The Devilish
Mr. Danvers
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
The Devilish
Mr. Danvers
Serial The rakeS of fallow hall
VIVIENNE LORRET
THE DEVILISH MR. DANVERS
Published by arrangement with Avon Impulse, an imprint of HarperCollins Publishers.
Copyright © 2015 by Vivienne Lorret All rights reserved.
Si Bengis Mr. Danvers
Alih bahasa: Debbie Hendrawan Hak Cipta Terjemahan Indonesia Penerbit PT Elex Media Komputindo Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh tahun 2017 oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
717031023
ISBN: 978-602-04-2776-8
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan seba-gian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Untuk teman lama dan baru—
Kalian memiliki kemampuan yang aneh untuk muncul begitu saja dalam kehidupanku pada momen
yang sempurna. Aku sangat menyayangi kalian.
BaB Satu
H
edley Sinclair menggosok-gosokkan kedua ta-ngannya yang membeku kuat-kuat. Lubang-lubang di sarung tangan anak-anaknya yang usang ter-sangkut, meregang sedikit demi sedikit. Tak tertolong lagi. Sebagian besar baju bekas kakaknya sudah usang saat ini. Gaun tipis merah muda ini dulunya dihiasi se-deretan bunga mawar cantik, tapi sudah lama hiasan itu lenyap. Petikotnya kumal karena sudah terlalu sering dicuci dan tipis karena sering diperbaiki. Stokingnya ha-nya akan terasa hangat kalau dipakai berlapis empat.Di balik dua helai syal wolnya, Hedley menggi gil. Giginya gemeletuk. Sudah enam tahun kakaknya meni-kah dan berlayar ke Amerika bersama suaminya. Enam tahun sejak terakhir kalinya Hedley menerima baju-baju bekas atau isi lemari pakaian lainnya. Hampir selama enam tahun itu pula ia terkurung di ruangannya di lo-teng. Bukannya terlupakan, tapi tak terlihat.
Kini semua itu menjadi masa lalu. Ia mewarisi Grey-son Park. Dinding-dinding yang mengelilinginya ini
Vivienne Lorret
2
adalah miliknya, dan tak seorang pun akan mengucil-kannya lagi.
Lagi pula, mungkin Ibu berharap Hedley akan mati membeku, atau kelaparan. Walaupun sebaliknya, setelah melihat rumah ini untuk pertama kalinya dua hari yang lalu, Hedley menyadari ada kemungkinan besar atap reyot itu yang akan menguburnya hidup-hidup.
Berdiri di ruang tamu, Hedley memandang sekilas ke langit-langit. Bongkahan besar plester yang hilang mem-perlihatkan palang di bawahnya. Di tempat-tempat ter-tentu, dan dengan sinar matahari pagi yang menyusup lewat kaca-kaca jendela yang kusam, ia dapat melihat ruangan di lantai atas.
Sekalipun begitu, Greyson Park adalah milik nya. Pe-mikiran itu membuat bibirnya yang membeku ter-senyum. Pengacara keluarga mereka memberitahukan warisannya itu beberapa minggu setelah kematian Ka-kek, dan berarti itu hampir dua bulan yang lalu. Dari tanggapan Ibu yang dipenuhi amarah, Hedley tidak se-harusnya mengetahui hal itu.
Ketika tiba waktunya ia harus pergi, mereka tidak saling mengucapkan kata-kata perpisahan. Akan tetapi, pengacara itu menyampaikan kabar yang “kurang me-nyenangkan” bahwa Hedley tidak akan diberi uang saku, tanpa pelayan, dan tanpa pengawalan dalam menempuh perjalanan sejauh tiga puluh dua kilometer dengan ber-jalan kaki. Itu bukan masalah bagi Hedley. Apa yang dibutuhkannya ada di sini—rumahnya sendiri. Dan sekarang karena sudah berada di sini, ia bertekad bulat untuk melakukan yang terbaik.
The Devilish Mr. Danvers 3 Memikirkan itu, Hedley membuka kotak kuningan kusam di dekat perapian. Hanya ada sepotong bundar kecil kain arang, dan potongan batu apinya tidak lebih besar daripada sepotong keratan. Ia berharap itu akan cukup.
Sambil berlutut, ia meletakkan kotak itu ke langkan perapian dan membungkuk untuk menghalangi tiupan angin dingin yang masuk lewat cerobong asap. Serangan dahsyat terakhir musim dingin, yang datang pada akhir Maret, memang mengerikan. Dengan besi di tangan, ia menggosokkan batu api ke kain dan—
Serpihan yang tajam menembus sarung tangannya. Tangannya tersentak ke belakang. Seketika, sebuah garis darah tipis muncul di buku jarinya. Sambil menempel-kan luka itu ke bibirnya, matanya menyipit ke arah batu api itu. Benda itu patah menjadi dua. “Cakar Lucifer!”
