BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN
1. Berbagai konsep dan metode dalam pendekatan psikoterapi dewasa ini memiliki padanannya dalam wejangan kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram, bahkan dalam membentuk rasa yang menjadi sehat atau pribadi yang menjadi sehat.
2. Kandha takon dengan ngudari reribet antara bangkokan (terapis) dan pelajar (klien) memiliki dasar psikoterapi yang ditawarkan kawruh jiwa. 3. Psikoterapi kawruh jiwa ini di samping bersifat dialog atau sharing antar individu yang disebutnya sebagai kandha takon interpersonal, yang dilakukan antara sang bangkokan (terapis) dengan sang pelajar (klien) dan sifat hubungannya egaliter tanpa merasa menjadi guru dan murid (sirnaning raos aku kowe). Psikoterapi kawruh jiwa ini juga bersifat introspektif dengan nyawang karep sebagai sarana dalam ngudari reribet sebagai proses terapeutis. Kandha takon intrapersonal ini bisa dikatakan sebagai self therapist. Artinya adalah bahwa terapi ini mampu digunakan untuk menterapi dirinya sendiri tanpa harus selalu tergantung kepada
bangkokan (istilah psikiologi dan kedokiteran yaitu psikolog atau psikiater)
sebagai terapisnya dalam memberikan kesembuhan berbagai persoalan batin, mental, pikiran dan persoalan hidup lainnya.
4. Dinamika pengalaman ngudari reribet dalam kawruh jiwa sebagai
pasinaon raos yaitu bagaimana memahami sifat kelima panca indera
manusia yang meliputi mata sebagai alat penglihatan, telinga sebagai alat pendengaran, hidung sebagai alat penciuman, lidah sebagai alat pencecap, dan tangan sebagai alat peraba. Kelima panca inderawi ini yang diiringi dengan pengalaman rasa hidup ini bertugas sebagai juru catat yang menangkap realitas inderawi yang kemudian membentuk catatan-catatan. Catatan-catatan ini bisa benar juga bisa salah (cathetan
leres lan cathetan lepat). Catatan yang benar yaitu catatan yang
menempatkan semat, drajat, kramat dan dzakar sebagai kebutuhan raga. Catatan semat, drajat, kramat sebagai kebutuhan raga yaitu menjalankan hidup bertindak sesuai dengan prinsip enam ”sa”, yaitu sabutuhe,
saperlune, sacukupe, sabenere, samesthine, sakepenake (sebutuhnya,
seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya dan seenaknya). Catatan dzakar sebagai kebutuhan raga yaitu menjalani rasa hidup untuk mendapatkan keturunan. Sementara catatan yang salah yaitu catatan yang menempatkan semat, drajat, kramat dan dzakar sebagai kebutuhan jiwa. Catatan semat, drajat, kramat sebagai kebutuhan jiwa yang terjadi
kecemplung gagasan (meri pambeg, ungkul-ungkulan, getun sumelang, tatu, slamuran) dan cenderung menabrak perasaan orang. Catatan dzakar
sebagai kebutuhan jiwa maka yang terjadi barencoh. Termasuk juga
Ketika catatan ini kena ketempelan karep kemudian catatan-catatan ini pengen diperhatikan atau direwes, ketika direwes catatan-catatan ini hidup berkembang dan kenyang kemudian tidur pules. Namun apabila catatan ini tidak direwes lagi alias diabaikan dan tidak diperhatikan kemudian catatan itu sekarat dan mati. Woh ing karep ini adalah langgeng
bungah susah dan wataknya mulur apabila tercapai keinginannya dan mungkret apabila tidak tercapai keinginannya.
Karep ini sifatnya njiyat dan lelakonnya bersifat gegayuhan ketika
berinteraksi dengan salumuhing bumi dan sakarubing langit yang bentuk interaksinya dengan orang dan benda. Karep ini apabila ketempelan ing
pikir dalam gegayuhannya menginginkan sesuatu yang wohnya
menyesuaikan dengan keadaan yang ada, nyata, logis dan masuk akal untuk bisa diraih. Dinamika internalnya yaitu dari catatan yang ditangkap oleh kelima panca inderawi ini membentuk potret (gambar) didalam pikiran (yang tidak nyata) dan apabila potret ini ketempelan karep maka potret (gambar) ini pengen direwes yang keinginannnya untuk diwujudkan dan apabila terwujud kemudian kenyang dan tidur pulas. Walaupun karep ini ketika tercapai senang dan susah yang silih berganti yang wataknya mulur
mungkret karena woh ing karep ini adalah langgeng bungah susah.
Apabila karep yang wohnya itu langgeng bungah susah dalam gegayuhan menginginkan sesuatu, ketika ketempelan ing pikir maka wohnya menggunakan cara yang logis, masuk akal dan menyesuaikan kemampuannya yang ada dan nyata.
