• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ali Usman Sub Bagian Perinatologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjajaran RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ali Usman Sub Bagian Perinatologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjajaran RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

E

nsefalopati bilirubin (EB) merupakan komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis sebagai akibat efek toksis bilirubin tak terkonjugasi terhadap susunan syaraf pusat (SSP) yang dapat mengakibatkan kematian atau apabila bertahan hidup menimbulkan gejala sisa yang berat.

Istilah lain adalah kern ikterus yang berarti yellow kern titik-titik warna kuning yang terjadi mengenai sebagian besar struktur SSP, yang ditemukan pada autopsi bayi yang meninggal karena ensefalopati bilirubin.

Ensefalopati bilirubin lebih sering terjadi pada bayi kurang bulan (BKB) dan pada bayi cukup bulan (BCB) kadar bilirubinnya sangat tinggi.

Ikterus neonatorum adalah pewarnaan kuning pada kulit, mukosa akibat peninggian kadar bilirubin di dalam serum/darah. Secara klinis nampak pada daerah muka bilamana kadar bilirubin serum mencapai 5-7 mg/dl.1-4

Ensefalopati Bilirubin

Ensefalopati Bilirubin

Ensefalopati Bilirubin

Ensefalopati Bilirubin

Ensefalopati Bilirubin

Ali Usman

Sub Bagian Perinatologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjajaran RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak. Abstrak. Abstrak. Abstrak.

Abstrak. Ensefalopati bilirubin adalah komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis akibat efek toksis bilirubin indirek terhadap susunan saraf pusat. Kejadian ensefalopati bilirubin tersebar di seluruh dunia, baik di negara maju, maupun berkembang. Di negara maju jauh lebih rendah karena kelahiran neonatus sebagian besar di rumah sakit dan mengikuti protokol manajemen ikterus neonatorum dalam minggu pertama. Sedangkan di negara berkembang (terutama di Indonesia), kelahiran neonatus lebih dari separuhnya (±70%) di pedesaan yang ditangani oleh bidan desa/dukun bayi. Sisanya lahir di rumah sakit yang belum sepenuhnya mengikuti protokol manajemen bayi baru lahir untuk ikterus neonatorum, baik yang tercantum dalam pedoman PONED (Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar), PONEK (Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif) , maupun MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).

Ensefalopati bilirubin klinis terdiri dari 2 tahap yaitu fase akut dan fase kronis. Pada fase awal dan intermediate dari fase akut bersifat reversible (sementara) yang masih aman jika segera diterapi (transfusi ganti dan foto terapi). Fase lanjut dan kronis bersifat irreversible (menetap) yang berakhir dengan gejala sisa neurologis/bersifat fatal, biarpun dilakukan transfusi ganti dan foto terapi. Ensefalopati bilirubin sebagian besar bersifat preventable, apabila tenaga kesehatan dan rumah sakit mau mengikuti rekomendasi petunjuk tatalaksana ikterus neonatorum secara benar.

Disimpulkan bahwa dibutuhkan peran aktif dokter anak Indonesia dalam melaksanakan rekomendasi tata laksana ikterus neonatorum.

Kata kunci: ensefalopati bilirubin, preventable, IDAI

Alamat korespondensi:

Dr. Ali Usman, Sp.A(K).

Subbagian Perinatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS Dr. Hasan Sadikin, Jl. Pasteur 38, Bandung. Telp.022 2034426

(2)

Sebagian besar neonatus mengalami ikterus neonatorum fisiologis pada BCB sekitar 60%-70% sedangkan pada BKB lebih tinggi.1-4 Sebagian besar kejadian ikterus neonatorum bersifat fisiologis, namun yang non fisiologis harus diwaspadai sebab dapat menimbulkan komplikasi yang berat baik gejala sisa bagi yang hidup maupun yang fatal jika pengobatan terlambat.

