• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA TANAH HGU PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI DENGAN MASYARAKAT DI DESA SAMPALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA TANAH HGU PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI DENGAN MASYARAKAT DI DESA SAMPALI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA TANAH HGU PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI

DENGAN MASYARAKAT DI DESA SAMPALI A. Sejarah Tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali

1. Sejarah Hak Atas Tanah Perkebunan Di Sumatera Timur

Wilayah Sumatera Timur yang terdapat di Propinsi Sumatera Utara daerahnya menjulur dari dataran pantai ke darat hingga sampai ke dataran berbukit-bukit mulai dari Kabupaten Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, Asahan sampai dengan daerah Labuhan Batu sepanjang 280 kilometer dari Barat Laut ke Tenggara. Atau dapat juga dikatakan bahwa daerah Sumatera Timur merentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak di Riau sekarang.37

Sumatera Timur dibagi dalam tiga bagian. Pertama, dataran rendah, kedua, pegunungan, ketiga, dataran tinggi karo dan simalungun. Sumatera Timur adalah dataran rendah yang sangat luas, di daerah ini terdapat hutan Payau yang ditumbuhi bakau dan nipah, tanahnya yang subur menjadi kunci sukses wilayah ini menjadi kantong perkenunan. Kesuburan tanah di Sumatera Timur ini disebabkan sungai-sungai yang jumlahnya sangat banyak selalu membawa banjir, airnya melimpah ruah menggenangi tanah kiri kanan sungai, air bah ini membawa kesuburan pada tanah.38

37

Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), (Bandung: Alumni, 1978), hal. 13

38

(2)

Antony Reid menyatakan: ”sampai pertengahan abad ke 19 Sumater Timur didiami oleh orang Melayu, Batak-Karo dan Simalungun. Mereka inilah yang disebut sebagai penduduk asli Sumatera Timur”.39 Adapun yang dimaksudkan dengan suku Melayu dalam hal ini adalah golongan yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu secara sadar dan berkelanjutan.40

Masyarakat Melayu yang dipimpin oleh Sultan terhadap negerinya juga mengalami masalah tanah. Sultan sebagai pemangku adat menganggap dirinya sebagai pemilik tanah, oleh karena itu Suku Melayu memperoleh hak atas tanah dengan menguasai tanah tersebut atau karena kehendak Sultan dengan pemberian hak atas karunia. Sultan juga membuat perjanjian dengan pengusaha untuk memakai tanah, namun tanah kampung tidak termasuk tanah yang diserahkan.41

Hal yang berbeda terdapat di Kesultanan Deli, Sultan Deli yang diangkat oleh kepala-kepala Urung/Datuk Empat Suku (Serbanyaman, Sepuluh Dua Kuta, Sukapiring dan Senembah Deli) secara formal menguasai seluruh kawasan kesultanan namun masing-masing Datuk berkuasa penuh dan juga punya otonom yang sangat luas di daerahnya.42

39

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera Utara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 87

40

Mahadi, Op.Cit, hal. 13 41

Supardy Marbun, Tesis: Masalah tanah Adat Melayu Deli di Kotamadya Medan dan Perkembangannya, (Medan: SPS USU, 1999), hal. 56

42

Chainur Arrasyid, Sultan dan Datuk Empat Suku Mewakili Puak Melayu Bekas Kesultanan Deli, Harian Analisa, Medan, 2000, dikutip dari Tesis Elfachri Budiaman.

(3)

Sultan berhak membagi-bagikan tanah kepada rakyat/kaulanya, sehingga bagi masyarakat Melayu dikenal adanya hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Sultan dengan nama Grant-Sultan. Pada mulanya Grant Sultan merupakan hak atas tanah yang diberikan oleh Sultan tanpa bukti hak secara tertulis akan tetapi diakui sebagai hak milik karena pada saat itu orang tidak memerlukan surat sebab tanah masih banyak dan luas sehingga penduduk dengan leluasa berpindah-pindah untuk mengerjakan tanah-tanah yang disukainya kemudian diberikan Sultan kepadanya.

Barulah setelah datangnya perusahaan perkebunan yang memerlukan tanah yang luas dan membutuhkan kepastian mengenai tanah yang diserahkan kepada mereka, maka timbullah suatu faktor baru dalam penguasaan tanah , yaitu untuk hidup menetap di suatu tempat tertentu dan timbul keinginan supaya hak atas tanah itu mendapat pengakuan dan penetapan dari penguasa. Maka Kepala Urung kemudian mengeluarkan surat keterangan yang diberi nama ”Grant Datuk” atau Surat kampung.43

Di samping itu Sultan Deli mengeluarkan surat keterangan penyerahan tanah kepada seseorang sebagai ”karunia” ditulis tangan dengan menggunakan huruf arab. Jadi Grant Sultan ada yang dikeluarkan oleh kepala-kepala Urung XII Kota, Serbanyaman, Suikapiring dan Senembah Deli dan diketuai oleh Sultan, juga ada Grant sultan yang langsung ditandatangani Sultan..44

43

Mahadi, Op.cit, hal. 256 44

(4)

Masyarakat Melayu sebagian besar mendiami daerah Pesisir Sumatera Utara dan juga sebagian besar hidup sebagai Nelayan, sedangkan penduduk yang ada di pedalaman mengutamakan usaha pertanian dan hasil hutan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup mereka.45 Namun setelah kedatangan pengusaha Belanda dan membuka perkebunan di Sumatera Timur, masyarakat banyak yang berubah menjadi pekerja di sektor perkebunan, sungguhpun belakangan masyarakat Melayu banyak yang tidak mampu menjadi buruh perkebunan terutama mengurus tembakau sehingga para tuan tanah perkebunan mendatangkan kuli dari luar Sumatera Timur seperti Malaka, Jawa dan Cina.46

Dalam catatan sejarah, ekspansi kekuatan kolonial masuk ke Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak, karena pada mulanya Kesultanan yang ada di Sumatera Timur seperti Kesultanan Deli, Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Serdang Percut, Perbaungan dan Langkat merupakan kerajaan jajahan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sebagaimana tercantum dalam perjanjian/traktat antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Siak pada tahun 1858.47

Karena kerajaan Siak telah ditaklukkan, Belanda berusaha menggunakan Siak untuk menegakkan pengaruhnya di Sumatera Timur. Melalui kontrak Siak bersama seluruh wilayah kekuasaannya berada di bawah kekuasaan Belanda sehingga dapat dikatakan secara de jure Belanda telah menaklukkan Raja-raja di Sumatera Timur. Namun secara de facto kerajaan di Sumatera Timur belum mengakui kedaulatan Siak

45

Supardi Marbun, Op.cit, hal. 52 46

T. Keizerina Devi, Poenali Sanctie, (Medan: PPS USU, 2004), hal. 60 47

(5)

disebabkan pada waktu itu Kerajaan Aceh berdaulat di Sumatera Timur. Baru pada tahun 1862 Belanda dapat mengukuhkan kekuasaannya terhadap Sumatera Timur.48

Setelah Sumatera Timur ditaklukkan oleh Belanda maka masuklah pengusaha asing ke daerah ini untuk menanamkan modalnya di bidang usaha perkebunan Tembakau. Jacobus Nienhuys yang datang ke Deli sekitar tahun 1863 merupakan orang Belanda pertama yang membuka perkebunan Tembakau di tanah Deli. Pada Tahun 1864 kebun Tembakau dibuka pertama kali di dekat Martubung dan pada saat panen menghasilkan 50 bal tembakau dan dikirim melalui Penang untuk dijual ke Belanda.

Kemudian pada tahun 1865 kebun Nienhuys menghasilkan 189 bal Tembakau. Tahun 1867 Nienhuys pulang ke Belanda untuk mencari tambahan modal usaha, sesudah kembali lagi ke Deli, Nienhuys berhasil mengadakan kontrak dengan memperoleh konsesi tanah dari Sultan Deli yang letaknya memanjang antara Mabar dan Deli Tua.49 Kontrak tanah pertama dengan penguasa Deli diberikan kepada Nienhuys secara Pribadi, yakni selama 99 tahun untuk penyewaan 2000 bau.50

Oleh karena Nienhuys dengan Sultan dinilai telah berhasil dan sukses, Kontrelour Deli, Cats de Raet, membantu Nienhuys untuk menandatangani kontrak kedua dengan Sultan Deli dengan luas seberapa ia sanggup menanaminya selama

48

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, (Medan: PPS USU, 2003), hal. 32-34

49

Pemda Medan, Sejarah Pemerintah Dati II Kodya Medan, Tanpa Penerbit, hal. 46 50

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, Op. cit, hal. 36

(6)

lima tahun.51 Kontrak antara Nienhuys dengan Sultan Deli yang memberikan hak konsesi atas tanah ditetapkan dalam Akta 1877 Konsesi yang ditandatangani oleh Sultan dan mendapat legalisasi dari Residen.52

Dalam kontrak-kontrak penyerahan tanah yang dilakukan oleh Sultan sebagai penguasa kepada pihak swasta sebelum Akta 1877 tanah kampung tidak termasuk wilayah yang dikuasai pihak perkebunan. Sultan membuat Retriksi bahwa tanah kampung tidak termasuk ke dalam tanah yang diserahkan. Kemudian dalam kontrak akta 1877 antara lain disebutkan, tanah yang diserahkan kepada pihak perkebunan adalah tanah-tanah hutan.53

Akan tetapi kedudukan Sultan dalam memberikan hak konsesi ini terdapat perbedaan pendapat, apakah Sultan sebagai pemilik tanah, sebagai pemangku adat atau sebgai kepala Swapraja, hal ini berimplikasi terhadap status tanah-tanh yang diberikan tersebut. H. Van Anrooy54 menyatakan, Sultan menganggap dirinya sebagi pemilik terhadap tanah dan hutan yang terdapat di wilayah kekuasaannya, sehingga akta kontrak tahun 1877 memuat substansi bahwa Sultan menyerahkan tanah perkebunan selaku pemilik.55

Sementara dalam Surat Azmy Perkasa Alam Alhaj, selaku Sultan Deli dan Kepala masyarakat Deli tanggal 11 Maret 1996 yang ditujukan kepada Menteri

51

Mahadi, Op.cit, hal. 38 52

Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Himpunan Risalah Pertumbuhan dan Perkembangan Hak Konsesi dan Erfach Perkebunan Besar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat atas Tanah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, (Medan, 1976), hal. 4

53

Supardi Marbun, Op. Cit, hal. 62 54

Mahadi, Op.cit, hal. 87 55

(7)

Pertanian antara lain pada Butir (2) disebutkan bahwa setelah Sultan Deli sebagai kepala masyarakat Deli dinobatkan, Datuk empat suku dengan suka rela mempersembahkan tanah adat mereka dan meyerahkan penguasaan dan penggunaannya kepada Sultan Deli.

