• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI AGAMA DAN NEGARA : STUDI PEMIKIRAN TAQIYYUDIN AL-NABHANI DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RELASI AGAMA DAN NEGARA : STUDI PEMIKIRAN TAQIYYUDIN AL-NABHANI DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI AGAMA DAN NEGARA :

STUDI PEMIKIRAN TAQIYYUDIN AL-NABHA>NI> DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Keislaman (Dirasah Islamiyyah)

Oleh Ishanan NIM. F07214097

Oleh

DADANG PRABOWO F09214110

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

viii

ABSTRAK

Pembahasan relasi agama dan negara menjadi isu sentral dan penting dalam kehidupan bernegara, khususnya negara mayoritas berpenduduk muslim. Arus modernisasi yang datang dari dunia Barat, terutama dalam hal tatanan politik dan kenegaraan telah mengundang rasa simpatik sebagian pemikir Islam dan berusaha mengawinkannya dengan pemikiran politik Islam, di lain sisi ada sebagain pemikir muslim yang menuduh Barat dengan ide demokrasi dan tata pemerintahan sekular yang banyak diadopsi oleh dunia Islam sebagai akibat kemunduran umat Islam.

Berdasarkan landasan di atas, penelitian ini diberi judul relasi agama dan negara: studi pemikiran Taqiyyuddi>n al-Nabha>ni> dan Zainal Abidin Ahmad. Kelompok pertama dalam pembahasan ini diwakili oleh Zainal Abidin Ahmad dan kelompok kedua diwakili oleh Taqiyyuddi>n al-Nabha>ni>.

Dalam jenis penelitian ini, peneliti menggunakan metode pustaka (library research), yaitu penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) utama. Selain itum penelitian ini juga termasuk historis factual, sebab yang menjadi obyek penelitiannya adalah pemikiran tokoh, Taqiyyudin al-Nabhani dan Zainal Abidin Ahmad. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, analisis dan komparatif. Pendekatan yang dipakai dalam meneliti pemikiran kedua tokoh tersebut adalah pendekatan tiga dimensi. Pendekatan tiga dimensi adalah pendekatan yang menyingkap dan meneliti pemikiran tokoh yang mencakup tiga hal. Pertama, pendekatan individual, pendekatan ini berusaha menjelaskan tentang kondisi tokoh dilihat dari latar belakang akademis dan pendidikannya, kedua, pendekatan kondisi lingkungan (local condition) yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat pengaruh lingkungan sosial, politik dan budaya dimana tokoh hidup berpengaruh terhadap pemikirannya, dan yang ketiga, pendekatan kondisi global, dimana suasana dunia global pada saat itu berpengaruh dalam mengkonstruk pemikiran tokoh.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka diperoleh hasil; Taqiyyudin al-Nabhani lebih cenderung kepada sikap integralistik dalam relasi agama dan negara (al-Isla>m di>n wa dawlah), sedangkan Zainal Abidin Ahmad lebih bersikap moderat dengan bersikap akomodatif terhadap nilai-nilai di luar Islam yang sesuai dengan ajaran Islam. Taqiyyudin al-Nabhani menghendaki restorasi sistem khilafah pada masa sahabat pada masa kini dan diterapkan dalam negara-negara Islam untuk mencapai kejayaan Islam, sedangkan Zainal Abidin Ahmad lebih menerima sistem demokrasi dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.

(7)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN DALAM...……….. i

PERNYATAAN KEASLIAN………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN……… iii

HALAMAN PENGESAHAN………. iv

PEDOMAN TRANSLITERASI……… v

KATA PENGANTAR………. vi

ABSTRAK……….. viii

DAFTAR ISI……… ix

BAB I PENDAHULUAN………..………. 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah………. 10

C. Rumusan Masalah……….. 10

D. Tujuan Penelitian………... 11

E. Kegunaan Penelitian………... 11

F. Penelitian Terdahulu………... 12

(8)

x

I. Sistematika Pembahasan………... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA A. Definisi Negara dan Agama Dalam Islam……… 20

B. Definisi Negara Menurut Para Sarjana Muslim……... 25

C. Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Islam…….. 37

D. Teori Relasi Negara dan Agama ……… 49

1. Tipologi Organik Integralistik………..…. 50

2. Tipologi Sekular……… 52

3. Tipologi Moderat……….…….. 53

BAB III BIOGRAFI TAQIYYUDDIN AN-NABHA>NI> DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD A. Sketsa Biografi Taqiyyuddin an-Nabha>ni>……….. 54

1. Latar Belakang Sosio-Kultural... 54

2. Latar Belakang Pemikiran ………...……. 55

3. Kiprah Dalam Organisasi dan Politik………….…... 56

4. Karya-Karya ………... 61

B. Sketsa Biografi Zainal Abidin Ahmad……….. 62

1. Latar Belakang Sosio-Kultural ………... 62

2. Latar Belakang Pemikiran …….……….. 64

3. Kiprah Dalam Organisasi dan Politik……….…... 66

(9)

xi

BAB IV KONSTRUKSI PEMIKIRAN TAQIYYUDDIN AN-NABHANI

DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD TENTANG RELASI AGAMA

DAN NEGARA

A. Taqiyyuddin an-Nabha>ni>………..………… 69

1. Agama dan Politik Ketatanegaraan……… 69

2. Agama dan Kekuasaan Politik……… 74

3. Agama dan Partisipasi Politik Rakyat……… 82

B. Zainal Abidin Ahmad………..……. 84

1. Agama dan Politik Ketatanegaraan………. 84

2. Agama dan Kekuasaan Politik………. 92

3. Agama dan Partisipasi Politik Rakyat……….. 101

BAB V KOMPARASI DAN ANALISA PEMIKIRAN TAQIYYUDIN AL-NABHA>NI> DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA A. Persamaan dan Perbedaan……… 104

B. Analisa……… 108

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan……… 115

B. Saran……….. 117

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diskursus tentang relasi agama dan negara merupakan permasalahan yang

selalu aktual dan masih relevan untuk diperbincangkan, baik dalam tataran

akademis maupun dalam forum-forum diskusi. Hal ini cukup beralasan, karena

negara dalam agama khususnya Islam mempunyai posisi yang sangat strategis.

Islam memberikan perhatian yang besar terhadap negara dan sistem politik,

bahkan politik dan negara dalam Islam merupakan bagian dari pemikiran dan

peradaban Islam. Ajaran-ajaran Islam tentang politik dan negara dapat ditemukan

dalam ayat al-Qur’an, hadith dan pendapat para sarajana muslim.1

Sedangkan dari sisi historis, misi utama diutusnya para nabi dan rasul

terdahulu adalah mengajak umatnya untuk bertauhid dan menyembah Tuhan,

tidak terkecuali Muhammad. Bertauhid bukan hanya dalam ibadah ritual tapi

juga dalam urusan-urusan duniawi haruslah tauhid sumbernya.2 Risalah tauhid

itu yang mengajarkan manusia untuk menjadikan agama sebagai sumber inspirasi

dalam semua urusan, mulai dari urusan rumah tangga sampai urusan negara.

Kepiawaian Muhammad dalam menata kota Madinah dan mencitrakannya

sebagai kota yang aman dan tentram bagi masyarakatnya yang sangat plural,

berasal dari bermacam suku, agama dan bangsa di bawah pemerintahan yang

1 Ahmad Shalabi, al-Siya>sah fi> al-Fikr al-Islami> (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1983), 31-32.

(11)

2

dipimpinnya, membuktikan bahwa Muhammad bukan hanya seorang Nabi tetapi

juga negarawan. Beberapa langkah yang dilakukan Nabi Muhammad

menunjukkan bahwa dirinya adalah sebagai negarawan disamping tugasnya

sebagai utusan Allah. Diantaranya adalah bai’at aqabah yang terjadi dua kali,3

antara Nabi Muhammad dan sebagain penduduk Madinah dan diterbitkannya

Piagam Madinah.4

Tatanan masyarakat atau bangsa baru yang dibangun oleh Nabi di

Madinah adalah sebuah tatanan masyarakat yang paradoks dari tatanan

masyarakat yang ada sebelumnya yang hanya didasarkan atas kesukuan dan

kekeluargaan, kemudian disatukan dalam konsep ummah (masyarakat, bangsa),

suatu tatanan masyarakat internasioanal tanpa batas kesukuan dan keagamaan,

suatu masyarakat kosmopolit yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama.