Madan dkk (2005) mengatakan bahwa ensefalopati bilirubin merupakan manifestasi klinis dari efek toksis bilirubin di SSP, sedangkan istilah kern ikterus didefinisikan sebagai suatu perubahan neuropatologi yang ditandai deposisi pigmen pada beberapa daerah di otak terutama ganglion basalis, pons dan cerebellum.4 Menurut Spinger (2004), kern ikterus merupakan diagnosis patologi anatomi. Angka kematian akibat kern ikterus 3,75%, angka morbiditas (termasuk gejala sisa) 86%.5 Madan dkk. (2005) melaporkan angka kematian akibat kern ikterus tinggi (50%), sisanya yang hidup akan mengalami morbiditas jangka panjang akibat kerusakan SSP berupa palsi serebral, khoreoathetosis, tuli sensori frekuensi tinggi, dan mental retardasi. 4

Sampai sekarang kern ikterus sering terjadi tetapi sebagian besar masih bisa dicegah/dihindari apabila petugas kesehatan (paramedis, dokter) yang terlibat dalam penanganan neonatus mengikuti dan melaksanakan petunjuk tata laksana ikterus neonatorum.

Epidemiologi

Kern ikterus terjadi di semua bagian dunia akan tetapi yang berhubungan akibat dari defisiensi enzim G6PD adalah lebih banyak daripada penyebab lain. Jumlah tersebut menurun pada dekade 1970 dan 1980, selanjutnya pada dekade 1990 meningkat lagi. Keadaan tersebut kemungkinan berhubungan dengan BCB pulangkan lebih dini, sehingga follow up BCB kurang terutama bayi dengan risiko sangat kecil/rendah.6

Untuk beberapa tahun terakhir dokter anak mempertimbangkan bahwa mereka meningkatkan kemampuan life saving terhadap BBL dan kehamilan lebih dini, yang menghasilkan ketidakmampuan mengatasi morbiditas dalam kelangsungan hidupnya. Tampaknya sebagai penyebabnya adalah multifaktorial.7 Di Amerika, ikterus neonatorum cenderung meningkat. Sebagian besar neonatus pada minggu pertama terjadi peningkatan bilirubin indirek. Kejadian ikterus neonatorum meningkat pada BBL di Asia Timur,

Indian Amerika dan Yunani. Bayi Afrika Amerika lebih sedikit daripada BBL kulit putih. Tahun 1985 dilaporkan ikterus neonatorum bayi Asia Timur 49%, dan Amerika kulit putih 20%, Amerika Afrika 12%. Maisels(1999) melaporkan hasil penelitiannya antara kadar bilirubin indirek dengan kejadian kern ikterus yaitu kadar bilirubin indirek 30-40 mg/dl, 25-29 mg/ dl, 19-24 mg/dl dan kadar 10-18 mg/dl, berturut-turut kejadian kern ikterus 73%, 33%, 8%, dan 0.1

Faktor Risiko

Johnson, Brown (1999) mengatakan bahwa faktor-faktor risiko ensefalopati bilirubin/ kern ikterus diantaranya adalah prematuritas, penyakit hemolitik terutama Rhesus, ABO, defisiensi enzim G6PD, galaktosemia, sindroma Crigler-Najjar, sepsis neonatorum.6Menurut Hansen (2002) sebagai faktor risiko ikterus neonatorum baik fisiologis maupun non fisiologis berhubungan dengan keadaan tertera berikut ini.8-9

• Ras. Kejadian bilirubin ensefalopati tinggi pada bayi di Asia Timur dan Amerika Indian, daripada Amerika Afrika.

• Geografi. Kejadian lebih tinggi pada bayi dan ibu yang tinggal di daerah pegunungan tinggi. • Faktor genetik dan famili. Saudara kandung yang

menderita ikterus neonatorum, mutasi gen (gen UDPGT): Gilbert syndrome, dan homozygot/ heterozygot defisiensi G6PD.

• Nutrisi. Kejadian meningkat pada bayi yang diberikan ASI.

• Faktor ibu. Kejadian meningkat pada bayi dari ibu yang menderita diabetes mellitus(DM), ibu pengguna obat-obatan.