Sementara karep apabila ketempelan ing gagasan pengennya
bungah sajege yang mengira seolah-olah apabila tercapai akan senang
selamanya dan apabila tertimpa kesulitan dan penderitaan akan mengira susah selamanya, pengandaian seperti ini cenderung kecemplung
gagasan dan lari dari kenyataan. Wataknya gagasan ini raos karep mulur
yang wohnya yaitu barang yang tidak nyata, tidak masuk akal dan menginginkannya dengan mengindahkan kaidah berpikir yang lurus. Dinamika internalnya yaitu karep ini yang wohnya itu langgeng bungah
susah dalam gegayuhan menginginkan sesuatu, ketika ketempelan gagasan maka wohnya karep mulur dan pengennya bungah sajege tanpa
mengindahkan kemampuan. Woh ing gagasan memahaminya dengan cara nyawang karep untuk ngudar-ngudari reribet dalam membedakan antara potret (gambar yang tidak nyata) dengan potret yang ketempelan
gagasan (gambar yang seolah-olah nyata)
Sampai kemudian kelima inderawi ini yang membentuk catatan dalam bentuk potret ini mampu udar dari berbagai karep yang ketempelan
gagasan. Kemudian kelima panca inderawi ini sifatnya kembali ke semula
yaitu mata ketika memandang hanya sekedar gambar, telinga ketika mendengar hanya sekedar bunyi, hidung ketika mencium hanya sekedar aroma, lidah ketika mencecap hanya sekedar cicip, tangan ketika memegang hanya sekedar peraba. Artinya kembali netral.
Wohnya dari ngudari reribet ini yaitu saiki kene ngene yo gelem,
sehingga catatan yang ada di dalam pikiran, suasana yang sedang menyelimuti perasaan dan berbagai hal yang menjadi keinginannya bisa berdamai dengan dirinya sendiri (raos tentrem).
5. Kawruh jiwa seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap rasanya sendiri. Metode yang digunakan adalah model pengalaman kawruh jiwa yang empirik eksperiensial dengan nyawang
karep yang bercorak weruh dewe, ngerti dewe dan krasa dewe yang
didasarkan pada pengalaman dan percobaannya dalam interaksinya dengan persepsi menanggapi rasanya sendiri terhadap rasanya orang lain di dalam rasanya sendiri dan interaksinya dengan persepsi menanggapi
gagasan rasa pikirannya sendiri.
6. Bentuk kumpul bersama membahas persoalan rasa yang dikembangkan dalam kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram adalah kegitan kandha-takon, yang di dalamnya merupakan dialog antar peserta pelajar kawruh jiwa sebagai sarana mengutarakan persoalan (reribet) dalam memahami dan mengetahui asal mula suatu permasalahan.
Kandha-takon ini merupakan bentuk dialog dalam mencandra rasanya
masing-masing yang meliputi dimensi interpersonal yaitu bagaimana mencandra persepsi rasanya dirinya sendiri dalam bentuk sharing antar peserta. Berikutnya, dimensi intrapersonal yang meliputi bagaiamana memahami persepsi menaggapi rasanya sendiri terhadap rasanya orang lain di dalam rasanya sendiri dan bagaimana memahami persepsi
menanggapi gagasan rasa pikirannya sendiri dalam bentuk nyawang
karep yang istilah lainnya adalah introspeksi. Kondisi dalam kandha-takonnya bersifat luluh (istilah kawruh jiwanya: sirnaning raos aku-kowe)
dan relasinya egaliter yang berarti tanpa merasa menjadi guru dan murid, karena guru, muridnya pribadi dan murid, gurunya pribadi. Mencandra rasa dalam kegiatan kandha-takon ini adalah bagaimana seseorang memahami dan menyadari rasa yang ada di dalam pikiran (bentuknya
gagasan), keinginan (karep), tubuh dan rasa yang ada di dalam rasa. Tujuannya adalah melatih kepekaan dan keberanian melihat diri sendiri secara nyata apa adanya dan mampu memilah-milahnya.
7. Metode yang dikembangkan adalah bagaimana meneliti dan
menelusuri sebab-sebab yang menjadi kesulitannya. Kemudian
bagaimana cara memilah-milah dalam menyelesaikan persoalan (ngudari
reribet). Metodenya dengan cara nyocokaken raos (mencocokkan rasa).
