Juni 2015.

3. Al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Studi Kritis dalam Metodologi Tafsir), karya Ahmad

(17)

9

2014. Penelitian ini menjelaskan secara umum dakhil dalam Alquran serta

sikap yang harus diambil para mufassir dalam menafsirkan Alquran.

4. Dakhi>l dalam Kitab Tafsir Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l Karya Al

-Bayd}a>wi> (Kajian Surat al-Fa>tih}ah dan Surat al-Baqarah), disertasi yang

ditulis oleh Fahul Bari pada program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel

Surabaya tahun 2013. Penelitian ini mengkaji dakhi>l dalam tafsir al-Bayd}a>wi>

pada surat al-Fa>tih}ah dan Surat al-Baqarah.

Sedangkan penelitian terkait dengan penelitian kitab al-Nawawi yaitu:

1. Metode Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Sebuah

Tinjauan terhadap Tafsir Mirahu Labid), skripsi yang ditulis oleh Mhd.

Ikhsan Kolba Siregar pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

Sulthan Syarif Kasim Riau Pekanbaru 2011. Skripsi ini membahas metode

yang digunakan oleh imam al-Nawawi. Selain itu juga disebutkan bahwa

salah satu kelemahan kitab tersebut yaitu, mengambil hadis sebagai

penafsiran dengan isnad yang tidak lengkap, namun dalam skripsi ini tidak

mengklarifikasi hadis-hadis tersebut.

2. Isra’iliyyat in Interpretative Literature of Indonesia: A Comparison between

Tafsir Marah Labid and Tafsir al-Azhar, karya Ahmad Levi Fachrul Avivy,

Jawiah Dakir dan Mazlan Ibrahim dalam Mediterranean Journal of Social

Sciences mcser Publishing vol. 6 no. 3 S2 May 2015 The National

University of Malaysia. Penelitian ini membahas tentang bagian daripada

dakhi>l, yaitu Isra>iliyya>t dengan menkomparasikan antara kitab Marah Labid

(18)

10

3. Konsep Toleransi Beragama dalam Pandangan Syekh Nawawi Banten (Studi

Analisis terhadap Tafsir Mara>h Labi>d), karya Nur Hidayat dalam Jurnal

Budaya dan Agama, Sahaja, volume 4 No. 2 Juli 2014. Pada penelitian ini,

tidak mengungkap dakhi>l yang ada pada kitab Mara>h Labi>d, melainkan

pemikiran syaikh Nawawi terkait dengan kebudayaan.

4. Karakteristik Tafsir Mara>h Labi>d Karya Syaikh Nawawi al-Bantani, ditulis

oleh Ahmad Muttaqin dalam Jurnal Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu

al-Qur’an dan al-Hadits, Vol. 8 No. 1 Januari-Juni 2014. Jurnal ini menjelaskan

ruang lingkup kitab Mara>h Labi>d, mulai dari biografi sampai metodologinya.

5. Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren (Analisis terhadap Tafsir Mara>h

Labi>d Karya K.H. Nawawi Banten), yang ditulis oleh Mamat S.

Burahanuddin tahun 2006. Buku ini menjelaskan bahwa konsepsi

hermeneutika Nawawi cenderung mengarah pada upaya pemahaman teks

ayat Alquran yang sedikit banyak dipengaruhi unsur subjektivitasnya

sebagai seorang guru yang moderat, intelektual yang tengah merespon

perkembangan zaman, seorang mujaddid tanpa menafikan ulama salaf,

seorang yang kecewa dengan kondisi politik di tanah airnya. Nawawi

berhasil menghadirkan Alquran ‚hidup‛ dalam irama problema kehidupan

manusia di masanya.

Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, penelitian tentang dakhi>l

dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l secara komprehensif belum

(19)

11

dakhi>l naql, serta alasan yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam Tafsi>r

al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.

G. Metodologi Penelitian

Sebuah riset ilmiah dilakukan untuk mencari kebenaran obyektif. Untuk

merealisasikan itu semua, peneliti harus mempunyai metodologi dalam

penelitiannya. Metodologi merupakan serangkaian proses dan prosedur yang

harus ditempuh oleh seorang peneliti, untuk sampai pada kesimpulan yang benar

tentang riset yang dilakukan.13Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu:

1. Model dan jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Kirk dan Miller

mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah:

Tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.14

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang

bentuk-bentuk dakhi>l yang ada pada kitab al-Munir li Ma’a>lim al-Tanzi>l melalui

riset kepustakaan (Library Research) dan disajikan secara deskriptif-analitis,

yaitu mendeskripsikan konstruksi dasar teori dakhi>l, lalu menganalisa

dakhil-dakhil yang ada pada kitab al-Munir serta memberikan kesimpulan terkait

sikap al-Nawawi dalam menafsirkan Alquran.

13Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2015), 5.

(20)

12

2. Sumber data

Sesuai dengan jenis penelitiannya, sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber data primer.

Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab

tafsir Mara>h} Labi>d karya syaikh Nawawi al-Bantani.

b. Sumber data sekunder.

Sumber pendukung yaitu literatur yang relevan dengan penelitian,

yang meliputi:

1. Buku-buku biografi syaikh Nawawi seperti: Penghulu Ulama di

Negeri Hijajz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani karya Amirul

Ulum, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani

Samsul Munir Amin, Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren:

Analisis terhadap Tafsi>r Mara>h} Labi>d Karya K.H. Nawawi Banten

buku dari Mamat S. Burhan.

2. skripsi, artikel dan sebagainya, yang dapat menunjang kevalidan

suatu data. Seperti: ‚ad-Dakhi>l dalam Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al

-Qur’a>n Karya al-Qurtubi>: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah‛, karya

Maryam Shofa, dalam jurnal S}uh}u>f, Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam,

‚al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r: Studi Kritis dalamMetodologi Tafsir‛,

(21)

13

3. Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan langah-langkah sebagai

berikut:

1. Penulis menetapkan tokoh yang dikaji dan objek formal yang menjadi

fokus kajian, yaitu tokoh Shaikh Nawawi al-Bantani dengan objek formal

kajiannya tentang dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’alim al

-Tanzi>l.

2. Menginventarisasi data dan menyeleksi karya-karya Shaykh Nawawi al-Bantani dan literatur lain yang terkait dengan penelitian ini.

3. Melakukan identifikasi elemen-elemen penting tentang dakhi>l, mulai dari asumsi dasar, argumentasi hingga implikasi-implikasinya.

4. Data yang penulis peroleh akan penulis abstraksikan melalui metode deskriptif, bagaimana sebenarnya syaikh Nawawi al-Bantani menyikapi

dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.