• BKB, BBLR. Bayi kurang bulan dan berat bayi lahir rendah

American Academic of Pediatric (AAP) 2004 mengelompokkan faktor risiko menjadi 3 kelompok.10 1. Risiko mayor

• kadar TSB/TCB pada zona / daerah risiko tinggi (fig.2)

• ikterus terjadi dalam 24 jam pertama. • uji antiglobulin direk positif, penyakit

hemolitik lain (defisiensi G6PD), peningkatan ETCO.

• usia kehamilan 35-36 minggu.

• saudara sebelumnya mendapat terapi sama. • sefalhematom atau memar hebat.

(3)

• ASI eksklusif, terutama bila perawatan tak baik dan terjadi penurunan berat badan. • Ras Asia Timur.

2. Risiko minor

kadar TSB atau TCB pada ”area high inter-mediate risk”.

• usia kehamilan 37-38 minggu. • observasi ikterus sebelum pulang. • saudara kandung sebelumnya ikterus. • bayi makrosomia dari ibu DM. • Usia ibu = 25 tahun.

• Bayi laki-laki.

3. Faktor risiko yang menurun (rendah):

Faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya risiko ikterus yang bermakna.

Kadar TSB/TCB pada tingkat area zona low risk. • Kehamilan = 41 minggu.

• PASI/formula • Ras kulit hitam

• Pulang dari RS setelah usia 3 hari.

Pada umumnya ikterus terjadi pada minggu pertama kehidupan, hal ini berhubungan dengan beberapa faktor.11-12

1. Peningkatan produksi bilirubin sebagai akibat turn over cell darah merah yang lebih tinggi dan penurunan rentang masa hidup eritrosit.

2. Penurunan ekskresi bilirubin sebagai akibat penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik.

Pada umumnya ekskresi bilirubin membaik setelah usia 1 minggu.

Keadaan-keadaan yang memperberat ensefalopati bilirubin adalah asidosis, obat-obatan yang melepas ikatan albumin-bilirubin (sulfonamid), hipoalbumin, hipoglikemia, dan hipotermia.

Patogenesis

Sawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari pembuluh darah kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas yang berfungsi membatasi serta mengatur pergerakan molekul antara darah dan SSP. Pada kondisi sawar darah otak normal yang dapat menembus barier ini adalah bilirubin indirek bebas (yang tidak terikat albumin). Pada kondisi abnormal adanya brain injury

(trauma serebral) diperberat keadaan hipoksemia, acidemia, hiperkapnia, hipoalbumin, bilirubin yang terikat pun dapat melewati/menembus sawar darah otak. (Gambar 1)

Mekanisme Bilirubin masuk ke dalam Susunan Syaraf Pusat (SSP)1,4

1. Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel neuron otak, selanjutnya terjadi presipitasi dalam memran sel syaraf. Keadaan asidosis, hipo-albulminemia akan meningkatkan jumlah bili-rubin bebas ke dalam jaringan otak.

2. Bilirubin indirek dalam bentuk monoanion Bilirubin indirek dalam plasma berikatan dengan albumin dalam bentuk di-anion setelah disosiasi dengan 2 ion H (hidrogen). Suasana asam bilirubin indirek cenderung membentuk mono-anion (bilirubin acid) serta menyebabkan penurunan afinitas albumin-bilirubin indirek. Pada bentuk tersebut akan meningkatkan presipitasi didalam jaringan serta dapat menembus sawar otak. 3. Kerusakan sawar otak

Kadar P-glikoprotein (P-gp) adalah suatu substrat dalam sawar darah otak yang dapat membatasi masuknya bilirubin ke dalam SSP. Pada kerusakan sawar otak, zat tersebut mengalami penurunan sehingga bilirubin indirek bebas dapat menembus sawar otak yang mengakibatkan presipitasi bilirubin indirek di dalam SSP. (Gambar 2)

Dampak Toksik Bilirubin terhadap Sel Syaraf

Berdasarkan temuan histologi dan biofisika penelitian Madan (2005) mekanisme toksisitas bilirubin terhadap sel syaraf adalah sebagai berikut.

