• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP NASAKH DAN MANSUKH DALAM PERSPEKTIF AHMAD MUSTAFA AL-MARAGHI DAN MAHMOUD TAHA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP NASAKH DAN MANSUKH DALAM PERSPEKTIF AHMAD MUSTAFA AL-MARAGHI DAN MAHMOUD TAHA."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir

Oleh

LABIBUL WILDAN

NIM : F55212284

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Indonesia Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel

Surabaya adalah sebagai berikut.

Arab

Indonesia

Arab

Indonesia

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

ز

س

ش

ص

ض

´

b

t

th

j

h}

kh

d

dh

r

z

s

sh

s}

d}

ط

ظ

ع

غ

ف

ق

ك

ل

م

ن

و

ه

ء

ى

t}

z}

gh

f

q

k

l

m

n

w

h

Y

Sumber: Kate L. Turabian, A Manual of Writers of Term Papers, Theses, and Dissertations (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987)

Untuk menunjukkan bunyi hidup panjang (madd), maka caranya dengan menuliskan coretan horizontal (macron) di atas huruf, seperti a>, i>, dan u>. Bunyi hidup dobel(dipthong) Arab ditransliterasikan dengan menggabung dua huruf ay dan aw, seperti layyinah, lawwa>nah. Kata yang berakhiran ta>’

marbu>t}ah dan berfungsi sebagai s}ifah (modifier) atau mud}a>f ilayh

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Bism Alla>h al-Rah}ma>n al-Rah}i>m.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, semoga kita menjadi umat beragama yang penuh kasih sayang kepada

orang lain yang berbeda pilihannya dengan kita.

al-H{amd li Alla>h Rabb al-‘A<lami>n. Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan seluruh semesta jagat raya, bukan Tuhan satu golongan saja, yang telah

memberikan pertolongan dan wewenang kepada hamba-Nya sehingga tesis

dengan judul “Konsep Nasakh Mansukh dalam Perspektif Ah}mad Must}afa al-Mara>ghi> dan Mah}moud T}a>h}a>” ini dapat selesai. Shalawat serta salam semoga tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah melayani

dan menyebarkan agama kasih sayang yang universal (rah}mah li al-‘a>lami>n). Penulisan tesis ini tidak mungkin bisa selesai begitu saja tanpa adanya

keterlibatan dari mereka yang telah membantu penulis untuk melaksanakan tugas

penelitian ini. Oleh karenanya, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

terima kasih sedalam-dalamnya kepada keluarga, terutama kepada orangtua Ummi

Hj. Miskiyah AA, Abah K.H. Ahmad Fauzi Salim, Abah Muhammad Khozin

Barizi dan Ama Chullatul Lutfiyah atas kasih sayangnya yang amat tulus, dengan

diiringi do‟a dan tetesan air mata, keringat dalam mendidik, dan membesarkan

penulis. Begitu juga kepada istri penulis, Adinda Farah Nayla Rokhmatik yang

selalu sabar dalam mendampingi dan memotivasi penulis. Saudara-saudara

(7)

vii

Sundus Annisa, M. Mafakhiru Tanzil Azkiya. Dan sumua pihak yang sudah

membantu dan mendukung penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. Abd. A„la, M.A., Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Husein Aziz,

M.Ag., beserta wakil Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya,

Prof. Masdar Hilmy, MA,. Ph.D, yang telah memberikan arahan dan saran sampai

terselesaikannya penulisan tesis ini. Kepada para staf pengajar Program

Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A.,

Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A., Prof. Dr. H. Zainul Arifin, M.Ag., Prof.

Dr. H. M. Roem Rowi, MA, yang telah memberi wawasan pengetahuan dan bekal

akademik sebagai modal awal dalam penulisan tesis ini. Khususnya kepada Prof.

Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A., selaku pembimbing tesis yang penuh kesabaran

dan ketelitiannya dalam membimbing penulisan tesis ini. Tanpa bantuan dan

pengertiannya, penulis sangat sulit mendapatkan gambaran dan pijakan yang jelas

ke mana tesis ini diarahkan.

Ucapan yang sama penulis berikan kepada pihak-pihak yang telah

memberikan saran dan kritik kontruktif, Jaza>kum Alla>h khayra> kathi>ra>.

Surabaya, 20 Januari 2016

Penulis,

(8)

viii

MOTTO

ءاطخا عقاوم فرع ءارأا هوجو لبقتسا نم

(9)

ix

ABSTRAK

Labibul Wildan, Konsep Nasakh dan Mansukh dalam Perspektif Ah}mad Must}afa al-Mara>ghi dan Mahmoud T}a>ha> TESIS strata II Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, program pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2016 NIM: F5.5.2.12.284

Pembimbing : Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, M. A.

Kata Kunci : Nasakh mansukh, Must}afa al-Mara>ghi, Mah}moud T}a>ha>.

Problematika yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana Pandangan Mah}moud T}a>ha> dan al-Mara>ghi tentang konsep Nasakh mansukh; (2) Bagimana Persamaan dan Perbedaan Pandangan antara Mah}moud T}a>ha> dan al-Mara>ghi tentang konsep Nasakh mansukh. Penelitian ini dimaksudkan untuk: pertama, untuk mengetahui bagaimana Pandangan Mah}moud T}a>ha> dan al-Mara>ghi tentang konsep Nasakh mansukh, kedua, untuk mengetahui bagimana Persamaan dan Perbedaan Pandangan antara Mah}moud T}a>ha> dan al-Mara>ghi tentang konsep Nasakh mansukh.

Hasil penelitian mengungkap bahwa dalam pandangan al-Mara>ghi, nasakh menurut pengertian syara’ ialah habisnya masa berlaku suatu hukum ayat yang dibaca. Hikmah yang terkandung di dalam nasakh adalah karena hukum-hukum syari’at itu ditetapkan bcrdasarkan maslahat manusia. Sehingga, jika terdapat suatu hukum yang telah ditetapkan syari’at pada suatu waktu, berarti hukum tersebut sangat dibutuhkan. Sedangkan nasakhdalam pandangan Mah}moud T}a>ha> berangkat dari sebuah argumen bahwa ayat al-Qur’an memiliki dua periode. Pertama, periode Makkah yang disebutnya sebagai al-risa>lat al-tha>niyah dan kedua, periode Madinah yang disebutnya al-risa>lat al-u>la> . Berdasarkan hal tersebut, T}a>ha> berasumsi bahwa pemahaman tentang al-Qur’an bersifat evolutif. Evolusi penafsiran di zaman modern adalah dalam bentuk evolusi dari ayat Madaniyah ke ayat Makkiyah, dengan cara mengamalkan ayat-ayat Makkiyah dan me-nasakh ayat-ayat Madaniyah.

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iii

PENGESAHAN DIREKTUR ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO ... viii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 8

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Pembahasan ... 17

(11)

xi

A. Pengertian Nasakh ... 19

B. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Nasakh Mansukh ... 24

C. Pembagian Nasakh ... 29

D. Pendapat Ulama’ tentang Keberadaan Nasakh Mansukh ... 42

E. Syarat-syarat Nasakh Mansukh ... 47

F. Cara Mengetahui Adanya Nasakh ... 50

G. Beberapa Pemikiran Nasakh Kontemporer ... 52

BAB III. BIOGRAFI AH{MAD MUST}AFA AL-MARA<GHI< DAN MAH{MOUD T{A<HA< A. Ah}mad Must}afa al-Mara>ghi> ... 57

1. Biografi Ah{mad Must}afa al-Mara>ghi> ... 57

2. Karya Ah{mad Must}afa al-Mara>ghi> ... 61

3. Kondisi Sosial Ah{mad Must}afa al-Mara>ghi> ... 62

B. Mah}moud T}a>ha> ... 71

1. Biografi Mah}moud T}a>ha > ... 71

2. Karya Mah}moud T}a>ha> ... 76

3. Kondisi Sosial Mah}moud T}a>ha> ... 78

BAB IV. KONSEP NASAKH MANSUKH AH{MAD MUST{AFA AL-MARA<GHI< DAN MAH{MOUD T{A<HA< A. Nasikh Mansukh Ah}mad Must{afa al-Mara>ghi> ... 85

B. Nasikh Mansukh Mah}moud T}a>ha> ... 88

(12)

xii

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran-saran ... 100

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diskursus tentang nasakh mansukh hingga saat ini masih menjadi

kontroversi yang berkepanjangan di kalangan ulama.Sehingga masalah nasakh ini,

menimbulkan dua kubu yang berbeda di kalangan ulama tentang ada dan tidaknya

nasakh dalam A-Qur’an. Kubu pertama yang dipelopori oleh Imam Syafi’i dan

didukung oleh Subhy Al-Shalih menemukan adanya nasakh dalam Al-Qur’an.

