• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Anemia

Kadar hemoglobin contoh yang terendah 9.20 g/dL dan yang tertinggi 14.0 g/dL dengan rata-rata kadar Hb 11.56 g/dL. Pada Tabel 6 berikut dapat diketahui sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia

Status Anemia1 n %

Normal (Tidak Anemia) (Hb ≥11 g/dL) 35 77.8

Anemia Ringan (Hb 8-10 g/dL) 10 22.2

Anemia Berat (Hb <8 g/dL) 0 0.0

Total 45 100.0

1)

Kategori status tingkatan anemia contoh berdasarkan ketetapan WHO 2005

Sebanyak 77.8% dari keseluruhan contoh tidak menderita anemia dan 22.2% contoh menderita anemia tingkat ringan namun tidak ada contoh yang menderita anemia tingkat berat. Dengan demikian diketahui prevalensi anemia ibu hamil di wilayah penelitian sebesar 22.2%. Menurut WHO (2001) prevalensi anemia >20% menunjukkan adanya masalah kesehatan masyarakat. Sementara

itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil >20% dapat diartikan bahwa anemia masih menjadi masalah kesehatan

dikalangan ibu hamil. Prevalensi anemia ibu hamil pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi anemia ibu hamil berdasarkan penelitian Darlina dan Hardinsyah (2003) yang menyatakan bahwa prevalensi anemia ibu hamil di Kota Bogor pada tahun 2002 sebesar 40.4% dan lebih rendah dibandingkan dengan data dari Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2003 dengan prevalensi sebesar 51.7%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian anemia pada ibu hamil masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Kota Bogor.

Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada penelitian ini saja tetapi juga dibeberapa daerah lain seperti penelitian yang dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota Bau-bau sebanyak 48.4% ibu hamil trimester kedua mengalami anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Wijanti et al. (2012) di Puskesmas Sambi sebanyak 63.0% ibu hamil trimester II mengalami anemia. Tingginya angka anemia pada ibu hamil menurut Cheryl (1996) dalam Darlina 2003 disebabkan karena penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) pada trimester 1 dan 2 sebagai akibat peningkatan volume plasma darah yang terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah.

(2)

Status Gizi Contoh Berdasarkan Nilai LILA

Selain menggunakan indeks massa tubuh (IMT), status gizi ibu hamil dapat diukur secara antropometri atau pengukuran komposisi tubuh dengan mengukur LILA (Lingkar Lengan Atas). Apabila nilai LILA <23.5 cm maka

termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan apabila nilai LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001) yang

diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (2003) pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur adalah salah satu cara untuk mendeteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis (KEK). Gambaran sebaran contoh berdasarkan status KEK disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia

Status Gizi2

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

KEK (LILA<23,5 cm) 5 50.0 4 11.4 9 20.0

Tidak KEK (LILA≥23,5 cm) 5 50.0 31 88.5 36 80.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

2

) Kategori status KEK contoh berdasarkan ketetapan Depkes 2001.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa LILA contoh terendah sebesar 20.0 cm dan yang tertinggi sebesar 41.0 cm dengan rata-rata sebesar 26.15 cm.

Sebagian besar contoh (80.0%) tidak memiliki resiko KEK atau normal dan hanya 20.0 % contoh yang termasuk KEK. Namun demikian terlihat jelas bahwa contoh pada kelompok anemia memiliki status gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia. Menurut Depkes (1994) bagi ibu hamil yang KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah melalui masa persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini akan menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri. Jika hasil pengukuran LILA menunjukkan nilai >23.5 cm maka contoh tidak menderita KEK dan diiharapkan contoh melahirkan bayi dengan berat bayi lahir normal (Arisman 2007). Tingginya persentase ibu hamil dengan status gizi normal tidak hanya terjadi pada penelitian ini tetapi juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ipa (2010) menyatakan bahwa sebesar 87.1% ibu hamil di Kecamatan Makassar memiliki nilai LILA >23.5 cm.

(3)

Karakteristik Contoh dan Keluarga Umur Contoh

Contoh adalah ibu hamil trimester ke II (Dua) di enam kecamatan di Kota

Bogor yang dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu kelompok anemia

(10 orang, 22.2%) dan tidak anemia (35 orang, 77.8%) yang berumur antara 20.0-40.0 tahun dengan umur rata-rata 29.0 tahun. Sebaran contoh berdasarkan

umur disajikan pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia

Umur (tahun)

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

20-29 6 60.0 19 54.3 25 55.6

30-40 4 40.0 16 45.7 20 44.4

Rata-rata (tahun) 28.3 29.0 29.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

Sebanyak 55.6% dari keseluruhan contoh atau 60.0% contoh pada kelompok anemia dan 54.3% contoh pada kelompok tidak anemia, berumur antara 20.0-29.0 tahun, dengan rata-rata umur secara keseluruhan 29.0 tahun,

atau 28.3 tahun pada kelompok anemia dan 29.0 tahun pada kelompok tidak anemia. Contoh pada kelompok anemia memiliki rata-rata umur yang relatif

lebih muda dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia. Umur seorang ibu berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem

reproduksi wanita yang sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun. Kehamilan pada umur < 20.0 tahun dan > 35.0 tahun dapat menyebabkan anemia, karena kehamilan pada umur < 20.0 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan jika berumur > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa pada umur itu (Manuaba 1999). Dalam penelitian ini tidak ada contoh yang berumur <20.0 tahun dan hanya 20.0% contoh yang berumur >35 tahun. Sehingga dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh tidak berada pada rentang umur berisiko.

