• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) diyakini berasal dari Afrika Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) diyakini berasal dari Afrika Barat."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) diyakini berasal dari Afrika Barat. Walaupun demikian, kelapa sawit ternyata cocok dikembangkan di luar daerah asalnya, termasuk Indonesia. Hingga kini kelapa sawit telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan pabrik kelapa sawit oleh sekitar tujuh negara produsen terbesarnya (Anonim,2000).

Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi.Y, 2008).

Gambar 2.1. Kelapa Sawit Klasifikasi Ilmiah

(2)

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae

Genus : Elaeis Jack

Species : Elaeis guineensis Elaeis oleifera

Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tersier dan kuarter. Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil yaitu batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai penyangga tajuk serta menyimpan dan mengangkut bahan tanaman. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20-75 cm. Daun kelapa sawit mirip kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun membentuk satu pelepah yang panjangnya mencapai lebih dari 7,5-9 m. Jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun tergantung pada umur tanaman. Tanaman yang berumur tua, jumlah pelepah dan anak daun lebih banyak. Begitu pula pelepahnya akan lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda (Fauzi.Y, 2008).

(3)

2.1.1. Perkembangan Kelapa Sawit

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa oleh Mautirius dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas area perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton (Fauzi.Y, 2008).

Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang cukup pesat. Indonesia menggeser dominasi ekspor negara Afrika pada waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit terhenti. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawit Indonesia pun hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948/1949. Padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit (Fauzi.Y, 2008).

Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pada tahun 1957, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan.

(4)

Pemerintah menempatkan perwira-perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan yang bertujuan mengamankan jalannya produksi. Pemerintah juga membentuk BUMIL (buruh militer) yang merupakan wadah kerjasama antara buruh perkebunan dengan militer (Fauzi.Y, 2008).

Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai 294.560 ha dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat perkebunan. Dalam pelaksanaannya, perkebunan besar sebagai inti membina dan menampung hasil perkebunan rakyat di sekitarnya yang menjadi plasma. Perkembangan perkebunan semakin pesat lagi setelah pemerintah mengembangkan program lanjutan yaitu PIR (Perkebunan Inti Rakyat) – Transmigrasi sejak tahun 1986. Program tersebut berhasil menambah luas lahan dan produksi kelapa sawit. Pada tahun 1990-an, luas perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 1,6 juta hektar yang tersebar di berbagai sentra produksi, seperti Sumatera dan Kalimantan (Fauzi.Y, 2008).

2.1.2 Bagian – Bagian Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit dapat dibagi menjadi bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi akar, batang dan daun. Sedangkan

(5)

bagian generatif yang merupakan alat perkembangbiakan yaitu bunga dan buah (Anonim,2000).

Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai dalam satu tandan. Rangkaian bunga jantan terpisah dengan bunga betina (Fauzi.Y, 2008).

2.1.3. Fraksi TBS (Tandan Buah Segar)

Komponen fraksi tandan yang biasanya ditentukan di pabrik sangat dipengaruhi perlakuan sejak awal panen di lapangan. Faktor penting yang cukup berpengaruh adalah kematangan buah yang dipanen serta cepat tidaknya pengangkutan buah ke pabrik. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai derajat kematangan buah mempunyai arti yang penting, sebab jumlah dan mutu minyak yang diperoleh nantinya sangat ditentukan oleh fraksi ini (Anonim,2000).

Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian pertama adalah perikaprium yang terdiri dari epikaprium dan mesokaprium, sedangkan yang kedua adalah biji, yang terdiri dari endokaprium, endosperm, dan lembaga atau embrio. Epikaprium adalah kulit buah yang keras dan licin, sedangkan

mesokaprium yaitu daging buah yang berserabut dan mengandung minyak dengan

rendemen paling tinggi. Endokaprium merupakan tempurung berwarna hitam dan keras. Endosperm atau disebut juga kernel merupakan penghasil minyak inti sawit, sedangkan lembaga atau embrio merupakan bakal tanaman (Fauzi.Y, 2008).

Tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah 20-22 tandan/tahun. Untuk tanaman yang semakin tua produktivitasnya akan menurun menjadi 12-14 tandan/tahun. Pada tahun-tahun pertama tanaman berbuah sekitar 3-6 kg, tetapi

(6)

semakin tua berat tandan bertambah yaitu 25-35kg/tandan. Banyaknya buah yang terdapat pada satu tandan tergantung pada faktor genetis, umur, lingkungan, dan teknik budi dayanya. Jumlah buah pertandan pada tanaman yang cukup tua mencapai 1.600 buah. Panjang buah antara 2-5 cm dan berat sekitar 20-30 gram/buah (Fauzi.Y, 2008).