Di jantung proyek itu berlangsung peralihan kekuasaan dari kerajaan kepada

Nabi dan kemudian kepada umat. Komunitas ini didasarkan atas syari’at yang

dirancang untuk menetapkan aturan-aturan tentang moral, hukum, keyakinan dan

ritual agama, pernikahan dan perdagangan.5

3Bai’at aqabah yang pertama terjadi pada tahun keduabelas kenabian dimana dua belas laki-laki

penduduk Yathrib bertemu dengan Nabi di tempat bernama Aqabah, dimana pada tahun sebelumnya sudah ada enam orang yang bertemu Nabi pada tempat yang sama dan menyatakan diri masuk Islam. Dan diantara isi pertemuan tersebut adalah mereka berjanji setia (bai’at) kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta serta tidak mengkhianati Nabi. Kemudian pada tahun berikutnya, 75 orang penduduk Yathrib yang sudah masuk Islam menemui Nabi di tempat yang sama dan menyatakan sumpah setia (bai’at) kepada Nabi, yang isi sama dengan Bai’at Aqabah yang pertama, tetapi pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka akan membela Nabi sebagaimana mereka membela anak isteri mereka, dan

bai’at ini dinamakan Bai’at Aqabah yang kedua. Lihat. Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan

Penelitian Politik Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, Cetakan I, 2014), 122.

(12)

3

Dalam perkembangan selanjutnya setelah meninggalnya Rasulullah

tampuk kepemimpinan umat Islam dipegang oleh Abu Bakar, kemudian

digantikan oleh Umar bin Khattab, Uthman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.6

Keempat khalifah ini lebih dikenal dengan khulafa>’ al-rashidu>n, dan sistem

pemerintahan mereka lebih dikenal dengan sistem khilafah dalam Islam yang

mengedepankan asas-asas musyawarah dalam urusan pemerintahan, terutama

dalam proses pergantian khalifah.

Setelah wafatnya ‘Ali bin Abi Thalib, tampuk kepemimpinan umat Islam

berada di tangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada masanya sistem pemerintahan

Islam telah berubah yang sebelumnya berdasarkan kekhalifahan menjadi sistem

monarki atau kerajaan yang lebih mirip dengan sistem kerajaan Persia. Begitu

juga setelah kekuasaan umat Islam berpindah ke tangan Bani ‘Abbasiyyah dan

kerajaan – kerajaan Islam setelahnya, nyaris sistem pemerintahan umat Islam

berada di bawah kekuasaan kerajaan yang belum pernah dikenal pada masa

rasulullah, bahkan mirip dengan kerajaan ala Persia.

Eksistensi pemerintahan Islam sejak zaman Nabi Muhammad hingga

keruntuhannya pada masa pemerintahan kesultanan Turki ‘Uthmani pada tahun

1924 ditandai dengan berdirinya sistem pemerintahan negara bangsa dengan

berbagai corak dan sistem yang diterapkan pada masanya telah menghasilkan

6 Ada empat ciri pengangkatan khalifah setelah Rasulullah wafat yang identik dengan sistem kekhalifahan itu sendiri, pertama, pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya, hal ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar dib alai pertemuan Tsaqifah Bani Saidah, kedua, pemilihan dengan cara penunjukan kepada seseorang yang didasarkan terlebih dahulu pada musyawarah diantara para sahabat, hal ini terjadi ketika

terpilihnya ‘Umar bin Khattab sebagai khalifah, ketiga, pemilihan yang dilakukan oleh timyag

dibentuk oleh khalifah, cara ini terjadi ketika pemilihan ‘Uthma>n bin ‘Affan dan yang keempat, pemilihan yang terjadi secara spontanitas oleh umat Islam ketika negara terjadi kekacauan atau

(13)

4

pemikir-pemikir dari kalangan umat Islam dari zaman klasik sampai kontemporer

yang konsen terhadap ketatanegaraan dalam pemerintahan Islam.

Geliat tentang pemikiran dan konsep negara Islam pada abad modern

semakin meningkat intensitasnya dan banyak diminati oleh para pemikir Islam.

Meningkatnya intensitas tersebut dipengaruhi oleh tiga hal yang mendasar,

pertama, kerapuhan dunia Islam oleh faktor-faktor internal yang berakibat

munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian, kedua, adanya

rongrongan dari dunia Barat terhadap keutuhan politik dan wilayah Islam dan

ketiga, Superioritas Barat dalam hal ilmu pengetahuan dan tekhnologi atas

dunia.7 Setidaknya tiga faktor inilah yang mendorong para pemikir Islam untuk

bangkit dan membangun kembali kemajuan peradaban Islam yang dicapai pada

masa silam.

Pada hakikatnya, tujuan pokok pemerintahan Islam adalah menciptakan

kemaslahatan bagi manusia dan mencegah segala bahaya, menegakkan keadilan

dan melarang semua permusuhan antar manusia. Islam lebih menekankan kepada

penanaman tata nilai dan etika yang sesuai dengan al-Qur’an dalam

pemerintahan Islam.8 Islam memberikan keleluasaan dan keluwesan dalam

kekuasaan dan pemerintahan asalkan tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar

yang telah digariskan oleh agama.

Relasi antara agama dan negara sudah lama menjadi topik kajian para

pemikir. Hal ini lantaran para penyebar agama sekaligus adalah pemimpin dalam

masyarakat, fenomena perhimpitan peran antara penguasa agama dan penguasa

(14)

5

politik, yang dengan demikian juga perebutan pengaruh diantara keduanya, sudah

berlangsung sejak zaman para nabi. Tapi sebagai suatu fenomena yang

diperdebatkan, yang kemudian menimbulkan kebutuhan untuk memisahkan

kedua hal tersebut,9 masalah hubungan antara agama dan negara sudah dipikirkan

sejak zaman pertengahan. Secara sederhana dapat dikemukakan, hubungan antara

agama dan negara atau antara penguasa agama dan penguasa politik, berdasarkan

derajat pentalan pengaruhnya terhadap orang lain, merupakan hubungan

dikhotomis.10 Pada kutub yang satu adalah hubungan religio-political power yang

bersifat organik, yang menyatukan kehidupan agama dengan kehidupan politik

dengan alasan bahwa kehidupan agama bersifat holistik, mencakup semua

kehidupan manusia. Dalam kehidupan bernegara, hubungan seperti ini mewujud

ke dalam sistem teokrasi sebagaimana dianut negara-negara monarkhi di Eropa di

Abad Pertengahan atau Iran di masa sekarang.

Pada titik kutub yang lain adalah sistem ketatanegaraan yang

memisahkan sama sekali kehidupan agama dari kehidupan politik, yang mewujud

ke dalam sistem pemerintahan kenegaraan sekuler sebagaimana dianut

negara-negara demokrasi sekarang ini. Bukan hal yang kebetulan bahwa sifat sekelur ini

dianut oleh negara-negara demokrasi ini karena hal ini sesuai dangan salah satu

prinsip demokrasi bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi individual

yang tidak boleh dicampuri oleh penguasa politik, satu prinsip demokrasi yang

lahir dari gerakan reformasi Katolik pada abad ke-16. Semua negara di dunia ini,

dalam hal pengaruh terhadap kehidupan politik, dapat ditempatkan pada

9 Barbara Freyer Stowasser, ‚Agama dan Perkembangan Politik: Antara Ibnu Khaldun dan

Machieveli‛, Bagian Pertama, Ulumul Qur’an No. 3, Vol. V, Tahun 1994, 89.

10 Ini pendapat Donald Eugene Smith, dikutip dari Zainuddin Maliki, ‚Menatap Masa Depan

(15)

6

titik di antara kedua kutub ini, lebih dekat ke ciri negara teokrasi atau lebih dekat

ke ciri negara sekuler.

Setidaknya ada tiga tipologi dalam kalangan pemerhati dan pemikir Islam

mengenai pemerintahan Islam, khususnya dalam relasi agama dan negara.

Pertama, Islam adalah agama sekaligus negara (di>n wa dawlah). Kelompok ini

memandang bahwa Islam dan negara adalah dua entitas yang menyatu.

Hubungan Islam dan negara adalah hubungan organik, yaitu negara berdasarkan

syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau pemegang

kekuasaan tertinggi. Tokoh yang mengusung pemikiran ini antara lain; Rashi>d

Rid}a> (1865-1935), Sayyid Qut}b (1906-1966), Abu> al-A’la> al-Maudu>di

(1903-1979) dan di Indonesia Muhammad Nathir. Kedua, tipologi sekuler, yaitu

kebalikan dari yang pertama. Menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak

berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara

pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama

murni, bukan negara. Pemikir yang termasuk dalam tipologi ini adalah ‘Ali> ‘Abd

al-Ra>ziq (1888-1966), A. Luthfi al-Sayyid (1872-1963). Dan tipologi yang

terakhir adalah tipologi moderat, tipologi ini menolak klaim ekstrem bahwa

Islam adalah agama yang lengkap, yang mengatur semua urusan, termasuk politik

dan urusan negara, akan tetapi juga menolak klaim ekstrem yang kedua yang

melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan negara. Tipologi ini

memandang kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik

dan pemerintahan tertentu, dalam Islam terdapat prinsip moral atau etika dalam

(16)

7

bebas memilih sistem manapun yang terbaik. Diantara tokoh-tokohnya adalah;

Muhammad Husein Haikal (lahir 1888) dan Muhammad ‘Abduh (1862-1905).11

Perbedaan wacana tentang relasi agama dan negara di kalangan para

pemikir Islam bisa dilihat dari dua faktor yang mempengaruhinya, intern dan

ekstren. Faktor intern berasal dari pemahaman seseorang tentang ajaran-ajaran

Islam itu sendiri, sedangkan faktor ekstern berasal dari kondisi lingkungan,

sosial, budaya, politik, dan tingkat peradaban dimana tokoh tersebut hidup dan

mengembangkan cara berfikirnya. Baik faktor intern maupun ekstern, setidaknya

saling tarik-menarik dalam mempengaruhi konstruk pemikiran seseorang,

terutama dalam kaitannya tentang wacana relasi agama dan negara.