• Bilirubin masuk ke dalam sel-sel neuron sehingga menyebabkan,

- pertukaran Na – K berkurang.

- akumulasi cairan sel syaraf meningkat. - pembengkakan akson syaraf.

- menurunkan potensial membran dan potensial aksi.

- mengurangi aktifitas ”auditory brain stem responses”

- mengurangi fosforilasi protein kinase dan synapstosis.

(4)

- mengurangi tyrosin uptake sintesis dopamin. - mengurangi uptake methionine dan thymidine. - merusak mitokondria.

- pada penelitian memakai isotop 31p secara invitro maupun invivo bilirubin dapat

menyebabkan perubahan metabolisme energi sel syaraf.

• Gangguan neurotransmisi merupakan tahap awal dan toksisitas bilirubin yang bersifat reversibel pada aktifitas auditory brain stem responses.

Gambar 2. Mekanisme deposisi asam bilirubin pada lapisan lipid membran sel dan

mekanisme masuknya bilirubin menembus sawar darah otak ke dalam sel syaraf.12,13

Gambar 1. Patogenesis ensefalopati bilirubin / kern ikterus 12,13

Pean bilirubin bebas bisa melewati sawar

(5)

• Mekanisme penting terhadap toksisitas bilirubin adalah menghambat enzim fosforilase sinapsis 1 dan reseptor non channel N-methyl-D-aspartate yang berfungsi untuk pelepasan neurotransmiter. • Penumpukan bilirubin akan menimbulkan perubahan potensial membran dan potensial aksi yang akan mempengaruhi transmisi neuro-transmiter sinaps.

• Hal yang esensial pada patogenesis ensefalopati bilirubin dan ireversibel adalah kerusakan mitokondria sebagai akibat dari presipitasi bilirubin acid dalam membran fosfolipid, sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria. (lihat Tabel

1 dan Gambar 3)

Neuropatologi Kern Ikterus

Kern ikterus adalah diagnosis patologis hasil autopsi pada kasus ensefalopati bilirubin yang meninggal yaitu pewarnaan kuning pada struktur syaraf yang mengenai sebagian besar jaringan otak meliputi ganglia basalis (globus pallidus dan nukleus subthalamik), hippo-campus, geniculate bodies, nukleus syaraf cranial (vestibulokokhlearis, okulomotorius, dan fasialis), nukleus cerebralis, serebelum.

Manifestasi Klinis

Ensefalopati bilirubin adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh kelainan/kerusakan susunan syaraf pusat akibat toksisitas bilirubin.8 Ensefalopati bilirubin terjadi

sebagai akibat kadar total serum bilirubin melebihi infant’s neuroprotective defenses yang menyebabkan kerusakan sel syaraf pusat terutama di daerah ganglia basalis, korteks serebri, syaraf pendengaran serebral dan perifer, hippocampus, diensefalon, nukleus subthalamikus, batang otak (midbrain), cerebellum, pons, batang otak untuk fungsi okulomotor dan respirasi, neurohormonal serta regulasi elektrolit.1

Johnson & Brown (1999) dan Hansen (2000) mengatakan bahwa gambaran klasik kern ikterus timbul bila kadar bilirubin total serum antara 26-50 mg/dl.6-8 Stakowski (2002) dengan cut off point bilirubin serum >30 mg/dl, sedangkan Maisels (2001) menulis apabila bilirubin darah mencapai 25-30 mg/dl.

Kepekaan SSP terhadap toksisitas bilirubin bervariasi dipengaruhi oleh jenis/tipe sel, maturitas SSP, metabolisme SSP. Pada SSP yang sedang dalam proses diferensiasi cenderung lebih rentan terhadap bilirubin, hal ini terjadi pada BKB.4

