RELASI AGAMA DAN NEGARA :
STUDI PEMIKIRAN TAQIYYUDIN AL-NABHA>NI> DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Keislaman (Dirasah Islamiyyah)
Oleh Ishanan NIM. F07214097
Oleh
DADANG PRABOWO F09214110
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
viii
ABSTRAK
Pembahasan relasi agama dan negara menjadi isu sentral dan penting dalam kehidupan bernegara, khususnya negara mayoritas berpenduduk muslim. Arus modernisasi yang datang dari dunia Barat, terutama dalam hal tatanan politik dan kenegaraan telah mengundang rasa simpatik sebagian pemikir Islam dan berusaha mengawinkannya dengan pemikiran politik Islam, di lain sisi ada sebagain pemikir muslim yang menuduh Barat dengan ide demokrasi dan tata pemerintahan sekular yang banyak diadopsi oleh dunia Islam sebagai akibat kemunduran umat Islam.
Berdasarkan landasan di atas, penelitian ini diberi judul relasi agama dan negara: studi pemikiran Taqiyyuddi>n al-Nabha>ni> dan Zainal Abidin Ahmad. Kelompok pertama dalam pembahasan ini diwakili oleh Zainal Abidin Ahmad dan kelompok kedua diwakili oleh Taqiyyuddi>n al-Nabha>ni>.
Dalam jenis penelitian ini, peneliti menggunakan metode pustaka (library research), yaitu penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) utama. Selain itum penelitian ini juga termasuk historis factual, sebab yang menjadi obyek penelitiannya adalah pemikiran tokoh, Taqiyyudin al-Nabhani dan Zainal Abidin Ahmad. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, analisis dan komparatif. Pendekatan yang dipakai dalam meneliti pemikiran kedua tokoh tersebut adalah pendekatan tiga dimensi. Pendekatan tiga dimensi adalah pendekatan yang menyingkap dan meneliti pemikiran tokoh yang mencakup tiga hal. Pertama, pendekatan individual, pendekatan ini berusaha menjelaskan tentang kondisi tokoh dilihat dari latar belakang akademis dan pendidikannya, kedua, pendekatan kondisi lingkungan (local condition) yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat pengaruh lingkungan sosial, politik dan budaya dimana tokoh hidup berpengaruh terhadap pemikirannya, dan yang ketiga, pendekatan kondisi global, dimana suasana dunia global pada saat itu berpengaruh dalam mengkonstruk pemikiran tokoh.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka diperoleh hasil; Taqiyyudin al-Nabhani lebih cenderung kepada sikap integralistik dalam relasi agama dan negara (al-Isla>m di>n wa dawlah), sedangkan Zainal Abidin Ahmad lebih bersikap moderat dengan bersikap akomodatif terhadap nilai-nilai di luar Islam yang sesuai dengan ajaran Islam. Taqiyyudin al-Nabhani menghendaki restorasi sistem khilafah pada masa sahabat pada masa kini dan diterapkan dalam negara-negara Islam untuk mencapai kejayaan Islam, sedangkan Zainal Abidin Ahmad lebih menerima sistem demokrasi dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN DALAM...……….. i
PERNYATAAN KEASLIAN………... ii
HALAMAN PERSETUJUAN……… iii
HALAMAN PENGESAHAN………. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI……… v
KATA PENGANTAR………. vi
ABSTRAK……….. viii
DAFTAR ISI……… ix
BAB I PENDAHULUAN………..………. 1
A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah………. 10
C. Rumusan Masalah……….. 10
D. Tujuan Penelitian………... 11
E. Kegunaan Penelitian………... 11
F. Penelitian Terdahulu………... 12
x
I. Sistematika Pembahasan………... 17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA A. Definisi Negara dan Agama Dalam Islam……… 20
B. Definisi Negara Menurut Para Sarjana Muslim……... 25
C. Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Islam…….. 37
D. Teori Relasi Negara dan Agama ……… 49
1. Tipologi Organik Integralistik………..…. 50
2. Tipologi Sekular……… 52
3. Tipologi Moderat……….…….. 53
BAB III BIOGRAFI TAQIYYUDDIN AN-NABHA>NI> DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD A. Sketsa Biografi Taqiyyuddin an-Nabha>ni>……….. 54
1. Latar Belakang Sosio-Kultural... 54
2. Latar Belakang Pemikiran ………...……. 55
3. Kiprah Dalam Organisasi dan Politik………….…... 56
4. Karya-Karya ………... 61
B. Sketsa Biografi Zainal Abidin Ahmad……….. 62
1. Latar Belakang Sosio-Kultural ………... 62
2. Latar Belakang Pemikiran …….……….. 64
3. Kiprah Dalam Organisasi dan Politik……….…... 66
xi
BAB IV KONSTRUKSI PEMIKIRAN TAQIYYUDDIN AN-NABHANI
DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD TENTANG RELASI AGAMA
DAN NEGARA
A. Taqiyyuddin an-Nabha>ni>………..………… 69
1. Agama dan Politik Ketatanegaraan……… 69
2. Agama dan Kekuasaan Politik……… 74
3. Agama dan Partisipasi Politik Rakyat……… 82
B. Zainal Abidin Ahmad………..……. 84
1. Agama dan Politik Ketatanegaraan………. 84
2. Agama dan Kekuasaan Politik………. 92
3. Agama dan Partisipasi Politik Rakyat……….. 101
BAB V KOMPARASI DAN ANALISA PEMIKIRAN TAQIYYUDIN AL-NABHA>NI> DAN ZAINAL ABIDIN AHMAD TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA A. Persamaan dan Perbedaan……… 104
B. Analisa……… 108
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan……… 115
B. Saran……….. 117
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diskursus tentang relasi agama dan negara merupakan permasalahan yang
selalu aktual dan masih relevan untuk diperbincangkan, baik dalam tataran
akademis maupun dalam forum-forum diskusi. Hal ini cukup beralasan, karena
negara dalam agama khususnya Islam mempunyai posisi yang sangat strategis.
Islam memberikan perhatian yang besar terhadap negara dan sistem politik,
bahkan politik dan negara dalam Islam merupakan bagian dari pemikiran dan
peradaban Islam. Ajaran-ajaran Islam tentang politik dan negara dapat ditemukan
dalam ayat al-Qur’an, hadith dan pendapat para sarajana muslim.1
Sedangkan dari sisi historis, misi utama diutusnya para nabi dan rasul
terdahulu adalah mengajak umatnya untuk bertauhid dan menyembah Tuhan,
tidak terkecuali Muhammad. Bertauhid bukan hanya dalam ibadah ritual tapi
juga dalam urusan-urusan duniawi haruslah tauhid sumbernya.2 Risalah tauhid
itu yang mengajarkan manusia untuk menjadikan agama sebagai sumber inspirasi
dalam semua urusan, mulai dari urusan rumah tangga sampai urusan negara.
Kepiawaian Muhammad dalam menata kota Madinah dan mencitrakannya
sebagai kota yang aman dan tentram bagi masyarakatnya yang sangat plural,
berasal dari bermacam suku, agama dan bangsa di bawah pemerintahan yang
1 Ahmad Shalabi, al-Siya>sah fi> al-Fikr al-Islami> (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1983), 31-32.
2
dipimpinnya, membuktikan bahwa Muhammad bukan hanya seorang Nabi tetapi
juga negarawan. Beberapa langkah yang dilakukan Nabi Muhammad
menunjukkan bahwa dirinya adalah sebagai negarawan disamping tugasnya
sebagai utusan Allah. Diantaranya adalah bai’at aqabah yang terjadi dua kali,3
antara Nabi Muhammad dan sebagain penduduk Madinah dan diterbitkannya
Piagam Madinah.4
Tatanan masyarakat atau bangsa baru yang dibangun oleh Nabi di
Madinah adalah sebuah tatanan masyarakat yang paradoks dari tatanan
masyarakat yang ada sebelumnya yang hanya didasarkan atas kesukuan dan
kekeluargaan, kemudian disatukan dalam konsep ummah (masyarakat, bangsa),
suatu tatanan masyarakat internasioanal tanpa batas kesukuan dan keagamaan,
suatu masyarakat kosmopolit yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama.