Terkait dengan wacana tersebut, penulis ingin memaparkan konstruk

pemikiran kedua tokoh tentang relasi agama dan negara yang diusung oleh

Syaikh Taqiyyudin al-Nabha>ni> (1909-1979) dengan Zainal Abidin Ahmad

(1911-1983). Penulis tertarik untuk mengusung kedua tokoh tersebut, karena

kedua-keduanya sangat konsen dalam masalah-masalah ketatanegaraan, terutama dalam

hal relasi agama dan negara, yang bisa ditemukan dalam berbagai karya tulisnya,

disamping itu keduanya juga aktif dalam gerakan politik di negaranya

masing-masing. Faktor lingkungan, kondisi sosial, budaya, politik dan budaya kiranya

juga sangat berpengaruh dalam mengkonstruk pemikiran keduanya.

Kondisi sosio-politik Palestina, dimana al-Nabhani lahir dan tumbuh saat

itu adalah merupakan negara jajahan Inggris yang kemudian diberikan negara

tersebut kepada bangsa Israel, sehingga Palestina yang dahulunya merupakan

jajahan Inggris berubah menjadi negara jajahan Israel. Hal ini yang kemudian

(17)

8

banyak mempengaruhi al-Nabha>ni> dalam beberapa aktifitas politiknya, yang di

kemudian hari dia mendirikan sebuah partai Hizb Tah}ri>r (HT), yang pada

mulanya bertujuan untuk memerdekakan Palestina dari penjajahan bangsa

Israel.12

Kondisi negara Palestina di bawah jajahan Barat telah menimbulkan sikap

non-kompromis dan anti Barat pada diri al-Nabha>ni, dia menilai bahwa akar

permasalahan dari keterpurukan umat saat ini adalah hegemoni Barat terhadap

dunia Islam dan penerapan sistem Barat terhadap negara-negara mayoritas

muslim. Al-Nabha>ni beserta para loyalisnya menyerukan kepada umat Islam

untuk menolak konsep, nasionalisme, trias politika, kedaulatan rakyat, sistem

sekular dan konsep politik lain yang bertentangan dengan syari’at Islam.13

Penerapan syari’at Islam secara total, menurut al-Nabha>ni> adalah solusi atas

problematika umat Islam saat ini.

Penerapan syariat Islam secara kaffa>h tidak mungkin akan terealisasikan

melalui kesadaran sosial masyarakat saja, terbentuknya sebuah tatanan

pemerintahan Islam adalah satu-satunya solusi bagi penerapan syariat Islam

tersebut. Al-Nabha>ni> berpendapat bahwa generasi setelah Rasulullah adalah

bentuk ideal dari sebuah tatanan negara Islam yang patut ditiru untuk

mengeluarkan umat Islam dari keterpurukan. Dari sinilah, kemudian dia

mempunyai konstruk pemikiran tentang berdirinya sebuah tatanan dunia baru di

bawah sistem khilafah sebagai respon dari hegemoni Barat atas dunia Islam.14

(18)

9

Lain halnya dengan Zainal Abidin Ahmad yang lahir di Indonesia, dimana

pada saat itu Indonesi baru memperoleh kemerdekaannya dari penjajah. Indonesia

sebagai negara yang merdekaa saat itu sedang mencari jati dirinya. Berbagai

forum dan diskusi hangat mempersoalkan tentang konstitusi Indonesia. Kondisi

ini yang kemudian banyak mempengaruhi konstruk pemikiran Zaenal Abidin

Ahmad dalam berbagai karya tulisnya, selain itu dia aktif dalam kepengurusan

partai Masyumi yang saat itu giat memperjuangkan pemerintahan Indonesia yang

berdasarkan atas syariat Islam atau pemberlakuan syariat Islam dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks keindonesiaan, terutama pada awal-awal kemerdekaan

hingga tahun 1970-an, umat Islam, terutama para sarjanawan muslim menerima

sistem demokrasi sebagai model pemerintahan Indonesia.Hanya yang menjadi

perdebatan diantara para sarjana muslim saat itu adalah, demokrasi seperti apa

yang akan dipraktekkan di Indonesia. Zaenal Abidin Ahmad adalah salah satu

pendukung model Negara Demokrasi Islam bersama M. Nasir. Sikap Zaenal

Abidin Ahmad terhadap konstruk negara Islam lebih bersifat substanstif dari

pada hanya formalistik belaka. Sehingga walaupun, dalam kenyataannya

demokarasi adalah produk Barat, tapi hal tersebut tidak menjadi hambatan untuk

diterapkannya syariat Islam.

Pemikiran kedua tokoh sezaman namun berbeda tempat tentang

konstruksi Negara Islam, mendorong penulis untuk memilih judul: Relasi Agama

(19)

10

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang

permasalahan, maka fokus kajian penelitian dan batasan masalah yang diteliti

adalah:

1. Konsep pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad

tentang relasi agama dan negara, dimana banyak dipengaruhi oleh kondisi

sosial-politik mereka hidup, dan juga kapasitas dan latar belakang

keilmuan yang mereka kuasai.

2. Persamaan dan perbedaan pemikiran Taqiyyudin al-Nabhani dan Zaenal

Abidin Ahmad tentang relasi agama dan negara.

Melalui eksplanasi yang mencoba menghubungkan keduanya akan

diperoleh seperangkat teori dan pernyataan ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan. Maka dengan cara ini tujuan penelitian dapat dicapai

secara komprehensif.

C. Rumusan Masalah

Beberapa pertanyaan yang diajukan untuk dijawab melalui penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pemikiran Taqiyyudin al-Nabha>ni> dan Zaenal Abidin

Ahmad tentang hubungan agama dan negara?

2. Apa persamaan dan perbedan pemikiran Taqiyyudin al-Nabha>ni> dan

(20)

11

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendiskripsikan atau mengungkapkan pemikiran Taqiyyudi>n al-Nabha>ni>

dan Zaenal Abidin Ahmad tentang relasi agama dan negara.

2. Menganalisis dan menjelaskan apa persamaan dan perbedaan pemikiran

Taqiyyudi>n al-Nabha>ni> dan Zaenal Abidin Ahmad mengenai relasi agama

dan negara.

E. Kegunaan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian ini

bermanfaat dan penting baik secara teoritis (ilmiah) maupun praktis (amaliah).

Diantara manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat secara teoritis.

Secara teoritis, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami pemikiran

Taqiyyudi>n an-Nabha>ni> dan Zaenal Abidin Ahmad tentang konsep Negara Islam

yang tertuang dalam buku-buku yang mereka tulis. Tidak hanya berhenti pada

konsep Negara Islam menurut kedua tokoh tersebut, tetapi lebih jauh untuk

menganalisa dan mengetahui seberapa jauh pengaruh pemikiran kedua tokoh

tersebut dalam dunia Islam, baik pengaruh tersebut bersifat lokal, nasional dan

bahkan internasional. Dengan memahami pemikiran kedua tokoh ini tentang

konsep negara Islam, diharapkan mampu menambah dan memperluas wawasan

(21)

12

2. Manfaat secara praktis

Diskursus tentang Negara Islam yang dikemukakan oleh banyak pemikir

Islam saat ini menarik untuk dikaji dan dibahas secara intens. Karena meskipun

sama-sama memakai istilah yang sama tapi ada perbedaan yang sangat signifikan

dalam pengertian dan aktualisasinya. Al-Nabha>ni> lebih menekankan pada

formalisasi Islam dalam negara, dalam artian negara Islam yang dimaksud adalah

negara Madinah yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan khulafa>’ rashidu>n.

Sedangkan Zaenal Abidin Ahmad lebih menekankan pada penerapan Islam

12ubstantive dalam negara Islam, dalam artian tidak harus sam persis dengan

sistem pemerintahan pada zaman Nabi dan khulafa>’ rashidu>n, tapi yang lebih

penting adalah prinsip-prinsip nilai harus ada dalam suatu negara, maka sudah

bisa dikatakan dengan Negara Islam.