5. Penulis akan melakukan analisis kritis terhadap asumsi-asumsi dasar tentang dakhi>l tersebut.

6. Penulis akan membuat kesimpulan-kesimpulan secara komprehensif sebagai jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan.

4. Teknik analisis data

Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan metode

(22)

14

penjelasan data tersebut dan dilanjutkan dengan analisis terhadap objek yang

ditemukan pada data.15

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penelusuran dalam melakukan penelitian, penulis

menyuguhkan alur pembahasan dalam beberapa bab dan sub bab tertentu.

Adapun rasionalisasi pembahasan penelitian adalah:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang

masalah yang membahas tentang seberapa unik dan menarik tema yang dibahas

untuk dijadikan penelitian. Selanjutnya mengenai identifikasi masalah yang

membahas tentang kemungkina permasalahan-permasalahan yang muncul untuk

dijadikan fokus pembahasan, dilanjutkan dengan rumusan masalah yang akan

dijawab dalam penelitian ini, kemudian mengenai tujuan penelitian tentang arah

yang ingin dituju dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian.

Dilanjutkan dengan telaah pustaka yang memaparkan penelitian terdahulu yang

relevan dengan topik yang bersangkutan untuk menghindari adanya persamaan

pembahasan. Selanjutnya, metode penelitian yang berisi tentang jenis penelitian,

sumber data, pendekatan penelitian dan teknik pengolahan data. Sedangkan

sistematika pembahasan merupakan bagian terakhir dari bab ini yang

menjelaskan tentang gambaran umum isi penelitian. Bab pertama inilah yang

akan menjadi acuan dalam penelitian.

Bab kedua akan menyuguhkan tinjauan umum tentang al-dakhi>l, yang

terdiri dari tiga sub bab, yang dimulai dari tafsir definisi tafsir, definisi dakhi>l

(23)

15

dan macam-macamnya, transformasi dakhi>l ke dalam kajian tafsir. Dilanjutkan

respon para ulama terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam karya tafsir.

Bab ini merupakan gambaran umum yang digunakan sebagai bahan analisis pada

bab selanjutnya.

Kemudian bab ketiga menyuguhkan tentang biografi Syaikh Nawawi

al-Bantani dan kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l, yang meliputi latar

belakang kehidupan Syaikh Nawawi al-Bantani, guru dan murid, karya-karya,

madzhab Syaikh Nawawi, latar belakang kepenulisan kitab dan metodologi

Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l. Bab ketiga ini dimaksudkan untuk analisis

pemikiran Syaikh Nawawi tentang al-dakhi>l melalui setting sosio-historis.

Bab keempat mencakup bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Syaikh

Nawawi. Pada bab ini, membahas macam-macam dakhi>l, serta menganalisa

terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.

Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang

merupakan jawaban singkat yang diajukan dalam rumusan masalah serta saran

untuk penelitian selanjutnya. Pada bagian akhir, penulis akan menyertakan daftar

(24)

BAB I

I

TINJAUAN UMUM TENTANG

AL-

DAKHI<L

DALAM TAFSIR

A. Definisi Tafsi>r

Alquran sebagai petunjuk manusia pada realitanya tidak semua dapat

diterapkan secara langsung, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisa

yang mendalam melalui tafsir. Secara harfiah, kata tafsir berasal dari kata fassara

yang berararti menjelaskan, membuka dan menampakkan makna yang ma’qu>l.1

Meminjam definisi dari Abdul Mustaqim, tafsir adalah hasil ijtihad atau

interpretasi mufasir atas teks-teks Alquran yang harus dipandang sebagai sesuatu

yang tidak final dan harus selalu diletakkan dalam konteks di mana tafsir itu

diproduksi.2

Berbicara tentang hakikat Tafsir, Abdul Mustaqim menyatakan

setidaknya ada dua paradigma utama dalam melihat hakikat tafsir, yaitu tafsir

sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Berangkat dari asumsi bahwa Alquran

itu berlaku universal dan bersifat s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n, maka Alquran

meskipun turun di masa lalu dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu,

harus selalu dijadikan landasan moral teologis dalam menjawab persoalan di era

modern-kontemporer. Oleh karena itu tafsir harus selalu berproses seiring dengan

tuntutan zaman.3 Sedangkan hakikat tafsir sebagai produk adalah sebuah

1Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 12.

2Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 4.

(25)

17

pemahaman seorang mufasir terhadap teks kitab suci yang sangat terkait dengan

konteks sosio-kultural baik internal maupun eksternal penafsirannya.4

Berangkat dari pengertian tafsir sebagaimana di atas, maka segala upaya

yang dimaksudkan untuk menjelaskan dan menyingkapkan makna yang

tersembunyi di balik firman Allah SWT yang tertuang dalam teks Alquran dapat

disebut sebagai tafsir, terlepas apakah tafsir tersebut dalam kategori tafsir yang

terpuji atau yang tercela. Namun, sudah pasti tafsir yang terpuji lebih

diperioritaskan sebagai pedoman dan basis teologi dalam menyelesaikan problem

sosial keagamaan. Suatu penafsiran dapat diterima sebagai tafsir yang terpuji

dengan kata lain al-As}i>l, jika sumber penafsirannya menggunakan Alquran,

Hadis, aqwa>l al-S}ah}a>bah, bahasa Arab yang benar, Ijma’ dari tabi’in serta ijtihad

yang dibenarkan, yang sudah memenuhi syarat sebagai mujtahid.5 Adapun

bentuk as}i>l al-Naql meliputi:

1. Menafsirkan Alquran dengan Alquran. Penafsiran bentuk ini merupakan

penafsiran yang mempunyai kredibilitas tinggi.

2. Menafsirkan Alquran dengan hadis yang layak dijadikan hujjah. Alquran

yang bersifat global, masih membutuhkan penjelasan dari hadis-hadis untuk

mendapatkan keterangan yang lebih rinci.

3. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang setara dengan hadis

marfu>’.

4Ibid., 21.

5Seorang Mujtahid harus memiliki kredibilitas tinggi diidang Alquran, Sunnah, Bahasa

(26)

18

4. Menafsirkan Alquran dengan hasil ijma’ para sahabat atau tabi’in.

Mengingat persoalan yang terus bermunculan, sementara wahyu telah

berhenti maka sangat memungkinkan kebutuhan akan ijtihad dari para

tabi’in dalam menginterpretasikan Alquran.

Keempat bentuk as}i>l al-Naql ini wajib diterima sebagai penafsir Alquran

sesuai dengan urutannya, dengan syarat bentuk as}i>l al-Naql yang manapun

dari keempat bentuk as}i>l al-Naql itu tidak kontradiktif dalam bentuk

kontradiksi yang kontras dan tidak dapat dikompromikan dengan logika

positif. Bila kontradiksi seperti ini terjadi maka as}i>l al-Naql tersebut wajib

ditakwil.

5. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang kontradiktif dengan

pendapat sahabat lain, tetapi kontradiksinya tidak kontras dan dapat

dikompromika dan ditarjih.

6. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang tidak merupakan hasil

ijma’ sahabat dan tidak pula kontradiktif dengan pendapat sahabat lain

7. Menafsirkan Alquran dengan hadis mursal yang setara dengan hadis marfu>’

dan yang mengutarakannya adalah termasuk salah seorang tokoh tafsir yang

belajar kepada sahabat atau hadis mursal tersebut diperkuat oleh hadis

mursal lain. 6

(27)

19

B. Definisi al-Dakhi>l

Secara bahasa ََلِخَد artinya bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh kerusakan

dan mengandung cacat.7 Menurut ibn Mandu>r al-dakhi>l adalah kerusakan yang

menimpa akal atau tubuh.8al-Ra>ghib al-As}fa>h}a>ni> menyebutkan bahwa kata

dakhala merupakan kinayah dari suatu kerusakan.9

Al-Zamakhshari> dalam kitabnya asa> al-Bala>ghah mengartikannya sebagai

aib atau makanan yang bisa merusak tubuh. Al-Ra>zi> memaknai al-dakhi>l sebagai

aib atau keraguan. Sementara kata dakhalan dalam surat al-Nah}l ayat 94

bermakna suatu perbuatan makar atau penipuan.10

Dari berbagai pengertian istilah dakhi>l di atas, dapat disimpulkan bahwa

al-dakhi>l yang berasal dari kata kerja dakhila mempunyai arti: kerusakan, aib,

penyakit, makar, dan penipuan. Sedangkan istilah dakhi>l dalam kajian tafsir yaitu

suatu metode atau cara penafsiran yang tidak memiliki asal penetapannya dalam

islam, bertentangan dengan ruh Alquran dan bertolak belakang dengan akal

sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang tidak tetap terhadap Alquran.11

Ibra>hi>m Khali>fah dalam bukunya Dakhi>l fi> Tafsi>r mendefinisikan

al-dakhi>l sebagai penafsiran yang tidak memiliki sumber yang valid dalam Islam,

7Ibra>hi>m Mus}t}afa>, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Turki: Da>r al-Da’wah, 1990), 275.

8Ibn Mandu>r al-Ifri>qi, Lisan al-‘Arab (Beirut: Da>r S}a<dir, 1956), 241.; Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, ‚al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r: Studi Kritis dalamMetodologi Tafsir‛, Tafaqquh, Vol. 2 No. 2, Desember 2014, 81.

9Al-Ra>ghib al-As}fa>h}a>ni>, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n (Lubnan: Da>r al-Ma’rifah: T. th), 166.

(28)

20

baik penafsiran tersebut menggunakan riwayat-riwayat hadis lemah dan palsu

ataupun menggunakan teori-teori sesat.12

Menurut Jamal Mus}t}afa> al-Najja>r, al-dakhi>l adalah penafsiran yang

didustakan kepada Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in atau penafsiran dengan

menggunakan riwayat yang memang bersumber dari sahabat atau tabi’in, tetapi

riwayat tersebut tidak memenuhi syarat diterimanya sebuah riwayat.13

C. Macam-macam Dakhi>l

Secara garis besar dakhi>l dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu

pertama, dakhi>l al-Naql yang meliputi:

1. Menafsirkan Alquran dengan hadis yang tidak layak dijadikan hujjah,

seperti hadis mawd}u>‘ (palsu), yaitu hadis yang dicipta serta dibuat oleh

seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW,

secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak,14 dan hadis

d}a’i>f, yaitu hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat

hadis s}ah}i>h} atau h}asan.15

2. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang tidak valid.

3. Penafsiran dengan pendapat sahabat yang diduga mengacu riwayat

isra>iliyya>t. Bentuk dakhi>l ini meliputi riwayat isr>iliyya>t16 yang bertentangan

12Ibra>hi>m Khali>fah, al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Kairo: Universitas al-Azhar, 1996), 41.

13Jama>l Mus}t}afa> al-Najja>r, Us}u>l al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r Ayy al-Tanzi>l (Kairo: Universitas al-Azhar, 2009), 26.

14Fatchur Rahman, Ikhtisa>r Musht}ala>h} al-Hadi>th (Bandung: al-Ma’arif, T.th), 169. 15Ibid., 166.

16

(29)

21

dengan Alquran dan hadis s}ah}i>h} serta riwayat isr>iliyya>t yang tdak sesuai dan

senada dengan Alquran dan hadis s}ah}i>h}.

4. Penafsiran dengan pendapat sahabat yang saling kontradiktif satu sama lain

dan tidak dapat dikompromikan ataupun ditarjih.

5. Penafsiran Alquran dengan pendapat tabi’in yang tidak valid.

6. Penafsiran Alquran dengan hadis mursal yang berupa isra>iliyya>t, meskipun

sesuai dengan Alquran maupun hadis sahih, selama hadis mursal tersebut

tidak ada penguat hadis lain yang dapat menaikkan derajat kualitas hadis

pada hadis hasan lighairih.

7. Penafsiran Alquran dengan empat bentuk as}i>l al-Naql yang pertama yang

bertolak belakang dengan logika

8. Penafsiran Alquran dengan tiga bentuk as}i>l al-Naql yang terakhir yang

bertolak belakang dengan logika, sekalipun logika tersebut asumtif.

9. Penafsiran Alquran dengan salah satu bentuk as}i>l al-Naql yang bertolak

belakang dengan as}i>l al-Naql yang lebih kuat kedudukannya.

Sedangkan bentuk dakhi>l yang kedua yaitu dakhi>l al-Aql yang meliputi:

1. Kesalahpahaman karena kurang terpenuhinya syarat-syarat ijtihad

2. Mengabaikan riwayat yang s}ah}i>h} dan mengabaikan makna z}a>hir ayat

3. Berpegang teguh pada z}a>hir ayat dan mengabaikan tuntutan nalar dan

menuntut upaya ta’wil.