Makian favorit almarhum kakeknya tidak mem-bantu, tapi dengan mengucapkannya membuat perasaan Hedley menjadi lebih baik.
Ia mencoba lagi, menggoreskan batu api itu ke besi. Dan lagi. “Kalau tidak mau menyala juga, akan ku ... kulemparkan kau ke pispot. Tak ada ucapan terima ka-sih untukmu. Oh, tidak. Sebaliknya, kau akan berakhir sebagai—”
Sebuah nyala kecil muncul. Tak lebih dari setitik warna jingga. Tapi tetap saja, itu adalah sesuatu.
Mengerucutkan bibirnya, Hedley meniup nyala itu sehingga makin besar. Cepat-cepat, ia menyalakan sebatang kayu kecil dan melemparkannya ke bongka-han kayu di perapian. Setelah beberapa saat berusaha
Vivienne Lorret
4
membesarkan nyala api, potongan-potongan dahan ke-ring mulai berkobar.
Hedley duduk menegakkan tubuh di atas tumitnya sambil menghela napas lega. Api yang baru menyala itu sudah mulai menghangatkan kedua pipinya. Karena itu adalah potongan batu apinya yang terakhir sebelum si pengurus rumah, Mr. Tims, kembali dalam satu hari atau lebih, Hedley harus lebih berhati-hati. Malam ini, ia harus ingat untuk meletakkan pelindung di atas arang di dapur agar arang yang menyala itu tidak mati.
Ia berdiri dan bersenandung, menggosok-gosokkan tangannya, dan menaruh alat pengatur api ke atas ko-tak kuningan. Lalu, ia menuju ke koko-tak penyimpanan kayu dan langkahnya terhenti seketika. Kotak itu kosong melompong. Kalau ia tidak segera menambahkan kayu ke perapian, ia sama sekali tidak akan punya api.
Hanya ada dirinya sendiri yang bisa dipersalahkan-nya. Ia membakar terlalu banyak kayu kemarin, beru-saha agar tetap hangat. Tiupan angin dingin mengembus lewat bebatuan kelabu di bagian depan Greyson Park. Tak lama berselang, kabut pun turun dan menyelimuti. Kalau melihat awan-awan kelabu gelap di luar jendela, hari ini tidaklah lebih baik.
Terbiasa mengandalkan dirinya sendiri, Hedley meng-angkat salah satu syal dari bahunya dan menutupkannya ke kepala. Setelah mengikatkan kain-kain itu di lehernya seperti seorang wanita tua yang kecil, ia menyeberangi rumah dan keluar dari dapur.
Gerimis rintik-rintik menyambutnya. Sesungguh-nya, hujan itu terasa lebih seperti serpihan kaca tajam yang membeku. Dan juga, jalur tanah liat keras
menu-The Devilish Mr. Danvers 5 ju tumpukan kayu itu licin, tertutup oleh lembaran-lem baran es yang halus dan mengilat. Sol sepatunya tergelincir di tanah yang tidak rata. Kabut yang setebal bantal menghalangi pandangannya ke arah semak-se-mak, pepohonan, dan garis-garis luar bangunan. Namun ia tidak memedulikannya. Tidak dapat melihat bayang-an rumah kereta terasa menenbayang-angkbayang-an saraf-sarafnya. Malah, hanya dengan membayangkannya saja dirinya bergidik ngeri, membuatnya bersyukur karena hidup terpisah dari orang-orang yang mengetahui rahasianya yang memalukan.
Seekor anjing melolong, mengejutkan Hedley dari semua lamunannya. Lolongan muram yang kedengaran-nya dari jarak dekat itu membuatkedengaran-nya terkesiap. Ia hakedengaran-nya berharap hewan itu bersahabat.
“Boris!” Suara seorang pria segera mengikuti lolongan
kedua. Suara itu menggema di sekeliling Hedley, mem-buatnya tidak bisa memperkirakan dari mana asalnya.
“Ke sini, dasar anjing bodoh!”
Walaupun kata-kata itu kasar, nadanya tidaklah demikian. Kata-kata itu bernada geli yang rasanya tidak asing di telinganya.
Walaupun dirinya selalu memiliki kepekaan terha-dap suara, Hedley cepat-cepat menggeleng tak setuju pada dirinya. Tidak mungkin dia. Sudah enam tahun ia tidak pernah mendengar suara itu. Otaknya jelas telah menipunya. Mungkin bagaimanapun ibunya benar, dan Hedley adalah si gila dalam keluarga.
Sebuah bayangan berkelebat di depannya, ramping dan kelabu, diikuti bunyi derap teratur dari kaki berca-kar di tanah yang tertutup salju.