Kubu kedua yang terdiri dari Muhammad Abduh, Abu Muslim Ashfahaniy dan

dari ulama Indonesia M.Hasbi Ash Shiddieqy tidak menemukan adanya nasakh

dalam al-Quran. Kedua kubu ini memberikan alasan-alasan untuk memperkuat

pendapatnya.

Perbedaan pendapat ulama tersebut terletak pada perbedaan penafsiran

ayat-ayat yang berhubungan dengan nasakh. Ada tiga ayat yang menjadikan para

ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasakh dalam Al-Qur’an. Tiga ayat

itu ialah; QS. Al-Nahl ayat 1011, QS.al-Baqarah ayat 1062, dan QS.al-Fushilat

1Artinya :“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah telah mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:”Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja. Bahkan, kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.”

(14)

ayat 42.3. Dalam banyak literatur ulumul Qur’an, kontraversi para ulama tentang

ada tidaknya nasakh dalam Al-Qur’an disebutkan secara global tentang ulama

yang mendukung maupun menolak adanya nasakh dalam Al-Qur’an, belum ada

penelitian masing-masing produk tafsir para ulama pada masa awal sampai

sekarang, kemudian dikelompokkan pada kategori mendukung maupun menolak

atas adanya nasakh dalam Al-Qur’an. Jika ini dilakukan tentunya akan menambah

bobot dan khazanah keilmuan Ulumul Qur’an, yang berkaitan dengan landasan

naqli maupun aqli dari para mufassir itu tentang pendapatnya yang berkaitan

dengan ada dan tidaknya nasakh dalam Al-Qur’an.

Selain itu, adanya berbagai metodologi yang dipengaruhi oleh arus

pembaharuan oleh beberapa sarjan muslim kontemporer, melakukan rekonstruksi

pemahaman terhadap konsep nasakh mansukh klasik yang dianggapnya tidak

mencerminkan universalitas al-Qur’an.4 Mereka mencoba menelaah kembali

konsep nasakh mansukh dengan lebih menitikberatkan pada aspek kemaslahatan

hukum dan relevansinya terhadap perkembangan zaman.Salah satu tokoh yang

merekonstruksi teori nasakh mansukh adalah Mah}moud T}a>ha>.

Apa yang digagas oleh beberapa sarjana muslim kontemporer tersebut

berawal dari ketidaksetujuan mereka terhadap konsep dasar nasakh

3Artinya: “…Yang tidak dating kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakngnya yang diturunkan dari (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”

(15)

mansukhklasik yang telah baku dan dianggap final di tengah mayoritas ulama.

Konsep dasar nasakh mansukh dianggap penting karena erat hubungannya dengan

pembentukan hukum Islam. Oleh karena itu konsep dasar nasakh mansukh dapat

dilihat dari dua definisi tentang nasakh yang dianut oleh mayoritas Ulama kasik.

Pertama, nasakh diartikan sebagai pernyataan tentang pemberhentian masa

berlaku hukum shar’i dengan cara atau proses syar’i juga. Kedua, menghapus

hukum syar’i dengan dalil syar’i yang turun setelahnya.5

Salah seorang ulama tafsir kontemporer yang sepakat dan mengikuti

pendapat ulama klasik adalah Ahmad Must}afa al-Mara>ghi>. Dia berpendapat

bahwa Nasakh menurut pengertian syara’ ialah habisnya masa berlaku suatu

hukum ayat yang dibaca. Hikmah yang terkandung di dalam nasakh adalah karena

hukum-hukum syari’at itu ditetapkan bcrdasarkan maslahat manusia. Sedangkan

maslahah,berbeda-beda sesuai denganperbedaan waktu dan tempat. Jadi,jika

terdapat suatu hukum yang telahditetapkan syari’at pada suatu waktu, berarti

hukum tersebut sangat dibutuhkan. Jika suatu ketika hukum tersebut sudah

tidak dibutuhkanlagi, dengan sendirinya hukum tersebut sudah habis masa

berlakunya.6

Al-Mara>ghi menambahkan, terkadang, hukum nasakh ini memakai

hukum yang cocok dengan suatu hukum yang pernah ditetapkan pada waktu yang

lain. Biasanya hikmah hukum terakhir lebih baik dibanding hukum yang pertama.

5Muhammad Abu> Zahrah, Us}ul al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Fikr al-Araby, tt), 185.

(16)

Atau paling tidak mempunyai nilai mas}lahah yang sama. Permasalahannya

hampir sama dengan dokter. Ia akan mengubah menu makanan dan resep

obat-obatan sesuai dengan kondisi si sakit dan lamanya penyakit yang telah diderita.

Para Nabi juga sama dengan dokter, sekalipun Nabi berperan dalam bidang

lainnya, yakni bidang ruhani. Para nabi itu berwenang mengubah peraturan

syari’at dan hukum yang berkaitan dengan masalah akhlak.7 Hal tersebut bisa

dianalogikan seperti ramuan obat untuk badan. Jadi, sesuatu yang saat ini

dianggap sebagai maslahah, di saat lain sudah lain pula keadaannya.8

al-Maraghi menambahkan, setelah Allah menjelaskan hakekat wahyu

yang menjawab perkataan orang-orang yang membenci, Allah SWT menjelaskan

rahasia yang terkandung di dalam pe-nasakh-an, sekaligus mematahkan tuduhan

orang-orang yang membenci Al-Qur’an. Menurut al-Mara>ghi, dalam ayat-ayat ini,

Allah menjelaskan bahwa dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya

mengandung maslahat. Begitupun sebaliknya, Allah melarang sesuatu karena

terdapat mud}arat didalamnya.9

Argumentasi al-Mara>ghi> mengenai nasakh, mendapatkan kritik dari para

pembaharu hukum Islam diantaranya Mah}moud T}a>ha>. Dia berpendapat bahwa

nasakh bukanlah penghapusan “total dan permanen” melainkan “penghapusan

untuk sementara, menunggu saat yang tepat untuk dilaksanakan”. Ketika saat

7 Ibid.

(17)

yang tepat datang, maka hukum tersebut berlaku kembali. Dan saat ini adalah

saat yang tepat bagi umat Islam untuk memberlakukan kembali ayat-ayat

Makkiyah yang disebutnya sebagai ayat-ayat us{u>l dan me-nasakh ayat-ayat

Madaniyah yang disebutnya sebagai ayat-ayat furu’. Jika hal tersebut dilakukan,

maka ayat yang diberlakukan kembali tersebut menjadi ayat muh{kama>t,

sementara ayat yang muh}kama>t pada abad ke-7, sekarang di-nasakh.10

Dalam pandangan T{a>ha>, ayat makkiyah lebih tepat diterapkan di era

modern ini, karena memuat pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang

menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, dan martabat yang melekat pada

seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan agama, ras,

dan lainnya.