4. Ekstrimitas pengungkapan makna-makna filosofis yang mendalam

(30)

22

6. Ekstrimitas pembuktian kemukjizatan Alquran dalam berbagai disiplin ilmu

sehingga mengungkapkan hal-hal baru seperti penemuan ilmiah yang tidak

terkait dengan tujuan diturunkannya Alquran

7. Pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan upaya untuk merusak Islam

D. Transformasi Dakhi>l ke dalam Kajian Tafsir

Fase tafsir sebagai ilmu yang independen, dimulai sejak masa al-Farra’

(w. 207 H) melalui kitabnya, ma’ani Alqur’a>n,17 merupakan katalisator

unsur-unsur luar yang masuk ke dalam kajian tafsir, hal ini yang kemudian dikenal

dengan istilah dakhi>l. Pada abad kedua ini, meskipun tafsir sudah terpisah dari

hadis, namun para mufassir masih menggunakan sumber bi al-ma’thu>r. Meskipun

demikian, seringkali mufassir meringkas sanad dan menukil perkataan-perkataan

tanpa menisbatkan kepada orang yang mengatakannya. Sehingga bercampurlah

antara periwayatan yang s}ah}i>h} dan yang tercela. Ironisnya periwayatan yang

tanpa menyebutkan sumbernya ini juga dikutip oleh para generasi selanjutnya.

Interaksi antara umat Islam dengan ahli kitab terutama Yahudi, menjadi

salah satu faktor terjadinya transformasi dakhi>l ke dalam kajian tafsir yang

ditandai dengan banyaknya ahli kitab yang masuk Islma, seperti ‘Abd al-‘Azi>z

ibn Juraij, Abdullah ibn Sala>m Ka’ab al-Ah}ba>r, dan Wahb ibn Munabbih.

Sehingga keberadaan mereka yang notabene sebagai sumber primer riwayat

isra>iliyya>t cukup berpengaruh dalam penyebaran riwayat-riwayat tersebut.18

17Mustaqim, Pergeseran Epistemologi..., 40.

(31)

23

Istilah al-dakhi>l sebagaimana penuturan Ibra>hi>m Shu’ay>b, pertama kali

dicetuskan dan diperkenalkan kepada publik tahun 1980-an oleh Ibra>hi>m

Khali>fah melalui bukunya al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r.19 Menurut Muhammad bin

Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya al-Isra>’iliyya>t wa al-Mawd}u>‘a>t fi>

Kutub al-Tafsi>r menyebutkan bahwa pemalsuan tafsir bi al-Ma‘thu>r disebabkan

oleh beberapa hal, yaitu:20

1. Penyusupan orang-orang zindiq di antara orang-orang Yahudi, Persia,

Romawi dan lainnya dalam riwayat Islam.

2. Pertentangan-pertentangan politik dan madzhab.

Perpecahan umat Islam pasca Rasululah SAW wafat rupanya telah

mendorong umat menutup kebenaran kelompok lain. Berawal dari masalah

politik yang selanjutnya ditarik ke ranah agama. Setiap kelompok mengklaim

kebenaran madzhab yang diikutinya. Tidak hanya berhenti disitu saja, bahkan

sampai mengarang hadis-hadis palsu dan menarik penafsiran untuk sekedar

melegitimasi madzhab yang dianutnya.

3. Para pendongeng.

Sekelompok pendongeng biasanya bercerita di masjid-masjid,

memberikan motivasi dan peringatan kepada masyarakat untuk menarik

perhatian mereka dengan menukil kisah-kisah isra>iliyya>t, khurafat dan

kebatilan lainnya. Adapun tujuan para pendongeng menceritakan isra>iliyya>t

(32)

24

yaitu untuk mencari popularitas dan penghormatan di hadapan masyarakat

serta untuk mencari rejeki.

4. Sebagian yang mengaku zahid dan sufi

Mereka telah membolehkan diri untuk mengarang hadis-hadis dan

kisah-kisah tentang motivasi, ancaman dan lainnya. mereka berasumsikan

mendustai untuk Nabi dan bukan berdusta atas Nabi.

5. Penukilan dari ahl kitab yang masuk Islam.

Isra>iliyya>t dan riwayat-riwayat ini tidak berkaitan dengan pokok agama,

melainkan seputar kisah-kisah, cerita-cerita umat terdahulu,

peperangan-peperangan besar, bencana-bencana, awal penciptaan, rahasia alam semesta

dan tentang hari kiamat.

6. Banyak penukilan dari perkataan dan pendapat yang dinisbatkan kepada para

sahabat dan tabi’in tanpa menyebutkan sanad dan tanpa meneliti para

rawinya.

Sementara DR. Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam kitab Asba>b

al-Khat}a>’ fi> al-Tafsi>r: Dira>satuhu wa Tashiliyyatu, menjelaskan empat penyebab

timbulnya kesalahan dalam penafsiran, yaitu:

1. Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan sahih

Kaidah-kaidah dan us}u>l dalam setiap keilmuan merupakan pokok yang

menjadi landasan untuk melangkah. Berpaling dari sumber merupakan

langkah awal dari suatu penyimpangan. Penyimpangan dalam hal ini bisa

dilakukan dengan penggunaan ijtihad atas ayat yang sudah dijelaskan dalam

(33)

25

dan d}a’i>f, riwayat-riwayat isra>’iliyya>t, prasangka dan dongeng, berpedoman

pada makna bahasa semata dan mengalahkan riwayat yang sahih, serta

berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziyah dan tunduk pada tamsil

dan imajinasi, terlalu larut dalam filsafat dan ilmu kalam, serta hanya

mengandalkan perkataan ahli bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.

2. Tidak teliti memahami teks ayat dan dalalah-nya.

3. Menundukkan nash Alquran untuk kepentingan hawa nafsu, fanatisme

madzhab, dan bid’ah.

Seperti pada surat al-Ra’d ayat 25:

ينيِ ّ لا

ييِفي ن دِسحفي ي لص ييحن أيِهِبيهّ لاي أي ي ن ع طحقي يِهِق ثيِيِدعبينِيِهّ لايد عي ن ضُقني

ِاّدلايُء سي ل يُنعّ لاي ليكِ ل ُأيِ أا

Artinya:

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).

Sebagian ulama’ syi’ah mengatakan bahwa ayat tersebut turun

berkaitan dengan kaum khawarij, kemudian sebagai balasannya, khawarij

menyatakan bahwa yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 204

adalah Ali bin Abi Thalib.

عيهّ لايدِ شي ي ينّدلايِ يححلاييِفيهُل قيك ِجعيين يِس ّنلاينِ

ِ ِخحلايّد ل أي يِهِح قييِفي يى

Artinya:

(34)

26

4. Mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir.

Berdasarkan sebab-sebab di atas, secara garis besar sebab-sebab tersebut

tercover dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal yaitu faktor yang berasal dari Islam itu sendiri, yang berkaitan langsung

dengan keilmuan mufassir dan yang melatarbelakanginya. Seperti tidak

memenuhi persyaratan sebagai mufassir, atau memiliki kecederungan yang

menjadikan penafsirannya menyimpang seperti karena adanya

pertentangan-pertentangan madzhab dan teologi. Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor

eksternal, yang berasal dari luar Islam untuk menghancurkan islam. Alquran

adalah kekuatan terbesar umat islam, maka kelemahan terbesar juga ada padanya.

