• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN. A. Profil Responden Berdasarkan Variabel yang Diteliti. Pada tabel 4.1 terdapat 95 responden achiever dan 97 responden

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PEMBAHASAN. A. Profil Responden Berdasarkan Variabel yang Diteliti. Pada tabel 4.1 terdapat 95 responden achiever dan 97 responden"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB V

PEMBAHASAN

A. Profil Responden Berdasarkan Variabel yang Diteliti

Pada tabel 4.1 terdapat 95 responden achiever dan 97 responden

underachiever. Kriteria underachievement sendiri bukan merupakan suatu hal

yang mudah dan terdapat berbagai argumentasi mengenai hal ini. Dalam Reis dan McCoach (2010), penentuan oleh beberapa ahli dapat dengan menggunakan skor kecerdasan intelektual (IQ), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), ataupun skor persentil prestasi. Satu hal yang pasti adalah penentuan

underachievement harus mengacu pada definisi kata tersebut, yaitu

kesenjangan antara kemampuan (ability) dan prestasi (achievement). Sampai sekarang, para peneliti yang menilai persepsi mahasiswa kedokteran menggunakan nilai ujian ataupun IPK sebagai acuan prestasi/performa akademis.

Oleh karena penentuan achievement pada penelitian yang mengevaluasi lingkungan belajar pendidikan dokter mengacu pada nilai, penting untuk mengevaluasi apakah ujian yang dilakukan benar-benar mengevaluasi belajar mahasiswa. Nilai ujian bertujuan untuk memprediksi apakah mahasiswa kompeten dalam suatu bidang dan oleh karenanya harus dapat menghilangkan hasil negatif palsu atau positif palsu. Dengan kata lain, ujian yang diberikan harus valid dan reliabel. Selain itu, kompetensi terutama untuk mahasiswa

(2)

kedokteran sangatlah spesifik. Mahasiswa yang berhasil pada suatu area belum tentu kompeten pada area lain karena konten ilmu kedokteran sangat luas dan beragam. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan ujian tertulis dengan pilihan ganda, namun kenyataan ini menjadi kendala pada metode simulasi atau Objective Structured Clinical Examinations (OSCE). Pada metode ini, skenario kasus pendek tidak efisien dalam menilai luas pengetahuan mahasiswa. Selain itu, faktor lain (misalnya penguji OSCE) juga memengaruhi nilai akademis mahasiswa (Van der Vleuten, 2000).

Terlepas dari penentuan underachievement, adanya kelompok mahasiswa yang tidak lulus mata kuliah di Program Studi Kedokteran FK UNS menjadi tantangan bagi program studi untuk meningkatkan mutu akademis mahasiswa. Ada banyak faktor yang memengaruhi performa akademis seorang mahasiswa. Lingkungan belajar merupakan salah satu faktor eksternal yaitu faktor lingkungan sosial. Faktor internal (fisik dan psikis), faktor pendekatan belajar, dan faktor eksternal lainnya (lingkungan sosial dan non sosial) perlu dipertimbangkan dalam membentuk performa akademis mahasiswa (Walgito, 2004).

Ali et al. (2013) menemukan bahwa umur, tingkat sosial-ekonomi, dan jam belajar berpengaruh signifikan terhadap nilai mahasiswa. Sementara itu, dengan menyadur penelitian Hassan et al. (2012), ada setidaknya tujuh faktor yang memengaruhi pendekatan belajar yang pada akhirnya menentukan nilai mahasiswa: 1) sikap sebelum dan sesudah pembelajaran, 2) strategi yang digunakan untuk memahami materi pembelajaran, 3) seberapa penting materi

(3)

pembelajaran 4) ukuran kelas dan kondisinya, 5) usaha di luar kelas, 6) kenyamanan kelas, dan 7) seberapa penting untuk menyimak materi yang disampaikan.

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada masing-masing kelompok performa akademis, jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki (70,63% pada kelompok achiever dan 65,98% pada kelompok underachiever). Pada populasi target yaitu mahasiswa Program Studi Kedokteran semester tujuh, jumlah perempuan memang lebih banyak daripada laki-laki (143 orang dari total 214 mahasiswa). Penelitian yang dilakukan Abraham et al. (2008) juga menemukan bahwa jumlah perempuan pada masing-masing kelompok sedikit lebih banyak. Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya masih memperdebatkan apakah jenis kelamin memengaruhi performa akademis (Dayioğlu dan Türüt-Aşik, 2007). Menurut Ghazvini dan Khajehpou (2011) perempuan mengungguli laki-laki dalam fungsi kognitif-motivasional sehingga lebih adaptif dalam melakukan pendekatan belajar. Namun studi meta-analisis yang dilakukan Irwing dan Lynn (2005) mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan.

