• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami, saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan setiap kesempatan, macet akan terus menyertai, kemana pun mayarakat bepergian. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, mengingat perbandingan jumlah pertumbuhan jalan dan pertumbuhan kendaraan bermotor tidak seimbang. Tercatat. pertumbuhan jalan di Jakarta kurang dari 1% per tahun padahal setiap hari setidaknya ada 1000 lebih kendaraan bermotor baru turun ke jalan di Jakarta.

Menurut Pakar Transportasi Dr.Techn. Ir. Danang Parikesit, M. Sc.(Eng), dampak secara ekonomi akibat kemacetan ini, begitu nyata. Bahkan menurut survey, Danang menyatakan, masyarakat Jakarta, akan menghabiskan 6-8%PDB untuk biaya transportasi. Padahal menurut standart Internasional, biaya transportasi dikeluarkan oleh seseorang, idealnya adalah 4% dari PDB.

Angka senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005. Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta ditaksir Rp 12,8triliun/tahun yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya kesehatan.

Sementara berdasarkan SITRAMP II tahun 2004 menunjukan bahwa bila sampai 2020tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi maka perkiraan kerugian ekonomi mencapai Rp 65 triliun/tahun.

Berdasarkan studi tersebut, maka jelas Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal yang lebih andal. Salah satu alternatifnya adalah MRT. Menurut Danang Parikesit, yang lahir Yogyakarta, 3 Juni 1965 silam, MRT memiliki nilai lebih, yang tidak bisa didapatkan dari jenis angkutan yang lain. Berikut, wawancara singkat, mengenai efektivitas pemilihan angkutan missal yaitu MRT, untuk mengurai menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta khususnya dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Bagaimana pendapat Prof. Danang mengenai keadaan transportasi di Indonesia, khususnya di Jakarta?

Kalau kita lihat secara kinerja, kecepatan rata-rata orang melakukan kendaraan pribadi dengan tidak mencapai 15 km/jam , kita sudah tidak kompetitif lagi. Thailand kin, sudah mencapai 18 km/jam, Tokyo 20-22 km/jam.

(2)

Mengapa dikatakan tidak kompetitif?

Karena, akibat kemacetan ini, sejumlah kerugian akan melanda. Salah satunya adalah kerugian secara ekonomi. Bahkan jika dikalikan setahun, kerugian secara ekonomi bisa mencapai trilyunan rupiah. Dan, ternyata menurut survey per okober kemarin, kita menghabiskan 6-8% PDB untuk biaya transport. Ini angka yang besar. Bahkan standart internasional saja, hanya 4%.

Lalu, bagaimana penyelesaian kemacetan di Jakarta ini?

Kalau bicara tentang menyelesaikan transportasi, harus dipastikan orang yang ada di dekat Jakarta misalnya Jabodetabek, mengalami kemajuan. Misalnya dalam kurun waktu 5-10 tahun, kecepatan tempuh meningkat dari 13 km/jam menjadi 18 km/jam. Tapi di Jakarta khususnya, tidak ada progress, dulu macet, sekarang tambah macet. Salah satu sebabnya adalah arus urbanisasi semakin lama semakin bertambah.

Dan, kecenderungannya adalah, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Mengingat kendaraan massal kurang memadai maka, mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Inilah salah satu sebab, kemacetan, setiap hari bertambah.

Apa skema yang tepat, untuk mengurai kemacetan ini?

Perjalanan tiap hari di Jakarta mencapai 40 Juta. Dari 40 juta perjalanan, 56% menggunakan angkutan massal, dan 44% menggunakan kendaraan pribadi. Dimana, untuk pengguna angkutan missal terbagi menjadi, 3% menggunakan KRL, 3% menggunakan transjakarta, dan 50% menggunakan bis non transjakarta dan KRL. Jika hal ini terus dibiarkan, saya khawatir kondisi di Jakarta akan semakin parah, karena masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Bagaimana dengan wacana tentang MRT?

MRT, kini bukanlah wacana lagi. Namun, penyediaan MRT telah tertuang dalam Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Ada dua perspektif penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi masalah transportasi. Yakni, jangka pendek terkait mengatasi kemacetan dan jangka panjang adalah pengaturan pemanfaatan ruang. Pembangunan MRT untuk Jakarta jelas sangat diperlukan demi mengatasi kemacetan. Pembangunan MRT beserta sistem pendukungnya merupakan solusi yang harus terus diupayakan. Juga diperlukan master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik sebagai MRT andalan di masa datang. Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana transportasi massal atau melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif.

Apakah MRT ini mampu mengurai kemacetan?

MRT bagian dari solusi transportasi. MRT mampu mengangkut penumpang dari satu titik asal ke titik tujuan secara cepat, dan dalam jumlah yang besar. Namun, selain MRT

(3)

untuk mengatasi kemacetan diperlukan langkah-langkah lain seperti, peningkatan disiplin lalu lintas, pembatasan volume lalu lintas, mendorong pengguna kendaraan pribadi

beralih ke MRT seperti dengan menyediakan fasilitas park & ride. Dan, yang paling penting adalah mengintegrasikan sistem MRT dengan sistem angkutan massal lainnya seperti bus umum, busway, dan kereta Jabodetabek. Sehingga sebelum ada pembatasan jumlah kendaraan, Pemerintah hendaknya berupaya untuk menyediakan moda transportasi massal yang andal, layak dan memadai sehingga masyarakatdengan sendirinya akan lebih tertarik naik angkutan umum ketimbang bawa kendaraan sendiri. Dengan begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara dengan penggunaan kendaraan pribadi. Sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih menggunakan transportasi publik.

Sistem MRT Jakarta sendiri dibangun untuk menjawab tantangan mobilitasyang rendah karena terbatasnya ruang untuk bermobilitas. Kemacetan di jalanraya disebabkan oleh ketidakseimbangan kapasitas jalan dengan volume kendaraan yang melaluinya. Keunggulan sistem MRT Jakarta yang andal, tepat waktu, danharga tiketnya terjangkau memberikan pilihan bagi pengguna kendaraan pribadikhususnya untuk beralih ke MRT. Berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi iniakan meningkatkan ruang gerak di jalan raya yang berdampak pada berkurangnyatingkat kemacetan serta tingkat polusi

Bagaimana mekanisme penyediaan MRT yang baik?

Terkait penyediaan MRT harus terintegrasi dengan penataan ruang. Harus ada keterkaitan antara penataan ruang dengan sistem transportasi. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi dari pemangku kepentingan mulai tahap penyusunan hingga implementasinya. Jakarta harus mencontoh negara-negara tetangganya seperti Singapura dan Thailand yang telah berhasil mengatasi masalah kemacetan dengan melakukan tindakan tersebut. Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yang

(4)

saat ini dalam tahap penyusunan juga harus menyiapkan ruang yang diperlukan MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit yang secara harafiah berarti angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat. Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) yang berbasis rel. Rencananya, MRT akan membentang kurang lebih ±108.7 km , yang terdiri dari Koridor Selatan – Utara (Koridor Lebak Bulus - Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih ±21,7 km dan Koridor Timur – Barat sepanjang kurang lebih ±87 km.

Pembangunan Koridor Selatan-Utara dari Lebak Bulus – Kampung Bandan dilakukan dalam 2 tahap.Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu menghubungkan Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15.5 km dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan 6 stasiun bawah tanah) ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.Tahap II akan melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI ke Kampung Bandan yang akan mulai dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi paling lambat 2020.Koridor Barat-Timur saat ini sedang dalam tahap pre-feasibility study. Koridor ini ditargetkan paling lambat beroperasi pada 2027.

Apa kelebihan MRT ini?