Jika Alquran yang sudah dijamin keontetikannya oleh Allah, maka jalan lain

untuk menghancurkan islam adalah melalui penafsiran-penafsiran, yang

selanjutnya dapat menyesatkan para pengikutnya. Melalui

penyusupan-penyusupan riwayat isra>iliyya>t, hadis-hadis palsu dan sebagainya.

E. Respon terhadap Dakhi>l

Berdasarkan pemaparan dakhi>l di atas, secara garis besar dakhi>l

mempunyai orientasi lebih luas, yaitu periwayatan-periwayatan baik yang berupa

hadis-hadis d}a‘i>f, palsu, maupun isra>’iliyya>t. Adapun mengenai pengamalan

hadis d}a’i>f masih terdapat perbedan pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan

(35)

27

1. Tidak dapat diamalkan

Pendapat pertama ini diikuti oleh Yahya ibn Ma’in, Abu Bakar ibn ‘Arabi,

al-Bukhari, Muslim dan bn Hazm yang secara mutlak menolak hadis dhaif

baik dalam masalah fad}>ail al-A‘ma>l maupun hukum.

2. Dapat diamalkan secara mutlak

Pendapat ini diikuti oleh Abu Dawud dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka

berpendapat bahwa hadis d}a‘i>f lebih kuat daripada pendapat manusia.

3. Dapat dijadikan hujjah dalam hal fad}a>’il al-A’ma>l, Mawa>iz}, Id}ai>f al-Tarhi>b

wa al-Targhi>b. Menurut ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis ini dapat dijadikan

hujjah ketika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Ke-d}a’i>f-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para

pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan.

b. Terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan

c. Ketika mengamalkannya tidak beriktikad bahwa hadis itu thubu>t,

melainkan dalam rangka hati-hati.

Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, pendapat yang paling kuat adalah

pendapat pertama karena pada dasarnya kemuliaan akhlak merupakan

tiang-tiang agama yang sama halnya dengan hukum yang berlandaskan pada hadis

yang maqbu>l.21

Sementara yang terkait dengan isra>iliyya>t, terdapat tiga pandangan yaitu:

1. Selaras dengan kebenaran Alquran dan Hadis. Alquran sudah memuat

segalanya, namun pengambilan isra>’iliyya>t bisa diamalkan untuk

(36)

28

menguatkan dalil dan menegakkan hujjah atas ahl kitab dari kitabnya

sendiri.

2. Meninggalkan apa yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ma>’idah ayat 41:

ينِي ِ كحلاي ن ُفِّحي

ِهِعِضا يِدعب

Artinya:

‚Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya.‛22

3. Bagian yang didiamkan, yaitu tidak mempercayai dan juga tidak

mendustakan apa yang berasal dari ahl kitab.

Sementara itu mengenai hadis mawd}u>‘, para ulama salaf dan khalaf

melarang meriwayatkan hadis mawd}u>’ (palsu) dalam hal apapun, kecuali disertai

dengan penjelasan bahwa itu adalah hadis palsu dan dusta, begitu pula dengan

isra>iliyya>t.23 Sementara itu M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan

bahwa segala riwayat yang tidak dapat dipastikan kebenarannya seperti jalinan

kisah cinta nabi Sulaiman dengan ratu Balqis yang berujung pada pernikahan

hendaknya disingkirkan dari uraian tafsir.

22Lajnah Pentas}h}i>h mus}h}af Alquran, Alqur’a>n al-Kari>m (Jakarta: Menara Kudus, 2006), 114.

(37)

BAB III

MENGENAL SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI

A. Sosio-Historis Syaikh Nawawi al-Bantani

K. H. Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti

Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Ia lahir di kampung Tanara, Serang,

Banten pada tahun 1815 M/ 1230 H. Mengenai tahun kelahiran Syaikh Nawawi,

masih terdapat beberapa versi. Versi pertama, Chaidar meyebut bahwa Syaikh

Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan tahun 1813 M.1 Sedangkan

menurut versi lain, jika dilihat dari persesuaian antara tahun hijriyah dan Masehi,

tahun 1230 H sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, lebih tepatnya yaitu bulan

Muharram 1230 H sama dengan bulan Desember 1814 M. akan tetapi jika

kelahiran syaikh Nawawi setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah

1815 M, atau antara bulan Januari dan November 1815 M.2

Syaikh Nawawi hidup di masa ketika semangat pembaharuan Islam

bergema di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir. Ia hidup sezaman dengan

gerakan Pan-Islamisme, Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M), Muhammad

Abduh (lahir 1349 M), dan Rifaah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873 M).3

1Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979), 5.; Ahmad Muttaqin, “Karakteristik Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi al-Bantani”, al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadis, Vol. 8. No. 1 Januari-Juni 2014, 63.

2Yuyun Rosdiana, “Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat Hidup dan Sumbangannya

terhadap Islam”, skripsi, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990), 12.; Muttaqin, Karakteristik Tafsir, 63.

(38)

30

Syaikh Nawawi hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang religius.

Ayahnya yaitu Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki Jantan

bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Tajul Arsyi (Pangeran

Sunyararas) bin Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati,4 seorang ulama yang

sangat mencintai ilmu dan penghulu di desa Tanara. Selain itu, ia mendedikasikan

dirinya untuk masjid dengan mengadakan berbagai pertemuan bersama para

ulama dan mengajar ilmu agama termasuk kepada putera-puterinya sendiri.

Sementara ibunya, Nyai Zubaidah binti Singaraja adalah wanita sholihah, yang

tidak pernah berhenti mendoakan syaikh Nawawi sejak masih dalam kandungan.5

Kiai Umar memberi nama Nawawi kepada putra sulungnya, diinspirasi

dari seorang ulama yang banyak menguasai disiplin ilmu agama, yaitu Syaikh

Abu Zakariya bin Sharaf bin Murri bin H{asan Hizami Haurani Nawawi Dimasyqi (631 H-676 / 1233 M-1277 M) atau lebih dikenal dengan imam

al-Nawawi dari Nawa, Damaskus. Suriah.6 Dengan memberi nama Nawawi, kiai

Umar berharap kelak syaikh Nawawi mampu menjadi ulama yang handal seperti

halnya imam Nawawi.

Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12

dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon). Sebagaimana

ditulis oleh Rafiuddin Ramli, urutan silsilah Syaikh Nawawi dari ayahnya, yaitu

syaikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki

Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqum bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsy (Pangeran

4Amirul Ulum, Penghulu Ulama di Negeri Hijajz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015), 50.

5Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (Yogyakarta:LKIS, 2009), 19-20.