Di jantung proyek itu berlangsung peralihan kekuasaan dari kerajaan kepada
Nabi dan kemudian kepada umat. Komunitas ini didasarkan atas syari’at yang
dirancang untuk menetapkan aturan-aturan tentang moral, hukum, keyakinan dan
ritual agama, pernikahan dan perdagangan.5
3Bai’at aqabah yang pertama terjadi pada tahun keduabelas kenabian dimana dua belas laki-laki
penduduk Yathrib bertemu dengan Nabi di tempat bernama Aqabah, dimana pada tahun sebelumnya sudah ada enam orang yang bertemu Nabi pada tempat yang sama dan menyatakan diri masuk Islam. Dan diantara isi pertemuan tersebut adalah mereka berjanji setia (bai’at) kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta serta tidak mengkhianati Nabi. Kemudian pada tahun berikutnya, 75 orang penduduk Yathrib yang sudah masuk Islam menemui Nabi di tempat yang sama dan menyatakan sumpah setia (bai’at) kepada Nabi, yang isi sama dengan Bai’at Aqabah yang pertama, tetapi pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka akan membela Nabi sebagaimana mereka membela anak isteri mereka, dan
bai’at ini dinamakan Bai’at Aqabah yang kedua. Lihat. Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan
Penelitian Politik Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, Cetakan I, 2014), 122.
3
Dalam perkembangan selanjutnya setelah meninggalnya Rasulullah
tampuk kepemimpinan umat Islam dipegang oleh Abu Bakar, kemudian
digantikan oleh Umar bin Khattab, Uthman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.6
Keempat khalifah ini lebih dikenal dengan khulafa>’ al-rashidu>n, dan sistem
pemerintahan mereka lebih dikenal dengan sistem khilafah dalam Islam yang
mengedepankan asas-asas musyawarah dalam urusan pemerintahan, terutama
dalam proses pergantian khalifah.
Setelah wafatnya ‘Ali bin Abi Thalib, tampuk kepemimpinan umat Islam
berada di tangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada masanya sistem pemerintahan
Islam telah berubah yang sebelumnya berdasarkan kekhalifahan menjadi sistem
monarki atau kerajaan yang lebih mirip dengan sistem kerajaan Persia. Begitu
juga setelah kekuasaan umat Islam berpindah ke tangan Bani ‘Abbasiyyah dan
kerajaan – kerajaan Islam setelahnya, nyaris sistem pemerintahan umat Islam
berada di bawah kekuasaan kerajaan yang belum pernah dikenal pada masa
rasulullah, bahkan mirip dengan kerajaan ala Persia.
Eksistensi pemerintahan Islam sejak zaman Nabi Muhammad hingga
keruntuhannya pada masa pemerintahan kesultanan Turki ‘Uthmani pada tahun
1924 ditandai dengan berdirinya sistem pemerintahan negara bangsa dengan
berbagai corak dan sistem yang diterapkan pada masanya telah menghasilkan
6 Ada empat ciri pengangkatan khalifah setelah Rasulullah wafat yang identik dengan sistem kekhalifahan itu sendiri, pertama, pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya, hal ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar dib alai pertemuan Tsaqifah Bani Saidah, kedua, pemilihan dengan cara penunjukan kepada seseorang yang didasarkan terlebih dahulu pada musyawarah diantara para sahabat, hal ini terjadi ketika
terpilihnya ‘Umar bin Khattab sebagai khalifah, ketiga, pemilihan yang dilakukan oleh timyag
dibentuk oleh khalifah, cara ini terjadi ketika pemilihan ‘Uthma>n bin ‘Affan dan yang keempat, pemilihan yang terjadi secara spontanitas oleh umat Islam ketika negara terjadi kekacauan atau
4
pemikir-pemikir dari kalangan umat Islam dari zaman klasik sampai kontemporer
yang konsen terhadap ketatanegaraan dalam pemerintahan Islam.
Geliat tentang pemikiran dan konsep negara Islam pada abad modern
semakin meningkat intensitasnya dan banyak diminati oleh para pemikir Islam.
Meningkatnya intensitas tersebut dipengaruhi oleh tiga hal yang mendasar,
pertama, kerapuhan dunia Islam oleh faktor-faktor internal yang berakibat
munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian, kedua, adanya
rongrongan dari dunia Barat terhadap keutuhan politik dan wilayah Islam dan
ketiga, Superioritas Barat dalam hal ilmu pengetahuan dan tekhnologi atas
dunia.7 Setidaknya tiga faktor inilah yang mendorong para pemikir Islam untuk
bangkit dan membangun kembali kemajuan peradaban Islam yang dicapai pada
masa silam.
Pada hakikatnya, tujuan pokok pemerintahan Islam adalah menciptakan
kemaslahatan bagi manusia dan mencegah segala bahaya, menegakkan keadilan
dan melarang semua permusuhan antar manusia. Islam lebih menekankan kepada
penanaman tata nilai dan etika yang sesuai dengan al-Qur’an dalam
pemerintahan Islam.8 Islam memberikan keleluasaan dan keluwesan dalam
kekuasaan dan pemerintahan asalkan tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar
yang telah digariskan oleh agama.
Relasi antara agama dan negara sudah lama menjadi topik kajian para
pemikir. Hal ini lantaran para penyebar agama sekaligus adalah pemimpin dalam
masyarakat, fenomena perhimpitan peran antara penguasa agama dan penguasa
5
politik, yang dengan demikian juga perebutan pengaruh diantara keduanya, sudah
berlangsung sejak zaman para nabi. Tapi sebagai suatu fenomena yang
diperdebatkan, yang kemudian menimbulkan kebutuhan untuk memisahkan
kedua hal tersebut,9 masalah hubungan antara agama dan negara sudah dipikirkan
sejak zaman pertengahan. Secara sederhana dapat dikemukakan, hubungan antara
agama dan negara atau antara penguasa agama dan penguasa politik, berdasarkan
derajat pentalan pengaruhnya terhadap orang lain, merupakan hubungan
dikhotomis.10 Pada kutub yang satu adalah hubungan religio-political power yang
bersifat organik, yang menyatukan kehidupan agama dengan kehidupan politik
dengan alasan bahwa kehidupan agama bersifat holistik, mencakup semua
kehidupan manusia. Dalam kehidupan bernegara, hubungan seperti ini mewujud
ke dalam sistem teokrasi sebagaimana dianut negara-negara monarkhi di Eropa di
Abad Pertengahan atau Iran di masa sekarang.
Pada titik kutub yang lain adalah sistem ketatanegaraan yang
memisahkan sama sekali kehidupan agama dari kehidupan politik, yang mewujud
ke dalam sistem pemerintahan kenegaraan sekuler sebagaimana dianut
negara-negara demokrasi sekarang ini. Bukan hal yang kebetulan bahwa sifat sekelur ini
dianut oleh negara-negara demokrasi ini karena hal ini sesuai dangan salah satu
prinsip demokrasi bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi individual
yang tidak boleh dicampuri oleh penguasa politik, satu prinsip demokrasi yang
lahir dari gerakan reformasi Katolik pada abad ke-16. Semua negara di dunia ini,
dalam hal pengaruh terhadap kehidupan politik, dapat ditempatkan pada
9 Barbara Freyer Stowasser, ‚Agama dan Perkembangan Politik: Antara Ibnu Khaldun dan
Machieveli‛, Bagian Pertama, Ulumul Qur’an No. 3, Vol. V, Tahun 1994, 89.
10 Ini pendapat Donald Eugene Smith, dikutip dari Zainuddin Maliki, ‚Menatap Masa Depan
6
titik di antara kedua kutub ini, lebih dekat ke ciri negara teokrasi atau lebih dekat
ke ciri negara sekuler.
Setidaknya ada tiga tipologi dalam kalangan pemerhati dan pemikir Islam
mengenai pemerintahan Islam, khususnya dalam relasi agama dan negara.
Pertama, Islam adalah agama sekaligus negara (di>n wa dawlah). Kelompok ini
memandang bahwa Islam dan negara adalah dua entitas yang menyatu.