MRT, adalah jenis angkutan massal yang mahal dalam pengadaannya, salah satunya untuk biaya infrastruktur. Perhitungan kasarnya, 1 Km akan memakan biaya 1 trilyun. Sehingga praktis jika ingin membangun MRT sepanjang 12 Km maka, biaya yang harus dikeluarkan sebesar 12 trilyun sampai 14 trilyun. Dengan jumlah biaya yang demikian, jika pemaknaan pembangunan MRT ini hanya untuk mengangut orang saja, kurang. Nah, yang menjadi sisi keunggulan dari MRT ini adalah mampu mengembangkan daerah-daerah sekitar MRT sesuai dengan tata ruang kota. Seperti di negara-negara yang telah berhasil menggunakan moda ini, kawasan di sekitar MRT menjadi kawasan yang berkembang. Ruang-ruang public maupun bisnis, akan sangat tertarik untuk mengembangkan investasinya di sekitar MRT. Sehingga makin lama, kawasan sekitar MRT akan berkembang, sehingga biaya operasional MRT yang cukup mahal jika hanya untuk angkutan missal tersebut, dapat tertututi oleh berkembangnya daerah sekitar MRT. Selain itu, MRT ini tidak hanya sekedar membantu mengatasi kemacetan, namun juga sebagai pendorong bagi Pemprov DKI Jakarta untuk merestorasi tata ruang kota. Agar lebih efektif dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Caranya adalah MRT Jakarta diintergrasikan dengan tata ruang di kawasannya. Integrasi diwujudkan dengan pembangunan jalan menuju stasiun atau menyediakan angkutan umum lain yang memudahkan warga datang atau meninggalkan stasiun MRT.

Pada beberapa lokasi stasiun, dimungkinkan untuk membangun tempat parkir di stasiun dan trotoar yang memadai untuk mengakses stasiun. Dengan cara ini, warga yang tinggal atau beraktivitas di sekitar jalur MRT dapat merasakan manfaat langsungnya. Sementara warga yang tinggal agak jauh juga dapat meninggalkan kendaraan pribadi dan mengakses MRT dengan angkutan umum pendukung. Pemilik kendaraan pribadi juga dapat memarkir kendaraan di dekat stasiun.

(5)

Terhubungnya stasiun MRT dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan pusat-pusat aktivitas sosial lainnya akan memberikan manfaat tersendiri bagi pusat-pusat kegiatan ini.Dengan laju manusia yang lebih baik, pusat perbelanjaan menjadi ramai dan perkantoranterjamintingkathuniannya.

Lalu, Bagaimana pembiayan MRT ini?

Sekarang sudah ada sumber pembiayaannya. Tercatat, Pendanaan untuk proyek MRT ini diperoleh pinjaman dari JICA dan jaminan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, proyek MRT ini merupakan proyek nasional yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI Jakarta. Pada Oktober 2005 telah dikeluarkan surat keputusan Menko Perekonomian no. 057/2005 yang menetapkan pembayaran pinjaman tersebut ditanggung bersama oleh Pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta dengan komposisi 42% : 58%. Segera setelah keluarnya SK tersebut, pada tahun2005, juga disepakati struktur proyek dan konsep pendanaan yang disepakati oleh Bappenas, Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Pemerintah Provinsi DKIJakarta dan JICA.

Terkait dengan kota Jakarta yang rawan bencana, terutama banjir, bagaimana menurut Prof. Danang, tingkat keamanan MRT ini?

Sekarang kan sudah ada teknologinya untuk menyiasatinya. Berdasarkan pengalaman di negara lain yang rawan gempa seperti di Jepang, begitu juga dengan masalah banjir, transportasi MRT tetap bisa dijalankan. Persoalan banjir, tanah lembek dan gempa dapat diatasi dengan rekayasa teknik. Misalnya saja di Hong Kong dan Bangkok, yang rawan banjir. Rekayasa teknik yang dipergunakan untuk mengatasi banjir antara lain dengan cara peninggian pintu masuk. Sedangkan untuk tanah lembek dapat diatasi dengan teknik perbaikan tanah (soil improvement). Selain itu, struktur bangunan yang relatif pendek pada MRT, membuat pengaruh gempa relatif tidak signifikan dibandingkan dengan pengaruh gempa pada gedung-gedung tinggi. (berbagai sumber)

(6)

WATERFRONT CITY, BANJARMASIN

Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota

Oleh: Raditya PU *

Kepala Bappeda Banjarmasin

Kota Seribu Sungai. Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu Sungai Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh sungai, anak sungai dan bahkan kanal – kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi bukti penting eksistensi sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas perdagangannya „terapung‟, baik penjual maupun pembeli bertransaksi diatas sungai dengan menggunakan perahu khas Banjar, Jukung.

Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai, namun kenyataannya Banjarmasin justru kehilangan sungai dari sebelumnya 107 buah menjadi 71 buah pada saat ini. (Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

Foto 2. Pasar Terapung Banjarmasin Pasar terapung yang merupakan cerminan kuatnya kultur kehidupan perairan masyarakat Banjarmasin saat ini menjadi salah satu daya tarik pariwisata khas. (Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam perdagangan antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai Martapura. Di masa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang luas menjadi pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai timur Kalimantan. Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan keberadaan sungai tersebut beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama dengan jukung sebagai „kendaraan‟ utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya,

(7)

sebagian besar aktivitas dan permukiman masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar sungai dengan karakteristik rumah mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai Rumah Lamin. Lebih jauh lagi, penggunaan sungai sebagai jalur transportasi mempengaruhi orientasi muka bangunan, entrance bangunan menghadap ke sungai yang merupakan salah satu karakteristik dari waterfront city.

Foto 3 : Karakteristik Permukiman waterfront

Banjarmasin selain memiliki tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, juga memiliki sungai-sungai berukuran sedang (lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya sekitar 77 sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan Sungai Tatas. Tidak mengherankan apabila kehidupan berbasis sungai menjadi daya tarik unik bagi kota yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar dan dijuluki Venesia dari timur ini.

Pemandangan yang khas dari kota sungai ini adalah adanya rumah-rumah dengan tipe rumah panggung yang dibangun berderet menghadap sungai dan rumah lanting (rumah terapung) yang berada di atas air di tepi sungai. Penduduk yang bermukim di sepanjang aliran sungai memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat pula lanting atau batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai tempat untuk MCK serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung.

Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan zaman. Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya berjalan secara mutualisme. Pengaruh kolonialisasi Belanda sejak tahun 1860 secara tidak langsung mengubah orientasi wajah kota melalui pembangunan jalan darat untuk keperluan pengawasan terhadap pergerakan masyarakat Banjar. Penggunaan jalan seolah berkompetisi dengan peran sungai sebagai jalur transportasi utama. Perlahan-lahan,

Foto 3. Karakteristik ideal sebuah waterfront city

Salah satu karakteristik ideal sebuah waterfront city yang juga diimpikan oleh Banjarmasin adalah muka bangunan yang menghadap ke sungai. Dengan demikian, kebersihan sungai sebagai halaman depan rumah akan selalu menjadi prioritas para penghuninya. (Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

(8)

tumpuan aktivitas sungai tergantikan oleh dinamisme perkembangan jalan, penggunaan jukung mulai digantikan oleh mobil dan motor.

Secara historis, jalan utama yang ada di Kota Banjarmasin berasal dari jalan lingkungan perumahan yang dulunya merupakan jalur air dan berawa sehingga meskipun saat ini telah mengalami perkerasan, namun jika dilewati beban yang cukup berat, jalan ini cepat rusak karena kondisi fisik tanahnya yang labil. Kondisi tanah yang berawa dan seringkali menimbulkan serangan nyamuk ini pulalah yang memunculkan gagasan dari dr. Murdjani sebagai Gubernur Kalimantan pada awal tahun 1950-an untuk memindahkan ibukota provinsi ke tempat yang dianggap lebih tinggi, yang sekarang dikenal sebagai Banjarbaru.

Kota Banjarmasin sendiri mulai mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi menjadi „muka depan‟ aktivitas namun justru menjadi „muka belakang‟, permukiman menghadap ke jalan sebagai akses utama aktivitas. Perubahan orientasi tersebut secara tidak langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan „perlakuan‟ terhadap sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta aktivitas „belakang‟ lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat.