(39)

31

Suryanaras) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon

bin Raja Amaruddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar

Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir

Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin

Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad

Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Ali

Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra binti

Rasululah SAW.7

Dalam perjalanan hidupnya, Syaikh Nawawi al-Bantani menikah dengan

Nyai Nursimah, seorang gadis asal Tanara. Dalam pernikannya ini, Nawawi

dikarunia tiga puteri yaitu Nafisah, Maryam dan Rubi’ah. Namun dalam

pernikahannya nyai Nursimah meninggal lebih dulu dari Nawawi. Setelah istri

pertama wafat, syaikh Nawawi menikah dengan Nyai Hamdanah, putri K.H.

Sholeh Darat, yang masih berusia sekitar 7-12 tahun. Pada pernikahan yang kedua

ini, al-Nawawi dikaruniai dua anak, yaitu Abdul Mu’thi dan Zahroh. Sepeninggal

syekh al-Nawawi, Nyai Hamdanah menikah dengan K.H. Raden Asnawi, salah

seorang murid dari al-Nawawi, dan tinggal di Kudus Jawa Tengah.8

Mengingat begitu alimnya syaikh Nawawi, dikisahkan bahwa ketika

syaikh Nawawi berkunjung ke Jayakarta (sekarang Jakarta), tepatnya masjid yang

dibangun oleh Sayyid Usman bin Aqil bin Yahya al-Alawi. Ketika melihat posisi

masjid tersebut, syaikh Nawawi berpendapat bahwa masjid tersebut tidak

7

Amin, Sayyid Ulama..., 14-16.

8Ainur Ruchama’, “Kehujjahan dan Reinterpretasi Hadis Misogini dalam kitab Syarah

(40)

32

mengarah kiblat, maka syaikh Nawawi menunjukkan arah kiblat yang tepat.

Namun kiai Usman tetap dengan pendiriannya bahwa masjid tersebut sudah pada

posisi yang tepat. Kemudian syaikh Nawawi menarik lengan baju kiai Usman

untuk berdiri lebih dekat dan menunjukkan arah kiblat yang dimaksud, dan

ternyata benar, bahwa posisi masjid tersebut terlalu ke kiri dari ka’bah.9

Semasa hidupnya, syaikh Nawawi banyak memanfaatkan waktunya untuk

megkaji ilmu-ilmu agama, menyibukkan diri mengajar dan mengarang untuk

dijadikan suatu karya. Usianya yang cukup berumur sehingga jalannya

membungkuk danmengharuskan syaikh Nawawi untuk memakai tongkat. Sampai

pada akhirnya syaikh Nawawi kembali ke rahmat Alla>h dalam usia 84 tahun, bertepatan pada 25 Syawwal 1314 H/ 1879 M, sedangkan menurut al-Zarkali,

syaikh Nawawi wafat pada tahun 1316 H/ 1898 M. syaikh Nawawi dimakamkan

di pemakaman Ma’la bersanding dengan makam ibn Hajar dan Asma’ binti Abu

Bakar.10

B. Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani

Sebagai anak sulung dari ke-enam saudaranya, yaitu Ahmad, Shihabuddin,

Tamim, Said, Abdullah, Sakilah, dan Shahriyah,11 syaikh Nawawi dikader untuk

menjadi panutan bagi adik-adiknya. Sejak usia 5 tahun, Syaikh Nawawi sudah

mendapat pendidikan agama dari ayahnya sendiri, seperti pengetahuan dasar

bahasa Arab (Nahwu dan s}arf), fiqh}, tauh}i>d dan tafsi>r. Setelah tiga tahun belajar bersama sang ayah, tepatnya pada tahun 1821 M dalam usia 8 tahun, syaikh

9Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), 2-3. 10Ulum, Penghulu Ulama..., 94.

(41)

33

Nawawi bersama kedua saudaranya, yaitu Tamim dan Ahmad belajar kepada kiai

Sahal, seorang ulama terkenal di Banten.12

Sebelum syaikh Nawawi beserta adik-adiknya pergi, ibu nyai Zubaidah

berpesan kepada ketiganya untuk tidak pulang sebelum buah Kelapa yang ditanam

berbuah. Hal ini dimaksudkan bahwa ibu nyai Zubaidah menginginkan putranya

belajar sungguh-sungguh tanpa adanya batasan waktu. Setelah belajar pada kiai

Sahal, ketigaya melanjutkan ke pesantren yang ada di Purwakerta, yaitu pesantren

yang diasuh oleh K. H. Yusuf.13

Setelah belajar di Purwakarta, syaikh Nawawi dan kedua saudaranya

melanjutkan studinya ke pesantren Cikampek, Jawa Barat untuk mempelajari

Bahasa Arab dan Gramatikanya. Sebagaimana pada pesantren umumnya, untuk

masuk ke pesantren Cikampek ini, setiap calon santri harus melalui ujian sebagai

standarisasi pesantren. Atas ijin Allah SWT ketiganya mampu melaluinya dengan

baik. Selain itu ketiganya juga mendapat apresiasi karena kecerdasannya, terlebih

syaikh Nawawi. Setelah dirasa cukup, sang kiai menyuruh syaikh Nawawi dan

kedua adiknya untuk pulang. Adapun rentan waktu belajar yang dibutuhkan

syaikh Nawawi dan kedua saudaranya dari ketiga pesantren tersebut diperkirakan

enam atau tujuh tahun, yang mengacu pada masa tanam buah Kelapa sampai

berbuah.14

Kedatangan syaikh Nawawi dan kedua adiknya mendapatkan simpati yang

cukup dari kedua orang tuanya. Dalam rangka menguji kualitas keilmuan syaikh

(42)

34

Nawawi, maka kiai Umar menyuruhnya untuk turut membantu mengajar di

pesantren. Ternyata harapan orang tua berbanding lurus dengan kualitas keilmuan

anaknya. Keilmuan syaikh Nawawi meningkat drastis, sehingga banyak para

santri yang turut serta dalam pengajiannya.15

Melihat usia syaikh Nawawi yang masih muda, kiai Umar berkeinginan

agar syaikh Nawawi melanjutkan studi-nya ke daerah Haramain. Kiai Umar

memilih daerah Haramain karena memang daerah yang menjadi pusat keislaman

pada waktu itu. Namun sebelum keberangkatannya, syaikh Nawawi mendapat

ujian yang cukup berat atas kepergian ayahnya, kiai Umar pada tahun 1826.