Tabel 1. Patofisiologi efek toksik bilirubin4

Lokasi uptake bilirubin Efek pada sel syaraf Dampak (durasi) Agregasi bilirubin indirek Menurunkan potensial aksi Reversibel (sementara) pada sel syaraf terminal Menurunkan konduksi

auditory brain stem

Bilirubin indirek terikat Gangguan transfer zat, Sementara, dapat dicegah pada komponen sel sintesis neurotransmiter, dengan equivalen albumin

fungsi mitokondria

Retrograde uptake bilirubin Disfungsi dan kematian Permanen indirek oleh sel syaraf sel syaraf pada sindrom

klinis akut

Piknosis dan gliosis sel syaraf, Gejala sisa Permanen pigmentasi bilirubin indirek

pada area lesi

(6)

Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan proses perjalanan penyakit.10,13,14 fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut, dan fase kronis yaitu ensefalopati bilirubin kronis yang disebut juga kern ikterus.14 1. Ensefalopati bilirubin akut.

a. Fase awal (early phase)

Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL tampak ikterus berat (lebih dari Kramer 3). Terjadi penurunan kesadaran, letargi, mengisap lemah dan hipotonia. Terapi dini dan tepat akan memberikan prognosis lebih baik.

b. Fase intermediate (intermediate phase) Merupakan lanjutan dari fase awal, tindakan terapi transfusi tukar emergensi dapat mengembalikan perubahan susunan syaraf pusat dengan cepat. Fase ini ditandai stupor yang moderat/sedang, ireversibel, hipertonia dengan retrocollis otot-otot leher serta opistotonus otot-otot punggung, panas, tangis melengking (high-pitched cry) yang berlanjut berubah menjadi mengantuk dan hipotonia. c. Fase lanjut (advanced phase)

Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1 minggu kehidupan yang ditandai dengan retrocollis dan opistotonus yang lebih berat, tangisnya melengking, tak mau minum/ menetek, apnea, panas, stupor dalam sampai koma, kadang-kadang kejang dan meninggal. Dalam fase ini kemungkinan kerusakan SSP ireversibel/menetap.

2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/kern icterus)

Ensefalopati bilirubin kronis disebut juga kern ikterus. Perjalanan penyakit berlangsung lamban setelah bentuk akut terjadi awal tahun pertama kehidupan. Secara klinis dibedakan dalam 2 fase. Fase awal, terjadi dalam tahun pertama kedupan dengan gejala klinis hipotonia, hi-perefleksi, keterlambatan perkembangan mo-torik milestone dan timbulnya refleks tonik leher. Fase setelah tahun pertama kehidupan. Gejala klinis refleks tonik leher (tonic-neck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal, gangguan visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat terjadi.

- Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosis merupakan kelainan umum yang nampak. Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah. Keadaan tersebut disebab-kan adanya kerusadisebab-kan pada ganglia basalis yang mana merupakan gambaran klasik/khas dari ensefalopati bilirubin kronis.

- Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze. Kelainan tersebut sebagai akibat dari kerusakan nukleus nervus kranialis di batang otak.

- Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang menetap dan paling berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi, baik derajat ringan sampai berat. Kelainan ini disebabkan kerusakan nukleus kokhlearis di batang otak serta nervus auditorius yang sangat peka terhadap toksisitas bilirubin indirek walaupun pada kadar yang relatif rendah. Tampak secara klinis keter-lambatan perkembangan bicara, oleh sebab itu pemeriksaan fungsi pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi berisiko tinggi terhadap ensefalopati bilirubin kronis. - Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya displasia dental-enamel setelah usia bayi bulan ke-9.

- Gangguan/defek kognitif, pada kern ikterus tidak mencolok atetosis atau korea dengan defek pendengaran yang terjadi dapat memberikan impresi salah dari gangguan mental (mental retardasi).

Algoritme Manajemen

Semua bayi baru lahir di klinik maupun di rumah sakit harus mengikuti alur manajemen/tata laksana ikterus neonatorum untuk bayi baru lahir di ruang perawatan bayi (Gambar 4).10

1. Setiap neonatus dinilai adakah ikterus pada usia 8-12 jam setelah lahir.

2. Jika ada ikterus cukup berat secara visual sebelum usia 24 jam periksa serum bilirubin total (TSB) atau bilirubin kutaneus total (TCB).