(4)

Tingkat Pendidikan Contoh

Tingkat pendidikan contoh dikelompokan dalam lima kelompok, yaitu: 1) SD/sederajat, 2) SMP/sederajat, 3) SMA/sederajat, dan 4) Perguruan

Tinggi (PT). Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam Tabel 9 berikut.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia

Tingkat Pendidikan

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n % SD/sederajat 4 40.0 13 37.1 17 37.8 SMP/sederajat 4 40.0 6 17.1 10 22.2 SMA/sederajat 2 20.0 16 45.7 18 40.0 PT 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

Sebanyak 40.0% dari keseluruhan contoh atau 45.7% contoh pada

kelompok tidak anemia berpendidikan SMA/sederajat. Namun terlihat

sebanyak 80.0% contoh pada kelompok anemia berpendidikan SD hingga SMP/sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 40.0%.

Tidak ada contoh pada kelompok anemia maupun tidak anemia yang berpendidikan perguruan tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa contoh pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia.

Tingkat pendidikan merupakan salah satu penyebab tidak langsung anemia yang berkaitan dengan pengetahuan. Ibu hamil yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah cenderung memiliki pengetahuan gizi ibu hamil yang rendah pula. Sehingga berpengaruh dalam pemilihan dan pemenuhan konsumsi pangan selama masa kehamilan (Soenarko 2002). Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya perhatian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil ataupun bayinya.

Menurut Suhardjo (1989) bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis akan membantu dalam memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian informasi tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga.

(5)

Tingkat Pendidikan Suami Contoh

Tingkat pendidikan suami contoh diduga memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap status anemia ibu hamil dalam hal mendukung dan peduli akan pemenuhan zat gizi untuk ibu hamil selama kehamilan. Menurut Tristiyanti (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan suami contoh maka semakin baik pula pengetahuan gizi contoh. Pada praktek sehari-hari diduga bahwa selain memperoleh pengetahuan gizi dari pendidikan formal yang ditempuhnya, contoh juga memperoleh pengetahuan gizi dari suami. Sebaran tingkat pendidikan suami contoh disajikan pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10 Sebaran suami contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia

Tingkat Pendidikan

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n % SD/sederajat 3 30.0 9 25.7 12 26.7 SMP/sederajat 2 20.0 7 20.0 9 20.0 SMA/sederajat 5 50.0 17 48.6 22 48.9 PT 0 0.0 2 6.0 2 4.4 Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

Berbeda dengan tingkat pendidikan contoh, sebanyak 48.9% dari keseluruhan suami contoh menempuh pendidikan hingga tingkat

SMA/sederajat. Tidak ada suami contoh pada kelompok anemia yang berpendidikan Perguruan Tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa suami contoh pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan suami contoh pada kelompok tidak anemia.

Status Pekerjaan Contoh

Status pekerjaan contoh dibagi kedalam dua kelompok berdasarkan sebaran contoh bekerja dan tidak bekerja. Tabel 11 berikut ini memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan dan status anemia

Kategori keluarga

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

Bekerja 1 10.0 5 14.3 6 13.3

Tidak Bekerja 9 90.0 30 85.7 39 86.7

(6)

Sebanyak 86.7% dari keseluruhan contoh berstatus tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia dengan persentase yang hampir sama. Terdapat 10% contoh pada kelompok anemia yang bekerja. Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya (Wijianto 2002). Menurut Junadi (1998 dalam Permatahati 2012) ibu yang bekerja memiliki risiko anemia yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, hanya proporsinya tergantung pada beban kerja yang dimilikinya. Wijianto (2002) menyatakan bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Status Pekerjaan Suami Contoh

Status pekerjaan suami contoh juga dibagi kedalam dua kelompok menurut sebaran suami contoh bekerja dan tidak bekerja. Berbeda dengan status pekerjaan contoh, 100% suami contoh, baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia, berstatus bekerja. Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami dan status anemia

Kategori keluarga

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

Bekerja 10 10.0 35 100.0 45 100.0

Tidak Bekerja 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

Besar Keluarga

Contoh dalam penelitian ini memiliki keluarga dengan jumlah anggota keluarga paling sedikit 2 orang dan paling banyak 9 orang. Tabel 13

berikut memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan besar keluarga. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status anemia

Besar Keluarga1

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n % Kecil (≤ 4 orang) 8 80.0 22 62.9 30 66.7 Sedang (5-6 orang) 2 20.0 11 31.4 13 28.9 Besar (≥ 7 orang) 0 0.0 2 5.7 2 4.4 Rata-rata 3.1 4.2 3.8 Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

(7)

1)

Kategori besar keluarga berdasarkan ketetapan BKKBN 1998.

Secara umum 66.7% dari keseluruhan contoh atau 80.0% contoh pada kelompok anemia dan 62.9% contoh pada kelompok tidak anemia memiliki keluarga tergolong keluarga kecil (≤ 4 orang). Keluarga contoh pada kelompok anemia memiliki jumlah rata-rata anggota keluarga yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga contoh pada kelompok tidak anemia. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi makanan di dalam keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya kurang pemerataan terhadap makanan. Dengan kecilnya jumlah anggota keluarga maka kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi yang akan berpengaruh terhadap status gizi ibu hamil (Almatsier 2003).