Dengan memahami dan mengerti pemikiran kedua tokoh tersebut,

kemudian dilanjutkan dengan mengkomparasikannya, diharapkan mampu untuk

mengambil nilai-nilai dari pemikiran kedua pemikiran tokoh tersebut, dengan

tanpa mengesampingkan sisi konekstual saat ini, dan pada akhirnya bisa

diterapkan pada pemerintahan Negara Islam.

F. Penelitian Terdahulu

Sampai sejauh ini, ada beberapa tulisan atau dokumentasi lainnya tentang

(22)

13

Disertasi Syafiuddin pada program Pascasarjana IAIN Syarif

Hadayatullah Jakarta (UIN Jakarta) pada tahun 2000 yang kemudian dibukukan

dengan judul ‚Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun‛. Dalam

penelitiannya tersebut, Syaifudin mengungkapkan bentuk negara yang

berdasarkan agama (siyasah diniyah) menurut Ibnu Khaldun beserta aspek-aspek

ajaran Islam yang berperan pada sistem kenegaraan yang dimaksud dan prinsip,

sistem beserta mekanisme pemerintahan dalam Islam menurut Ibnu Khaldun.

Disertasi M. Hasbi Amiruddin pada program Pascasarjana IAIN

Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 1996 yang kemudian dibukukan dengan judul

‚Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman‛. Dalam penelitiannya tersebut,

M. Hasbi Amiruddin membahas pemikiran Fazlur Rahman yang berkaitan

dengan bentuk negara dan pemerintahan, tujuan negara, kedudukan kepala negara

dan wewenangnya, serta soal kedaulatan.

Tesis Ari Arkanudin pada program Pascasarjana UIN Sunan Kaliajaga,

Yogyakarta pada tahun 2014 yang berujudul ‚Studi Komparasi Konsep

Kepemimpinan Antara Imamah (Shiah Imamiyyah) dan Khilafah (Hizb Tahrir).‛

Dalam penelitiannya, Ari Arkanudin memaparkan tentang pandangan Shi’ah

Imamiyyah dan Hizb Tahrir mengenai Negara, konsep kepemimpinan Shi’ah

Imamiyyah dengan imamnya dan Hizb Tahrir dengan khalifahnya, beserta

perbandingan konsep kepemimpinan Shi’ah Imamiyyah dengan imam dan Hizb

Tahrir dengan khalifahnya ditinjau dari beberapa aspek.

Tesis Samud pada program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati, Cirebon

pada tahun 2011 yang berjudul ‚Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Tentang

(23)

14

secara terpisah antara konsep Islam pada satu sisi dan Negara di sisi yang lain

menurut KH. Abdurrahman Wahid. Setelah memaparkan dan menjelaskan antara

Islam dan Negara menurut KH. Abdurrahman Wahid, Samud mendeskripsikan

implementasi dan implikasi dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid.

Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, dalam penelitian ini,

penulis lebih cenderung untuk meneliti bagaimana sebuah pemikiran tokoh

tentang Negara Islam terkonstruk berdasarkan elemen-elemen yang

mempengaruhi pikirannya. Dalam hal ini, Taqiyyudin al-Nabha>ni> dan Zaenal

Abidin Ahmad adalah kedua tokoh yang mempunyai konsep tentang bangun

Negara Islam yang hidup sezaman tapi berbeda tempat. Sehingga tidak bisa

dipungkiri ada persamaan di satu sisi dan perbedaan pada sisi yang lain.

G. Kerangka Teoritik

Di dalam memahami konsep pemikiran tokoh yang sangat luas, penulis

menggunakan teori yang dipakai sebagai pembatas dan panduan dalam hal

melakukan penelitian terhadap tokoh yang akan diteliti. Penulis memandang

bahwa dalam penelitian tentang konstruk pemikiran relasi agama dan negara

dalam pandangan Taqiyyudin al-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad, teori yang

relevan adalah teori tiga dimensi John Obert Voll.

Dalam mengkaji pemikiran seorang tokoh, Voll menggunakan teori tiga

dimensi yang terdiri dari; pendekatan individual, pendekatan ini berusaha

menjelaskan tentang kondisi tokoh yang diteliti dilihat dari sudut latar belakang

akademis atau pendidikan tokoh. Kedua, pendekatan kondisi lingkungan (local

(24)

15

tertentu yang dialami oleh tokoh bisa jadi tidak ditemukan di daerah lain.

Sehingga kondisi seperti ini sedikit banyak berpengaruh pada konstruksi

pemikiran tokoh. Dan yang terakhir adalah kondisi global, artinya bahwa

keadaan global atau dunia yang lebih luas dari pada kondisi lingkungan dimana

tokoh hidup sangat berpengaruh dalam konstruksi pemikirannya.15

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian karya ini adalah

pendekatan kritis, sosio-kultural dan fenomenologi. Pendekatan

historis-kritis dan sosio-kultural dimaksudkan untuk mendeskripsikan masa lalu dan

sejauh mana dimensi sosial budaya pada masanya turut mempengaruhi

perkembangan pemikiran Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad.

Sedangkan pendekatan fenomenologi diharapkan dapat mengungkapkan

pemikiran dan kecenderungan arah pemikiran Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal

Abidin Ahmad.

2. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis dan komparatif.

Penelitian ini berusaha memaparkan bangunan Islam dan kenegaraan secara

umum, kemudian mendeskripsikan kerangka pemikiran tokoh yang diteliti yaitu

Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad melalui data yang diperoleh,

kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang substansi pemikiran kedua

tokoh tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Kemudian

(25)

16

menjelaskan tentang bagaimana dan mengapa muncul karakteristik pemikiran

serta persamaan dan perbedaan kedua tokoh ini.

3. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian, penulis mengumpulkan data-data, baik data

primer maupun skunder, dalam hal ini dilakukan dengan membaca, mencatat dan

mengutip dari hal-hal yang diteliti dari berbagai sumber yang ada:

a. Sumber / Bahan Primer

Yaitu buku-buku yang ditulis oleh kedua tokoh yang dijadikan obyek

penelitian. Pertama adalah buku-buku karanga Taqiyyudin an-Nabhani yang

berkaitan dengan Negara Islam, antara lain: Al-Takattu al-Hizb, Nizm al-Hukm

fi al-Islam, Nazarat Siyasiyah li Hizb Tahrir, al-Khilafah, Nuqtat al-Intilaq,

Mafahim Siyasiyah li Hizb Tahrir, al-Daulah al-Islamiyyah. Kedua adalah

buku-buku yang ditulis oleh Zaenal Abidin Ahmad, antara lain: Membentuk Negara

Islam dan Ilmu Politik Islam.

b. Sumber / Bahan Sekunder

Yaitu buku-buku yang ditulis oleh para pemikir Islam yang sangat

kompeten tentang Negara Islam dan sangat bermanfaat untuk dijadikan

pembanding sekaligus pelengkap dari karya-karya rujukan utama. Diantara

referensi pelengkap ini adalah karya Abu Hasan al-Mawardi yang berjudul

al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah wa al-Wila>yat al-Di>niyyah dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang

berjudul al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm.

(26)

17

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan telaah kepustakaan (library research). Telaah kepustakaan dilakukan

dengan cara membaca karya-karya Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal Abidin

Ahmad yang membahas tentang konsep Negara Islam. Selain karya-karya yang

ditulis oleh kedua tokoh tersebut, karya-karya lain yang ditulis oleh pemikir

Islam maupun non-muslim sangat berharga dan menjadi bahan masukan yang

sangat penting dalam penelitian ini, ditambah dengan sumber-sumber tambahan

yang tidak kalah berharganya.

5. Analisis Data

Analisis penelitian dilakukan dengan menelaah sumber-sumber

kepustakaan, sumber primer maupun sumber-sumber lain yang mendukung.

Metode analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga pada akhirnya

dapat dirumuskan suatu hipotesis. Analisa data terdiri atas pengujian,

pengkategorian, ataupun pengkombinasian kembali buku-buku untuk

menunjukkan preposisi awal suatu penelitian. Data yang telah terkumpul akan

dianalisis yang bersifat kualitatif, yaitu menjabarkan dalam bentuk kalimat

secara jelas, sistematis sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan lengkap

dalam suatu kesimpulan penelitian ini.

(27)

18

Sistematika pembahasan penelitian ini disusun menjadi lima bab dengan

perincian sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan, merupakan bagian awal dari penelitian yang

dapat dijadikan sebagai awalan dalam memahami keseluruhan isi dari

pembahasan. Bab ini berisi beberapa sub bagian meliputi; latar belakang

permasalahan, fokus kajian dan kegunaan, kajian terdahulu, metodologi,

kerangka teoritik dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, mengulas tentang gambaran umum tentang relasi agama dan

negara. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang konsep dan

sistem relasi agama dan negara saat ini. Bab ini terbagi atas tiga sub, pertama,

membahas tentang definisi Negara Islam. Hal ini diperlukan untuk mengetahui

apa itu Negara Islam. Kedua, Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam.