3. Ukur TSB/TCB dan evaluasi setiap jam.

4. Jika TSB/TCB di atas 90 persentil, penyebab ikterus; terapi, bila memenuhi kriteria; ulang TSB setiap 24 jam

(7)

5. Jika tidak melebihi 95 persentil, evaluasi TSB, masa gestasi, usia dalam jam postnatal, dan terapi jika memenuhi kriteria

6. Jika fasilitas laboratorium ada, lakukan pemeriksaan. • bilirubin total serum dan bilirubin direk • golongan darah ABO, Rhesus

• uji antibodi direk (Coombs)

Gambar 4. Algoritme Manajemen/Tatalaksana Ikterus Neonatorum (Di Ruang Perawatan) (Aap, 2004)

• serum albumin

• hitung eritrosit lengkap dengan differential count, morfologi eritrosit, retikulosit. • enzim G6PD

• bila mungkin ETCO, urin

Jika diduga sepsis, periksa laboratorium sesuai dengan indikasi sepsis. (Gambar 5)

(8)

Gambar 5. Normogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum saat

bayi pulang.

Tata laksana2,3,10,15

Tata laksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan usia postnatal, obat-obatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian albumin sebelum dilakukan transfusi tukar.

Prevensi terhadap ensefalopati bilirubin.

Terapi terhadap ancaman ensefalopati bilirubin adalah fototerapi (intensif ), apabila tidak memenuhi kriteria/ indikasi fototerapi (Gambar 6, Tabel 2 dan 3).

Mekanisme kerja fototerapi

Baik sinar biru (δ 400-550 nm), sinar hijau (550-800 nm) maupun sinar putih (300-800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu atau urine dan tinja. Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu. Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih

polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin.

Indikasi Fototerapi

Petunjuk fototerapi (menurut AAP, 2004) tertera pada

Gambar 6.

Setiap neonatus yang tidak memenuhi kriteria terapi sinar sebagai berikut:

Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam

1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/ dl bayi sakit/BKB diperlukan transfusi tukar. 2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi

intensif TSB meningkat diperlukan transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5 – 1 gr/kg > 2 jam, ulangi dalam 12 jam bila perlu. 3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan intravena (kristaloid).

4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar, atau rasio TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar. 5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah

terapi sinar distop dan setelah pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian.

(9)

Transfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried, 1982). Pada pasien hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan

mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara me-ngeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemianya.

Gambar 6. Petunjuk fototerapi

Tabel 2. Indikasi fototerapi berdasarkan TSB (WHO)

Usia (Hari) BCB sehat Bayi faktor risiko* mg/dl μμμμμmol/dL mg/dl μμμμμmol/dl 1 Kuning terlihat pada bagian tubuh manapun

2 15 260 13 220

3 18 310 16 270

=4 20 340 17 290

* faktor risiko meliputi bayi kecil (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis dan sepsis

Tabel 3. Indikasi fototerapi BBLR (Cloherty, 2004)

Berat badan (gram) Kadar bilirubin (mg/dL)

< 1000 Fototerapi dimulai dalam usia 24 jam pertama

1000 – 1500 7 – 9

1500 – 2000 10 – 12

(10)

Indikasi transfusi tukar

• Gagal dengan intensif fototerapi.

• Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang ditandai gejala hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis melengking. (Tabel 4, tabel 5, dan Gambar 7)

Darah donor untuk transfusi tukar

• Darah yang digunakan golongan O.

Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.

• Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan harus golongan O dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika darah dipersiapkan setelah kelahiran, caranya sama, hanya dilakukan cross match dengan bayinya. • Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau Rhesus yang sama dengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul. • Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di-cross match terhadap ibu.

Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah donor terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.

• Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160 ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar sekitar 87%.