Sehingga secara otomatis segala tanggungjawab kiai Umar beralih kepada syaikh

Nawawi. Namun melihat keinginan syaikh Nawawi yang begitu kuat untuk

menuntut ilmu di negeri Hijaz dan demi mewujudkan keinginan ayahnya, maka

nyai Zubaidah pun merestui syaikh Nawawi untuk tetap melanjutkan studi-nya

pada tahun 1828. Sehingga tanggungjawab pesantren beralih dari syaikh Nawawi

kepada adiknya, Tamim.16

Pada tahun 1830 M, syaikh Nawawi kembali ke Nusantara setelah lebih

kurang tiga tahun berkelana di negeri Hijaz, tepatnya pada usia 17 tahun. Sebelum

sampai rumah, syaikh Nawawi menyempatkan diri untuk belajar di pesantren

Qura yang ada di Karawang. Di pesantren yang berbasis qiraah ini, syaikh

Nawawi menyimakkan hafalannya kepada pengasuh pesantren Qura. Tradisi

seperti ini biasa disebut dengan istilah “ngaji tabarukan”, yaitu sebuah proses

belajar mengajar yang berupa transfer ilmu dari seorang kiai kepada seorang santri

15Ibid., 63.

(43)

35

yang bertujuan untuk ziya>dah al-Khay>r(bertambah kebaikannya) berkucuran pada santri tersebut.17

Kembalinya syaikh Nawawi disambut gembira oleh keluarga dan juga

masyarakat sekitar. Karena kecerdasannya, para masyarakat menaruh simpati

lebih kepadanya, sehingga kedatangannya membuat pesantren yang dibina

ayahnya membludak dari berbagai pelosok.18 Pengaruh kuat dari Nawawi dan

pesantrennya cukup membuat perhatian pemerintah Belanda yang trauma

terhadap gerakan pemberontakan santri Diponegoro (1825-1830).19

Selama 25 tahun syaikh Nawawi bersama istri pertamanya, Nyai Nursimah

mengasuh pesantren milik ayahnya, ia selalu mendapatkan intimidasi dari Belanda

untuk turut mengisi roda pemerintahannya, seperti menjadi penghulu sebagaimana

adiknya, Ahmad. Namun syaikh Nawawi tidak menggandrungi ranah

pemerintahan, ia lebih memilih berjuang yang orientasinya pada pendidikan.

Penolakan yang dilakukan syaikh Nawawi membuat Belanda semakin geram dan

tertekan karena ulama adalah poros umat, sehingga pergerakan islam selalu

diawasi. Selain itu para ulama juga harus dengan sangat terpaksa melihat

penderitaan rakyat, termasuk syaikh Nawawi, hal ini membuatnya tidak nyaman

sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Hijaz. Kemblinya syaikh Nawawi ke

Hijaz bukan berarti menghindar dari perlawanan Belanda, namun mental rakyat

pasca kekalahan perang Diponegoro semakin susut, yang tidak memungkinkan

syaikh Nawawi berjuang sendirian. Oleh karena itu syaikh Nawawi kembali ke

17Ibid., 71-72. 18

(44)

36

Hijaz dengan harapan mampu mempelajari islam sedalam-dalamya untuk

ditularkan kepada umat Islam, sehingga terwujudlah umat yang militan dalam

mempertahanakan agama dan negara.20

Syaikh Nawawi bersama keluarga ke negeri Hijaz pada tahun 1855 M.

Sehingga tanggungjawab pesantren dilimpahkan kepada adik-adiknya. Sesampai

di Hijaz, syaikh Nawawi juga melanjutkan pengembaraannya ke Mesir dan Syam

untuk belajar agama.21

C. Guru dan Murid Syaikh Nawawi al-Bantani

Semangat belajar syaikh Nawawi telah menyita banyak waktu dalam

hidupnya. Baginya belajar adalah harga mati yang tidak terikat oleh tempat,

namun guru adalah modal utama dalam proses belajar. Syaikh Nawawi tidak

hanya belajar kepada orang-orang pribumi, namun juga kepada ulama di negeri

Hijaz. Guru-guru Syaikh Nawawi selama belajar di Indonesia dan Arab, yaitu:

Kyai Sahal, kyai Yusuf, syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dahlan, Syaikh

Ahmad Zaini Dahlan, syaikh Muhammad Khatib al-Hanbali, syaikh Muhammad

Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Samulaweni, syaikh

Abdul Hamid Dagastani.22

Selain sebagai santri, syaikh an-Nawawi juga seorang guru yang

reputasinya dapat menarik banyak kalangan untuk belajar kepadanya, baik di

wilayah Melayu-Indonesia terutama Jawa Barat maupun di tanah Hijaz. Menurut

Azra, murid syaikh Nawawi selama di Hijaz berjumlah sekitar 200 orang setiap

20Amirul Ulum, Penghulu Ulama..., 74-77. 21Ibid., 77.

(45)

37

tahunnya, sedangkan syaikh Nawawi mengajar di sana selama 15 tahun, maka

dapat dikalkulasikan tidak kurang dari 3.000 orang.23

Di antara murid-murid syaikh Nawawi yang berasal dari Indonesia, yaitu:

K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang Jawa Timur, K.H. Khalil dari

Bangkalan Madura Jawa Timur, K.H. Asy’ari dari Bawean (menikah dengan

putrinya, Nyai Maryam), K.H. Nahjun dari Kampong Gunung (menikah dengan

cucu syaikh Nawawi, Nyai Salmah binti Ruqayyah binti Nawawi), K.H. Asnawi

dari Carigin Labuan Pandeglang Benten, K.H. Ilyas dari kampong Teras Tanjung

Keragilan Serang Banten, K.H. Abdul Ghaffa>r dari kampong Lamung Tirtayasa Serang Banten, K.H. Arsyad T}awi>l dari Banten, K.H. Tubagus Bakri dari Sempur Purwakarta Jawa Barat, Kiai Mahfuz} Termas dari pondok pesantren Termas Pacitan Jawa Timur, K.H. R. Asnawi Kudus Jawa Tengah, K.H. Wasit} (seorang ulama dan pemimpin pemberontakan Ciregon pada tahun 1888), K.H. Tubagus

Ismail, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri lembaga Muhammadiyah), Kiai Abdus al-Satta>r al-Dahlawi dari Delhi India dan sebagainya.24

D. Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani

Sebagai ulama yang produktif, syaikh Nawawi telah banyak menghasilkan

karya baik yang sempat diterbitkan maupun yang sudah diterbitkan. Menurut

Snouck, Syaikh Nawawi cenderung lebih tajam penanya daripada lidahnya.

Mengenai jumlah karya syaikh Nawawi, masih terjadi banyak perbedaan, menurut

23

Taufik Abdullah Et. All, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. 1, Jilid 5, 134.

(46)

38

Amirul Ulum karya-karya syaikh Nawawi berkisar 155 atau 99 karya.25 Data dari

sarkis mengungkapkan ada 38 karya sementara dalam versi Brocklemen

menyebutkan 40 buah dengan klasifikasi dalam tujuh bidang, di antaranya:

1. Bidang tafsi>r

Kitab Tafsir Mara>h} Labi>d atau Tafsi>r al Muni>r li Ma’a>lim Tanzi>l al-Musfar ‘an Wuju>h Mah{a>sin al-Ta’wi>l diterbitkan tahun 1305 H di Kairo.

