• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan abad 20, psikologi humanistik juga dikenal sebagai the

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan abad 20, psikologi humanistik juga dikenal sebagai the"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada pertengahan abad 20, psikologi humanistik –juga dikenal sebagai the Third Force atau Aliran Ketiga– lahir dan berkembang menjadi pendekatan yang populer dan adekuat dalam memahami dimensi psikis manusia (Grov). Pendiri maupun juru bicara yang paling representatif dari Aliran Ketiga ini adalah Abraham Harold Maslow. Humanistik berupaya untuk memberikan gambaran mengenai manusia secara holistik dan komprehensif dengan berpegang pada keyakinan fundamental bahwa manusia memiliki potensi untuk terus tumbuh mengarah pada kebaikan dan memiliki kapasitas untuk mengaktualisasikan diri seoptimal mungkin. Gambaran komprehensif untuk menjelaskan kepribadian maupun dinamika motivasi manusia ini Maslow tuangkan dalam teorinya mengenai Hierarki Kebutuhan. Di dalam teori ini, Maslow menyebutkan bahwa manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hierarkis. Agar dapat terus berkembang, maka kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara bertahap dimulai dari kebutuhan biologis sebagai kebutuhan yang paling mendasar, hingga kebutuhan aktualisasi-diri sebagai puncaknya.

Di akhir hayatnya, Maslow melakukan pengamatan komprehensif terhadap individu yang telah memenuhi kriteria self-actualizers (individu yang telah mencapai aktualisasi-diri). Hasil pengamatan tersebut menyatakan bahwa

(2)

self-Universitas Kristen Maranatha actualizers dimotivasi oleh kebutuhan maupun nilai-nilai yang sifatnya lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang belum mencapai aktualisasi-diri (http://www.enotes.com/maslows-hierarchy-needs-reference/maslows-hierarchy-needs). Kebutuhan maupun nilai yang dimaksud meliputi kebutuhan untuk bergerak melampaui diri, menghubungkan diri dengan kuasa yang lebih besar, juga dorongan untuk membantu sesama agar dapat menyadari potensi mereka (Dorling Kindersley Staff, 2012). Kondisi motivasional tersebutlah yang kemudian menjadi definisi representatif atas penemuan Maslow berikutnya, yakni kebutuhan transendensi-diri.

Penemuan Maslow akan konsep transendensi-diri ini tidak hanya memberi perubahan pada kerangka berpikir humanistik, namun juga merupakan awal bagi lahirnya disiplin ilmu baru, salah satunya psikologi transpersonal. Posisi kebutuhan transendensi-diri yang berada di puncak hierarki kebutuhan – melampaui aktualisasi-diri– menyiratkan bahwa aktualisasi-diri bukan merupakan akhir dari perkembangan manusia, melainkan bagian dari proses pengembangan potensi manusia yang berlangsung secara terus-menerus, dengan transendensi-diri sebagai potensi tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia (Maslow, 1971, hlm. 46).

Berkenaan dengan hal tersebut, Howard Clinebell, seorang konselor maupun pastor selama 30 tahun, mengemukakan bahwa sewaktu-waktu setiap individu akan mencapai titik ketika ia memiliki kebutuhan transendensi-diri, sebagai salah satu bentuk pemenuhan atas kebutuhan spiritual yang umum pada manusia. Pemenuhan atas kebutuhan transendensi-diri memiliki asosiasi yang

(3)

Universitas Kristen Maranatha

signifikan dengan kondisi emosional, sosial, fisik, dan spiritual well-being individu (Haugan, 2012, dalam http://www.rehrbar.wordpress.com/a-glance-at-previous-coursework/theory-analysis). Eksplorasi Maslow mengenai kebutuhan transendensi-diri ini kemudian berkembang ke dalam 3 disiplin ilmu yang berbeda; meliputi teori psikologi transpersonal, teori kepribadian, dan teori keperawatan (Hoshi, 2008). Meski masing-masing disiplin berkembang dengan kerangka pemikiran yang berbeda, namun pada intinya ketiga konsep transendensi-diri yang berkembang tersebut memiliki konsep dasar yang sama, yaitu bahwa aspek spiritual merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia, dan pemenuhan atas motif spiritual memiliki korelasi yang positif dengan kondisi well-being.

Pamela Reed, salah satu pelopor teori transendensi-diri dalam kerangka disiplin teori keperawatan, menyebutkan bahwa transendensi-diri merupakan jendela untuk mencapai kondisi well-being (Smith & Liehr, 2008, dalam http://rehrbar.wordpress.com/a-glance-at-previous-coursework/theory-analysis/). Seiring dengan tercapainya transendensi-diri, individu akan memiliki kapasitas yang lebih baik untuk memahami berbagai situasi di luar dirinya, juga memiliki penerimaan yang lebih baik mengenai hubungan yang dimiliki dengan lingkungannya. Singkatnya, pencapaian transendensi-diri merepresentasikan “karakteristik kematangan perkembangan” individu yang dapat diamati terutama ketika individu dihadapkan pada situasi yang sulit –seperti munculnya penyakit, atau kondisi lain yang menggambarkan kerapuhan seseorang.