Hal ini menyebabkan penurunan kondisi sungai-sungai di kota tersebut, mulai dari permasalahan penyempitan alur sungai, pendangkalan sungai, penggerusan tebing sungai oleh aliran air, hilangnya sungai (baik tertutup bangunan maupun digunakan sebagai lahan parkir), dan maupun terjadinya genangan permanen. Hal ini diperparah oleh kondisi topografis Kota Banjarmasin yang rawan tergenang oleh air hujan dan air pasang. Secara geografis, kota ini terletak pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Di sisi lain, pembangunan sektor jasa seperti pertokoan yang berjalan pesat di Kota Banjarmasin juga tidak diimbangi oleh penyediaan drainase yang memadai. Bantaran sungai cenderung berubah menjadi permukiman liar sehingga mengurangi badan air. Di sisi lain, terdapat pula ancaman lain. Penelitian yang dilakukan oleh Armi Susandi dkk dari Program Studi Meteorologi ITB memperlihatkan bahwa Kota Banjarmasin memiliki kerawanan terhadap kenaikan muka air laut yang cukup tinggi, yang dapat mencapai 0,48 meter pada tahun 2050.

Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur

(9)

contoh-contoh permukiman yang tidak teratur. Situasi ini sangat kontras dengan citra Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai.

Sungguh sangat disayangkan, citra Kota Banjarmasin sebagai waterfront city pada jamannnya seolah hilang ditelan modernitas perkembangan perkotaan melalui dinamisme pembangunan jalan. Padahal keberadaan sungai di Banjarmasin dan seluruh aktivitas khas di sepanjang aliran sungai merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi Kota Banjarmasin yang mampu menjadi daya tarik wisata serta penanda citra kota.

Lantas, apa yang dilakukan pemerintah?

Menyadari urgensi permasalahan tersebut, pemerintah Kota Banjarmasin tidak tinggal diam. Degradasi lingkungan perkotaan yang terus meluas, ditambah lagi isu global mengenai perubahan iklim akan semakin memperparah kondisi kota Banjarmasin. Permukiman di sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk dalam memperlakukan sungai. Kualitas air semakin menurun, penumpukan sampah terjadi semakin banyak sehingga jukung semakin kesulitan melewati sungai. Dengan visi pemerintahan mewujudkan kota yang harmonis dengan alam, keberlanjutan lingkungan menjadi faktor kunci dalam perkembangan kota. Untuk mewujudkannya, langkah awal yang dilakukan, pada tahun 2009, pemerintah membentuk SKPD baru yaitu Dinas Sungai dan Drainase yang tugas pokok dan fungsinya mengarah pada perbaikan dan revitalisasi sungai untuk mampu mendukung kembali aktivitas perkotaan.

Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kota. Dengan jumlah penduduk mencapai 627.245 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07% per tahun, kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat terutama di sektor perdagangan dan jasa. Pembangunan fasilitas perdagangan, seperti ruko yang menjadi salah satu pemandangan yang acap dijumpai di berbagai sudut kota, seringkali tidak mengindahkan struktur kota, khususnya jaringan drainase. Di sinilah SKPD baru tersebut berperan dalam memastikan bahwa drainase pendukung aktivitas perkotaan tersedia secara baik, di samping menormalisasi kembali fungsi sungai-sungai yang ada. Hal ini ditempuh melalui pemeliharaan rutin harian seperti pembersihan sungai maupun pemeliharaan drainase yang pada tahun 2010 mencakup 42 titik.

(10)

Satu catatan menarik dari apa yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, upaya perubahan citra kota yang dilakukan cukup inovatif. Selain secara normatif, pemerintah memasukkan konsep penataan kota yang berbasis sungai pada konsep struktur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini ditempuh antara lain melalui pemantapan fungsi jaringan Sungai Barito sebagai jalur pergerakan regional, pemantapan fungsi jaringan Sungai Martapura sebagai jalur pergerakan regional dan jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin, serta pemantapan fungsi jaringan Sungai Kuin, Sungai Alalak dan Sungai Kelayan, sebagai jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota juga meningkatkan kapasitas pelayanan dan efektivitas kebersihan kota melalui penambahan personil petugas kebersihan kota menjadi 300 orang serta upaya penghijauan dan pembangunan sarana persampahan yang lebih memadai, antara lain melalui pembangunan TPA Basiri.

Lebih jauh lagi, Kota Banjarmasin juga melakukan upaya yang revolusioner dengan mengadakan sayembara internasional untuk penataan tepian Sungai Martapura di Kawasan Pusat Kota Banjarmasin dimana pemenang penataan kota dalam sayembara tersebut akan dijadikan acuan dalam penataan waterfront city Banjarmasin saat ini. Sayembara tersebut tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi semata, dibalik proses tersebut, terdapat sebuah pembelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat mengenai kepedulian terhadap perbaikan citra kota Banjarmasin terutama dalam upaya mengembalikan fungsi sungai di Banjarmasin sebagai bagian dari aktivitas masyarakat yang pernah ditinggalkan. Bahkan, terlihat dari besarnya animo pihak asing untuk mengikuti sayembara tersebut, maka diharapkan penataan Kota Banjarmasin akan semakin variatif dan adaptif terhadap perkembangan.

Secara teknis, perencanaan tepian sungai tersebut dilakukan dengan memperhitungkan aspek hidrologis dan perilaku sungai. Bantaran sungai sendiri akan dikembangkan sebagai ruang terbuka publik dengan konsep riverwalk. Akses untuk masyarakat ke sungai sebagai milik umum juga akan dibuka seluas-luasnya. Hal menarik lainnya adalah kawasan perdagangan dan jasa eksisting yang seringkali menimbulkan konflik, akan ditata secara terintegrasi dengan konsep revitalisasi kawasan. Bangunan yang akan dibangun pun disesuaikan secara teknis, yaitu dengan konsep rumah panggung dengan material yang ringan. Upaya fisik yang telah dilakukan adalah pembangunan tanggul atau siring di sepanjang Sungai Martapura, yang saat ini telah mencapai panjang 1 km dari sekitar 5 km yang direncanakan.

Berhasilkah rencana tersebut?

Perlahan tapi pasti, mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana transformasi wajah kota Banjarmasin di sepanjang sungai. Upaya penanganan drainase wilayah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan sungai yang ada dan normalisasi sungai mati, dan revitalisasi bantaran sungai-sungai besar mulai menampakkan hasil. Hal ini tak terlepas dari dukungan masyarakat yang juga ingin melihat kotanya kembali bersih.

(11)

Foto 7. Penataan Sungai Miai

Foto di sebelah kiri memperlihatkan situasi Sungai Miai sebagai salah satu contoh sungai kecil sebelum normalisasi, sedangkan foto sebelah kanan memperlihatkan situasi Sungai Miai saat ini. Normalisasi serupa dilakukan pula pada sungai-sungai yang lain, seperti Sungai Cemara, Sungai Beruntung, Sungai Belitung, Sungai Pandu, dan lain-lain. (Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

Foto 8. Penataan Kawasan Tendean

Kawasan Tendean merupakan bagian dari penataan tepi sungai di pusat kota. Gambar atas memperlihatkan desain situasi yang diharapkan. Sedangkan foto pada bagian bawah memperlihatkan situasi saat ini kawasan tersebut setelah pembangunan siring dan penataan kawasan. (Foto: Pemkot Banjarmasin)

Namun meskipun begitu, beberapa hambatan masih dialami oleh pemerintah dalam upaya merealisasikannya. Pergeseran perlakuan sungai bagi masyarakat Banjarmasin ternyata justru sudah menjadi „budaya baru‟ dalam konteks kekinian. Memandang sungai

(12)

sebagai „bagian belakang‟ aktivitas masyarakat menjadi lebih familiar. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya timbunan sampah yang terbuang ke sungai, bahkan lama-kelamaan sungai seakan dianggap sebagai TPA kota. Kultur tersebut menjadi salah satu hambatan signifikan dalam penataan kota. Keberhasilan penataan tersebut harus dibarengi dengan perubahan kembali pola pikir masyarakat terhadap keberadaan sungai sebagai bagian penting dalam pembentukan citra Kota Banjarmasin sehingga warisan citra waterfront bisa dikembalikan kembali.

