Simulasi Pengaruh Zat Pengotor untuk Menentukan Tingkat
Kerawanan Suatu Unit dalam Kilang Berbasis Laju Korosi
Mitra Eviani
1, H. Husaini
2, Hary Devianto
*,21 KP3 Teknologi Gas, LEMIGAS, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
Jalan Ciledug Raya Kav. 109, Jakarta
2 Prodi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha No. 10, Kampus ITB, Bandung *Corresponding Author : [email protected]
Abstrak
Seiring dengan bertambahnya umur operasi, maka degradasi pada peralatan kilang dapat terjadi. Degradasi tersebut dapat menimbulkan kerusakan peralatan di masa mendatang. Kerusakan pada peralatan non-kritis dapat diatasi dengan mudah melalui prosedur pemeliharaan rutin. Namun, kerusakan pada peralatan kritis dapat menyebabkan shut-down dalam jangka waktu yang cukup lama dan kerugian ekonomis yang sangat besar. Tingkat kerawanan setiap peralatan ditentukan dengan menghitung laju korosi yang diperbolehkan menggunakan perhitungan dari Base Resource Document, API 581.
Salah satu alat utama di dalam kilang minyak adalah Crude Distillation Unit (CDU) yang memiliki fungsi untuk memecah crude oil menjadi hidrokarbon-hidrokarbon yang lebih ringan.. Sebelum dialirkan ke dalam fraksionator utama, umpan crude oil dilewatkan terlebih dahulu ke dalam desalter untuk dibersihkan dari garam-garam yang masih terlarut, serta dipanaskan di dalam beberapa alat penukar panas (heat exchanger) dan sebuah tanur (furnace). Dari kolom fraksionator utama, terdapat dua aliran side stream berupa light gas oil (LGO) dan heavy gas oil (HGO). Kedua aliran gas oil tersebut dicampur dengan rasio tertentu untuk dikirimkan ke unit storage dan HydroTreating Unit. Produk atas dari fraksionator utama dialirkan menuju kolom stabilizer dan sebuah splitter untuk pemisahan lebih lanjut antara gas-gas hidrokarbon ringan, naphtha, dan kerosene. Produk bawah dari kolom fraksionator utama berupa residu atmosferik dialirkan menuju unit selanjutnya, yaitu High Vacuum Unit (HVU).
Secara umum, jenis kerusakan yang umum terjadi pada peralatan di unit CDU dan HVU adalah dalam bentuk thinning (penipisan) dan cracking. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya mekanisme tersebut adalah adanya kandungan sulfur, H2O, dan Total Acid Number (TAN). Nilai
tekanan dan temperatur dari peralatan mempengaruhi kecepatan korosi sehingga dimungkinkan dalam komposisi fluida yang sama terjadi tingkat kerawanan yang berbeda. Untuk mekanisme Thinning (HCl Corrosion), kandungan Cl-, nilai pH dan temperatur merupakan parameter utama
yang mempengaruhi mekanisme korosi ini. Semakin tinggi temperatur, maka laju korosi akan semakin besar sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat kerawanan korosi dari peralatan. Untuk Thinning (Sour Water/Gas Corrosion) disebabkan oleh air yang mengandung hidrogen sulfida dan amonia, dan biasanya menjadi perhatian untuk baja karbon di atas pH netral. Hal ini disebabkan oleh NH4HS yang juga dikenal sebagai hidrosulfida amonium. Variabel utama yang mempengaruhi
sour water corrosion adalah NH4HS, water dan laju alir. Variabel sekunder adalah pH, sianida, dan
kandungan oksigen dalam air.
Perangkat lunak berbasis neraca massa dan energi digunakan untuk mensimulasikan komponen-komponen pengotor yang berperan di dalam proses korosi. Dengan terpetakannya semua jenis zat pengotor di dalam suatu unit proses, maka peta korosi dapat dibentuk dan dijadikan acuan untuk proses inspeksi dan pemeliharaan suatu kilang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan kandungan sulfur dari 3,26% hingga 9,01% (peningkatan sebesar 3 kali lipat), merupakan batas tertinggi tanpa merusak kolom CDU, namun sudah memberikan efek negatif yang sangat signifikan di kolom HVU.