Sementara ayat madaniyah sesuai dengan kondisi dan kemampuan umat

Islam waktu itu. Jika selama ini hukum lebih banyak didasarkan pada ayat-ayat

madaniyyah, hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, karena situasi dan

kondisi saat ini berbeda dengan kondisi pada abad ke-7.11 Teori ini dalam

pandangan T{a>ha> pada dasarnya hanyalah perpindahan darinas{s{ ke nas{s{ (intiqa>l

min nas{s{ ila> nas{s{), yakni dari ayat-ayat Madaniyyah ke ayat-ayat Makkiyah.12

Berdasarkan teori tersebut, T{a>ha> kemudian melahirkan isu kebebasan,

persamaan,13 demokrasi, dan sosialisme.14

10Mah{moud M T{a>ha>, al-Risa>lat al-Tha>niyahmin al-Isla>m (t.t.: t.p. t.t.), 9-10. 11Ibid.

(18)

Oleh karena itu, menarik sekali apabila kedua tokoh yang dikenal sebagai

sarjana muslim kontemporer yang lebih dikenal dengan pembaharuan dalam Islam

memiliki padangan yang berbeda dalam konsep nasakhdan mansu>kh.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari deskripsi latar belakang penelitian di atas, dapat ditemukan arah

pembahasan dan batasan permasalahan yang hendak diangkat diantaranya:

1. Perspektif Ah}mad Must}afa> al-Mara>ghi dan Mahmoud T{a>h}a tentang

Eksistensi Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an.

2. Konsep Ah}mad Must}afa> al-Mara>ghi> dan Mahmoud T}a>h}a> tentang Nasakh dan

Mansukh dalam al-Qur’an

3. Titik Temu konsep nasakh dan mansukhanatara Ah}mad Must}afa> al-Mara>ghi

dan Mahmoud T{a>h}a.

Agar permasalahan dari tesis ini lebih fokus, maka penulis membatasi

permasalahan untuk dibahas sebagai berikut:

1. Pandangan al-Mara>ghi dan Mah}moud T}a>ha> mengenai nasakh mansukh

2. Perbandingan pandangan al-Mara>ghi> dan T{a>ha> mengenai nasakh mansukh

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok pikiran di atas, maka permasalahan yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah :

(19)

1. Bagaimana Pandangan al-Mara>ghi> dan Mahmoud T{a>ha> tentang nasakh

-mansu>kh dalam al-Qur’an?

2. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Pandangan antara Mahmoud T{a>ha> dan

al-Mara>ghi> tentang nasakh-mansu>kh dalam al-Qur’an?

D. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini

adalah:

1. Mengetahui pandangan Mahmoud T{a>ha> dan al-Mara>ghi> tentang nasakh

-mansu>kh dalam al-Qur’an?

2. Mengetahui Persamaan dan Perbedaan Pandangan antara Mahmoud T{a>ha> dan

al-Mara>ghi> tentang nasakh-mansu>kh dalam al-Qur’an?

E. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangsih

terhadap ilmu pengetahuan, khususnya bagi khazanah Studi al-Qur’an terutama

menyangkut nasakh mansukh, sekaligus sebagai landasan bagi peneliti-peneliti

selanjutnya dalam pengembangan kajian Studi al-Qur’an.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

pertimbangan bagi ulama, intelektual, dan praktisi hukum dalam melakukan

kajian, evaluasi, serta keputusan-keputusan hukum dalam rangka menjawab

(20)

F. Penelitian Terdahulu

Telah banyak hasil penelitian atau buku yang membahas tentang

pandangan al-Mara>ghi maupun Mah}moud T}a>ha> secara umum dalam kajian ulu>m

al-Qur’an. Akan tetapi sebatas pengetahuan penulis, tidak ditemukan buku atau

hasil penelitian akademis (skripsi, tesis ataupun desertasi) yang memaparkan

pembahasan mengenai pandangan al-Mara>ghi> dan Mah}moud T}a>ha> tentang

nasakh-mansu>kh.

Pembahasan tentang nasakh-mansu>kh bisa ditemukan di hampir semua

kitab us}u>l al-Fiqh, mulai dari yang klasik seperti al-Risa>lah karya Imam Sha>fi'i>,

al-Muwa>faqa>t-nya al-Sha>t{ibi{, al-Ih{ka>m karya al-A<midy, hingga kitab Us}u>l Fiqh

kontemporer seperti Us}u>l Fiqh-nya Abd al-Wahha>b Khalla>f, Abu> Zahrah,

Khud}ari> Bik, Wahbah Zuh}ayli>, dan lain-lain. Dalam berbagai kitab tersebut

dibahas tentang nasakh-mansu>kh secara umum, mulai dari pengertian, syarat,

dalil kehujjahannya, dan lain-lain. Hanya saja pembahasan ada yang lebih luas

semacam karya al-Amidy, namun ada yang lebih singkat, semacam Us}u>l

Fiqh-nya Khalla>f.

Di samping itu, ada kitab yang membahas nasakh-mansu>kh secara khusus,

yakni karya Ibn al'Arabi> dan al-Nah{h{a>s, yakni al-Na<sikh wa al-Mansu>kh fi>

Alquran al-Kari>m. Namun demikian, dalam kedua kitab tersebut, pembahasan

lebih dominan dalam bentuk menampilkan ayat-ayat yang termasuk dalam

(21)

Sebuah kitab yang juga membahas secara khusus tentang nasakh-mansu>kh

ditulis oleh A. Muta'a>l al-Jabari>. Namun berbeda dengan karya-karya di atas,

tulisan ini secara khusus melakukan bantahan-bantahan terhadap argumen atas

keberadaan nasakh. Dengan judul La>Nasakha fi> al-Qur'a>n, al-Jabari> mencoba

mengemukakan alasan secara rasional bahwa tidak pernah ada nasakh dalam

Alquran. Ia juga mencoba membantah penafsiran atas ayat-ayat yang selama ini

dianggap mansu>kh oleh kalangan yang mengakui adanya nasakh. Namun

demikian, al-Jabari> tidak memberikan ruang terhadap kontroversi yang terjadi di

kalangan ulama pendukung nasakh.

Di samping kitab-kitab us{u>l fiqh, hampir seluruh kitab-kitab 'ulu>m

al-Qur'a>n juga membahas tentang nasakh-mansu>kh, mulai dari kitab-kitab klasik

semacam al-Burha>n karya al-Zarkashi>, al-Itqa>n karya al-Suyu>t{i>, hingga

kitab-kitab ulu>m al-Qur'a>n kontemporer semacam karya S{ubh{i> S{a>lih{, Manna>'

al-Qat{t{a>n, dan lain-lain. Sebagai sebuah kitab yang membahas tentang ilmu-ilmu

Alquran secara umum, pembahasan tentang nasakh-mansu>kh dalam kitab-kitab

tersebut juga dibahas secara umum, semisal tentang pengertian, dalil kehujjahan,

macam-macamnya, dan lain-lain.

Berdasarkan penelusuran penulis, hingga penelitian ini ditulis belum

ada satu pun karya yang membahas tentang konsep nasakh-mansu>kh-nya

T{a>ha>secara khusus serta membandingkan dengan nasakh-mansu>kh dalam

(22)

Sebuah tesis, dengan judul: "Konsep dan Aplikasi Makkiyah dan

al-Madaniyah dalam Buku The Second Message of Islam”, ditulis oleh Haris

Shofiyuddin, dari PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam penelitiannya,

penulis membahas tentang konsep Makkiyah-Madaniyah Mahmoud T{a>ha> , serta

landasan pemikirannya. T{a>ha>menyatakan bahwa ayat-ayat Makkiyah memuat

pesan fundamental Islam sementara ayat Madaniyah bersifat respons dan

akomodasi terhadap kondisi saat itu. Penulis juga membahas tentang bagaimana

kedua bentuk kelompok ayat tersebut diaplikasikan dalam masyarakat.15

Dari luar negeri, gagasan Mahmud T{a>ha> juga diulas oleh Abdullahi Ali

Ibrahim dalam jurnal Hawwa dengan judul “Keep These Women Quiet:“

Colonial Modernity, Nationalism, and the Female Barbarous Custom”.