Selain itu, permasalahan lahan juga memiliki andil yang sangat besar dalam menghambat realisasi rencana tersebut. Sebagian lahan di sepanjang sungai yang akan diremajakan ternyata sudah dikuasai oleh „preman‟ penguasa lahan yang memiliki konsekuensi terhadap sulitnya proses pembebasan lahan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut diapresiasi. Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang bertempat tinggal di sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka bahkan rela untuk direlokasi. Di Banjarmasin yang kehidupan masyarakatnya sangat terikat dengan sungai, kesediaan ini adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, dengan dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat, Adipura yang didambakan nampaknya bukanlah hal yang mustahil.

Pemindahan pusat pemerintahan provinsi

Di sisi lain, Banjarmasin harus pula mempersiapkan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini, yang merupakan wacana lama, ketika Gubernur Kalimantan pada tahun 1951, dr. Murdjani, mengeluhkan aktivitas pemerintahan yang seringkali terganggu akibat genangan air dan gelombang pasang. Di sisi lain, kondisi Banjarmasin yang berawa-rawa juga menimbulkan ancaman berbagai penyakit. Murdjani kemudian menganggap bahwa perlu mencari lokasi ibukota Kalimantan Selatan yang baru.

Banjarbaru dipilih karena terletak di perbukitan yang bertanah padat, berbeda dengan wilayah di sekitarnya yang cenderung berawa-rawa, sehingga dianggap layak sebagai lokasi sebuah ibukota baru. Sebuah tim kajian kelayakan yang dipimpin oleh D.A.W. Van der Peijl bekerjasama dengan Tim Planologi dari ITB merancang Banjarbaru sebagai sebuah kota baru (new town) dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Palangkaraya. Selanjutnya, kota baru ini mendapatkan status kota administratif selama 23 tahun, hingga pada tahun 1997 kota ini ditetapkan sebagai Kotamadya.

(13)

Foto 9. Rencana Pemanfaatan Lahan di sekitar kantor pemerintahan Provinsi Gambar di samping memperlihatkan rencana pemanfaatan ruang Kota Banjarbaru di sekitar perkantoran provinsi, yang terdiri atas perumahan dan fasilitas pendukung, perhotelan, sekolah, hutan kota, danau buatan dan alun-alun kota. (Sumber: Distako Banjarbaru, 2010)

Saat ini Banjarbaru telah berkembang menjadi suatu kota yang berkembang pesat dan mandiri, hingga telah sepenuhnya lepas dari Banjarmasin sebagai induknya. Kota baru ini pun telah siap menerima rencana pemindahan perkantoran provinsi, antara lain dengan mengakomodasi rencana pemindahan tersebut dalam Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan Kota Banjarbaru. Wilayah perencanaannya berada di sekeliling kawasan perkantoran Provinsi, agar kualitas ruangnya selaras dengan kualitas ruang kawasan perkantoran provinsi. Perencanaan ini juga diperlukan untuk menghindari praktik spekulasi lahan, yang merupakan praktik jamak yang mengiringi rencana pembangunan suatu pusat baru. Perencanaan ini meliputi pengaturan perumahan dengan gradasi kepadatan yang dikombinasikan dengan ruang terbuka hijau.

Bagaimana dengan Banjarmasin sendiri setelah pemindahan ini? Banjarmasin tampaknya telah siap dengan isu ini. Pemindahan ini sekaligus membantu Banjarmasin mengurangi beban kota, yang selama ini tertumpu khususnya di Kecamatan Banjarmasin Barat yang mencapai 10.763 jiwa/km2. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Banjarmasin dan Banjarbaru akan berkembang di masa depan karena keduanya mewakili dua proses perkembangan kota yang berbeda: Banjarmasin tumbuh sebagai kota yang organis, sedangkan Banjarbaru tumbuh sebagai kota baru yang direncanakan. Namun keduanya sama-sama menyiratkan optimisme di masa depan.

(14)

A

LUN

-A

LUN

Oleh:

Suwardjoko P Warpani

SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota

Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Keraton, Kabupaten) selalu dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009). Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang dinamakan “Alun-alun”. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Ada perbedaan antara Alun-alun Keraton (Istana Raja) dengan Alun-alun Kabupaten (kediaman Bupati). Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang istana, sedangkan tempat tinggal resmi Adipati (Kadipaten) hanya memiliki satu alun-alun yang terletak hanya di depan istana, seperti Mangkunegaran-Surakarta dan Pakualaman-Yogyakarta. Begitu juga tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten. Saat ini dalam pemerintahan, kabupaten menjadi sebuah daerah otonomi yang dikepalai oleh seorang Bupati, atau pemerintahan setingkat di bawah propinsi.

Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alun-alun bukan sekedar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: di samping sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi dan sejumlah alun-alun sudah berubah wajah, namun sebagai elemen kota berupa “ruang terbuka umum”, ruang publik, masih sangat diperlukan.

Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul

Sejak masa Kerajaan Majapahit alun-alun telah dikenal, namanya pun terabadikan dalam sebuah riwayat, yakni Alun-alun Bubat. Kota-kota kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi terletak di selatan Keraton. Permukaan Alun-alun Keraton tersebut tidak berumput tetapi berupa hamparan pasir halus (Kisdarjono, 2009), sedangkan Alun-alun Kabupaten

(15)

biasanya berumput. Bahkan halaman dalam Keraton berupa pasir halus yang konon diambil dari pantai selatan Pulau Jawa, seperti isyarat dalam mitologi Laut Kidul.

Penggunaan hamparan pasir dilakukan atas dasar pertimbangan filosofis. Pada siang hari, pasir menghadirkan suasana panas namun di malam hari udara semilir sejuk. Hal ini diibaratkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dunia ini berpasang-pasangan. Siang-malam, bahagia-duka, panas-dingin, dan seterusnya (Brongtodiningrat, 1978). Selain itu, secara teknis dan praktis pun ternyata benar. Busana resmi keraton tanpa alas kaki (kecuali Raja), dan para sentana dan abdidalem duduk bersila (bila terpaksa di halaman). Pasir tidak akan mengotori telapak kaki meskipun basah, sehingga paseban pun tidak kotor. Tak hanya itu, duduk bersila di atas pasir pun tidak akan mengotori kain, bahkan air hujan pun cepat meresap ke perut bumi.

Di depan bangunan keraton terdapat pintu masuk yang menuju Sitinggil (Pendopo Keraton), begitu pula di depan bangunan kabupaten terdapat pintu masuk menuju Pendopo. Pendopo juga dinamakan Paseban, yang berasal dari kata seba (Kisdarjono, 2009). Sementara itu, dari tutur Ki Dalang Wayang, dikenal Paseban Jawi (paseban luar) yang berfungsi sebagai tempat menunggu bagi para tamu yang hendak menghadap raja, untuk hal ini tidak terdapat pada kabupaten.

Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara, dan sebelah Timur (dahulu) ada kebun binatang. Hal sedikit berbeda terdapat pada Alun-alun Kabupaten, pasalnya pada sisi sebelah Timur biasanya berdiri bangunan penjara. Konon letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah. Alun-alun di depan masjid biasanya dimanfaatkan untuk shalat Ied pada waktunya. Kemudian tak jauh dari masjid atau sebelahnya terdapat permukiman yang disebut Kauman, kampung para santri. Barangkali, karena faktor masjid inilah maka bangunan keraton di Jawa selalu menghadap Utara-Selatan, demikian pula pendopo kabupaten pada umumnya menghadap Utara atau Selatan, kecuali Pendopo Kabupaten Kediri yang menghadap ke Barat.

Disisi lain, jalan masuk terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat (di Jawa) menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama Kyai Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan sebagian masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Sebagai lambang kebesaran, Ringin Kurung hanya ada di Keraton dan Kabupaten, sedangkan Kadipaten (meskipun memiliki pemerintahan seperti daerah otonom) tidak memilikinya.

Di tempat itu, pada saat paseban rakyat yang ingin seba (menghadap raja), harus duduk menunggu berjemur di alun-alun (dalam Bahasa Jawa disebut pepe) sampai waktunya dipanggil jika raja berkenan menerimanya. Rakyat yang pepe adalah rakyat yang akan menyampaikan keluhannya atau ingin melaporkan sesuatu langsung kepada raja.