(4)

Universitas Kristen Maranatha

Pencapaian transendensi-diri ini dibangun oleh dua elemen penting, yakni peak experience dan plateau experience (Maslow, 1971). Maslow mendefinisikan peak experience sebagai momen yang memuat beberapa (pada umumnya memang tidak semua) karakteristik berikut: “rasa suka cita yang mendalam, euphoria atau kebahagiaan, perasaan harmoni atau menyatu dengan alam semesta, munculnya kesadaran atau apresiasi yang lebih tinggi terhadap keindahan, atau perasaan lain yang sulit diungkapkan dengan kata-kata”. Pada momen tersebut individu memiliki kesadaran lebih akan adanya insight yang selama ini tersamarkan; otak berada pada performa optimal sehingga memungkinkan individu mencapai hampir semua intellectual goals yang ia tetapkan (http://www.trans4mind.com/ mind-development/maslow.html). Peak experience ini hanya berlangsung sementara; beberapa detik atau beberapa menit saja. Namun Maslow (1971) mengemukakan bahwa pengalaman tersebut tidak selalu datang tiba-tiba dan bersifat sementara. Ada individu tertentu yang memang memiliki „akses‟ untuk dapat sewaktu-waktu memasuki fase peak experience dan menetap di fase tersebut dalam waktu yang relatif lebih lama. Kondisi ini disebut sebagai plateau experience, yang merupakan bentuk berkelanjutan dari peak experience.

Dibandingkan dengan peak experience yang kemunculannya tiba-tiba, tidak terduga, fluktuatif, dan berlangsung sementara; plateau experience mengandung unsur disengaja, lebih „tenang‟ dan stabil ketimbang fluktuatif, membawa perubahan secara kognitif pada individu, bersifat konstan, dan menetap (http://www.ehe.org/display/ehe-page2f56.html?ID=23). Karakteristik individu yang berada di tahap plateau experience itulah yang kemudian diidentifikasi

(5)

Universitas Kristen Maranatha

sebagai karakteristik individu yang telah mencapai transendensi-diri (Maslow, 1971).

Peak experience dapat diperoleh melalui beragam cara. Ada yang mencapai peak experience melalui kekaguman terhadap karya seni yang dianggap luar biasa, rasa haru atas alunan orkestra musik klasik yang begitu menyentuh, pencerahan yang diperoleh melalui kontemplasi terhadap keindahan alam atau melalui proses meditasi, atau bahkan melalui sensasi yang diperoleh dari penggunaan LSD, melalui orgasme, dan sebagainya (Maslow, 1971). Sejumlah ilmuwan pemenang Nobel seperti Francis Crick, Kary Mullis, matematikawan Paul Erdos, bahkan Steve Jobs disebut kerap mengonsumsi LSD untuk memperoleh peak experience. Mereka mengemukakan bahwa peak experience memiliki peran besar dalam perolehan inspirasi, peningkatan kinerja, maupun pengambilan keputusan signifikan dalam hidup mereka (forums.randi.org/showthread.php?t=130990). Steve Jobs bahkan menyebutkan pengalaman LSD tersebut sebagai salah satu dari tiga hal terpenting yang pernah ia lakukan dalam hidupnya. Fenomena tersebut memiliki relevansi dengan pernyataan Maslow bahwa; peak experience merupakan kondisi ketika otak mencapai performa yang optimal sehingga memungkinkan individu untuk mencapai semua intellectual goals yang berusaha dicapai, dan mereka yang pernah mengalami peak experience, memandang peak experience sebagai salah satu hal terpenting dalam hidup mereka, sehingga mereka akan berusaha untuk mencapainya secara terus menerus (Maslow, 1971).

Albert Hoffman –penemu LSD– beserta sejumlah ilmuwan ternama lainnya menyepakati manfaat penggunaan LSD sebagai bagian dari proses kreatif melalui

(6)

Universitas Kristen Maranatha

pengalaman spiritual (http://www.wired.com/science/discoveries/news/2006/01/ 70015?currentPage=all). Carl Sagan, pakar astronomi dari Amerika –juga salah satu pengguna LSD– mengemukakan bahwa insight yang muncul saat individu masih berada dalam pengaruh LSD tidak diragukan merupakan insight yang adekuat dan bukan sekedar ilusi belaka (http://marijuana-uses.com/essays/ 002.html). Akan tetapi masalah utama yang kerap dihadapi para “ilmuwan pencari pengalaman LSD” tersebut adalah bagaimana mempertahankan insights yang muncul agar tetap dapat diakses bahkan pada saat mereka tidak sedang berada di bawah pengaruh LSD. Sebagaimana zat adiktif lainnya, penggunaan LSD secara terus-menerus untuk mencapai peak experience tentu bukan pilihan yang baik, terutama mengingat berbagai dampak negatif yang diakibatkannya seperti depresi, disorientasi, hilangnya kendali emosi, pening, perasaan panik yang akut, dan perasaan tak terkalahkan yang dapat mengakibatkan penggunanya melibatkan diri dalam kegiatan yang beresiko membahayakan mereka secara fisik (http://steadyhealth.com/articles/LSD_effects_on_body_and_ mind_a552.html ).

