• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SPASIAL KONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN BEKASI PROVINSI JAWA BARAT EMPERSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN SPASIAL KONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN BEKASI PROVINSI JAWA BARAT EMPERSI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SPASIAL KONVERSI LAHAN SAWAH

DI KABUPATEN BEKASI PROVINSI JAWA BARAT

EMPERSI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Spasial Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat” merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2009

E M P E R S I

(3)

EMPERSI. The Spatial Study on Paddy Field Conversion in Bekasi Regency, West Java. Under supervision of I NENGAH SURATI JAYA and SYAIFUL ANWAR.

This study describes a development of paddy field conversion models in Bekasi Regency. The objective of the study is to obtain land conversion index of paddy field expressing the magnitude of paddy field conversion probability. The additional objective of the study is to identify the significant variable causing paddy field conversion. The statistical tests show that the predictive models for “developed” and “developing” region should be developed separatety. For developed regions only three variables (factors) that influence the paddy field conversion, i.e., income per capita, proximity from the road and density of population engaged with agriculture. Whilst for developing regions,more variables should be considered in paddy field conversion probability model, i.e., populatin density, rice production per ha, proximity from road, population having education more than yunior high school as well as, population density engaging with agricultural. The established models could be used to spatially estimate the probability of the paddy field convertion within the study site.

Keywords: spatial analysis, paddy field conversion index, paddy field, typologies, developed region, developing region.

(4)

RINGKASAN

EMPERSI. Kajian Spasial Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA dan SYAIFUL ANWAR.

Konversi lahan sawah di Jawa dan sekitar kota-kota besar di seluruh Indonesia sulit dihindari, seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan berkembang pesatnya pembangunan industri, infrastruktur, dan permukiman. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1,6 juta ha, sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di Jawa. Perkembangan Kabupaten Bekasi yang cukup pesat membawa implikasi terjadinya konversi lahan sawah yang cukup tinggi, pada kurun waktu 5 tahun (2003-2007) lahan sawah berkurang 407 ha, dari luasan 55.989 ha tahun 2003 menjadi 55.582 ha pada tahun 2007.

Sebagai dampak negatif konversi lahan sawah akan menyebabkan perubahan prilaku cuaca, penurunan daya serap air permukaan, meningkatnya potensi erosi, longsor maupun banjir. Dampak lain dari konversi lahan lahan pertanian adalah kesempatan kerja pertanian menurun sejalan dengan menurunnya lahan pertanian yang tersedia, kesempatan kerja yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi padi, dan degradasi lingkungan

Pengendalian konversi lahan sawah memerlukan suatu pengelolaan lahan sawah yang berdasarkan azas kelestarian lingkungan. Pengelolaan lahan sawah yang terintegrasi perlu didukung oleh data dan informasi yang tepat. Data yang multi waktu sangat bermanfaat untuk memperkirakan laju dan arah terjadinya perubahan konversi lahan sawah, sehingga kegiatan antisipasi dapat segera dilakukan. Mengingat laju konversi lahan sawah yang begitu cepat maka data yang dibutuhkan adalalah data terbaru yang dapat diperoleh secara cepat, akurat dan efisien. Dalam kaitannya sebagai sarana pengumpul data dan dektesi perubahan- perubahan tersebut, kajian secara spasial konversi lahan sawah memegang peranan yang sangat penting karena mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat dan relatif akurat.

Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk mendapatkan indeks konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi melalui pembangunan model perubahan lahan sawah. Tujuan umum tersebut dicapai melalui proses identifikasi variabel penentu konversi lahan sawah dan membangun model sebaran spasial konversi lahan sawah.

Metoda penelitian diawali dengan identifikasi tutupan lahan melalui klasifikasi citra Landsat TM tahun 2000 dan tahun 2005 dengan metoda klasifikasi terbimbing (supervised). Selanjutnya dilakukan, overlay peta tematik dan pembuatan layer aksesibilitas. Berdasarkan karakteristik bio-fisik dan sosial masyarakat, khususnya potensi ekonomi kabupaten dan indikator makro sosial ekonomi, maka wilayah kajian dikelompokkan menjadi tipologi wilayah berkembang dan wilayah sedang berkembang. Lebih lanjut untuk masing-masing tipologi dibangun model penduga peluang konversi lahan sawah.

Hasil kajian menunjukkan bahwa berdasarkan karakter bio-fisik dan sosial masyarakatnya, wilayah Kabupaten Bekasi dapat dikelompokkan atas dua tipologi

(5)

kemungkinan konversi lahan sawah untuk tipologi wilayah berkembang, sangat dipengaruhi secara signifikan oleh 3 (tiga) faktor yaitu tingkat pendapatan (x4),

kedekatan/jarak dengan jalan (x6) dan kepadatan penduduk yang bekerja di bidang

pertanian (x9), dengan persamaan matematik YW1= (10-127,175).x413.693 .x63,745 .

x92,268. Peluang atau kemungkinan konversi lahan sawah untuk tipologi wilayah

sedang berkembang dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor utama, yaitu kepadatan penduduk (x1), produksi padi (x2), kedekatan/jarak dengan jalan (x6), jumlah

penduduk yang berpendidikan setingkat pendidikan SMP atau lebih tinggi (x8) dan

jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian (x9), dengan persamaan

matematik Y W2= (1022,505) . x12,815 . x21,903 . x6-8,895 . x81,246 . x9-2,792. Untuk wilayah

berkembang sebaran spasial konversi lahan sawah dengan tingkat peluang yang tinggi terdapat di Kecamatan Cikarang Barat dan Cikarang Utara. Sedangkan untuk wilayah sedang berkembang peluang yang tinggi akan terjadi di Kecamatan Tarumajaya, Babelan, Tambun Utara dan Karang Bahagia.

Kata kunci : Analisis spasial, indeks konversi lahan sawah, tipologi, wilayah berkembang, wilayah sedang berkembang.

(6)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Udang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

KAJIAN SPASIAL KONVERSI LAHAN SAWAH

DI KABUPATEN BEKASI, PROPINSI JAWA BARAT

EMPERSI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(8)

Judul Tesis : Kajian Spasial Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat Nama Mahasiswa : Empersi

Nomor Pokok : P052070311

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Kupersembahkan untuk:

Yang Mulia Keluarga Besar... Zainal Twk Nagari Basa & Rusana di Bukittinggi

Yang Mulia Keluarga Besar... Zainal Twk Nagari Basa & Rusana di Bukittinggi

Yang Mulia Keluarga Besar... Zainal Twk Nagari Basa & Rusana di Bukittinggi

Yang Mulia Keluarga Besar... Zainal Twk Nagari Basa & Rusana di Bukittinggi

Yang Mulia Keluarga Besar… H. Abdul Rais dan Hj. Radifah di Pekanbaru

Yang Mulia Keluarga Besar… H. Abdul Rais dan Hj. Radifah di Pekanbaru

Yang Mulia Keluarga Besar… H. Abdul Rais dan Hj. Radifah di Pekanbaru

Yang Mulia Keluarga Besar… H. Abdul Rais dan Hj. Radifah di Pekanbaru

Yang Tercinta Istriku.. Dra. Hernelis Rais, M.PSi.

Yang Tercinta Istriku.. Dra. Hernelis Rais, M.PSi.

Yang Tercinta Istriku.. Dra. Hernelis Rais, M.PSi.

Yang Tercinta Istriku.. Dra. Hernelis Rais, M.PSi.