Selanjutnya disebutkan bahwa Sultan Deli memberi kuasa kepada perusahaan perkebunan untuk membuka kebun di atas tanah kosong yang terbentang antara sungai Deli dan Senembah dan dari Mabar sampai ke Deli Tua dan tanah tersebut adalah tanah Ulayat yang dipersembahkan oleh Datuk Empat Suku kepada Sultan Deli untuk selanjutnya diserahkan kuasa kepada perusahaan perkebunan untuk memanfaatkan tanah sebagi perkebunan untuk jangka waktu 75 tahun dan paling lama 99 tahun. Jadi penyerahan tanah oleh Sultan kepada pengusaha perkebunan bukan dalam kapasitasnya sebagai pemilik, tetapi sebagai pemangku adat dan status tanah tersebut dinyatakan sebagai hak Ulayat.

Akan tetapi menurut Boedi Harsono, hak konsesi tersebut adalah hak yang diberikan oleh pemerintah Swapraja untuk perkebunan besar dan sekalipun ditandatangani oleh Sultan tetapi harus didaftar di kantor Residen.56 Hal ini diperkuat dengan adanya teori Domein Verklaring dari pemerintah Hindia Belanda yang hanya mengakui hak-hak barat, di luar dari hak-hak atas tanah yang tunduk pada hak barat semuanya dinyatakan sebagai Domein (milik) negara, dengan demikian tanah-tanah yang dipunyai rakyat dan tanah-tanah hutan adalah Domein Negara.

56

(8)

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diasumsikan bahwa Sultan memberikan tanah kepada pengusaha perkebunan dengan hak konsesi bukan sebagai kepala masyarakat adat dan bukan pula sebagai pemilik tanah, tetapi dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintah Swapraja, apalagi hak-hak konsesi tersebut didaftarkan di kantor Residen, sedangkan tanah yang diserahkan tersebut statusnya berarti dianggap sebagai tanah negara.57

Dengan demikian berdasarkan sejarahnya, hak-hak atas tanah yang diberikan Sultan kepada perusahaan perkebunan adalah hak konsesi yang dituangkan dalam akta konsesi yang ditandatangani oleh Sultan dan didaftar di Kantor Residen. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat mengenai status tanah yang diberikan dengan hak konsesi tersebut, ada yang berpendapat berasal dari tanah milik Sultan, ada yang menyatakan berasal dari hak ulayat masyarakat adat dan ada yang menyebut berasal dari tanah negara. Hal ini terkait dengan kapasitas Sultan dalam menandatangani akta konsesi, apakah sebagai pribadi, kepala masyarakat adat atau Kepala Swapraja.

2. Sejarah Hak Atas Tanah PT. Perkebunan Nusantara II

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa munculnya perkebunan di Sumatera Timur diawali dengan masuknya modal besar lewat seorang pengusaha swasta Belanda yang bernama Jacobus Nienhuys yang bermaksud menanamkan modalnya dalam industri perkebunan tembakau.

57

Muhammad Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal. 49

(9)

Usaha Nienhuys membuka perkebunan Tembakau ternyata membawa hasil, pada tahun 1864 tembakau dapat dipanen sebanyak 50 bal yang dijual ke pasar dunia. Setelah pemberian konsesi kepada Nienhuys tersebut, para Sultan pun kemudian berturut-turut memberikan hak konsesi secara leluasa kepada perusahaan asing yang menananmkan modalnya untuk membuka perkebunan tembakau di Sumatera Timur bahkan digambarkan bahwa pemberian hak konsesi oleh Sultan Deli malahan kadangkala diberikan dengan picing mata, yaitu boleh memilih mana yang di sukainya atau mana tuan punya suka, hal yang sama juga terjadi pada Sultan Langkat.58

Selanjutnya para pengusaha tersebut membentuk perusahaan (Maskapai Perkebunan/onderneming). Pada tahun 1868 berdirilah Deli Maatschappij sebagai maskapai perkebunan pertama di Sumatera Timur, bahkan di seluruh Hindia Belanda pada saat itu. Sampai tahun 1869 perusahaan dikembangkan oleh para pedagang dan para pemilik Onderneming yang bekerja sendiri atau secara kompayon.59

Pada tahun 1870 diterbitkanlah Agrarishe Wet yang lahir atas desakan modal besar swasta sejalan dengan politik monopoli pemerintah dalam bidang pertanahan. Dengan Agrarishe Wet 1870 telah membuka jalan luas bagi perkembangan perkebunan besar di Indonesia dengan pemberian izin kepada pemilik modal untuk memperoleh hak sewa secara turun-temurun (erfacht) dari Pemerintah untuk periode

58

AP. Parlindungan, Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar maju, 1998), hal. 65

59

Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal.58

(10)

sampai 75 tahun. Dengan berlakunya Agrarische Wet 1870 tersebut telah memacu perkembangan perkebunan swasta khususnya tanaman tembakau di Sumatera Timur.60

Berdirinya Onderneming yang bernama Deli Maatchappij di Sumatera Timur dan terciptanya iklim yang kondusif bagi penanaman modal di bidang perkebunan terutama setelah diterbitkannya Agrarische Wet 1870, maka perkembangan berikutnya berturut-turut pada tahun 1975 berdiri Deli Compagnie (1879),

Rotterdaam Deli Maatschappij (1881) sehingga sampai dengan tahun 1899 tercatat

ada 170 perusahaan perkebunan tembakau yang tersebar di Deli Serdang, Langkat dan Asahan.

Kemudian jumlah tersebut terus menurun karena ternyata dari segi kultur teknis dan kualitas produksi terbaik tembakau hanyalah di antara dua sungai, yaitu Sungai Wampu dan Sunagi Ular yang mempunyai ciri-ciri khas untuk tanaman tembakau, sedangkan banyak perusahaan tembakau di tempat lain beralih ke tanaman lain seperti karet, kelapa sawit dan lain-lain. Sampai dengan tahun 1914 perusahaan perkebunan tembakau berjumlah 108 perusahaan, kemudian tahun 1930 menjadi 72 perusahaan dan tahun 1940 jumlah tersebut tinggal 43 perusahaan dengan areal kebun tembakau seluas lebih kurang 250.000 Ha.61

Kemudian pada tahun 1937 diberlakukan Ordonantie Erfacht yang menentukan bahwa hak konsesi perkebunan yang habis waktunya pada tahun 1931

60

T. Keinzerina Devi, Op.cit, hal. 35 61

(11)

dialihkan menjadi hak Erfacht (hak sewa jangka panjang).62 Pada tahun 1942 masuknya Bala Tentara Jepang ke Indonesia hingga berakhirnya Perang Dunia II perkebunan tembakau praktis tidak berjalan, karena segala lapangan kegiatan ditujukan untuk menopang usaha perang.

Selama pendudukan Jepang kebijakan atas tanah-tanah perkebunan mengalami perubahan antara lain, pengusaha Onderneming Erofa digantikan oleh para perwira Militer Jepang sebagai pengusaha sipil dan militer dan tanggung jawab melaksanakan semua Onderneming perkebunan dijalankan oleh suatu badan yang merupakan pelaksana ekonomi Jepang yang di Sumatera Timur diberi nama Noyen

Renggo Kai kemudian akhir tahun 1942 digantikan Shonan Gonu Kumiai.

Akibat dari pendudukan Jepang tersebut banyak perkebunan mengalami kemunduran sehingga terpaksa dibubarkan bahkan diperintahkan kepada

Onderneming tembakau untuk melepas 160.000 Ha tanah perkebunan tembakau

Langkat dan Deli Serdang serta menanaminya dengan tanaman sepanjang tahun dan palawija yang berguna bagi kebutuhan perang Jepang.63 Sejak adanya perintah Tentara Jepang untuk menanami tanah perkebunan dengan tanaman Palawija, maka sejak itulah penggarapan di atas tanah mulai meluas baik yang dilakukan oleh buruh perkebunan maupun masyarakat di sekitar perkebunan.

