KEWENANGAN DAERAH DALAM MEMBUAT PERJANJIAN
INTERNASIONAL DI INDONESIA
Ade Pratiwi Susanty
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Alamat: Jl. Sekuntum Raya No. 15 Arengka Kota Pekanbaru
Email: [email protected]
Abstract
As an independent sovereign nation Indonesia has been actively involved in international relations and entered into international agreements with other countries, both bilateral and multilateral. Along with the developments that occur not only countries that can enter into international agreements but local governments have the authority in entering into international agreements with foreign parties. The method used in this research is normative law research. This study uses the legislation approach. The result of the research shows that Law Number 24 Year 2000 gives the regional authority to make international agreement, as regulated in Article 5. In addition, the regional authority in making international agreement is regulated in Law Number 12 Year 2008 regarding Regional Government. Mechanism of making international agreement by region, local government in this case that is Governor, Regent, or Mayor first ask opinion and consideration to DPRD to plan international agreement making.
Keywords: Regional Authority, International Agreement
Abstrak
Sebagai negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Seiring perkembangan yang terjadi bukan hanya negara saja yang dapat mengadakan perjanjian internasional namun pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam mengadakan perjanjian internasional dengan pihak luar negeri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat perjanjian internasional, hal tersebut diatur dalam Pasal 5. Selain itu kewenangan daerah dalam membuat perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Mekanisme pembuatan perjanjian internasional oleh daerah, pemerintah daerah dalam hal ini yaitu Gubernur, Bupati, atau Walikota terlebih dahulu meminta pendapat dan pertimbangan kepada DPRD terhadap rencana pembuatan perjanjian internasional.
1 Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta: 1990, hlm. 7. 2 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta: 2010, hlm. 2.
3 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung: 2003, hlm.13. 4 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 2006, hlm.109.
I. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat mempengaruhi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Sejalan dengan adanya perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia,
semakin berkembang pula permasalahan-
permasalahan dalam masyarakat internasional dan
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
dalam Hukum Internasional. Bentuk kehidupan yang kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada norma atau aturan. Aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara. Aturan tersebut dapat dikatakan sebagai hukum internasional. Pada kenyataannya bahwa hukum internasional telah mengatur hubungan antar negara sejak berabad-abad. Tanpa hukum internasional negara tidak mungkin hidup bersama-sama dalam suatu masyarakat negara. Setiap negara didunia ini bertindak atas asumsi bahwa hubungan antar negara diatur dengan hukum.1
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara-negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata melainkan publik.2 Dari pengertian tersebut
bahwasannya tidak dapat dihindari lagi betapa batas-batas teritorial suatu negara nasional kini tidak lagi
menjadi penghalang bagi berbagai aktivitas masyarakat internasional yang semakin pesat. Masyarakat internasional pada dasarnya merupakan landasan sosiologis dalam hukum internasional. Landasan disini berarti merupakan bagian utama dari suatu hukum internasional dan hal yang harus ada di dalam hukum internasional itu sendiri.
Pada hakikatnya masyarakat internasional diartikan sebagai suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang jalin menjalin dengan erat.3 Kehidupan
masyarakat internasional yang terjalin merupakan hubungan resmi antara negara-negara dalam hukum internasional. Negara memiliki posisi utama dalam
menjalin hubungan di dalam masyarakat
internasional. Hal ini dikarenakan negara secara politis maupun yuridis mempunyai kekuasaan territorial yang bersifat mutlak. Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia yang cenderung semakin tidak mengenal batas negara ini, dapat dimungkinkan terjadi kesepakatan antar negara-negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan
yang dituangkan dalam bentuk perjanjian
internasional.
Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan bahwa dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional salah satunya akan mempergunakan perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara yang bersengketa.4 Perjanjian internasional
5 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, (Terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja), Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hlm. 582. 6 Wordpers, ensi wina, induk pengaturan
perjanjian,http://imeemae.wordpress.com/2008/06/25/konvensi-wina-1969-induk-pengaturan-perjanjian-internasional terakhir kali dikunjungi tanggal 27 Juli 2010 pukul 13.00)
7 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Mandar Maju, Bandung: 2002, hlm. 59.
merupakan salah satu sumber dari hukum internasional. Selain perjanjian internasional, sumber hukum internasional lainnya yaitu kebiasaan internasional, prinsip hukum umum, dan sumber hukum tambahan (keputusan pengadilan, pendapat sarjana terkemuka, keputusan organisasi dan
keputusan lembaga internasional). Perjanjian
internasional merupakan instrumen transaksi
internasional. Adapun pelaksana dari instrumen tersebut adalah perwakilan negara atau perwakilan
pemerintah, termasuk kepala negara/kepala
pemerintahan dan menteri luar negeri. Perjanjian internasional yang dilakukan antara negara-negara pada dasarnya memiliki peranan untuk meningkatkan kerja sama internasional.
Kerja sama yang dilakukan tetap
memperhatikan kepentingan-kepentingan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian internasional. Pada awalnya perjanjian yang dilakukan berdasarkan keinginan antara kedua belah pihak yang merasa kepentingannya sama dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan kerja sama perjanjian internasional. Perjanjian internasional dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian internasional apabila perjanjian itu harus dilakukan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.