Hubungan Islam dan negara adalah hubungan organik, yaitu negara berdasarkan
syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau pemegang
kekuasaan tertinggi. Tokoh yang mengusung pemikiran ini antara lain; Rashi>d
Rid}a> (1865-1935), Sayyid Qut}b (1906-1966), Abu> al-A’la> al-Maudu>di
(1903-1979) dan di Indonesia Muhammad Nathir. Kedua, tipologi sekuler, yaitu
kebalikan dari yang pertama. Menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak
berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara
pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama
murni, bukan negara. Pemikir yang termasuk dalam tipologi ini adalah ‘Ali> ‘Abd
al-Ra>ziq (1888-1966), A. Luthfi al-Sayyid (1872-1963). Dan tipologi yang
terakhir adalah tipologi moderat, tipologi ini menolak klaim ekstrem bahwa
Islam adalah agama yang lengkap, yang mengatur semua urusan, termasuk politik
dan urusan negara, akan tetapi juga menolak klaim ekstrem yang kedua yang
melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan negara. Tipologi ini
memandang kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik
dan pemerintahan tertentu, dalam Islam terdapat prinsip moral atau etika dalam
7
bebas memilih sistem manapun yang terbaik. Diantara tokoh-tokohnya adalah;
Muhammad Husein Haikal (lahir 1888) dan Muhammad ‘Abduh (1862-1905).11
Perbedaan wacana tentang relasi agama dan negara di kalangan para
pemikir Islam bisa dilihat dari dua faktor yang mempengaruhinya, intern dan
ekstren. Faktor intern berasal dari pemahaman seseorang tentang ajaran-ajaran
Islam itu sendiri, sedangkan faktor ekstern berasal dari kondisi lingkungan,
sosial, budaya, politik, dan tingkat peradaban dimana tokoh tersebut hidup dan
mengembangkan cara berfikirnya. Baik faktor intern maupun ekstern, setidaknya
saling tarik-menarik dalam mempengaruhi konstruk pemikiran seseorang,
terutama dalam kaitannya tentang wacana relasi agama dan negara.
Terkait dengan wacana tersebut, penulis ingin memaparkan konstruk
pemikiran kedua tokoh tentang relasi agama dan negara yang diusung oleh
Syaikh Taqiyyudin al-Nabha>ni> (1909-1979) dengan Zainal Abidin Ahmad
(1911-1983). Penulis tertarik untuk mengusung kedua tokoh tersebut, karena
kedua-keduanya sangat konsen dalam masalah-masalah ketatanegaraan, terutama dalam
hal relasi agama dan negara, yang bisa ditemukan dalam berbagai karya tulisnya,
disamping itu keduanya juga aktif dalam gerakan politik di negaranya
masing-masing. Faktor lingkungan, kondisi sosial, budaya, politik dan budaya kiranya
juga sangat berpengaruh dalam mengkonstruk pemikiran keduanya.
Kondisi sosio-politik Palestina, dimana al-Nabhani lahir dan tumbuh saat
itu adalah merupakan negara jajahan Inggris yang kemudian diberikan negara
tersebut kepada bangsa Israel, sehingga Palestina yang dahulunya merupakan
jajahan Inggris berubah menjadi negara jajahan Israel. Hal ini yang kemudian
8
banyak mempengaruhi al-Nabha>ni> dalam beberapa aktifitas politiknya, yang di
kemudian hari dia mendirikan sebuah partai Hizb Tah}ri>r (HT), yang pada
mulanya bertujuan untuk memerdekakan Palestina dari penjajahan bangsa
Israel.12
Kondisi negara Palestina di bawah jajahan Barat telah menimbulkan sikap
non-kompromis dan anti Barat pada diri al-Nabha>ni, dia menilai bahwa akar
permasalahan dari keterpurukan umat saat ini adalah hegemoni Barat terhadap
dunia Islam dan penerapan sistem Barat terhadap negara-negara mayoritas
muslim. Al-Nabha>ni beserta para loyalisnya menyerukan kepada umat Islam
untuk menolak konsep, nasionalisme, trias politika, kedaulatan rakyat, sistem
sekular dan konsep politik lain yang bertentangan dengan syari’at Islam.13
Penerapan syari’at Islam secara total, menurut al-Nabha>ni> adalah solusi atas
problematika umat Islam saat ini.
Penerapan syariat Islam secara kaffa>h tidak mungkin akan terealisasikan
melalui kesadaran sosial masyarakat saja, terbentuknya sebuah tatanan
pemerintahan Islam adalah satu-satunya solusi bagi penerapan syariat Islam
tersebut. Al-Nabha>ni> berpendapat bahwa generasi setelah Rasulullah adalah
bentuk ideal dari sebuah tatanan negara Islam yang patut ditiru untuk
mengeluarkan umat Islam dari keterpurukan. Dari sinilah, kemudian dia
mempunyai konstruk pemikiran tentang berdirinya sebuah tatanan dunia baru di
bawah sistem khilafah sebagai respon dari hegemoni Barat atas dunia Islam.14
9
Lain halnya dengan Zainal Abidin Ahmad yang lahir di Indonesia, dimana
pada saat itu Indonesi baru memperoleh kemerdekaannya dari penjajah. Indonesia
sebagai negara yang merdekaa saat itu sedang mencari jati dirinya. Berbagai
forum dan diskusi hangat mempersoalkan tentang konstitusi Indonesia. Kondisi
ini yang kemudian banyak mempengaruhi konstruk pemikiran Zaenal Abidin
Ahmad dalam berbagai karya tulisnya, selain itu dia aktif dalam kepengurusan
partai Masyumi yang saat itu giat memperjuangkan pemerintahan Indonesia yang
berdasarkan atas syariat Islam atau pemberlakuan syariat Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks keindonesiaan, terutama pada awal-awal kemerdekaan
hingga tahun 1970-an, umat Islam, terutama para sarjanawan muslim menerima
sistem demokrasi sebagai model pemerintahan Indonesia.Hanya yang menjadi
perdebatan diantara para sarjana muslim saat itu adalah, demokrasi seperti apa
yang akan dipraktekkan di Indonesia. Zaenal Abidin Ahmad adalah salah satu
pendukung model Negara Demokrasi Islam bersama M. Nasir. Sikap Zaenal
Abidin Ahmad terhadap konstruk negara Islam lebih bersifat substanstif dari
pada hanya formalistik belaka. Sehingga walaupun, dalam kenyataannya
demokarasi adalah produk Barat, tapi hal tersebut tidak menjadi hambatan untuk
diterapkannya syariat Islam.
Pemikiran kedua tokoh sezaman namun berbeda tempat tentang
konstruksi Negara Islam, mendorong penulis untuk memilih judul: Relasi Agama
10
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang
permasalahan, maka fokus kajian penelitian dan batasan masalah yang diteliti
adalah:
1. Konsep pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad
tentang relasi agama dan negara, dimana banyak dipengaruhi oleh kondisi
sosial-politik mereka hidup, dan juga kapasitas dan latar belakang
keilmuan yang mereka kuasai.
2. Persamaan dan perbedaan pemikiran Taqiyyudin al-Nabhani dan Zaenal
Abidin Ahmad tentang relasi agama dan negara.
Melalui eksplanasi yang mencoba menghubungkan keduanya akan
diperoleh seperangkat teori dan pernyataan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dengan cara ini tujuan penelitian dapat dicapai
secara komprehensif.
C. Rumusan Masalah
Beberapa pertanyaan yang diajukan untuk dijawab melalui penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pemikiran Taqiyyudin al-Nabha>ni> dan Zaenal Abidin
Ahmad tentang hubungan agama dan negara?
2. Apa persamaan dan perbedan pemikiran Taqiyyudin al-Nabha>ni> dan
11
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendiskripsikan atau mengungkapkan pemikiran Taqiyyudi>n al-Nabha>ni>
dan Zaenal Abidin Ahmad tentang relasi agama dan negara.
2. Menganalisis dan menjelaskan apa persamaan dan perbedaan pemikiran
Taqiyyudi>n al-Nabha>ni> dan Zaenal Abidin Ahmad mengenai relasi agama
dan negara.
E. Kegunaan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
bermanfaat dan penting baik secara teoritis (ilmiah) maupun praktis (amaliah).
Diantara manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat secara teoritis.
Secara teoritis, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami pemikiran
Taqiyyudi>n an-Nabha>ni> dan Zaenal Abidin Ahmad tentang konsep Negara Islam
yang tertuang dalam buku-buku yang mereka tulis. Tidak hanya berhenti pada
konsep Negara Islam menurut kedua tokoh tersebut, tetapi lebih jauh untuk
menganalisa dan mengetahui seberapa jauh pengaruh pemikiran kedua tokoh
tersebut dalam dunia Islam, baik pengaruh tersebut bersifat lokal, nasional dan
bahkan internasional. Dengan memahami pemikiran kedua tokoh ini tentang
konsep negara Islam, diharapkan mampu menambah dan memperluas wawasan
12
2. Manfaat secara praktis
Diskursus tentang Negara Islam yang dikemukakan oleh banyak pemikir
Islam saat ini menarik untuk dikaji dan dibahas secara intens. Karena meskipun
sama-sama memakai istilah yang sama tapi ada perbedaan yang sangat signifikan
dalam pengertian dan aktualisasinya. Al-Nabha>ni> lebih menekankan pada
formalisasi Islam dalam negara, dalam artian negara Islam yang dimaksud adalah
negara Madinah yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan khulafa>’ rashidu>n.