Sebagaimana terlihat dari judulnya, tulisan ini membahas ‘pembelaan’

T{a>ha>terhadap hak-hak kaum perempuan. Ibrahim memuji T{a>ha> yang

menurutnya rela menjadi martir, dieksekusi penguasa, demi memperjuangkan

keyakinan dan upayanya melepaskan kaum perempuan dari tradisi barbar.16

Tulisan Edward Thomas dengan judul “Islam’s Perfect Stranger : The

Life of Mahmud Muhammed T{a>ha>, Muslim’s Reformer of Sudan”.

Sebagaimana terlihat dari judulnya, buku ini merupakan buku biografi. Dalam

15Haris Shofiyuddin, "Konsep dan Aplikasi al-Makkiyah dan al-Madaniyah dalam BukuThe Second Message of Islam”, tesis, FO 140515, Konsentrasi: Pemikiran Islam , PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008.

(23)

bukunya penulis menyebut T{a>ha>sebagai pemimpin karismatik yang menyerukan

reinterpretasi Islam untuk mengakhiri diskriminasi hukum terhadap perempuan

dan non-Muslim. Edward Thomas juga mengeksplorasi kehidupan dan ide dari

sang pembaru Sudan yang penting yang dinilainya telah menjadi simbol untuk

hak resistensi, toleransi, dan kemanusiaan.

Tulisan lain tentang pemikiran T{a>ha> ditulis oleh M Zayyin Chudhori,

yang mengulasnya dengan judul “Gagasan Mahmoud T{a>ha> tentang Evolusi

Syari’ah” yang dimuat dalam jurnal Al-Qānūn. Dalam tulisannya, penulis

menyimpulkan tentang penggunaan metode nasakh sebagai metode istinba>t}

hukum Islam yang digunakan T{a>ha> dalam rangka pengkompromian ayat-ayat

Alquran untuk mengambil suatu kesimpulan hukum. Namun demikian, konsep

nasakh tawaran T{a>ha> berbeda dengan konsep jumhur selama ini, karena nasakh

dalam pandangan Mah}mūd Muh}ammad T{āhā bersifat tentatif dan temporal

sesuai dengan kebutuhan, tidak permanen seperti dalam pandangan

jumhur.Tulisan Zayyin Chudhori, disamping tidak fokus pada teori nasakh

-mansu>kh-nya T{āhā, juga tidak menyentuh sama sekali implikasi teori T{a>ha>

terhadap hukum Islam.

Penelitian terhadap pemikiran hukum T{a>ha> dalam bentuk buku ditulis

oleh Agus Moh. Najib dengan judul: "Evolusi Syari’ah: Ikhtiar Mahmoud M

T{a>ha> bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer”. Sekalipun sang penulis

(24)

jelas lebih lengkap memaparkan teori T{a>ha> tentang evolusi syariah dibanding

tulisan Zayyin Khudhori. Menurut Najib, sejatinya T{a>ha> sedang berupaya

mencari solusi bagi problem modernitas yang dihadapi umat Islam dewasa ini

dengan berusaha untuk tetap berpijak pada landasan dan prinsip Islam. Dalam

kesimpulannya, penulis mengatakan bahwa pemikiran T{a>ha> cenderung

mengkombinasikan antara spiritualitas dan rasionalitas.17 Dari sekitar 50 buah

buku karya T{a>ha>, yang digunakan sebagai rujukan oleh Agus M Najib adalah

dua buku, yaitu al-Risa>lah al-Tsa>niyah min al-Isla>m, dan Risa>lat al-S{ala>h.

Tetapi buku kedua ini hanya dikutip sebanyak 5 (lima) baris pada halaman

47-48. Yudian Wahyudi yang memberi pengantar buku ini mengatakan bahwa

untuk memahami totalitas pemikiran T{a>ha> dengan baik, perlu dikaji

karya-karya T{a>ha> yang lain.

Beberapa penelitian diatas tidak membahas secara khusus mengenai

pandangan al-Mara>ghi> dan Mahmoud T}a>ha> mengenai nasakh-mansu>kh secara

komparatif. Hal inilah yang kemudian memberikan pembeda antara penelitian

ini dengan penelitian sebelumnya.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dalam artian tidak bertujuan untuk

menguji objek penelitian tetapi memberikan gambaran objek mengenai

(25)

konsep nasakh-mansu>kh. Penelitian ini juga berupaya melakukan pencarian

terhadap literatur dengan memberikan interpretasi yang tepat terhadap data

dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

sistematis dan fakta-fakta mengenai persoalan yang peneliti selidiki.

Metode deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek

semata-mata apa adanya. Langkah ini diambil sebagai awal yang penting

karena menjadi dasar bagi metode pembahasan selanjutnya. Mengingat

bahwa pemikiran senantiasa dipengaruhi oleh kondisi setempat, adalah perlu

untuk menggambarkan latar belakang sosial yang relevan dari kedua tokoh

tersebut.

Untuk menjawab beberapa rumusan masalah di atas, penelitian ini

menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menempatkan riset pustaka

(library research) sebagai eksplorasi sumber datanyanya. Sejalan dengan

jenis penelitian kualitatif, jendela untuk melihat realitas dalam penelitian ini

adalah menggunakan paradigma kritis yang menempatkan realitas bukanlah

sesuatu yang sudah ada dan tinggal mengambil begitu saja. Studi pustaka18

dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang objek

penelitian, baik buku-buku ataupun beberapa hasil penelitian terdahulu yang

memiliki relevansi langsung dan tidak langsung. Di samping itu,

pengumpulan data serta informasi dilakukan dengan merujuk pada

(26)

dokumentasi tertulis, Ensiklopedi, jurnal dan beberapa makalah seminar

yang dapat mendukung penelitian.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini tidak menggunakan data primer yang merupakan

data hasil wawancara langsung kepada tokoh yang diangkat dalam penelitian

ini yakni Must}afa> al-Mara>ghi dan Mahmoud T}a>ha>, dikarenakan keterbatasan

penulis untuk menggali data secara langsung. Oleh sebab itu, dalam penelitian

ini hanya digunakan data sekunder yang merupakan data dari karya-karya

Mahmoud T}a>ha> dan al-Mara>ghi. Buku-buku T{a>ha> yang dipakai dalam

penelitian ini yakni al-Risalah al-Tha>niyah min al-Isla>m. Buku-buku T{a>ha>

yang lain yang akan dijadikan sebagai bahan primer diantaranya adalah

Risa>lat S{ala>h, Islam bi Risa>lat U<la> La> Yas{luh} li Insa>niyyat Qarn

'Ishri>n, Isla>m wa Insaniyyat Qarn 'Ishri>n, Tat{wi>r Shari>’at Ah{wa>l

al-Shakhs{iyah, al-Da’wat al-Isla>miyat al-Jadi>dah, T{ari>q Muhammad, dan

lain-lain.

Begitu juga, dalam penelitian ini sebagai data sekunder juga digunakan

kitab tafsir karya Mus}tafa al-Mara>ghi>. Begitu juga karya-karya lain ataupun

buku-buku yang membahas pemikiran al-Mara>ghi.

Adapun bahan sekunder yang lain adalah beberapa karya lain seperti

kitab-kitab A. Wahha>b Khalla>f, Abu> Zahrah, dan lain-lain, serta kitab-kitab

(27)

Karya Na'im yang pada dasarnya "men-syarahi" buku T{a>ha>, yakni

Dekonstruksi Syari'ah I dan II serta “Islam dan Negara Sekular”, juga akan

dijadikan sebagai data sekunder.