Yang Tersayang Anak

Yang Tersayang Anak

Yang Tersayang Anak

Yang Tersayang Anak----Anakku..:

Anakku..:

Anakku..:

Anakku..:

Ibnu Syukron Al

Ibnu Syukron Al

Ibnu Syukron Al

Ibnu Syukron Alfaher

faher

faher

faher

Fachrul Riyan Herqafsi

Fachrul Riyan Herqafsi

Fachrul Riyan Herqafsi

Fachrul Riyan Herqafsi

Raisha Fachrani

Raisha Fachrani

Raisha Fachrani

Raisha Fachrani

(10)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih-Nya, sholawat dan salam dimohonkan kepada Allah SWT supaya dilimpahkan kepada Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Kajian Spasial Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Kajian ini berawal dari keresahan penulis melihat fenomena konversi lahan sawah yang terjadi pada akhir - akhir ini. Konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan karena dampaknya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah terkonversi ke penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan sawah.

Namun demikian kita dihadapkan pada ancaman eksistensi sistem persawahan sejalan dengan kecenderungan semakin rusaknya sumberdaya alam dan lingkungan karena pendekatan pembangunan yang bersifat eksploitatif. Lahan sawah di daerah padat penduduk seperti di Kabupaten Bekasi mengalami konversi menjadi lahan untuk berbagai keperluan.

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengambil kebijakan dalam rangka pengendalian konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi. Selanjutnya bagi masyarakat diharapkan membuka wawasan bahwa pentingnya untuk menjaga dan mempertahankan lahan sawah.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, masih banyak hal yang diluar kemampuan penulis dan “tiada gading yang tidak retak”. Besar harapan penulis, saran, kritik dan sumbangan pemikiran yang membangun untuk penyempurnaan tesis ini.

Bogor, November 2009

(11)

Segala puji hanyala milik Allah SWT, karena dengan Ridho dan Rahmat-Nya akhirnya Tesis dengan judul Kajian Spasial Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat dapat diselesaikan.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, dengan tulus telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dalam membimbing dan mendidik penulis.

2. Bapak Dr. Ir.Syaiful Anwar, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan, motivasi, saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis. 3. Ibu Dr. Ir. Alinda F.M Zain, MSc selaku penguji luar komisi atas komentar,

saran dan masukan untuk perbaikan tesis ini.

4. Bapak Dr.Ir.Widiatmaka.,DEA, wakil Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah memberikan saran, kritikan dan nasehat sehingga tulisan ini menjadi lebih baik.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberikan nasehat dan arahan selama penulis menempuh pendidikan Pasacsarjana di Institut Pertanian Bogor.

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian di Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan sekaligus sebagai sponsor beasiswa.

7. Kapala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau beserta seluruh seluruh keluarga besar BPTP Riau di Pekanbaru.

8. Kakanda Effendri Rais, SE,MM,MT dan keluarga di Bekasi yang telah banyak memberikan bantuan sarana dan prasarana selama penulis menjalani pendidikan dan penelitian.

(12)

9. Segenap keluarga besar penulis di Bukittinggi, Kakanda Syukri Djamili Angku Babaju Ameh dan keluarga yang dengan tulus ikhlas memberikan dukungan dan doa, demikian juga buat Kakanda Nurmaini dan keluarga, Kakanda Zuryetni dan keluarga serta Adinda Ernita beserta keluarga. Semoga semua ini menjadikan suatu nilai tambah yang tidak dapat diukur.

10. Keluarga besar di Pekanbaru, khususnya Ibunda Hajjah Radifah Tamin yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan, demikian juga kepada Kakanda Hertuti Rais dan Keluarga, Bang Indrayepi Rais dan keluarga, serta Heryanto Rais dan keluarga. Terimakasih atas semua dukungannya.

11. Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada istriku Dra.Hernelis Rais,Mpsi beserta ananda Ibnu Syukron Alfaher, Fachrul Riyan Herqafsi dan Raisha Fachrani yang telah memberikan kebahagiaan dan kebangaan bagi penulis atas semua pengorbanan, pengertian, kesabaran dan doanya selama penulis menyelesaikan studi magister ini.

12. Segenap staf administrasi Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan rekan-rekan mahasiswa program studi PSL yang mulia khususnya “Angkatan 2007”.

13. Bapak Uus Saeful M, di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan IPB, atas ilmu dan kesabarannya dalam membantu dan memberikan semangat kepada penulis. Demikian juga buat Mas Edwine Setia Purnama dan Mohamad Fatah Noor.

14. Bapak dan Ibu keluarga besar Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan IPB, bu Ning, bu Tien, pa’ Ahiar, pa’Langgeng, bu Nur, pa’ Samsuri, pa’Sigit, pa Hendra, pa’Choliq, Bejo, Priyo, Pipiet, Baki, Puput, Nonoi, Pipeh, Icha, Tiyas, Dian dan semua yang tidak tersebutkan,terimakasih atas kebersamaannya.

15. Terimaksih penulis sampaikan kepada rekan seperjuangan, seiring dan sejalan Bapak Dr. Rubiyo, pa’ Yusuf, pa’ Kardiono, pa’ Kartono, pa, Dahya, pa Nur Alam, semoga persahabatan ini tiada akhirnya.

16. Terimaksih kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.

(13)

Penulis dilahirkan di Nagari Sungai Talang Gadut, Kota Bukittinggi pada tanggal 6 Pebruari 1967 dari pasangan yang mulia ayahanda Zainal Twk Nagari Basa dan ibunda Rusana binti Mali. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara.

Pada Tahun 1986 penulis lulus dari SMA 2 Bukittinggi dan melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) penulis melanjutkan studi ke Universitas Andalas Padang pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan menyelesaikan studi pada Juni 1991. Pada bulan Maret 1995 penulis resmi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau sampai sekarang. Selanjutnya Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Program Magister (S2) pada bulan Agustus 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Penulis menikah dengan Dra. Hernelis Rais, M.PSi pada tanggal 22 November 1996, dan telah dianugrahi putra putri tambatan hati kami yaitu Ibnu Syukron Alfaher (1997), Fachrul Riyan Herqafsi (1998) dan Raisha Fachrani (2001).

(14)
(15)

xiv Halaman DAFTAR TABEL……… DAFTAR GAMBAR ………. xvi xvii I PENDAHULUAN ……… 1 1.1. Latar Belakang………. 1.2. Kerangka Pemikiran ……… 1.3. Perumusan Masalah ……… 1.4. Tujuan Penelitian ……… 1.5. Manfaat Penelitian ……….. 1 2 4 5 5 II TINJAUAN PUSTAKA……… 6

2.1. Faktor Pemicu Konversi Lahan Sawah……… 2.2. Dampak Konversi Lahan ……… 2.3. Peraturan Pemerintah Tentang Konversi

Lahan Sawah ………... 2.4. Perubahan Penggunaan Lahan ……….. 2.5. Efektifitas Kebijakan dalam Pengendalian Konversi

Lahan Sawah ………... 2.6. Analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) …………..

7 11 13 14 16 17 III METODE PENELITIAN ……… 20

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian………. 3.2. Data, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras ….………… 3.3. Tahapan Penelitian………..

20 21 21 IV KEADAAN UMUM WILAYAH……….