Ketiga, membahas hubungan Negara dan Agama. Pemaparan ini perlu untuk

memahami akibat hukum yang timbul dari terbentuknya Negara Islam dalam

konteks dunia modern sekarang ini.

Bab ketiga, tentang biografi Taqiyyudin an-Nabhani yang mengulas

tentang riwayat hidup dan pengalaman serta aktifitas keilmuan Taqiyyudin

an-Nabhani dari segi latar belakang sosial dan pendidikannya, dan dilanjutkan

pemaparan pemikirannya mengenai Negara Islam. Kemudian dilanjutkan

pemaparan tentang biografi Zaenal Abidin Ahmad yang juga mengulas tentang

riwayat hidup dan pengalaman serta aktivitas keilmuan Zaenal Abidin Ahmad

(28)

19

Bab keempat, memuat tipologi / paradigma pemikiran Taqiyyudin

an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad yang berkenaan dengan sub-sub bahasan

tentang relasi agama dan negara yang meliputi; agama dan kekuasaan politik

serta agama dan partisipasi politik rakyat.

Bab kelima, analisa penulis tentang persamaan dan perbedaan pemikiran

Taqiyyudi>n al-Nabhani dan Zainal Abidin Ahmad tentang relasi agama dan

negara. Dilanjutkan dengan kesimpulan penulis, tentang pemikiran yang lebih

relevan dan kompatibel diantara keduanya.

Bab keenam, penutup, merupakan bagian yang menguraikan temuan dari

(29)

20

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA

A. Definisi Agama Dan Negara Dalam Islam

Secara etimologi, terdapat beberapa pendapat tentang arti agama. Kata

agama, berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata: ‚a‛ berarti

tidak dan ‚gama‛ berarti kacau, jika digabungkan berarti tidak kacau. Dalam

Kamus Bahasa Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata

keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta

tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya.1

Kata agama dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan ke dalam

bahasa Arab dengan kata di>n,2 Selain disebut dengan kata di>n, agama juga sering

diartikan dengan kata shara’, syariat (millah). Dari berbagai macam definisi

agama secara etimologi, Harun Nasution mengumpulkan delapan definisi agama

sebagai berikut:

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang

harus dipatuhi.

2. Pengakuan terhadap kekuatan gaib yang menguasai dunia.

1

(30)

21

3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan

pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi

perbuatan-perbuatan manusia.

4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup

tertentu.

5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.

6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber

pada suatu kekuatan gaib.

7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan

perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam

sekitar manusia.

8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang

Rasul.3

Adapun istilah negara dalam bahasa asing diterjemahkan dari kata-kata

asing ‚Staat ‚ (bahasa Belanda dan Jerman), ‚State‛ (bahasa Inggris) dan ‚Etat‛

(bahasa Prancis). Istilah itu mula-mula digunakan di Eropa Barat pada abad

ke-15, dan di kalangan umum kata-kata tersebut dialihkan dari bahasa Latin ‚status‛

atau ‚statum‛.4

Secara terminologi, negara menurut Hasbullah Bakry adalah suatu teritori

(wilayah) yang ada rakyatnya sebagai penduduk tetap, dan diantara mereka ada

yang dianggap sebagai pemimpin atau pemerintah bagi mereka.5 Sedangkan

3

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 2-3. 4

F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Putra A. Bardin, 1999), 90. 5

(31)

22

menurut Miriam Budiardjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya

diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhasil ketaatan dari warga

negaranya pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol)

monopolitis dari kekuasaan yang sah.6 Dan ditinjau dari hukum tatanegara,

negara adalah suatu organisasi kekuasaan, yang merupakan tata kerja dari

alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan yang melukiskan

hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat

perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.7

Dengan begitu, maka negara tidaklah terbentuk dengan sendirinya, tetapi

diadakan oleh manusia dan menurut kemauan manusia guna memperoleh tujuan

tertentu. Maka dalam hal ini negara tidak ubahnya sebuah alat, dan alat itu

berupa organisasi bersama dari elemen masayarakat yang bersifat tetap.

Timbulnya sebuah negara merupakan gejala sosial yang bersumber dari sejumlah

besar masyarakat yang hidup di kawasan tertentu menggunakan suatu sistem

hukum yang telah disepakati dan dikendalikan oleh kekuasaan. Negara terbentuk

dengan syarat-syarat tertentu yaitu; mempunyai teritori (daerah) tertentu, rakyat

tertentu dan mempunyai pemerintahan yang dijalankan dengan sistem tertentu.

Terkait dengan asal mula negara, ada beberapa teori tentang terbentuknya

sebuah negara. Aristoteles berpendapat bahwa negara sebagai gabungan dari

bagian-bagian, dimulai dari individu, keluarga, kampung dan negara. Manusia

adalah makhluk sosial, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dia membutuhkan

(32)

23

antar beberapa keluarga yang bertujuan lebih dari sekedar memenuhi keperluan

hidup sehari-hari, terjadilah kampung dan gabungan dari kampung ini akan

membentuk negara.8

Hal serupa tentang terbentuknya negara juga diungkapkan al-Farabi, dia

berpendapat bahwa sifat keistimewaan manusia, antara lain homo socius (suka

bergaul). Ini merupakan salah satu dorongan terwujudnya suatu masyarakat.

Manusia berkumpul satu dengan yang lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan

hidup mereka, di dalam satu masyarakat. Dan ini merupakan bibit timbulnya

suatu negara.9 Jadi negara terbentuknya didorong oleh rasa saling membutuhkan

antar individu yang hidup dalam sebuah komunitas, semakin lama komunitas

tersebut membesar dan kebutuhan manusia juga semakin kompleks, dan pada

akhirnya terbentuklah negara.

Dalam Islam, perdebatan yang hampir tidak dapat ditemui titik temunya

adalah definisi tentang negara Islam. Hal ini karena, al-Quran dan al-H}adi>th tidak

secara tegas dan gamblang mendefisinikan tentang negara Islam. Dalam bahasa

Arab kata negara mempunyai berbagai makna, diantaranya adalaha dawlah.

Daulah berasal dari bahasa Arab dawlat yang asal katanya dari

da>la-yadu>lu-dawlatan yang mempunyai arti berputar, bergilir dan beredar. Dapat diartikan

pada sebuah komunitas sosial yang menetap di suatu tempat yang diatur oleh

suatu pemerintahan untuk suatu kepentingan dan kemaslahatan tertentu. 10 Kata

8 Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), 1. 9 Ibid., 2.

(33)

24

dawlah sendiri dalam Al-Qur’an disebutkan sekali,11 dan berkaitan dengan

pembagian harta rampasan kepada umat Islam yang diraihnya dalam konfrontasi

dengan Banu Nadhir di Madiah.12

Selain dawlah, negara juga bisa diartikan dengan khila>fah. Al-Maudu>di

mendefinisikan khila>fah sebagai kekuasaan yang diberikan oleh Allah kepada

manusia untuk memakmurkan bumi, sehingga manusia di sini hanya lah yang

menerima mandat dan Allah adalah pemberi mandat.13 Berkenaan dengan definisi

yang diberikan, Al-Maududi menukil enam ayat yang mendukung definisi

khila>fah tersebut (2:30, 7:10, 69, 74, 129, 15: 65, 10: 65).

Karena negara identik dengan kekuasaan seorang pemimpin, maka

pengertian kekuasaan pemimpin sebuah negara bisa diartikan dengan ima>mah.

Ima>mah dalam teologi Shi>’ah merupakan usul madzhab utama yang membedakan

dengan teologi kaum Sunni. Secara bahasa Ima>mah berarti depan, dan imam

adalah orang yang diikuti oleh seluruh manusia dan bisa berarti pemimpin atau

selainnya, baik itu memberikan petunjuk ataupun menyesatkan manusia. Maka

dari itu imam mempunyai padanan kata dengan khalifah, dia adalah pemimpin

agung bagi seluruh manusia. Selain itu, imam bisa berarti orang yang

memperbaiki suatu perkara dan bisa juga diartikan sebagai pemimpin pasukan.