Sedangkan Zaenal Abidin Ahmad lebih menekankan pada penerapan Islam
12ubstantive dalam negara Islam, dalam artian tidak harus sam persis dengan
sistem pemerintahan pada zaman Nabi dan khulafa>’ rashidu>n, tapi yang lebih
penting adalah prinsip-prinsip nilai harus ada dalam suatu negara, maka sudah
bisa dikatakan dengan Negara Islam.
Dengan memahami dan mengerti pemikiran kedua tokoh tersebut,
kemudian dilanjutkan dengan mengkomparasikannya, diharapkan mampu untuk
mengambil nilai-nilai dari pemikiran kedua pemikiran tokoh tersebut, dengan
tanpa mengesampingkan sisi konekstual saat ini, dan pada akhirnya bisa
diterapkan pada pemerintahan Negara Islam.
F. Penelitian Terdahulu
Sampai sejauh ini, ada beberapa tulisan atau dokumentasi lainnya tentang
13
Disertasi Syafiuddin pada program Pascasarjana IAIN Syarif
Hadayatullah Jakarta (UIN Jakarta) pada tahun 2000 yang kemudian dibukukan
dengan judul ‚Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun‛. Dalam
penelitiannya tersebut, Syaifudin mengungkapkan bentuk negara yang
berdasarkan agama (siyasah diniyah) menurut Ibnu Khaldun beserta aspek-aspek
ajaran Islam yang berperan pada sistem kenegaraan yang dimaksud dan prinsip,
sistem beserta mekanisme pemerintahan dalam Islam menurut Ibnu Khaldun.
Disertasi M. Hasbi Amiruddin pada program Pascasarjana IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 1996 yang kemudian dibukukan dengan judul
‚Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman‛. Dalam penelitiannya tersebut,
M. Hasbi Amiruddin membahas pemikiran Fazlur Rahman yang berkaitan
dengan bentuk negara dan pemerintahan, tujuan negara, kedudukan kepala negara
dan wewenangnya, serta soal kedaulatan.
Tesis Ari Arkanudin pada program Pascasarjana UIN Sunan Kaliajaga,
Yogyakarta pada tahun 2014 yang berujudul ‚Studi Komparasi Konsep
Kepemimpinan Antara Imamah (Shiah Imamiyyah) dan Khilafah (Hizb Tahrir).‛
Dalam penelitiannya, Ari Arkanudin memaparkan tentang pandangan Shi’ah
Imamiyyah dan Hizb Tahrir mengenai Negara, konsep kepemimpinan Shi’ah
Imamiyyah dengan imamnya dan Hizb Tahrir dengan khalifahnya, beserta
perbandingan konsep kepemimpinan Shi’ah Imamiyyah dengan imam dan Hizb
Tahrir dengan khalifahnya ditinjau dari beberapa aspek.
Tesis Samud pada program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati, Cirebon
pada tahun 2011 yang berjudul ‚Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Tentang
14
secara terpisah antara konsep Islam pada satu sisi dan Negara di sisi yang lain
menurut KH. Abdurrahman Wahid. Setelah memaparkan dan menjelaskan antara
Islam dan Negara menurut KH. Abdurrahman Wahid, Samud mendeskripsikan
implementasi dan implikasi dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid.
Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, dalam penelitian ini,
penulis lebih cenderung untuk meneliti bagaimana sebuah pemikiran tokoh
tentang Negara Islam terkonstruk berdasarkan elemen-elemen yang
mempengaruhi pikirannya. Dalam hal ini, Taqiyyudin al-Nabha>ni> dan Zaenal
Abidin Ahmad adalah kedua tokoh yang mempunyai konsep tentang bangun
Negara Islam yang hidup sezaman tapi berbeda tempat. Sehingga tidak bisa
dipungkiri ada persamaan di satu sisi dan perbedaan pada sisi yang lain.
G. Kerangka Teoritik
Di dalam memahami konsep pemikiran tokoh yang sangat luas, penulis
menggunakan teori yang dipakai sebagai pembatas dan panduan dalam hal
melakukan penelitian terhadap tokoh yang akan diteliti. Penulis memandang
bahwa dalam penelitian tentang konstruk pemikiran relasi agama dan negara
dalam pandangan Taqiyyudin al-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad, teori yang
relevan adalah teori tiga dimensi John Obert Voll.
Dalam mengkaji pemikiran seorang tokoh, Voll menggunakan teori tiga
dimensi yang terdiri dari; pendekatan individual, pendekatan ini berusaha
menjelaskan tentang kondisi tokoh yang diteliti dilihat dari sudut latar belakang
akademis atau pendidikan tokoh. Kedua, pendekatan kondisi lingkungan (local
15
tertentu yang dialami oleh tokoh bisa jadi tidak ditemukan di daerah lain.
Sehingga kondisi seperti ini sedikit banyak berpengaruh pada konstruksi
pemikiran tokoh. Dan yang terakhir adalah kondisi global, artinya bahwa
keadaan global atau dunia yang lebih luas dari pada kondisi lingkungan dimana
tokoh hidup sangat berpengaruh dalam konstruksi pemikirannya.15
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian karya ini adalah
pendekatan kritis, sosio-kultural dan fenomenologi. Pendekatan
historis-kritis dan sosio-kultural dimaksudkan untuk mendeskripsikan masa lalu dan
sejauh mana dimensi sosial budaya pada masanya turut mempengaruhi
perkembangan pemikiran Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad.
Sedangkan pendekatan fenomenologi diharapkan dapat mengungkapkan
pemikiran dan kecenderungan arah pemikiran Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal
Abidin Ahmad.
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis dan komparatif.
Penelitian ini berusaha memaparkan bangunan Islam dan kenegaraan secara
umum, kemudian mendeskripsikan kerangka pemikiran tokoh yang diteliti yaitu
Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad melalui data yang diperoleh,
kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang substansi pemikiran kedua
tokoh tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Kemudian
16
menjelaskan tentang bagaimana dan mengapa muncul karakteristik pemikiran
serta persamaan dan perbedaan kedua tokoh ini.
3. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian, penulis mengumpulkan data-data, baik data
primer maupun skunder, dalam hal ini dilakukan dengan membaca, mencatat dan
mengutip dari hal-hal yang diteliti dari berbagai sumber yang ada:
a. Sumber / Bahan Primer
Yaitu buku-buku yang ditulis oleh kedua tokoh yang dijadikan obyek
penelitian. Pertama adalah buku-buku karanga Taqiyyudin an-Nabhani yang
berkaitan dengan Negara Islam, antara lain: Al-Takattu al-Hizb, Nizm al-Hukm
fi al-Islam, Nazarat Siyasiyah li Hizb Tahrir, al-Khilafah, Nuqtat al-Intilaq,
Mafahim Siyasiyah li Hizb Tahrir, al-Daulah al-Islamiyyah. Kedua adalah
buku-buku yang ditulis oleh Zaenal Abidin Ahmad, antara lain: Membentuk Negara
Islam dan Ilmu Politik Islam.
b. Sumber / Bahan Sekunder
Yaitu buku-buku yang ditulis oleh para pemikir Islam yang sangat
kompeten tentang Negara Islam dan sangat bermanfaat untuk dijadikan
pembanding sekaligus pelengkap dari karya-karya rujukan utama. Diantara
referensi pelengkap ini adalah karya Abu Hasan al-Mawardi yang berjudul
al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah wa al-Wila>yat al-Di>niyyah dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang
berjudul al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm.
17
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan telaah kepustakaan (library research). Telaah kepustakaan dilakukan
dengan cara membaca karya-karya Taqiyyudin an-Nabhani dan Zaenal Abidin
Ahmad yang membahas tentang konsep Negara Islam. Selain karya-karya yang
ditulis oleh kedua tokoh tersebut, karya-karya lain yang ditulis oleh pemikir
Islam maupun non-muslim sangat berharga dan menjadi bahan masukan yang
sangat penting dalam penelitian ini, ditambah dengan sumber-sumber tambahan
yang tidak kalah berharganya.
5. Analisis Data
Analisis penelitian dilakukan dengan menelaah sumber-sumber
kepustakaan, sumber primer maupun sumber-sumber lain yang mendukung.