Pendapatan/kapita/bulan

Seluruh keluarga contoh dalam penelitian ini memiliki total pendapatan

antara Rp.425.000,- sampai dengan Rp.10.700.000,- per bulan dengan rata-rata Rp.1.606.444,- per bulan. Ketika pendapatan per bulan dalam keluarga

dibagi dengan jumlah anggota dalam keluarga tersebut akan menghasilkan nilai pendapatan/kapita/bulan pada keluarga itu. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita per bulan antara

Rp.85.000,- sampai dengan Rp.1.783.333,- dengan rata-rata pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp. 388.813,-. BPS Kota Bogor (2011)

mengkategorikan pendapatan per kapita per bulan dalam dua kategori berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2010 yaitu, miskin (<Rp.278.530) dan tidak miskin (≥ Rp.278.530). Tabel 14 berikut

memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan pendapatan/kapita/bulan pada keluarga contoh.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan besar pendapatan/kapita/bulan dan status anemia

Kategori

pendapatan/kapita/bulan2

Status Anemia

Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

Miskin (< Rp. 278.530) 2 20.0 5 14.3 7 15.5

Tidak Miskin (≥ Rp.278.530) 8 80.0 30 85.7 38 84.5

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

2)

Kategori pendapatan/kapita/bulan berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2010 (BPS 2011)

Secara keseluruhan keluarga contoh, hampir semua berstatus keluarga tidak miskin dengan persentase sebesar 84.5%. Hanya sebesar 15.5% dari

(8)

keseluruhan jumlah contoh termasuk dalam kategori keluarga miskin. Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang

menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Namun dalam penelitian ini diketahui sebanyak 14.3% contoh pada kelompok tidak anemia berstatus keluarga miskin. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selamanya contoh dari keluarga miskin identik menderita anemia.

Hal tersebut mungkin dapat terjadi karena contoh biasa atau patuh mengonsumsi suplemen penambah darah selama masa kehamilan. Uji korelasi

pearson menunjukkan ada hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan

pendapatan/kapita/bulan. Hal itu dibuktikan dengan nilai (p=0.002, r=-0.44). Artinya, semakin banyak jumlah anggota dalam suatu keluarga, maka tingkat pendapatan/kapita/bulan dalam keluarga itu akan semakin rendah.

Kebiasaan Konsumsi Pangan Contoh

Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Sanjur 1982). Kebiasaan makan contoh terdiri dari makan pagi, siang, malam dan selingan. Adapun makanan yang sering dikonsumsi oleh contoh pada pagi hari adalah nasi dengan lauk-pauk, bubur ayam, mie kuah, lontong sayur, teh manis dan susu. Pada siang hari rata-rata contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk serta sayur. Terdapat beberapa contoh pada siang hari hanya mengonsumsi jajanan seperti mie ayam, mie goreng atau bakso. Pada malam hari sebagian besar contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk serta sayuran, tetapi terdapat beberapa contoh yang mengonsumsi mie kuah atau mie goreng serta susu. Pada penelitian ini masih terdapat beberapa contoh atau sebagian kecil yang hanya mengonsumsi air putih saja di makan pagi, siang ataupun malam.

Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan makan selingan pada selingan satu atau antara makan pagi dan siang, sementara hanya 10-15 contoh yang memiliki kebiasaan makan pada selingan dua (antara makan siang dan malam) dan tiga (setelah makan malam). Makanan yang paling sering dikonsumsi contoh pada selingan pagi yaitu susu. Selain susu, sebagian besar contoh juga mengonsumsi biskuit, roti, bubur kacang hijau, buah atau siomay. Pada selingan satu, sebagian kecil contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk atau bubur ayam.

(9)

Adapun makanan yang sering dikonsumsi contoh pada selingan dua adalah nasi lauk pauk serta sayur.

Sebagian besar contoh memiliki menu makanan yang sama pada setiap waktu makan utama. Terdapat beberapa contoh yang masih mengonsumsi air putih saja pada waktu makan utama. Contoh yang telah makan pada selingan dua atau selingan sore maka biasanya tidak makan pada waktu makan malam atau pada makan malam contoh tersebut hanya mengonsumsi air putih dengan makanan kecil saja. Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu. Kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu (Wahyuni 1988 dalam Permatahati 2012). Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Konsumsi pangan pada penelitian ini dibagi menjadi 6 kelompok pangan yaitu serealia dan olahannya, pangan hewani dan olahannya, kacang-kacangan dan olahannya, sayur dan olahannya, buah dan olahannya serta susu dan olahannya. Tabel 15 merupakan rata-rata konsumsi pangan contoh dalam dua hari berdasarkan hasil recall 2x24 jam.

Tabel 15 Konsumsi pangan contoh

No Kelompok Pangan Rata-rata konsumsi (g)

1 Serealia dan olahannya 487.0

2 Hewani dan olahannya 60.3

3 Nabati dan olahannya 99.5

4 Sayuran dan olahannya 176.0

5 Buah dan olahannya 130.0

6 Susu dan olahannya 271.0

Tabel 15 menunjukkan bahwa konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi pangan sebesar 487 g serealia per hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amrin (2011) bahwa konsumsi pangan tertinggi

pada ibu hamil adalah serelia dan olahannya yaitu sebesar 257 g per hari. Hal ini mungkin disebabkan karena kebiasaan makan masyarakat Indonesia

lebih didominasi oleh makanan pokok seperti serelia daripada lauk pauk dan sayuran. Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi serealia pada ibu hamil sebanyak 6 penukar, namun pada penelitian ini konsumsi serealia masih kurang dari yang dianjurkan. Apabila dikonversikan ke dalam satuan penukar, maka 487 g serealia setara dengan 4 penukar nasi.

