LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)
DI RUANG BEDAH UMUM RSUD ULIN BANJARMASIN
Oleh
FIRDAUS EL AKHMED PO7120111016
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN KEPERAWATAN BANJARBARU
LEMBAR PENGESAHAN
NAMA : FIRDAUS EL AKHMED
NIM : PO7120111016
JUDUL : LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA SEDANG
(CKS) DI RUANG BEDAH UMUM RSUD ULIN BANJARMASIN
Mengetahui,
Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA SEDANG (CKS) A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi.
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-14, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
B. KLASIFIKASI
• Mekanisme = berdasarkan adanya penetrasi durameter
a. Traum tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul).
b. Trauma tembus : Luka tembus peluru dan luka tembus lainnya.
• Keparahan cedera
a. Ringan : Skala koma Glasgow 15
b. Sedang: GCS 9 – 14
c. Berat : GCS 3 – 8
• Morfologi
a. Faktor tengkorak
- Karnium : Linear/ stelatum ; depresi/ non depresi ; terbuka/ tertutup. - Basis : Dengan/ tanpa kebocoran srebrospinal dengan/ tanpa
kelumpuhan nervus VII. b. Lesi intrakarnial
- Fokal : Evidural, subdural, intraserebral.
C. PATOFISIOLOGI Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
Cedera otak
Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan suplai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disorientasi.
Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Hemoragi cranial
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma:
1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
2. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.
3. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
Hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi:
- Gangguan kesadaran
- Konfusi
- Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
- Tiba-tiba defisit neurologik
- Perubahan TTV
- Gangguan penglihatan
- Disfungsi sensorik
D. PATHWAYS
Trauma kepala
Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot dan vaskuler
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang
Jaringan otak rusak (kontusio, laserasi)
Gangguan suplai darah
- Perubahan autoregulasi - Oedema serebral Resiko infeksi Nyeri Iskemia - Perdarahan - hematoma
Hipoksia Perubahan perfusi jaringan
kejang
Perubahan sirkulasi
CSS Gangg. Fungsi otak
Gangg. Neurologis fokal - Bersihan jln nafas - Obstruks i jln. Nafas - Dispnea - Henti nafas - Perubaha n. Pola nafas Peningkatan TIK - Mual-muntah Papilodema Pandangan kabur Penurunan fungsi pendengaran
Nyeri kepala Defisit neurologis Girus medialis lobus
temporalis tergeser Resiko kurangnya volume cairan Gangg. Persepsi sensori Resiko tidak efektif jln nafas Herniasi unkus
Tonsil cerebrum tergeser Kompresi medula oblongata Messenfalon tertekan Resiko injuri
immobilitasi cemas Resiko gangg. Integritas kulit Kurangnya perawatan diri Gangg. kesadaran
E. TANDA DAN GEJALA • Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
• Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak. • Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK
• Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali
• Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Pemeriksaan labolatorium
Pemeriksaan hematologi yaitu antara lain: Hb, leukosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan.
b. Pemerikasaan radiologi
1. Pemeriksaan rontgen = bagian kepala
2. Pemeriksaan CT atau MRI scan (skan Tomografi cumputer) untuk mengetahui daerah perdarahan dan pembekuan pada daerah otak. c. Pemeriksaan angiografi
d. Ventrikulografi udara
e. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) f. Ultrasonografi
G. PENATALAKSANAAN
1. Air dan Breathing
- Perhatian adanya apnoe
- Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
- Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
3. Disability (pemeriksaan neurologis)
- Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal.
- Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil.
- Menilai tingkat keparahan:
1. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
• Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif dan orientatif).
• Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya onkusi). • Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. • Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
• Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.
• Tidak adanya kriteria cedera sedang – berat.
2. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
• Skor skala koma Glasgow 9 – 14 (konfusi, letargi atau stupor).
• Konkusi.
• Anemia pasca tauma.
• Muntah.
• Tanda kemungkinan fraktur karnium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau renorea cairan serebrospinal).
• Kejang.
3. Cedera kepala berat (kelompk risiko berat) • Skor skala coma Glasgow 3 – 8 (koma). • Penurunan derajad kesadaran secara progresif. • Tanda neurologis fokal.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA SEDANG (CKS) POST OP A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut : 1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis
kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll.