Metode analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga pada akhirnya
dapat dirumuskan suatu hipotesis. Analisa data terdiri atas pengujian,
pengkategorian, ataupun pengkombinasian kembali buku-buku untuk
menunjukkan preposisi awal suatu penelitian. Data yang telah terkumpul akan
dianalisis yang bersifat kualitatif, yaitu menjabarkan dalam bentuk kalimat
secara jelas, sistematis sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan lengkap
dalam suatu kesimpulan penelitian ini.
18
Sistematika pembahasan penelitian ini disusun menjadi lima bab dengan
perincian sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan, merupakan bagian awal dari penelitian yang
dapat dijadikan sebagai awalan dalam memahami keseluruhan isi dari
pembahasan. Bab ini berisi beberapa sub bagian meliputi; latar belakang
permasalahan, fokus kajian dan kegunaan, kajian terdahulu, metodologi,
kerangka teoritik dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, mengulas tentang gambaran umum tentang relasi agama dan
negara. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang konsep dan
sistem relasi agama dan negara saat ini. Bab ini terbagi atas tiga sub, pertama,
membahas tentang definisi Negara Islam. Hal ini diperlukan untuk mengetahui
apa itu Negara Islam. Kedua, Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam.
Ketiga, membahas hubungan Negara dan Agama. Pemaparan ini perlu untuk
memahami akibat hukum yang timbul dari terbentuknya Negara Islam dalam
konteks dunia modern sekarang ini.
Bab ketiga, tentang biografi Taqiyyudin an-Nabhani yang mengulas
tentang riwayat hidup dan pengalaman serta aktifitas keilmuan Taqiyyudin
an-Nabhani dari segi latar belakang sosial dan pendidikannya, dan dilanjutkan
pemaparan pemikirannya mengenai Negara Islam. Kemudian dilanjutkan
pemaparan tentang biografi Zaenal Abidin Ahmad yang juga mengulas tentang
riwayat hidup dan pengalaman serta aktivitas keilmuan Zaenal Abidin Ahmad
19
Bab keempat, memuat tipologi / paradigma pemikiran Taqiyyudin
an-Nabhani dan Zaenal Abidin Ahmad yang berkenaan dengan sub-sub bahasan
tentang relasi agama dan negara yang meliputi; agama dan kekuasaan politik
serta agama dan partisipasi politik rakyat.
Bab kelima, analisa penulis tentang persamaan dan perbedaan pemikiran
Taqiyyudi>n al-Nabhani dan Zainal Abidin Ahmad tentang relasi agama dan
negara. Dilanjutkan dengan kesimpulan penulis, tentang pemikiran yang lebih
relevan dan kompatibel diantara keduanya.
Bab keenam, penutup, merupakan bagian yang menguraikan temuan dari
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA
A. Definisi Agama Dan Negara Dalam Islam
Secara etimologi, terdapat beberapa pendapat tentang arti agama. Kata
agama, berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata: ‚a‛ berarti
tidak dan ‚gama‛ berarti kacau, jika digabungkan berarti tidak kacau. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.1
Kata agama dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab dengan kata di>n,2 Selain disebut dengan kata di>n, agama juga sering
diartikan dengan kata shara’, syariat (millah). Dari berbagai macam definisi
agama secara etimologi, Harun Nasution mengumpulkan delapan definisi agama
sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang
harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap kekuatan gaib yang menguasai dunia.
1
21
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber
pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.3
Adapun istilah negara dalam bahasa asing diterjemahkan dari kata-kata
asing ‚Staat ‚ (bahasa Belanda dan Jerman), ‚State‛ (bahasa Inggris) dan ‚Etat‛
(bahasa Prancis). Istilah itu mula-mula digunakan di Eropa Barat pada abad
ke-15, dan di kalangan umum kata-kata tersebut dialihkan dari bahasa Latin ‚status‛
atau ‚statum‛.4
Secara terminologi, negara menurut Hasbullah Bakry adalah suatu teritori
(wilayah) yang ada rakyatnya sebagai penduduk tetap, dan diantara mereka ada
yang dianggap sebagai pemimpin atau pemerintah bagi mereka.5 Sedangkan
3
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 2-3. 4
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Putra A. Bardin, 1999), 90. 5
22
menurut Miriam Budiardjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhasil ketaatan dari warga
negaranya pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol)
monopolitis dari kekuasaan yang sah.6 Dan ditinjau dari hukum tatanegara,
negara adalah suatu organisasi kekuasaan, yang merupakan tata kerja dari
alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan yang melukiskan
hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat
perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.7
Dengan begitu, maka negara tidaklah terbentuk dengan sendirinya, tetapi
diadakan oleh manusia dan menurut kemauan manusia guna memperoleh tujuan
tertentu. Maka dalam hal ini negara tidak ubahnya sebuah alat, dan alat itu
berupa organisasi bersama dari elemen masayarakat yang bersifat tetap.
Timbulnya sebuah negara merupakan gejala sosial yang bersumber dari sejumlah
besar masyarakat yang hidup di kawasan tertentu menggunakan suatu sistem
hukum yang telah disepakati dan dikendalikan oleh kekuasaan. Negara terbentuk
dengan syarat-syarat tertentu yaitu; mempunyai teritori (daerah) tertentu, rakyat
tertentu dan mempunyai pemerintahan yang dijalankan dengan sistem tertentu.
Terkait dengan asal mula negara, ada beberapa teori tentang terbentuknya
sebuah negara. Aristoteles berpendapat bahwa negara sebagai gabungan dari
bagian-bagian, dimulai dari individu, keluarga, kampung dan negara. Manusia
adalah makhluk sosial, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dia membutuhkan
23
antar beberapa keluarga yang bertujuan lebih dari sekedar memenuhi keperluan
hidup sehari-hari, terjadilah kampung dan gabungan dari kampung ini akan
membentuk negara.8
Hal serupa tentang terbentuknya negara juga diungkapkan al-Farabi, dia
berpendapat bahwa sifat keistimewaan manusia, antara lain homo socius (suka
bergaul). Ini merupakan salah satu dorongan terwujudnya suatu masyarakat.
Manusia berkumpul satu dengan yang lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan
hidup mereka, di dalam satu masyarakat. Dan ini merupakan bibit timbulnya
suatu negara.9 Jadi negara terbentuknya didorong oleh rasa saling membutuhkan
antar individu yang hidup dalam sebuah komunitas, semakin lama komunitas
tersebut membesar dan kebutuhan manusia juga semakin kompleks, dan pada
akhirnya terbentuklah negara.
Dalam Islam, perdebatan yang hampir tidak dapat ditemui titik temunya
adalah definisi tentang negara Islam. Hal ini karena, al-Quran dan al-H}adi>th tidak
secara tegas dan gamblang mendefisinikan tentang negara Islam. Dalam bahasa
Arab kata negara mempunyai berbagai makna, diantaranya adalaha dawlah.
Daulah berasal dari bahasa Arab dawlat yang asal katanya dari
da>la-yadu>lu-dawlatan yang mempunyai arti berputar, bergilir dan beredar. Dapat diartikan
pada sebuah komunitas sosial yang menetap di suatu tempat yang diatur oleh
suatu pemerintahan untuk suatu kepentingan dan kemaslahatan tertentu. 10 Kata
8 Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), 1. 9 Ibid., 2.
24
dawlah sendiri dalam Al-Qur’an disebutkan sekali,11 dan berkaitan dengan
pembagian harta rampasan kepada umat Islam yang diraihnya dalam konfrontasi
dengan Banu Nadhir di Madiah.12
Selain dawlah, negara juga bisa diartikan dengan khila>fah. Al-Maudu>di
mendefinisikan khila>fah sebagai kekuasaan yang diberikan oleh Allah kepada
manusia untuk memakmurkan bumi, sehingga manusia di sini hanya lah yang
menerima mandat dan Allah adalah pemberi mandat.13 Berkenaan dengan definisi
yang diberikan, Al-Maududi menukil enam ayat yang mendukung definisi
khila>fah tersebut (2:30, 7:10, 69, 74, 129, 15: 65, 10: 65).
Karena negara identik dengan kekuasaan seorang pemimpin, maka
pengertian kekuasaan pemimpin sebuah negara bisa diartikan dengan ima>mah.