(10)

Lebih tingginya konsumsi serealia daripada konsumsi pangan lainnya tidak hanya terjadi pada penelitian ini saja tetapi juga di India. Penelitian yang dilakukan oleh Nair dan Iyengar (2009) pada ibu hamil di india bahwa rata-rata konsumsi serealia sebesar 320 g hingga 477 g dalam sehari. Pangan hewani merupakan salah satu pangan sumber zat besi. Pada penelitian ini hanya sedikit

jumlah pangan hewani yang dikonsumsi contoh dalam sehari yaitu sebesar 60.3 g. Apabila berat tersebut dikonversikan kedalam satuan penukar, maka

kurang lebih contoh pada penelitian hanya mengonsumsi pangan hewani hanya satu atau dua penukar saja. Sementara itu Depkes (2005) menyarankan kepada ibu hamil agar mengonsumsi pangan hewani minimal tiga penukar dalam sehari. Pangan hewani yang sering dikonsumsi contoh adalah ikan (ikan asin) dan telur. Menurut Achadi (2007) sumber utama zat besi adalah pangan hewani terutama yang berwarna merah, seperti hati dan daging namun, contoh yang mengonsumsi daging dan hati hanya sebagian kecil saja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 27.0 % contoh yang mengonsumsi daging. Tingginya harga daging dipasaran mungkin merupakan salah satu penyebab rendahnya konsumsi daging. Persentase contoh yang mengonsumsi hati juga masih rendah sebesar 12.6 %. Darlina (2003) dalam penelitiannya pada ibu hamil di Kota Bogor mengatakan bahwa sebanyak 53.9% ibu hamil tidak menyukai hati. Mungkin hal tersebut yang menjadi salah satu penyebab sedikitnya ibu hamil yang mengonsumsi hati.

Kurangnya konsumsi pangan pada contoh juga terjadi pada pangan nabati, sayuran, buah-buahan dan susu. Pada penelitian ini, contoh mengonsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g, sayuran sebanyak 176.0 g, buah-buahan sebanyak 130.0 g dan susu sebanyak 271 g. Apabila berat konsumsi pangan tersebut dikonversikan ke dalam satuan penukar maka

konsumsi contoh terhadap pangan-pangan tersebut masih kurang. Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi pangan nabati untuk ibu hamil

sebanyak 3 penukar, sayuran sebanyak 3 penukar, buah sebanyak 4 penukar dan susu sebanyak 3 penukar. Pada penelitian ini pangan nabati, sayuran, buah dan susu yang dikonsumsi oleh contoh hanya sebanyak satu sampai dua penukar saja. Rata-rata frekuensi konsumsi akan bahan pangan tertentu diperoleh dari data Food Frequency Quesionaire (FFQ) contoh . Tabel 16 Berikut

(11)

disajikan data rata-rata frekuensi dari berbagai kelompok pangan yang dikonsumsi oleh contoh.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasan konsumsi berbagai kelompok pangan

No Kelompok Pangan n Persentase

(%)

Rata-rata (kali /bulan)

1 Serealia dan olahannya 45 100.0 99.0

2 Daging dan olahannya 12 27.0 9.0

3 Unggas dan olahannya 32 71.0 12.0

4 Ikan dan olahannya 42 93.0 26.0

5 Telur dan olahannya 41 91.0 17.0

6 Susu dan olahannya 34 75.5 38.0

7 Kacang-kacangan dan olahannya 44 97.7 47.0

8 Sayuran dan olahannya 45 100.0 44.0

9 Buah dan olahannya 45 100.0 26.0

10 Minuman 45 100.0 187.0

11 Makanan Ringan (Snack) 45 100.0 30.0

12 Ramuan tradisional/suplemen 26 57.8 20.0

Seluruh contoh biasa mengonsumsi serealia dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 3.0 - 4.0 kali sehari. Sebanyak 97.7% contoh biasa

mengonsumsi pangan sumber protein nabati dari kelompok kacang-kacangan

dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0-2.0 kali sehari. Bahan pangan sumber protein nabati yang lebih sering dikonsumsi contoh antara

lain kacang hijau, oncom, tahu, dan tempe. Tidak semua contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi pangan sumber protein hewani dari kelompok pangan daging, unggas, ikan, telur dan susu. Hal tersebut dapat diketahui dari persentase contoh yang mengonsumsi pangan sumber protein hewani diantaranya sebesar 27.0% contoh biasa mengonsumsi daging dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0 kali/minggu, 71.0% biasa mengonsumsi unggas dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0-3.0 kali/minggu, 93.0% biasa mengonsumsi ikan dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0 kali/hari, 91.0% biasa mengonsumsi telur dan olahannya dengan rata-rata frekuensi sebesar 3.0-4.0 kali/minggu, serta sebesar 75.5% biasa

mengonsumsi susu dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0 kali/hari.

Kemudian yang perlu diketahui selanjutnya yaitu 100.0% contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi makanan ringan (snack) dengan rata-rata frekuensi konsumsi satu kali sehari. Makanan ringan (snack) yang biasa dikonsumsi contoh antara lain biskuit, donat, aneka goreng-gorengan seperti pisang goreng, bakwan, crieng, serta aneka kripik seperti keripik singkong dan

(12)

pisang. Terdapat bermacam-macam suplemen yang dikonsumsi ibu hamil meliputi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional untuk meningkatkan kecukupan zat gizi mikro guna menunjang pemenuhan akan kebutuhan zat gizi mikro pada ibu hamil. Tabel 17 berikut memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen

Jenis Suplemen Status Anemia Total Rata-rata (kali/bulan) Anemia Tidak Anemia n % n % n % Jamu 1 10.0 4 11.4 5 11.1 8.0 Tablet Ca 0 0.0 1 2.8 1 2.2 30.0 Tablet Multivitamin 2 20.0 9 25.7 11 24.4 30.0