B. Persepsi Lingkungan Belajar Achiever dan Underachiever

Perhatian untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada institusi pendidikan kesehatan saat ini mengarah pada persepsi mahasiswa mengenai lingkungan belajar (Roff, 2005). Dundee Ready Educational Environment

(4)

menganalisis lingkungan belajar mahasiswa profesi kesehatan (Kohli dan Dhaliwal, 2013). DREEM dinyatakan tidak spesifik terhadap budaya tertentu dan telah dialihbahasakan ke lebih dari 20 negara (Miles et al., 2012; Jakobsson et al., 2011).

Pada penelitian ini, peneliti mengalihbahasakan 50 item DREEM ke dalam bahasa Indonesia untuk mengukur lingkungan belajar program studi kedokteran. Dari lima puluh item DREEM, terdapat tujuh belas item yang tidak valid. Penelitian Khan et al. (2011) juga memodifikasi DREEM dan menemukan bahwa perbedaan kultural memengaruhi penerimaan responden terhadap item-item DREEM. Kenyataan ini kurang sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan menjadi tantangan terhadap pernyataan bahwa DREEM merupakan instrumen yang secara umum non kultural (Roff, 2005; Varma et al., 2005; Ayed dan Sheik, 2008).

Persepsi kedua kelompok mengenai lingkungan belajar adalah cenderung positif. Sedangkan jika dilihat per item DREEM, kedua kelompok reponden menilai item-item yang akan dijelaskan berikut ini sebagai area bermasalah (skor rata-rata kurang dari dua) dan karenanya memerlukan perbaikan segera. Pada aspek kegiatan belajar, kedua kelompok merasa waktu pembelajaran kurang efektif. Menurut Kaufman (2010), pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang mengidentifikasi pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa sebelumnya (prior knowledge) kemudian memberikan kesempatan atau tantangan untuk mengembangkannya lebih jauh lagi, misalnya memberikan tugas yang tidak dapat diselesaikan sendirian. Dengan demikian,

(5)

mahasiswa yang telah memiliki pengetahuan yang mumpuni dan lebih aktif (experts) akan menemukan pendekatan baru untuk memecahkan masalah tersebut dan memacu mahasiswa lain yang pengetahuannya kurang dan lebih pasif (novices) untuk mengambil peran dalam tugas tersebut. Maka, mahasiswa dengan pengetahuan kurang akan mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya lalu lama-kelamaan akan mampu memecahkan masalah sendiri dengan bimbingan minimal.

Sementara itu, pada aspek persepsi akademis diri -kedua kelompok merasa tidak dapat mengingat semua yang dibutuhkan. Menurut Davis dan Harden (1999), salah satu kriteria kurikulum yang baik untuk pendidikan kedokteran adalah keterkaitan (relevansi) konten pembelajaran dengan masalah-masalah klinis yang umum. Materi yang terlalu luas akan membuat mahasiswa kewalahan atau bahkan tidak memahami inti dari materi tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan mengembangkan materi yang berhubungan dengan masalah-masalah klinis umum yang sering dihadapi ketika mahasiswa menjadi dokter, menghilangkan materi yang tidak berhubungan (irrelevant) dan ketinggalan jaman (outdated). Selain itu, menurut Cruess dan Cruess (2010) pendidikan dokter harus dilakukan sedemikian rupa sehingga semua mahasiswa memiliki kesempatan mendapatkan pengalaman sungguhan dan/atau simulasi untuk mengasah nilai-nilai profesionalisme. Dengan pengalaman yang banyak dan simulasi yang terus-menerus, mahasiswa akan lebih mudah mengingat hal-hal penting yang menyangkut profesinya sebagai dokter (Newble dan Cannon, 2002).

(6)

Lingkungan atmosfir belajar masih bermasalah dalam hal perilaku mencontek. Kedua kelompok responden menilai mencontek masih merupakan masalah dalam kegiatan belajar. Mencontek yang dimaksud tidak hanya pada saat ujian, namun juga pada saat menyelesaikan tugas harian, misalnya tugas diskusi tutorial ataupun praktikum. Menurut Halonen dan Santrock (2012), perilaku mencontek sering ditemukan pada level pendidikan tinggi. Sering perilaku ini disebabkan oleh perasaan ingin sukses. Mahasiswa sering kewalahan dengan tugas-tugas sehingga tidak menemukan jalan lain selain mencontek. Upaya mencontek yang berhasil memberikan nilai yang lebih baik dengan usaha yang sedikit dan pada akhirnya akan membuat mahasiswa cenderung mengulang upaya tersebut. Gaya mencontek dapat dipengaruhi oleh karakteristik pengawas ujian/dosen. Apabila pengawas ujian/dosen dinilai tidak memahami teknologi maka penggunaan teknologi komunikasi (ponsel) dan internet dipilih mahasiswa untuk mengurangi kemungkinan ketahuan. Karakter lain yang memengaruhi adalah bagaimana sikap pengawas ujian/dosen dalam menangani kejadian mencontek. Pengawas ujian/dosen yang gagal menghukum perilaku mencontek dapat berperan dalam mengembangkan perilaku ini sebagai perilaku normatif (Anderman dan Murdock, 2011). Mengetahui gaya mencontek mahasiswa menjadi dasar untuk mengembangkan dan mengimplementasikan strategi untuk melawan perilaku ini. Untuk menghilangkan perilaku mencontek lewat internet misalnya, dosen sebaiknya memberikan tugas yang tidak “klise” sehingga kemungkinan kecil terdapat di internet. Hal ini dapat dilakukan misalnya