4.1. Sejarah Kabupaten Bekasi ………. 4.2. Biofisik Kawasan ……… 4.3. Kondisi Sosial Ekonomi ………

28 28 28 32

(16)

xv

V HASIL DAN PEMBAHASAN ……….……… 5.1. Penutupan Lahan ……….. 5.2. Tipologi Wilayah ……….. 5.3. Model Konversi Lahan Sawah ………. 5.4. Analisis Spasial Konversi Lahan Sawah ……….. 5.5. Akurasi Model ……… 40 40 46 49 50 55 VI KESIMPULAN DAN SARAN .………

6.1. Kesimpulan ……… 6.2. Saran ………..

56 56 57

DAFTAR PUSTAKA ………..

LAMPIRAN ……….

58 60

(17)

xvi

Halaman 1 Persamaan konsep dalam proses perubahan penggunan lahan

dan persaingan spesies ………. 15 2 Nilai skor untuk akses terhadap jalan dan pusat kecamatan ……. 24 3 Matrik Prosedur Kerja Kajian Spasial Konversi Lahan Sawah

di Kabupaten Bekasi ………. 27 4 Luas wilayah dan jumlah desa menurut kecamatan di

Kabuapeten Bekasi ……….. 32 5 Tenaga kerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Bekasi dari

tahun 2002 sampai 2006 ……….. 33 6 Jumlah tenaga kerja berdasarkan bidang usaha menurut

kecamatan di Kabupaten Bekasi ………. 34 7 Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi dari tahun 2003 sampai

dengan 2007………... 35

8 Luas lahan menurut penggunaannya di Kabupaten Bekasi…….. 36 9 Distribusi petani lahan sawah di Kabupaten Bekasi tahun 2007 37 10 Luas lahan sawah dan produktivitas padi sawah di Kabupaten

Bekasi dari tahun 2004 sampai tahun 2007 ………. 38 11 PDRB Per Kapita atas dasar Harga Konstan menurut kecamatan

di Kabupaten Bekasi dari tahun 2001 sampai tahun 2006 ……… 39 12 Tutupan lahan tahun 2000 ………. 40 13 Tutupan lahan tahun 2005 ………. 42 14 Matrik perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2005 44 15 Koefisien regresi dari setiap model menggunakan prosedur

“stepwise” ……….. 49

16 Analisis ANOVA dari setiap model ………. 50 17 Estimasi kelas peluang konversi lahan sawah di Kabupaten

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Diagram alir kerangka pemikiran kajian spasial konversi lahan

sawah di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat …...………….

3

2 Klasifikasi manfaat lahan pertanian ... 6

3 Lokasi penelitian di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat …. 20 4 Diagram alir penelitian ...………. 26

5 Tutupan lahan Kabupaten Bekasi tahun 2000 ……….. 41

6 Grafik tutupan lahan Kabupaten Bekasi ………... 42

7 Tutupan lahan Kabupaten Bekasi tahun 2005 ……….. 43

8 Perubahan tutupan lahan Kabupaten Bekasi tahun 2000 dan tahun 2005 ……….……… 45

9 Dendrogram derajat kemiripan antar wilayah kecamatan di Kabupaten Bekasi ……….. 47

10 Tipologi wilayah di Kabupaten Bekasi………. 48

11 Estimasi kelas peluang konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi………...……….. 54

(19)

1.1. Latar Belakang

Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki sifat terbatas, baik kemampuan maupun ketersediaannya. Kemampuan lahan dipengaruhi oleh karakteristik lahan, sedangkan ketersediaan lahan dibatasi oleh luas permukaan. Problem utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan pada saat ini adalah penggunan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya serta terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tidak terarah. Ketersediaan lahan yang sangat terbatas akan menimbulkan kelangkaan lahan dan konflik penggunaan lahan, sehingga mendorong terjadinya konversi lahan. Salah satu masalah konversi lahan adalah konversi lahan pertanian terutama lahan sawah menjadi penggunaan non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi penggunaan lahan lain seperti pemukiman dan industri merupakan kondisi aktual yang sulit dihindari karena merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan sosial ekonomi.

Sumberdaya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu hilangnya lahan sawah akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap aspek pembangunan. Konversi lahan sawah pada akhirnya sering menimbulkan kerusakan lingkungan. Daerah-daerah resapan air banyak dijadikan lokasi pemukiman ataupun daerah industri atau pusat perbelanjaan, sehingga berakibat terjadinya banjir, rusaknya lingkungan, dan dampak lingkungan lainnya. Selain itu daerah-daerah pertanian yang dikonversikan banyak mengakibatkan hilangnya produktivitas lahan pertanian dan manfaat lahan tidak optimal lagi.

Berdasarkan fakta, upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, karena lahan sawah merupakan ”hak milik pribadi” (private good) yang legal untuk ditransaksikan, sehingga hanya bisa dikendalikan. Pengendalian yang dilakukan sebaiknya bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan perangkat hukum. Namun hal tersebut hendaknya didukung oleh keakuratan

(20)

2 pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai (Suwarno, 1996).

Laju konversi lahan sawah yang terjadi sekarang ini diperkirakan lebih cepat dibandingkan dengan yang pernah terjadi sebelumnya. Untuk upaya pengendalian konversi lahan sawah diperlukan suatu pengelolaan lahan sawah yang berdasarkan azas kelestarian dan lingkungan. Pengelolaan lahan sawah yang terintegrasi perlu didukung oleh data dan informasi yang tepat. Data yang multi waktu juga sangat bermanfaat untuk memperkirakan laju dan arah terjadinya perubahan konversi lahan sawah, sehingga kegiatan antisipasi dapat segera dilakukan. Mengingat laju konversi lahan sawah yang begitu cepat maka data yang dibutuhkan adalah data terbaru yang dapat diperoleh secara cepat, akurat dan efisien. Dalam kaitannya sebagai sarana pengumpul data serta dekteksi perubahan perubahan tersebut, kajian secara spasial memegang peranan yang sangat penting karena mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat dan relatif akurat.

Untuk menyelaraskan kemajuan pembangunan dengan tetap mengupayakan peningkatan mutu lingkungan diperlukan kebijakan pembangunan yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan ekologi. Kajian spasial konversi lahan sawah dapat dijadikan penyusunan alternatif untuk kebijakan penataan dan pemanfaatan lahan di Kabupaten Bekasi di masa yang akan datang.

1.2. Kerangka Pemikiran

Proses konversi lahan sawah menjadi penggunaan lahan lain seperti pemukiman dan industri merupakan kondisi aktual yang sulit dihindari, karena tuntutan kebutuhan masyarakat sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan sosial ekonomi. Seiring dengan dinamika pembangunan yang ditandai dengan transformasi struktur ekonomi dan demografi, pada akhir tahun 1980-an telah terjadi fenomena alih fungsi (konversi) lahan sawah ke penggunaan secara massive di Pulau Jawa. Hasil sensus pertanian 1983 dan 1993 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun telah terjadi penurunan lahan pertanian seluas 1,1 juta ha. Dari penurunan luas lahan pertanian tersebut, sekitar 92% merupakan lahan pertanian di Jawa dan sebagian besar adalah lahan sawah.

(21)

Menurut Simatupang dan Irawan (2002), sejauh ini untuk mencegah dan mengendalikan konversi lahan sawah, pemerintah lebih fokus pada pendekatan hukum yaitu dengan membuat peraturan dan perundang-undangan yang bersifat melarang konversi lahan sawah, khususnya lahan sawah beririgasi teknis. Kebijakan tersebut sering tidak efektif karena berbenturan dengan kebijakan lainnya seperti industrialisasi, pembangunan perumahan rakyat dan pembangunan fasilitas umum lainnya.