(16)

Sementara itu, Ringin Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau Bupati bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya. Ini hendaknya “dibaca” dari kanopi pohon beringin yang rindang memberi keteduhan bagi siapapun yang kepanasan terik matahari, sedangkan akar yang tertanam kuat seolah-olah menyiratkan kuasa raja yang mengakar pada rakyatnya. Dari sini pula bisa diartikan lebih dalam makna keberadaan pohon beringin di alun-alun, sedangkan lapangnya (jembar : Jawa) alun-alun menyiratkan kesan seorang penguasa (Raja, Bupati) yang berpandangan luas (jembar nalare) sebagaimana konsep kepemimpinan Astabrata.

Perihal Ringin Kurung, juga memiliki makna dalam model busana, gaya tari, dan gaya bahasa. Terdapat perbedaan antara Keraton Surakarta dengan Yogyakarta. serupa tapi tak sama. Menurut versi Surakarta, di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin, yakni: Kyai Jayadaru di sebelah Timur dan Kyai Dewadaru di sebelah Barat. Di samping itu masih terdapat empat pohon beringin jantan, seperti Kyai Jenggot tumbuh di Baratdaya, dan beringin betina Wok di Timurlaut, sementara itu beringin Gung terdapat di Tenggara dan beringin Bitur menempati sisi sebelah Baratlaut.

Tak hanya itu, sejumlah beringin lain juga tumbuh rapat di Jalan Gladhag tak lebih sebagai pohon peneduh (Setiadi, dkk; 2001). Tetapi jika menengok versi Yogyakarta, bila kita dari Selatan masuk melalui Plengkung Gadhing (Nirbaya) ke komplek keraton, di pinggir Alun-alun Selatan, tumbuh dua pohon beringin bernama Wok yang berasal dari kata brewok, sedangkan dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun menggambarkan bagian tubuh yang rahasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata, namanya Supit Urang, lambang perempuan, sedangkan pagarnya terdapat ornamen buser yang melambangkan sifat pemuda-pemudi. Di sisi lain, sebelah Utara terdapat dua pohon beringin.

Selain pohon beringin yang ditanam dengan landasan filosofi pemerintahan, halaman Keraton, Kadipaten, dan Kabupaten biasanya juga ditanami pohon yang mengandung filosofi hubungan antar sesama, yaitu pohon Sawo Kecik (sawo mini), yang konon mengandung pesan agar manusia hendaknya selalu nandur kabecikan (berbuat kebaikan) kepada sesama. Bahkan biji buah sawo kecik dijadikan bahan mainan anak-anak masa itu, anak-anak lelaki menggunakannya untuk diadu kekerasannya sesama teman (ditumpangkan satu di atas yang lain, lantas diinjak sambil dihentakkan dengan tumit), sedangkan anak-anak perempuan menggunakannya untuk main dakon (keterampilan berhitung dan memindahkan biji kecik dari satu cekungan ke cekungan lain pada semacam nampan kayu). Selain itu rindangnya pohon-pohon sawo kecik di halaman digunakan sebagai peneduh yang menebar kesejukan. Konon ini pun mengandung pesan bagi penguasa agar mampu memberi kesejukan kepada kawulanya.

Pada masa lampau, alun-alun dapat dikatakan sebagai pusat kemasyarakatan (civic centre), di antaranya sebagai tempat upacara kegiatan kerajaan, rekreasi, hiburan, pasar malam, kegiatan ekonomi, dan sebagainya; bahkan keberadaan pasar menjadi satu kesatuan lokasi dengan alun-alun. Pasar Kabupaten pada masa lalu, selalu berdekatan dengan alun-alun (di seberang jalan). Uniknya, pusat kemasyarakatan ini (berlaku bagi

(17)

Keraton) justru terletak di belakang Keraton (Surakarta dan Yogyakarta), yakni di Alun-Alun Lor (Utara), karena Keraton menghadap ke Selatan. Buktinya, Dalem Ageng Praba Suyasa sebagai pusat dari seluruh bangunan keraton, jelas menghadap ke arah selatan. Ada riwayat yang mengungkapkan: “Kyai Tumenggung Wiraguna dumugi alun-alun pengkeran lajeng nyengkal masjid ageng, beteng dalah sedaya griyanipun Kumpeni”. Artinya: Kyai Tumenggung Wiraguna, sampai di alun-alun belakang lalu mengukur masjid besar, benteng serta loji/rumah Kumpeni. Padahal keseluruhan bangunan itu tidak terletak di Alun-alun Kidul (Setiadi, dkk; 2001).

Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam benteng (tembok tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu. Ciri ini masih dapat ditemui di Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pada Alun-alun Kidul biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi tontonan masyarakat; dipertontonkan keahlian sodoran (pertandingan keterampilan berkuda dan memainkan tombak). Kira-kira analog dengan “gelar siaga” militer pada masa sekarang lengkap dengan pasukan kavaleri untuk unjuk kesiagaan (show of force).

Ringin Kurung dan Gapura

Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920 (Dok. Ginong)

Sodoran atau rampogan diadakan di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan). Rampogan adalah laga prajurit beramai-ramai melawan seekor macan (harimau); macan dirampog (Jawa). Di alun-alun pula biasanya digelar berbagai upacara maupun keramaian, seperti upacara Gerebeg, Sekaten, apel prajurit, dan pasar malam. Seperti disebutkan olah Adrisijanti, peran alun-alun merambah aspek kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan ekonomi. Menariknya, Kisdarjono (2009) menengarai bahwa di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tetapi alun-alun tersebut tanpa pohon beringin. Masjid seringkali terdapat di sebelah Barat alun-alun.

Alun-alun Kota Bandung tempo dulu pernah menjadi lapangan sepakbola sebelum pindah di lapangan Gasibu (di depan Gedong Sate) dan kemudian pindah ke Sidolig. Pada masa silam, di seberang Alun-alun Kabupaten Cilacap adalah tempat “perantaian”, yaitu hukuman kepada orang yang dirantai dan dijemur tak jauh dari penjara (di sebelah Timur alun-alun), juga pernah menjadi lapangan olah raga sejumlah sekolah, dan arena

(18)

kampanye pemilu 1955. Ini juga membuktikan bahwa kala itu alun-alun menyandang aneka guna.

Alun-Alun Sekarang

Kini alun-alun pada umumnya sudah kehilangan atau ditinggalkan masyarakat, apalagi makna filosofi yang terkandung didalamnya. Banyak alun-alun yang sudah tidak lagi menampilkan ciri khasnya kecuali letaknya di depan kantor Bupati. Tidak ada lagi Ringin Kurung atau Ringin Kembar yang tumbuh di kanan kiri akses jalan masuk kantor Bupati. Dua contoh ekstrim, adalah Alun-alun Kota Blitar dan Alun-alun Kota Bandung.

Dua batang pohon beringin sebagai elemen Alun-alun Kota Blitar dikorbankan demi pelebaran jalan karena tuntutan perkembangan lalu lintas. Elemen pohon di dalam kawasan alun-alun diubah, tidak hanya pohon beringin, tetapi ditambah dengan pohon yang dianggap lebih modern, yakni palem. Pohon baru ini ditanam dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan kesan yang lebih menonjol daripada beringinnya (Gunawan, Myra P; 2009). Tidak tahu apa pertimbangannya, maka sejumlah pohon beringin di Alun-alun Kota Blitar diganti dengan pohon palem. Tatanan wajah alun-alun pun sudah berbeda dibandingkan dengan alun-alun tradisional.

Bagian dalam Alun-alun Kota Blitar (2009) Jalan masuk di antara jajaran pohon palem; pohon beringin di dalam “kurungan”. [Dok. PWK - SAPPK ITB]

Ringin Kurung yang menjadi ciri suatu alun-alun, nampak kehilangan makna. Pohon beringin tidak lagi di kanan-kiri

akses masuk Kabupaten, bahkan pagarnya “sangat” tinggi, terkesan seperti kurungan (sangkar).