Setelah Indonesia merdeka terjadi pemindahan kekuasaan dari penjajah kepada Bangsa Indonesia. Demikian juga di dalam lingkungan perkebunan di

62

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, Op.cit, hal. 117

63

(12)

Sumatera Timur terjadi perubahan sosial politik sejalan dengan semangat revolusi kemerdekaan. Laskar-laskar dan ormas Petani yang dibentuk partai politik mengarahkan perhatian ke lingkungan perkebunan dengan menjanjikan perbaikan nasib para buruh-buruh perkebunan dengan cara mengambil alih pemilikan tanah dari perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh kolonial.

Pihak-pihak yang menghalangi aksi revolusioner rakyat dalam rangka merebut tanah-tanah perkebunan terutama para Sultan Melayu dianggap sebagai musuh sehingga meledaklah revolusi sosial di Sumatera Timur sekitar tahun 1946 dengan korban utama para Sultan dan Bangsawan Melayu karena dianggap membela kolonial.

Pada tahapan sejarah berikutnya, pemerintah Belanda yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia berusaha kembali ingin menjajah Indonesia. Demikian juga pengusaha Belanda ingin mendapatkan kembali perkebunannya di Indonesia termasuk di Sumatera Timur. Mereka segera mendesak pemerintah Den Haag agar segera mengambil tindakan tegas untuk memulihkan hak-hak mereka di Sumatera. Melalui perjanjian Linggar Jati antara Indonesia dengan Belanda disepakati bahwa Belanda mengakui kekuasaan Negara RI secara de facto di Jawa dan Sumatera.

Namun karena merasa hasil perjanjian tersebut kurang memuaskan, Belanda melakukan agresi Militer I dan agresi Militer II. Campur tangan PBB dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag mengakhiri konflik antara Indonesia dan Belanda dengan menegaskan eksistensi dan pengakuan milik (asset) Belanda yang ada di Indonesia termasuk pengakuan dan pemulihan semua hak konsesi dan lisensi yang benar-benar

(13)

diserahkan di bawah Undang-undang Hindia Belanda, kecuali tanah-tanah yang sudah diduduki rakyat tidak akan dikembalikan kepada perkebunan Belanda.

Pasal I undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 menyebutkan antara lain, dinyatakan bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara Repulik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pelaaksanaan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda ditegaskan bahwa perusahaan yang dikenakan nasionalisasi termasuk seluruh harta kekayaan dan harta cadangan baik yang berwujud, barang tetap/barang bergerak maupun yang merupakan hak piutang. Dengan demikian seluruh harta kekayaan bekas perusahaan milik Belanda termasuk hak-hak atas tanahnya yang berstatus hak konsesi menjadi milik negara Indonesia.

Adanya kebijakan negara mengenai nasionalisasi atas perubahan milik Belanda termasuk penentuan status hak-hak atas tanahnya yang mutlak menjadi milik negara. Belakangan banyak dibantah oleh para ahli termasuk pihak Kesultanan Deli. Misalnya, Karl J. Pelzer64 dan Chainur Arrasyid65 dan Sultan Deli yang pada intinya menyatakan Sultan Deli memberikan konsesi kepada perusahaan Belanda dalam kapasitasnya sebagai pemangku adat karena perjanjian konsesi dibuat Sultan atas persetujuan Datuk Kepala Urung, oleh karena itu objek yang diberikan dalam akta konsesi adalah tanah ulayat.

64

Karl. J. Pelzer, Op.cit, hal. 8 65

(14)

Sekalipun tanah-tanah perkebunan diakui/diklaim oleh masyarakat adat sebagai hak ulayatnya, namun pemerintah berdasarkan kebijakan nasionalisasi tetap memandang hak atas tanah yang semula berasal dari hak konsesi dan erfacht tersebut sebagai tanah milik negara.

Akibat dari nasionalisasi juga terjadi pada perubahan nama perusahaan perkebunan Belanda yang semula NV. Verenigde Deli Maatschaapij dan Senembah

Mij diganti menjadi Perusahaan Perkebunan Nasional (PPN) baru sesuai dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1960, dan berdasarkan Pemerintah Nomor 143 Tahun 1961 tanggal 26 April 1961 berubah lagi menjadi PPN Sumut-I (Kebun Tembakau), lalu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1963 tanggal 22 mei 1963, nama perusahaan berubah menjadi PPN Tembakau Deli.

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1968, PPN Tembakau Deli berganti nama menjadi PNP-IX dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1973 tanggal 6 Desember 1973 berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan-IX dan perusahaan perseroan (Persero) PT. Perkebunan-II menjadi PT. Perkebunan Nusantara-II (Persero).66

Terhadap hak-hak atas tanahnya, setelah diundangkannya UUPA maka sesuai dengan Pasal II ketentuan-ketentuan Konversi, tanah-tanah yang berstatus Hak Konsesi dan Hak Erfacht dapat dikonversi menjadi Hak Guna Usaha berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor 24/HGU/1965 Tanggal 10 Juni 1965 tentang

66

(15)

Pemberian Hak Guna Usaha kepada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur atas tanah seluas 181.000 Ha dari areal yang semula seluas 250.000 Ha.

Sisa areal seluas 59.000 Ha 181.000 Ha selanjutnya ditegaskan menjadi objek landreform dan didistribusikan oleh Pemerintah kepada yang berhak. Selanjutnya dengan kebijakan Pemerintah untuk mengakomodasi penggarapan rakyat, maka luas areal HGU tersebut terus mengalami penciutan/pengurangan.

HGU yang diberikan kepada PPN Tembakau Deli (terakhir tercatat atas nama PT Perkebunan Nusantara II) tersebut diberikan dalam jangka waktu 35 tahun sehingga haknya telah berakhir tanggal 9 Juni 2000. Pihak PT perkebunan Nusantara telah mengajukan perpanjangan hak pada tahun 1997 dan baru pada tahun 2000 diterbitkan HGU-nya berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 42/HGU/BPN/2002 masing-masing tanggal 29 November 2002 serta Nomor 10/HGU/BPN/2004 Tanggal 6 Februari 2004.

Perusahaan Perseroan PT Perkebunan II bergerak dibidang usaha Pertanian dan Perkebunan didirikan dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH No. 12 tanggal 5 April 1976 yang diperbaiki dengan Akte Notaris No. 54 tanggal 21 Desember 1976 dan pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A. 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran Negara No. 52 tahun 1978 yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Tingkat I Medan tanggal 19 Pebruari 1977 No. 10/1977/PT.

Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan (Perseroan) PT Perkebunan II disingkat “PT Perkebunan II" merupakan perubahan bentuk dan

(16)

gabungan dari PN Perkebunan II dengan PN Perkebunan Sawit Seberang. Pendirian perusahaan ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1975.

Pada tahun 1984 menurut Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham, Akte Pendirian tersebut diatas telah dirubah dan diterangkan dalam Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 94 tanggal 13 Agustus 1984 yang kemudian diperbaiki dengan Akte Nomor 26 tanggal 8 Maret 1985 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-5013-HT.0104 tahun 1985 tanggal 14 Agustus 1985. Sesuai dengan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham tanggal 20 Desember 1990 Akte tersebut mengalami perubahan kembali dengan Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 2 tanggal 1 April 1991 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-4939-HT.01.04TH-91 tanggal 20 September 1991.

Pada tanggal 11 Maret 1996 kembali diadakan reorganisasi berdasarkan nilai kerja dimana PT Perkebunan II dan PT Perkebunan IX yang didirikan dengan Akte Notaris GHS. Loemban Tobing, SH Nomor 6 tanggal 1 April 1974 dan sesuai dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH Nomor 100 tanggal 18 September 1983 dilebur dan digabungkan menjadi satu dengan nama PT Perkebunan Nusantara II yang dibentuk dengan Akte Notaris Harun Kamil, SH Nomor 35 tertanggal 11 Maret 1996.

Akte pendirian ini kemudian disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan No. C2.8330.HT.01.01.TH.96 dan diumumkan dalam Berita Negera RI Nomor 81. Pendirian Perusahaan yang merupakan hasil peleburan PTP-II dan

(17)

PTP-IX berdasarkan Peraturan Pemerintah Ri Nomor 7 tahun 1996. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2002 terjadi perubahan modal dasar perseroan sesuai Akte Notaris Sri Rahayu H. Prastyo, SH.1:34 PM 7/21/2008.67

3. Letak dan Luas Areal Yang Dikelola Oleh PT Perkebunan Nusantara II

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tujuan dari penggunaan Hak Guna Usaha dibatasi hanya untuk tiga bidang/sektor yaitu untuk usaha pertanian, perikanan dan peternakan dengan pengertian pertanian termasuk juga perkebunan. Oleh karena PT Perkebunan Nusantara II sebagai Badan Usaha Milik Negara, maka kepada perusahaan tersebut dapat diberikan Hak Guna Usaha.68

Pada awalnya luas keseluruhan areal penanaman tembakau yang dikelola oleh NV Vereenigde Deli Maatschappij (VDM) adalah 250.000 Ha yang terbentang di antara Sungai Ular di Kabupaten Deli Serdang sampai Sungai Wampu di Kabupaten Langkat. Perusahaan Belanda mengelola areal Perkebunan tersebut dengan status hak erfacht yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan status hak konsesi yang diberikan oleh para Sultan (Sultan Deli, Langkat dan Serdang) yang dituangkan dalam Akta Konsesi yang ditandatangani oleh Sultan dan mendapat Legalisasi dari Residen Sumatera Timur.69

Setelah Indonesia merdeka dan berlakunya UUPA tahun 1960, Pemerintah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Agr/12/5/14 Tanggal 28 Juni 1951

67

www.ptpn2.sumut,diakses pada tanggal 01 Sepetember 2009 pukul 12.35 wib 68

Elfachri Budiman, Op cit, hal. 62 69

(18)

hanya memperkenankan areal perkebunan tembakau seluas 125.000 Ha untuk dikelola, sisanya diserahkan kepada negara untuk didistribusikan.