Fakta bahwa para ilmuwan tersebut terus berusaha mencapai peak experience melalui LSD merupakan salah satu bukti bahwa setiap manusia akan mencapai kondisi ketika ia memiliki kebutuhan akan pengalaman yang membawa mereka pada persepsi serta kapasitas yang melampaui kondisi sehari-hari mereka; pengalaman yang membangkitkan keyakinan, memberi makna dan harapan untuk melalui berbagai rintangan; pengalaman yang memfasilitasi individu untuk dapat menemukenali kebijaksanaan dan kreativitas sejati dalam diri (Clinebell, 1992, dalam www.thenewmedicine.org/health_planner_info/spirituality/understanding_

(7)

Universitas Kristen Maranatha

common_spiritual_needs). Hal-hal tersebut merupakan sebagian dari tujuh spiritual hungers yang umum dimiliki manusia, demikian menurut Howard Clinebell. Clinebell menyatakan bahwa setiap individu harus memerhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dan meletakkan perkembangan spiritualitas sebagai hal yang mendasar agar individu dapat merasa terpenuhi secara menyeluruh serta mencapai kesejahteraan. Sebagaimana halnya seseorang harus makan untuk memuaskan rasa laparnya, maka untuk dapat mengatasi spiritual hungers, individu perlu mengalami pengalaman spiritual dan mencapai transendensi-diri.

Meninjau kembali fenomena ilmuwan-ilmuwan pengguna LSD yang telah dipaparkan sebelumnya, fakta bahwa ilmuwan-ilmuwan tersebut membutuhkan LSD terus-menerus untuk memunculkan peak experience merupakan indikasi bahwa mereka belum mencapai kondisi plateau experience yang lebih menetap. Singkatnya, penggunaan LSD secara terus-menerus bukanlah solusi untuk mencapai pemenuhan atas kebutuhan transendensi-diri. Ken Wilber, pelopor teori psikologi integral, mengemukakan kalimat berikut sebagai mantranya; “states are free, but structures are earned”. Mencapai peak experience dapat dikatakan sebagai hal yang mudah dan nyaris tidak memerlukan usaha. Namun untuk dapat mempertahankan kondisi tersebut; untuk dapat memasuki kondisi plateau experience, diperlukan tekad, pelatihan spiritual yang konstan dan mendalam (Krippner, 1972, dalam http://newworldencyclopedia.org/entry/Abraham_ Maslow#Self-transcendence). Adapun pelatihan spiritual yang dimaksud antara lain meliputi meditasi, refleksi-diri, kegiatan keagamaan, dan sebagainya

(8)

Universitas Kristen Maranatha

(McEwen & Wills, 2011, dalam http://rehrbar.wordpress.com/a-glance-at-previous-coursework/theory-analysis/).

Meditasi, merupakan praktek spiritual yang telah menjadi bagian dari tradisi religius maupun tradisi filosofis Timur selama ribuan tahun (Walsh, 1984). Meditasi telah dipercaya sebagai praktek spiritual yang menghasilkan perubahan fenomenologis yang mendalam, terutama dalam memberi individu persepsi mengenai diri, orang lain, maupun mengenai dunia dengan cara yang sama sekali baru. Selama 30 tahun terakhir ini praktek mengenai meditasi telah berkembang dan diaplikasikan untuk berbagai tujuan; medis, keilmuan, juga menjadi bagian dari metode psikoterapi. Berkembangnya penelitian mengenai meditasi menjadikan tujuan dari dilakukannya praktek tersebut kian beragam, antara lain sebagai latihan untuk mencapai relaksasi, mencapai ketenangan pikiran, strategi manajemen stress, bagian dari strategi pengobatan holistik untuk menurunkan tekanan darah, sebagai sarana untuk menuju altered state of consciousness agar dapat lebih dekat dengan sang Pencipta, sebagai sarana untuk menemukan “makna baru”, dan sebagainya.

A dan B, dua orang instruktur meditasi lembaga pelatihan kesadaran “X” Bandung, mengemukakan penghayatan mereka sebagai meditator selama kurang lebih 30 tahun. A, yang merupakan guru besar sekaligus pendiri lembaga tersebut, mendeskripsikan rangkaian pengalaman spiritual yang bermula pada malam Lailatul Qadr tahun 1998. Dalam pengalaman itu, A mengalami pengalaman spiritual yang tergolong cukup ekstrim dan langka. Pengalaman-pengalaman tersebut melibatkan sensasi mendengar malaikat-malaikat berdzikir, melihat

(9)

Universitas Kristen Maranatha

cahaya-cahaya menyilaukan di sekelilingnya, muncul berbagai insights serta pemahaman baru secara serentak –terutama mengenai terbentuknya alam semesta beserta segala isinya– yang kemudian diikuti dengan fungsi tubuh yang sempat menurun sebagai akibat dari gejolak pengalaman spiritual tersebut. Puncak dari rangkaian pengalaman itu adalah ketika A tidak mampu mengidentifikasi identitas dirinya. Dalam upaya untuk terus mencoba mengidentifikasi identitas dirinya, A mendapati Allah SWT menjawab langsung pertanyaannya dengan sebuah kalimat; “Ana al Haq” yang berarti “Akulah Kebenaran” („ana‟ berarti „aku‟ dalam bahasa Arab, „al Haq‟ berarti „kebenaran‟).