a. Apabila permasalahnnya itu menyangkut ada pada rasa dirinya orang lain (interpersonal) maka cara kandha-takonnya dengan njujug raos
(njujug raosipun tiyang sanes sejatine njujug raosipun piyambak) yang
tujuannya langsung mengena hingga sampai pada rasanya (dumugi
raos-raosipun) seseorang pada saat menceritakan pengalaman reribetnya
dengan persoalan rasanya. Caranya dengan menggiring rasa seseorang dengan reribetnya agar dirinya weruh, ngerti dan krasa dewe dengan persoalan yang sedang dihadapi dan membenarkan secara nyata adanya persoalan tersebut dengan segala ketidaknyamanan rasanya, karena
sudah sesuai dan cocok dengan sebab dan kejadiannya (sebab
kedadosan). Hal ini dipahami agar seseorang bisa berdamai dengan
permasalahannya dan bisa menerima secara sadar keadaan yang sedang dialaminya dengan sepenuh hati tanpa kuasa untuk memiliki pilihan yang lain (saiki, kene, ngene yo gelem).
b. 1). Apabila permasalahnya itu menyangkut rasanya sendiri dengan rasanya orang lain di dalam rasanya sendiri (intrapersonal) maka caranya yaitu bagaimana nyawang karep untuk nyocokaken raos sami
awakipun piyambak (raos ungkul-ungkulane raos meri pambegan, rumaos leres, raos kosok wangsul) dengan raos tiyang sanes (raos ungkul-ungkulane raos meri pambegan, rumaos leres, raos kosok wangsul)
mengenai semat, drajat, kramat yang sifatnya sewenang-wenang. Caranya dengan menelusuri dan memilah-milah yang menjadi sebab kesulitannya yaitu yang mana kondisi rasanya sendiri dengan memilahkan yang mana kondisi rasanya orang lain dengan membenarkan kesesuaian dan kecocokan adanya peristiwa dengan alur sebab dan kejadiannya (sebab kedadosan). Ketika raos saminya sudah bisa dipahami dan dirasakan, kemudian bisa menerima secara sadar keadaan tersebut dengan sepenuh hati tanpa kuasa untuk memiliki pilihan yang lain (saiki,
kene ngene yo gelem).
b. 2). Apabila permasalahnya itu menyangkut gagasan rasa pikirannya sendiri (intrapersonal) caranya yaitu bagaimana nyawang karep pada gagasan rasa pikiran sendiri yang tidak nyata (ilusi masa silam yang
bentuknya raos getun dengan cathetan tatunya dan kecemplung gagasan
cilaka getun, dan delusi masa depan yang bentuknya raos sumelang
dengan kecemplung gagasan cilaka magang) dengan meneliti dan menelusuri sebab-sebab timbulnya gagasan dengan cara nyocokaken
raos pada kondisi pikirannya ”yang nyata” saat ini dan bisa menerima
secara sadar keadaan dengan sepenuh hati tanpa kuasa untuk memiliki pilihan yang lain (saiki, kene, ngene yo gelem).
Dengan demikian, kemudian cara ngudari reribet dengan
nyocokaken raos melalui njujug raos. Baik itu secara interpersonal yang
bentuknya kandha-takon maupun secara intrapersonal yang bentuknya
nyawang karep dengan mencandra rasanya sendiri dengan cara
mencandra rasanya orang lain di dalam rasanya sendiri dan mencandra
gagasan rasa pikirannya sendirimelalui kandha-takon untuk menemukan solusi ini disebut dengan mawas diri. Mawas diri melalui kandha-takon inilah yang menjadi sebuah konsep psikoterapi kawruh jiwa yang berbasiskan rasa.
8. Pendekatan kawruh jiwa mawas diri dengan kandha takon melalui
nyawang karep untuk nyocokaken raos dalam ngudari reribetnya sebagai
jalan psikoterapi kawruh jiwa yang tujuannya untuk terciptanya kondisi harmoni di antara raga (yang di dalamnya ada rasa karep), manah (yang di dalamnya ada kraos), dan pikir (yang di dalamnya ada gagasan). Model psikoterapinya untuk menerima secara penuh dan sadar (rewes nggeleng) sebab dan kejadian “yang nyata” dari sebuah peristiwa yang dialami
sedang berlangsung tanpa kuasa untuk memiliki pilihan yang lain (saiki,
kene, ngene yo gelem). Tujuannya agar sang kramadangsa ini tabirnya
terbuka (Aku Weruh) untuk menyingkapkan dirinya dengan sendirinya dalam wujud manusia tanpa ciri (manungsa tanpa tenger) agar rasa ke-aku-an dan gagasan dari barang yang “tidak nyata” yang nempel pada
karamadangsa tereliminir dan tercerahkan dengan sendirinya yang
mewujud sebagai pribadi yang sehat, enak, damai, tentram, tabah dan bahagia.