Kemudian sejak berlakunya UUPA 1960 yang mengatur antara lain pemberian Hak Guna Usaha kepada perusahaan yang bergerak di bidang pertanian (perkebunan), maka melalui keputusan Menteri Negara Agraria Nomor SK.24/HGU/1965 Tanggal 10 Juni 1965 hanya memberikan areal perkebunan seluas 59.000 Ha kepada PPN Tembakau Deli untuk penanaman komoditas tembakau dengan status hak guna usaha dalam jangka waktu 35 tahun, sedangkan sisanya yang mencapai 191.000 Ha (dari luas semula 250.000 Ha) ditegaskan menjadi tanah obyek landreform dan didistribusikan kepada pihak-pihak lain yang berhak.

Menurut Balans, secara garis basar pengeluaran/pelepasan areal HGU Perkebunan Tembakau Deli terjadi secara bertahap dan diklasifikasikan ke dalam3 (tiga) tahapan, yaitu Pertama terjadi pada tahun 1951 dengan diciutkannya areal perkebunan dari 250.000 Ha menjadi 125.000 Ha melalui Surat Keputusan Menteri Dalam negeri Nomor Agr./12/5/14 tanggal 28 juni 1951 dengan menyerahkan tanah seluas 125.000 Ha tersebut kepada negara untuk didistribusikan, Kedua terjadi pada tahun 1958-1973 yakni pengeluaran areal perkebunan Tembakau Deli dari 125.000 Ha menjadi 58.419,75 Ha yang disebabkan oleh penggarapan liar, beralih karena pelepasan maupun beralih karena pinjam pakai dan Ketiga berlangsung pada tahun

(19)

1974-1991 yakni seluas 10.985,03 Ha karena pinjam pakai sehingga areal perkebunan bersisa seluas 44.796,68 Ha.70

Kemudian setalah tahun 1991-1997 terjadi lagi penciutan areal perkebunan Tembakau Deli yang menurut penelitian Jurnalianto adalah seluas 1.760,54 Ha karena dilepas untuk kepentingan pemerintah seperti pembangunan Bandara Kualanamu, perumahan sederhana, kawasan Industri Medan (PT KIM), perluasan lapangan golf, real estate dan Interchange saentis sehingga sampai dengan tahun 1997 luas areal perkebunan tembakau Deli atau areal Hak Guna Usaha eks. PT Perkebunan IX eks. PPN Tembakau Deli menurut Julianto adalah 43.036,14 Ha71.

Sedangkan menurut data Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara adalah seluas 43.241,34 Ha.72 Dan dari data yang diperoleh penulis pada penelitian terakhir di Kantor PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) pada tahun 2009, diperoleh data sebagai berikut:

70

Balans, Tinjauan Hukum Atas Penciutan Areal PT Perkebunan IX (Persero), Tesis, dikutip dari Tesis Elfachri Budiman, hal. 64

71

Julianto, Skripsi, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penciutan Areal Tembakau Deli Di Propinsi Sumatera Utara, STPN Yogyakarta, Dikutip dari Tesis Elfachri Budiman, hal. 65

72

Surat kakanwil BPN Sumatera Utara No. 570-965 Tanggal 8 Juli 2004 yang ditujukan kepada Kepala kantor Pertanahan di Sumatera Utara.

(20)

Daftar dan Luas Areal PTPN II di Kabupaten Deli Serdang73

No Nama Kebun Lokasi/

Kab/Kota Luas (Ha) Nomor Sertifikat Berakhir Hak 1. Melati Serdang Bedagai 1,998.81 61/Melati 19-06-2028 2. Tg.Garbus-P.Marbau Deli Serdang

Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang 1,952.2 1,223.11 533.02 - 105/Pasar Miring 97/Tg.Garbus 62/Panara Kwalanamu 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 3,708.45

3. Limau Mungkur Deli Serdang 1,331.35 94/Lau Barus baru

19-06-2028 4. Mariendal-Bekala Deli Serdang

Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang 189.70 - - - - 144.85 31/Mariendal-II LPP/Mdn Estate Bekala Mariendal Mariendal 14/Tuntungan 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 334.55

5. Tamora Deli Serdang

Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang 24.89 8.11 158.27 236.24 76.34 202.28 300.66 30.54 71.80 106.87 23.98 740.84 22.18 - -25/Mdn Senembah 69/Mdn Senembah 98/Mdn Senembah 99/Mdn Senembah 13/Bangun sari 93/Bangun sari 96/Bangun sari 59/Ujung Serdang 60/Ujung Serdang 71/Ujung Serdang 86/Ujung Serdang 95/Tadukan Raga 107/Limau Manis dagang Kerawang Emplasmen 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 - - 73

(21)

2,003.00

6. Patumbak Deli Serdang 2,055.85 114/Patumbak 19-06-2028

Dipindahkan 11,432.0

1

7. Batang Kuis Deli Serdang

Deli Serdang 1,057.11 - 113/Sidodadi Desa Sena 19-06-2028 19-06-2028 1,057.11

8. Bandar Klippa Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang 696.40 1,212.95 - 115/Bdr.Klippa 104/Bdr.Klippa Emplasmen 19-06-2028 19-06-2028 - 9 Sampali Deli Serdang 1,809.43 110/Sampali 19-06-2028

10 Saentis Deli Serdang

Deli Serdang

1,415.85 112/Saentis 19-06-2028

-

11 Helvetia Deli Serdang 1,128.35 111/Helvetia 19-06-2028

12 Kelambir Lima Deli Serdang 1,848.27 102/K.Lima

Kebun

19-06-2028

13 Klumpang Deli Serdang 2,034.60 108/klumpang

Kebun

19-06-2028

14 Bulu Cina Deli Serdang 2,977.00 103/Bulu Cina 19-06-2028

15 Sei Semayam Deli Serdang

Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang D.Serdang/ Binjai T.Langkat/ Binjai Binjai T.Langkat/ Binjai 641.14 408.12 434.48 1,433.28 - - - - 90/Sei Glugur 91/Sei glugur 92/Sei Mencirim 109/Muliorejo Tungurono Binjai Estate Timbang Langkat Purwobinangun 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 2,917.02

(22)

16 Tandem Deli Serdang 2,383.38 101/Tandem Hulu-II

19-06-2028

17 Tandem Hilir Deli Serdang 1,653.80 100/Tandem

Hulu-I

19-06-2028

18 Tanjung Jati Langkat

Langkat Langkat 10.04 82.22 1,761.24 1/Tanjung Jati 2/Tanjung Jati 3/Tanjung Jati 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 1,853.50 Pemindahan 34,419.6 7

19 Kwala Begumit Langkat

Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat 239.61 40.37 37.23 6.65 2,729.42 5.01 1/Kwala Begumit 1/Kwala Begumit 1/Kwala Begumit 1/Kwala Begumit 1/Kwala Begumit 1/Kwala Begumit 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 3,058.29

20 Kwala Bingei Langkat

Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat 17.71 206.74 1,530.71 105.11 46.11 453.40 - 1/Kwala bingei 2/Kwala bingei 3/Kwala bingei 1/Teluk 2/Teluk 3/Teluk Teluk 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028

21 Gohor Lama Langkat

Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat 64.74 6.01 3.70 3,820 756.91 2,388.67 - 1/Gohor lama 2/Gohor lama 3/Gohor lama 4/Gohor lama 5/Gohor lama 1/Tg. Beringin Gohor Lama 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 31-12-2014 - 7,038.09

22 Batang Serangan Langkat Langkat Langkat 805.70 1,624.60 349.72 1/Btg. Serangan 2/Btg. Serangan 1/Simpang Tiga 31-12-2014 31-12-2014 31-12-2014 7,038.09

23 Sawit Seberang Langkat

Langkat 217.32 696.57 1/Tg. Selamat 1/Tg. Putus 31-12-2014 31-12-2014

(23)

Langkat Langkat 4,163.61 - 1/Simpang Tiga Tasik Litur 31-12-2014 - 5,077.50 Pemindahan 54,733.3 5

24 Sawit Hulu Langkat

Langkat

8,539.35 -

1/Simapang tiga 31-12-2014

8,539.79

25 Kwala sawit Langkat

Langkat Langkat Langkat 3,948.00 2,593.00 2,055.53 - 2/Sei Musam 3/Sei Musam 5/Sei Musam 31-12-2007 31-12-2009 31-12-2012 -

26 Air Tenang Langkat 2,849.47 5/Sei Musam 31-12-2012

27 Padang Brahrang Langkat 1,949.01 1/Padang

Brahrang - 28 Bekiun Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat 583.90 6.80 1,126.70 75.80 52.50 235.20 2.00 614.80 281.50 1/Bekiun 2/ Bekiun 3/Bekiun 4/Bekiun 5/Bekiun 6/Bekiun 7/Bekiun 8/Bekiun 9/Bekiun 31-12-2005 31-12-2005 31-12-2005 31-12-2005 31-12-2005 31-12-2005 31-12-2005 31-12-2005 31-12-2005 29 Tanjung Keliling Langkat

Langkat Langkat 200.00 2,114.71 948.24 1/Tg. Keliling 2/ Tg. Keliling 1/Glugur Langkat 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 3,262.95 30 Maryke Langkat 1,755.39 31 Basilam Langkat Langkat Langkat Langkat 76.03 6.68 10.36 2,268.61 1/Basilam 2/Basilam 3/Basilam 4/Basilam 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 19-06-2028 2,361.68

(24)

32 Bukit Lawang Langkat 1,376.96 2/Bukit lawang 31-12-2024 33 Barumun Tapanuli Selatan - Gunung Tua/ Barumun -

34 Prafi Irian Jaya

Papua

3.300.00 11/- 25-11-2033

35 Arso Irian Jaya

Papua

2,580.47 01/- 25-11-2033

JUMLAH 94,284.7

7

Sumber: Kantor Direksi PTPN II

Dari tabel tersebut di atas dapat di peroleh keterangan bahwa jumlah luas areal Perkebunan Sampali pasca perpanjangan HGU mulai tanggal 19 Juni 2003 sampai 19 Juni 2028 yakni seluas 1. 809, 43 Ha dengan Nomor Sertifikat HGU 110/Sampali. Sedangkan dalam daftar Lampiran Keputusan Kepala BPN RI Tanggal 29 Nov 2002, disebutkan bahwa luas Perkebunan Sampali dari hasil pengukuran pada tanggal 24 November 1997 berjumlah 1,883, 06 ha.