Begitu pula karya-karya lain baik buku, jurnal ilmiah, dan lain-lain yang

berkaitan secara tidak langsung dengan pemikiran T{a>ha> di atas. Begitu juga

sebagai sumber data sekunder adalah kamus-kamus yang dapat mengantarkan

pada pemahaman Nasakh-mansu>kh, misalnya lisan arab, mu’jam alfa>dz

al-Qur’an serta kitab-kitab lain yang berhubungan dengan pemaknaan tersebut.

Begitu juga data sekunder yang dipakai dalam penelitian ini adalah kitab

terjemahan al-Qur’an.

3. Analisis data

Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan data ke dalam

bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.19 Sesuai dengan jenis

dan data yang digunakan, teknik analisis data dalam penelitian ini adalah

teknik content analysis. Teknik content analysis secara sederhana dapat

diartikan sebagai teknik menganalisis muatan dari sebuah “teks” untuk

mengungkap dan memahami makna yang terkandung dalam teks tersebut.20

Dalam penelitian ini, analisis terhadap muatan isi, dilakukan secara

"analitis-kritis", serta deduktif - induktif.

(28)

Metode analitis-kritis memiliki dua karakteristik. Pertama; deskripsi,

pembahasan, dan kritik. Kedua; studi analitis, dengan melakukan salah satu

diantara tiga model studi, yakni studi hubungan (seperti pengaruh atau

implikasi, peranan), perbandingan, dan reinterpretasi.21 Deskripsi,

pembahasan, dan kritik, digunakan untuk memaparkan konsep al-Mara>ghi

dan T{a>ha> tentang nasakh-mansu>kh. Berdasarkan pembahasan tersebut,

kemudian dilakukan studi komparatif untuk menganalisis persamaan dan

perbedaan pemikiran al-Mara>ghi dan T{a>ha>. Analisis deduktif digunakan

ketika memaparkan teori al-Mara>ghi dan T{a>ha>.

4.Kerangka Konseptual

21Jujun S. Suriasumantri, "Penelitian Keagamaan dan Kefilsafatan: Mencari Paradigma Kebersamaan, Tradisi Baru Penelitian Islam: Tinjauan Antar displin Ilmu, ed. Mastuhu dan Deden Ridwan (Bandung: Nuansa, 2001), 72-74.

Konsep

Na>sikhMansu>kh

al-Mara>ghi>

Konsep

Na>sikhMansu>khM ah}mu>d T}aha

Persamaan

Perbedaaan Konsep

Nasikh Tradisional

Terminologi

Tujuan Fungs

Terminologi

(29)

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi

menjadi lima bab. Bab pertama meliputi pendahuluan yang berisikan latar

belakang masalah. Selain itu, pada sub pembahasan ini akan dijelaskan batasan,

rumusan masalah, kerangka teori dan tujuan serta manfaat penelitian. Bab

pertama akan ditutup dengan penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas tentang nasakh-mansu>kh, mulai dari pengertian,

landasan hukum, macam-macam serta syarat dan cara untuk mengetahuinya.

Bab ketiga mendeskripsikan biografi al-Mara>ghi dan T{a>ha> mulai latar

belakang keluarga, pendidikan yang ditempuhnya, aktivitas ilmiah, jabatan

publik yang dipegang, maupun karya-karyanya. Pada bab ini juga akan

dipaparkan keadaan sosial dan masyarakat keduanya. Pemaparan latar belakang

kehidupan al-Mara>ghi dan T{a>ha>ini penting dilakukan agar supaya dapat

memotret, dalam struktur sosial seperti apa pemikiran al-Mara>ghi

danT{a>ha>muncul dan dalam situasi sosial dan politik seperti apa al-Maraghi

danT{a>ha>memunculkan dan melahirkan pemikirannya.

Bab keempat membahas tentang teori al-Mara>ghi dan T{a>ha>. Bab ini

akan memberikan gambaran secara utuh bagaimana al-Mara>ghi danT{a>ha>

membangun metode nasakh-mansu>kh-nya. Begitu juga dalam bab ini akan

(30)

Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari

pembahasan dengan dilengkapi saran sebagai bahan rekomendasi dari hasil

(31)

19 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NASAKH DAN MANSUKH

A. Pengertian Nasakh

Secara bahasa, nasakh memiliki dua pengertian. Pertama; penghapusan/

penghilangan (al-Iza>lah), misalnya ﻞﻈﻟا ﺲﻤﺸﻟا ﺖﺨﺴﻧ (matahari itu telah menghapus

bayang-bayang). Pengertian ini diambil dengan merujuk pada surat al-H{ajj ayat 52,

























































































Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.1

Kedua; pemindahan (al-naql), misalnya بﺎﺘﻜﻟا ﺖﺨﺴﻧ (saya memindah/ menyalin

tulisan). Pengertian ini diantaranya merujuk pada surat al-Ja>thiyah ayat 29,



















































(Allah berfirman): Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah

kamu kerjakan.2

1 Tim penerjemah percetakan al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahannya (Madinah: Majma` Malik Fahd Li Thibaah Mushaf Syarif, 1418 H.), 519.

(32)

Ketiga; menggantikan (al-tabdi>l), pengertian ini diantaranya merujuk pada

surat al-Nahl ayat 101,

































































Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan

kebanyakan mereka tiada mengetahui.3

Keempat; peralihan (al-tahwi>l), dalam hal ini menurut al-Sijista>ni, di mana

beliau termasuk dari golongan ulama yang ahli dalam bidang bahasa, sebagaimana

yang berlaku peristilahan ilmu fara’id (Pembagian harta pusaka), yaituﺲﯾراﻮﻤﻟا ﺦﺳﺎﻨﺗ

yaknipengaliahan bagian harta waris dari A kepada B.4

Sebagaimana menurut Ahamd Von Denffer, ia mengatakan bahwa kata

nasakh berarti (an active participle) yang mempunyai arti (abrogating), sedangkan

mansukh berarti (passive), yang mempunyai arti (the abrogated). hal ini merupakan

aturan teknis dalam bentuk bahasa, yang pasti ada pada wahyu al-Qur’an, dengan

adanya penghapusan berarti di sini melibatkan pihak orang lain. Pada dasarnya,

sesutu yang dihapus berarti berhungan dengan istilah mansukh, sedangakan sesuatu

yang menghapus berhubungan dengan nasakh.5

3 Ibid., 417.

(33)

Dari bebrapa definisi tentang nasakh diatas, nampak bahwa nasakh memiliki

makna yang berbeda-beda, ia bisa berarti membatalkan, menghilangkan, menghapus,

menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus disebut mansukh dan yang menghapus

disebut nasakh, namun dari sekian banyak definisi itu, menurut tarjih ahli bahasa,

pengertian nasakh yang mendekati kebenaran adalah nasakh dalam pengertian

al-Iza>lah, yakni: ﮫﻧﺎﻜﻣ هﺮﯿﻏ تﺎﺒﺛاو ءﻲﺸﻟا ﻊﻓر (berarti mengangkat sesuatu dan menetapkan

selainnya pada tempatnya).6

Sebagaimana dalam pengertian etimologi, nasakh dalam terminologipun

memiliki pengertian yang berbeda-beda, sebagaimana pendapat yang mengatakan

bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil

hukum (khitab) yang lain.7 Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa

definisi nasakh menurut istilah adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil syara’

yang lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat. Sejalan dengan bahasa

Arab yang mengartikan kata nasakh sama dengan meniadakan dan mencabut,

beberapa ketentuan hukum syari’at yang oleh al-Sya>ri’ (Allah dan Rasul-Nya)

dipandang tidak perlu di pertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas

serta berdasarkan pada kenyataan yang dapat dimengerti, untuk kepentingan suatu

hikmah dan hanya diketahui oleh orang-orang memilki ilmu sangat dalam.8 Ada juga

yang berpendapat bahwa nasakh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil

(34)

syara’ yang datang kemudian dengan menghilangkan ‘amal pada hukum-hukumnya

atau menetapkannya.9

Dari beberapa definisi diatas yang paling mendekati kebenaran dengan

pengertian nasakh adalah definisi yang pertama dan terakhir, yakni mengangkat

hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.10 Maksudnya

hukum atau undang yang terdahulu dibatalkan atau dihapus oleh

undang-undang baru, sehingga undang-undangundang-undang yang lama tidak berlaku lagi.11

Dalam termenologi hukum Islam (fiqh) hukum yang dibatalkan namanya

mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus) disebut nasakh.

Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah hukum syara’ bukan hukum

akal dan pembatalan itu karena adanya tuntutan kemaslahatan.12

Adapun syarat-syarat Nasakh sebagai berikut:

1. Hukum yang yang dibatalkan itu adalah hukum syara’

2. Pembatalan itu datangnya dari khitab (tuntutan syara’) yang hukum mansukh.13

3. Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya hukum.

4. Sebagaimana yang ditunjukkan khitab itu sendiri, seperti firman Allah,

9 Abd al-Mun’im al-Namr, Ulu>m al-Qur’an al-Kari>m (Beirut: Da>r al-Kita>b, 1983), 183.

10 Muh}ammad Abd al-‘Az}im al-Zarqa>ni>, Mana>hil Irfa>n fi Ulum Qur’an, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr), 176.

11 al-Namr, Ulu>m al-Qur’an al-Kari>m, 184.

(35)





























































































































































































































































Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan

ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.14

Berakhirnya puasa dengan datangnya malam tidak dinamakan nasakh, karena

ayat itu sendiri telah menentukan bahwa puasa tersebut berakhir ketika malam

tiba.

5. Khitab yang mennasakhkan itu datangnya kemudian dari khitab yang

dinasakhkan.

(36)

6. Hukum yang dinasakh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat

tentang baiknya atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik), aniaya (buruk) dan

lain-lain.

7. Keadaan kedua nas tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan

satu sama lain.15

Adapun Rukun nasakh ada empat, yaitu:

1. Ada>h al-Nasakh (ﺦﺴﻨﻟا ةادا), yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan

(penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.

2. Al-Naskh (ﺦﺴﻨﻟا), yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang membuat hukum dan

Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu,

nasakh itu hakikatnya adalah Allah SWT.

3. Al-Mansu>kh (خﻮﺴﻨﻤﻟا), yaitu: yaitu hukum yang di batalkan, dihapuskan, atau

dipindahkan.

4. Mansu>kh ‘anhu, (ﮫﯿﻋ خﻮﺴﻨﻣ),yaitu: orang yang dibebani hukum.16

B. Sejarah perkembangan dan Pertumbuhan Nasakh Mansukh

Asal mula timbulnya teori nasakh ialah bermula adanya ayat-ayat yang

menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.17

Pengertian harfiah dari kata nasakh di atas pada satu sisi tanpak mengisyaratkan

ruang lingkup obyek (kajian) nasakh mansukh yang cukup luas disatu pihak. Dan

15 Abu Zahra, Us}u>l Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum (et.al) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 293-294. 16 Ibid., 252.

(37)

sejarah nasakh mansukh dipihak lain. Memiliki ruang lingkup yang cukup luas,

ketika nasakh mansukh dipahami dalam konteks internal ajaran Islam, maka akan

merambah dalam pendekatan eksternal antar agama, tepatnya pada syar’iat Nabi

atau Rasul yang satu dengan syari’at nabi dan rasul Allah yang lain.18 Sedangkan hal

ini memiliki sejarah yang panjang, artinya karena persoalan nasakh mansukh tidak

terbatas pada sejarah penurunan al-Qur’an, akan tetapi jauh melampaui pada

masa-masa itu yakni dalam hubungan dalam penurunan kitab Taurat (perjanjian Lama)

dan Injil (Perjanjian Baru) di pihak yang lain.19

Nasakh mansukh dalam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan

sebutan al-bada’ memang diperselisihkan dikalangan oleh Ulama tentang

kemungkinannya. Bagi kalangan Islam nasakh-mansukh eksternal agama sangat

dimungkinkan keberadaannya baik secara nalar (al-dali>l al-‘aqli>) maupun

berdasarkan pendengaran / periwayatan (al-dali>l al-naqli>). Sedang kelompok Nasrani,

secara mutlak kemungkinan al-bada’ antar agama itu, baik menurut logika akal

maupun menurut periwayatan (teks kitab suci) yang mereka yakini. Konsep bada’

harus ditentang berdasarkan teks (kitab) suci meskipun kemungkinannya secara

nalar sangat bias dibenarkan. Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan

bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap nasakh antar agama, pada dasarnya

18 Ibid., 190-193.

(38)

timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini terhadap konsep kenabian

dan sekaligus kitab sucinya.20

Berbeda dengan Wahbah al-Zuhailiy, beliau mengatakan bahwa orang-orang

Yahudi membuat nasakh dalam pengertian bada’ satu arti. Adapun perbedaan antara

nasakh dan bada’, yaitu: nasakh itu merubah ibadah yang tadinya halal menjadi

haram, atau sebaliknya. Sedangkan bada’ menghilangkan sesuatu dengan penuh

tuntutan.21

Berlainan dengan kaum muslimin sebagai pengikut Muhammad yang sudah

pasti mengikuti kenabian Musa dan Isa berikut kitab suci masing-masing kitab suci

yang telah disampaikannya yakni kitab Taurat dan Injil, orang-orang Yahudi

menolak kenabian Isa dan kenabian Muahammad sekaligus berikut kitab sucinya

al-Qur’an, meskipun pada saat yang bersamaan, mereka mengimani kenabian Musa dan

terutama pengakuannya kepada Isa yang tidak sebatas Nabi tetapi lebih mereka

menaikan kedudukannya sebagai “Tuhan”, sebutan Tuhan Yesus dan Tuhan anak

yang meraka sematkan kapada Isa, sebagaimana petunjuk kuat terhadap penuhanan

Isa bin Maryam oleh pemeluk Nasrani.

Bila orang-orang Yahudi menerima keberadaan bada’ maka dengan

sendirinya, mengakui Nabi Isa dengan Injilnya, dan pada gilirannya mereka auto

metically dan menerima kehadiran Nabi Muhammad dan al-Qur’annya.

Konsekwensinya mereka harus melepas kitab tauratnya. Demikian pula dengan

20 Ibid., 30.

(39)

orang-orang Nasrani dahulu. Jika sekiranya mereka menerima bada’ atau tepatnya

nasakh eksternal agama, maka dengan sendirinya akan menanggalkan kitab Injil dan

mengimani kenabian Nabi Muhammad.22

Ada jelas bahwa kondisi dan situasi mendesak yang menyebabkan lahirnya

ilmu Nasakh-Mansukh adalah juga yang menyebabkan munculnya ilmu asbab

an-Nuzul, karena ahli-ahli hadits tidak sepakat bahwa rasulullah saw memberikan

isyarat tentang kedua ilmu tersebut, atau memerintahkan untuk menyusun keduanya

baik secara eksplisit maupun implisit.