A menyebutkan bahwa sejak saat itu A memandang realita dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Pengalaman tersebut menjadikan A memandang Allah SWT sebagai satu-satunya hal yang nyata, dan pada saat yang sama menjadikannya memiliki penerimaan yang lebih tinggi terhadap realita. A memandang apapun, detil-detil terkecil di sekitarnya, orang-orang yang ia ajak berinteraksi; segalanya merupakan representasi dari eksistensi Allah SWT. Apapun yang terjadi di sekitar A, hal apapun yang menimpa A, itu semua terjadi karena Allah SWT. Apabila hal baik terjadi, maka A memandangnya sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT. Namun bila hal buruk terjadi, A memandangnya sebagai „kejahilan‟ Allah SWT, yang juga merupakan bentuk kasih sayang dari-Nya. Jika sebelumnya A mengidentifikasi perkembangan diri berdasarkan pengalamannya sebagai individu yang terpisah dari alam semesta, maka sesudah pengalaman tersebut A memandang diri sebagai individu yang merepresentasikan alam semesta. Bagi A, manusia merupakan proyeksi mikrokosmik dari alam

(10)

Universitas Kristen Maranatha

makrokosmik; manusia bukan makhluk terpisah, melainkan makhluk yang memiliki keselarasan dengan alam semesta. Sementara alam semesta, merupakan representasi atas eksistensi Allah SWT.

Penghayatan atas rangkaian pengalaman spiritual tersebut kemudian menjadi alasan bagi A untuk mendirikan lembaga pelatihan kesadaran „X‟ Bandung pada tahun 2002. A meyakini bahwa pada hakikatnya kebutuhan untuk mengenal Allah SWT merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Hanya saja proses „keterpanggilan untuk mengenal Allah SWT‟ tersebut ada yang terungkap dalam kesadaran, namun ada juga yang tidak. Lembaga Pelatihan Kesadaran „X‟ ini bertujuan untuk membantu siapapun yang memiliki minat dalam pencarian jati diri dan penemuan makna hidup secara personal. Program pelatihan ini terdiri dari rangkaian kegiatan yang meliputi olah tubuh, olah nafas, dan meditasi, di mana peserta akan merasakan sendiri bagaimana energi kosmik dan energi tubuhnya memberi respon terhadap setiap niat, pikiran, dan gerak hatinya. Pelatihan ini menawarkan metode dan teknik yang cukup dipelajari dalam 14 jam, namun memberikan pengalaman yang efeknya permanen dan unik terhadap setiap peserta.

Meditasi menjadi komponen utama dalam program pelatihan kesadaran yang diselenggarakan lembaga „X‟ ini. Hal ini karena, sebagaimana dikemukakan oleh B, pada dasarnya pikiran manusia adalah tempat yang selalu „ramai‟. Dalam keramaian –yang sesungguhnya tidak diperlukan– itu, tidak jarang manusia kehilangan jati dirinya; kehilangan kepekaan untuk mendengar suara-suara terdalamnya. Melalui meditasi, individu dapat memperoleh ketenangan pikiran.

(11)

Universitas Kristen Maranatha

Pikiran yang tenang dan hening menjadikan individu lebih mudah untuk kembali mendengar suara terdalamnya, dan menemukenali dirinya sendiri. Apabila individu telah mengenal dirinya, maka ia akan mengenal dan lebih dekat dengan Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”.

Pengenalan atau kesadaran penuh akan kehadiran Allah SWT inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai peak experience yang berusaha diberikan kepada peserta pelatihan kesadaran tersebut melalui meditasi. Proses ini tidak berhenti sampai di situ saja, melalui program pelatihan tersebut peserta kemudian diarahkan dan dibimbing untuk dapat mempertahankan serta menginternalisasikan konsep-konsep yang diperoleh pada fase kesadaran peak experience, agar para peserta dapat memasuki plateau experience secara mandiri.

A menyampaikan bahwa apabila individu telah mengenal Tuhannya dan mempertahankan kondisi kesadaran tersebut, maka sesungguhnya terjawablah segala jawaban atas pertanyaannya; tercapailah pencerahan atas segala permasalahannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, A menjadikan fokus dan tujuan utama dari lembaga pelatihan kesadaran „X‟ adalah untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan meditasi sebagai sarananya.