Sedangkan kata imam di dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai pemimpin bagi

(34)

25

umat Islam, yaitu rasulullah yang berperan sebagai pemimpin bagi seluruh

pemimpin di dunia.14

Kemudian negara juga bisa diartikan dengan h}uku>mah, secara etimologi

kata ini berarti pemerintah. Kata tersebut digunakan dalam arti ‚pemerintahan‛

sekitar abad ke-19. Dalam perkembangannya, istilah h}uku>mah dikaitkan dengan

teori Sayyid Qutb, yakni teori h}akimiyyah.15

B. Definisi Negara Islam Menurut Sarjana Muslim

Para sarjana dan ilmuwan muslim pada masa lalu telah mendefinisikan

negara Islam. Untuk mendapatkan gambaran tentang definisi tersebut, penulis

mengklasifikasikan ke dalam dua bagian berdasarkan periodesasi pemerintahan

muslim, yaitu masa klasik dan pertengahan dengan masa kontemporer. Beberapa

sarjana muslim pada masa klasik dan pertengahan yang menuangkan gagasan dan

teori tentang politik dan negara Islam dalam karya tulis adalah Syihab al-Din

Ahmad ibn Abi> Ra>bi’ (w. 272 H), al-Farabi (w. 257 H/870 M), Ma>wardi (364-450

H/975-1059 M), al- Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), Ibn al-Taimiyyah (l. 661

H/1263 M) dan Ibn al-Khaldu>n (l. 732 H/1332 M).16

Ibn Abi Rabi’ (w. 272 H) mengklasifikasi manusia menjadi dua bagian,

umum dan khusus. Masyarakat umum adalah kebanyakan manusia sedangkan

masyarakat khusus adalah mereka yang diberi amanah dan tugas untuk menjadi

14

‘Ali> Ah}mad al-Sa>lu>s, ‘Aqidah al-Ima>mah ‘inda al-Shi>’ah al-Ithna> ‘Ashriyyah (Qatar: Da>r

al-I’tis}a>m, 1987), 8.

15

Hatim Gazali, ‚Makna Negara Dalam Islam‛, dalam Tedi Kholiludin (Ed), Runtuhnya Negara Tuhan Membongkar Otoritarianisme dalam Wacana Politik Islam (Semarang: INSEDE, 2005), 113-114.

(35)

26

pemimpin dalam masyarakat.17 Dan sudah menjadi ketetapan Tuhan, bahwa

sebagian manusia dijadikan pemimpin atas yang lainnya dengan memberikan

kepada mereka beberapa kelebihan di atas yang lainnya, sehingga dengan

kelebihannya tersebut mampu untuk memimpin masyarakat,18 dan mewajibkan

atas rakyat yang dipimpin untuk mentaati pemimpinnya setelah ketaatan

terhadap Allah dan utusanNya.19

Ibnu Abi Rabi’ melihat bahwa manusia adalah makhluk sosial dan plural.

Sebagai makhuk sosial manusia saling membutuhkan dalam memenuhi

kebutuhan hidup dan plural dalam arti manusia diciptakan dalam berbagai ragam

corak pemikiran dan kreasi. Ketika manusia dari berbagai macam profesi dan

latar belakang menetap dalam sebuah kota, maka untuk menjaga keteraturan dan

ketertiban dalam kehidupan diperlukan sebuah pemerintahan yang dapat

menciptakan masyarakat sejahtera, aman dan jauh dari kejahatan yang datang

dari berbagai arah.20

Melihat dari fakta tersebut, Ibn Abi> Rabi’ berpendapat bahwa merupakan

sebuah keharusan untuk membentuk sebuah tatanan pemerintahan yang

diperintah oleh manusia-manusia pilihan, dan karena banyaknya pemimpin juga

tidak bagus untuk kestabilan sebuah pemerintahan, maka untuk membentuk

sebuah pemerintahan yang baik haruslah dipimpin oleh seorang pemimpin saja

dan dibantu oleh para pembantu-pembantu yang tunduk dan patuh pada

(36)

27

pemimpin tersebut.21 Sehingga pemerintahan yang dimaksud oleh Ibn Abi Rabi’

adalah sebuah pemerintahan dengan sistem monarkhi (kerajaan). Hal ini sangat

beralasan, karena karya tulis ini dipersembahkan kepada khalifah Mu’tas}im

billah. Selanjutnya, sistem monarkhi yang dibentuk itu harus memiliki empat

rukun atau pilar sebagai syarat berdirinya sebuah tatanan pemerintahan, raja,

rakyat, adil dan sistem pemerintahan.22

Seperti halnya Ibn Abi Rabi’, Al-Farabi berpendapat bahwa manusia

adalah makhluk sosial dan majemuk yang terdiri dari berbagai macam latar

belakang yang tinggal dalam suatu tempat dan membentuk komunitas tersendiri.

Komunitas atau masyarakat menurut al-Farabi ada tiga; masyarakat besar,

masyarakat menengah dan masyarakat kecil. Komunitas besar adalah kumpulan

dari seluruh umat manusia, sedangkan komunitas sedang adalah yang membentuk

umat dan komunitas kecil adalah yang hidup dalam sebuah kota. Ketiga

komunitas tersebut adalah komunitas yang sempurna, dan kumpulan-kumpulan

masyarakat di bawahnya adalah kumpulan yang belum sempurna sampai

tingkatan yang paling kecil yaitu rumah tangga.23 Dan sudah merupakan

konskuensi sebagai makhuk sosial, manusia harus saling tolong-menolong dan

itulah yang disebut dengan kota yang sempurna. Kota yang sempurna

dianalogikan al-Farabi bagaikan tubuh yang sempurna, saling tolong menolong

21 Ibid., 130. 22 Ibid., 131.

(37)

28

dan membantu walaupun badan tersebut tersusun dari anggota badan yang

berbeda-beda, baik dari segi ukuran maupun fungsinya.24

Keragaman warga negara ini yang tidak memungkin bahwa semua

manusia mampu untuk menjadi pemimpin, dan pemimpin dibutuhkan untuk

mengatur keteraturan sebuah negara. Dalam hal ini, Plato membagi warga negara

ke dalam tiga tingkat atau kelas. Pertama, kelas tertinggi yang terdiri dari

pemimpin negeri yang mempunyai otoritas atau kewenangan memerintah serta

mengelola negara, kedua terdiri dari angkatan bersenjata yang bertanggungjawab

atas keamanan dan keselamtan negara, baik terhadap rongrongan dalam negeri

maupun terhadap serangan dari luar dan kelas yang ketiga, dan yang terendah,

terdiri dari para pandai besi, pedagang dan petani, atau tegasnya rakyat jelata

yang bertugas memproduksi segala kebutuhan materi yang diperlukan oleh

negara.25 Dari klasifikasi ini, maka tidak semua warga negara memiliki

kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara, hanya warga negara

yang berasal dari kalangan atas atau kelas tertinggi yang dapat menjadi kepala

negara.26

Seorang pemimpin menurut Al-Fara>bi adalah yang mampu memberikan

bimbingan dan ajaran kepada yang lain. Singkatnya mempunyai potensi dan

kapasitas untuk menggerakkan orang lain, sedangkan yang memiliki potensi

pribadi tanpa mempunyai kapasitas untuk menggerakkan orang lain maka dia

(38)

29

tidak bisa dijadikan seorang pemimpin.27 Secara terperinci ada dua belas kategori

seseorang bisa dijadikan seorang pemimpin: lengkap anggota badannya, baik

daya pemahamannya, tinggi intelektualitasnya, pandai mengemukakan

pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya, pecinta pendidikan dan gemar

mengajar, tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita,

pecinta kejujuran dan benci kebohongan, berjiwa besar dan berbudi luhur, tidak

memandang penting kekayaan dan kesenang-kesenangan duniawi yang lain,

pecinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim, tanggap dan tidak sukar diajak

menegakkan keadilan dan sebaliknya sukar untuk melakukan atau menyetujui

tinjakan keji dan kotor dan yang terakhir adalah kuat pendirian terhadap hal-hal

yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan

penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.28

Al-Fara>bi mengklasifikasikan negara ke dalam empat kategori

berdasarkan sistem pemerintahan yang dipakai, pertama, negara Jahiliyah yaitu

negara yang tidak mampu mengarahkan rakyatnya pada kebahagiaan, kedua,

negara Fasiq yaitu negara yang sebenarnya tahu dan mampu mengarahkan

rakyatnya pada kebahagiaan, namun mereka tidak mengakui dan tidak

melakukannya, tetapi justru memainkan permainan politik kotor yang pada

akhirnya menjerumuskan mereka pada martabat rendah, ketiga, negara

mubaddalah adalah negara yang secara dzahir melakukan tindakan dan kebijakan

yang membantu rakyat, padahal yang terjadi sesungguhnya sangat merugikan

27 Abu Nas}r Al-Fara>bi, al-Siya>sah al-Madaniyah, 87.

(39)