Dari jumlah luas tersebut berdasarkan SK No. 42 Tahun 2002 Tentang Pemberian Perpanjangan HGU, terdapat hanya 344,08 ha yang telah diberikan perpanjangan HGU, sedangkan luas lahan yang dikeluarkan dari areal HGU untuk areal perkebunan Sampali berdasarkan SK tersebut seluas 73,63 ha.

B. Sejarah Sengketa Tanah HGU Perkebunan Sampali Di Desa Sampali

Dalam perkembangan sejarah hukum pertanahan Indonesia, telah terjadi konflik antara hak menguasai negara dengan hak ulayat. Meskipun menurut pembuat Undang-undang pokok agraria, hak menguasai negara tersebut adalah pencerminan dari hak ulayat dalam skala nasional. Namun dalam praktek, perbedaan persepsi

(25)

mengenai kedua hak menguasai tanah telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Konflik pertanahan telah berlangsung sejak zaman kolonial sampai sekarang ini, khsusunya dalam areal perkebunan yang berasal dari konesi yang diberikan Sultan kepada Onderneming di atas tanah ulayat. Hak konsesi berkembang menjadi hak erfacht berubah menjadi Hak Guna Usaha. Peristiwa hukum ini telah menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal.

Secara umum dari beberapa kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa tindakan penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan, terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara dengan hak ulayat masyarakat adat. Dalam pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, tetapi disisi lain dalam pasal 3 menegaskan, bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada tetap diakui.

Dari kedua ketentuan tersebut diatas, berarti didalam UUPA terdapat dua sistim hukum yang berbeda mengenai hak menguasai terhadap tanah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya conflicten recht/perselisihan hukum, maka dalam hal ini perlu ditegaskan tentang apa yang menjadi peraturan hukum atau hukum mana yang berlaku mengenai suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum yang memuat unsur-unsur yang dapat menyangkutkan dua atau lebih sistim hukum

(26)

yang berlaku. Contohnya kasus antara BPRPI versus PTPN-II, BPRPI menggugat tanah jaluran yang bersumber dari hukum adat diatas areal PTPN-II, sedangkan PTPN-II mempertahankan haknya berdasarkan HGU yang dikeluarkan Menteri Agraria berdasarkan UUPA.

Pemberian HGU kepada PTPN-II oleh negara didasarkan atas pasal 2 UUPA, tetapi secara yuridis tindakan ini harus memperhatikan pasal 3 dan pasal 5 UUPA. Namun dalam pelaksanaannya ternyata hak ulayat masyarakat adat diabaikan sama sekali. Pemerintah dan PTPN-II tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat adat setempat, ataupun tidak memberikan recognitie sebagai konstribusi kepada masyarakat, dengan adanya HGU di atas tanah ulayat mereka.

Dari kasus ini Pemerintah hanya menentukan hukum yang berlaku dalam konflik tersebut, hanya bersandar pada pasal 2 UUPA, sedangkan pasal 3 dan pasal 5 UUPA dikesampingkan. Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum adat/tradisi tak tertulis, terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam UUPA, tidak melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama, dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi hanya mendekonstruksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada atau bahkan untuk menggantikannya dengan yang baru dalam rangka mengupayakan unifikasi hukum tanah.

Maka dalam praktek penegakan UUPA terdapat selisih paham mengenai keberadaan hukum itu legal gaps, yaitu selisih pahaman dan atau keyakinan masyarakat antara apa yang dikehendaki oleh pelaksana administratur negara agar

(27)

dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi oleh masyarakat, sebagai tradisi sehari-hari oleh masyarakat setempat. Legal gaps terjadi karena substansi pasal 2 UUPA, mengenai hak menguasai negara, tidak ada membatasi secara tegas tentang sejauh mana hak menguasai negara itu dapat berlangsung. Apabila dikaitkan dengan pasal 3 UUPA yang mengakui hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada, juga tidak dirumuskan persyaratan-persyaratan yang konkrit sebagai elemen-elemen untuk menentukan ada tidaknya hak ulayat.

Disamping itu pasal 5 UUPA hanya merumuskan hukum adat secara umum dan abstrak, dengan menyebutkan hukum adat “sebagai hukum asli” yang sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak dan yang sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perumusan ini menimbulkan legal gaps antara keyakinan masyarakat dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah. Keyakinan hukum masyarakat adat lokal tidak sama dengan keyakinan dan kehendak pemerintah. Kondisi inilah yang menyebabkan sengketa pertanahan sulit diselesaikan, walaupun ada kalanya dapat diselesaikan dengan pemaksaan kehendak namun sengketa cenderung akan muncul kembali.

Pelaksanaan UUPA dalam prakteknya dilakukan secara universal, tanpa memperhatikan hukum yang hidup (Living law) dalam masyarakat tertentu. Sehingga pada masyarakat Sumatera Timur yang masih mengakui adanya hak ulayat, penerapan dan pengertian dari sistim hukum tersebut, di kalangan masyarakat adat masih kabur. Disamping itu model dalam penerapan UUPA dan kebijakan-kebijakan pemerintah hanya diberikan oleh pembuat undang-undang kepada pelaksana hukum

(28)

dengan mekanisme kontrol penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat tanpa mempertimbangkan kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Ternyata sanksi hukum tidak dapat menghentikan sengketa pertanahan, baik tuntutan berdasarkan hak ulayat, maupun tuntutan berdasarkan okupasi tanah yang telah dilakukan secara terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Konflik pertanahan berlanjut hingga sekarang menjadi sengketa pertanahan antara rakyat dengan pihak perkebunan (PTPNII), khusunya tuntutan masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat hukum adat terhadap lahan Perkebunan Sampali Di desa Sampali Deli Serdang.

Pendudukan/penguasaan areal Perkebunan Sampali oleh masyarakat berawal sejak tahun 1950-an.74 Luas tanah yang digarap masyarakat pada masa itu baru sekitar 24 ha yang berada di Pasar XII Desa Sampali. Terhadap pengurusan yang menyangkut surat-surat atas lahan tersebut, masyarakat memberikan kuasa kepada saudara Raulina Tampubolon. Di atas lahan tersebut oleh masyarakat ditanami dengan tanaman jagung, pisang, kelapa dan nangka. Selain itu masyarakat juga mendirikan bangunan semi permanen sebanyak 13 rumah dan 3 buah gubuk sebagai tempat tinggal masyarakat.

Masyarakat yang melakukan penggarapan di atas lahan perkebunan Sampali didasarkan dengan adanya surat-surat yang berhubungan dengan tanah yang menjadi tuntutan. Diantaranya, Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang

74

(29)

diterbitkan oleh Kantor Registrasi Pemakaian Tanah (KRPT) Sumatera Timur Tahun 1955 dan Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/ladang yang diterbitkan oleh Gubernur Sumatera Utara, U.b Residen/Kepala Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah.

Surat-surat yang dimiliki masyarakat tersebut pada masa itu telah diminta oleh pihak Korem. Alasannya, barang siapa yang memiliki surat-surat tersebut, dituduh sebagai anggota BTI/PKI. Dan diancam akan dibunuh karena dianggap bertentangan dengan negara Indonesia.75 Akhirnya lahan yang telah diduduki masyarakat selama puluhan tahun, kembali diambil oleh pihak PTPN II tanpa adanya ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat.

Karena tidak adanya ganti rugi yang diterima masyarakat dari pihak perkebunan, masyarakat kembali menggarap lahan tersebut dengan alasan ekonomi. Sebab selama ini, bertani merupakan mata pencaharian yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan masyarakat tidak memiliki lahan lain yang ingin dikelola. Maka lahan tersebut kembali ditanami untuk dijadikan pemenuhan kebutuan hidup.

Akibat semakin maraknya tuntutan masyarakat akan tanah perkebunan, maka Pada Tahun 1985 Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Sumatera Utara Nomor K/138/KAMDA/V/1985 mengeluarkan surat yang menyarankan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara untuk

75

(30)

meneliti kebenaran data yang diajukan oleh kaum tani Pasar XII Sampali yang dikuasakan kepada Raulina Tampubolon.76

Selama puluhan tahun masyarakat menguasai dan mengerjakan lahan tersebut, selalu ada teguran/perintah pengosongan atas lahan tersebut oleh pihak PTPN II namun masyarakat tidak mengindahkan teguran tersebut. Kemudian Pada tahun 1988 pihak PTPN II mencoba menggusur masyarakat petani tetapi tidak berhasil karena adanya perlawanan dari masyarakat.