Kajian konversi lahan perlu dilakukan terhadap penggunaan lahan yang telah ada maupun pada lahan yang berasal dari perubahan suatu penggunaan lahan. Hasil dari kajian tersebut dapat digunakan untuk penataan penggunaan lahan serta arahan untuk pemilihan lahan yang dapat dikonversi maupun yang harus tetap dipertahankan menjadi lahan sawah. Lokasi terjadinya konversi lahan dapat dideteksi atau dipantau secara akurat dengan menggunakan data inderaja dan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografi). Bagan alir kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran kajian spasial konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat.

Kebijakan Pemerintah Desakan Pemanfaatan Lahan Sawah Tuntutan Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat

Konversi Lahan Sawah

Indeks Konversi Lahan Sawah Analisis Spasial Peningkatan Penduduk dan Perekonomian Basisdata Spasial dan Tabular

Identifikasi dan Perumusan Permasalahan

Pembangunan Pusat Perdagangan, Industri, Perumahan

(22)

4 1.3. Perumusan Masalah

Peluang untuk menciptakan kesempatan kerja di sektor pertanian semakin terbatas, sehingga perlu dilakukan suatu upaya perubahan struktural. Perubahan struktural berarti pergeseran dalam wujud pangsa relatif sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja ke sektor non pertanian seperti industri, perdagangan dan jasa. Perubahan tersebut akan meningkatkan aktivitas ekonomi baru di sektor pertanian sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran tata guna lahan dari sektor pertanian ke penggunaan lain. Perubahan tersebut pada umumnya berasal dari peningkatan pembangunan terutama di kawasan perkotaan. Hal ini mengakibatkan terjadi tekanan yang lebih besar terhadap lahan pertanian yang berada di kawasan perkotaan dibandingkan dengan yang ada di pedesaan.

Di Pulau Jawa produktivitas dan produksi sektor pertanian sudah tidak bisa berkembang, bahkan memperlihatkan penurunan, maka sektor pertanian terutama di kawasan dekat perkotaan semakin terdesak. Keputusan untuk melakukan konversi lahan sawah secara otomatis merupakan hasil keputusan akhir, sehingga proses konversi lahan cenderung banyak menimbulkan dinamika perubahan. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 mengungkapkan bahwa selama tahun 2000-2002 total lahan sawah di Indonesia yang dikonversi ke penggunaan non pertanian rata-rata 187,7 ribu ha per tahun, sedangkan pencetakan sawah seluas 46,4 ribu ha per tahun, sehingga luas lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun (Sutomo, 2004).

Ashari (2003) menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional selama kurun waktu 1994-1999 di Pulau Jawa telah terjadi alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non sawah seluas 47.577,67 ha atau 11.894,92 Ha/tahun. Provinsi Jawa Barat mengalami konversi terbesar yaitu 41.436,00 atau 87,09% total konversi di Pulau Jawa. Tingginya laju konversi lahan sawah di Jawa Barat, khususnya di wilayah Karawang dan Bekasi karena dilakukannya pembangunan untuk industri. Dari luasan konversi di Jawa Barat tersebut 77,91% diantaranya digunakan untuk keperluan pembangunan kawasan industri.

Terkait dengan masalah ini, Menteri Pertanian pada akhir November 2006 mengungkapkan, konversi lahan pertanian secara besar-besaran didorong oleh kebijakan yang kurang memihak pada pertanian. Dalam rencana tata ruang

(23)

wilayah (RTRW) provinsi pada tahun 2003/2004, sekitar 3,1 juta ha atau 42% dari 7,3 juta ha lahan sawah beririgasi sudah dialokasikan untuk penggunaan non pertanian.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan indeks konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi melalui pembangunan model perubahan lahan sawah. Tujuan tersebut dicapai melalui proses:

1. Mengidentifikasi variabel penentu konversi lahan sawah 2. Membangun model sebaran spasial konversi lahan sawah

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan kebijakan dalam pengendalian konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak periode 1980-an telah melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana aspek distribusi dan kelestarian lingkungan maupun sosial budaya memperoleh perhatian yang proporsional seiring dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi (Munasinghe, 1993). Meskipun terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi lahan pertanian harus dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use values) dan manfaat bawaannya (intrinsic values). Pada Gambar 2 klasifikasi manfaat lahan pertanian yang menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengan kedua manfaat tersebut, yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya.

Gambar 2 Klasifikasi manfaat lahan pertanian.

TOTAL NILAI EKONOMI

Manfaat penggunaan

(Use values) (Intrinsic values) Manfaat bawaan

Manfaat tidak langsung Manfaat langsung Unpriced benefit Marketed output • Fungsi memperta-hankan keragaman hayati • Fungsi pendidikan lingkungan • Fungsi konservasi tanah dan air • Fungsi pengendali

pencemaran udara • Fungsi pengendali

water balance • Fungsi daur ulang

limbah • Fungsi rekreasi • Fungsi sosial - budaya • Fungsi pengen-dalian urbanisasi • Fungsi kesehatan Produk Pertanian - Pangan - Ternak/ikan - Kayu Fungsi Pendapatan masyarakat/negara

(25)

Selaras dengan gambaran multifungsi lahan pertanian pada Gambar 2, manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur berikut (Irawan, et al., 2000); adalah (1) penghasil bahan pangan, (2) penyedia kesempatan kerja pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan, (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan, (6) sebagai sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau gotongroyong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana pariwisata. Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996) yaitu (1) mengurangi peluang banjir, (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organik pada lahan sawah. Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut: (1) sebagai sarana pendidikan, dan (2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.

Selain fungsi positif, pengelolaan lahan sawah yang kurang memperhatikan kaidah konservasi dan pelestarian ekologi lingkungan berpotensi menimbulkan dampak atau fungsi negatif, yaitu dapat menyebabkan: (1) pemanasan global melalui efek rumah kaca, (2) pencemaran air dan tanah melalui penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida), (3) pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat pelumpuran saat aktivitas pengolahan tanah.

2.1. Faktor Pemicu Konversi Lahan Sawah

Seperti halnya penggunaan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong, beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Rustiadi et al. (2002) yang melakukan kajian pemanfaatan ruang Jabotabek menganalisis struktur berkaitan antar faktor-faktor yang diduga sebagai penentu perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek yaitu (1) struktur penggunaan lahan, (2) struktur pendidikan

(26)

8 masyarakat, (3) struktur aktivitas perekonomian masyarakat dan (4) kelengkapan dan daya dukung fasilitas di setiap wilayah.

Penelitian lain dilakukan Saefulhakim et el (2003) yang melakukan kajian terhadap struktur-struktur utama yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan. Faktor-faktor yang secara nyata menentukan perubahan penggunaan lahan yaitu tipe penggunaan lahan sebelumnya, status kawasan dalam kebijaksanaan tata ruang, status perijinan penguasaan lahan, karakteristik fisik lahan, karakteristik sosial ekonomi wilayah dan karakteristik interaksi spasial aktivitas sosial ekonomi internal dan eksternal wilayah. Selanjutnya Carolita (2005) menganalisis faktor penyebab perubahan penggunaan lahan di Jabotabek berdasarkan faktor fisik lahan (ketinggian, kemiringan lahan, jenis tanah, jenis penggunaan lahan sebelumnya), faktor sosial ekonomi (jarak dari ke pusat desa dan kepadatan penduduk) dan arahan penggunaan lahan (RTRW). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tingkat kelerengan dan ketinggian lahan yang berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi urban berturut turut adalah 0 – 3% dan ketinggian 250 – 400 meter. Sedangkan tingkat kelerengan dan ketinggian selain kedua kelas tersebut tidak berpengaruh nyata. Faktor jenis tanah, jarak dari pusat CBD (Cikarang-Bekasi-Darat) ke pusat desa, kepadatan penduduk, penggunaan lahan sebelumnya dan arahan penggunaan lahan secara statistik tidak nyata sebagai faktor penyebab perubahan penggunaan lahan.