Sebelum tahun 1969 hukum traktat sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Kaidah-kaidah ini untuk sebagian besar telah dikodifikasikan dan disusun kembali dalam Konvensi Wina tentang Hukum Traktat
(Vienna Convention on the Law of Treaties), yang dibentuk pada tanggal 23 Mei 1969 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Januari 1980 menyusul masuknya 35 ratifikasi atau aksesi sebagaimana diisyaratkan oleh Pasal 84 Konvensi (selanjutnya konvensi ini akan disebut sebagai “Konvensi Wina”).5 Maka
Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya.6
Konvensi Wina 1969 menjelaskan
mengenai Prinsip Hukum Umum yang melandasi Hukum Perjanjian Internasional. Prinsip tersebut adalah prinsip free consent (persetujuan bebas), prinsip good faith (itikad baik), dan prinsip pacta sunt servanda (perjanjian harus ditaati). Dengan adanya penegasan mengenai prinsip-prinsip hukum ini, maka hukum Perjanjian Internasional sebagai hukum positif memiliki landasan fundamental dan ideal. Sebab setiap perjanjian maupun kaidah hukum Perjanjian Internasional tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum. Apabila tidak ada pengaturan hukumnya dalam bentuk hukum positif, maka kaidah hukumnya dapat diturunkan atau ditarik dari prinsip-prinsip hukum umum.7
8 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007, hlm. 218.
9 Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remadja Karya, Bandung: 1984, hlm. 4. 10 I Wayan Parthiana, Op. Cit., hlm. 12.
11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional,” Lembaran Negara R.I. Tahun 2000
Nomor 185 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 4012, Pasal 5.
Subjek hukum internasional ialah setiap negara, badan hukum (internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan hukum internasional.8 Hubungan hukum internasional
tidak hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara saja melainkan hubungan hukum internasional mengalami perkembangan yang semakin luas.
Subjek-subjek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga-lembaga internasional dan negara-negara. Ciri-ciri perjanjian internasional yaitu suatu perjanjian atau persetujuan
yang dibuat antara subjek-subjek hukum
internasional yang satu sama lainnya saling menyetujui atau terjadi persesuaian kehendak antara pihak-pihak yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban dalam bidang internasional. Menurut Budi Harsono bahwa dalam perjanjian internasional yang terpenting adalah kehendak negara untuk diikat (the will of the state to be bound) dan persetujuan negara untuk diikat pada perjanjian (consent of the State to be bound).9
Perjanjian internasional secara umum yang dilakukan oleh subjek hukum internasional adalah kata sepakat dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Suatu Perjanjian Internasional dalam hal ini haruslah memenuhi unsur-unsur suatu Perjanjian Internasional itu sendiri.
Adapun unsur-unsurnya yaitu adanya suatu kata sepakat dimana tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan adanya suatu perjanjian. Kemudian adanya subjek-subjek hukum, berbentuk tertulis, adanya objek tertentu, dan tunduk pada hukum internasional.10
Saat ini semakin banyak masalah
transnasional yang memerlukan pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin dilakukan dengan instrumen perjanjian internasional. Hal itu disebabkan perjanjian internasional sudah berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks. Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah berperan aktif dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Sejalan dengan adanya otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat perjanjian internasional. Hal tersebut diatur dalam Pasal 5 yang menetapkan bahwa Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri luar negeri.11
12 Data Base, Legalitas http://www.legalitas.org/database/puu/2006/permenLu09-2006.pdf (terakhir kali dikunjungi tanggal 1 Agustus
2010 pukul 10.00)
Dalam rangka mendukung
penyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri, Menteri Luar Negeri telah mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, yaitu
Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor
09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, khususnya di dalam Pasal 2 Bab X yaitu mengenai pembuatan perjanjian internasional. Peraturan
Menteri tersebut didasarkan pada tertib
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
mendukung penyelenggaraan hubungan dan
kerjasama luar negeri yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum. Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan Peraturan Menteri Luar Negeri sangat diperlukan guna memberikan acuan kepada daerah dalam mengadakan hubungan dan kerjasama luar negeri.12 Proses pembuatan
perjanjian internasional oleh daerah pada hakekatnya mengikuti pola mekanisme umum hubungan dan kerjasama luar negeri oleh daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Pemerintahan Daerah, sebelum tahapan
penandatanganan perjanjian internasional, daerah harus mengikuti mekanisme internal daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan DPRD kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006, terdapat juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar Negeri. Selain itu juga terdapatnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 193/1652 PUOD Tanggal 26 April 1993 Perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar kota (Sister City) dan Antar Province (Sister Province) Dalam dan Luar Negeri.
Perjanjian internasional yang dibuat oleh daerah contohnya yaitu Perjanjian yang dilakukan tanggal 19 Januari 2007 di Solo, Pemerintah Kota Surakarta Propinsi Jawa Tengah dengan Pemerintah Kota Montana, Bulgaria telah menandatangani Nota Kesepahaman mengenai Kerjasama Kota Kembar. Upacara penandatanganan antara Walikota Ir. Joko Widodo dan Wakil Walikota Montana Mr. Roumen Angelov dilaksanakan di Pendapi Gedhe Kantor Walikota Surakarta. Kedua belah pihak telah sepakat untuk lebih meningkatkan dan memperluas kerjasama yang efektif dan saling menguntungkan bagi pemerintah kedua kota yang mencakup bidang
ekonomi, lingkungan, sistem transportasi,
infrastruktur, pariwisata dan kebudayaan, serta pendidikan. Perjanjian merupakan bentuk kerjasama Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana dituangkan
kedalam sebuah perjanjian dalam bentuk
Memorandum Saling Pengertian atau Memorandum of Understanding (MoU) dan merupakan perjanjian internasional tertulis antar pemerintah.
Perjanjian ini dirumuskan dalam 3 bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Bulgaria, Perjanjian internasional ini masuk kedalam perjanjian internasional antar negara, walaupun yang bertindak sebagai subyeknya adalah Pemerintah Daerah . Perjanjian ini merupakan suatu perjanjian
13 http://pariwisata-sigit.blogspot.com/(terakhir kali dikunjungi tanggal 1 Agustus 2010 Pukul 10.00) 14 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,Yogyakarta:1998, hlm. 85. 15 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta:2007, hlm. 279.