Pada tahun 1993 PTPN II kembali melakukan penggusuran dengan mentraktor tanaman masyarakat petani tetapi tindakan tersebut dihentikan oleh Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara yang turun langsung ke lapangan. Anggota DPRDSU yang berada di lokasi, saat itu menyarankan agar permasalahan yang sedang dihadapi sebaiknya diselesaikan dengan jalan musyawarah.

Dan pada Tanggal 1 Mei 1995 Ketua DPRD Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 1232/3/3/KA4 mengeluarkan surat yang menyatakan jika areal garapan dimaksud merupakan kawasan budi daya/pemukiman, hendaknya keberadaan penggarap tetap merupakan sasaran prioritas.77

Demikaian juga halnya Surat Bupati Deli Serdang Nomor 591/1031 Tanggal 17 Maret 2000 yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara yang menyatakan mohon kiranya berkenan mempertimbangkan permohonan Sdr. Raulina Tampubolon tersebut agar tanah seluas ± 24 Ha dimaksud tidak dimasukkakn lagi dalam

76

Julianto, Skripsi, op cit, hal. 152 77

(31)

perpanjangan HGU berikutnya guna untuk didistribusikan kepada masyarakat petani yang berhak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.78

Pasca reformasi tepatnya pada tahun 1999 Penguasaan/penggarapan atas nama masyarakat dan lembaga kembali terjadi secara besar-besaran di atas tanah HGU Perkebunan Sampali PTPN II sampai sekarang ini. Penggarapan dimulai dengan melakukan penebangan terhadap tanaman cokelat yang berada di atas lahan tersebut lalu kemudian mengganti tanaman cokelat dengan tanaman palawija serta membangun beberapa perumahan sebagai tempat tinggal masyarkat.

Luas tanah yang digarap terbagi kepada tujuh bidang, masing-masing bidang berbeda kelompok masyarakat penggarapnya. Satu bagian dikuasai oleh kelompok BPRPI seluas 40 ha, kelompok masyarakat yang diketuai oleh saudara Mujimin seluas 63 ha, dan pada bagian lain dikuasai oleh masyarakat yang diketuai saudara Ibrahim Wijaya seluas 30 ha.

Sedangkan 4 (empat) kelompok lainnya, yakni: kelompok masyarakat yang diketuai oleh Ismail yang menggarap lahan seluas 30 Ha berada di Desa Tambak Bayan, kelompok masyarakat yang diketuai oleh Syahrum yang mengusahakan lahan seluas 93 Ha dan kelompok masyarakat lainnya atas nama masyarakat setempat di Pasar VIII. Ketujuh kelompok ini awalnya merupakan satu kesatuan yang berasal dari kelompok BPRPI, tetapi belakangan kelompok mereka memisahkan diri dan

78

(32)

membentuk kelompok sendiri dan berjuang untuk mengusahakan lahan yang mereka klaim sebagai milik mereka.79

Lokasi lahan yang digarap/diduduki berada mulai dari pasar 8 sampai dengan pasar 12 Desa Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Sehingga jumlah luas luas areal yang digarap mencapai 265 ha lebih ditambah dengan garapan pribadi tanpa mengatasnamakan kelompok masyarakat. Masyarakat yang menduduki/menggarap lahan perkebunan Sampali milik PTPN II dengan bukti Hak Guna Usaha yang masih berlaku hingga tahun 2028, sudah berlangsung selama lebih kurang 10 (sepuluh tahun) telah melakukan pengalihan hak (menjual) lahan tersebut kepada pihak lain yang membutuhkan tanah yang saat ini berdomisili di areal tersebut.

Pada awal penggarapan dilakukan terjadi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang suruhan terhadap ketua BPRPI setempat (pada masa itu diketuai oleh Alm. Nawawi) dan beliau sempat menjalani penahanan di Kepolisian selama 2 minggu dengan tuduhan melakukan perusakan terhadap tanaman. Akan tetapi ia dibebaskan karena dalam pemeriksaan dia dinyatakan tidak bersalah.

Pengukuran yang dilakukan pihak BPRPI, bahwa sisa yang tidak diduduki masyarakat di areal perkebunan Sampali seluas 1100 ha dari luas semula 2301,9 ha. Hasil pengukuran tersebut berbeda dengan jumlah luas yang dilakukan oleh pihak Kanwil BPN Sumut pada tahun 1997 yang tertulis dalam Sertifikat HGU Perkebunan tersebut. Pada sisa lahan tersebut sekarang terdapat 3 jenis tanaman yakni:

79

(33)

perkebunan tebu, perkebunan sawit dan perkebunan jagung sedangkan tanaman tembakau sebagaimana tanaman sebelumnya tidak ada lagi.

Gugatan yang pernah dilakukan oleh pihak BPRPI ke pengadilan yang telah sampai ke Mahkamah Agung telah mengahasilkan Putusan Mahkamah Agung dengan memenangkan pihak BPRPI sebanyak 300 ha. Namun belum ada pelaksanaan pelepasan hak yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Oleh karenanya warga yang berada di atas areal tersebut belum memiliki kepastian hak sebab belum bisa mengajukan permohonan pengeluaran sertifikat tanah sebagai bukti hak milik dikarenakan belum adanya pengeluaran areal HGU secara resmi dari BUMN. Sehingga sampai saat ini masyarakat hanya memiliki surat keterangan tanah dari kepala desa dan Camat.

Padahal di mata hukum persoalan ini telah dimenangkan masyarakat. Keputusan Mahkamah Agung No 1734 K/Pdt/2001 memutuskan pengembalian sebidang tanah seluas 300 ha kepada masyarakat yang tergabung dalam BPRPI Sumatera Utara, khususnya kampung Tanjung Mulia Kecamatan Percut Sei Tuan Pasar III, IV, dan V Sampali Deli Serdang sebagai tanah adat hak ulayat suku melayu yang diperoleh secara turun temurun dari pemangku adat.

Pada tahun 2008 PTPN II mengeluarkan Surat perintah pengosongan areal tanah HGU Perkebunan Sampali kepada masyarakat, menurut pihak BPRPI bukan ditujukan kepada mereka sebab isi surat ditujukan kepada kelompok masyarakat penggarap liar sedangkan mereka merasa bukan kelompok penggarap liar sebab BPRPI telah mengantongi putusan Pengadilan yang memenangkan gugatan mereka.

(34)

Pada tahun 1997 pihak BPN melakukan pengukuran di di atas lahan Perkebunan Sampali dengan memasang patok sebagai tapal batas di areal tersebut, sedangkan wilayah yang diduduki masyarakat tidak masuk pada wilayah pengukuran. Hingga saat ini kelompok masyarakat yang terdiri dari pihak BPRPI dan seluruh kelompok masyarakat terus mengupayakan kepastian status hak tanah mereka yang mereka harapkan menjadi hak milik yang dibuktikan dengan setifikat hak milik. Mereka tidak ingin tanah yang mereka kuasai sekian lama beralih kepada pihak lain sebagaimana yang sering terjadi di daerah-daerah lain.

C. Alasan Penguasaan/Penggarapan Yang Dilakukan Masyarakat di Atas Lahan PTPN II Perkebunan Sampali

Tuntutan masyarakat atas tanah perkebunan khususnya di areal Perkebunan Sampali sama halnya dengan tuntutan-tuntutan yang dilakukan masyarakat di daerah lain terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat. Tuntutan-tuntutan tersebut didasarkan pada bukti-bukti alas hak yang dikeluarkan oleh Pejabat Penyelesaian Tanah Garapan Di areal Perkebunan sebelumnya, yakni:

a. SK GUBSU No. 36/K/1951, mengenai pembagian tanah, sawah dan ladang di seluruh areal PTPN II eks. HGU

b. Kartu tanda Pendaftaran Pemilikan Tanah Perkebunan (KTPPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah Sumatera Utara (KRPT) maupun Camat Tahun 1954 sampai tahun 1956

(35)

c. Surat Izin Menggarap yang dikeluarkan oleh bupati sebagai Ketua Panitia Landreform Kabupaten maupun Kecamatan

d. Surat Keputusan dari Badan Penyelesaian Perkebunan Sumatera Timur (BPPSPT) e. Surat Keputusan Mendagri No. 44/DJA/1981 mengenai Redistribusi tanah seluas

9.085 Ha

f. Surat Keputusan Gubernur mengenai hasil tim penyelesaian tanah garapan PTP IX (TPTGA) yang ditindaklanjuti dengan SK Mendagri Nomor 85/DJA/1984 g. Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh kepala Desa dan Camat h. Bukti pembayaran Ipeda yang dikeluarkan oleh jawatan pemungutan pajak

i. Surat Pembagian Tanah objek landreform yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Agraria Tingkat II Deli Serdang dan Langkat

j. Pengakuan kesaksian dan uraian kronologis tuntutan yang diperbuat oleh masyarakat/penuntut

Surat-surat tersebut di atas merupakan latar belakang lahirnya surat-surat keterangan Tanah yang diterbitkan Kepala Desa dan Camat setempat. Pada saat ini, surat tersebutlah yang menjadi dasar sekaligus sebagai pegangan masyarakat untuk menguasai areal Perkebunan Sampali di desa Samapali Deli Serdang.