Permintaan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu dipicu oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Sedangkan penawaran sumberdaya lahan dibatasi oleh baku permukaan yang bersifat tetap, variasi dan persebaran spasial kualitas lahan alamiah yang cenderung tetap, sehingga menyebabkan penawaran penggunaan lahan cenderung inelastik terhadap besarnya permintaan akan lahan. Penawaran sumberdaya lahan juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan saat ini. Dengan pengguasaan teknologi yang tepat maka produktivitas lahan meningkat sehingga akan dapat menurunkan ketergantungan terhadap ekstensifikasi usahatani (Saefulhakim et al., 2003).

Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) proses konversi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (i) sistem

(27)

kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

Menurut pihak Badan Pertanahan Nasional yang dilaporkan oleh Suwarno (1996), upaya-upaya pengendalian konversi lahan oleh pemerintah terasa memberikan hasil yang diharapkan. Namun penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian yang dilakukan Irawan, et al. (2000) peraturan yang ada belum cukup efektif untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke penggunaan lain.

Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), alih fungsi lahan 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam land tenur system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya menjelaskan 32,17 persen, dan faktor-faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen.

Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada.

a. Faktor Sosial

Menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.

b. Faktor Ekonomi

Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi

(28)

10 merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat inferior dibanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan industri. Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.

Penelitian Sumaryanto et al. (1996) di Jawa menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37%). Dari 63% tersebut, 33 persen untuk pemukiman, 6% untuk industri, 11% untuk prasarana dan 13% untuk lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan.

Konversi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus konversi seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi konversi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996).

Di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan (Jamal, 2001).

c. Faktor Peraturan Kebijakan

Selain faktor sosial dan faktor ekonomi, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap konversi sawah beririgasi adalah kebijakan pemerintah.

(29)

Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri yang tertuang dalam Keppres Nomor 53/1989 memberikan keleluasaan pihak swasta untuk melakukan investasi pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.

Kebijakan pemerintah lainnya yang dianggap berpengaruh terhadap kecenderungan konversi lahan adalah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Implementasi dari kebijakan ini dapat dilihat dari indikator izin lokasi yang telah dikeluarkan, yang kerap disertai praktek spekulasi lahan dan percaloan yang memacu peningkatan harga lahan secara cepat, sehingga pemilik lahan lebih tertarik menjual atau melepaskan pemilikan lahannya.

Kebijakan-kebijakan tersebut diperkuat dengan kebijaksanaan deregulasi dalam penanaman modal dan perizinan yang tertuang dalam Paket 23 Oktober 1993 (Pakto-23), yang salah satunya ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1993 tentang Tata Cara Perolehan Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi perusahaan untuk penanaman modal, yang memberikan kemudahan izin lokasi.

2.2. Dampak Konversi Lahan

Ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5- 2,5 juta ton/tahun (Irawan et al., 2000). Selain itu, alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya. Sumaryanto, et al (1996) memperkirakan hilangnya pendapatan dari usahatani sawah di Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai Rp 1,5 - Rp 2 juta/ha/tahun dan kesempatan kerja yang hilang mencapai kisaran 300-480 HOK/ha/ tahun. Sementara itu, perolehan pendapatan pengusaha traktor dan penggilingan padi berkurang masing-masing sebesar Rp 46 - Rp 91 ribu dan Rp 45 - Rp 114 ribu/ha/tahun.

Isu lingkungan di sektor pertanian menjadi topik pembicaraan setelah Revolusi Hijau digulirkan pada akhir 1960-an. Sejak program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) dideklarasikan oleh pemerintahan,

(30)

12

masalah lingkungan merupakan isu yang perlu diangkat dengan pengelolaan yang tepat. Las et al. (2006) mengemukanan bahwa di antara masalah-masalah lingkungan yang dominan di lahan pertanian, ada tiga dampak utama akibat kegiatan manusia yaitu dampak penggunaan sarana input produksi terhadap produksi pertanian dan lingkungan; dampak sistem pertanian terhadap emisi gas rumah kaca ; dampak kegiatan industri dan perluasan perkotaan dengan cara melakukan konversi lahan pertanian.

Degradasi lahan ditandai oleh penurunan atau kehilangan produktivitas lahan, baik secara fisik, kimia, dan biologi maupun ekonomi. Degradasi lahan diakibatkan oleh kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan. Pengelolaan dan penggunaan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), penebangan hutan (deforestation), konversi untuk nonpertanian, dan irigasi. Kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan akan menimbulkan polusi, erosi, kehilangan unsur hara, pemasaman, penggaraman (salinization), sodifikasi dan alkalinasi (sodification and alkalinization), pemadatan (compaction), hilangnya bahan organik, penurunan permukaan, kerusakan struktur tanah, penggurunan (desertification), dan kehilangan vegetasi alami dalam jangka panjang (Agus, 2002).

Memburuknya kondisi lahan menyebabkan masyarakat yang tinggal di kawasan yang mengalami degradasi menghadapi berbagai ancaman seperti kekurangan sumber air, kelaparan, dan munculnya berbagai penyakit. Selain itu, degradasi lahan secara global akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati dan menaikkan suhu permukaan bumi.

Keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang sangat luas dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena itu, konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak yang luas pada berbagai aspek pembangunan. Konversi lahan sawah akan berdampak pada manfaat tidak langsung umumnya terkait dengan lingkungan, antara lain (1) mencegah terjadinya banjir, (2) sebagai pengendali keseimbangan tata air, (3) mencegah terjadinya erosi, (4) mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan (5) mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Jenis manfaat

(31)

tersebut bersifat komunal dengan lingkup lebih luas dan dapat bersifat lintas daerah.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh manfaat lahan sawah tersebut di atas bernilai sekitar Rp.37,5 juta sampai Rp.39,6 juta per hektar per tahun. Dengan luas konversi sawah sekitar 188.000 hektar per tahun maka nilai manfaat yang hilang akibat konversi lahan sawah mencapai Rp. 8,67 triliun per tahun atau setara dengan 3,05% APBN tahun 2000-2002. Lebih dari 60% nilai manfaat tersebut bukan merupakan priced benefit, artinya, sebagian besar manfaat yang hilang akibat konversi lahan sawah merupakan manfaat yang dapat

dinikmati oleh masyarakat luas.

Salah satu dampak konversi lahan sawah yang sering mendapat sorotan masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional. Ketahanan pangan tersebut aspek dan dimensi yang cukup luas. Pengertian ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sesuai dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Kondisi swasembada pangan mulai diragukan sebagai satu-satunya indikator ketahanan pangan suatu negara. Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi swasembada pangan tidak selalu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk. Disamping itu kekurangan pangan yang diindikasikan dari mengalirnya impor pangan sebagai akibat dari berbagai faktor seperti kondisi iklim yang buruk, bencana alam, peningkatan serangan hama penyakit dan konversi lahan.