(7)

dengan membuat skenario blok yang berbeda-beda tiap tahun untuk diskusi tutorial. Selain itu, penting untuk menunjukkan kepada mahasiswa bahwa perilaku mencontek tidak dapat diterima, perilaku tersebut memberikan konsekuensi hukuman, dan hal yang paling utama adalah proses belajar, bukan nilai pada suatu tugas.

Aspek sosial yang bermasalah adalah ketiadaan sistem pendukung untuk mahasiswa dengan hambatan belajar dan perkuliahan yang membosankan. Sistem pendukung untuk mahasiswa dengan hambatan belajar penting untuk membantu mengembangkan kedewasaan dan kebiasaan belajar efektif mahasiswa yang dapat bertahan sampai tahap kehidupan karir mahasiswa tersebut (Evans dan Brown, 2010). Juga menurut Evans dan Brown (2010), masing-masing mahasiswa pada umumnya memiliki lebih dari satu masalah dan hubungan antara masalah-masalah tersebut biasanya kompleks dan interdependen. Oleh karena itu, penting untuk memberikan dukungan yang bersifat individual dan holistik. Identifikasi mahasiswa yang terhambat belajarnya dapat dengan cara wawancara atau diskusi. Teknik ini sebaiknya dilakukan secara formal dan terfokus, namun santai. Teknik tersebut dapat menjadi kesempatan awal bagi mahasiswa untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapinya dalam pembelajaran. Wawancara atau diskusi yang dilakukan malahan sering menjadi intervensi itu sendiri, yaitu dengan membantu mahasiswa mencari penyebab performa akademis yang buruk dan strategi untuk mengatasinya.

(8)

Kebosanan selama perkuliahan dapat disebabkan kurangnya perhatian mahasiswa terhadap materi yang disampaikan. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi pada awal perkuliahan, memberikan stimulan audiovisual (misalnya video yang berhubungan dengan materi), atau memberikan kuis pada awal dan akhir perkuliahan untuk mengetahui seberapa jauh mahasiswa menyerap materi (Cantillon, 2010).

Kelompok underachiever menilai satu item lagi sebagai area bermasalah. Kelompok ini merasa kegiatan pembelajaran tidak dijadwalkan dengan baik. Penjadwalan kegiatan pembelajaran yang baik dapat diawali dengan melakukan apa yang disebut Steinert (2010) sebagai pengembangan fakultas. Pengembangan fakultas, disebut juga pengembangan staf (staff development), adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan institusi untuk memperbaharui atau membimbing staf-staf institusi tersebut sesuai dengan peran masing-masing. Terkait dengan pengaturan jadwal, maka yan paling berperan adalah staf KBK, Skills Lab, dan Field Lab. Pengembangan ini dapat dilakukan dengan pendekatan individual atau grup. Pendekatan individual dengan cara evaluasi berdasarkan pengalaman dan belajar dari rekan seprofesi dan mahasiswa. Sedangkan pendekatan kelompok dengan cara aktivitas pengembangan fakultas yang terstruktur (misalnya dengan workshop atau seminar rutin).

Perbedaan signifikan antara kedua kelompok terdapat pada item 28. Kelompok achiever merasa kemampuan pemecahan masalah (problem

(9)

solving) berkembang baik dibandingkan kelompok underachiever. Problem solving merupakan inti dari kurikulum pendidikan kedokteran yaitu Problem Based Learning (PBL). Penilaian prestasi mahasiswa dalam kurikulum PBL

dilakukan pada saat bersamaan dengan penggunaan kurikulum tersebut sebagai strategi belajar (Davis dan Harden, 1999). Artinya, mahasiswa dinilai ketika proses belajar di mana mahasiswa tersebut menggunakan kemampuan

problem solving, misalnya pada diskusi tutorial. Ujian tertulis dengan Multiple Choice Questions (MCQ) juga dibuat sebisa mungkin untuk menilai

pengetahuan sekaligus kemampuan problem solving mahasiswa, sehingga yang sering digunakan adalah skenario kasus (vignette). Mahasiswa dengan kemampuan problem solving yang baik akan mendapat nilai yang baik pula dan pada akhirnya berpengaruh pada nilai ujian akhir dan performa akademis (Wood, 2010).