B, salah satu instruktur meditasi dari lembaga pelatihan tersebut menyebutkan bahwa meditasi membuatnya mampu memahami hal-hal dalam hidup dengan sudut pandang baru, dan ini merupakan sesuatu yang membahagiakan baginya. Melalui meditasi, B memperoleh pencerahan, ide-ide

(12)

Universitas Kristen Maranatha

baru, serta solusi atas permasalahan yang tengah ia hadapi. Bagi B, meditasi membuatnya lebih mudah menemukan keseimbangan di dalam hidup, juga lebih mudah menemukan keindahan di dalam hal-hal kecil yang berada di sekitarnya. Ini menjadikan B sosok yang lebih tenang dan lebih mudah berpikir jernih bahkan saat berada di dalam kondisi yang penuh tekanan sekalipun. Tidak hanya itu, B juga selalu berada pada kondisi kesadaran bahwa Allah SWT mengamati setiap gerak-gerik yang ia lakukan. Hal ini menjadikan B individu yang penuh semangat dan bergairah, seperti pemain sandiwara yang semakin bersemangat tatkala mendapati deretan kursi penonton terisi penuh. B selalu bersungguh-sungguh, penuh antusias, serta melibatkan intensitas perhatian yang mendalam dalam menjalani setiap rutinitas kesehariannya, karena ia meyakini bahwa apapun yang ia lakukan memiliki makna dan membawa perubahan bagi alam semesta. Sedapat mungkin B berupaya untuk memelihara kelestarian lingkungan; menanam dan memelihara banyak tanaman untuk membangun tempat yang layak bagi burung-burung, serangga, serta makhluk hidup lainnya. Selain itu, B juga selalu berusaha menginspirasi orang-orang di sekitarnya melalui tulisan-tulisannya, untuk membawa perubahan positif baik bagi diri mereka maupun bagi lingkungan sekitar.

Dari hasil wawancara survey awal terhadap dua responden tersebut, ditemukan fakta bahwa rutinitas meditasi yang dilakukan oleh A dan B dalam keseharian mereka bukanlah meditasi dalam pengertian konvensional –duduk, diam, mengatur dan mengamati nafas, serta berusaha meraih relaksasi– sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang pada umumnya. Akan tetapi bentuk

(13)

Universitas Kristen Maranatha

meditasi mereka tertuang dalam tingginya kesadaran akan Allah, maupun tingginya intensitas fokus dan energi mereka dalam kegiatan yang mereka kerjakan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rukasa (2006) bahwa apapun yang sedang dikerjakan dapat bersifat meditatif apabila diiringi dengan intensifikasi energi tubuh, perasaan, dan pikiran. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka siapapun dapat melakukan meditasi, baik disadari atau tidak.

Kegiatan meditatif yang tertuang dalam keseharian mereka memberikan mereka kemudahan dalam mengakses peak dan plateau experience dibandingkan dengan orang lain pada umumnya, yang mana –sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya– merupakan elemen penting dalam pencapaian transendensi-diri. Kesadaran A dan B akan kehadiran Allah SWT tersebut mengantarkan mereka pada pandangan serta pemaknaan yang lebih holistik, berikut penerimaan yang lebih tinggi, terutama mengenai bagaimana mereka memandang diri, memandang lingkungan sekitar, serta menyelaraskan peran dan fungsi diri sebagai bagian dari realita yang lebih besar dari diri mereka sendiri; yakni alam semesta. Penghayatan tersebut memiliki relevansi dengan muatan-muatan yang tercakup dalam definisi transendensi-diri sebagaimana dituturkan Maslow dalam the Farther Reaches of Human Nature. Dalam buku tersebut, Maslow (1971) mendefinisikan transendensi-diri sebagai tingkatan paling tinggi, paling holistik, serta paling inklusif berkenaan dengan perihal kesadaran manusia, cara berperilaku, maupun upaya untuk menemukan keterkaitan yang terdapat di antara diri dengan orang-orang terdekat, diri dengan sesama manusia, diri dengan makhluk hidup lain, diri dengan lingkungan, dan juga diri dengan alam semesta. Berpedoman pada

(14)

Universitas Kristen Maranatha

relevansi yang ditemukan ini, peneliti tertarik untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan mendalam serta menuangkannya ke dalam penelitian dengan judul “Studi Kasus mengenai Penghayatan Transendensi-Diri pada Instruktur Meditasi Lembaga Pelatihan Kesadaran „X‟ Bandung”.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran mengenai penghayatan transendensi-diri pada instruktur meditasi di lembaga pelatihan kesadaran “X” Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian

Memperoleh gambaran menyeluruh mengenai penghayatan transendensi-diri pada instruktur meditasi di lembaga pelatihan kesadaran “X” Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Memperoleh gambaran menyeluruh mengenai dinamika transendensi-diri yang terjadi pada instruktur meditasi di lembaga pelatihan kesadaran “X” Bandung.

(15)

Universitas Kristen Maranatha

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis

1. Memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang psikologi humanistik, psikologi transpersonal, dan psikologi integratif, yaitu dengan menambah informasi dan pengetahuan mengenai transendensi-diri pada instruktur meditasi.