9. Kawruh jiwa mawas diri melalui nyawang karep dengan jalan
kandha-takon untuk nyocokaken raos dalam ngudari reribet sebagai
sebuah psikoterapi kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram ini pemahamannya untuk menjembatani gap (celah atau jurang), (bahasa
kawruh jiwa menyebutnya raos kosok wangsul, psikoanalisis Freud
menyebutnya dualitas cinta dan benci yang menjadi cikal bakal teori ambivalensi) antara yang bersifat konseptual dengan yang bersifat praktek keseharian. Dengan demikian berarti adanya pemahaman untuk menjembatani gap dengan cara mengafirmasi (affirmation) menuju kongruensi (congruent), yang dalam bahasa kawruh jiwanya menyebutnya
luluh (sirnaning raos aku-kowe) antara yang konseptul teoritik versus yang
empirik eksperiensial, teori Vs praktek, conscious Vs unconscious, masa lalu Vs masa depan, demen Vs sengit, raos getun Vs raos sumelang, yang diinginkan Vs yang terjadi, kudune Vs nyatane, baik Vs buruk, benar Vs salah, raos beja Vs raos cilaka, dan sebagainya. Dengan memahami gap
ini, sehingga rasa bisa lebih tenteram dan berdamai dengan dirinya dan rasa bisa menjadi lebih sehat dan selalu memfokuskannya pada saiki,
kene, ngene yo gelem yang telah sesuai dengan alur sebab kedadosan
(sebab dan kejadian) dari sebuah kasunyatan (kenyataan) yang ada. 10. Kandha takon melalui nyawang karep untuk nyocokaken raos dalam ngudari reribet sebagai proses mawas diri yang menjadi sebuah Psikoterapi Kawruh Jiwa KI Ageng Suryomentaram. Psikoterapinya terletak pada kemampun individu dalam ngudari reribet rasanya sendiri dan rasanya orang lain sebagai proses terapeutik dalam mencandra dan memecahkan berbagai persoalan.
B. SARAN
1. Bersifat Teoritis
Penelitian ini mengambil Responden dari komunitas pelajar kawruh
jiwa yang turun temurun memahami dan menerapkan kawruh jiwanya.
Bagi peneliti bisa juga dikombinasi dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan alat ukur dengan cara merumuskan aspek-aspek ngudari
reribet sebagai bagian dari mawas diri. Bisa juga membandingkan dengan
model pendekatan psikoterapi Barat dewasa ini. Apabila berminat dengan kajian Hermeneutika bisa juga membandingkannya dengan teks misalnya dari tokoh negeri sendiri, yaitu teks Sasangka Jati Soenarto yang sudah dikembangkan oleh Soemantri Hardjoprakoso dengan Candra Jiwanya. Bisa juga yang berbasiskan Psikologi Budhism yang kemudian berkembang menjadi Zen Meditation, Naikan dan Morita Therapy. Kemudian, bisa juga membandingkan dengan teks Krisnamurti. Selanjutnya yang berbasiskan psikologi agama khususnya yang berkaitan dengan tasawuf Islam misalnya dalam teks Ihya‟ Ulumuddin Al Ghazali khususnya bab Ajaibul Qulub, Kimyatusy Sya'adah dan bab Ikhlas. Teks tasawuf karya Ibnu Athaillah Al Sakandari, teks tasawuf karya Al Harits Al Muhasibi, teks tasawuf karya Ibnu Arabi. Tujuannya untuk melihat seperti apa dinamika psikologisnya dalam memahami persepsi keinginan, pikiran, gagasan dan perasaan yang kemudian diarahkan pada ngudari reribet sebagai sebuah psikoterapi yang menjadi konsep berpikir.
2. Bersifat Praktis
Pada dasarnya manusia itu berani menghadapi penderitaan, kepahitan, dan kegetiran hidup yang disebabkan paham dan mengertinya karakteristik rasa senang dan rasa susah yang silih berganti dan tidak selamanya. Keinginan adalah bersifat abadi, dan menjalani hidup tidak ada yang perlu dikhawatirkan sebab dalam hidup ini tidak ada yang pantas dicari, dihindari, ataupun ditolak secara mati-matian. Apabila ada sesuatu hasrat dan harapan yang dianggapnya penting, urgen, berharga, berguna bagi diri, namun belum mampu untuk diraih, ataupun sesuatu hal yang dianggap luka batin, kegagalan, kepahitan, kegetiran, kekecewaan masa silam dan kini atau hal-hal yang tidak disukai menghampiri dalam hidup, tidak perlu menjadi amat bersedih, menyesal, frustrasi, atau bahkan bertindak melampaui batas dengan menganiaya diri, bahkan sampai bunuh diri. Karena tidak ada kegembiraan yang terus-menerus, namun juga tidak ada kesedihan yang terus-menerus, keduanya silih berganti. Jadi dalam hidup ini tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan. Pemahaman tersebut akan sangat efektif untuk membesarkan hati pihak yang sedang tertimpa kesusahan berat, karena ia mengetahui bahwa kesusahannyapun tidak akan berkepanjangan dan tidak akan selamanya.