2.1.4. Pengolahan Hasil

Pengolahan TBS (Tandan Buah Segar) di pabrik bertujuan untuk memperoleh minyak sawit yang berkualitas baik. Proses tersebut berlangsung cukup panjang dan memerlukan control yang cermat, dimulai dari pengangkutan TBS (Tandan Buah Segar) atau trondulan dari TPH (Tempat Pemungutan Hasil) ke pabrik sampai dihasilkannya minyak sawit dan hasil-hasil sampingnya (Anonim,2000).

Tandan buah kosong yang sudah tidak mengandung buah diangkut ke tempat pembakaran dan digunakan sebagai bahan bakar. Selain bahan bakar, tandan kosong tersebut juga dapat digunakan sebagai mulsa penutup tanah (Anonim,2000).

2.2. Jenis Limbah Kelapa Sawit

Limbah kelapa sawit adalah sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dalam produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya, limbah kelapa sawit dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah industri kelapa sawit.

1. Limbah perkebunan kelapa sawit

Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan dari sisa tanaman yang tertinggal pada saat pembukaan areal perkebunan, peremajaan dan panen kelapa sawit. Jenis limbah ini antara lain kayu, pelepah dan gulma. Dalam

(7)

setahun setiap satu hektar perkebunan kelapa sawit rata-rata menghasilkan limbah pelepah daun sebanyak 10,4 ton bobot kering.

2. Limbah industri kelapa sawit

Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada saat proses pengolahan kelapa sawit. Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas.

a. Limbah padat

Salah satu jenis limbah padat industri kelapa sawit adalah tandan kosong sawit (TKS). Tempurung kelapa sawit termasuk juga limbah padat hasil pengolahan kelapa sawit. Limbah padat mempunyai ciri khas pada komposisinya. Komponen terbesar dalam limbah padat tersebut adalah selulosa, disamping komponen lain meskipun kecil seperti abu, hemiselulosa, dan lignin.

b. Limbah cair

Limbah cair juga dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah kelapa sawit ini memiliki kadar bahan organik yang tinggi. Tingginya kadar tersebut menimbulkan beban pencemaran yang besar, karena diperlukan degradasi bahan organik yang lebih besar pula.

Lumpur (sludge) disebut juga lumpur primer yang berasal dari proses klarifikasi merupakan salah satu limbah cair yang dihasilkan dalam proses pengolahan kelapa sawit, sedangkan lumpur yang telah mengalami proses sedimentasi disebut lumpur sekunder. Kandungan bahan organik lumpur juga tinggi yaitu pH berkisar 3 – 5.

(8)

c. Limbah gas

Selain limbah padat dan cair, industri pengolahan kelapa sawit juga menghasilkan limbah bahan gas. Limbah bahan gas ini antara lain gas cerobong dan uap air buangan pabrik kelapa sawit.

(Fauzi.Y, 2008) Limbah pabrik minyak sawit terdiri atas limbah padat dan limbah cair. Limbah padat adalah TBK (Tandan Buah Kosong), ampas serabut,dan cangkang. Limbah cair adalah air drab. TBK (Tandan Buah Kosong) adalah yang terbuang dari penebah setelah tandan rebus dipisahkan dari buahnya, banyaknya lebih kurang 25 % dari TBS (Tandan Buah Segar) sedangkan ampas serabut (serat) dan cangkang berturut-turut sebanyak 15 % dan 5 % dari TBS atau Tandan Buah Segar (Mangoensoekarjo.S, 2003).

TBK (Tandan Buah Kosong) kering dapat digunakan sebagai bahan bakar ketel uap, biasanya untuk fire - up jika ampas serabut belum ada. Pengeringannya cukup dilakukan dalam suatu bangsal, tanpa penyinaran matahari langsung, selama beberapa hari. Keperluan TBK (Tandan Buah Kosong) untuk ini hanya sedikit, karena itu masih banyak sisanya (Mangoensoekarjo.S, 2003).

Terakhir masih dalam penjajagan adalah kemungkinan pemanfaatan bahan selulosa yang terkandung di dalam TBK (Tandan Buah Kosong) sebagai bahan baku industri kimia, misalnya pembuatan furfural. Lebih lanjut dapat dimanfaatkan untuk

particle board, kertas cetak atau kraft, serat rayon, briket arang, campuran

pembuatan serat berkaret untuk jok mobil, dan bahan baku pembuatan kompos (Mangoensoekarjo.S, 2003).

