• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Doktrin sebagai Sumber Hukum T2 322014015 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Doktrin sebagai Sumber Hukum T2 322014015 BAB IV"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

61

A. Otoritas Doktrin

Pada masa lalu doktrin memegang peranannya sendiri. Bahkan peranan

yuris di masa lalu sangat berperan penting bagi perkembangan hukum di

masanya mengingat maxim communis opinio doctorum. Bukan tidak mungkin juga peranan yuris terdahulu melalui doktrin-doktrinnya membawa

pengaruh besar bagi dunia intelektual hukum sekarang ini. Menurut lintasan

sejarah, paling menonjol terlihat pada masa Kekaisaran Romawi. Bahkan

pada abad Pertengahan di Eropa sangat dipengaruhi oleh otoritas “communis

opinio doctorum”. Pembahasan mengenai hak asasi manusia (HAM) saat ini

juga tidak lepas dari peranan doktrin pada abad ke-18 sebagaimana

dilakukan oleh mazhab hukum alam (natural law). Lihat saja gambaran singkat lintas sejarah pengaruh doktrin di masa lalu yang diungkapkan

Pattaro di bawah ini.

(2)

legal writers, mostly French and Italian. In a monumental work, Lars Björne summarizes the subsequent evolution as follows. In 18th-century aristocratic society, the role of legal doctrine was confined to description and to piecemeal, technical refinement of the law. In the 19th century, its role expanded to include innovative claims and pioneering work, exerting a great influence on the law. In the 20th century, its influence ebbed again. The democratic establishment of the present time needs jurists as little as did the aristocratic establishment of the 18th century. Moreover, human rights now overshadow the normative work of legal doctrine, just as 18th-century natural law did.”1

Namun ternyata, dalam perjalanan sejarah otoritas doktrin mengalami

penurunan terutama ketika pada sistem monarki yang tersentralisasi.

Sebagaimana diungkap catatan dari Peczenik, bahwa:

The authority of doctrine underwent a decline in centralised monarchies, more and more emphasising the role of legislation; e.g. a draft of the Prussian Landrecht of 1794 thus prohibited writing any comments to this code. Also some ideas of the division of power preserved lawmaking as an exclusive domain of the lawmaker. Later, however, one noticed that all laws need interpretation. In Germany, one also needed the gemeines Recht, common to the plurality of small centralised states. Doctrine thus made a comeback in the 19th century. Great scholars, such as C. F. von Savigny, influenced the German legal development of this period. The German Pandektenwissenschaft, based on sophistication of Roman law, achieved a uniquely high level, influenced the final codification of civil law (BGB of 1896) and was highly influential even outside the boundaries of Germany.”2

1 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence

Vol.4, Op.cit, h.6.

(3)

Lepas dari naik turunnya andil pada lintas sejarah, doktrin pada

dasarnya mempunyai posisi yang tinggi. Dalam praktek mungkin saja

doktrin seringkali tidak mengambil peran, tetapi otoritasnya melekat di

dalamnya. Peczenik melanjutkan dengan menunjukkan faktor yang bisa

meningkatkan kemungkinan posisi doktrin lebih tinggi.

1. The greater respect the decision-makers have for rational reasoning, the greater is the role of doctrine.

2. The lower the speed of legislative change, the greater is the chance that jurists have sufficient time to elaborate commentaries, handbooks and other auxiliary means for statutory construction. 3. The more numerous statutory provisions, precedents,

pronouncements in travaux préparatoires and other sources of the law are, the greater is the need of their systematisation and interpretation in legal writing.

4. The lower the degree of fixity and coherence of other sources of the law, the greater the need to look for help in the literature.3

Betapa doktrin itu dalam dirinya memiliki pengaruh dan peran yang

besar bagi dunia hukum pada umumnya dan bagi hakim dalam pengadilan

pada khususnya. Oleh sebab itu, doktrin pun tak bisa disangkal otoritasnya.