30

rakyat, dan keempat, negara sesat adalah negara yang tidak membawa rakyat

pada kedamaian, tetapi pada pertentangan, disintegrasi dan kehancuran.29

Urgensi sebuah negara dengan tata pemerintahan yang mengatur dan

menata kehidupan beragama dan bernegara juga dikemukakan oleh Abu al-Hasan

‘Ali ibn Muhammad ibn H}abi>b Al-Ma>wardi. Al-Ma>wardi berpendapat bahwa

mengangkat seorang pemimpin untuk mengatur dan mengelola negara adalah

sesuatu yang wajib dilaksanakan untuk menata kehidupan beragama dan

bernegara. Hal ini tiada lain bertujuan untuk memberikan tatanan masyarakat

yang damai dan memberikan rasa aman kepada masyrakat dan menghindari

kerusakan.30Dan pemimpin itu adalah pemimpin yang harus ditaati oleh seluruh

elemen masyarakat.31

Untuk menyeleksi seorang pemimpin diperlukan dua hal, pertama, Ahl

al-Ikhtiya>r atau mereka yang berwenang untuk memilih imam (pemimpin) bagi

umat. Ahl Ikhtiyar tidak semua orang bisa memilih atau berwenang untuk

memilih imam, menurut al-Mawardi ada tiga syarat seseorang berwenang untuk

memilih imam; memiliki sikap adil, memiliki ilmu pengetahuan yang

memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat

sebagai imam dan memiliki wawasan yang luas serta kearifan yang

memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan

29 Jubair Situmorang, Model Pemikiran Dan Penelitian Politik Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 151.

(40)

31

yang paling mampu mengelola dan mengatur kepentingan umat diantara

orang-orang yang memenuhi syarat untuk posisi dan jabatan itu.32

Kedua, Ahl al Imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan sebagai

imam (pemimpin). Al-Mawardi berpendapat bahwa mereka yang berhak untuk

mendapatkan posisi imam harus memenuhi tujuh syarat: (1) Sikap adil dengan

segala persyaratannya; (2) Ilmu yang memadai untuk berijtihad; (3) Sehat

pendengaran, penglihatan dan lisannya; (4) Utuh anggota-anggota tubuhnya; (5)

Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola

kepentingan umum; (6) Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan

mengusir musuh; (7) Keturunan Quraisy. Sedangkan dalam hal pengangkatan

seorang imam ada dua cara, pertama, dengan cara pemilihan oleh Ahl al ‘Aqd wa

al-Hall. Mereka yang disebut dengan Ahl al-Ikhtiyar, kedua, melalui penunjukan

atau wasiat oleh imam sebelumnya. Kalau pengangkatan melalui pemilihan

terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang jumlah peserta dalam

pemilihan itu.33

Al-Ghazali (1058-1111) sebagaimana para sarjana muslim sebelumnya

bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu

dengan yang lainya, dan hanya dengan terpenuhi kebutuhan dasar manusia maka

ketertiban dunia itu akan terwujud. Pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan

pembagian kerja dan profesi pada setiap level kehidupan manusia, terutama pada

bidang pertanian untuk meningkatkan persediaan pangan, tekstil untuk membuat

(41)

32

pakaian dan arsitektur untuk membuat bangunan.34 Dan pada gilirannya

profesi-profesi diatas membutuhkan mesin untuk mempermudah proses produksi

barang-barang diatas, kemudian terciptalah profesi dalam bidang pembuatan alat-alat

produksi. Untuk itu semua, maka diperlukan kerjasama dan saling membantu

antar sesama manusia. Dan dari sanalah lahir negara karena dorongan kebutuhan

bersama.35

Namun tujuan manusia hidup di dunia ini bukan hanya semata-mata

untuk memenuhi kebutuhan materi dan duniawi saja. Tetapi kehidupan di dunia

adalah sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Sehingga dunia bak

ladang pertanian yang hasilnya kelak akan dipetik dan dipertanggungjawabkan di

akhirat. Atas dasar ini, kewajiban mengangkat seorang pemimpin yang ditaati

dan mampu untuk mendelegasikan tugas-tugas kenegaraan kepada ahlinya bukan

berdasarkan atas pertimbangan rasio belaka tetapi juga berdasarkan syariat. Dari

sini, maka agama dan raja ibarat dua anak kembar, agama adalah sebagai fondasi

sedangkan sultan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah

runtuh, dan suatu fondasi tanpa penjaga akan hilang.36 Maka seorang kepala

negara bukan saja mampu menguasai ilmu perpolitikan dan ketatanegaraan,

tetapi dia juga harus seorang yang mempunyai pengetahuan agama yang luas.

Ibn Taimiyyah yang mempuyai nama lengkap Abu Abbas Ahmad ibn

‘Abd al-Halim ibn ‘Abd al-Salam ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Taimiyyah

(lahir 1263) menuangkan pemikiran politiknya dalam sebuah karya yang berjudul

(42)

33

Al-Siya>sah al-Shar’iyyah fi is}la>h al-Ra>’i wa al-Ra’iyyah (Politik yang

berdasarkan Syari’ah bagi Perbaikan Pengembala dan Gembala). Melalui

karyanya, Ibn Taimiyyah berusaha memberikan kontribusi dalam perbaikan

situasi masyarakat dan mengikis segala kebobrokan, baik moral maupun sosial

sebagai akibat dari berbagai malapetaka yang menimpa umat Islam karena

perang dengan Krusades yang tidak kunjung henti dan serbuan bangsa Tatar.37

Dalam muqaddimahnya Ibn Taimiyyah memberikan mengutip surat

Al-Nisa’ ayat 58 dan 59. Di ayat 58, kata Ibn Taimiyyah ditujukan bagi para

pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya

mereka menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak menerimanya, dan

bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa dan perselisihan antara

anggota masyarakat. Sedangkan pada ayat selanjutnya, atau ayat 59 Al-Nisa’,

ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat kepada pemimpin

mereka setelah ketaatan terhadap Allah dan rasul, dan melakukan segala

perintahnya selama tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat atau perbuatan

yang dilarang agama. Dan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka,

maka dalam mencari penyelesaian kepada Allah (al-Quran) dan rasul (Sunnah).38

Terlihat bahwa Ibn Taimiyyah mengedepankan teks-teks agama dalam berbagai

urusan dan persoalan yang terjadi dalam negara. Pola pemerintahan yang

dimaksud adalah pemerintahan yang integral bukan sekular.

37 Ibid., 82-82.

38 Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn ‘Abd Salam ibn Taimiyyah (tahqiq: ‘Ali ibn Muhammad al

(43)

34

Berbeda dengan para sarjana muslim lainnya, dalam tulisannya, Ibn

Taimiyyah tidak banyak menyinggung tentang kepala negara beserta mekanisme

pengangkatan kepala negara. Selaras dengan surat al-Nisa ayat 58, Ibn

Taimiyyah menekankan kepada para penguasa untuk menyampaikan amanat atau

titipan kepada yang berhak, yang mempunyai dua macam manifestasi; pertama,

dalam penunjukan dan pengangkatan pejabat-pejabat negara dan kedua, dalam

pengelolaan kekayaan negara dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda

dan hak milik rakyat.39

‘Abd al-Rahma>n ibn Muhammad ibn Muhammad ibn H}asan ibn Jabir ibn

Muhammad ibn Ibra>hi>m ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun (lahir 1332) yang lebih

dikenal dengan Ibn Khaldun memberikan konstribusi besar dalam wacana politik

dan ketatanegaraan Islam, yaitu ashabiyyah. Secara etimologi Ashabiyyah

berasal dari kata ‘asaba yang berarti kesukuan atau kelompok solidaritas untuk

menghadapi pihak luar.40 Dapat juga diartikan sebagai sebuah komunitas yang

terbentuk atas dasar kesamaan solidaritas dan semangat kesukuan, ras, bangsa

yang dapat mempersatukan. Sedangkan secara terminologis, seperti yang dikutip

Munawir Sjadzali dari Ibn Khaldun adalah semua orang yang memiliki

kebanggaan atas keturunannya. Rasa saling sayang dan saling haru antar mereka

yang mempunyai hubungan darah dan keluarga merupakan watak alami yang

(44)

35

Dalam politik dan ketatanegaraan ‘as}abiyyah mendorong bagi

terbentuknya sebuah negara dan dinasti. Dan diantara syarat ‘as}abiyyah adalah

terpilihnya seorang pemimpin yang mendapatkan dukungan dari keluarga dan

pengikutnya. Di dalam konsep ‘asabiyyah tidak semua orang bisa jadi pemimpin,

sebab pemimpin diperoleh melalui kemenangan. Oleh karena itu ‘asabiyyah

pemimpin haruslah lebih kuat dari pada ‘asabiyyah-‘asabiyyah yang lainnya

untuk mendapatkan legitimasi kepemimpinan.42 Dan pada akhirnya, tujuan dari

‘as}abiyyah itu adalah kekuasaan,43 karena hanya dengannya manusia dapat

memperoleh kehormatan dan kedudukan di mata manusia selain mampu

memperoleh kepuasan batin bagi dirinya. Maka merupaka hal yang wajar,

kekuasaan selalu diperebutkan, dan semua itu tidak akan terwujud kecuali

dengan ‘as}abiyyah atau solidaritas yang kuat.