Pada penelitian-penelitian sebelumnya, item-item yang memiliki perbedaan bermakna berbeda antara satu penelitian dengan yang lain. Hal ini didasari oleh lingkungan belajar yang yang menjadi lokasi penelitian berbeda serta faktor-faktor yang memengaruhi persepsi mahasiswa, yaitu kondisi fisik dan perhatian (Walgito, 2004; Mayya dan Roff, 2004; Abraham et al., 2008; Nahar et al, 2010; Dashputra et al., 2014). Selain itu, persepsi yang berbeda-beda dapat dipengaruhi oleh dasar pengalaman masing-masing individu. Menurut Boud dan Waker (1990) dasar pengalaman bersifat personal dan merupakan kumulasi dari pengalaman sebelumnya. Hal ini sebagian didapat dari faktor eksternal (lingkungan sosial dan kurtural), dan sebagian lagi dari

(10)

faktor internal (kesadaran dan usaha belajar). Dasar pengalaman ini terdiri dari prasangka (presuppositions) dan anggapan (assumptions) yang telah dikembangkan oleh mahasiswa pada masa lalu dan menuntun mahasiswa tersebut kepada pengalaman-pengalaman di masa datang. Reaksi berbeda yang diperlihatkan beberapa individu pada suatu kejadian sering memiliki latar belakang kultural dan personal dan, oleh sebab itu, tidak ada suatu kejadianpun yang dipersepsi sama oleh semua orang.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini masih memiliki beberapa kelemahan yang perlu diketahui, antara lain:

1. Variabel tidak terkontrol yang memengaruhi persepsi resonden, yaitu kondisi fisik dan gangguan perhatian, tidak diteliti. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu penelitian. Selain itu terdapat juga variabel perancu berupa budaya yang memengaruhi dasar pengalaman responden (Boud dan Walker, 1990).

2. Kuesioner bersifat self administrated. Hal ini menyebabkan tidak adanya kontrol terhadap kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan. Pengisian identitas menjadikan responden tidak berani menjawab pertanyaan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Namun, hal ini telah diminimalisasi dengan menyertakan penjelasan akan kerahasiaan identitas responden. Selain itu, pengisian tanpa didampingi oleh peneliti menyebabkan responden tidak dapat menanyakan pertanyaan yang

(11)

dianggap membingungkan sehingga menjawab pertanyaan tersebut dengan asal-asalan (Kasnodiharjo, 1993). Hal ini diatasi dengan penyusunan kalimat-kalimat pertanyaan yang diusahakan semudah mungkin setelah konsultasi dengan pakar dan pemberian waktu yang cukup lama.

Gambar

Tabel  4.2  menunjukkan  bahwa  pada  masing-masing  kelompok  performa  akademis,  jumlah  perempuan  lebih  banyak  daripada  laki-laki  (70,63%  pada  kelompok  achiever  dan  65,98%  pada  kelompok  underachiever)

Referensi

Dokumen terkait

SCA adalah merupakan salah satu perangkat akuisisi data tomografi, oleh karena pada sistem TK transmisi-emisi menggunakan dua sumber radiasi yaitu sumber radiasi

Tegangan keluaran realisasi Dari hasil simulasi komputasi dan realisasi dilaboratorium, sistem yang didesain untuk mendapatkan tegangan rendah tetapi memiliki arus

Terkait dengan rumusan masalah bagaimana menerapkan KMS pada organisasi, penelitian ini juga ditujukan untuk merancang arsitektur KMS sebagai landasan penerapan dan

Pembangunan metode difokuskan pada (1) kampanye Program ‘BBW’ (Bharagas Balane Warga); (2) mengoptimalkan rute perjalanan yang berbeda setiap hari menuju/dari

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang dalam pemanfaatan aset tetap tanah dan bangunan yaitu meliputi: mengoptimalkan pemanfaatan aset oleh SKPD,

BKKBN KPU MPR MENEG PPN DEPKEU BKKBN KPU MPR MENEG PPN DEPKEU BKN BAPETEN DPR MENKO EKUIN DEPDIKNAS PPATK BATAN DPD MENEG PAN DEPKES BNP2TKI BPLS MK MENEG POLKAM DEPKUMHAM KPK BMG

(2) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan izin kepada Wajib Retribusi untuk mengangsur atau menunda retribusi terutang dalam jangka

Saponin adalah glikosida triterpenoida dan sterol.Senyawa golongan ini banyak terdapat pada tumbuhan tinggi, merupakan senyawa dengan rasa yang pahit dan mampu membentuk