Penambah Darah (sirup) 0 0.0 1 2.8 1 2.2 30.0

Tablet Fe 0 0.0 10 28.5 10 22.2 30.0

Tablet vitamin B 1 10.0 1 2.8 2 4.4 21.0

Tablet vitamin C 2 20.0 2 5.7 4 8.9 21.0

Sub total yang mengonsumsi 6 60.0 28 80.0 34 75.5 20.0

Sub total yang tidak mengonsumsi 4 40.0 7 20.0 11 24.5 0.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 20.0

Secara keseluruhan sebanyak 75.5% contoh atau 60.0% contoh pada kelompok anemia dan 80.0% contoh pada kelompok tidak anemia biasa mengonsumsi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional dengan rata-rata frekuensi konsumsi 20 kali/bulan atau 5 kali/minggu. Suplemen yang biasa dikonsumsi diantanranya, jamu, tablet Ca, tablet multivitamin, penambah darah (sirup), tablet Fe, tablet vitamin B dan vitamin C. Suplemen yang paling banyak dikonsumsi contoh adalah tablet multivitamin sebanyak 24.4% dengan frekuensi konsumsi satu kali sehari. Selanjutnya diikuti oleh konsumsi tablet Fe sebanyak 22.2% contoh yang mengonsumsi dengan frekuensi konsumsi satu kali sehari yang dapat memenuhi kebutuhan akan zat besi guna membantu proses pembentukan hemoglobin dalam darah. Contoh yang biasa mengonsumsi tablet

terhindar dari masalah anemia. Tablet Ca dan penambah darah (sirup) paling sedikit dikonsumsi contoh dengan persentase masing-masing sebesar

2.2% dengan frekuensi konsumsi masing-masing 2.0 kali seminggu dan 2.0 kali sehari. Polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu, mengikat besi heme membentuk kompleks besi tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak dapat diserap dengan baik (Alsuhendra 2005). Pada penelitian ini konsumsi zat inhibitor lebih ditujukan pada konsumsi teh dan kopi. Data konsumsi teh dan kopi

(13)

diperoleh dengan menanyakan frekuensi konsumsi teh melalui FFQ terhadap

contoh. Tabel 18 berikut memberikan gambaran kebiasaan contoh minum teh dan kopi

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum teh dan kopi

Konsumsi minuman Total Rata-rata

(kali/bulan)

n %

Teh tawar 16 35.6 30.0

Teh manis 18 40.0 30.0

Kopi 8 17.8 13.0

Secara keseluruhan contoh lebih banyak mengonsumsi teh manis dibandingkan dengan teh tawar dengan persentase contoh yang mengonsumsi teh manis sebanyak 40.0% dengan frekuensi satu kali sehari. Hanya 17.8% contoh dari keseluruhan yang biasa mengonsumsi kopi dengan frekuensi konsumsi sebanyak 2.0-3.0 kali seminggu. Kebiasaan minum teh dan kopi dapat menghambat proses penyerapan zat besi ke dalam tubuh yang mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dalam darah yang berdampak terhadap risiko menderita anemia (Sayogo 2007).

Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh

Asupan Zat Gizi Contoh

Asupan zat gizi dari konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat kecukupan zat gizi. Proses terbentuknya hemoglobin terkait dengan asupan protein, vitamin dan mineral dari konsumsi pangannya antara lain; protein nabati, protein hewani, vitamin B3, B6, B9, B12, C dan K serta mineral Fe, Cu, Zn dan Co (Effendi et.al 2009). Pada penelitian ini tidak seluruh unsur pembentuk hemoglobin dianalisis dengan alasan keterbatasan data sekunder terkait asupan vitamin dan mineral. Hanya energi, protein, vitamin C, vitamin A, zat besi (Fe), seng (Zn) dan asam folat (B9). Tabel 19 berikut memberikan gambaran mengenai asupan zat gizi contoh yang terkait dengan proses pembentukan hemoglobin.

Tabel 19 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh

No Zat gizi Rata-rata asupan/ hari Angka Kecukupan Gizi3 Tingkat Kecukupan (%)

1 Energi 1545.0 kkal 2100.0 kkal 74.0

2 Protein 49.9 g 67.0 g 75.0

3 Vitamin C 27.0 mg 85.0 mg 31.0

4 Vitamin A 579.0 RE 800.0 RE 72.0

4 Asam folat 187.0 µg 600.0 µg 31.0

(14)

6 Seng 12.0 mg 11.5 mg 101.0

3

Angka kecukupan gizi berdasarkan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester II Berdasarkan hasil olah data recall konsumsi pangan dapat diketahui rata-rata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan seng contoh per hari dari konsumsi pangannya masing-masing sebesar 1545 kkal, 49.9 g, 27.0 mg, 579.0 RE, 187 µg, 17.3 mg, dan 12.0 mg. Rata-rata asupan protein hewani dan nabati sebesar 17.3 g dan 32.6 g per hari. Rata-rata asupan

zat besi heme dan non heme masing-masing sebesar 10.4 mg dan 6.9 mg per hari. Secara keseluruhan rata-rata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin

A asam folat dan zat besi pada contoh masih dibawah angka kecukupannya. Adapun kecukupan zat gizi ibu hamil trimester kedua menurut WNPG (2004) adalah energi dengan kisaran umur 20-40 tahun sebesar 2100.0 kkal; 67.0 g protein; 85.0 mg vitamin C; 800.0 RE vitamin A; 600.0 µg asam folat, 35.0 mg zat besi dan 11.5 mg seng. Sehingga tingkat kecukupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan seng per hari dapat diketahui masing-masing sebesar 74.0%; 75.0%; 31.0%; 72.0 %; 31.0 %; 67.0%; dan 101.0%.

Rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada penelitian ini melainkan juga terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Barunawati (2000) di Kabupaten Bogor bahwa rata-rata asupan energi responden sebesar 1616.0 kkal; 52.8 g protein; 36.6 mg zat besi; dan 243.3 mg vitamin C. Menurut hasil penelitian Prihananto et al. (2007) bahwa asupan zat gizi ibu hamil di Kabupaten Bogor sebesar 1412.0 kkal energi; 30.0 g protein; 618.0 RE vitamin A; 23.8 mg vitamin C; dan 10.5 mg zat besi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amrin (2011) mengatakan bahwa rata-rata contoh di Kota Bogor dalam sehari memiliki asupan energi sebesar 1846 kkal; 58.4 g protein; 23.3 mg zat besi; 3706.3 RE vitamin A; 149.3 vitamin C.

Sementara itu, rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil juga terjadi di luar Kota Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota Bau-bau bahwa rata-rata asupan energi pada ibu hamil trimester kedua sebesar 1125.0 kkal; 36.6 g protein; 1222.0 RE vitamin A; 47.0 mg vitamin C; 8.0 mg zat besi. Effendi (1999) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat asupan pangan ibu hamil dapat disebabkan oleh nafsu makan ibu hamil yang umumnya berkurang pada empat bulan pertama. Pada penelitian ini sebanyak 78.0% contoh merasa mual selama kehamilan; 69.5% contoh merasa pusing selama kehamilan; dan 54.7% contoh merasa bahwa dirinya mengurangi makan karena pusing dan mual

(15)

tersebut. Hal tersebut mungkin menyebabkan kurangnya asupan makan contoh pada penelitian ini.

Tingkat Kecukupan Gizi (TKG)

Tingkat kecukupan gizi merupakan angka yang menggambarkan perbandingan zat gizi yang dikonsumsi contoh terhadap angka kecukupan gizi menurut jenis kelamin, umur, dan kondisi fisiologis contoh. Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dikatakan defisit tingkat berat jika tingkat kecukupan <70 % AKG, defisit tingkat sedang 70-79% AKG, defisit tingkat ringan jika tingkat kecukupan 80-89% AKG. Normal atau cukup jika tingkat kecukupan energi antara 90-119% AKG dan berlebih atau diatas kecukupan jika tingkat kecukupan >120% AKG. Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikatan kurang jika <77% dan cukup jika ≥ 77% (Gibson 2005). Tabel 20 berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan status anemia contoh.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan gizi dan status anemia

Zat gizi Tingkat kecukupan

zat gizi

Anemia Tidak

Anemia Total

n % n % n %

Energi Defisit tingkat berat 5 50.0 15 43.0 20 44.0

Defisit tingkat sedang 1 10.0 4 11.0 5 11.0

Defisit tingkat ringan 3 30.0 7 20.0 10 22.0

Normal 1 10.0 6 17.0 7 16.0

Berlebih 0 0.0 3 9.0 3 7.0

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Protein Defisit tingkat berat 5 50.0 104 45.7 21 46.7

Defisit tingkat sedang 0 0.0 21 17.1 6 13.3

Defisit tingkat ringan 0 0.0 20 14.3 5 11.1

Normal 2 20.0 31 11.4 6 13.3 Berlebih 3 30.0 27 11.4 7 15.6 Total 10 100.0 203 100.0 45 100.0 Vitamin A Kurang 7 70.0 22 62.8 29 64.4 Cukup 3 30.0 13 37.2 16 35.6 Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0 Vitamin C Kurang 10 100.0 31 88.5 41 91.1 Cukup 0 0.0 4 41.5 4 8.9 Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Asam Folat Kurang 10 100.0 33 94.2 43 95.5

Cukup 0 0.0 2 5.8 2 4.5

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Seng Kurang 8 80.0 12 34.2 20 44.5

Cukup 2 20.0 23 65.8 25 55.5

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Zat besi Kurang 6 60.0 25 71.4 31 68.8

(16)

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Pada penelitian ini rata-rata contoh memiliki tingkat kecukupan gizi yang kurang untuk zat gizi makro maupun mikro. Secara keseluruhan, tingkat kecukupan energi contoh dalam penelitian ini tergolong dalam kategori defisit tingkat berat dengan persentase sebesar 44.0% atau sebanyak 50.0% contoh pada kelompok anemia dan 43.0% contoh pada kelompok tidak anemia. Sebesar 16.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori normal dan 7.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi yang berlebih.

Secara keseluruhan, tingkat kecukupan protein contoh dalam penelitian ini tergolong dalam kategori defisit tingkat berat dengan persentase sebesar 46.7% atau sebanyak 50.0% contoh pada kelompok anemia dan 45.07% contoh pada kelompok tidak anemia. Walaupun terdapat 13.3% contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein dengan kategori normal tidak menjamin terhindar dari anemia. Hal itu dibuktikan dengan adanya dua orang contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein normal namun menderita anemia. Hal tersebut terjadi karena kurangnya asupan protein dari pangan sumber protein hewani yang memiliki jumlah protein lebih banyak dalam setiap 100 gram bahan yang dikonsumsi dibandingkan dengan pangan sumber protein nabati.

Sebagian besar contoh dalam penelitian ini lebih biasa mengonsumsi pangan sumber protein nabati dari kelompok pangan kacang-kacangan dan

berbagai olahannya seperti yang mmerupakan sumber zat besi non heme. Sayogo (2007) menyatakan penyerapan zat besi non heme lebih rendah

dibandingkan dengan sumber zat besi heme dalam bentuk ferro yang lebih mudah di serap oleh dinding sel usus.