(9)

Salah satu proses yang dapat memanfaatkan limbah padat Pabrik Kelapa Sawit (PKS) adalah dengan mengkonversikan bahan tersebut menjadi biogas melalui proses perombakan aerobik (aerobic digestion). Biogas terdiri dari 60 - 70 % CH4,

20 - 40% CO2, 0,2 - 0,3 % H2S, sejumlah kecil etana dan air (Sa’id.G, 1996).

Limbah cair PKS (Pabrik Kelapa Sawit) mengandung BOD (Biological

Oxygen Demand) sekitar 25.500 ppm, yang berarti 100 kali lebih besar dari limbah

rumah tangga (Sa’id.G, 1996).

Limbah industri pertanian (agro industri ) mempunyai ciri khas berupa kandungan organik yang tinggi. Kandungan bahan organik tersebut merupakan bahan baku potensial bagi produksi bahan-bahan yang menguntungkan atau mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi (Sa’id.G, 1996).

2.3. Tandan Kosong Sawit

Tandan Kosong Sawit (TKS) merupakan salah satu limbah padat yang dihasikan oleh industri perkebunan kelapa sawit yang banyak mengandung serat. Diperkirakan saat ini limbah TKS di Indonesia mencapai 20 juta ton. Sampai saat ini, pemanfaatan TKS masih relatif terbatas, yaitu digunakan langsung sebagai mulsa di perkebunan kelapa sawit, atau dibakar dalam incinerator dan abunya dimanfaatkan sebagai subtitusi pupuk kalium. Pemanfaatan TKS sebagai pupuk Kalium atau mulsa masih dinilai tidak ekonomis, karena biaya transportasi dari pabrik kelapa sawit dan penyebarannya di kebun kelapa sawit memerlukan biaya yang relatif tinggi. Di samping itu pembakaran TKS di incinerator menyebabkan terjadi polusi udara. Ditinjau dari sifak fisik, morfologi, dan komposisi kimia TKS, sebenarnya TKS dapat digunakan sebagai bahan baku potensial untuk pengisi atau penguat komposit polimer. Hal ini disebabkan pada TKS kandungan seratnya mencapai sekitar 70 %

(10)

dan komposisi kimia TKS mengandung selulosa yang cukup banyak yaitu 37,76%. Seperti bahan kayu dan jaringan penunjang tumbuh - tumbuhan lainnya menurut Darnoko dkk dan Wirjosentono komposisi kimia tandan kosong sawit limbah kelapa sawit terdiri dari selulosa (37,76%), lignin (22,23%), holoselulosa (66,07%) dan bahan terestraksi (7,78%). Dari komposisi di atas serat limbah kelapa sawit yang berasal dari tandan kosong kelapa sawit dapat diolah menjadi selulosa dengan penghilangan lignin. Dua bagian tandan kosong kelapa sawit yang banyak mengandung selulosa adalah bagian pangkal dan bagian ujung tandan kosong sawit yang agak runcing dan agak keras. Komposisi kimia dari serat tandan kosong sawit dapat dilihat pada tabel 2.1 dan terlihat kandungan lignin, ekstraktif, pentosan dan abu cukup tinggi.

Tabel 2.1. Komposisi kimia Tandan Kosong Sawit

No Parameter Kandungan (%) 1 Lignin 22,60 2 A-Selulosa 45,80 3 Holoselulosa 71,80 4 Pentosa 25,90 5 Kadar abu 1,60 6 Kelarutan dalam - Air dingin -Air panas -Alkohol benzen -NaOH 1 % 13,89 2,50 4,20 19,50 (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18703/4/Chapter%20II.pdf) Ditinjau dari sifat fisik, morfologi dan komposisi TKS, sebenarnya TKS dapat digunakan sebagai bahan baku potensial untuk produk - produk yang berbasis serat seperti pulp dan kertas. Hal ini dikarenakan pada TKS kandungan seratnya mencapai sekitar 70% dan mengandung selulosa yang cukup banyak yaitu sekitar 39% (Sa’id.G, 1996).

(11)

Tabel 2.2. Sifat fisik dan morfologi tandan kosong sawit (Sa’id. G, 1996).