Zaman dulu, meskipun pohon beringin dipagari, masyarakat dengan bebas dapat masuk. Bedanya, pohon beringin tempo dulu dikeramatkan, sedangkan kini hanya dianggap sebagai tanaman biasa. Citra Alun-alun Kota Blitar seluas ± 20.000 m2 yang dibangun pada tahun 1875 juga sudah hilang, hanya meninggalkan sebutan Alun-alun saja. Sudah tidak lagi menjadi satu kesatuan jiwa tak terpisahkan dengan fungsi Kabupaten karena rancangannya memang tidak berlandaskan filosofi alun-alun, tetapi sudah murni menjadi salah satu elemen ruang terbuka kota, tempat aktivitas masyarakat.

Keadaan serupa juga dialami oleh Alun-alun Kota Bandung. Karena kehilangan makna filosofi pohon beringin sudah enggan tumbuh dan memang tidak lagi ditanam karena hamparannya sudah dilapisi perkerasan dan berubah fungsi. Alun-alun Kota Bandung

(19)

bahkan sudah bukan lagi alun-alun, hilangnya Alun-alun Kota Bandung sudah dirasakan sejak 1984 (Warpani, Suwardjoko; 1984).

Alun-alun Kota Bandung sudah bermetamorfosa menjadi elemen ruang terbuka kota, menjadi halaman Masjid Agung yang juga berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung. Tidak ada lagi ciri-ciri sebuah alun. Citra lapangan pun telah lenyap, padahal alun-alun ini pernah menjadi lapangan sepak bola. Di bawah alun-alun-alun-alun dijadikan ruang bawah tanah bagi PKL dan fasilitas umum, namun kurang diminati. PKL tetap bertebaran di sekitar alun-alun bahkan tak jarang masuk meramaikan isi halaman Mesjid Raya ini. Kasus Alun-alun Kota Bandung dan Blitar menunjukkan bahwa nasib alun-alun itu berada di tangan pemangku kepentingan, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pemerintah Kota.

Karena melupakan filosofi keberadaan sebidang alun-alun serta tergoda oleh suatu kepentingan, maka yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan lahan. Pameo yang beredar perihal Alun-alun Kota Bandung adalah: ‘Ganti Walikota, diubah wajah alun-alun’, seolah-olah di alun-alunlah potret karya bakti seorang walikota. Ada satu lagi: Alun-alun Kota Semarang hilang akibat korban dari kepentingan ekonomi.

Alun-alun Kota Bandung tahun 1999 Bukan lagi alun-alun melainkan plasa.

Oleh karena itu, mau atau tidak mau, pemangku otoritas harus memiliki pemahaman yang komprehensif. Keberpihakan kepada kepentingan yang mana harus jelas dan konsisten. Ujungnya, nasib objek peninggalan budaya itu berada dalam

keputusannya. Untuk

mengantisipasi proses tarik menarik kepentingan itu, mau tidak mau, pemangku otoritas harus mempelajari juga medan kekuatan kepentingan yang akan terlibat dalam tarik-menarik itu (Kisdarjono, 2010), tetapi apakah harus melupakan filosofi keberadaan suatu elemen kota ?

Ruang Terbuka Umum

Ruang terbuka umum sesungguhnya bukan entitas spesifik, melainkan sebuah kategori yang berisi banyak varian. Terbuka bisa berarti berada dalam ruang terbuka, bukan dalam gedung tertutup, tetapi bisa juga diartikan sebagai terbuka bagi pengunjung umum, dalam arti siapa saja bisa masuk. Sebuah pusat perbelanjaan, misalnya, terbuka untuk pengunjung umum, walaupun ia berbentuk gedung tertutup. Sebaliknya, lapangan golf

(20)

berada di udara terbuka, tetapi tidak semua orang bisa masuk, terbatas pada anggota atau tamu yang harus membayar (Kisdarjono, 2009).

Monumen Mayor Bismo di Alun-alun Kediri luas ± 1,5 Ha; umur ± 150 tahun

Tak bisa lagi disebut “Alun-alun” Fungsi saat ini:

RTH, PKL, upacara; sebagian bekas standplat bis OJC sekarang menjadi pertokoan.

[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Bagian dalam Alun-alun Madiun

Jalan berbelok dan tak ada Ringin Kurung [Dok. PWK - SAPPK ITB]

Sebelah timur Alun-alun Madiun;

bukan pohon peneduh, melainkan atap parabola [Dok. PWK - SAPPK ITB]

Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham berhak melakukan apa saja.

Banyak alun-alun yang tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alun-alun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya dengan masyarakat dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan jaman. Alun-alun, sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi sebagian anggota masyarakat adalah tempat

(21)

mencari nafkah. PKL sudah ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai pedagang keliling sedangkan sekarang lebih banyak membangun jongko.

Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun-alun sebagai ruang terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar, rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana pendidikan.

Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa “berceritera” tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.

(22)

MRT: Angkutan perkotaan masa depan?

Oleh:

Delik Hudalah1) dan Yudistira Pratama2)

1)

Staf pengajar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB

2)

Peneliti pada Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, ITB

Apakah itu MRT?

MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail. Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan

biasa dan kendaraan lain karena biasanya merupakan shuttle bus yang memiliki rute perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur khusus, sehingga sering disebut buslane/busway. Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus

bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia merupakan salah satu contoh sukses penerapan sistem busway.

MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat perbedaan karena subway terletak di bawah tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di Eropa Barat, subway merupakan salah satu moda angkutan yang sangat populer dan seringkali dikenal dengan istilah metro system. Kota London merupakan kota pertama yang menerapkan sistem subway sebagai moda angkutan massal berkecepatan tinggi pada tahun 1863.

Bogota, kota yang berhasil mengembangkan busway

London, kota pertama yang mengembangkan subway

(23)

Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi jalur operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir semua kota menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT di dunia. Dalam operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya menyatu dengan jalur lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional tersendiri yang dikenal dengan istilah light rail.

Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil ruang kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang ditopang dengan tiang-tiang yang sekaligus berfungsi untuk membentuk lintasan monorail. Berbeda dengan MRT lainnya, monorail biasanya hanya terdiri atas satu rute dengan sistem lintasan loop dengan beberapa stasiun pemberhentian yang menghubungkan dengan MRT lainnya maupun langsung ke lokasi kegiatan tertentu. Penggunaan monorail sudah banyak dikembangkan di kota-kota metropolitan di dunia antara lain Moskow, Tokyo, dan Sydney.

Di mana MRT sukses diterapkan?

Konsep MRT sudah banyak diterapkan di kota-kota besar di negara maju maupun negara-negara berkembang. Biasanya, MRT merupakan bagian dari implementasi sistem transportasi umum terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu menghubungkan orang dan barang dari satu titik ke titik lain secara efisien dan memiliki kemudahan dalam melakukan perpindahan dari satu moda ke moda lain (modal shift) tanpa mengurangi waktu tempuh perjalanan. Pengembangan yang terpadu akan menjadikan MRT tidak hanya berfungsi sebagai sarana angkutan yang efisien, tetapi juga instrumen yang handal untuk mengarahkan perkembangan kota besar.

Salah satu negara tetangga terdekat yang sukses dalam mengembangkan MRT sebagai sistem terpadu ini adalah Singapura. MRT di Singapura sudah dapat dikatakan sebagai “urat nadi” pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investasi. MRT yang dikembangkan di Singapura terdiri busway dan monorail. Terdapat empat jalur monorail MRT di Singapura dan semuanya saling terhubung antara satu dengan yang lainnya sehingga penumpang dapat mengakses seluruh bagian negara Singapura dengan mudah. Selain itu, sistem ini juga terhubung dengan sistem busway sehingga memudahkan penumpang untuk mengakses lokasi yang tidak terhubung oleh sistem monorail.

Monorail di Singapura memiliki 87 stasiun dengan panjang lintasan keseluruhan sepanjang 129,7 km. Kemudahan lain dari MRT ini ialah adanya sistem fares and ticketing yang mudah dan murah. Sistem pembayaran tiket dilakukan dengan mempergunakan kartu prabayar yang sudah terisi sejumlah uang maupun uang logam.