Daftar Pustaka

1. Maisel MJ. Jaundice., dikutip oleh Volpe: Bilirubin and brain Injury, neurology of the new born. Edisi ke-5,

Gambar 7. Petunjuk transfusi tukar (AAP, 2004) Tabel 5. Indikasi transfusi tukar pada BBLR (Cloherty, 2004)

Berat badan (gram) Kadar bilirubin (mg/dL)

< 1000 10 – 12

1000 – 1500 12 – 15

1500 - 2000 15 – 18

2000 - 2500 18 - 20

Tabel 4. Indikasi transfusi tukar berdasarkan TSB (WHO) Usia (Hari) BCB sehat Bayi dengan faktor risiko*

(mg/dL) (mg/dL)

1 15 13

2 25 15

3 30 20

>4 30 20

* faktor risiko meliputi bayi kecil (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis dan sepsis

(11)

Philadelphia PA WB Saunders, 2005. h. 521-46. 2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE.

Noenatology: management, procedures, on call prob-lems, diseases, and drugs. Edisi ke-5. New York: McGraw-Hill Companies; 2004.

3. Cloherty JP, Martin CR. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Eichenwaald EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal Care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins, 2004. h. 185-221.

4. Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. Neonatal hy-perbilirubinemia. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, penyunting. Avery’s Diseases of the New-born. Edisi ke-8. Philadelphia: WB Saunders Co, 2005. h. 1226-53.

5. Springer S.C. Kernicterus. Emedicine November 2004 media dan URL: http://www.emedicine.com.

6. Johnson L, Brown AK. A pilot for acute and chronic kernicterus in term and near term infants.1999; 104:736-9.

7. Watchko JF. Viginta phobia revisited: Pediatric 2005 June; 115; 17:47-53.

8. Hansen TWR. Pioneers in the scientific study of neonatal jaundice and kernicterus. Pediatrics 2000; 106. h. 1-7. 9. Hansen TWR. Jaundice neonatal, document. AGUH/

PERI/Emedicine. Juli 2002.

10. American Academy of Pediatrics. Management of hy-perbilirubinemia in the newborn infant ³ 35 weeks of gestation, Clinical Practice Guideline, Subcommittee an Hyperbilirubinemia. Pediatrics 2004; 114:297-316. 11. Jayashree. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam:

Neo-natal workshop. USAID. Georgetown University Hos-pital. 2006.

12. Bodersen R. Dalam: Stern L, penyunting. Physiological and biochemical basis for perinatal medicine. Swiss: Basel 1981.

13. Volpe: Bilirubin and brain injury, neurology of the new born. Edisi ke-5, Philadelphia, Saunders, 2005. h. 521-46.

14. Cobra MA, Whitfield JM. The challenge of preventing neonatal bilirubin encephalopathy: protocol in the well newborn nursery, BUMC Proceedings 2005; 18: 217-9. 15. WHO. Tata laksana ikterus neonatorum. Dikutip oleh

Gambar

Gambar 2. Mekanisme deposisi asam bilirubin pada lapisan lipid membran sel dan mekanisme masuknya bilirubin menembus sawar darah otak ke dalam sel syaraf
Gambar 3. Autopsi ensefalopati bilirubin
Gambar 4. Algoritme Manajemen/Tatalaksana Ikterus Neonatorum (Di Ruang Perawatan) (Aap, 2004)
Gambar 5. Normogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum saat bayi pulang.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman hijauan pakan indigenous tertinggi di pegunungan kapur Gombong Selatan adalah pada wilayah dengan tingkat kerapatan

Penentuan Efisiensi Penjeratan Natrium Askorbil Fosfat dalam Niosom Hasil yang diperoleh berdasarkan analisis One Way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai

Berdasarkan analisis ragam pengaruh faktor tunggal bahan stek berpengaruh nyata terhadap keberhasilan stek Sansevieria yang ditunjukkan pada peubah persentase stek hidup 8 dan

E-learning, seperti juga namanya “Electronic Learning” disampaikan dengan menggunakan media elektronik yang terhubung dengan Internet (world wide web yang menghubungkan

Dasar Pelaksanaan : RKA APBD Kota Banjarmasin Tahun 2010 Surat Tugas Kepala Puskesmas Pemurus Dalam

Operasi baris elementer meliputi operasi aritmatika (pen- jumlahan dan perkalian) yang dikenakan pada setiap unsur dalam suatu matriks, pertukaran baris, perkalian suatu baris

[r]