1. Pendahuluan
Salah satu alat utama di dalam kilang minyak adalah Crude Distillation Unit (CDU) yang memiliki fungsi untuk memecah crude oil menjadi hidrokarbon-hidrokarbon yang lebih ringan.. Sebelum dialirkan ke dalam fraksionator utama, umpan crude oil dilewatkan terlebih dahulu ke dalam desalter untuk dibersihkan dari garam-garam yang masih terlarut, serta dipanaskan di dalam beberapa alat penukar panas (heat exchanger) dan sebuah tanur (furnace). Dari kolom fraksionator utama, terdapat dua aliran side stream berupa light gas oil (LGO) dan heavy gas oil (HGO). Kedua aliran gas oil tersebut dicampur dengan rasio tertentu untuk dikirimkan ke unit storage dan HydroTreating Unit. Produk atas dari fraksionator utama dialirkan menuju kolom stabilizer dan sebuah splitter untuk pemisahan lebih lanjut antara gas-gas hidrokarbon ringan, naphtha, dan kerosene. Produk bawah dari kolom fraksionator utama berupa residu atmosferik dialirkan menuju unit selanjutnya, yaitu High
Vacuum Unit (HVU).
Fenomena yang menjadi dasar di HVU adalah distilasi secara vakum, yaitu proses pemisahan secara fisis komponen-komponen yang terdapat dalam cairan tertentu dengan menggunakan energi panas sebagai energi pemisah, sehingga terjadi penguapan berdasarkan perbedaan rentang titik didih. Perlakuan distilasi secara vakum dimaksudkan untuk menghindari cracking dan polimerisasi dari produk. HVU memproduksi 3 fraksi distilat dan short residue melalui distilasi vakum. Tiga fraksi distilat meliputi spindle oil (SPO), light machine oil (LMO), dan medium machine oil (MMO) dan juga short residue diproses lebih lanjut untuk menghasilkan HVI lube oils.
Secara umum, jenis kerusakan yang umum terjadi pada peralatan di unit CDU dan HVU adalah dalam bentuk thinning (penipisan) dan cracking. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya mekanisme tersebut adalah adanya kandungan sulfur, H2O, dan Total Acid Number (TAN). Nilai tekanan dan
temperatur dari peralatan mempengaruhi kecepatan korosi sehingga dimungkinkan dalam komposisi fluida yang sama terjadi tingkat kerawanan yang berbeda. Untuk mekanisme Thinning (HCl
Corrosion), kandungan Cl-, nilai pH dan temperatur merupakan parameter utama yang mempengaruhi
mekanisme korosi ini. Semakin tinggi temperatur, maka laju korosi akan semakin besar sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat kerawanan korosi dari peralatan. Untuk Thinning (Sour
Water/Gas Corrosion) disebabkan oleh air yang mengandung hidrogen sulfida dan amonia, dan
biasanya menjadi perhatian untuk baja karbon di atas pH netral. Hal ini disebabkan oleh NH4HS yang
juga dikenal sebagai hidrosulfida amonium. Variabel utama yang mempengaruhi sour water corrosion adalah NH4HS, air, dan laju alir. Variabel sekunder adalah pH, sianida, dan kandungan oksigen dalam
air. Penelitian ini bertujuan untuk melihat batasan maksimum kandungan sulfur di dalam crude yang dapat ditolerir oleh CDU dan HVU. Ruang lingkup dibatasi dari kandungan sulfur terendah 3,26% hingga 9,01%.
2. Metodologi
Sebuah model simulasi dibangun berdasarkan data proses dan data histori dari CDU dan HVU. Model tersebut diverifikasi menggunakan data pengujian secara aktual. Selanjutnya dengan bantuan perangkat lunak berbasis neraca massa dan energi (HYSYS®)digunakan untuk mensimulasikan komponen-komponen pengotor yang berperan di dalam proses korosi. Perhitungan laju korosi dilakukan dengan algoritma sesuai dengan standar API BRD 581. Setiap peralatan utama dan sistem perpipaan dihitung laju korosinya dan dibandingkan dengan referensi. Dengan terpetakannya semua jenis zat pengotor di dalam suatu unit proses, maka peta korosi dapat dibentuk dan dijadikan acuan untuk proses inspeksi dan pemeliharaan suatu kilang. Secara garis besar, metodologi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Metodologi penelitian
3. Hasil Diskusi
Gambar 2 menunjukkan model simulasi CDU yang sudah diverifikasi dan layak untuk disimulasikan. Model tersebut menggambarkan peralatan utama dan sistem perpipaan yang berperan untuk menghitung komposisi zat pengotor, khususnya H2S.
Gambar 2. Model simulasi CDU
Hasil simulasi pada Gambar 3 menunjukkan terdapat perbedaan signifikan pada profil temperatur, profil tekanan, dan profil laju alir di dalam kolom utama CDU pada saat minyak bumi mengandung sulfur 3,26% (kiri) dibandingkan dengan sulfur 9,01% (kanan). Hal ini disebabkan karena karakteristik senyawa sulfur yang tidak hanya berada sebagai gas sulfida, namun dapat juga berperan sebagai ion sulfida di dalam air, dan sulfur organik di dalam minyak.
Gambar 3. Profil kolom CDU untuk kasus 3,26% sulfur (kiri) dan dengan 9,01% sulfur (kanan).