Singapura, negara yang berhasil mengembangkan monorail

(24)

Keunggulan sistem ini ialah penumpang hanya perlu satu kali membayar pada saat masuk sehingga memberikan kemudahan untuk pindah lintasan, pindah moda, maupun keluar menuju tujuan akhir. Sistem ini dikoordinasikan secara terintegrasi oleh suatu perusahaan yang khusus menagani masalah fare and ticketing MRT di Singapura.

Contoh sukses lainnya adalah pengembangan Busway TransMillenio di Kota Bogota Columbia. Pengembangan tahap pertama dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan 2002 yang meliputi 470 bus dalam jalur sepanjang 41 km. Pengembangan TransMillenio tahap dua dilakukan pada tahun 2002 sampai dengan 2006 dengan penambahan untuk lahan ruang terbuka dan pedestrian, serta pengembangan sistem pengelolaan. Unsur utamanya pengembangan armada berkapasitas tinggi, pembangunan jalur busway, dan stasiun pemberhentian. Hingga saat ini, kapasitas pelayanan TransMillenio Busway merupakan yang terbesar di dunia karena mampu melayani kebutuhan perangkutan penumpang sekitar 35-40 ribu penumpang per jam. Untuk mempermudah proses ticketing, pihak pengelola memberlakukan sistem smart card dimana pengguna hanya perlu mengisi kartu dengan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan layanan busway. Jalur busway dibuat dua lajur, sehingga memungkinkan bus lain untuk menyalip jika bus yang ada di depannya sedang berhenti.

Suatu keniscayaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan perangkutan memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian kota-kota besar di Indonesia. Permintaan akan perangkutan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan permintaan akan barang dan jasa. Permintaan layanan perangkutan juga akan semakin meningkat seiring dengan semakin besarnya jumlah penduduk. Karena ruang yang terbatas, kota-kota besar seperti Jakarta tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pergerakan penduduk hanya melalui penambahan jalan dan angkutan umum berkapasitas kecil. Akibatnya terjadi penurunan tingkat pelayanan jalan pada ruas-ruas tertentu di mana pergerakan kendaraan menjadi tersendat (fenomena bottleneck). Kondisi tersebut semakin parah dengan munculnya emisi kendaraan yang dapat menimbulkan gangguan kondisi kesehatan dan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, lamanya waktu yang dihabiskan di jalan dapat menimbulkan dampak psikologis berupa penurunan ketidakstabilan emosi dan dampak ekonomis berupa penurunan tingkat produktivitas kerja.

Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan perangkutan di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.

Kemacetan telah menjadi keseharian di kota besar seperti Jakarta

(25)

Kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), dan busway yang sudah dikembangkan di kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai sarana transportasi massal. Namun, di berbagai kota, ketiganya belum dapat sepenuhnya dikategorikan sebagai MRT karena belum memenuhi kriteria sebagai sarana transportasi yang benar-benar cepat dan handal dalam segala situasi.

Berangkat dari permasalahan lingkaran setan kemacetan di Ibukota Negara, busway misalnya telah menjadi pilihan angkutan umum massal dan telah direalisasikan dalam waktu yang relatif cepat sehingga mampu mengalahkan sistem angkutan berbasis rel (KRL) yang sudah ada di Jakarta. Perlu dicatat bahwa hadirnya busway ini tidaklah dimaksudkan untuk menghilangkan penggunaan kendaraan pribadi tetapi sebagai suatu usaha untuk menyeimbangkan antara supply dan demand transportasi. Busway diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan jalan yang sudah ada dengan cara mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tidak seimbangnya antara kecepatan penambahan jalan dengan kecepatan pertumbuhan penggunaan kendaraan. Pada proyek sebelumnya, DKI Jakarta berencana membuat monorel tetapi proyek tersebut belum terealisasi hingga sekarang karena terkendala penyediaan dana.

Pengembangan MRT di beberapa kota terbesar di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat dikatakan cukup telat dan kurang antisipatif karena dilakukan setelah situasi terdesak akibat semakin parahnya tingkat kemacetan. Padahal, kinerja penataan ruang kota besar dapat dilihat diantaranya dari berhasil tidaknya penerapan MRT di kota tersebut. Memang lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Namun, sebagai konsekuensinya, kita harus siap menanggung biaya sosial yang sangat mahal. Beberapa ide pengembangan MRT seperti busway di luar Jakarta dapat dikatakan cukup antisipatif dengan belajar dari keterlambatan yang pernah dialami Jakarta. Namun, ini masih merupakan inisiasi dari atas, belum asli berasal dari prioritas pemerintah lokal. Padahal yang akan merasakan langsung manfaat MRT adalah pemerintah dan masyarakat lokal, bukan pemerintah pusat.

Rencana pembangunan subway melalui PT MRT Jakarta dapat menjadi terobosan mutakhir dalam pengembangan sistem angkutan massal, khususnya perkeretaapian, di Indonesia. Dengan menawarkan kenyamanan, kecepatan dan kapasitas angkut yang yang lebih besar, MRT berbentuk subway dapat menjadi moda transportasi yang sangat dinanti untuk keberlanjutan sistem transportasi di Indonesia di masa depan. MRT ini direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016. Proyek MRT Jakarta yang akan dibangun membentang dari Lebak Bulus di Jakarta Selatan dan Dukuh Atas di Jakarta Pusat sepanjang 14,5 km. Empat kilometer diantaranya (4 stasiun) dibangun di bawah tanah dan 10,5 km dibangun melayang di atas jalan (8 stasiun). Proyek ini adalah tahap 1 dari rencana 3 tahap pembangunan MRT di Jakarta. Tahap 2 adalah dari Dukuh Atas ke Kota; dan tahap 3 adalah jalur Timur-Barat. Untuk pembangunan Tahap 2 dan tahap 3 saat ini sedang dalam pembuatan feasibility study.

(26)

Rencana Pembangunan MRT di DKI Jakarta

Benturan gaya hidup

Serba Salah NafaskuTerasaSesak BerimpitanBerdesakkan Bergantungan MemangSusah JadiOrangYangTakPunya Kemanapun Naik Bis Kota

Penggalan lirik di atas berasal dari salah satu lagu Achmad Albar yang cukup populer di tahun delapan puluhan. Penggalan tersebut sebenarnya merefleksikan pandangan umum masyarakat kita terhadap angkutan umum massal. Di Indonesia, kendaraan umum, apalagi yang sifatnya massal, seringkali diidentikkan dengan kendaraan untuk orang miskin. Jika tidak ditanggulangi, cara pandang yang keliru seperti ini dapat menjadi momok bagi pengembangan MRT sebagai angkutan publik masa depan.

Masyarakat Indonesia pada umumnya masihberpandangan bahwa menggunakan kendaraan pribadi merupakan simbol yang dapat secara efektif menunjukkan kekayaan, status sosial, dan martabat seseorang. Cara pandang ini tidak terlepas dari berkembangnya perilaku

Menerobos lintasan kereta api merupakan perilaku yang membahayakan keselamatan

(27)

konsumerisme dan individualisme yang telah lama menggantikan norma kesederhanaan, tenggang rasa, dan kesetiakawananan sosial yang dulu dikenal sebagai Adat Timur. Globalisasi yang ditunjukkan dengan derasnya impor gaya hidup liberal dari negara-negara maju telah mengisi norma baru dalam masyarakat. Misalnya melalui film-film dan produk-produk yang mengedepankan konsumerisme dan gengsi. Gemerlap kehidupan artis papan atas Hollywood yang tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan pinggiran telah menjadi acuan puncak kualitas hidup yang mengedepankan sisi materi. Kegiatan melaju dengan menempuh jarak yang jauh dan sangat tergantung dengan penggunaan kendaraan pribadi telah menjadi gaya hidup tersendiri.