2. Sebagai acuan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai transendensi-diri dan psikologi transpersonal.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada meditator, khususnya peserta pelatihan kesadaran lembaga “X” Bandung, mengenai peran meditasi dalam kaitannya dengan pencapaian transendensi-diri.

2. Memberikan informasi kepada rekan akademisi mengenai kebutuhan transendensi-diri, sebagai bagian dari psikologi humanistik yang menitikberatkan aspek spiritual dalam diri manusia.

3. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pencapaian transendensi-diri terutama dalam kaitannya dengan perkembangan diri serta pencapaian kondisi yang ideal dalam skala yang jauh lebih besar.

1.5. Kerangka Pikir

Transendensi-diri merujuk pada tingkatan paling tinggi, paling holistik, serta paling inklusif berkenaan dengan perihal kesadaran manusia, cara

(16)

Universitas Kristen Maranatha

berperilaku, maupun upaya untuk menemukan keterkaitan yang terdapat di antara diri dengan orang-orang terdekat, diri dengan sesama manusia, diri dengan makhluk hidup lain, diri dengan lingkungan, dan juga diri dengan alam semesta (Maslow, 1971). Penemuan Maslow mengenai transendensi-diri ini merupakan hasil dari pengamatan Maslow terhadap individu yang telah memenuhi kebutuhan aktualisasi-diri (http://enotes.com/maslows-hierarchy-needs-reference/maslows-hierarchy-needs). Penemuan tersebut menyatakan bahwa self-actualizers (individu yang telah memenuhi kriteria aktualisasi-diri) dimotivasi oleh kebutuhan dan nilai-nilai yang sifatnya lebih tinggi dibandingkan dengan non self-actualizers. Kebutuhan dan nilai-nilai yang dimaksud tak lain adalah kebutuhan akan transendensi-diri.

Posisinya yang secara hierarkis berada di atas kebutuhan aktualisasi-diri, mengindikasikan bahwa individu harus memenuhi kebutuhan aktualisasi-diri terlebih dahulu agar dapat mencapai pemenuhan atas kebutuhan transendensi-diri. Pencapaian transendensi-diri ini dibangun oleh dua elemen penting yaitu peak experience dan plateau experience. Apabila seorang self-actualizer mengalami peak experience dan dapat mempertahankan fase tersebut sehingga ia memasuki fase plateau experience, maka sesungguhnya ia telah mencapai pemenuhan atas kebutuhan transendensi-diri.

Maslow mendefinisikan peak experience sebagai momen sesaat yang memuat beberapa karakteristik berikut: “rasa suka cita yang mendalam, euphoria atau kebahagiaan, perasaan harmoni atau menyatu dengan alam semesta, munculnya kesadaran atau apresiasi yang lebih tinggi terhadap keindahan, atau

(17)

Universitas Kristen Maranatha

perasaan lain yang sulit diungkapkan dengan kata-kata” (Maslow, 1971). Pada momen tersebut individu memiliki kesadaran lebih akan adanya insight yang selama ini tersamarkan; otak berada pada performa optimal sehingga memungkinkan individu mencapai hampir semua intellectual goal yang ia tetapkan (http://www.ehe.org/display/ehe-page2f56.html?ID=23). Sementara plateau experience adalah bentuk berkelanjutan dari peak experience yang sifatnya lebih menetap, membawa perubahan kognitif pada individu, bersifat konstan, dan relatif melekat pada individu. Dibandingkan peak experience yang kemunculannya tidak terduga, lebih fluktuatif, namun bersifat sementara; hanya beberapa detik hingga beberapa menit saja, plateau experience mengandung unsur disengaja, lebih stabil dan tenang ketimbang fluktuatif, serta bersifat permanen.

Peak experience dapat diperoleh melalui beragam cara. Ada yang mencapai peak experience melalui kekaguman terhadap karya seni yang dianggap luar biasa, rasa haru atas alunan orkestra musik klasik yang begitu menyentuh, pencerahan yang diperoleh melalui kontemplasi terhadap keindahan alam atau melalui proses meditasi, atau bahkan melalui sensasi yang diperoleh dari penggunaan LSD, melalui orgasme, dan sebagainya (Maslow, 1971). Pencapaian peak experience dapat dikatakan sebagai hal yang mudah dan nyaris tidak memerlukan usaha (Krippner, 1972, dalam http://newworldencyclopedia.org/entry/Abraham_ Maslow#Self-transcendence). Namun non self-actualizer, meski mengalami peak experience, memiliki kecenderungan untuk me-repress atau bahkan menyangkal pengalaman tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencapaian aktualisasi-diri merupakan determinan yang fundamental dalam pemenuhan kebutuhan

(18)

Universitas Kristen Maranatha

transendensi-diri. Tidak hanya itu, untuk dapat mempertahankan kondisi peak experience dan memasuki plateau experience, diperlukan tekad, serta pelatihan spiritual yang konstan dan mendalam (McEwen & Wills, 2011, dalam http://rehrbar.wordpress.com/a-glance-at-previous-coursework/theory-analysis/). Salah satu pelatihan spiritual tersebut adalah meditasi.