2. Bidang tawh}i>d

a. Dhari>’a>t al-Yaqi>n (1317 H), Sharh} kitab> ‘Umm al-Bara>him. b. Nu>r al-Z}ula>m (1329 H), komentar tentang ‘Aqi>dah al-‘Awa>m.

c. Ti>ja>n Dara>riy ditulis pada tahun 1301 H, Sharh} kitab Risa>lah fi ‘Ilm al-Tawh}i>d karya Syekh Ibra>hi>m al-Bajuri.

d. Qat}r al-Ghai>th Sharh} Masa>’il Abi> Lay>th, sharh} dari kitab al-Masa>’il.

e. H}ilyah al-S}ibya>n, sharh} kitab Fath} al-Rah}ma>n.

f. Fath} al-Maji>d (1298 H), Sharh} kitab al-Du>rr al-Fari>d fi> ‘Ilm al-Tawh}i>d. g. al-Thama>r al-Ya>ni’ah (1299 H), sharh} dari kitab al-Riya>d al-Badi>‘ah fi>

Us}u>l al-Di>n wa Ba‘d Furu>‘ al-Shari>‘ah karya Muh}ammad ibn Sulaima>n

H}asb Allah.

h. al-Nahjah al-Jadi>dah (1303 H).

3. Bidang fiqh

a. Qu>t al-H}abi>b (Kairo: 1301,1305,1310 H) atau Tawshi>h} ‘ala> ibn Qa>sim Qu>t al-H}abi>b al-Ghari>b, Syarh} dari Fath} al-Qari>b.

b. Mara>qy al-‘Ubu>diyah, Sharh} Bida>yah al-Hida>yah karya al-Ghazali.

(47)

39

c. Fath} al-Muji>b (1276 H), Sharh} dari Mana>qib al-H}ajj. d. Sullam al-Muna>ja>t (1297 H), sharh} dari Safi>nah al-S}ala>h

e. al-‘Aqd al-Thami>n Sharh} al-Manz}u>mah al-Sitti>n al-Mas’alah al-Musama> al-Fath} al-Mubi>n (Kairo 1300 H).

f. Ka>shifah al-Saja> (1305 H), merupakan sharh} dari kitab Safi>na>t al-Naja> karya Ibn Sami>r dari Sih}r di Hadramawi.

g. Niha>yah al-Zay>n (1297 H)

h. ‘Uqu>d al-Lujay>n fi> Bayan al-H}uqu>q al-Zawjay>>n (1297 H). i. Mirqat ash-Shu’ud al-Tas}di>q (1292 H).

j. Suluk al-Jadah (1300 H).

4. Bidang akhla>q atau tasawuf

a. Sala>lim Fud}ala>’ (Kairo 1301, Mekka 1315), Sharh} dari Manzu>m Hida>yat al-Azkiya> ila> T}ari>q al-Awliya>’ karya Zainuddin al-Malibari (w. 928 H). b. Manz}u>ma>t fi> Shu’abi al-Imam Nawawi menulis Qa>mi’ al-T}ughya>n

(1296).

c. Mis}ba>h} al-Z}ala>m ‘ala> Manhaj al-Ta>mm fi> Tabwi>b al-H}ika>m (1314 H).

d. Bida>yah al-Hida>yah

e. Maraq al-‘Ubudiyah (1298 H),

5. Bidang ta>ri>kh

a. Fath} al-S}ama>d (1292 H), atau al-‘Uru>s, Bugyah al-Awa>m (1207 H). b. Targhi>b al-Mus}ta>qi>n (1292 H) atau dengan nama lain mada>rij as-Su’u>d ila>

Iktisa>’il al-Buru>d (1296 H), sharh} Mawli>d karya Ja’far ibn Hasan.

(48)

40

d. Al-Ibri>z al-Da>ni> (1292 H), kutipan dari Mawlid karya al-Qastallani .

6. Bidang bahasa

a. Fath} Gha>fir al-Khat}iyah ala al-Kawa>kib al-Jaliyah fi> Naz}m al-Juru>miyah (1298 H), sharh} dari Jurumiyah.

b. Al-Fushush Yaqutiyah (1299 H), sharh} Al-Rauda Bahiyya fi> al-Abwa>b al-Tasrifiyya.

c. Kashf al-Marut}iy (1299 H), sharh} dari al-A<jurumiyah.

7. Bidang retorika

Luba>b Baya>n si> ‘ilm Baya>n (1301 H), sharh} dari Risalat al-Isra>’iliyya>t karya Husain al-Nawawi al-Malikiy.26

Karya lainnya yang belum selesai karena imam Nawawi telah meninggal dunia, yaitu Sharh} Minha>j al-T}a>libi>n.27

E. Madzhab Syaikh Nawawi al-Bantani

Syaikh Nawawi adalah seorang ulama multidisipliner yang menguasai

semua bidang keilmuan Islam. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang tidak

hanya pada satu bidang, sebagaimana pengklasifikasian Brockleman yang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penafsiran Surah al-Isr±’/17: 85 al-Qur¯ub³ mengutip dari a¯-°abar ī yang menyebutkan hadis yang bersumber dari ‘Al ī Ibn Ab ī °±lib yang mengatakan,

Abstract: Nahwu merupakan ilmu ‘alat’ untuk memahami bahasa keislaman, dan salah satu matn nahwu yang paling banyak mendapat apresiasi luas adalah al-Muqaddimah

mengumpulkan data dari berbagai literatur yang bersumber dari kitab, buku, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya sebagai sumber rujukan. Hasil dari penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa: Pertama, pemikiran fikih pertanian menurut Syekh Nawawi dibagi menjadi dua yaitu musa&gt;qa&gt;h dan mukha&gt;barah

Tafsir al-Jaila&gt;ni Tahqiq Fad}il Jailani al-H}asani al-Taila&gt;ni..

24 Apabila mereka menetapkan semua sifat yang telah Allah tetapkan untuk dzat-Nya dalam al-Qur`a&gt;n dan telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam hadis yang s}ahi&gt;h,

Tafsere Selain kedua karya di atas, sebenarnya masih banyak karya-karya lain yang mengkaji Tafsir karya Syekh Nawawi Banten, di antaranya dua Desertasi yang masing-masing ditulis oleh

Maksiat Badan, meliputi durhaka kepada kedua orangtua, lari dari barisan perang, menarik pakaiannya dengan maksud kesombongan, memutus hubungan keluarga, menganiaya manusia SIMPULAN