Secara keseluruhan contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong kurang. Defisiensi Vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di dalam tubuh akan turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe tubuh untuk dapat mensintesa hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada proses erythropoesis (Setiyobroto et al. 2004 dalam Andriani 2012).

Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C dan asam folat contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia tergolong kurang. Vitamin C berperan membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga jika terjadi

(17)

kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat dalam tubuh berperan dalam proses pembentukan sel darah merah. Ketika makanan sumber asam folat di konsumsi, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hati menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang. Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah merah (Khomsan 2002). Pada masa kehamilan, ibu memerlukan asam folat lebih

banyk daripada biasanya untuk keperluan tumbuh kembang janin. Bila kadar asalm folat rendah maka akan menyebabkan bayi lahir cacat, mengalami gangguan syaraf (spina bifida), atau retardasi mental

(Khomsan 2002).

Tingkat kecukupan mineral seng dan besi contoh, baik pada kelompok

anemia maupun tidak anemia masing masing tergolong cukup dan kurang. Seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat

berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan, kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung

porsi zat besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga lebih sedikit transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng

akan lebih rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng (Whitney & Rolfes 2008 dalam

Hardiansyah 2012).

Sedangkan besarnya persentase contoh yang memiliki tingkat kecukupan zat besi dalam kategori kurang disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi dari pangan sumber zat besi heme yang dapat diperoleh dari pangan hewani. Pangan sumber protein nabati sebagai sumber zat besi non heme dari kelompok pangan kacang-kacangan dan olahannya penyerapannya lebih rendah dibandingkan dengan sumber zat besi heme. Diperlukan bantuan vitamin C untuk mereduksi zat besi non heme dalam bentuk ferri menjadi ferro agar lebih mudah dalam proses penyerapan ke dalam tubuh. Namun ternyata tingkat kecukupan vitamin C contoh juga kurang, ditambah lagi dengan jumlah asupan seng yang lebih besar dibandingkan dengan zat besi mengakibatkan terhambatnya penyerapan zat besi ke dalam tubuh.

(18)

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Kadar Hb

Hubungan umur contoh dengan kadar Hb

Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

nyata antara umur contoh dengan kadar Hb (p>0.05) (lampiran 1). Hasil penelitian Tristiyanti (2006) juga menyatakan bahwa umur tidak

berhubungan dengan kadar Hb. Tidak adanya hubungan tersebut karena umur merupakan faktor yang secara tidak langsung penyebab anemia. Selain itu hampir sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada rentang umur tidak berisiko.

Hubungan Besar Keluarga dengan kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

nyata antara besar keluarga dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Hal ini diduga karena besar keluarga secara tidak langsung berhubungan

dengan kadar hemoglobin. Yunita (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara besar keluarga dengan kadar Hb karena status pekerjaan mempengaruhi pendapatan guna memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya kurang pemerataan terhadap makanan. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk menarik kesimpulan. Ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu mengenai jenis sumber pangan apa yang biasa dikonsumsi dalam keluarga tersebut.

Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kadar Hb

Berdasarkan Uji korelasi pearson diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan contoh dengan kadar Hb (p>0.05). Hal ini juga diduga karena tingkat pendidikan tidak secara langsung berhubungan dengan kadar hemoglobin. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik (Arisman 2007).

Faktor pendidikan seharusnya mempengaruhi pola makan ibu hamil, tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki lebih baik sehingga bisa memenuhi asupan gizinya. Tristiyanti (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kadar Hb diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti perilaku contoh dalam memilih pangan yang akan dikonsumsinya. Tidak menjamin contoh yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan memiliki akses informasi lebih

(19)

tentang gizi dalam masa kehamilan dapat menerapkan pola makan yang benar selama masa kehamilan sesuai dengan kebutuhan gizi ibu hamil.

Hubungan Pendapatan/kapita/bulan dengan kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan per kapita dengan kadar hemoglobin (p>0.05) (Lampiran 1) Hal ini juga diduga karena pendapatan tidak secara langsung berhubungan dengan kadar hemoglobin. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan akan makanannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Terutama zat gizi yang terkait dengan kadar hemoglobin yaitu protein dan zat besi dari pangan yang biasa dikonsumsi.

Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh. Namun semua hal tersebut tidak menjamin bahwa setiap keluarga yang memiliki pendapatan per kapita per bulan yang tinggi akan sadar untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil.

Hubungan Nilai LILA dengan Kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara nilai LILA dengan kadar Hb (p<0.05) (Lampiran 1). Artinya, Semakin kecil

nilai LILA maka akan semakin rendah nilai kadar hemoglobin contoh. Status gizi ibu yang diukur melalui LILA mencerminkan cadangan zat gizi dan kondisi status gizi ibu hamil sebelum dan selama masa kehamilan. Jika LILA < 23.5 cm berarti contoh mengalami Kurang Energi Kronis (KEK)

dalam waktu sangat lama yang mengakibatkan asupan energi dari zat gizi makro lainnya seperti dari protein dialokasikan guna memenuhi kebutuhan energi ibu hamil terlebih dahulu untuk menyediakan cadangan energi di dalam sel otot.