Parameter TKS bagian pangkal TKS bagian ujung Panjang serat - Minimum - Maksimum - Rata-rata - Diameter serat - Tebal dinding - Kadar serat (%b/b) - Kadar bukan serat

(%b/b) 0,63 mm 1,81 mm 1,2 mm 15,0 µm 3,49 µm 72,67 µm 27,33 µm 0,46 mm 1,27 mm 0,87 mm 14,34 µm 3,68 µm 62,47 % 37,33 %

2.4. Komposisi Kimia Serat Tandan Kosong Sawit

Serat tandan kosong sawit terdiri dari zat organik yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin, ekstraktif dan juga zat organik yang berbeda-beda (Darnoko, 1995). Gabungan molekul selulosa dan hemiselulosa membentuk mikrofibril yang membentuk lamela dan seterusnya bersatu dengan lignin untuk membentuk dinding sel-sel kayu.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18703/4/Chapter%20II.pdf) 2.5. Selulosa

Jaringan berserat dalam dinding sel mengandung polisakarida selulosa. Polisakarida ini adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling tersebar di alam. Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk membuat perabot kayu, tekstil dan kertas. Sumber utama selulosa ialah kayu. Umumnya kayu mengandung sekitar 50% selulosa, bersama dengan penyusun lainnya, seperti lignin. Pemisahan

(12)

selulosa dari kayu melibatkan pencernaan kayu dengan larutan belerang dioksida dan hidrogen sulfit (bisulfit) dalam air pada proses sulfit, atau larutan natrium hidroksida dan natrium sulfida dalam air pada proses sulfat (proses Kraf). Pada kedua proses ini lignin dilarutkan sehingga diperoleh selulosa. Sumber lain selulosa ialah kapas, yang hampir seluruhnya memang selulosa. Ekstraksi dilakukan dengan mereaksikannya dengan larutan natrium hidroksida di bawah tekanan, yang kemudian dilanjutkan dengan pengelantangan dengan gas klor kalsium hipokrolit (Cowd.M, 1991).

2.5.1. Struktur Molekul Selulosa

Rumus molekul selulosa ialah (C6H10O5)n dan n dapat berupa angka ribuan.

Sangat sukar untuk mengukur massa molekul nisbi selulosa, karena (i) tidak banyak pelarut untuk selulosa, (ii) selulosa sangat cenderung terombak selama proses, dan (iii) cukup rumit menggunakan selulosa dari sumber yang berbeda. Cara yang acap kali dipilih ialah menitratkan selulosa dengan cara tak merusak, dan massa molekul nisbi bagi selulosa kapas sekitar satu juta (Cowd.M, 1991).

Selulosa dibangun oleh rantai glukosa yang tersambung melalui β - 1,4. Untuk memahami peristilahan ini pertama-tama kita harus melihat struktur glukosa itu sendiri. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6. Dengan kata lain kita dapat

menggambarkan struktur glukosa sebagai rantai lurus ataupun struktur cincin. Struktur cincin dapat terbentuk dari hasil pembentukan hemiasetal internal (Cowd.M, 1991).

(13)

Ditinjau dari strukturnya, dapat saja diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksi yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-terlarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, dan selulosa bukan hanya tak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekakuan rantai dan tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa. Jika ikatan hidrogen berkurang, gaya antaraksi pun berkurang, dan oleh karenanya gugus hidoksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh pengesteran. Hal ini dapat dilakukan, dan ester yang dihasilkan larut dalam sejumlah pelarut (Cowd.M, 1991).

2.5.2. Pembagian Selulosa

Berdasarkan Derajat Polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :

a. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600 - 1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemumian selulosa.

b. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 15 - 90, dapat mengendap bila dinetralkan.

(14)

c. Selulosa γ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi DP (Derajat Polimerisasi) nya kurang dari 15. Selain itu ada yang disebut Hemiselulosa dan Holoselulosa yaitu :

1. Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, jika dihidrolisis akan menghasilkan D-manova, D-galaktosa, D-Xylosa, L-arabinosa dan asam uranat.

2. Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas dan sari dan lignin, terdiri dari campuran semua selulosa dan hemiselulosa.

Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon). Selulosa dapat disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam sulfat dan asam fosfat. Dari ketiga unsur tersebut, asam nitrat memiliki nilai ekonomis yang' strategis daripada asam sulfat dan fosfat karena dapat digunakan sebagai sumber bahan baku propelan/bahan peledak pada industri

pembuatan munisi/mesin dan atau bahan peledak (http://buletinlitbang.dephan.go.id/index).

2.6. Selulosa Asetat

Selulosa asetat adalah selulosa yang berupa gugusan hidroksilnya diganti oleh gugusan asetil (-OCCH3) dengan rumus kimia [C6H7O2(COOCH3)x]y, berbentuk

(15)

padatan putih, tak beracun, tak berasa, tak berbau, untuk pembuatan serat (SNI 06-2115-1991).

Selulosa asetat merupakan ester yang paling penting yang berasal dari asam organik. Ia digunakan untuk pabrik cat laker, plastik, film dan benang. Bila dibandingkan dengan selulosa nitrat ia tidak mudah terbakar. Sifat-sifat teknis selulosa asetat ditentukan oleh derajat substitusi yang berperanan terhadap kecocokannya dengan pembuatan plastik dan resin-resin cat laker maupun terhadap kelarutannya dalam pelarut. Kriteria kedua adalah derajat polimerisasi, yang dinyatakan dengan kekentalan, yang mempengaruhi sifat-sifat mekanik produk-produk dan kesanggupan kerjanya (Fengel, 1995).

DS (Derajat Substitusi) adalah jumlah rata-rata gugus per anhidroglukosa unit yang disubstitusikan oleh gugus lain. Apabila gugus yang menggantikan berupa satu gugus anhidroksil pada tiap unit anhidroglukosa diesterifikasi dengan satu buah gugus asetil, nilai DS sebesar 1. Apabila terdapat tiga buah gugus hidroksil yang diesterifikasi, maka nilai DS sebesar 3.

(http://eprints.undip.ac.id/22764/1/C06.pdf)

Gambar 2.3. Selulosa Asetat (http://en.wikipedia.org/wiki/Selulosa_asetat)

Kekentalan ester selulosa turun selama esterefikasi bahkan setelah pembentukan trimester. Penurunan kekentalan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

(16)

kekentalan yang pasti dapat diperoleh dengan pengaturan nisbah asam dengan anhidrida, konsentrasi dan katalisator dan suhu (Malm et al.1961a).

Proses - proses yang digunakan pada skala komersial dapat dibagi sebagai berikut:

a. Asetilasi dalam sistem homogen (asetat larutan)

b. Penggunaan asam asetat glasial sebagai pelarut (proses asam asetat) c. Penggunaan diklorometana sebagai pelarut (proses metilena klorida) d. Asetilasi dalam sistem heterogen (benang asetat)

(Fengel, 1995)

Selulosa asetat telah menggantikan selulosa nitrat dalam banyak produk, misalnya, dalam film - film fotografik yang aman. Bila larutan selulosa asetat dalam aseton dilewatkan melalui lubang - lubang halus spinneret (piring pemintal) dan pelarutnya menguap, maka dihasilkan filamen - filamen padat. Rayon asetat dibuat dari benang - benang filamen - filamen ini. Beberapa penggunaan dan pelarut tingkat kualitas selulosa asetat perdagangan diringkas dalam tabel 2.3.

Karena asetilasi selulosa berlangsung dalam sistem heterogen, laju reaksi dikendalikan oleh difusi pereaksi-pereaksi ke dalam struktur serat. Kualitas bahan mentah selulosa yang digunakan untuk rayon asetat adalah sangat penting (Sjostrom, 1998).

(17)

Tabel 2.3. Tingkat-tingkat Kualitas Selulosa Asetat Perdagangan

DS Pelarut Penggunaan

1,8 - 1,9 Air-propanol-kloroform Campuran bahan tenun

2,2 - 2,3 Aseton Pernis, plastik

2,3 - 2,4 Aseton Kayu asetat

2,5 - 2,6 Aseton Film-film sinar-X penyelemat 2,8 - 2,9 Mentilena klorida etanol Lembaran-lembaran isolator 2,9 – 3,0 Metilen Klorida Bahan tenun

Rånby dan Rrydholm (1956).

Meskipun kapas memenuhi persyaratan kualitas yang tinggi, pada saat ini kebanyakan selulosa asetat diproduksi dari pulp kayu karena harganya yang layak dan ketersediaannya yang tetap. Pulp - pulp sulfit dank raft yang dihidrolisis awal keduanya digunakan (Sjostrom, 1998).

Biasanya selulosa asetat diproduksi dengan yang disebut proses larutan dengan perkecualian produk akhir yang terasetilasi sepenuhnya (triasetat). Dalam proses larutan pulp pertama-tama diperlakukan dengan asam asetat dengan adanya katalisator, biasanya asam sulfat. Tujuan langkah aktivasi ini adalah untuk membengkakkan serat-serat dan menaikkan reaktivitas mereka maupun untuk menurunkan DP (Derajat Polimerisasi) hingga tingkat yang cocok. Asetilasi kemudian dikerjakan setelah adisi anhidrat asetat dan sejumlah katalisator asam sulfat dengan adanya asam asetat. Setelah asetilasi sepenuhnya triasetat akhir yang diperoleh dilarutkan. Asetat “primer” ini biasanya terdeasetilasi sebagian dalam larutan asam asetat berair untuk memperoleh asetat “sekunder” dengan DS (Derajat Substitusi) rendah sekitar 2 hingga 2,5 (Sjostrom, 1998).

Proses asetilasi serat dikerjakan dengan adanya cairan yang cocok, seperti benzena, dimana produk reaksi tidak larut dan dengan demikian tetap berbentuk

(18)

serat. Untuk asetilasi serat dapat juga digunakan perlakuan fase - uap dengan anhidrida asetat. Disamping asam sulfat, asam perklorat dan seng klorida telah digunakan sebagai katalisator (Sjostrom, 1998).

Bahan awal untuk memproduksi selulosa asetat teknis adalah kapas lembut atau pulp kualitas kimia. Setelah aktivitasi dengan asam asetat dan selama itu digunakan suhu hingga 50oC, selulosa direaksikan dengan asam asetat glasial (sebagai pelarut untuk triasetat), anhidrida asetat, berlebihan dan asam sulfat dalam peremas yang dingin. Dengan pengaturan suhu degradasi rantai-rantai selulosa diatur untuk memperoleh kekentalan yang diinginkan. Reaksi diakhiri bila selulosa terlarut sempurna dalam media reaksi. Seterusnya reaksi disela dengan penambahan asam asetat encer. Jika triasetat bukan produk yang diinginkan, maka derajat asetilasi distandartkan (hidrolisis), dan disamakan dengan kenaikan suhu dan pengaturan keasaman. Setelah pembersihan larutan dengan penyaringan, selulosa asetat diendapkan dengan penambahan asam asetat encer disertai dengan pengadukan yang kuat. Akhirnya endapan dicuci dengan air, disentrifugasi atau ditekan untuk menghilangkan air, dan dikeringkan (Eicher, Fischer 1975).

Penggunaan diklorometan menghemat H2SO4 karena kekuatan larutannya

yang lebih baik untuk triasetat, menghasilkan pengaturan suhu yang lebih baik karena titik didihnya lebih rendah, dan menghemat asam asetat encer. Proses heterogen berlangsung paling baik dengan asam perklorat sebagai katalisator, dan dibatasi untuk memproduksi triasetat (Fengel, 1995).

2.7. Titrasi Asam Basa

Pada tahun 1884, Svante August Arrhenius menyatakan bahwa sifat asam dan basa suatu zat ditentukan oleh jenis ion yang dihasilkan dalam air. Asam adalah

(19)

senyawa yang melepaskan H+ dalam air dan basa adalah yang melepaskan OH -(Syukri, 1999).

Secara kimia dapat dinyatakan:

Asam : HA + aq → H+(aq) + A-(aq) Basa : BOH + aq → B+(aq) + OH-(aq)

Setelah diteliti ternyata H+ (proton) tidak mungkin berdiri bebas dalam air, tetapi berikatan koordinasi dengan oksigen air, membentuk ion hidronium (H3O+).

Dengan demikian, defenisi asam basa Arrhenius dalam versi modern adalah sebagai berikut:

Asam adalah zat yang menambah konsentrasi ion hidronium (H3O+) dalam

larutan air, dan basa adalah zat yang menambah konsentrasi ion hidroksida (OH-) (Syukri, 1999).

Teori Arrhenius hanya berlaku untuk larutan dalam air. Karena itu, para ahli mencari teori lain yang lebih umum tentang asam dan basa. Pada tahun 1923, J.N Bronsted (di Denmark) da T.M.Lowry (di Inggris) secara terpisah melihat reaksi yang dialami asam dan basa, baik dengan pelarut maupun tanpa pelarut. Teori itu disebut teori asam basa Bronsted-Lowry. Menurut mereka sifat asam atau basa ditentukan oleh kemampuan senyawa melepas atau menerima proton (H+) (Syukri, 1999).

Asam adalah senyawa atau partikel yang dapat memberikan proton (H+) kepada senyawa atau partikel lain. Basa adalah senyawa atau partikel yang dapat menerima proton (H+) dari asam (Syukri, 1999).

(20)

Menurut teori Bronsted-Lowry, proton berperan penting dalam setiap reaksi asam-basa. Proton juga menentukan sifat asam-basa senyawa-senyawa. Karena itu, teori ini juga disebut teori proton (Rivai, 2006).

Selain teori proton ada pula teori asam-basa elektronik, yang dikembangkan oleh Lewis. Menurut teori ini, reaksi asam-basa ditentukan oleh pembentukan ikatan kovalen koordinat. Dengan demikian, asam adalah senyawa yang tidak jenuh secara koordinatif, yang menerima elektron dari basa. Sebaliknya, basa adalah senyawa yang mempunyai pasangan elektron bebas yang dapat diberikannya kepada asam (Rivai, 2006).

Studi kuantitatif mengenai reaksi penetralan asam-basa paling nyaman apabila dilakukan dengan menggunakan prosedur yang disebut titrasi (titration). Dalam percobaan titrasi, suatu larutan yang konsentrasinya diketahui secara pasti, disebut sebagai larutan standar (standard solution), ditambahkan secara bertahap ke larutan lain yang konsentrasinya tidak diketahui, sampai reaksi kimia antara kedua larutan tersebut berlangsung sempurna. Jika kita mengetahui volume larutan standar dan larutan tidak diketahui yang digunakan dalam titrasi, maka kita dapat menghitung konsentrasi larutan tidak diketahui itu (Chang,2005).

Titrasi asam basa merupakan cara yang tepat dan mudah untuk menentukan jumlah senyawa-senyawa yang bersifat asam dan basa. Kebanyakan asam dan basa organik dan anorganik dapat dititrasi dalam larutan berair, tetapi sebagian senyawa itu, terutama senyawa organik tidak larut dalam air. Namun demikian, umumnya senyawa organik dapat larut dalam pelarut organik, karena itu senyawa organik itu dapat ditentukan dengan cara titrasi asam-basa dalam pelarut nirair (Rivai, 2006)

(21)

Untuk menentukan basa digunakan larutan baku asam kuat (misalnya HCl), sedangkan untuk menentukan asam digunakan larutan baku basa kuat (misalnya NaOH). Titik akhir titrasi biasanya ditetapkan dengan bantuan perubahan warna indikator asam-basa yang sesuai atau dengan bantuan peralatan (misalnya potensiometer, spektrofotometer, konduktometer) (Rivai, 2006)

Titrasi asam basadapat dianggap sebagai interaksi pasangan asam basa berpasangan menurut teori Bronsted-Lowry, yaitu:

asam1 + basa 2 = basa 1 + asam 2

(Rivai, 2006). Natrium hidroksida adalah salah satu basa yang umum digunakan di laboratorium. Namun demikian, karena padatan natrium hidroksida sulit diperoleh dalam keadaan murni,larutan natrium hidroksida harus distandardisasi terlebih dahulu sebelum digunakan dalam kerja analitis yang memerlukan keakuratan. Kita dapat menstandardisasi larutan natrium hidroksida dengan menitrasinya menggunakan larutan asam yang sudah diketahui konsentrasinya secara tepat. Asam yang sering digunakan untuk analisa ini adalah suatu asam monoprotik yang disebut kalium hidrogen ftalat (KHP), yang memiliki rumus molekul KHC8H4O4. KHP

adalah zat padat berwarna putih yang dapat larut yang secara komersial tersedia dalam keadaan sangat murni (Chang,2005).

Kebanyakan titraasi asam-basa tidak berwarna dan tidak ada perubahan secara fisik yang terjadi untuk menunjukkan saat reaksi sudah berlangsung sempurna. Indikator adalah pasangan asam-basa berkonjugasi yang ditambahkan pada titrasi dalam jumlah yang sangat sedikit untuk memantau pH. Indikator mempunyai bentuk asam dan basa yang berbeda warnanya. Indikator cenderung

(22)

untuk bereaksi dengan kelebihan asam atau basa pada titrasi untuk menghasilkan warna. Umumnya, jika kita memilih indikator untuk titrasi, pilihlah indikator yang perubahan warnanya pada atau dekat titik ekuivalen titrasi tersebut (Bresnick.S, 2002).

Indikator asam-basa adalah senyawa organik yang berubah warnanya dalam larutan sesuai dengan pH larutan. Contohnya adalah lakmus yang berwarna merah dalam larutan bersifat asam dan berwarna biru dalam larutan yang bersifat basa. Indikator asam - basa biasanya merupakan asam atau basa lemah, atau secara umum dapat dikatakan protolit lemah (Rivai, 2006).

Tabel 2.4. Beberapa Indikator Asam – Basa

Indikator Perubahan warna dengan meningkatnya pH

Rentang pH Asam Pikrat Tidak berwarna ke kuning 0.1 – 0.8

Tanol Biru Merah ke kuning 0.2 – 2.8

2,6 – Dinitrofenol Tidak berwarna ke kuning 2.0 – 4.0 Metil Kuning Merah ke kuning 2.9 – 4.0 Brompenol Biru Kuning ke biru 3.0 – 4.6 Metil Orange Merah ke kuning 3.7 – 4.4 Bromkesol hijau Kuning ke biru 3.8 – 5.4 Nietyl Merah Merah ke kuning 4.2 – 6.8

Litmus Merah ke biru 5.0 – 8.0

Metyl Ungu Ungu ke hijau 4.8 – 5.4

P. Nitropenol Tidak berwarna ke kuning 5.6 – 7.6 Bromkesol Ungu Kuning ke ungu 5.2 – 6.8 Bromtimol Biru Kuning ke biru 6.0 – 7.6 Netral Merah Merah ke kuning 6.8 – 8.0

Kenol Merah Kuning ke biru 6.8 – 8.4

p-a-Noftalfttalein Kuning ke biru 7.0 – 9.0 Fenolfttalein Tidak berwarna ke merah 8.0 – 9.6 Tinolftalein Tidak berwarna ke biru 9.3 – 10.6 Alizarin Kuning R Kuning ke violet 10.1 – 12.0 1,3,5 Trinitrobenzena Tidak berwarna ke orange 12.0 – 14.0

(23)

Fenolftalein adalah indikator dari golongan ftalein yang banyak digunakan

dalam pelaksanaan pemeriksaan kimia. Fenolftalein merupakan senyawa hablur putih yang mempunyai kerangka lakton. Indikator ini sukar larut dalam air, tapi dapat berinteraksi dengan air sehingga cincin laktonnya terbuka dan membentuk asam yang tidak berwarna (Rivai, 2006).

Lepasnya proton pertama dari molekul fenolftalein tidak banyak mengubah kerangka molekulnya. Tetapi lepasnya proton kedua menyebabkan perubahan besar pada molekulnya. Perubahan molekul itu menghasilkan kerangka kinoid. Selanjutnya pada pH yang sangat tinggi fenolftalein berubah kembali ke bentuk yang tidak berwarna (Rivai, 2006).

Gambar

Gambar 2.1. Kelapa Sawit  Klasifikasi Ilmiah
Tabel 2.1. Komposisi kimia Tandan Kosong Sawit
Tabel 2.2. Sifat fisik dan morfologi tandan kosong sawit (Sa’id. G, 1996).
Gambar 2.2. Ikatan β1,4 - glikosida selulosa
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada model ini, evaluasi pelatihan memiliki keterbatasan yaitu pertama, tidak dapat membandingkan kebutuhan pelatihan sesuai dengan dunia kerja dengan hasil pelatihan yang telah

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan hanya untuk Alloh SWT yang telah meridhoi dan memberikan petunjuk kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6 spesies Cetacea yang berada di bagian utara perairan Taman Nasional Komodo dengan persentasi komposisi sebesar 60 % di dominasi oleh

Variabel manipulasi dalam pengendalian tekanan ini adalah laju alir udara sedangkan tekanan sebagai variabel proses yang masuk ke dalam sistem dan dikendalikan

Observer melakukan pengamatan sesuai rencana dengan menggunakan lembar observasi terutama pada aspek dan deskriptor yang belum muncul pada siklus I. Pada siklus II ini

Langkah pertama proses pembentukan urin adalah ultrafiltrasi darah atau plasma dalam kapiler glomerolus berupa air dan kristaloid, sela njutnya di dalam tubuli

Pemberian edukasi kepada pasien dan keluarga terkait dengan asuhan yang diberikan meliputi penggunaan obat- obatan secara efektif dan aman, potensi efek samping

Pertahananya merupakan anugerah alam yang berupa lingkungan hidup berkadar garam tinggi sebab pada kadar garam tinggi tersebut pemangsanya sudah tidak dapat hidup