Meditasi merupakan praktek spiritual yang telah menjadi bagian dari tradisi religius maupun tradisi filosofis Timur selama ribuan tahun (Walsh, 1984). Meditasi telah dipercaya sebagai praktek spiritual yang menghasilkan perubahan fenomenologis yang mendalam, terutama dalam memberi individu persepsi mengenai diri, orang lain, maupun mengenai dunia dengan cara yang sama sekali baru. Lembaga Pelatihan Kesadaran „X‟ bertujuan untuk membantu siapapun yang berminat dalam pencarian jati diri dan penemuan makna hidup secara personal. Program pelatihan ini terdiri dari rangkaian kegiatan yang meliputi olah tubuh, olah nafas, dan meditasi, di mana peserta akan merasakan sendiri bagaimana energi kosmik dan energi tubuhnya merespon setiap gerak niat, pikiran, dan gerak hatinya. Pelatihan ini menawarkan metode dan teknik yang cukup dipelajari dalam 14 jam, namun memberikan pengalaman yang efeknya permanen dan unik terhadap setiap peserta.

Kegiatan meditasi yang merupakan komponen utama dari modul pelatihan tersebut berfungsi sebagai media yang mengantarkan peserta pada peak experience berupa kesadaran penuh akan Allah SWT. Adapun plateau experience merupakan hasil kristalisasi akan nilai-nilai maupun pemahaman dari perolehan

(19)

Universitas Kristen Maranatha peak experience yang melibatkan perubahan kognitif dan bersifat lebih menetap pada individu.

Maslow mengemukakan sebanyak 24 karakteristik yang terdapat pada self-transcenders –yang membedakan mereka dari self-actualizers. Akan tetapi dalam penelitian ini, indikator yang digunakan peneliti sebagai karakteristik yang terdapat pada transcenders hanya 22. Hal ini karena terdapatnya 2 indikator yang sama, sehingga peneliti mengeliminasi salah satu (transendensi diri, ego, dan identitas); sementara indikator terakhir (memiliki kriteria ectomorph Sheldonian) dieliminasi karena dirasa tidak relevan oleh experts.

Seluruh karakteristik tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam 4 aspek berikut; transformational experience, value of transformational, ability of personal sensing, dan ability of social sensing. Pengelompokkan indikator-indikator ke dalam 4 aspek tersebut dimaksudkan untuk mempermudah proses analisis data, sekaligus agar penulisan analisis dapat lebih terorganisasi.

Transformational experience merujuk pada pemahaman, pemikiran, maupun perasaan yang dimiliki individu sehubungan dengan pengalaman spiritual yang dialami sebagai konsekuensi atas tercapainya transendensi-diri. Adapun transformational experience ini tertuang dalam 4 indikator, yaitu; memandang peak experience dan plateau experience sebagai hal terpenting dalam hidup, memiliki kesan yang ambivalen akan kebahagiaan, lebih “religius atau “spiritual” baik dalam konteks theistic maupun nontheistic, dan lebih mudah menemukan keindahan di sekitarnya.

(20)

Universitas Kristen Maranatha Value of transformational merupakan prinsip moral serta keyakinan atau ketetapan yang dianut individu sehubungan dengan transformasi transendental yang ia alami. Value of transformational ini tertuang dalam 3 indikator, yaitu; memandang segala hal sebagai kesatuan atau sebagai hal yang sakral, lebih sadar dan lebih mengupayakan metamotivasi, dan lebih aktif mencari kegiatan yang dapat memunculkan peak experiences dan Being-Cognition.

Ability of personal sensing merupakan kemampuan dalam menginderakan hal personal. Ability of personal sensing tertuang dalam 6 indikator, yaitu; berbicara dengan Being-language secara luwes, normal, natural, dan tanpa disadari; lebih responsif terhadap keindahan; lebih mudah mencapai pemenuhan motivasi tertinggi melalui aktivitas yang dilakukan;memiliki karakteristik ilahiah; memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap pengetahuan; serta memiliki objektivitas yang teguh mengenai kapasitas diri.

Ability of social sensing merupakan kemampuan dalam menginderakan hal sosial. Ability of social sensing tertuang dalam 9 indikator, yaitu; memiliki kepekaan dan keterampilan interpersonal yang baik, memiliki pandangan yang lebih holistik terhadap dunia dibandingkan dengan orang lain pada umumnya, memiliki kecenderungan untuk bersinergi, memiliki visi yang lebih jelas mengenai Being-Values, mampu berpikir melampaui batasan-batasan dikotomi serta mengintegrasikan perbedaan-perbedaan pandangan ke dalam sebuah perspektif baru yang lebih tinggi, lebih cakap dalam menyeleksi kreator, tidak membiarkan diri berlarut-larut dalam konflik, memiliki sikap Taoistic, dan memiliki sikap posambivalen.