Seperti dikatakan Sheceira, doktrin merefleksikan legal scholar itu sendiri dan tentu sebagai sumber dari artikulasi norma yang sejati. Nampak dari

kutipan berikut bahwasanya, “... the reflections of legal scholars can be, and indeed in many jurisdictions are, a genuine source of the norms therein articulated. Legal scholarship can and sometimes does itself serve to

(4)

establish law. It does not merely describe, criticize, or recommend changes to law established elsewhere.”4 Harus pula diingat bahwa legal scholar

adalah notabene sebagai produsen dari doktrin. Doktrin merupakan sumber

hukum yang penting. Sehubungan dengan pentingnya doktrin sebagai

sumber hukum, oleh karena sebagai produsen, otoritas doktrin yang terletak

pada pembuat atau penulisnya. Pengakuan tersebut dikemukakan oleh

Peczenik,

“The doctrine constitutes also an important source of the law. In other words, one pays attention to theses developed in legal writing not only because of the quality of reasons there proffered but also due to the authoritative position legal writers occupy. It is a well-known phenomenon that a doctoral dissertation gains more authority as soon as the author becomes a professor or law. This is, of course, a result of the expectation of fixity of the law. When the law-givers and the courts fail to make the law sufficiently fixed, one looks for other fixed sources of the law.”5

Oleh sebab itu, tentunya doktrin pantas menjadi pedoman interpretasi

sebagai dasar intelektual bagi putusan pengadilan. Doktrin memperluas

kekuatan interpretasi dari pengadilan itu sendiri. Putusan pengadilan secara

normatif akan kurang relevan kecuali dibangun berdasarkan konstruksi

doktrinal. Sebagaimana Watt menjelaskan,

4 Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Op.Cit, 2013, h.viii.

(5)

Self-proclaimed, self-legitimising, ‘la doctrine’ thus used la jurisprudence as a means to wield interpretative power. Mere judicial statements lacked real normative relevance unless they were made to fit within a doctrinal construction. In other words, law had come to be seen as legal science (or at least, was perceived to correspond to a certain prevailing idea of ‘science’); cases, dealing with mere facts, were in need of the intermediation of ‘la doctrine’ before they could be considered a ‘source’ of law – to be offered in turn to the courts as the intellectual basis of their future decisions.”6

Doktrin sebagai sumber hukum yang otoritatif. Dalam arti doktrin

sebagai sumber hukum otoritatif perlu dipahami bukan berarti mengikat

(binding) tetapi dalam arti otoritas (authority). Sebelumnya telah dikemukakan sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

bahwa salah satu eksistensi doktrin yaitu sebagai sumber hukum tambahan.

Dikatakan sumber hukum tambahan oleh karena disandingkan dengan

sumber hukum mengikat lainnya (misalnya undang-undang ataupun putusan

pengadilan). Namun, harus diingat bahwa doktrin merupakan otoritas yang

setara dengan sumber hukum mengikat lainnya. Oleh karenanya, seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam hal makna dari doktrin itu sendiri,

lebih dari itu menurut Pattaro dalam kewibawaannya memiliki sifat otoritatif.

“... The answer is, because of the quality of argumentation it typically

produces. Legal doctrine delivers rational arguments; hence the

6 Horatia Muir Watt, The Epistemological Function of ‘la Doctrine’, disunting

(6)

presumption that it should be regarded as authoritative. A more profound answer is that it gains authority because pro tanto well in-formed, coherent, and just. Thus, legal doctrine converts reason into authority.”7 Sangat

disayangkan ketika dalam menemukan suatu kaidah hanya terpaku pada satu

atau dua sumber hukum yang katanya “otoritatif”. Lagipula doktrin telah

menjadi sumber hukum penting sepanjang perjalanan sejarah. Doktrin lebih

dari sekedar sumber hukum, karena di dalamnya terkandung makna

sebenarnya apa itu hukum dan representasi dari hukum itu sendiri.

Klasifikasi-klasifikasi mengenai kekuatan dari setiap sumber hukum

menurut Penulis memiliki beban berdebat yang tak kunjung habis. Pada

intinya di antara semua sumber hukum itu harus dinilai mana yang paling

tepat digunakan sehingga cita-cita keadilan pun tercapai. Sama halnya

dengan pemikiran Pattaro mengenai pengklasifikasian sumber hukum yang

pembahasannya merupakan sebuah idealisasi. Kita dapat bekerja di luar

klasifikasi sumber hukum yang semakin kompleks.