Ima>mah dalam teologi Shi>’ah merupakan usul madzhab utama yang membedakan
dengan teologi kaum Sunni. Secara bahasa Ima>mah berarti depan, dan imam
adalah orang yang diikuti oleh seluruh manusia dan bisa berarti pemimpin atau
selainnya, baik itu memberikan petunjuk ataupun menyesatkan manusia. Maka
dari itu imam mempunyai padanan kata dengan khalifah, dia adalah pemimpin
agung bagi seluruh manusia. Selain itu, imam bisa berarti orang yang
memperbaiki suatu perkara dan bisa juga diartikan sebagai pemimpin pasukan.
Sedangkan kata imam di dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai pemimpin bagi
25
umat Islam, yaitu rasulullah yang berperan sebagai pemimpin bagi seluruh
pemimpin di dunia.14
Kemudian negara juga bisa diartikan dengan h}uku>mah, secara etimologi
kata ini berarti pemerintah. Kata tersebut digunakan dalam arti ‚pemerintahan‛
sekitar abad ke-19. Dalam perkembangannya, istilah h}uku>mah dikaitkan dengan
teori Sayyid Qutb, yakni teori h}akimiyyah.15
B. Definisi Negara Islam Menurut Sarjana Muslim
Para sarjana dan ilmuwan muslim pada masa lalu telah mendefinisikan
negara Islam. Untuk mendapatkan gambaran tentang definisi tersebut, penulis
mengklasifikasikan ke dalam dua bagian berdasarkan periodesasi pemerintahan
muslim, yaitu masa klasik dan pertengahan dengan masa kontemporer. Beberapa
sarjana muslim pada masa klasik dan pertengahan yang menuangkan gagasan dan
teori tentang politik dan negara Islam dalam karya tulis adalah Syihab al-Din
Ahmad ibn Abi> Ra>bi’ (w. 272 H), al-Farabi (w. 257 H/870 M), Ma>wardi (364-450
H/975-1059 M), al- Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), Ibn al-Taimiyyah (l. 661
H/1263 M) dan Ibn al-Khaldu>n (l. 732 H/1332 M).16
Ibn Abi Rabi’ (w. 272 H) mengklasifikasi manusia menjadi dua bagian,
umum dan khusus. Masyarakat umum adalah kebanyakan manusia sedangkan
masyarakat khusus adalah mereka yang diberi amanah dan tugas untuk menjadi
14
‘Ali> Ah}mad al-Sa>lu>s, ‘Aqidah al-Ima>mah ‘inda al-Shi>’ah al-Ithna> ‘Ashriyyah (Qatar: Da>r
al-I’tis}a>m, 1987), 8.
15
Hatim Gazali, ‚Makna Negara Dalam Islam‛, dalam Tedi Kholiludin (Ed), Runtuhnya Negara Tuhan Membongkar Otoritarianisme dalam Wacana Politik Islam (Semarang: INSEDE, 2005), 113-114.
26
pemimpin dalam masyarakat.17 Dan sudah menjadi ketetapan Tuhan, bahwa
sebagian manusia dijadikan pemimpin atas yang lainnya dengan memberikan
kepada mereka beberapa kelebihan di atas yang lainnya, sehingga dengan
kelebihannya tersebut mampu untuk memimpin masyarakat,18 dan mewajibkan
atas rakyat yang dipimpin untuk mentaati pemimpinnya setelah ketaatan
terhadap Allah dan utusanNya.19
Ibnu Abi Rabi’ melihat bahwa manusia adalah makhluk sosial dan plural.
Sebagai makhuk sosial manusia saling membutuhkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup dan plural dalam arti manusia diciptakan dalam berbagai ragam
corak pemikiran dan kreasi. Ketika manusia dari berbagai macam profesi dan
latar belakang menetap dalam sebuah kota, maka untuk menjaga keteraturan dan
ketertiban dalam kehidupan diperlukan sebuah pemerintahan yang dapat
menciptakan masyarakat sejahtera, aman dan jauh dari kejahatan yang datang
dari berbagai arah.20
Melihat dari fakta tersebut, Ibn Abi> Rabi’ berpendapat bahwa merupakan
sebuah keharusan untuk membentuk sebuah tatanan pemerintahan yang
diperintah oleh manusia-manusia pilihan, dan karena banyaknya pemimpin juga
tidak bagus untuk kestabilan sebuah pemerintahan, maka untuk membentuk
sebuah pemerintahan yang baik haruslah dipimpin oleh seorang pemimpin saja
dan dibantu oleh para pembantu-pembantu yang tunduk dan patuh pada
27
pemimpin tersebut.21 Sehingga pemerintahan yang dimaksud oleh Ibn Abi Rabi’
adalah sebuah pemerintahan dengan sistem monarkhi (kerajaan). Hal ini sangat
beralasan, karena karya tulis ini dipersembahkan kepada khalifah Mu’tas}im
billah. Selanjutnya, sistem monarkhi yang dibentuk itu harus memiliki empat
rukun atau pilar sebagai syarat berdirinya sebuah tatanan pemerintahan, raja,
rakyat, adil dan sistem pemerintahan.22
Seperti halnya Ibn Abi Rabi’, Al-Farabi berpendapat bahwa manusia
adalah makhluk sosial dan majemuk yang terdiri dari berbagai macam latar
belakang yang tinggal dalam suatu tempat dan membentuk komunitas tersendiri.
Komunitas atau masyarakat menurut al-Farabi ada tiga; masyarakat besar,
masyarakat menengah dan masyarakat kecil. Komunitas besar adalah kumpulan
dari seluruh umat manusia, sedangkan komunitas sedang adalah yang membentuk
umat dan komunitas kecil adalah yang hidup dalam sebuah kota. Ketiga
komunitas tersebut adalah komunitas yang sempurna, dan kumpulan-kumpulan
masyarakat di bawahnya adalah kumpulan yang belum sempurna sampai
tingkatan yang paling kecil yaitu rumah tangga.23 Dan sudah merupakan
konskuensi sebagai makhuk sosial, manusia harus saling tolong-menolong dan
itulah yang disebut dengan kota yang sempurna. Kota yang sempurna
dianalogikan al-Farabi bagaikan tubuh yang sempurna, saling tolong menolong
21 Ibid., 130. 22 Ibid., 131.
28
dan membantu walaupun badan tersebut tersusun dari anggota badan yang
berbeda-beda, baik dari segi ukuran maupun fungsinya.24
Keragaman warga negara ini yang tidak memungkin bahwa semua
manusia mampu untuk menjadi pemimpin, dan pemimpin dibutuhkan untuk
mengatur keteraturan sebuah negara. Dalam hal ini, Plato membagi warga negara
ke dalam tiga tingkat atau kelas. Pertama, kelas tertinggi yang terdiri dari
pemimpin negeri yang mempunyai otoritas atau kewenangan memerintah serta
mengelola negara, kedua terdiri dari angkatan bersenjata yang bertanggungjawab
atas keamanan dan keselamtan negara, baik terhadap rongrongan dalam negeri
maupun terhadap serangan dari luar dan kelas yang ketiga, dan yang terendah,
terdiri dari para pandai besi, pedagang dan petani, atau tegasnya rakyat jelata
yang bertugas memproduksi segala kebutuhan materi yang diperlukan oleh
negara.25 Dari klasifikasi ini, maka tidak semua warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara, hanya warga negara
yang berasal dari kalangan atas atau kelas tertinggi yang dapat menjadi kepala
negara.26
Seorang pemimpin menurut Al-Fara>bi adalah yang mampu memberikan
bimbingan dan ajaran kepada yang lain. Singkatnya mempunyai potensi dan
kapasitas untuk menggerakkan orang lain, sedangkan yang memiliki potensi
pribadi tanpa mempunyai kapasitas untuk menggerakkan orang lain maka dia
29
tidak bisa dijadikan seorang pemimpin.27 Secara terperinci ada dua belas kategori
seseorang bisa dijadikan seorang pemimpin: lengkap anggota badannya, baik
daya pemahamannya, tinggi intelektualitasnya, pandai mengemukakan
pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya, pecinta pendidikan dan gemar
mengajar, tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita,
pecinta kejujuran dan benci kebohongan, berjiwa besar dan berbudi luhur, tidak
memandang penting kekayaan dan kesenang-kesenangan duniawi yang lain,
pecinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim, tanggap dan tidak sukar diajak
menegakkan keadilan dan sebaliknya sukar untuk melakukan atau menyetujui
tinjakan keji dan kotor dan yang terakhir adalah kuat pendirian terhadap hal-hal
yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan
penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.28
Al-Fara>bi mengklasifikasikan negara ke dalam empat kategori
berdasarkan sistem pemerintahan yang dipakai, pertama, negara Jahiliyah yaitu
negara yang tidak mampu mengarahkan rakyatnya pada kebahagiaan, kedua,
negara Fasiq yaitu negara yang sebenarnya tahu dan mampu mengarahkan
rakyatnya pada kebahagiaan, namun mereka tidak mengakui dan tidak
melakukannya, tetapi justru memainkan permainan politik kotor yang pada
akhirnya menjerumuskan mereka pada martabat rendah, ketiga, negara
mubaddalah adalah negara yang secara dzahir melakukan tindakan dan kebijakan
yang membantu rakyat, padahal yang terjadi sesungguhnya sangat merugikan
27 Abu Nas}r Al-Fara>bi, al-Siya>sah al-Madaniyah, 87.
30
rakyat, dan keempat, negara sesat adalah negara yang tidak membawa rakyat
pada kedamaian, tetapi pada pertentangan, disintegrasi dan kehancuran.29
Urgensi sebuah negara dengan tata pemerintahan yang mengatur dan
menata kehidupan beragama dan bernegara juga dikemukakan oleh Abu al-Hasan
‘Ali ibn Muhammad ibn H}abi>b Al-Ma>wardi. Al-Ma>wardi berpendapat bahwa
mengangkat seorang pemimpin untuk mengatur dan mengelola negara adalah
sesuatu yang wajib dilaksanakan untuk menata kehidupan beragama dan
bernegara. Hal ini tiada lain bertujuan untuk memberikan tatanan masyarakat
yang damai dan memberikan rasa aman kepada masyrakat dan menghindari
kerusakan.30Dan pemimpin itu adalah pemimpin yang harus ditaati oleh seluruh
elemen masyarakat.31
Untuk menyeleksi seorang pemimpin diperlukan dua hal, pertama, Ahl
al-Ikhtiya>r atau mereka yang berwenang untuk memilih imam (pemimpin) bagi
umat. Ahl Ikhtiyar tidak semua orang bisa memilih atau berwenang untuk
memilih imam, menurut al-Mawardi ada tiga syarat seseorang berwenang untuk
memilih imam; memiliki sikap adil, memiliki ilmu pengetahuan yang
memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat
sebagai imam dan memiliki wawasan yang luas serta kearifan yang
memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan
29 Jubair Situmorang, Model Pemikiran Dan Penelitian Politik Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 151.
31
yang paling mampu mengelola dan mengatur kepentingan umat diantara
orang-orang yang memenuhi syarat untuk posisi dan jabatan itu.32
Kedua, Ahl al Imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan sebagai
imam (pemimpin). Al-Mawardi berpendapat bahwa mereka yang berhak untuk
mendapatkan posisi imam harus memenuhi tujuh syarat: (1) Sikap adil dengan
segala persyaratannya; (2) Ilmu yang memadai untuk berijtihad; (3) Sehat
pendengaran, penglihatan dan lisannya; (4) Utuh anggota-anggota tubuhnya; (5)
Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola
kepentingan umum; (6) Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan
mengusir musuh; (7) Keturunan Quraisy. Sedangkan dalam hal pengangkatan
seorang imam ada dua cara, pertama, dengan cara pemilihan oleh Ahl al ‘Aqd wa
al-Hall. Mereka yang disebut dengan Ahl al-Ikhtiyar, kedua, melalui penunjukan
atau wasiat oleh imam sebelumnya. Kalau pengangkatan melalui pemilihan
terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang jumlah peserta dalam
pemilihan itu.33
Al-Ghazali (1058-1111) sebagaimana para sarjana muslim sebelumnya
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu
dengan yang lainya, dan hanya dengan terpenuhi kebutuhan dasar manusia maka
ketertiban dunia itu akan terwujud. Pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan
pembagian kerja dan profesi pada setiap level kehidupan manusia, terutama pada
bidang pertanian untuk meningkatkan persediaan pangan, tekstil untuk membuat
32
pakaian dan arsitektur untuk membuat bangunan.34 Dan pada gilirannya
profesi-profesi diatas membutuhkan mesin untuk mempermudah proses produksi
barang-barang diatas, kemudian terciptalah profesi dalam bidang pembuatan alat-alat
produksi. Untuk itu semua, maka diperlukan kerjasama dan saling membantu
antar sesama manusia. Dan dari sanalah lahir negara karena dorongan kebutuhan
bersama.35
Namun tujuan manusia hidup di dunia ini bukan hanya semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan materi dan duniawi saja. Tetapi kehidupan di dunia
adalah sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Sehingga dunia bak
ladang pertanian yang hasilnya kelak akan dipetik dan dipertanggungjawabkan di
akhirat. Atas dasar ini, kewajiban mengangkat seorang pemimpin yang ditaati
dan mampu untuk mendelegasikan tugas-tugas kenegaraan kepada ahlinya bukan
berdasarkan atas pertimbangan rasio belaka tetapi juga berdasarkan syariat. Dari
sini, maka agama dan raja ibarat dua anak kembar, agama adalah sebagai fondasi
sedangkan sultan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah
runtuh, dan suatu fondasi tanpa penjaga akan hilang.36 Maka seorang kepala
negara bukan saja mampu menguasai ilmu perpolitikan dan ketatanegaraan,
tetapi dia juga harus seorang yang mempunyai pengetahuan agama yang luas.
Ibn Taimiyyah yang mempuyai nama lengkap Abu Abbas Ahmad ibn
‘Abd al-Halim ibn ‘Abd al-Salam ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Taimiyyah
(lahir 1263) menuangkan pemikiran politiknya dalam sebuah karya yang berjudul
33
Al-Siya>sah al-Shar’iyyah fi is}la>h al-Ra>’i wa al-Ra’iyyah (Politik yang
berdasarkan Syari’ah bagi Perbaikan Pengembala dan Gembala). Melalui
karyanya, Ibn Taimiyyah berusaha memberikan kontribusi dalam perbaikan
situasi masyarakat dan mengikis segala kebobrokan, baik moral maupun sosial
sebagai akibat dari berbagai malapetaka yang menimpa umat Islam karena
perang dengan Krusades yang tidak kunjung henti dan serbuan bangsa Tatar.37
Dalam muqaddimahnya Ibn Taimiyyah memberikan mengutip surat
Al-Nisa’ ayat 58 dan 59. Di ayat 58, kata Ibn Taimiyyah ditujukan bagi para
pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya
mereka menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak menerimanya, dan
bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa dan perselisihan antara
anggota masyarakat. Sedangkan pada ayat selanjutnya, atau ayat 59 Al-Nisa’,
ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat kepada pemimpin
mereka setelah ketaatan terhadap Allah dan rasul, dan melakukan segala
perintahnya selama tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat atau perbuatan
yang dilarang agama. Dan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka,
maka dalam mencari penyelesaian kepada Allah (al-Quran) dan rasul (Sunnah).38
Terlihat bahwa Ibn Taimiyyah mengedepankan teks-teks agama dalam berbagai
urusan dan persoalan yang terjadi dalam negara. Pola pemerintahan yang
dimaksud adalah pemerintahan yang integral bukan sekular.
37 Ibid., 82-82.
38 Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn ‘Abd Salam ibn Taimiyyah (tahqiq: ‘Ali ibn Muhammad al
34
Berbeda dengan para sarjana muslim lainnya, dalam tulisannya, Ibn
Taimiyyah tidak banyak menyinggung tentang kepala negara beserta mekanisme
pengangkatan kepala negara. Selaras dengan surat al-Nisa ayat 58, Ibn
Taimiyyah menekankan kepada para penguasa untuk menyampaikan amanat atau
titipan kepada yang berhak, yang mempunyai dua macam manifestasi; pertama,
dalam penunjukan dan pengangkatan pejabat-pejabat negara dan kedua, dalam
pengelolaan kekayaan negara dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda
dan hak milik rakyat.39
‘Abd al-Rahma>n ibn Muhammad ibn Muhammad ibn H}asan ibn Jabir ibn
Muhammad ibn Ibra>hi>m ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun (lahir 1332) yang lebih
dikenal dengan Ibn Khaldun memberikan konstribusi besar dalam wacana politik
dan ketatanegaraan Islam, yaitu ashabiyyah. Secara etimologi Ashabiyyah
berasal dari kata ‘asaba yang berarti kesukuan atau kelompok solidaritas untuk
menghadapi pihak luar.40 Dapat juga diartikan sebagai sebuah komunitas yang
terbentuk atas dasar kesamaan solidaritas dan semangat kesukuan, ras, bangsa
yang dapat mempersatukan. Sedangkan secara terminologis, seperti yang dikutip
Munawir Sjadzali dari Ibn Khaldun adalah semua orang yang memiliki
kebanggaan atas keturunannya. Rasa saling sayang dan saling haru antar mereka
yang mempunyai hubungan darah dan keluarga merupakan watak alami yang
35
Dalam politik dan ketatanegaraan ‘as}abiyyah mendorong bagi
terbentuknya sebuah negara dan dinasti. Dan diantara syarat ‘as}abiyyah adalah
terpilihnya seorang pemimpin yang mendapatkan dukungan dari keluarga dan
pengikutnya. Di dalam konsep ‘asabiyyah tidak semua orang bisa jadi pemimpin,
sebab pemimpin diperoleh melalui kemenangan. Oleh karena itu ‘asabiyyah
pemimpin haruslah lebih kuat dari pada ‘asabiyyah-‘asabiyyah yang lainnya
untuk mendapatkan legitimasi kepemimpinan.42 Dan pada akhirnya, tujuan dari
‘as}abiyyah itu adalah kekuasaan,43 karena hanya dengannya manusia dapat
memperoleh kehormatan dan kedudukan di mata manusia selain mampu
memperoleh kepuasan batin bagi dirinya. Maka merupaka hal yang wajar,
kekuasaan selalu diperebutkan, dan semua itu tidak akan terwujud kecuali
dengan ‘as}abiyyah atau solidaritas yang kuat.
Teori ‘as}abiyyah ini yang kemudian dirasionalisasikan oleh Ibn Khaldun
bahwa seorang pemimpin itu haruslah berasal dari kalangan Quraisy, dengan
argument bahwa kaum Quraisy adalah kaum terkemuka dan di zaman dahulu
mereka adalah pemimpin-pemimpin yang sangat terkemukan dan semua bangsa
Arab telah mengakuinya.44
Abu al A’la> Maudu>di (1903-1979) atau yang dikenal dengan
al-Maududi mempunyai konsep ketatanegaraan yang ia tuangkan dalam beberapa
tulisannya. Sebagai orang yang hidup pada masa modern dan dunia Islam
42 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 114. 43 Dalam hal ini Ibn Khaldun berkata: ‚Bahwa kemenangan terdapat di pihak yang mempunyai solidaritas yang lebih kuat, dan anggota-anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati
guna kepentingan bersama.‛ Ibid., 153.
36
sebagian besar sudah menjadi negara jajahan Barat yang memaksakan
paham-paham Barat ke dalam dunia Islam, salah satunya adalah paham-paham nasionalisme.
Beberapa pokok pikiran al-Maududi dalam beberapa literature yang ia tulis
menunjukkan bahwa negara yang ia cita-citakan tidak jauh berbeda dengan
konsep negara yang ditulis oleh para sarjana muslim pada era klasik. Diantara
pokok-pokok pemikiran al-Maududi tentang negara; pertama, Islam sebagai
sebuah agama adalah paripurna, di dalamnya juga mengatur tentang kehidupan
berpolitik dan bernegara. Sehingga umat Islam dalam berpolitik dan mengatur
kehidupan bernegara tidak harus meniru cara berfikir orang Barat, dengan
merujuk kepada sistem kekhalifahan pada zaman al-Khulafa>’ al-Rashidu>n sebagai
bentuk bernegara yang ideal dalam Islam.45
Kedua, kekuasaan tertinggi atau kedaulatan hanya di tangan Tuhan,
adapun manusia hanyalah pelaksana mandat dari Tuhann. Dengan demikian,
tidak dapat dibenarkan gagasan kedaulatan rakyat. Hukum tertinggi adalah
hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunah, dan hukum-hukum
turunannya tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber tersebut. Ketiga,
Sistem politik al-Maududi adalah universal dan tidak mengenal batasan-batasan
geografis, bahasa dan kebangsaan.46
Dasar utama dalam negara menurut al-Maududi adalah tauhid. Tauhid
mempunyai doktrin-doktrin yang sangat revolusioner dan mempunyai implikasi
yang besar dalam mengubah tatanan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang
37
yang diusung al-Maududi disebut teo-demokrasi, dengan tauhid sebagai sendi
suatau negara dan kemudian dijalankan oleh manusia. Berbeda dengan sistem
teokrasi yang dianut oleh bangsa Barat ketika abad pertengahan, dimana
sebagian kelompok pendeta mendominasi kekuasaan dan mentasbihkan diri
mereka sebagai representasi Tuhan di bumi. Al-Maududi tidak sependapat
dengan teokrasi ala Barat yang hanya membatasi kekuasaan hanya pada
segelintir orang (oligarkhi), tetapi semua elemen masyarakat yang dipandang
memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin maka dia berhak untuk menduduki
posisi tersebut dengan tetap di bawah aturan-aturan Islam.47
C. Konsep Negara Dalam Sejarah Islam
Diutusnya Muhammad SAW ke dunia sebagai risalah keislaman telah
memberikan perubahan yang besar ke dalam dunia, tidak terkecuali dalam dunia
politik dan ketatanegaraan. Sebagaimana yang diketahui bahwa bangsa Arab
adalah bangsa yang sulit diketahui titik temu dan persatuan di antara mereka.
Kehidupan mereka bersuku-suku dan membentuk suatu komunitas yang satu dan
yang lainnya menganggap dirinya merasa unggul atas yang lainnya. Kota
Mekkah pada saat itu terdiri dari berbagai suku, dimana tata kelola
pemerintahannya dipimpin oleh kaum aristokrat Quraish, sedangkan Madinah
tidak pernah memiliki persatuan dan kesatuan pemerintahan, akibat munculnya
konflik yang melibatkan dua suku utama Arab, Auz dan Khazraj, hal ini
dipersulit dengan keterlibatan Yahudi dalam konflik tersebut.48
47 Abu al-A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam (Bandung: Mizan, 1975), 159.
38
Tampilnya Muhammad sebagai seorang Nabi yang membawa misi
persatuan dan rahmat bagi seluruh alam telah mengubah dunia pada saat itu,
terutama kawasan Arab. Muhammad menunjukkan perannya dalam menyatukan
umat, tatkala usianya menginjak tiga puluh lima tahunn. Ketika terjadi
pertengkaran di kabilah Arab, tentang siapa yang berhak meletakkan hajar aswad
pada tempatnya, Muhammad muncul sebagai jalan keluar atas peristiwa tersebut,
dan sejak saat itulah Muhammad mendapat julukan al-Ami>n (orang yang dapat
dipercaya).49 Pada usia keempat puluh, Muhammad diutus menjadi seorang rasul
yang salah satu ajarannya adalah membentuk sebuah komunitas internasional,50
suatu komunitas tanpa ada batasan suku, kebangsaan dan geografis. Ajarannya
memandang bahwa semua manusia adalah sama tidak ada keunggulan antara
bangsa Arab dengan bangsa non Arab.
Terbentuknya sebuah masyarakat atau komunitas Islam (ummat) bisa
dilacak dari periodesasi kenabian Muhammad. Era kenabian Muhammad terbagi
menjadi dua fase, Mekah dan Madinah, yang antaranya dipisahkan oleh peristiwa
hijrah Nabi ke Madinah. Kedua fase ini bersinambungan dan tidak terpisah,
artinya bahwa fase yang pertama adalah titik tolak dari fase yang kedua. Pada
fase yang pertama embrio embrio masyarakat Islam mulai tumbuh dan
kaidah-kaidah pokok Islam sudah mulai ditetapkan secara general. Sedangkan pada fase
kedua, bangunan masyarakat Islam berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang
sebelumnya bersifat general sudah dijabarkan secara mendetail. Prinsip-prinsip
39
syariat Islam pada fase ini disempurnakan dan dideklarasikan yang kemudian
diaplikasikan, sehingga pada masa ini, Islam tampil dalam bentuk sosial integral
yang aktif menuju tujuan yang satu.51
Sebelum hijrah Nabi ke Madinah atau fase dakwah Nabi yang kedua,
tonggak bangunan politik dan kenegaraan Islam berawal dari baiat Aqabah I (620
M) dan baiat Aqabah II (622M).52 Setibanya Nabi sampai di Yathrib (Madinah),
diantara hal yang dilakukan adalah mempersatukan antara kaum Muhajirin dan
Anshar dalam ikatan tali p