(21)

Universitas Kristen Maranatha

Penelitian ini dilakukan terhadap dua orang instruktur meditasi dari lembaga pelatihan kesadaran “X” Bandung. Pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti metode yang digunakan Maslow untuk menjawab salah satu pertanyaan utama humanistik, yakni mengetahui potensi tertinggi manusia. Maslow mengemukakan, apabila kita hendak mengetahui kemungkinan tertinggi mengenai perkembangan spiritual, perkembangan nilai, atau perkembangan moral pada manusia, maka yang harus dilakukan adalah dengan melakukan pengamatan terhadap individu dengan karakteristik yang paling spiritual, dan memiliki etika serta moral yang paling baik di antara yang lain (Maslow, 1971). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini dilakukan terhadap dua responden yang didapati memiliki karakteristik yang paling mendekati dan atau memiliki kriteria-kriteria self-transcenders. Sejauh mana pemenuhan kebutuhan transendensi-diri pada mereka, diuji dengan menggunakan kerangka wawancara yang disusun berdasarkan karakteristik self-transcenders oleh Maslow.

Adapun dinamika yang terdapat di antara keempat aspek yang telah disebut sebelumnya, sejauh ini belum dapat diprediksi maupun diasumsikan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan penghayatan transendensi-diri adalah sesuatu yang unik dan tentunya tidak terlepas dari segala faktor dalam diri individu yang menghayatinya. Dinamika yang terdapat pada setiap responden bisa jadi berbeda; pun jika dinamika yang ditemukan memiliki kesamaan, gambaran muatan karakteristik yang terdapat di dalam setiap aspek tidak akan sama pada tiap individu. Karena alasan tersebut, peneliti membebaskan diri dari adanya asumsi agar hasil yang diperoleh lebih natural dan akurat.

(22)

Universitas Kristen Maranatha

Secara ringkas, alur berpikir tersebut dinyatakan dalam bagan kerangka pemikiran yang tercantum di halaman berikut:

(23)

23

Universitas Kristen Maranatha

Bagan Kerangka Pikir

Peak Experience Aktualisasi-Diri Plateau Experience Transendensi-Diri Instruktur Meditasi 1. Transformational experience 2. Values of transformational 3. Ability of personal sense 4. Ability of social sense

(24)

24

Universitas Kristen Maranatha

1.6. Asumsi Penelitian

1. Transendensi-diri adalah bentuk berkelanjutan dari aktualisasi-diri yang dicapai melalui peak experience dan plateau experience.

2. Peak experience dapat dicapai melalui aktivitas sehari-hari, bahkan tanpa diupayakan, sedangkan pencapaian plateau experience memerlukan usaha dalam bentuk pendalaman spiritual yang konstan dan mendalam.

3. Instruktur meditasi lembaga pelatihan kesadaran “X” Bandung (secara garis besar) memenuhi kriteria self-transcenders sebagaimana dituangkan Maslow dalam the Farther Reaches of Human Nature.

4. Gambaran mengenai penghayatan transendensi-diri secara umum diperoleh melalui deskripsi yang menyeluruh serta dinamika yang terdapat di antara 4 aspek transendensi-diri, yakni; transformational experience, value of transformational, ability of personal sensing, serta ability of social sensing. 5. Dinamika yang terdapat di antara keempat aspek tersebut bersifat unik, dapat

berbeda pada setiap orang; baik hubungan yang terjadi di antara 4 aspek tersebut, maupun gambaran muatan karakteristik yang terdapat di dalam setiap aspeknya.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap individu dalam hal ini adalah karyawan memiliki pemahaman yang berbeda dalam setiap hal, maka perusahaan harus dapat menyamakan persepsi atau nilai-nilai

bertujuan mengevaluasi efektivitas dan mengevaluasi kemenarikan modul yang telah dihasilkan. Uji lapangan merupakan evaluasi formatif III yang dilakukan kepada siswa yang

Jika algoritma genetika ini diterapkan untuk menyusun suatu lintasan produksi yang baru, maka harus diperhatikan parameter genetika yang digunakan , seperti jumlah populasi,

Setelah melakukan pengujian terhadap alat pintu geser otomatis berbasis android penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Pintu geser otomatis ini unggul dalam

disimpulkan bahwa Ha diterima sehingga terdapat perbedaan tingkat persepsi sebelum mendapatkan penyuluhan dan setelah mendapatkan penyuluhan tentang merokok di SMA Negeri

Bank Kustodian akan menerbitkan dan menyampaikan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan antara lain jumlah Unit Penyertaan yang dijual kembali dan dimiliki

Item pernyataan SE1 terdapat 71,4 persen responden yang menjawab setuju bahkan sangat setuju yang menunjukkan bahwa responden memiliki self-esteem yang tinggi, SE2

“Meskipun  selama  ini  saya  aktif  memanfaatkan  internet  dan  blog,  akan  tetapi  terkadang  saya  masih  merasa  kesulitan  dalam  hal  pengelolaan,