Tuntutan masyarakat atas areal perkebunan PTPN II tersebut di atas yang dituntut atas dasar Hak Ulayat Masyarakat Adat (Melayu) dan masyarakat lainnya menjadi salah satu faktor penyebab sengketa pertanahan di Sumatera Utara, termasuk di areal Perkebunan Sampali sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena permasalahan yang dihadapi sangat rumit sejalan dengan sejarah keberadaan

(36)

peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa tanah perkebunan antara lain sebagai berikut:

1. Undang-undang darurat Nomor 8 Tahun 1954 Pemakaian Tanah oleh Rakyat 2. UUPA Nomor 5 Tahun 1960

3. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tantang Larangan Pemakaian Tanah yang berhak atau kuasanya

4. Pedoman Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1960 Tantang Penyeleseaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan Di Sumatera Timur

5. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II tahun 1963 Tentang Penyelesaian Tanah Jaluran

6. Keputusan Menteri Agraria NO. SK 24/HGU/1965 Tantang Pemberian Hak Guna Usaha pada PPN Tembakau di Sumatera Timur

7. Surat Keputusan Gubernur No. 370/III/Sumatera Utara/1968

8. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

9. SK BPN No. 42/HGU/BPN/2002

10. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Pemerintah daerah

11. PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah.

Sebagai salah satu contoh bahwa kehadiran peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan yakni SK BPN No. 42/HGU/BPN/2002. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa, lahan PTPN II di

(37)

Kabupaten Deli Serdang seluas 587,3 Ha tidak diberikan perpanjangan HGU. Dari Luas tanah tersebut, termasuk di dalamnya areal Perkebunan Sampali yang memiliki luas 1809, 43 Ha terdapat seluas 73,63 Ha yang tidak diperpanjang HGU-nya.

Tetapi di dalam SK tersebut tidak dinyatakan letak lahan dan tidak ditentukan batas-batas lahan yang tidak mendapat perpanjangan HGU. Demikian juga halnya pada lahan-lahan perkebunan lainnya milik PTPN II yang tidak diperpanjang HGU-nya sehingga kelompok penggarap dan masyarakat lainHGU-nya melakukan penguasaan tanah di atas lahan areal perkebunan yang tidak sesuai dengan jumlah luas yang ditentukan dalam SK BPN tersebut.

Kondisis tersebut mengakibatkan terjadinya penggarapan yang meluas hingga hampir seluruh lahan perkebunan PTPN II yang masih mendapat perpanjangna HGU turut digarap oleh kelompok-kelompok masyarakat termasuk pihak-pihak lain yang membutuhkan tanah baik dengan cara menduduki langsung maupun dengan membelinya kepada kelompok-kelompok penggarap yang mengklaim dirinya sebagi ahli waris tanah masyarakat hukum adat.

Versi PTPN II menilai bahwa latar belakang terjadinya penggarapan di atas lahan Perkebunan adalah disebabkan adanya intervensi dari kelompok-kelompok tertentu yang sengaja mempolitisir masyarakat untuk mengambil/menguasai tanah negara yang dikelola PTPN II. Alasannya, kelompok-kelompok/organisasi tersebut menurut pihak PTPN II tidak mungkin berdiri tanpa adanya pihak lain sebagai dalang intelektual sebagai penggerak/memobilisir massa melakukan tindakan penggarapan di lahan mereka sekaligus sebagai penggalang dana guna melakukan tuntutan-tuntutan

(38)

atas tanah-tanah perkebunan melalui upaya-upaya hukum dan upaya politis untuk mempertahankan penguasaan/penggarapan di atas tanah perkebunan.80

Sepanjang diketahui, dari pengamatan dan informasi yang diterima PTPN II, bahwa masyarakat yang melakukan penggarapan di lahan tersebut bukanlah berasal dari kalangan intelektual atau kalangan yang memiliki tarap kehidupan yang tinggi, akan tetapi mereka masih dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.

Hal ini telah dapat mengindikasikan bahwa penggarapan di areal mereka didalangi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan terhadap lahan tersebut. Sehingga ada kerjasama yang terjalin antara masyarakat dengan pihak ketiga tersebut dengan membentuk lembaga-lembaga/organisasi yang dilengkapi dengan perangkat-perangkat organisasi dan bantuan oknum-oknum lainnya yang mempunyai kepentingan pribadi atau kelompok.

Alasan lain ditandai dengan upaya hukum yang dilakukan pihak PTPN II dalam mempertahankan haknya melalui Laporan Pengaduan Kepolisian (pidana). Laporan kepolisian yang dilakukan, tidak membuahkan hasil apa-apa. Memang pihak kepolisian telah memanggil kedua belah pihak untuk dimintai keterangannya sebagai saksi baik sebagai saksi pelapor maupun saksi terlapor. Akan tetapi hingga saat ini tidak ada tindak lanjut ataupun proses lanjutan pemeriksaan oleh kepolisian, tidak ada penetapan tersangka apalagi proses penuntutan dan persidangan.

80

(39)

Kejanggalan tersebut di atas dapat membuktikan adanya indikasi bahwa penggarapan di atas lahan PTPN II tepatnya pada perkebunan Sampali yang berada di Desa Sampali terjadi akibat adanya intervensi dari pihak ke tiga sebagai dalang intelektual yang memiliki kepentingan terhadap lahan tersebut. Sebab ketidakseriusan dari aparat penegak hukum untuk melakukan pengembangan dan pengusutan kasus dalam hal ini menjadi pertanyaan. Kemungkinan hal ini disebabkan adanya tekanan dari atasan untuk menghalang-halangi proses penyelesaian sengketa tersebut.81

Secara umum, materi perbedaan kepentingan (conflicts) dan sengketa (dispute) pertanahan pada dewasa ini (sejak Orde Baru dan Orde Reformasi), dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sengketa sesama anggota masyarakat, sengketa antara anggota masyarakat dengan pemerintah dan sengketa antara anggota masyarakat dengan pihak pengusaha perkebunan, baik swasta maupun BUMN. 82

Dari ketiga kelompok sengketa tersebut, sengketa antara anggota masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan yang menyangkut HGU adalah sangat dominan terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Ini termasuk sengketa antara anggota masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang disebabkan adanya tuntutan atas tanah-tanah HGU yang diakui sebagai hak ulayat dari suatu kelompok masyarakat. Tuntutan masyarakat hukum adat atas HGU perkebunan di Provinsi Sumatera utara, pada

81

Ibid,- 82

Syafruddin Kalo, Diktat, Pencetus Timbulnya Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus Perkebunan Di Sumatera Timur Dari Zaman Kolonial Sampai Reformasi, (PPS USU, 2004), hal. 16-19

(40)

umumnya berasal dari badan-badan atau lembaga-lembaga tertentu yang mengatasnamakan kelompok masyarakat hukum adat.

Tuntutan terhadap tanah ulayat seluas ± 250.000 Ha meliputi seluruh bekas areal konsesi Deli Planters Verenigings (DPV) yang terbentang antara Sungai Ular (Kabupaten Deli Serdang), sampai dengan Sungai Wampu (Kabupaten langkat), dikembalikan kepada negara ± seluas 130.000 Ha, dan sisanya 125.000 Ha, diberikan sebagai hak sewa selama 30 tahun, kepada DPV. Pembagaian tanah 130.000 Ha yang diperuntukkan untuk rakyat, ternyata sampai keluarnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tidak dapat diselesaikan secara tuntas.

Dengan demikian pemerintahan yang berlaku adalah Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan akibat hukum bahwa tanah-tanah konsesi yang dahulunya diberikan oleh sultan sebagai kepala pemerintahan, berubah statusnya menjadi tanah negara, yang pengaturan peruntukkan dan penggunaannya merupakan kewenangan negara, sebagai wujud hak menguasai negara yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 jo. pasal 2 UUPA No. 5 Tahun 1960.

Di lain pihak, dalam pasal 3 UUPA No.5 Tahun 1960 dengan tegas mengatakan, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat masih tetap diakui keberadaannya, sepanjang kenyataannya masih ada. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, maka hal ini menimbulkan dilematis dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, dimana dalam perkembangannya, keberadaan hukum

(41)

adat itu sendiri masih menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan masyarakat adat, dengan pihak-pihak lainnya.

Kenyataan ini dari sudut ilmu hukum dapat dianalisa bahwa, UUPA Nomor 5 Tahun 1960 didalamnya mengandung dua (2) sistem hukum yang berbeda yaitu satu sisi berdasarkan sistem hukum nasional, dan sistem hukum adat. Hal ini akan menimbulkan perselisihan hukum (Conflictenrecht) yang harus ditentukan hukum mana atau hukum apa yang menjadi hukum dari suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum, yang menyangkut dua atau lebih sistem hukum yang berlaku.

Dalam hal ini, mengenai tanah jaluran sebagai hak dari rakyat penunggu yang berdasarkan hukum adat, dan Hak Guna Usaha (HGU) PNP-IX (sekarang PTPN-II) yang diterbitkan berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960 yang sama sekali tidak sesuai dengan hukum adat adalah merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Maka dalam hal ini perlu adanya peraturan petunjuk atau peraturan asli yang mengatur sendiri.

Peraturan petunjuk diperlukan untuk menentukan, apakah hukum adat atau mutlak UUPA Nasional. Sedangkan peraturan asli adalah peraturan yang tidak menunjuk, hukum mana yang akan dilakukan, tetapi memberi sendiri penyelesaian misalnya, pelaksanaan hak ulayat. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa terhadap tuntutan hak ulayat pada areal HGU perkebunan khususnya di Sumetara Utara.