Ruang lingkup ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu dimensi ruang lingkup ketahanan pangan yang terkait dengan aspek kuantitas ketersediaan pangan, dimensi waktu dan musim yang terkait dengan aspek stabilitas ketersediaan pangan sepanjang waktu, dimensi sosial ekonomi rumah tangga yang terkait dengan aspek aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan, kulitas dan keamanan pangan.

2.3. Peraturan Pemerintah Tentang Konversi Lahan Sawah

Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian pemerintah mengantisipasi dengan membuat peraturan pertanahan. Pengaturan

(32)

14 ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya.

Dari dua belas peraturan yang ada tersebut sebagian besar (sembilan peraturan) membahas tentang larangan alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian. Tiga peraturan lainnya membahas tentang lahan subur dan pemanfaatan lahan kosong, serta batasan luas lahan untuk izin usaha. Peraturannya tersebut ditekankan hanya untuk sawah beririgasi teknis, maka akan memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan alih fungsi lahan dengan cara mengkondisikan sawah beririgasi menjadi sawah dengan tidak beririgasi, sehingga dapat dialih fungsikan. Keadaan ini banyak terjadi di lapangan, terutama pada lahan sawah beririgasi di sekitar pemukiman dan perkotaan, antara lain yang dilaporkan oleh Rusastra et al.(1997).

Walaupun sebagian besar peraturan yang berlaku berisi larangan, masih ada celah bagi pengejar rente untuk melakukan negosiasi dan lobi dengan memanfaatkan peraturan. Dalam peraturan tersebut penggunaaan tanah sawah beririgasi masih dapat dilakukan asalkan sesedikit mungkin dan dalam keadaan terpaksa. Dua keadaan ini sifatnya sangat relatif, sehingga berpotensi untuk memicu terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke non pertanian. Di samping itu tidak ada kejelasan ganjaran atau sanksi yang akan diberikan bagi yang melanggar aturan yang ada tersebut. Dengan demikian hasil analisis sesuai dengan pendapat Irawan et al. (2000), yang menyatakan alih fungsi lahan subur, seperti lahan sawah beririgasi terus berkembang seperti tanpa kendali. Hal tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang ada kurang efektif karena tidak dilengkapi sistem pemberian sanksi bagi pelanggar dan sistem penghargaan atau insentif bagi yang patuh.

2.4. Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lainnya yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan bentuk konsekwensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah

(33)

menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible), tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat (Winoto et al., 1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan lahan merupakan refleksi struktur perekonomian dan preferensi masyarakat yang bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka berimplikasi terhadap dinamika struktur penggunaan lahan sehingga dengan sendirinya alih fungsi lahan tidak dapat dihindarkan. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu sistem yang sama dengan ekosistem. Hal ini disebabkan pada satu kasus dalam sebuah ekosistem, dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menimbulkan kerusakan spesies lainnya. Terdapat kesamaan fenomena tersebut pada sistem perubahan penggunaan lahan. Pada Tabel 1 berisikan persamaan konsep dalam proses perubahan penggunaan lahan dan persaingan spesies.

Tabel 1 Persamaan konsep dalam proses perubahan penggunaan lahan dan persaingan spesies Tahap perubahan Proses Perubahan penggunaan lahan Persaingan spesies

Ke 1 Area pertanian terbagi atau

terpecah oleh adanya

perubahan jalan dan area permukiman

Jalan dan area permukiman

menyerbu ke dalam area pertanian

Ke 2 Area permukiman diperluas ke

dalam area pertanian

Area permukiman tumbuh semakin

banyak mengkonversi area

pertanian

Ke 3 Area komersial mengganggu

batas hingga ke dalam area permukiman

Area komersial menyerbu area permukiman dan area permukiman tumbuh terus menerus

(34)

16 2.5. Efektifitas Kebijakan dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Pendekatan yang diterapkan baru sebatas pendekatan hukum (law enfercement) yang masih banyak kelemahannya, sehingga peraturan-peraturan tentang lahan belum mampu mengendalikan kegiatan konversi lahan sawah. Ada tiga kelemahan mendasar. Pertama, obyek lahan yang dilindungi dari kegiatan konversi terutama ditentukan oleh kondisi fisik lahan (contoh: irigasi teknis) padahal kondisi fisik tersebut begitu mudah utuk dimodifikasi dengan rekayasa tertentu. Kedua, perataturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah konversi lahan secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sanksi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sanksi maupun pihak yang dikenai sanksi. Ketiga, kelemahan-kelemahan tersebut pada gilirannya membuka peluang bagi aparat daerah tertentu untuk meraih keuntungan pribadi dari kegiatan konversi lahan dengan dalih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Persepsi dan penilaian pasar terhadap lahan sawah yang cenderung under esti-mate, dimana nilai ekonomi lahan sawah hanya dilihat dari fungsinya sebagai penghasil komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah, menjadi salah satu faktor penyebab kurang efektifnya implementasi peraturan-peraturan yang dibuat untuk pengendalian konversi lahan sawah. Kenyataan itu tampak dari pelaksanaan kebijakan daerah yang tidak konsisten dengan peraturan-peraturan itu, seperti dikemukakan oleh Nasoetion (2003) bahwa banyak dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang justru mengalokasikan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. Kondisi tersebut juga mengidikasikan masih lemahnya koordinasi kebijakan dan adanya dualisme kepentingan yang saling bertolak belakang, dimana di satu sisi pemerintah berupaya keras melarang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah. Selain itu, peraturan-peraturan yang ada belum menyentuh kepada pihak perorangan yang melakukan perubahan penggunaan lahan sawah ke non pertanian, meskipun alih fungsi yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.

(35)

2.6. Analisis Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Selain itu SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Jaya, 2002). Dijelaskan juga SIG telah terbukti kehandalannya untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengambil, mengelola, memanipulasi dan manganalisa data serta menyediakan hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel, namun demikian fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial.

Keuntungan GIS adalah kemampuan untuk menyertakan data dari sumber berbeda untuk aplikasi deteksi perubahan. Walaupun penggabungan sumber data dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan. Deteksi perubahan adalah sebuah proses untuk mengidentifikasi perbedaan keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian khusus dari sisi waktu maupun keakurasian. Mengetahui perubahan menjadi penting dalam hal mengetahui hubungan dan interaksi antara manusia dan fenomena alam sehingga dapat dibuat kebijakan penggunaan lahan yang tepat (Lu, 2004).

Banyak pendekatan aplikasi GIS terdahulu untuk deteksi perubahan yang difokuskan pada daerah urban. Ini mungkin karena metoda deteksi perubahan tradisional sering menghasilkan deteksi perubahan yang tidak betul karena kompleksitas landscape urban dan model tradisional tidak bisa digunakan secara efektif menganalisa data multi-sumber. Sehingga,kekuatan fungsi GIS memberikan alat yang menyenangkan untuk pengolahan data multi-sumber dan efektif dalam menangani analisa deteksi perubahan yang menggunakan data multi-sumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan yang lebih akurat.

Dalam analisis SIG dikenal analisis spasial. Analisis spasial salah satunya dilakukan dengan tumpang susun (overlay) terhadap beberapa data

(36)

18 spasial (seperti parameter kelerengan, jenis tanah, curah hujan dan lainnya) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yaitu data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Manajemen data atribut dalam sofware ArcView memiliki beberapa fasilitas diantaranya: (a) sortir data, (b) perhitungan numerik, (c) penampilan statistik dan (d) pengekstraksian data tertentu. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial baru (Jaya, 2002).

Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang ilmu seperti pengolahan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang bisnis dan perencanaan pelayanan seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru. Di bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis dan analisis kesenjangan (gap analysis). Aplikasi SIG untuk tugas dan kewenangan pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain kewenangan di bidang pertahanan , pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan informasi kependudukan dan pemantauan lingkungan.

Menurut Lillesand dan Kiefer (1993) penggunaan SIG yang dikombinasikan dengan sistem penginderaan jauh menjadikan suatu teknologi yang terintegrasi dan dapat diterima dalam pengembangan studi atau penelitian. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan memadukan penerapan SIG dengan data penginderaan jauh adalah:

1. Basis dalam SIG dapat menyediakan data tambahan untuk membantu dalam proses klasifikasi atau analisis data penginderaan jauh, sehingga dapat meningkatkan akurasi dan ketepatan peta yang dihasilkan.

2. SIG mempunyai fasilitas untuk menerima (integrasi) dari berbagai format data yang dipadukan. Pekerjaan dengan SIG membutuhkan data khususnya data spasial yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk analisis dan permodelan fenomena-fenomena alamiyang komplek, dimana dengan

(37)

sistem penginderaan jauh dapat mengakomodasi semua tuntutan data tersebut.

3. Data penginderaan jauh dapat digunakan dengan cepat pada saat proses memperbaharui peta, utamanya pada kasus data hasil survey lapang yang lambat dan belum tentu selesai pada selang waktu kegiatan.

4. Data penginderaan jauh sangat bermanfaat bila dikombinasikan dengan SIG dari sumber data lainnya atau citra beberapa waktu (multitemporal) dan spektrum yang berbeda (multispektral) yang disajikan secara bersama-sama.

(38)

Babelan Bojongmangu Cabangbungin Cibarusah Cibitung Cikarang Barat Cikarang Pusat Cikarang Selatan Cikarang Timur Cikarang Utara Karangbahagia Kedungwaringin Muaragembong Pabayuran Serang Baru Setu Sukakarya Sukatani Sukawangi Tambelang Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya 720000 720000 730000 730000 740000 740000 750000 750000 9 2 9 0 0 0 0 92 9 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 93 0 0 0 0 0 9 3 1 0 0 0 0 93 1 0 0 0 0 9 3 2 0 0 0 0 93 2 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 93 3 0 0 0 0 9 3 4 0 0 0 0 93 4 0 0 0 0 2 0 2 4 Km

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat (Gambar 3). Selanjutnya pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis (GIS) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian ini dimulai dari bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Mei 2009.

(39)

3.2. Data, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data inderaja satelit TM Multitemporal tahun 2000 dan 2005 digunakan untuk memperoleh informasi penutup lahan. Sedangkan data sekunder yang digunakan meliputi data statistik produksi dan produktivitas tanaman padi sawah, jumlah penduduk, pendapatan perkapita, tingkat pendidikan, bidang tenaga kerja, peta rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) Kabupaten Bekasi dan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).

Perangkat lunak (software) yang digunakan berupa Erdas 9.1, Arc-View versi 3.2. Sedangkan perangkat keras (hardwere) yang dipakai adalah GPS (Global Positioning System), kamera digital, komputer dan printer.

3.3. Tahapan Penelitian

3.3.1. Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan

Klasifikasi terbimbing (supervised) terhadap data citra Landsat TM tahun 2000 dan 2005 dilakukan untuk menghasilkan citra penutup lahan. Supervisi dilakukan melalui pembentukan training area/sample berdasarkan interpretasi visual dengan bantuan peta penggunaan lahan. Proses klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode yang paling optimum, yaitu dengan metode Maximum-Likelihood, karena menggunakan nilai jarak dan variasi spektral. Informasi penggunaan lahan dapat diperoleh dari citra klasifikasi penutup lahan yang telah melalui proses pentapisan statistik (filtering 3x3) dengan menggunakan nilai mayoritas dan setelah melalui perbaikan dari kesalahan omisi berdasarkan informasi dari hasil survey atau peta penggunaan lahan. Pembentukan suatu kelas penggunaan lahan diperoleh dari penggabungan (recode) beberapa kelas penutup lahan.

Deskripasi kelas penggunaan lahan hasil klasifikasi yang digunakan mengacu pada pengertian atau defenisi dari Badan Pertanahan Nasional dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Situ (Danau Kecil)

Suatu tubuh air buatan yang mengalir, lebih sempit dan lebih dangkal dari pada danau.

(40)

22 b. Permukiman

Tanah yang tertutup oleh struktur buatan manusia, bangunan dan hasil aktivitas manusia lainnya dan digunakan untuk pemukiman. Pada citra komposit kanal 5-4-2 obyek pemukiman tampak berwarna mangenta keunguan dengan tekstur agak kasar (perbesaran 2 kali) karena adanya jaringan jalan.

c. Lahan Terbuka

Tanah yang tidak ditanamai atau dengan penanaman jarang yang permukaan tanahnya mempunyai lebih dari 50% batu atau tanah terbuka. Pada citra komposit kanal 5-4-2 tampak berewarna coklat.

d. Industri

Areal tanah yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa proses pengolahan bahan-bahan baku dan setengah jadi menjadi barang jadi. Pada citra komposit kanal 5-4-2 tampak berwarna mangenta terang dengan bentuk persegi teratur.

e. Sawah

Sistem pertanian beririgasi yang didominasi oleh tanaman semusim berumur pendek. Tanaman utama yang ditanam pada lahan sawah adalah padi. Pada citra komposit kanal 5-4-2 tampak berwarna hijau kebiruan (vegetatif) dan hijau terang (generatif) serta tampak genangan air berwarna biru.

f. Tegalan

Bentuk pertanian lahan kering, dengan batas tanah yang pada umumnya jelas dan ditanami lebih dari 7 tahun dalam 10 tahun. Pada citra komposit kanal 5-4-2 tampak berwarna hijau kekuningan.

g. Kebun Campuran

Tanah yang termasuk dalam klasifikasi kebun yang terdiri dari berbagai campuran tanaman keras dan semusim, tidak ada tanaman yang dominan. Pada citra komposit kanal 5-4-2 tampak berwarna hijau tua dengan tekstur agak kasar.

(41)

3.3.2. Pengecekan Lapangan

Survey lapangan dilakukan untuk mengecek obyek yang masih diragukan termasuk kelas apa dari hasil klasifikasi citra yang dibandingkan dengan obyek di lapangan. Selain itu juga untuk memeriksa kebenaran dan keakuratan hasil klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan Citra Landsat yang dibandingkan dengan penggunaan lahan aktual. Inventarisasi data dilakukan untuk mendapatkan potensi desa, produksi dan luas panen tanaman padi, pendapatan, tingkat pendidikan yang diperoleh dari instansi terkait.

3.3.3. Pembuatan Layer Aksesibilitas

Pembuatan zonasi terhadap jalan utama dan jarak terhadap pusat kecamatan menggunakan fungsi perkiraan. Jarak terhadap jalan utama (layer Jl) digunakan pada analisis spasial karena jarak tersebut menentukan harga jual/sewa lahan (land rent), sedangkan jarak terhadap pusat kecamatan mempresentasikan pengaruh tekanan penduduk terhadap konversi lahan karena alasan sosial maupun ekonomi.

Semakin jauh jarak suatu lokasi, maka kecenderungan terjadinya konversi lahan akan semakin kecil sehingga nilai skornya kecil atau sebaliknya. Pengaruh keduanya sebagai faktor sosial ekonomi dapat diwakili oleh suatu nilai yang disebut aksesibilitas.