Di Indonesia, angkutan umum khususnya massal tidak hanya belum digemari masyarakat, bahkan masih dianggap sebagai salah satu biang persoalan perkotaan. Jika ada kecelakaan di pintu rel, seringkali yang disalahkan adalah perusahaan kereta api karena dianggap tidak mampu menjamin keamanan pengendara mobil atau, yang lebih parah lagi kereta api itu sendiri sudah dicap sebagai angkutan yang membahayakan keselamatan masyarakat. Baru-baru ini,

pola pikir yang terbalik seperti ini juga diterapkan dalam menyikapi beberapa kecelakaan akibat menyebrang jalan pada lintasan busway di Jakarta. Atau persoalan keseharian, jika kita mengendarai kendaraan pribadi melewati kemacetan, maka kita cenderung lebih menyalahkan bus atau angkutan kota sebagai sumber utama kemacetan karena pemngemudinya sering menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.

Mungkin pola pikir seperti ini pulalah yang secara berangsur telah menyebabkan punahnya tram yang dulu pada zaman pendudukan Belanda cukup diandalkan sebagai sarana angkutan massal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Semarang. Kondisi ini sungguh ironi karena di negara-negara asalnya pemerintah justru rela menggelontorkan subsidi dalam jumlah yang besar untuk menjamin kelangsungan hidup tram ini.

Pengembangan MRT yang harmonis dan berkelanjutan haruslah berangkat dari gerakan budaya. Kesadaran untuk beralih ke MRT sebaiknya tidak sekedar karena keterpaksaan tetapi menjadi gaya hidup baru sehingga penerapannya akan menjadi mudah. Sebelum MRT berkembang, warga Eropa Barat dan Cina terkenal sebagai pecinta sepeda, sebagai cerminan moda transportasi yang sederhana dan ramah lingkungan. Dengan modal

Tram melewati kawasan Glodok, Jakarta pada tahun 40an

Menggunakan jalur busway merupakan perbuatan yang melanggar tata tertib lalu lintas

(28)

budaya seperti ini, tidaklah terlalu sulit bagi pemerintah untuk memperkenalkan MRT, sebagai moda transportasi masa depan, kepada masyarakatnya.

Rekomendasi: Membudayakan MRT

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap MRT? Pertama, penerapan MRT yang sukses sebagai gerakan budaya memerlukan kepemimpinan yang kuat. Ini tidak serta merta dapat dimaknai dengan pemimpin yang otoriter. Pemimpin yang diperlukan adalah yang dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakatnya. Pemerintah misalnya dapat melakukan gerakan pejabat naik kendaraan umum. Para pejabat juga seyogyanya memberikan contoh dengan tinggal pada jarak dan lokasi permukiman yang masih memungkinkan untuk dapat diakses dengan kendaraan umum.

Upaya-upaya terobosan yang cukup kreatif yang dapat secara tidak langsung menunjang pengembangan MRT pun perlu terus dikembangkan. Misalnya, program car free day di ruas-ruas jalan tertentu seyogyanya jangan hanya dipandang sebagai program populis atau sekedar memindahkan simpul kemacetan. Sebaliknya, program seperti ini, terlepas dari berbagai keterbatasannya, perlu diapresiasi dan didukung karena secara bertahap dalam jangka panjang dapat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan gaya hidup yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan.

Kedua, penerapan MRT yang berkelanjutan memerlukan koordinasi antar sektor dan antar tingkat pemerintahan. Peningkatan penggunaan kendaraan umum oleh masyarakat luas akan lebih realistis jika diiringi dengan mekanisme disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi dan insentif bagi pengguna kendaraan umum. Pemerintah perlu secara konsisten mengelola dampak industri kendaraan melalui misalnya penerapan pajak yang tinggi dan subsidi BBM yang lebih selektif. Sebagai kompensasinya, pemerintah dapat mengalihkan dana yang ada untuk pengembangan infrastruktur massal dan penunjangnya. Pembangunan rel kereta api misalnya menjadi prioritas sehingga tidak terlalu tergantung dengan jalan tol.

Ketiga, seringkali kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas pelayanan MRT, tetapi fasilitas penunjangnya. Untuk itu, dalam kerangka pengembangan MRT yang terpadu, pemerintah harus mulai memikirkan misalnya sarana angkutan feeder (antara) yang handal yang dapat menghubungkan rute MRT dengan pusat-pusat permukiman. Pemerintah juga perlu memperbaiki jalur-jalur pejalan kaki yang menghubungkan halte-halte dengan pusat-pusat kegiatan.

Dalam jangka panjang, pengembangan pusat-pusat permukiman maupun pusat-pusat kegiatan baru di suatu kota perlu terintegrasi dengan master plan MRT. MRT sebagai sarana angkutan skala perkotaan juga perlu lebih terintegrasi dengan sistem transportasi skala wilayah maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengembangkan simpul-simpul penghubung antar-moda seperti pengembangan halte MRT yang dipadukan dengan pengembangan lokasi terminal bus, stasiun kereta api, atau bahkan bandar udara dan pelabuhan. Lebih jauh lagi, sistem pembayaran sebaiknya

(29)

memanfaatkan teknologi otomatis seperti kartu prabayar atau chip dan sebaiknya dapat terintegrasi dengan moda angkutan umum lain sehingga lebih efisien bagi pengguna. Keempat, pengembangan MRT yang tangguh harus bertahap dan memperhatikan dampak sosial selama proses transisi. Pengembangan MRT sebaiknya dimulai dengan yang sederhana seperti busway. Lalu, seiring dengan bertambah rumitnya sistem pergerakan di suatu kota, program berikutnya dapat melibatkan moda yang lebih rumit pula seperti monorail, tram, atau subway.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan MRT berkonsekuensi pada pengurangan lapangan kerja sektor transportasi kota karena operasinya relatif lebih padat modal. Pemerintah harus memikirkan proses adaptasi dan pengalihan sebagian tenaga kerja dan pengusaha sektor transportasi secara bertahap melalui peningkatan kapasitas, bantuan permodalan, ataupun penyediaan lapangan kerja baru.

(30)

Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Oleh:

Catrini Pratihari Kubontubuh

Direktur Eksekutif BPPI dan Executive Committee for International of National Trusts Organisation – Asian Region serta bekerja di Bank Dunia - Jakarta sebagai tim Social

Safeguard

Ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang telah berkembang menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan

(Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang)

I. Pendahuluan

Tantangan dalam melakukan penataan ruang sebuah Kota Pusaka saat ini adalah bagaimana merumuskan langkah strategi penataan ruang kota dalam sinergi kegiatan pelestarian yang tepat. Tidak hanya melibatkan kebijakan/keputusan dan berbagai bentuk advokasi maupun mitigasi

terkini, namun penting

mempertimbangkan kota dalam peradabannya di masa lampau.

Salah satunya adalah dengan mempelajari tipologi perkembangan sebuah kota, yang tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali kearifan lokal yang bisa diterapkan di masa kini.

Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud dan berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta saujana (Adishakti, 2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka, tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain kota bersejarah, kota warisan, ataupun kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia di Surakarta bulan Oktober 2008 yang berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI/Indonesian Heritage Cities Network).

Gambar

Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai  Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai,  namun  kenyataannya  Banjarmasin  justru  kehilangan  sungai  dari  sebelumnya  107  buah  menjadi 71 buah pada saat ini
Foto 3 : Karakteristik Permukiman waterfront
Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur
Foto 7. Penataan Sungai Miai
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data secara statistik membuktikan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara variabel Disiplin siswa dan sarana prasarana secara bersama

itulah yang kemudian bergerak, mempromosikan seni lukis Bali, dan memperbaharui cara berpikir dan kreativitas seniman Bali. Peranan Tjokorde Agung Soekawati, Bonet

lima nilai yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bersifat objektif dan subjektif. Obyektif artinya

Muncul berbagai persoalan seperti Koordinasi yang tidak harmonis antara pemerintah Nagari dengan Badan Musyawarah Nagari , Pelayanan publik yang harus ditingkatkan, peran

Hal ini untuk mencocokkan sidik jari latent yang ditemukan di TKP guna mencari ada atau tidaknya sidik jari asing (diduga pelaku) dalam tempat kejadian

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa secara serempak kepemimpinan dan pengetahuan kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap terhadap keberhasilan usaha pada

Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Type Student Teams Achievement D ivision (Stad) Terhadap Minat Belajar Siswa.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Keempat : Petikan Keputusan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk diketahui dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di