2. Riwayat Kesehatan :
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah,
dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu :
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.
B. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
C. PENGKAJIAN SEKUNDER a. Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
b. Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang c. Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG
e. Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
f. Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN Pre Op
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1 Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan dapat mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
a. Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
b. Monitor status neurologis c. Pantau tanda-tanda vital dan
peningkatan TIK
d. Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya e. Letakkan kepala dengan
posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK
f. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai dengan indikasi,
pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi.
2 Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas pasien efektif
a.
Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas b.
Kaji reflek menelan dan
kemampuan mempertahankan jalan nafas
c.
Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala d.
Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
e.
Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing) f.
Catat pengembangan dada g.
Kolaborasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi
h.
Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedative i.
Lakukan program medis 3 Inefektif bersihan
jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan dapat mempertahankan potensi jalan nafas
-Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
-Kaji frekuensi pernafasan
-Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
-Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
-Kolaburasi : monitor AGD 4 Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi tepenuhi
- Pasang pipa
lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan
- Tinggikan bagian
kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah
terjadinya regurgitasi dan aspirasi
- Catat makanan
yang masuk
- Kaji cairan gaster, muntahan
- Kolaburasi
dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
- Laksanakan
program medic 5 Resiko cedera b.d
kejang, penurunan kesadaran
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atau postur refleksif
-Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
-Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan
penghalang tempat tidur
-Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
-Pasang pagar tempat tidur
-Jika terjadi kejang, jangan
mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
-Pertahankan tirah baring 6 Gangguan eliminasi
urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan dapat mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
-Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
-Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
-Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi
Post Op
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1 Resiko infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif. Setelah di berikan tindakan keperawatan selama 3 hari klien bebas dari tanda-tanda infeksi, dengan
criteria hasil:
- Klien
mencapai
penyembuhan luka tepat pada waktunya
- Luka
mongering dan tidak ada nyeri tekan pada area luka - TTV dalam batas normal T = 36 – 37 oC N = 70 – 75 x/mnt TD = 120/80 mmHg R = 16 – 24 x/mnt 1. Obserpasi tanda-tanda infeksi dan imflamasi
2. Berikan
perawatan aseptic dan antiseptik
3. Monitor TTV
4. Observasi area kulit yang mengalami kerusakan
5. Kolaborasi dalam pemberian obat anti biotic 1. Untuk memudahkan dalam menentukan intervensi selanjutnya secara tepat 2. Untuk mnghindari terjadinya penyebaran infeksi dari satu area ke area sekitarnya 3. Untuk mengetahui perkembangan kesehatan klien 4. Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhna bakteri atau infeksi 5. Untuk mencegah terjadinya infeksi dan imflamasi 2 Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d luka post op
Rasa nyaman klien terpenuhi setelah 2 hari perawatan dengan kroteria hasil :
- Kien
melaporkan nyerinya hilang - Tidak terdapat
nyeri tekan pada area luka dan memar
1. Kaji faktor penyebab rasa nyeri
2. Kaji status nyeri, durasi, frekuensi, kualitas dan skala nyeri 3. Monitor TTV 1. Untuk memudahkan dalam menentukan intervensi selanjutnya 2. Untuk mengetahui
sejauh mana nyeri dirasakan
3. Untuk mengetahui perkembangan kesehatan klien 4. Untuk mengurangi
4. Berikan posisi senyaman mungkin dan ajarkan teknik relaksasi
5. Kolaborasi: berikan obat analgetik
rasa nyeri klien
5. Untuk menguragi rasa nyeri 3 Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum Dalam 3 hari peawatan diharapkan klien mampu beraktivitas dengan mandiri dengan criteria : - Tidak di Bantu orang lain atau perawat - Klien tidak merasa lemah - Klien tidak hanya berbaring di tempat tidur 1. Observasi tanda-tanda vital 2. Kaji perkembangnan aktivitas klien selama perawatan
3. Kaji tentang kebutuhan aktivitas klien selama perawatan
4. Ajarkan teknik ROM kepada klien dan keluarganya 1. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan sehingga mampu mengontrol kemampuan untuk beraktifitas 2. Untuk menentukan intervensi selanjutnya 3. Menentukan aktifitas
yang sesuai dengan kondisi klien
4. Dengan ROM di harapkan konraktur sendi tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media Assculapius.