Pembentukkan hemoglobin erat kaitannya dengan kecukupan energi, protein dan zat besi (Sayogo 2007). Proses pembentukan sel darah merah membutuhkan ketersediaan energi yang cukup. Untuk mengangkut oksigen,

(20)

protein harus berikatan dengan zat besi membentuk myoglobin di dalam serabut otot kemudian membentuk enzim yang berperan dalam pembentukan energi di dalam sel. Apabila energi di dalam sel dirasa cukup ketersediaannya, maka protein dan zat besi yang saling berikatan akan membentuk hemoglobin dan mengangkut oksigen dan dalam darah. Sehingga kadar hemoglobin akan menjadi indikator status anemia. Oleh karena itu, asupan protein dan zat besi harus tercukupi selama masa kehamilan karena berperan sangat penting dalam proeses pembentukan hemoglobin. Apabila pada saat hamil, ibu mengalami kurang energi kronis (KEK) berarti menunjukkan kekurangan energi dalam waktu yang sangat lama yang akhirnya berdampak pada kondisi fisiologis sekarang atau saat ini terkait dengan pembentukan hemoglobin yang tidak optimal dalam proses sintesis darah merah.

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi dengan Kadar HB

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Kadar Hb

Berdasarkan uji korelasi pearson maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena asupan energi yang diperoleh sebagian besar berasal dari pangan sumber karbohidrat sehingga tidak memberikan sumbangan zat besi dalam jumlah besar. Sebagaimana diketahui bahwa pangan yang memberikan kontribusi lebih banyak dalam hubungannya dengan hemoglobin sebagai indikator status anemia adalah zat besi. Menurut Sayogo (2007), zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral

yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain sebagai

sarana transportasi zat gizi, dan terutama juga oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh.

Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan anatara tingkat kecukupan protein dan dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena pangan sumber protein yang biasa dikonsumsi contoh merupakan sumber protein nabati dari kelompok pangan kacang-kacangan, sayuran dan olahannya. Sebagaimana diketahui

(21)

Dalam penyerapannya, sumber zat besi non heme lebih rendah dibandingkan dengan sumber zat besi heme (Sayogo 2007). Selain itu tingginya tingkat kecukupan seng yang melebihi tingkat kecukupan zat besi dalam penelitian ini menyebabkan transferin sebagai protein pembawa zat besi berikatan penuh dengan seng yang berdampak terhadap rendahnya proses pengikatan zat besi sehingga menghambat proses penyerapan dan mobilisasi zat besi kedalam tubuh hal tersebut didukung oleh Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah (2012), yang menyatakan jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng.

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan zat besi dan dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Hal ini diduga karena pangan sumber zat besi yang dikonsumsi sangat kurang atau bukan berasal dari besi heme sehingga kurang bisa mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Selain itu kemungkinan besar konsumsi besi non heme tidak diimbangi dengan konsumsi besi heme. Sebagaimana diketahui bahwa besi heme lebih mudah diserap oleh tubuh daripada besi non heme. Selain itu menurut Almatsier (2009), makan besi heme dan non heme secara bersamaan dapat meningkatkan penyerapan besi non

heme.

Contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi pangan sumber besi

heme (berasal dari kelompok pangan hewani) dalam frekuensi yang lebih rendah

jika dibandingkan dengan frekuensi konsumsi pangan sumber besi non heme (berasal dari kelompok pangan nabati). Tingkat kecukupan vitamin A, Vitamin C, dan asam folat sebagai unsur pembentuk hemoglobin yang tergolong menjadi salah satu penyebab tidak ada hubungan tingkat kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada

proses erythropoesis (Setiyobroto et al. 2004 dalam Andriani 2012). Vitamin C berperan membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga

jika terjadi kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan

berkurang dan bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat yang kurang menyebabkan proses pembentukan sel darah merah tidak optimal (Khomsan 2002).

(22)

Menurut Kartono dan Soekatri (2004) diacu dalam Permatahati (2012)

bahwa status besi seseorang juga dipengaruhi oleh penyerapan besi. Menurut Almatsier (2004) diperkirakan hanya 5-15% besi dari makanan yang

diabsorpsi oleh orang dewasa yang berada dalam status besi baik sedangkan dalam keadaan defisiensi besi absorpsi dapat mencapai 50%. Apabila absorpsi besi tinggi maka bioavailabilitasnya pun akan tinggi. Namun hasil penelitian Permatahati (2012) menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi tidak berhubungan dengan kadar Hb yang memiliki arti apabila bioavailabilitas zat besi rendah maka belum tentu kadar haemoglobin juga rendah ataupun sebaliknya.

Tidak ada hubungan disebabakan karena faktor lain selain konsumsi yang berpengaruh terhadap kadar hemoglobin ibu hamil diantaranya karena kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga cadangan zat gizi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya (Khomsan 2002), perdarahan akibat penyakit atau infeksi parasit dan saluran pencernaan serta proses hemolisis atau penghancuran sel darah merah sebelum waktunya (Wirakusumah 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Ayoya et

al (2006) di Banconi menunjukkan bahwa tingginya angka anemia memiliki

Gambar

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia  Tingkat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bab 3 merupakan pembahasan data-data yang telah dikumpulkan agar dapat dianalisis, untuk mengimplementasi enterprise architecture untuk Perusahaan X, dalam melakukan

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan informasi yang relevan dan akurat dalam pengembangan teori pasar yang efisien dengan melihat reaksi pasar modal

Demikian halnya dengan daftar perguruan tinggi (universitas) terbaik edisi tahun 2015/2016 yang dilansir www.webometrics.info bahwa mayoritas masih didominasi oleh

Nama : Moch. Jamur yang sudah ditumbuhkan, kemudian dipanen. Setelah itu, dianalisis kandungan fitokimia dan antioksidan yang meliputi uji total fenolat; serta

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunan metode (NHT) disertai dengan Peta Konsep dan LKS, motivasi belajar, dan kreativitas siswa terhadap

Berdasarkan fenomena tersebut, maka salah satu cara untuk meningkatkan kinerja para anggota BEM FISIP UNEJ adalah dengan menguatkan implementasi budaya organisasi BEM FISIP

Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi pemecahan masalah