16 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan XI, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), hlm. 234-242.
internasional yang kelahirannya atau pemben-tukannya diprakarsai oleh negara atau negara-negara. Berlakunya perjanjian ini merupakan perjanjian internasional yang berlaku khusus. Perjanjian ini bertujuan untuk peningkatan potensi daerah sehingga Pemerintah Daerah mampu menjalin kerjasama program Kota Bersaudara (sister-city) dengan negara lain.13
Dalam Undang-Undang Dasar 1945
ditentukan bahwa Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kesatuan dibagi-bagi menjadi daerah-daerah yang lebih kecil dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Hal ini ditentukan didalam Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Pembagian daerah yang dilakukan Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh lautan sehingga dengan pembagian wilayah tersebut penyelenggaraan pemerintahan negara dapat terselenggara dengan baik dan cepat. Berdasarkan penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia itu sendiri dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dalam undang-undang.14
Adapun sejarah lahirnya Pasal 18 UUD 1945 diawali oleh Muh. Yamin. Muh Yamin adalah
orang pertama yang membahas masalah
pemerintahan daerah dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945. Pada kesempatan ini Muh Yamin melampirkan rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang memuat tentang pemerintahan daerah.15
Dalam membicarakan otonomi daerah adanya keterkaitan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan di daerah, oleh karena itu menarik untuk dikaji bagaimanakah kewenangan daerah dalam membuat Perjanjian Internasional di Indonesia? bagaimanakah mekanisme pembuatan Perjanjian Internasional oleh daerah di Indonesia ?
II. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Dalam penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian yang digolongkan sebagai data sekunder.16
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan metode studi dokumenter. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan pada akhirnya disimpulkan dengan metode deduktif.
II. Pembahasan
2.1. Kewenangan Daerah Membuat Perjanjian Internasional di Indonesia
17 http://renggap.co.cc/perjanjian-internasional/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Oktober 2010 pukul 10.00) 18 Sefriani, Op. Cit., hlm. 26.
19 http://www.scribd.com/doc//Hukum-Perjanjian -Internasional-Menurut-Konvensi-Wina-1969-part-1(terakhir kali dikunjungi tanggal
23 Oktober 2010 pukul 09.00)
Hukum internasional mempunyai
kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasional serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi
internasional dan negara-negara. Perjanjian
internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur
mengenai bagaimana prosedur perjanjian
internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.17 Dalam praktik beberapa
negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum perjanjian
internasional. Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah
Internasional senantiasa dijadikan rujukan
pembahasan sumber-sumber dalam hukum
internasional. Menurut pasal ini, dalam memutus sengketa internasional yang diserahkan padanya, hakim Mahkamah Internasional dapat menggunakan perjanjian internasional (international conventions), kebiasaan internasional (international custom) sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum, prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations), dan putusan pengadilan dan doktrin atau karya hukum sebagai sumber hukum tambahan (subsidiary).18
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional.19
Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi tersebut yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur.
20 http://www.docstoc.com/docs/19709324/Hukum-Perjanjian-Internasional (terakhir kali dikunjungi tanggal 28 Oktober 2010 pukul
11.00)
21 Ibid., hlm.28.
Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada persetujuan dari seluruh Negara anggota Vienna Convention tersebut. Vienna Convention 1969 berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya.20
Perjanjian internasional dikatakan sebagai
sumber hukum yang terpenting. Perjanjian
internasional menjadi instrumen utama pelaksanaan hubungan internasional antar negara. Perjanjian internasional berperan sebagai sarana untuk meningkatkan kerja sama internasional. Perjanjian internasional menurut Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah terdiri dari satu atau lebih instrumen dan apa pun namanya.21 Pada umumnya hanya negara-negara
yang memenuhi syarat ketatanegaraan menurut hukum internasional dan organisasi-organisasi internasional yang dapat menjadi peserta traktat. Perkembangan modern telah menyebabkan hampir tidak mungkin menerapkan kaidah ini secara kaku. Kadang-kadang perjanjian yang bersifat teknis dibuat
antar departemen pemerintah negara-negara yang berbeda, yang ditandatangani oleh wakil-wakil departemen terkait.
Sebagai negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Seiring perkembangan yang terjadi bukan hanya negara saja yang dapat mengadakan perjanjian internasional namun pemerintah daerah mempunyai
kewenangan dalam mengadakan perjanjian
internasional dengan pihak luar negeri. Adanya perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mitranya di luar negeri menimbulkan implikasi yuridis konstitusional. Jika hukum nasional tidak memberikan ketegasan yuridis terhadap perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah daerah maka akan menimbulkan persoalan yuridis bagi akibat-akibat hukum yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah itu, baik dalam skala nasional
terlebih internasional. Ada tiga hal yang
menyebabkan dimungkinkannya pemerintah daerah melakukan kerjasama :
1) Secara filosofis kedua undang-undang
berkehendak untuk berpemerintahan
berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.
2) Secara sosiologis kedua undang-undang
mengadopsi kebutuhan akan peran serta
masyarakat dalam kehidupan
22 http://ernesfalikres.wordpress.com/2009/04/08/pemda/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 25 Oktober 2010 pukul 10.00)
23 http://ernesfalikres.wordpress.com/2009/04/08/pemda-dapat-mengadakan-kerjasama-internasional/ (terakhir kali dikunjungi
tanggal 29 Oktober 2010 pukul 14.00)
tantang global dan perkembangan keadaan dalam dan luar negeri.
3) Secara politis, kedua undang-undang
merupakan instrumen pemerintah untuk
melakukan desentralisasi kewenangan.
Selain itu adanya keseimbangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik, kekuasaan harus bisa mengalir dari daerah ke pusat dimana pemerintah daerah harus mendukung kebutuhan dan kepentingan pemerintah pusat. Sehingga tujuan politik dari undang-undang itu adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui
pemberdayaan pemerintah daerahnya.22
Kapasitas hukum dari pemerintah daerah untuk dapat mengadakan kerjasama internasional adalah terbatas. Bila naskah perjanjian internasional yang hendak dilakukan oleh pemerintah daerah ada keterkaitan dengan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama, perjanjian yang hendak dilakukan memerlukan kekuatan penuh Pemerintah. Perjanjian yang dilakukan menjadi perjanjian payung bagi perjanjian teknis. Tetapi bila naskah perjanjian yang hendak dilakukan pemerintah daerah tidak ada keterkaitan dengan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama maka naskah perjanjian harus dianggap perjanjian teknis yang bisa dilakukan atas kapasitas pemerintah daerah sendiri.23
Penyeleng-garaan pemerintah daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyeleng-garaan pemerintahan negara.
Sejalan dengan adanya otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat perjanjian internasional. Hal tersebut diatur dalam Pasal 5 yang menetapkan bahwa Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri luar negeri. Mekanisme konsultasi dengan menteri ini sesuai dengan tugas dan fungsi menteri luar negeri sebagai pelaksana hubungan dan politik luar negeri, dengan tujuan melindungi kepentingan nasional dan mengarahkan agar pembuatan perjan-
24 Sefriani, Op. Cit., hlm. 40.
25 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil., Op. Cit., hlm. 10.
jian internasional tidak bertentangan dengan kebijakan politik luar negeri Republik Indonesia, dan prosedur pelaksanaannya sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam undang-undang tentang Perjanjian Internasional. Mekanisme konsultasi tersebut dapat dilakukan melalui rapat antar kementerian atau komunikasi surat menyurat antara lembaga-lembaga dengan kementerian Luar Negeri untuk meminta pandangan politis/yuridis rencana pembuatan perjanjian internasional tersebut.24
Negara Republik Indonesia yang
merupakan negara kesatuan yang dibagi menjadi daerah-daerah yang lebih kecil dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan memberikan
kesempatan kepada daerah untuk menjalin hubungan dalam rangka meningkatkan potensi daerah tersebut. Berbicara mengenai pemerintah daerah dapat dikatakan bahwasannya pemerintah daerah merupakan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sumber utama kebijaksanaan umum yang mendasari pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang dibagi menjadi sejumlah daerah besar dan kecil yang bersifat otonom. Daerah yang bersifat otonom disini yaitu daerah yang diperbolehkan mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk membentuk susunan
pemerintahan daerah-daerah itu, pemerintah
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang
ini mengatur pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintah daerah otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas
pemerintahan pusat di daerah. Dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan, asas-asas yang digunakan meliputi;25
a) Asas Desentralisasi yang menyatakan
penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut.
b) Asas Dekonsentrasi yang menyatakan
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Dalam hal ini tanggung jawab tetap berada pada pemerintah
pusat dan unsur pelaksanaannya
dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat. Hal ini bermaksud bahwa tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah.
c) Asas Tugas Perbantuan yang menyatakan
adanya tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada
pemerintah daerah dengan kewajiban
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas.
26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah,” Lembaran Negara R.I. Tahun 2008
Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 4844, Pasal 42 ayat (1).
27 Edy Suryono, op.cit., hlm. 24
Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, yang berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan otonomi daerah maka daerah diberi kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan pihak luar negeri. Kewenangan daerah dalam membuat perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berdasarkan tugas dan wewenang DPRD yang berkaitan dengan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Pasal 42 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut berbunyi sebagai berikut:
Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.26
Walaupun kepada pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam hal membuat perjanjian internasional namun kewenangan tersebut bersifat
terbatas. Pembuatan perjanjian internasional
tersebut hanya mencakup di bidang-bidang tertentu saja. Pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh daerah dengan pihak luar negeri apabila dilihat dari penggolongan suatu perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal maka perjanjian yang dibuat digolongkan sebagai treaty
contract. Treaty contract merupakan perjanjian yang dibuat hanya melibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian ini tidak memberi kesempatan kepada pihak yang tidak ikut dalam perundingan. Selain itu perjanjian ini bersifat tertutup atau dapat dikatakan perjanjian ini merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh beberapa pihak yang berkepentingan saja.
Suatu perjanjian internasional yang telah ada belum berarti perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Untuk ini dibutuhkan suatu penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan agar perjanjian yang mereka buat dapat berlaku dan mengikat kedua belah pihak. Penegasan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut dinamakan ratifikasi atau pengesahan. Convention on the Law of Treaties yang diadakan di kota Wina tahun 1969 memberi arti pada ratifikasi yang merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat dengan suatu perjanjian. Sehingga pada dasarnya Konvensi Wina menekankan pada persetujuan yang akan meningkatkan rencana perjanjian menjadi perjanjian yang berlaku mengikat bagi negara-negara peserta.27
Perjanjian yang penting harus diratifikasi terlebih dahulu sebelum berlaku. Hal ini disebabkan karena secara yuridis ketentuan undang-undang dasar atau konstitusi masing-masing negara yang bersangkutan mengharuskan suatu perjanjian antar negara mendapat persetujuan parlemen terlebih dahulu sebelum diratifikasi oleh pemerintah. Tujuan ratifikasi disini adalah memberikan kesempatan
28 Ibid. hlm. 29. 29 Ibid. hlm. 38.
kepada negara-negara guna mengadakan peninjau-an serta pengamatpeninjau-an ypeninjau-ang seksama apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian tersebut. Suatu ratifikasi baru akan mengikat sesudah diketahui oleh pihak-pihak lain dari perjanjian itu serta sesudah naskah / atau dokumen ratifikasi ditukarkan. Maka perjanjian tersebut telah dianggap sempurna. Dengan ratifikasi tersebut memberikan kekuatan mengikat bagi negara-negara penandatangan secara sah.28
Berkaitan dengan pengesahan perjanjian internasional, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 memberikan dasar bahwa Pengesahan Perjanjian Internasional dengan undang-undang apabila menyangkut persoalan tentang :
1) masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara
2) perubahan wilayah/penetapan batas
wilayah negara RI
3) kedaulatan/hak berdaulat Negara 4) HAM dan lingkungan hidup
5) pembentukan kaidah hukum baru
6) pinjaman/hibah luar negeri
Pemaparan dalam Pasal 11 terlihat bahwa Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama perjanjian (nomenklatur). Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi dalam Pasal 10, maka pengesahan dilakukan dengan keputusan presiden. Adapun klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang maupun melalui keppres. Berdasarkan penjelasan
Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian yang
mensyaratkan adanya pengesahan sebelum
memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal , serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.29
2.2. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Internasional Daerah di Indonesia
Pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh daerah pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional dimana Undang-Undang ini memberikan kewenangan pada daerah untuk membuat perjanjian internasional. Hal ini termuat dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa “lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri Luar Negeri”. Selain didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, pengaturan pembuatan perjanjian internasional diatur juga didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Suatu daerah dalam
30 http://seputarlaptop.com/update/panduan-umum-tata-cara-hubungan-dan-kerjasama-luar-negeri-oleh.html ( terakhir kali dikunjungi
tanggal 20 November 2010 pukul 13.00)
membuat perjanjian internasional diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan DPRD merupakan lembaga perwakilan
rakyat dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Berdasarkan tugas dan wewenang DPRD yang berkaitan dengan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menjelaskan bahwasannya DPRD memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional. Maka dalam mekanisme pembuatan perjanjian internasional oleh daerah, pemerintah daerah dalam hal ini yaitu Gubernur, Bupati, atau Walikota terlebih dahulu meminta pendapat dan pertimbangan kepada DPRD terhadap rencana pembuatan perjanjian internasional.
Pembuatan perjanjian internasional oleh daerah tidak hanya diatur didalam Undang-Undang melainkan diatur juga di dalam Peraturan Menteri Luar Negeri dan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Peraturan menteri merupakan salah satu instrumen hukum yang masih diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Keberadaan Peraturan Menteri diperlukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya
yang secara tegas memerintahkan atau
mendelegasikan. Namun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa menteri dapat membuat peraturan walaupun pendelegasian tersebut tidak secara tegas atau tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Artinya, menteri dapat menetapkan
peraturan yang tidak merupakan delegasi peraturan perundang-undangan yang di atasnya. Peraturan
menteri ini biasa disebut peraturan menteri mandiri, termasuk dalam peraturan kebijakan, bersumber dari kewenangan diskresi (freies Emerssen).30
Kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya, dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan selama ini
diperbolehkan. Tindakan menteri untuk menge-luarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan guna mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya. Jika menteri ingin menuangkan kebijakan dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Hal yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan. Dalam pembentukan Peraturan Menteri, berlaku prinsip bahwa peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dapat menghapuskan atau mencabut peraturan yang sederajat atau yang lebih rendah.
Dalam hal peraturan yang sederajat bertentangan dengan peraturan sederajat lainnya (dalam arti sejenis), maka berlaku peraturan yang terbaru dan peraturan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori). Dalam hal peraturan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika peraturan yang mengatur hal yang merupakan kekhususan dari hal yang umum (dalam arti sejenis) yang diatur oleh peraturan yang sederajat
31 Ibid.
32 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri No.09/A/KP/XII/2006/01 Tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama
Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, BAB I.
sederajat, maka berlaku peraturan yang mengatur hal khusus tersebut (lex specialis derogat lex generalis). Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah “asas dapat dilaksanakan", yaitu setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.31
Dalam rangka mendukung penyeleng-garaan hubungan dan kerjasama luar negeri, Menteri Luar Negeri telah mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, yaitu Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Peraturan Menteri tersebut
didasarkan pada tertib penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka mendukung
penyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum. Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan Peraturan Menteri Luar Negeri sangat diperlukan guna memberikan acuan kepada daerah dalam mengadakan hubungan dan kerjasama luar negeri. Kebijakan Menteri Luar Negeri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada
tertib penyelenggaraan pemerintahan yang
diinginkan dalam rangka mempermudah
pelaksanaan administrasi atau kepentingan
prosedural lainnya dalam penyelenggaraan
hubungan dan kerjasama luar negeri. Dalam Peraturan Menteri tersebut, yang dimaksud dengan” Hubungan dan kerjasama Luar Negeri adalah segala
kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau warga negara Indonesia.32
Adapun tujuan disusunnya Peraturan Menteri tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah adalah untuk:
1) memberi arah, membantu, dan memfasilitasi daerah dalam melakukan hubungan dan kerjasama luar negeri;
2) menunjang pelaksanaan pembangunan
daerah;
3) mewujudkan kebijakan ”one door policy” dalam hubungan dan kerjasama Luar Negeri Indonesia; dan
4) mencegah timbulnya masalah dalam
pelaksanaan kerjasama antara daerah dan pihak asing.
Bidang-bidang Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang terkait dengan hubungan dan kerjasama luar negeri, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional wajib dikonsultasikan dan dikoor-dinasikan dengan Menteri. Hubungan Luar negeri, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional wajib dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan Menteri. Hubungan Luar Negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan peraturan perundang - undangan nasional dan hukum serta
33 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri No.09/A/KP/XII/2006/01 Tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama
Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, BAB III.
kebiasaan internasional. Untuk melayani kepentingan negara RI (termasuk Pemerintah Daerah) di luar negeri hanya dikenal Perwakilan Republik Indonesia. Pemerintah Daerah tidak dibenarkan membuka perwakilan tersendiri. Bidang-bidang hubungan dan kerjasama luar negeri oleh Daerah yang memerlukan konsultasi dan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri antara lain:
a. Kerjasama ekonomi: (perdagangan,
investasi, ketenagakerjaan, kelautan dan perikanan, iptek, kehutanan, pertanian, pertambangan, kedudukan, pariwisata, lingkungan hidup, dan perhubungan); b. Kerjasama Sosial Budaya: (pendidikan,
kesehatan, kepemudaan, kewanitaan, olah raga, dan kesenian);
c. Bentuk kerjasama lain.33
Berkaitan dengan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, khususnya di dalam Pasal 2 Bab X yaitu mengenai pembuatan perjanjian internasional dijelaskan bagaimana mekanisme pembuatan perjanjian internasional yang dibuat oleh daerah. Pada dasarnya proses pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional, secara umum harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pembuatan perjanjian internasional dilakukan oleh lembaga pemrakarsa. Lembaga Pemrakarsa tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 Pasal 2 Bab X angka 87 tentang
Pembuatan Perjanjian Internasional yang
menyebutkan bahwa “lembaga pemrakarsa
merupakan lembaga yang oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dapat membuat Perjanjian Internasional”. Adapun Lembaga Pemrakarsa terdiri dari:
1) Lembaga Negara
2) Lembaga Pemerintah Departemen
3) Lembaga Pemerintah Non Departemen
4) Pemerintah Daerah
Lembaga Pemrakarsa baik atas nama Pemerintah RI maupun atas nama lembaga dimaksud yang mempunyai rencana untuk membuat Perjanjian Internasional, harus terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri. Mekanisme konsultasi dan koordinasi dilakukan melalui rapat internal atau komunikasi surat menyurat atau cara komunikasi lainnya untuk meminta pandangan Departemen Luar Negeri dari aspek politis/yuridis. Mekanisme konsultasi dan koordinasi yang tercantum di dalam Bab X butir 89 yang menyebutkan bahwasannya mekanisme tersebut dilakukan bertujuan untuk:
a. Koordinasi ini dimaksudkan untuk
menciptakan kesamaan persepsi agar selaras dengan kepentingan nasional; b. Mekanisme konsultasi dan koordinasi juga
bertujuan untuk memfasilitasi kepentingan instansi terkait di daerah. Peran Kementerian Luar Negeri memberikan arahan, pedoman, pemantauan, dan pemberian pertimbangan dalam pembuatan Perjanjian Internasional;
c. Pembuatan Perjanjian Internasional
dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan, perumusan naskah,
penerimaan dan penandatanganan serta pengesahan;
34 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri No.09/A/KP/XII/2006/01 Tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama
Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, BAB X.
d. Kementerian Luar Negeri ikut serta dalam
setiap tahap pembuatan Perjanjian
Internasional, sejak penjajakan hingga pengesahannya
e. Sesuai yang dipersyaratkan
Undang-Undang, Kementerian Luar Negeri
menerbitkan Surat Kuasa (Full Powers) kepada wakil Pemerintah Daerah atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia yang akan menandatangani perjanjian internasional
f. Naskah asli perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Luar Negeri di bagian Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, untuk disimpan di ruang perjanjian (Treaty Room). Kemudian Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya akan membuatkan salinan naskah
resmi (certified true copy) untuk
kepentingan/arsip baik instansi pemerintah maupun non pemerintah di daerah
g. Kementerian Luar Negeri turut serta
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Perjanjian Internasional dimaksud
h. Pembuatan perjanjian internasional harus memuat prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kesepakatan. Adapun prinsip-prinsip dasarnya yaitu:
1. Aman ditinjau dari segi politis ; Tidak bertentangan dengan Politik Luar Negeri dan kebijakan Hubungan Luar Negeri Pemerintah Pusat pada umumnya.
2. Aman ditinjau dari segi keamanan ;
Kerjasama luar negeri tidak
digunakan atau disalahgunakan
sebagai akses atau kedok bagi kegiatan asing (spionase) yang dapat
mengganggu atau mengancam
stabilitas dan keamanan dalam negeri.
3. Aman ditinjau dari segi yuridis ; Terdapat jaminan kepastian hukum
yang secara maksimal dapat
menutup celah-celah (loopholes) yang merugikan bagi pencapaian tujuan kerjasama.
4. Aman ditinjau dari segi teknis ; Tidak bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kementerian Teknis yang terkait.
Proses pembuatan perjanjian internasional oleh daerah pada hakekatnya mengikuti pola Mekanisme Umum Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah. Sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, sebelum tahapan penandatangan perjanjian internasional, daerah harus mengikuti mekanisme internal daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan DPRD kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Adapun tahap-tahap pembuatan Perjanjian
Internasional yang diatur di dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 Pasal 2 Bab X angka 91 adalah sebagai berikut :
a. Tahap Penjajakan
Tahap penjajakan adalah tahap di mana para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional. Penjajakan dapat dilakukan melalui inisiatif instansi/lembaga
Pemerintahan (negara) di Indonesia
ataupun dapat pula merupakan inisiatif dari "calon mitra" (counterpart).
b. Tahap Perundingan
Perundingan adalah suatu kegiatan melalui pertemuan yang ditempuh oleh para pihak
yang berkehendak untuk membuat
perjanjian internasional untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui dalam tahap penjajakan. Tahap ini dapat pula digunakan sebagai wahana untuk memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan
yang tertuang dalam perjanjian
internasional.
c. Tahap Perumusan Naskah
Rumusan naskah adalah merupakan hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap ini dilakukan pemarafan terhadap naskah perjanjian internasional yang telah disetujui.
d. Tahap Penerimaan
Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "penerimaan" yang biasanya ditandai dengan pemarafan pada naskah perjanjian internasional oleh masing-masing ketua delegasi.
e. Tahap Penandatanganan
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari sebuah perundingan untuk melegalisasi kesepakatan yang dituangkan dalam naskah perjanjian internasional. Namun penandatanganan tidak selalu merupakan pemberlakuan perjanjian internasional. Keterikatan akan tergantung pada klausula pemberlakuan yang disepakati oleh para pihak dan dituangkan dalam naskah perjanjian bersangkutan.
Proses pembuatan suatu Perjanjian
Internasional berdasarkan atas prakarsa Pihak Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 Pasal 2 Bab X angka 92. Pola mekanisme dan koordinasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Lembaga pemrakarsa melakukan koordinasi
dengan Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait untuk mengajukan usulan program
kerjasama yang berisi latar belakang
kerjasama, tujuan, sasaran, pertimbangan, potensi daerah, keunggulan komparatif, dan profil pihak asing yang akan menjadi mitra kerjasama;
b. Lembaga pemrakarsa mengadakan rapat
interdep dengan mengundang Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait untuk membicarakan usulan program tersebut; c. Koordinasi dapat juga dilakukan melalui
komunikasi resmi surat menyurat;
d. Kementerian Luar Negeri selanjutnya
memberikan pertimbangan politis/yuridis
35 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri No.09/A/KP/XII/2006/01 Tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama
Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Pasal 2 BAB X Butir 92.
36 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri,” Pasal 2.
dengan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia;
e. Kementerian Luar Negeri berdasarkan
masukan dari Perwakilan RI menyediakan informasi yang diperlukan dalam rangka menjalin kerjasama dengan Pihak Asing; f. Kementerian Luar Negeri mengkomunikasikan
rencana kerjasama dengan Perwakilan
Diplomatik dan Konsuler pihak asing di Indonesia dan Perwakilan RI di luar negeri;
g. Kementerian Luar Negeri memberitahukan
hasil koordinasi kerjasama dengan Pihak Asing kepada Instansi terkait di daerah dan Perwakilan RI di luar negeri;
h. Kesepakatan kerjasama dimaksud dituangkan dalam bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan;
i. Kementerian Luar Negeri turut memantau dan melakukan evaluasi terhadap tindak lanjut dan pelaksanaan kerjasama.35
Pelaksanaan kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri dimaksudkan untuk terciptanya tertib administrasi. Selain itu pelaksanaan kerjasama diperlukan sebagai pedoman pelaksanaan kerjasama pemerintah daerah dengan Pihak Luar Negeri. Kerjasama disini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terjadi karena ikatan formal antara Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pihak Luar Negeri yang melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah adalah Pemerintah Negara Bagian atau Pemerintah Daerah di Luar
Negeri, Perserikatan Bangsa-bangsa termasuk
Badan-badannya dan Organisasi/Lembaga
Internasional lainnya, Organisasi/Lembaga swadaya masyarakat luar negeri serta Badan Usaha Milik Pemerintah Negara/Negara Bagian/Daerah di luar negeri, dan swasta di luar negeri. Kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri haruslah memperhatikan prinsip-prinsip yang telah diatur. Prinsip kerjasama tersebut diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Adapun prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. persamaan kedudukan;
b. memberikan manfaat dan saling
menguntungkan;
c. tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan perekonomian;
d. menghormati kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
e. mempertahankan keberlanjutan lingkungan;
f. mendukung gender; dan
g. sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.36
Kerjasama yang dilakukan antara
Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri dapat
berbentuk suatu kerjasama provinsi dan
kabupaten/kota “kembar”, kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundangan. Berdasarkan Bab IV Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri, Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kerjasama dengan pihak luar negeri
37 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri,” Pasal 11 ayat (2).
38 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri,” Pasal 12.
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut;
a. merupakan pelengkap dalam
penyeleng-garaan pemerintahan daerah;
b. mempunyai hubungan diplomatik;
c. merupakan urusan pemerintah daerah;
d. tidak membuka kantor perwakilan di luar negeri;
e. tidak mengarah pada campur tangan
urusan dalam negeri;
f. sesuai dengan kebijakan dan rencana
pembangunan;dan
g. ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dapat dialihkan.
Pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri dapat dilakukan atas pemrakarsa. Prakarsa kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri dapat berasal dari Pemerintah Daerah, Pihak Luar Negeri kepada Pemerintah Daerah, dan Pihak Luar Negeri melalui Menteri Dalam Negeri kepada Pemerintah Daerah. Prakarsa kerjasama yang dilakukan dilaporkan dan dikonsultasikan oleh Pemerintah Daerah kepada
Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan
pertimbangan. Pertimbangan Menteri Dalam Negeri disampaikan kepada Gubernur untuk dijadikan dasar dalam menyusun rencana kerjasama. Menteri Dalam Negeri menyampaikan prakarsa kerjasama dari pihak luar negeri kepada Gubernur beserta pertimbangan. Pertimbangan tersebut dijadikan dasar dalam menyusun Rencana Kerjasama oleh Pemerintah Daerah. Rencana Kerjasama kemudian disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Menteri Dalam Negeri.
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Pasal 11 ayat (2), Rencana Kerjasama yang dilakukan memuat hal-hal sebagai berikut:
a. subyek kerjasama
b. latar belakang maksud, tujuan dan sasaran
c. obyek/ruang lingkup kerjasama
d. hasil kerjasama
e. sumber pembiayaan
jangka waktu pelaksanaan.37
Rencana Kerjasama kemudian disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk mendapat persetujuan. Persetujuan DPRD diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya Rencana Kerjasama. Persetujuan DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Rencana Kerjasama tidak mendapat tanggapan dari DPRD, Rencana Kerjasama dianggap disetujui. Selanjutnya Kepala Daerah menyusun Rancangan Memorandum Saling
Pengertian setelah Rencana Kerjasama
mendapatkan persetujuan DPRD. Memorandum Saling Pengertian disini yaitu dalam bentuk dan nama tertentu, yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dengan Pihak Luar Negeri yang mengatur kedudukan para pihak, obyek kerjasama, tanggungjawab para pihak dalam kerjasama, penyelesaian sengketa kerjasama, serta hak dan kewajiban hukum para pihak yang bekerja sama. Dalam hal Kepala Daerah
menyusun Rancangan Memorandum Saling
Pengertian paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah Rencana Kerjasama mendapatkan
persetujuan DPRD.38
Gubernur dalam menyampaikan Rencana Kerjasama Provinsi, Persetujuan DPRD, dan Rancangan Memorandum Saling Pengertian
kemudi-39 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri,” Pasal 14.
40 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri,” Pasal 17 ayat (1).
an disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Selain Gubernur, dalam hal ini Bupati/Walikota
mempunyai kapasitas dalam menyampaikan
Rencana Kerjasama, Persetujuan DPRD, dan Rancangan Memorandum Saling Pengertian kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Rencana Kerjasama dan Rancangan Memorandum Saling Pengertian yang disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dilakukan pembahasan oleh
Menteri Dalam Negeri dengan melibatkan
Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait untuk memperoleh pertimbangan. Rencana kerjasama dan Rancangan Memorandum Saling Pengertian hasil pembahasan untuk kerjasama Provinsi/Kabupaten/Kota "kembar" disampaikan Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Sekretaris
Negara untuk mendapatkan Persetujuan
Pemerintah.39 Berdasarkan Persetujuan Pemerintah,
Menteri Dalam Negeri menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri untuk mendapatkan surat kuasa (full powers) setelah mendapatkan tanda persetujuan dari Pihak Luar Negeri. Surat kuasa (full powers) tersebut dijadikan dasar untuk menandatangani Memorandum Saling Pengertian oleh Pemerintah Daerah dan Pihak Luar Negeri. Hasil pembahasan
untuk kerjasama teknik termasuk bantuan
kemanusiaan, penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dijadikan dasar untuk menandatangani naskah Memorandum Saling Pengertian.
Berbicara mengenai pembiayaan
pelaksanaan kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri dapat Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau
sumber-sumber lain yang sah telah disepakati dalam Memorandum Saling Pengertian. Pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri diperlukan suatu pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri.
Menteri Dalam Negeri dapat melimpahkan
pembinaan terhadap pelaksanaan kerjasama Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Menteri Dalam Negeri juga dapat melimpahkan pengawasan pelaksanaan kerjasama Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Pembinaan Menteri Dalam Negeri terhadap pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak Luar Negeri meliputi:
a. koordinasi pelaksanaan kerjasama antar susunan pemerintahan
b. pemberian pedoman dan standar
pelaksanaan kerjasama
c. perencanaan, penelitian, dan
pengem-bangan
d. bimbingan, supervisi, dan konsultasi e. pendidikan dan pelatihan.40
Berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, dimana Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan pelaksanaan kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Pengawasan dalam hal ini meliputi
pemantauan, evaluasi, dan pemeriksaan.
Pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Pengawasan dalam hal ini meliputi pemantauan, evaluasi, dan pemeriksaan.
41 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri,” Pasal 19.
Pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri kadangkala
menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu
perselisihan yang timbul antara Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri dapat diselesaikan sesuai dengan Naskah Memorandum Saling Pengertian.
Pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Dearah dengan Pihak Luar Negeri harus dilakukan pelaporan. Pelaporan dalam hal ini menyangkut laporan pelaksanaan kerjasama yang telah dilakukan. Pelaporan dilakukan oleh Gubernur,
dimana Gubernur menyampaikan laporan
pelaksanaan kerjasama Pemerintah Provinsi dengan Pihak Luar Negeri kepada Menteri Dalam Negeri dan Pimpinan Instansi terkait paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. Selain Gubernur, Bupati/Walikota juga dapat menyampaikan laporan pelaksanaan kerjasama Pemerintah Kabupaten/ Kota dengan Pihak Luar Negeri kepada Menteri Dalam Negeri dan Pimpinan Instansi terkait melalui Gubernur paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. Selain menyampaikan laporan pelaksanaan mengenai kerjasama, Gubernur juga menyampaikan laporan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kerjasama Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pihak Luar Negeri kepada Menteri Dalam Negeri paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
Negeri dan Pimpinan Instansi terkait melalui Gubernur paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. Selain menyampaikan laporan pelaksanaan mengenai kerjasama, Gubernur juga menyampaikan laporan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kerjasama Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pihak Luar Negeri kepada Menteri Dalam Negeri paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
III. Penutup 3.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dalam pembahasan di atas, artikel ini dapat menyimpulkan hasil analisis sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah mempunyai
kewenangan dalam membuat perjanjian internasional dengan pihak luar negeri. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional yang menyebutkan bahwa ”lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri luar negeri.
2. Mekanisme pembuatan perjanjian
internasional oleh daerah di Indonesia selain dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah juga dijelaskan lebih lanjut didalam Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 Tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3
Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar Negeri. Perjanjian Internasional yang dibuat oleh daerah pada umumnya