Faktor aksesibilitas dapat dikuantifikasi secara spasial dengan mengkombinasikan jarak spasial dari jalan dan pusat kegiatan (kantor kecamatan) pada selang jarak 500 m.

Semakin besar nilai skor aksesibilitas mendekati nilai 100, menunjukkan aksesibilitas yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya konversi lahan akan semakin besar.

Besarnya aksesibilitas dapat dikelompokkan menjadi 5 tingkat kelas aksesibilitas dengan selang yang sama dari kisaran nilai skor aksesibilitas yaitu 20. Pengelompokan tingkat aksesibilitas adalah sebagai berikut : Sangat tinggi (>80), tinggi (60 – 80), sedang (40 – 60), rendah (20 – 40) dan sangat rendah (<20). Skor setiap kelas jarak dari jalan dan pusat kecamatan disajikan pada Tabel 2.

(42)

24

Tabel 2 Nilai skor untuk akses terhadap jalan dan pusat kecamatan

Jarak ke Jalan Skor Jarak ke Kecamatan Skor

< 500 m 100 < 500 100 500 – 1000 m 80 500 – 1000 m 90 1000 – 1500 m 60 1000 – 1500 m 80 1500 – 2000 m 40 1500 – 2000 m 70 > 2000 m 20 2000 – 2500 m 60 2500 – 3000 m 50 3000 – 3500 m 40 3500 – 4000 m 30 4000 – 4500 m 20 > 4500 m 10

3.3.4 Analisis Tipologi Kecamatan

Pembentukan tipologi wilayah dimaksudkan pengelompokan karakteristik kecamatan berdasarkan faktor sosial ekonomi yang ada di setiap wilayah. Tipologi kecamatan perlu dianalisis untuk melihat apakah terdapat beberapa model prediksi konversi lahan sawah atau hanya satu model saja. Pada dasarnya tipologi ini menunjukkan adanya perbedaan dalam konversi lahan sawah, baik dalam hal tinggi atau kecendrungannya. Tipologi akan melihat banyak faktor sebagai penentu konversi lahan sawah, mengingat kriteria yang digunakan lebih dari satu (multi kriteria).

Untuk mendapatkan estimasi konversi lahan sawah yang dikaji, maka dari 23 kecamatan yang ada di Kabupaten Bekasi dilakukan pengelompokan menggunakan analisis klaster. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui pengelompokan wilayah berdasarkan kesamaan atau kemiripan peubah-peubah pencirinya dalam hal ini pengelompokan berdasarkan pada potensi ekonomi kabupaten dan indikator makro sosial ekonomi Kabupaten Bekasi. Analisis klaster antar wilayah diukur menggunakan jarak Euclidean (Euclidean Disatance). Selanjutnya pengelompokkan/penggambaran klaster dalam bentuk dendrogram dilakukan menggunakan ArcView dengan Extensions Kappa & Dendrogram (Jaya’s)V1.2).

(43)

3.3.5. Pemodelan Peluang Konversi Lahan Sawah

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan konversi lahan sawah dan pola perubahannya, maka dilakukan analisis kuantitatif yaitu analisis peubah ganda dengan membangun suatu model peluang terjadinya konversi lahan sawah. Model regresi yang dibangun menggunakan peubah-peubah fisik dan sosial ekonomi masyarakat, sebagai peubah bebasnya (independent variable). Sedang peubah tidak bebasnya (dependent variable) adalah ada tidaknya masing-masing tipe perubahan yang dikaji. Jika ditemukan perubahan maka peluangnya 1(rentan terhadap konversi lahan sawah), sedangkan jika tidak ditemukan perubahan maka nilai peluangnya sama dengan nol (tidak rentan terhadap konversi lahan sawah). Peubah bebas yang digunakan pada analisis ini adalah:

x1 = Kepadatan penduduk (jiwa/km2)

x2 = Produksi padi sawah (ton)

x3 = Produktivitas padi sawah (ton/ha)

x4 = Tingkat pendapatan penduduk (Rp/tahun)

x5 = Jarak dari jalan utama (m)

x6 = Jarak dari kota (m)

x7 = Penduduk berpendidikan setingkat SMP atau kurang (jiwa/ km 2

) x8 = Penduduk berpendidikan setingkat SMA atau lebih tinggi (jiwa/ km2)

x9 = Kepadatan penduduk bekerja di bidang pertanian (jiwa/ km2)

x10 = Kepadatan penduduk bekerja di bidang non pertanian (jiwa/ km2)

Adapun bentuk persamaan untuk mendapatkan indeks konversi lahan sawah adalah

(

1 2 3 4

...

10

)

Y f x x x x x

=

Y = peluang konversi lahan sawah x1..i = Peubah bebas

Berdasarkan pengujian koefisien regresi, maka dapat diketahui peubah-peubah yang mana yang signifikan dalam setiap model untuk setiap kecamatan. Pengujian dilakukan uji t pada setiap koefisien yang diuji dan juga dilihat berdasarkan tingkat signifikansinya.

(44)

26 Selanjutnya langkah-langkah prosedur penelitian Kajian Spasial Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4

Citra Lansat TM

2000 dan 2005  Land Use Peta Tematik

 Rupa Bumi Ind (RBI)

 RUTRW

Klasifikasi

Tutupan Lahan Cek lapangan

Produksi Padi, Luas Panen Produktivitas, Jumlah Penduduk, Tingkat Pendidikan, Pendapatan, Bekerja di bidang pertanian, dll

Perubahan Tutupan

Lahan

Aksesibilitas  Akses ke Pusat Kegiatan

 Akses ke Jalan Utama Overlay Interseksi dengan batas administrasi Indeks Konversi Lahan Sawah Analisis Spasial

Gambar 4 Diagram alir penelitian.

Data Statistik

Basis Data Peta Digital

Tipologi Wilayah

Gambar

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran kajian spasial konversi lahan sawah  di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat
Gambar 2  Klasifikasi manfaat lahan pertanian.
Tabel 1 Persamaan konsep dalam proses perubahan penggunaan lahan dan   persaingan spesies  Tahap  perubahan  Proses  Perubahan   penggunaan lahan  Persaingan spesies  Ke 1  Area  pertanian  terbagi  atau
Gambar 3 Lokasi penelitian di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Potensi lahan sawah dengan produktivitas padi sawah yang memiliki kelas sesuai terdapat pada 6 kecamatan yaitu Kecamatan Kadipaten, Panyingkiran, Sukahaji,

Sebaran hashtag #2019gantipresiden menggunakan metode LISA yang bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi spasial antar wilayah di DKI Jakarta dan Jawa Barat memiliki

Irian Blok Pp, Kawasan Industri Mm 2100, Desa Jatiwangi, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi - Jl.. BEKASI Maxima Asta

Wilayah Bantul bagian utara yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, telah banyak mengalami pergeseran kondisi wilayah menjadi lebih urban atau telah banyak

Maka dari itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bekasi bekerja sama untuk pengelolaan sampah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli lahan di

Tujuan kajian ini adalah untuk membandingkan cara tanam padi sistem tanam pindah (tapin), tanam benih langsung cara tugal (tabela tegel) dan tanam benih langsung

Jababeka IV Blok C4-5 Desa Pasir Gombong, Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi no.tlp: 021-89840332.. Kawasan Industri Jababeka

Beberapa wilayah pesisir akibat adanya proses sedimentasi yang besar mengakibatkan terjadinya akresi (penambahan daratan) yang umumnya terjadi di kawasan muara