Penambahan 6% sulfur di sisi umpan (crude oil) berdampak kepada peningkatan sulfur hingga 50 kgmol/jam yang berakibat kepada penurunan laju alir molar H2S di sisi aliran produced water yang
korosif seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kandungan H2S di dalam aliran produced water fasa cair
Hal yang sama terjadi pada aliran produced water fasa gas, dimana kenaikan sulfur sebesar 50 kgmol/jam berdampak kepada peningkatan laju alir molar H2S sampai nilai tertinggi (25 kgmol/jam)
kemudian turun secara perlahan untuk setiap penambahan 5 kgmol/jam (Gambar 5). Fenomena ini terjadi karena pada konsentrasi rendah H2S cenderung terlepas dari fasa cair di aliran akuatik,
sehingga begitu memasuki flash drum 11-V-102, terjadi kecenderungan untuk lepas dari larutannya, namun pada konsentrasi yang tinggi, terjadi reaksi karena kelarutan jenuh di dalam air sudah tercapai. Konsekuensi utamanya adalah peningkatan laju alir H2S terhenti, dan kecenderungan penurunan laju
alir mulai terlihat.
Gambar 5. Kandungan H2S di dalam aliran produced water fasa gas
Perubahan komposisi H2S di dalam crude memberikan fenomena yang menarik, karena dominasi di
fasa akuatik relatif kecil, sehingga bisa dilihat pada Gambar 6, kolom utama CDU relatif didominasi oleh warna hijau yang menandakan kolom berada pada kondisi aman, kecuali pada bagian atas kolom, dimana uap air dan H2S dapat mengakibatkan proses korosi yang signifikan.
Gambar 6. Peta korosi untuk CDU
Model berikutnya dibuat untuk melihat pengaruh penambahan H2S di sisi residu yang merupakan
umpan HVU, seperti terlihat pada Gambar 7. Model ini ditambahkan karena dibutuhkan justifikasi, peningkatan kandungan sulfur tidak memberikan pengaruh signifikan di fasa akuatik yang berakibat tidak teramatinya kondisi rentan korosi di unit kolom utama CDU.
Gambar 7. Model simulasi HVU
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan sulfur di crude oil memberikan peningkatan laju alir sulfur organik secara linier, seperti terlihat pada Gambar 8. Hasil ini membuktikan hipotesis awal terkait kecenderungan kandungan sulfur yang tidak terdeteksi di CDU lebih dominan di HVU.
Gambar 8. Kandungan sulfur organik di dalam aliran residu yang korosif
G
ambar 9 menunjukkan peta korosi untuk kolom utama di HVU yang menyatakan bahwa pengaruh peningkatan kandungan sulfur menjadi sangat dominan di sisi residu. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan sulfur pada konsentrasi tinggi akan berada di fasa organik, dan relatif stabil ketika melewati kolom CDU. Sulfur organik tersebut baru mengalami dekomposisi ketika memasuki kolom distilasi di HVU.4. Kesimpulan
Pendekatan simulasi neraca massa dibantu perangkat lunak HYSYS® yang dikombinasikan dengan standar API BRD 581 untuk menghitung laju korosi memiliki potensi yang besar untuk memprediksi seberapa besar peningkatan sulfur yang dapat ditolerir oleh suatu kilang minyak. Untuk penelitian ini, peningkatan kandungan sulfur dari 3,26% hingga 9,01% (peningkatan sebesar 3 kali lipat), merupakan batas tertinggi tanpa merusak kolom CDU, namun sudah memberikan efek negatif yang sangat signifikan di kolom HVU.
Daftar Pustaka
Alvisi, P. P.; Lins, V. F. C. An Overview of Naphthenic Acid Corrosion in a Vacuum Distillation Plant. 2011. Engineering Failure Analysis vol. 18, issue 5, p. 1403-1406.
Benali, T.; Tondeur, D.; Jaubert, J. N. An Improved Crude Oil Atmospheric Distillation Process for Energy Integration: New Approach for Energy Saving by Use of Residual Heat. 2012. Applied
Thermal Engineering vol. 40, p. 132-144.
Gu, W.; Huang, Y.; Chen, Q. Comparative Analysis and Evaluation of Three Crude Oil Vacuum Distillation Processes for Process Selection. 2014. Energy vol. 76, p. 559-571.
Huang, B.S.; Yin, W. F.; Sang, D. H. Synergy Effect of Naphthenic Acid Corrosion and Sulfur Corrosion in Crude Oil Distillation Unit. 2012. Applied Surface Science vol. 259, p. 664-670.
Jones, D. S. J.; Pujado, P. R. Handbook of Petroleum Processing. 2006. Springer Science & Business Media.