Sengketa pertanahan yang terjadi khususnya di daerah di Sumatera termasuk di areal Perkebunan Sampali yakni tuntutan-tuntutan terhadap hak ulayat kelompok

(42)

masyarakat hukum adat yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang turut melatarbelakangi timbulnya sengketa-sengketa pertanahan mulai dahulu hingga sekarang ini. Faktor-faktor tersebut diantaranya:

a. Faktor Politik (Political factor)

Pada saat ini penguasaan terhadap tanah perkebunan telah menggeser benturan kepentingan antara berbagai pihak sehingga keterkaitan ke arah masalah politik dan bisnis secara langsung telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Hal ini semakin jelas tatkala kelompok tani dari masyarakat kecil berbenturan dengan pengusaha maupun pemerintah untuk memperoleh sebidang tanah pada areal perkebunan yang diperuntukkan bagi pembangunan industri ataupun kepentingan bisnis dengan menyadarkan diri kepada kepentingan masyarakat petani. Permasalahan yang terjadi adalah tuntutan tersebut seakan-akan menjadi tuntutan masyarakat yang murni untuk memperjuangkan tanah pertanian bagi masyarakat petani.

Konflik antar petani-pemilik dan penggarap, di satu sisi berhadapan dengan kaum pemodal domestik maupun asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan kekuasaan, bahkan di sisi lain masyarakat harus berhadapan langsung dengan pemerintah. Aliansi strategis antara kaum pemodal dengan penguasa akan membentuk hubungan hukum hubungan simbiosis yang akhirnya menimbulkan suatu

sosial polity yang mengandung ciri yang disebut governance as private enterprise.83

83

(43)

Dalam hal ini terjadilah suatu situasi yang bersifat Self Reinforcing antara jaringan kekuasaan politik dan jaringan kekuasaan ekonomi. Tersendatnya deregulasi pada bidang-bidang bisnis tertentu, perubahan status hutan-hutan lindung, upaya pihak swasta besar untuk merubah UUPA dan pengaruh pihak swasta besar dalam peruntukan tanah di kota-kota besar dan sekitarnya dapat dijadikan contoh mengenai hal ini.84

Distorsi yang memungkinkan terbangunnya hubungan simbiosis antara pemodal dan kekuasaan, yang karena kekentalan dan kekuatannya meminggirkan rakyat. UUPA dengan latar belakang populis sama sekali tidak dapat diartikan bahwa secara substantif tidak mengidap kelemahan pada tingkat konseptualnya. Justru sejumlah kelemahan ini memperbesar potensi berbagai pihak tertentu untuk mempreteli melalui penggelembungan kebijakan yang bersifat adalah Hoc.85

Perubahan rezim yang dramatis membawa perubahan strategi politik dari popularisme menjadi otoritarisme, konflik dan kekerasan politik masa orde lama memberikan trauma yang mendalam bagi penguasa baru yang berpokok otoriter ini berakar dari trauma. Pada masa rezim Soekarno menonjolkan mobilisasi (Political

mobilization) atau mengikutsertakan kekuatan politik masyarakat pada program

agraria, seperti tercermin pada program landreform yang merupakan amanat UUPA

84

Ibid, hal. 82 85

(44)

No. 5 Tahun 1960, sedangkan otoritarianisme diwujudkan dalam menghilangkan kekuatan politik dan memusatkan kekuasaannya pada rezim yang berkuasa.86

Kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam menyusun berbagai kebijakan di bidang pertanahan terlalu mementingkan kepentingan pemerintah dan kurang mengakomodasi kepentingan masyarakat misalnya; Kebijakan Politik Agraria yang dibangun oleh orde baru itu sebagi realisasi dari pemerintahan otoritarianisme yaitu:87

Menjadikan masalah landreform hanya sebagai teknis belaka dari penguasa (pemerintah) dan tidak menjadikan tanah itu sebagai sumber kemakmuran rakyat. UUPA No. 5 Tahun 1960 selama ini yang dianggap sumber dari segala sumber hukum agraria dalam kenyataan saat ini tidak mungkin lagi dipertahankan, karena Undang-undanng

a.

yang timbul belakangan sering bertentangan dengan UUPA No.

b.

turan lama dan menggantinya dengan peraturan baru,

1.

5 Tahun 1960.

Menghapuskan semua legitimasi organisasi petani di dalam program landreform dengan cara mencabut pera

dua peraturan itu adalah:

Undang-undang No. 7 Tahun 1970 berisi penghapusan Pengadilan landreform yang merupakan badan tertinggi pengambilan keputusan mengenai peuntukan tanah-tanah objektif landreform. Penagdilan ini merupakan representasi dari

86

Ediwarman, Op cit, hal. 169 87

(45)

negara dan organisasi-organisasi massa petani dalam menentukan tanah-tanah objek landreform.

Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1980 berisi dan tata kerja penyelenggaraan landreform. Panitia organisasi patani dihapuskan dan diganti dengan panitia baru yang didominasi oleh birokrasi seperti organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) suatu organisasi boneka pemerintah. Jadi panitia la

2.

ndreform diambil alih oleh birokrasi orde baru,

3.

jiwa UUPA No. 5 Tahun 1960 secara tegas memihak dan semangat kebijakan pertanahan saat ini

mulai tingkat Menteri hingga lurah/Kepala Desa, hasilnya landreform berada dalam kontrol birokrasi.88

Kebijakan pertanahan lebih cenderung bercorak kapitalis sementara dasar acuan kebijakan pertanahan yang ada masih diakui adalah UUPA No. 5 Tahun 1960 yang bercorak neo-populasi, maka terjadilah inkonsistensi kebijakan. Di satu pihak pemerintah secara yuridis mengacu pada UUPA No. 5 Tahun 1960 itu sendiri karena

kepada rakyat, sementara jiwa bersifat kapitalis.

b. Faktor Ekonomi (Economic factor)

Kemajuan di bidang ekonomi yang meningkat turut juga meningkatnya harga tanah sehingga terjadi perebutan tanah yang akibatnya timbullah konflik kepentingan di dalam perolehan tanah. Misalnya penyediaan tanah kawasan industri, kebutuhan

88

Mochtar Mas’ud, Tanah dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997), hal. 121

(46)

masyarakat akan tanah untuk berdomisili dan bertani guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring tingginya kebutuhan akan tanah tersebut maka secara otomatis harga tanahpun akan naik pula. Sementara taraf ekonomi dan daya beli masyarakat

departemen yang mempunyai kaitan asala

sudah banyak terjadi di kawasan perkebunan lain selain PT Perkebunan

sangat terbatas sehingga berbagai macam cara dilakukan orang untuk memperoleh tanah yang berakibat timbulnya konflik.

Kemudian sejalan dengan perkembangan ekonomi sebagai dampak dari deregulasi ekonomi yang telah mampu mendorong penanaman modal baik dalam negeri maupun penanaman modal asing relokasi industri, permintaan tanah untuk kepentingan industri semakin besar. Pada saat yang bersamaan fenomena ini menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah melibatkan masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta, sedangkan institusi untuk mengatasi persoalan teersebut sangat terbatas daya jangkaunya. Misalnya antara

m h pertanahan dalam hal ini sulit dilakukan koordinasi dalam upaya mengurangi tumpang tindih persoalan.89

Pihak investor baik lokal maupun asing melakukan upaya-upaya pendekataan kepada pemerintah daerah dan pusat agar mereka dapat menginvestasikan modalnya untuk kepentingan bisnis dengan mengalihakan tanah-tanah yang langsung dikuasai pemerintah baik yang masih berstatus HGU maupun yang telah dikeluarkan. Persoalan ini

Nusantara II termasuk di areal Perkebunan Sampali yang sedang diduduki masyarakat.

89

(47)

Sebagai akibat pengalokasian tanah untuk kepentingan swasta pada saat bersamaan pemerintah pun memerlukan pengadaan tanah terutama untuk memfasilitasi kebutuhan swasta menyangkut pembangunan infrastruktur. Hal ini telah mendorong terjadinya kasus tanah antara masyarakat dengan pemerintah. Sementara masyarakat itu sendiri akibat alasan ekonominya sangat membutuhkan

raturan tersebut dalam mengakomodasikan t, sehingga banyak masyarakat

ompok suku, agama, ras dan adat istiadat maupun unsur

odal

tanah untuk dapat bertahan hidup meskipun harus mengambil tanah-tanah negara yang belum jelas status haknya.

Fenomena ini kemudian memunculkan perbedaan tentang peraturan sebagai penyebab karena ketidakmmapuan pe

perlindungan hukum terhadap kepentingan masyaraka ang korban karena tanahnya digusur.

c. Faktor Sosial Budaya (Sosial and Culture Factor)

Faktor sosial budaya memerlukan penataan kembali (restrukturisasi) sesuai dengan nilai-nilai dan asas-asas kehidupan nasional yang kini disebarluaskan melalui pemasyrakatan Pancasila, sehingga setiap nilai dan unsur pemecah dapat dieleminir baik yang berbentuk isu kel

fe dan neofeodalisme. Kelompok-kelompok batas dibina sebagai sarana sosial menuju kesatuan bangsa.90

Berdasarkan pendapat tersebut, ternyata faktor sosial budaya juga dapat menimbulkan konflik di masyarakat khususnya masalah pertanahan karena nilai-nilai sosial dalam konsep pendekatan ini bisa saja mapan, bisa juga untuk sementara labil

90

Referensi

Dokumen terkait