Persoalan nasakh dalam al-Qur’an bermula dari suatu pemahaman,

sebagaimana firman Allah,



















































Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak

di dalamnya.23

Ayat al-Qur’an tersebut diatas merupakan prinsip yang diyakini

kebenarannya oleh setiap muslim. Namun, demikian, para ulama’ berbeda pendapat

tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang pintas lalu menunjukkan adanya

kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasakh-mansukh.24

22 Suma, “Nasikh Mansukh...”, 30.

23 Tim penerjemah percetakan al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahannya, 133.

(40)

Dari ayat diatas hal ini menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak

mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara ayat satu dengan ayat yang

lainnya sementera di tempat lainnya al-Qur’an mengatakan. Sebagaimana firman

Allah,

























































Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu?.25

Abu Muslim Al-Asfahani menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas

kontradiktif, diselesaikan dengan jalan nasakh-Mansukh lantas ia mengajukan

proyek takhsis sebagai antitesa Nasakh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah

syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh.26

Sementara syarat dalam al-Qur’an itu bersifat kekal karena itu ia berlaku

sepanjang masa. Persoalan nasakh mansukh tidaklah mudah untuk menentukan.

Sedangkan menurut Muhammad Shahrur, ketika membahas nasakh-mansukh bahwa

ia adalah ilmu yang muncul setelah masa Nabi, adapun latar belakang kehadiran

ilmu tersebut adalah:

1. Perubahan konsep jihad menjadi konsep perang dan permusuhan konsep dakwah

dengan cara hikmah dan nasihat menjadi dakwah melaluin perang.

(41)

2. Menghilangkan konsep beramal atas dasar perhitungan ukhrawi dan

menggantikan dengan kreteria-kreteria yang tidak jelas dan longgar seperti

syafa’at, kewalian, perantaraan dan karamah yang kuncinya terletak di pemuka

agama.

3. Terpatrinya konsep Jabariyyah dan meniadakan secara total peran manusia.

4. Mengabaikan akal pikiran (logika) dan terpatrinya konsep penyerahan kepada

orang lain dalam membuat keputusankeputusan.27

C. Pembagian Nasakh

Bagi ulama yang mengakui adanya nasakh dalam Al-Qur’an membagi

nasakh dari berbagai segi. Pertama; ditinjau dari segi dalil yang menjadi obyek

nasakh, maka nasakh terbagi menjadi :

1. بﺎﺘﻜﻟﺎﺑ بﺎﺘﻜﻟا ﺦﺴﻧ (al-Qur’an di-nasakh oleh al-Qur’an ), misalnya, dalam surat

al-Baqarah: 240 disebutkan bahwa masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati

suami adalah satu tahun. Hukum yang disebut dalam ayat ini kemudian

dihapus dan diganti oleh ketentuan yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 234

yang menyatakan bahwa masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya

adalah empat bulan sepuluh hari:

2. ﺔﻨﺴﻟﺎﺑ ﺔﻨﺴﻟا ﺦﺴﻧ (sunnah di-nasakh oleh sunnah), misalnya, hadis yang awalnya

melarang orang berziarah kubur, namun kemudian memperbolehkan:

(42)

ْﻦَﻋ ،َةَﺪْﻳَﺮُـﺑ ِﻦْﺑا ِﻦَﻋ ،ٍرﺎَﺛِد ِﻦْﺑ ِبِرﺎَُﳏ ْﻦَﻋ ،ٍنﺎَﻨِﺳ ِﰊَأ ْﻦَﻋ ،ٍﻞْﻴَﻀُﻓ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ

َلﺎَﻗ ،ِﻪﻴِﺑَأ

:

ﺎَﻗ

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َل

:

ِرﻮُﺒُﻘْﻟا ِةَرﺎَﻳِز ْﻦَﻋ ْﻢُﻜُﺘْﻴَﻬَـﻧ ُﺖْﻨُﻛ

ﺎَﻫوُروُﺰَـﻓ

Meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Fud}ail, dari Abi> Sina>n, dari Muh}a>rib bin Ditha>r, dari Ibn Buraidah, dari Ayahnya. Dia berkata: Rasulullah bersabda: Dulu saya melarang kalian ziarah kubur, maka

(sekarang) berziarahlah.28

3. Alquran di-nasakh oleh sunnah (ﺔﻨﺴﻟﺎﺑ بﺎﺘﻜﻟا ﺦﺴﻧ ), misalnya tentang ayat wasiat

sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah: 180. Dalam pandangan

jumhur, ayat ini di-nasakh oleh ayat waris, serta hadis Nabi:

ثراﻮﻟ ﺔﻴﺻو ﻻ

Tidak ada wasiat bagi ahli waris.29

4. Sunnah di-nasakh oleh Al-Qur’an (بﺎﺘﻜﻟﺎﺑ ﮫﻨﺴﻟا ﺦﺴﻧ ), seperti perubahan kiblat

dari Baitul Muqaddas ke Bait al-Haram sebagaimana dijelaskan di atas.

Imam al-Syafi’i menolak bentuk nasakh yang ketiga dan keempat.

Menurut al-Syafi’i, nasakh hanya terjadi pada dalil yang sama, yakni al-Qur’an

dengan al-Qur’an, serta sunnah dengan sunnah. Alasan al-Syafi’i adalah:

1. Q.S. 2: 106 :

                                 

28 Abu> al-Fad{l bin Ha{jar al-‘Asqala>n>i, It{ra>f al-Musnid al-Mu’tali bi At{ra>f Musnad al-H{anbali juz 1 (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, t.t.), 608.

(43)

Pada ayat tersebut, Allah menisbatkan penggantian tersebut kepada diriNya

sendiri ( تﺄﻧ ) dan menyatakan bahwa yang me-nasakh lebih baik dari yang

di-nasakh ( ﺎﮭﻨﻣ ﺮﯿﺨﺑ ) > Hal tersebut menunjukkan bahwa yang me-nasakh

adalah Alquran.

2. Q.S. 10:15 :

 





  





Ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa penggantian hanya datang

dari Allah, bukan dari Nabi.30

Pendapat ini ditolak jumhur dengan alasan:

1. Seluruh hukum yang datang dari Alquran ataupun hadis Nabi berasal dari

Allah, sekalipun dengan nama yang berbeda, sebab Nabi tidak berbicara

kecuali berdasarkan wahyu.

2. Pada faktanya telah terjadi Alquran dan sunnah saling me-nasakh, seperti

wasiat, hukum pezina muhs{an, dan lain-lain.

3. Pernyataa Alquran bahwa yang me-nasakh lebih baik daripada yang

di-nasakh adalah hukumnya, bukan lafaznya. Dengan demikian, tidak ada

alasan untuk menolak adanya saling nasakh antara Alquran dan sunnah.31

Kedua; ditinjau dari segi bentuk nasakh, maka nasakh terbagi menjadi tiga,

yakni :

1. Nasakh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.

(44)

Dengan adanya nasakh ini bacaan dan tulisan ayatpun tidak ada lagi,

termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan terganti dengan hukum baru.32

Secara umum memuat nasakh hukum dengan sendirinya, berserta nasakh hukum

beserta bacaannya dan pendapat ini yang banya dipilih oleh Jumhu>r Ulama’.33

Sebagaimana model ini diikuti oleh imam al-Tabari, Zamakhsari, dan Tabarsi,

beliau tidak terpaku pada satu model saja seperti di atas, namun beliau semua

lebih memilih dalam perkara nasakh ini, ada yang memilih dua atau tiga model

nasakh sekaligus, yaitu nasakh hukm duna tilawah dan nasakh hukm wa

al-tilawa, sebagaimana yang dipilih oleh Tabari, sedangkan menurut Imam

Zamakshari dan Tabarsi, memilihat ketiga model nasakh sekaligus, yaitu:

nasakh hukm wa al-tilawa dan nasakh al- tilawa duna al-hukm.34

Misalnya ayat tentang penghapusan keharaman kawin saudara satu

susuan karena sama-sama menetek pada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan

dengan lima kali susunan saja. Hukum telah nasakh ini telah disepakati oleh

ulama berdasarkan ijma’, khususnya yang menyetujui nasakh. Sedangakan dalil

yang menunjukkan terjadinya nasakh macam ini yakni.35

ﻦﻋ

ﺔﺸﺋﺎﻋ

ﻲﺿر

ﷲا

ﺎﻬﻨﻋ

ﺖﻟﺎﻗ

:

ﺎﻛ

ﺎﻤﻴﻓ

لﺰﻧا

ﺮﺸﻋ

ﺎﺿر

تﺎﻋ

تﺎﻣﻮﻠﻌﻣ

ﻦﻣﺮﳛ

ﺲﻤﲞ

تﺎﻣﻮﻠﻌﻣ

ﰲﻮﺘﻓ

لﻮﺳر

ﷲا

ﻰﻠﺻ

ﷲا

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳو

ﻦﻫو

ﺎﳑ

اﺮﻘﻳ

ﻦﻣ

ناﺮﻘﻟا

32 al-Namr, Ulu>m al-Qur’an al-Karim, 118.