Teori ‘as}abiyyah ini yang kemudian dirasionalisasikan oleh Ibn Khaldun

bahwa seorang pemimpin itu haruslah berasal dari kalangan Quraisy, dengan

argument bahwa kaum Quraisy adalah kaum terkemuka dan di zaman dahulu

mereka adalah pemimpin-pemimpin yang sangat terkemukan dan semua bangsa

Arab telah mengakuinya.44

Abu al A’la> Maudu>di (1903-1979) atau yang dikenal dengan

al-Maududi mempunyai konsep ketatanegaraan yang ia tuangkan dalam beberapa

tulisannya. Sebagai orang yang hidup pada masa modern dan dunia Islam

42 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 114. 43 Dalam hal ini Ibn Khaldun berkata: ‚Bahwa kemenangan terdapat di pihak yang mempunyai solidaritas yang lebih kuat, dan anggota-anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati

guna kepentingan bersama.‛ Ibid., 153.

(45)

36

sebagian besar sudah menjadi negara jajahan Barat yang memaksakan

paham-paham Barat ke dalam dunia Islam, salah satunya adalah paham-paham nasionalisme.

Beberapa pokok pikiran al-Maududi dalam beberapa literature yang ia tulis

menunjukkan bahwa negara yang ia cita-citakan tidak jauh berbeda dengan

konsep negara yang ditulis oleh para sarjana muslim pada era klasik. Diantara

pokok-pokok pemikiran al-Maududi tentang negara; pertama, Islam sebagai

sebuah agama adalah paripurna, di dalamnya juga mengatur tentang kehidupan

berpolitik dan bernegara. Sehingga umat Islam dalam berpolitik dan mengatur

kehidupan bernegara tidak harus meniru cara berfikir orang Barat, dengan

merujuk kepada sistem kekhalifahan pada zaman al-Khulafa>’ al-Rashidu>n sebagai

bentuk bernegara yang ideal dalam Islam.45

Kedua, kekuasaan tertinggi atau kedaulatan hanya di tangan Tuhan,

adapun manusia hanyalah pelaksana mandat dari Tuhann. Dengan demikian,

tidak dapat dibenarkan gagasan kedaulatan rakyat. Hukum tertinggi adalah

hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunah, dan hukum-hukum

turunannya tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber tersebut. Ketiga,

Sistem politik al-Maududi adalah universal dan tidak mengenal batasan-batasan

geografis, bahasa dan kebangsaan.46

Dasar utama dalam negara menurut al-Maududi adalah tauhid. Tauhid

mempunyai doktrin-doktrin yang sangat revolusioner dan mempunyai implikasi

yang besar dalam mengubah tatanan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang

(46)

37

yang diusung al-Maududi disebut teo-demokrasi, dengan tauhid sebagai sendi

suatau negara dan kemudian dijalankan oleh manusia. Berbeda dengan sistem

teokrasi yang dianut oleh bangsa Barat ketika abad pertengahan, dimana

sebagian kelompok pendeta mendominasi kekuasaan dan mentasbihkan diri

mereka sebagai representasi Tuhan di bumi. Al-Maududi tidak sependapat

dengan teokrasi ala Barat yang hanya membatasi kekuasaan hanya pada

segelintir orang (oligarkhi), tetapi semua elemen masyarakat yang dipandang

memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin maka dia berhak untuk menduduki

posisi tersebut dengan tetap di bawah aturan-aturan Islam.47

C. Konsep Negara Dalam Sejarah Islam

Diutusnya Muhammad SAW ke dunia sebagai risalah keislaman telah

memberikan perubahan yang besar ke dalam dunia, tidak terkecuali dalam dunia

politik dan ketatanegaraan. Sebagaimana yang diketahui bahwa bangsa Arab

adalah bangsa yang sulit diketahui titik temu dan persatuan di antara mereka.

Kehidupan mereka bersuku-suku dan membentuk suatu komunitas yang satu dan

yang lainnya menganggap dirinya merasa unggul atas yang lainnya. Kota

Mekkah pada saat itu terdiri dari berbagai suku, dimana tata kelola

pemerintahannya dipimpin oleh kaum aristokrat Quraish, sedangkan Madinah

tidak pernah memiliki persatuan dan kesatuan pemerintahan, akibat munculnya

konflik yang melibatkan dua suku utama Arab, Auz dan Khazraj, hal ini

dipersulit dengan keterlibatan Yahudi dalam konflik tersebut.48

47 Abu al-A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam (Bandung: Mizan, 1975), 159.

(47)

38

Tampilnya Muhammad sebagai seorang Nabi yang membawa misi

persatuan dan rahmat bagi seluruh alam telah mengubah dunia pada saat itu,

terutama kawasan Arab. Muhammad menunjukkan perannya dalam menyatukan

umat, tatkala usianya menginjak tiga puluh lima tahunn. Ketika terjadi

pertengkaran di kabilah Arab, tentang siapa yang berhak meletakkan hajar aswad

pada tempatnya, Muhammad muncul sebagai jalan keluar atas peristiwa tersebut,

dan sejak saat itulah Muhammad mendapat julukan al-Ami>n (orang yang dapat

dipercaya).49 Pada usia keempat puluh, Muhammad diutus menjadi seorang rasul

yang salah satu ajarannya adalah membentuk sebuah komunitas internasional,50

suatu komunitas tanpa ada batasan suku, kebangsaan dan geografis. Ajarannya

memandang bahwa semua manusia adalah sama tidak ada keunggulan antara

bangsa Arab dengan bangsa non Arab.

Terbentuknya sebuah masyarakat atau komunitas Islam (ummat) bisa

dilacak dari periodesasi kenabian Muhammad. Era kenabian Muhammad terbagi

menjadi dua fase, Mekah dan Madinah, yang antaranya dipisahkan oleh peristiwa

hijrah Nabi ke Madinah. Kedua fase ini bersinambungan dan tidak terpisah,

artinya bahwa fase yang pertama adalah titik tolak dari fase yang kedua. Pada

fase yang pertama embrio embrio masyarakat Islam mulai tumbuh dan

kaidah-kaidah pokok Islam sudah mulai ditetapkan secara general. Sedangkan pada fase

kedua, bangunan masyarakat Islam berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang

sebelumnya bersifat general sudah dijabarkan secara mendetail. Prinsip-prinsip

(48)

39

syariat Islam pada fase ini disempurnakan dan dideklarasikan yang kemudian

diaplikasikan, sehingga pada masa ini, Islam tampil dalam bentuk sosial integral

yang aktif menuju tujuan yang satu.51

Sebelum hijrah Nabi ke Madinah atau fase dakwah Nabi yang kedua,

tonggak bangunan politik dan kenegaraan Islam berawal dari baiat Aqabah I (620

M) dan baiat Aqabah II (622M).52 Setibanya Nabi sampai di Yathrib (Madinah),

diantara hal yang dilakukan adalah mempersatukan antara kaum Muhajirin dan

Anshar dalam ikatan tali p

Referensi

Dokumen terkait

Kompensasi finansial mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam meningkatkan semangat kerja karyawan, seperti yang diketahui kompensasi finansial merupakan seluru

,QGRQHVLD PHPLOLNL SRWHQVL WHUKDGDS EHQFDQD DODP WHUXWDPD WVXQDPL GDQ JHPSD EXPL 3DGD VLDUDQ 79 'LJLWDO WHUGDSDW NRQYHUJHQVL \DNQL DGDQ\D SHQJJDEXQJDQ DQWDUD *DPEDU 6XDUD GDQ 'DWD

Fenomena tentang bagaimana pasangan religius, dalam hal ini anggota komunitas Tarbiyah menggunakan religious coping sebagai cara untuk menghadapi masalah guna mencapai

Alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Bangka Selatan yang masuk ke dalam klasfikasi pukat tarik adalah alat tangkap cantrang.Pukat tarik merupakan alat tangkap

untuk mengkaji dan mengidentifikasi nyeri klien, maka digunakan skala nyeri (Subandi, 2017). Penatalaksanaan konservatif LBP dapat diatasi dengan terapi non farmakologis,

16.Carilah ukuran yang boleh menyamakan semua bahagian lipatan kain. Gariskan lurus dan guntingkan mengikut garisan yang di buat. Lihatlah bahagian atas dan bawah lipatan kain

Parameter yang diamati adalah kadar air, kadar abu, kadar kalsium dan rendemen pada tepung cangkang telur, dan karakteristik fisik (warna, viskositas dan

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan MANDIRI INVESTA EQUITY ASEAN 5 PLUS yang telah dipenuhi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak