• Tidak ada hasil yang ditemukan

JMH Jurnal Medika Hutama Vol 02 No 01, Oktober

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JMH Jurnal Medika Hutama Vol 02 No 01, Oktober"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

356

PENGARUH PEMBERIAN

CANNABINOID

PADA EPILEPSI YANG RESISTEN TERHADAP

PENGOBATAN

Nabila Takeshita Dewi1

1

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Corresponding Author:Nabila Takeshita Dewi, Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. E-Mail: takeshitanabila@gmail.com

Received September 09, 2020; Accepted September 17, 2020; Online Published October 04, 2020

Abstrak

Cannabinoid menjadi pilihan terapi potensial bagi pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan. Efek antikonvulsan didapatkan dari Cannabidiol (CBD) maupun Δ9-tetrahydrocannabinol (Δ9-THC). Metode yang digunakan oleh penulis adalah studi literatur dari beberapa jurnal nasional maupun internasional. Metode ini digunakan dengan tujuan menyajikan, menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai artikel ini dengan meringkas materi penelitian pada fokus topik tertentu. Dari beberapa penelitian yang dilakukan didapatkan hasil mediator CB1R, anandamide dan cannabinoid sintetik WIN 55,212-2 yang teraktivasi sebagai antikonvulsan.

Keywords:

cannabinoid ; pengobatan resisten

PENDAHULUAN

Epilepsi adalah penyakit kronis yang menyerang orang orang dari segala usia serta dapat menyebabkan kematian.1,2 Secara teori, epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, disertai gangguan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, dimana terjadi minimal 1 kali bangkitan epileptik (terjadinya tanda/gejala yang abnormal dan berlebihan di otak).2 Menurut WHO, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi dan menjadikan penyakit neurologis paling umum di dunia.Risiko kematian dini pada orang penderita epilepsi adalah tiga kali lebih tinggi daripada

populasi umum.1,2

Terapi pada epilepsi dapat berupa farmakologi yaitu pemberian antikonvulsan ataupun nonfarmakologi dengan mengupayakan penderita epilepsi dapat hidup normal dan tercapainya kualitas hidup optimal sesuai dengan perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.3Akan tetapi, terdapat 30% pasien yang masih mengalami kejang walaupun sudah diberikan terapi antikonvulsan yang sesuai. Hal ini ada hubungannya dengan keabnormalan pada jaringan saraf atau pada epileptogenesis.4

Phytocannabidoid yang ditemukan di Cannabis sativa menjadi pilihan terapi potensial bagi pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap

JMH

Jurnal Medika Hutama Vol 02 No 01, Oktober 2020 http://jurnalmedikahutama.com

e-ISSN. 2715-9728 p-ISSN. 2715-8039

(2)

357 pengobatan.4,6 Efek antikonvulsan didapat dari

beberapa phytocannabinoid termasuk Δ9-tetrahydrocannabinol (Δ9-THC) dan Cannabidiol (CBD).4

Review ini berfokus pada Cannabinoid, karena senyawa turunan ganja lainnya kurang diteiti dengan baik. Cannabinoid non psychoactive menunjukkan efek anti kejang pada beberapa mode epilepsi in vivo dan in vitro. Tidak seperti Δ9-THC, Cannabinoid tidak memberi efek terhadap saraf melalui aktivasi CB1R. Cannabinoid mengubah rangsangan saraf dengan cara lain. Kurangnya efek psikoaktif Cannabinoid dan bukti preklinis mengenai efek anti kejang telah membangkitkan minat akan potensinya sebagai obat anti kejang pada manusia.5,7

ISI

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan oleh penulis adalah studi literatur dari beberapa jurnal nasional maupun internasional. Metode ini digunakan dengan tujuan menyajikan, menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai artikel ini dengan meringkas materi penelitian pada fokus topik tertentu.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Friedman dan Devinsky (2015) CBD adalah salah satu cannabinoid dengan tindakan non psikotropika, diekstrasi dari Cannabis sativa. CBD adalah senyawa yang memiliki antikejang, antipsikotik, pelindung saraf, antidepresan dan ansiolitik.5,6

Pada epilepsi dengan kelainan neurologis kronis terdapat 30% pasien epilepsi yang resisten terhadap pengobatannya karena kegagalan terapi epilepsi ini ditandai dengan serangan berulang yang berdampak negatif pada kualitas hidup.5,7

Menurut Devinsky, Cross, dan Wright (2017) berdasarkan hasil penelitiannya terdapat pengaruh penggunaan CBD pada kejadian resisten pengobatan antiepilepsi.7

PEMBAHASAN

Epilepsi yaitu penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot. Klasifikasi bangkitan epileptik menurut ILAE 1981 antara lain bangkitan umum, bangkitan parsial/fokal dan tidak terklasifikasi.8

Berdasarkan ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam, terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).9

Diagnosa pasti epilepsi yaitu dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosa epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun, alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakkan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu satunya pemeriksaan yang membantu diagnosa penderita

(3)

358 epilepsi adalah rekaman electrocephalogram

(EEG). Perekaman EEG dilakukan secara terus menerus selama jangka waktu beberapa hari dan akibatnya sebagian besar data harus dianalisis secara visual oleh para ahli agar dapat mengidentifikasi penyakit epilepsi.11

Sampai saat ini obat antiepilepsi masih merupakan terapi utama untuk epilepsi. Terapi epilepsi sering menggunakan lebih dari satu obat.12

Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi dapat dikategorikan dalam empat kelompok utama12: 1. Modulasi voltage-gated ion channels, termasuk natrium, kalsium, dan kalium

2. Peningkatan inhibisi GABA melalui efek pada reseptor GABA-A, transporter GAT-1, atau GABA transminase

3. Modulasi langsung terhadap pelepasan sinaptik seperti SV2A dan α2δ

4. Inhibisi sinap eksitasi melaui reseptor glutamat iontropik termasuk reseptor AMPA.

Obat Anti Epilepsi bekerja untuk menyeimbangkan proses inhibisi dan eksitasi di dalam otak, sehingga dapat digunakan baik untuk epilepsi maupun berbagai penyakit lain dengan kemiripan patofisiologi dengan epilepsi.12

Tujuan tatalaksana dari epilepsi adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obat obat lini pertama untuk epilepsi antara lain karbamazepin,lamotrigine, asam valproat, fenobarbital, fenitoin. Terapi lain berupa terapi non farmakologi dan terapi bedah (lobektomi dan lesionektomi).10

Pada pemberian terapi antiepilepsi masih terdapat pasien yang mengalami epilepsi hal ini disebabkan karena terjadinya resistensi pada obat yang diberikan. Resistensi pada obat antiepilepsi

terjadi karena kegagalan obat dalam mencapai targetnya, terjadi perubahan sasaran obat, dan obat yang bekerja kehilangan sasaraan sebenarnya.13

Terdapat beberapa faktor resiko resistensi obat antiepilepsi yaitu usia onset yang tidak lama, EEG abnormal, defisit neurologis atau retardasi mental pada saat diagnosis, etiologi simptomatik, kejang dengan frekuensi tinggi dan non respons terhadap obat Anti Epilepsi.14

Pada sebagian pasien, kejang demam menyebabkan epilepsi lobus temporal mesial dan pada bayi kejang demam yang berkepanjangan terdapat hubungan dengan kerusakan parah pada struktur temporomesial. Epilepsi lobus temporal mesial dikaitkan dengan perubahan hipokampus, termasuk berkurangnya ukuran, hilangnya neuron yang mengeras dan lesi pada hipokampus hal ini merupakan epilepsi serius dan epilepsi resisten obat yang paling umum.14

Cannabinoid sering dikaitkan dengan epilepsi jika pengobatan yang diberikan resistan. Pamplona et al (2018) menyatakan bahwa CBD efektif dan aman, setidaknya pada populasi pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan, dengan mempertimbangkan risiko, dan manfaat yang melekat pada pengobatan kondisi neurologis yang parah ini.15Sebagian besar pasien memperoleh manfaat dari pengobatan ini dan bila terjadi efek samping maka masih terbilang cukup ringan.16

Mekanisme kerja dari Cannabinoid ini terhadap epilepsi yang resisten dengan pengobatannya yaitu melalui aktivasi CB1R, anandamide dan cannabinoid sintetik WIN 55,212-2 yang mampu memblokir produksi spiking neuronal postsynaptic dan produksi

(4)

359 rangsang potensial post sinaptik.17Kedua senyawa

tersebut juga mampu menekankan produksi aktivitas ledakan abnormal di neuron yang ditempatkan dalam larutan Mg2+.18Deplesi Mg2+ memungkinkan aktivasi reseptor NMDA pada potensi istirahat normal tanpa depolarisasi neuron prasyarat biasa. Efek ini dihapuskan ketika antagonis CB1R ditambahkan, menunjukkan bahwa efek tersebut adalah aktiasi sekunder dari CB1R oleh agen ini.17, 18

CBD memiliki modulator alosterik CB1R negatif afinitas rendah tanpa efek samping psikotropika. Hal ini dapat memodulasi masuknya Ca2+ dan Na+ ke dalam neuron dengan mengikat saluran Ca2+ tipe T pada Reseptor Transien Potensial tipe Melastin dan Vanilloid (RTPM dan RTPV). Sehingga, CBD yang digunakan pada epilepsi menunjukkan aktivitas antikonvulsan yang menarik walaupun dengan efek samping kognitif terbatas.19

KESIMPULAN

Senyawa pada Cannabidoid bermanfaat sebagai antikejang, antipsikotik, pelindung saraf, antidepresan dan ansiolitik sehingga dapat mambantu pasien yang resisten terhadap pengobatan antiepilepsi dengan cara kerjanya mengaktivasi mediator CB1R, anandamide dan cannabinoid sintetik WIN 55,212-2 sehingga dapat menunjukkan aktivitas antikonvulsan pada senyawanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, epilepsy [internet] World Health Organization; 2019 [disitasi tanggal 17 Juli 2020]. Tersedia dari:

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy

2. World Health Organization. Epilepsy in the WHO South East Asian Region Bridging the Gap. The Global Campaign against Epilepsy “Out of the Shadows”. 2011.

3. Alfathan P, Wathoni N. Review Artikel: Metode Pengujian Aktivitas Antikonvulsan Sebagai Skrining Pengobatan Epilepsi. Farmaka. 2019; 17(2), 143-149.

4. Huntsman RJ, Tang-Wai R, & Tellez-Zenteno J. 2019. Cannabis for Pediatric and Adult Epilepsy. In Recent Advances in Cannabinoid Research. IntechOpen

5. Friedman D, Devinsky O. Cannabinoids in the Treatment of Epilepsy. N Engl J Med. 2015; 373(11):1048-1058.

6. Mehmedic Z, Chandra S, Slade D, Denham H, Foster S, Patel AS, Dkk. Potency trends of Δ9-THC and other cannabinoids in confiscated cannabis preparations from 1993 to 2008. Journal of forensic sciences. 2010; 55(5):1209–1217. 7. Devinsky O, Cross JH, Wright S. Trial of

Cannabidiol for Drug-Resistant Seizures in the Dravet Syndrome. N Engl J Med. 2017; 377(7):699-700.

8. Bancaud J, Henriksen O, Donnadieu FR, et al. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures. Epilepsia. 1981; 22:489-501. 9. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz

A, Cross JH, et al. ILAE Official Report: A Practical Clinical Definition of Epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4): 475-82

10. Kristanto, Andre. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah Denpasar-Bali. Intisati Sains Medis. 2017; 8.1: 69-73.

11. Ardilla Y, Tjandrasa H, & Arieshanti I. Deteksi Penyakit Epilepsi dengan Menggunakan Entropi Permutasi, K-means Clustering, dan Multilayer

(5)

360 Perceptron. Jurnal Teknik ITS. 2014; 3(1)

A70-A74.

12. Husna, M & Kurniawan SN. Biomolecular mechanism of anti epileptic drugs. Malang Neurology Journal. 2018; 4(1), 38-45.

13. Kwan, Patrick; schachter, Steven C.; Brodie, Martin J. Drug-resistant epilepsy. New England Journal of Medicine. 2011, 365.10: 919-926. 14. Xue-Ping, W., Hai-Jiao, W., Li-Na, Z., Xu, D., &

Ling, L. Risk factors for drug-resistant epilepsy: a systematic review and meta-analysis. Medicine, 2019, 98(30).

15. Pamplona, F. A., da Silva, L. R., & Coan, A. C. Potential clinical benefits of CBD-rich cannabis extracts over purified CBD in treatment-resistant epilepsy: observational data meta-analysis. Frontiers in neurology, 2018, 9, 759.

16. Silvestro, S, Mammana, S, Cavalli, E., Bramanti, P., & Mazzon, E. Use of cannabidiol in the treatment of epilepsy: Efficacy and security in clinical trials. Molecules, 2019, 24(8), 1459. 17. Lupica CR, Hu Y, Devinsky O, Hoffman A.

Cannabinoids as hippocampal network administrators. Neuropharmacology. 2017;124:25-37

18. Sugaya Y, Kano M. Control of excessive neural circuit excitability and prevention of epileptic seizures by endocannabinoid signalling. Cellular and Molecular Life Sciences.2018;75:2793-2811 19. Catterall, W.A. Forty Years of sodium channels:

Structure, function, pharmacology,and epilepsy. Neurochem. Res. 2017, 42, 2495–2504.

Referensi

Dokumen terkait

Interaksi suku Quraisy, Nabi Muhammad, dan Yahudi dalam karya ini akan dilihat sebagai pergumulan politik yang masing-masing memiliki kepentingan berupa kekuasaan. Dengan

Terdapat kontribusi yang positif unsur-unsur dinamis pembelajaran, fasilitas belajar, dan motivasi berprestasi terhadap kepuasan siswa.Hasil ini memberi makna bahwa jika unsur-

Berdasarka analisis dari dialog antar pemain dalam film Hijrah Cinta karya Hanung Bramantyo yang mengandung nilai religius hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan

Dari hasil penelitian, ketiga informan menyatakan hal yang sama, yakni: manfaat dari terapi SEFT adalah memberikan motivasi untuk para pecandu NAPZA dalam pengobatan

Penjualan perorangan atau personal selling , yaitu suatu bentuk komunikasi langsung antara media penyiaran yang biasanya diwakili oleh seorang tenaga

Penelitian ini menghasilkan suatu aplikasi Sistem Pendukung Keputusan untuk Pemberian Reward Kader Terbaik Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Bengkulu dengan

Petani mendapatkan modal untuk bertani, sedangkan pemodal mendapatkan bagi hasil serta pemilik modal bisa mendapat keuntungan lain dari penjualan hasil panen petani padi

Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi amonium nitrat yang rendah dalam medium dasar sesuai untuk pembentukan, pertumbuhan, dan regenerasi kalus pada kultur anther Anthurium..