33 M. Rashid Rid}a, Tafsi>r al-Mana>r, Juz I (Beirut: Da>r al-Ilmiyyah, t.th.), 336-337.

34 Syamsuri, dan Kusmana, Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), 41.

(45)

Dari ‘Aisyah r.a berkata: termasuk ayat al-Qur’an yang dinuzulkan ( ayat yang menerangkan) sepuluh kali susunan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini), lalu dinasakh lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat Rasulullah, ayat-ayat itu yang termasuk yang dibaca dari al-Qur’an.

Sebagaimana pendapat tersebut dikutip oleh Adul Mun’im al-Namr, ia

menyatakan bahwa ayat yang menjadikan objek perubahannya serta adanya

nasakh pada al-Qur’an, menurutnya penilaian secara global bahwa segala

perkara dalam al-Qur’an itu mengalami persoalan nasakh (perubahan). Namun

hanya saja pada masalah perintah kewajiban dan hal itu membutuhkan suatu

penjelas, sehingga secara umum al-Qur’an memuat dua unsur pokok, yaitu:36

a. Memuat beberapa kaidah dan beberapa keutamaan yang sangat urgen.

b. Memuat ketentuan-ketentuan terhadap persoalan hukum. Seperti:

1) Dalam al-Qur’an menjelaskan kebutuhan primer yang berhubungan

dengan kaidah-kaidah tertentu seperti iman kepada Allah, Malaikat,

kitab-kitab, rasul-rasulnya, dan hari akhir. Dan mengandung potensi

keutamaan yang berhubungan dengan budi pekerti, seperti: jujur,

tolong-menolong, kasih sayang dll.

2) Disamping itu al-Qur’an menjelaskan beberapa persoalan terkait

nasakh-mansukh, karena kedua tersebut selalu ada dari waktu ke waktu.

Lebih lanjut Ia juga menjelasakan tentang persoalan nasakh al-hukmi wa

al-Tilawah, ini relatif sedikit ayat yang membahas pada persoalan tersebut

(46)

hanya terdapat dua ayat saja, yang mana pada waktu itu mereka menukil hadis

ghorib, ketika itu mereka meriwayatkan dari riwayat Aisyah. Hal ini telah

dijelaskan dalam kitab s}ah}i>h} al-bukha>ri dan s}ah}i>h} muslim.

ﺎﻛ

ن

ﺎﻣ

لﺰﻧا

ﻦﻣ

ناﺮﻘﻟا

ﺮﺸﻋ

تﺎﻌﺿر

تﺎﻣﻮﻠﻌﻣ

ﻦﻣﺮﳛ

،

ﺖﺨﺴﻧ

ﺲﻤﲞ

تﺎﻣﻮﻠﻌﻣ

،

ﰲﻮﺗو

لﻮﺳر

ﷲا

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳو

ﻦﻫو

ﺎﻤﻴﻓ

اﺮﻘﻳ

ﻦﻣ

ناﺮﻘﻟا

Ketika ayat al-Qur’an diturunkan berkenaan dengan 10 kali(susuan) yang

diharamkan, kemudian menggati menjadi 5 kali (susuan), pendapat

rasulullah memang seperti apa yang dibaca oleh Rasulallah.

Apa bila ada dua ayat yang masih (kontradiksi) kemudian Rasul telah

wafat, sementara sahabat membacakan kedua ayat tersebut, lalu bagaimana

solusinya? Dan bagaimana cara me-nasakh bacaan dan hukumnya secara

bersamaan, apakah nasakh hanya berfaedah secara hukumnya saja? Dalam hal

ini disetujui oleh Imam Syafi’i, sementara dari Imam Ibn Hambal tidak

menyetujui adanya hal tersebut. Adapun nasakh pada persoalan ayat saja, itu

berfungsi untuk membatasi hukum dan mengganti ayat al-Qur’an.37

Menurut kitab al-Intishar, karya Qodhi Abu Bakr, beliau menjelaskan

bahwa orang-orang yang menolak nasakh itu tidak membenarkan nasakh, hal itu

karena sudah ditetapkan oleh hadis ahad.

2. Menasakh hukumnya dan menetapkan bacaannya.

Maksudnya, tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca,

sedangkan isi hukumnya sudah dihapuskan, dalam pengertian tidak boleh

(47)

diamalkan. Sementara menurut al-Zamakhshari dalam bagian ini terdapat dalam

al-Qur’an sebanyak 63 ayat.38

Misalanya, ketentuan mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama

‘iddah satu tahun, terdapat pada ayat 240 dari surat al-Baqarah tentang

istri-istri yang dicerai suaminya harus ber’idah selama satu tahun dan dan masih

berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama ‘iddah selama satu

tahun. Sementara menurut al-Qadhi Abu al-Amali, bahwa dalam al-qur’an itu

tidak terdapat nasakh mansukh kecuali pada dua tempat: salah satunya terdapat

dalam. QS: [33] al- Ahzab: 50 dan 52.

Menurut al-Qadhi abu al-Ma’ali: tidak ada nasakh dalam al-Qur’an yang

lebih dahulu dari pada mansukh, kecuali di dua tempat salah satunya: (QS.

al-Ahzab: 50) menasakh Ahzab;52). Dan disebagian yang lain pada

QS.al-Baqarah:142, ayat ini didahulukan bacaannya tetapi ayat ini di mansukh dengan

(QS.al-Baqarah:144). Faidah didahulukan nasakh di sini adalah untuk

menguatkan hukum ayat yang dinasakh sebelum mengetahuinya ayat yang

men-nasakh-nya.39

(48)

3. Nasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya.

Maksudnya, tulisan ayatanya sudah dihapus, sedangkan hukumya masih

tetap berlaku. Menurut perhitungan para peneliti ayat-ayat yang telah dihapus

hukumnya kurang lebih terdapat 144 ayat.40

Dalil yang menetapkan adanya nasakh adalah hadits ‘Umar bin khatab

dan Ubai Bin Ka’ab yang berkata:

ﺎﻛ

ن

ﺎﻤﻴﻓ

لﺰﻧا

ﻦﻣ

ناﺮﻘﻟا

ﺦﻴﺸﻟا

ﺔﺨﻴﺸﻟاو

ﺎﻴﻧزادا

ﺎﳘﻮﲨرﺎﻓ

ﺔﺘﺒﻟا

ﻻﺎﻜﻧ

ﻦﻣ

ﷲا

Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan adalah ayat yang menjelaskan Orang tua dan orang tua perempuan itu jikalau keduanya

berzina, maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah.41

Dari ayat itu Umar bin Khatab r.a berkata: “jika manusia bertanya:

Beliau lalu menambahi keterangan didalam al-Qur’an (kitab Allah)

Referensi

Dokumen terkait