“The classification discussed is an idealization. We can work out increasingly complex classifications of the sources of law. Moreover, only vague definitions of “must-sources,” “should-sources,” and “may-sources” of law are universally acceptable. The precise interpretation of these concepts varies from one legal order to another,

7 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

(7)

from one part of a legal order to another, and from one period to another. Different people will suggest different precise interpretations serving different purposes.

... If we assign priority to a less important legal source over a more important one, we will have the burden of arguing this priority.”8

Perlu juga untuk diingat bahwa doktrin yaitu scientia juris

sebagaimana karakternya yang merupakan produk dari ilmu hukum itu

merupakan cerminan dari para yuris/ legal scholars. Ketika doktrin merupakan karya atau dari para yuris tentu tidak perlu diragukan lagi. Tidak

perlu diragukan ialah dalam arti yuris yang sebenarnya tidak akan mungkin

menyimpang dari ilmu hukum yang notabene self-evident. Secara filosofi doktrin itu self-evident. Oleh sebab itu, sudah tentu karena merupakan produk ilmu hukum yang self-evident itu, doktrin otoritatif. Mengikat karena itulah yang diharuskan hukum. Pendapat mengenai karakter filosofis dari

doktrin dikemukakan juga oleh Pattaro:

“What is more, self-reflection on the part of legal scholars often results in a philosophical melange. Some philosophical positions are suited for one fragment of juristic work; others are suited for another fragment. Thus, the philosophical assumptions of legal doctrine are often presented as descriptive and even as self-evident.”9

Oleh sebab itu, ketika doktrin digunakan hakim dikala ia membuat

suatu putusan itu sah-sah saja bahkan dibenarkan secara hukum. Suatu

8Ibid, h.16.

(8)

pemahaman yang keliru ketika mengatakan kekuatan suatu sumber hukum

hanya dilihat dari sejauh mana sumber hukum itu memiliki kekuatan

mengikat (binding) atau daya eksekutorial (enforcable) seperti halnya undang-undang ataupun putusan pengadilan. Akan tetapi sumber hukum juga

dapat dilihat dari sumber otoritas (authority) yang lain. Selain otoritas (authority) yang mengikat ada pula yang tidak mengikat seperti dalam hal ini doktrin. Seperti yang diungkapkan Peczenik,

“To be sure, one can imagine a legal system in which only one category of the sources of the law exists. For example, it may consist solely of binding statutes. But it would be unreasonable to forbid lawyers to quote precedents or legal literature. Consequently, the latter materials would sooner or later gain some authority, albeit they are not binding.”10

Tidak bisa dibayangkan ketika dalam sebuah sistem hukum hanya

memiliki satu kategori sumber hukum yakni dalam hal ini yang mengikat

tanpa adanya otoritas yang lain. Masih oleh Peczenik, dikatakan,“some

sources of the law, though not binding, have a particular authority, not much lesser than statutes. They are guiding the legal practice.”11 Doktrin sebagai otoritas di samping otoritas mengikat lain, keberadaanya sangat penting dan

diperlukan. Selain memberi pengertian sebenarnya tentang apa itu hukum,

tetapi juga memberi bimbingan terhadap praktek hukum. Memang dalam

10 Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.262

(9)

batasan tertentu doktrin pada akhirnya agar memiliki daya eksekutorial harus

masuk dalam putusan pengadilan, akan tetapi dalam menilai harus dilihat

apakah doktrin sebagai otoritas (authority) memenuhi prinsip-prinsip rasional, koherensi, moral, dan keadilan.

Doktrin diproduksi dari kualitas argumentasi yang mana produsennya

ialah para legal scholar itu sendiri sehingga menjadikannya otoritatif. Dengan demikian, menurut Penulis pada dasarnya sumber otoritas doktrin

terletak pada kekuatan otak orang yang memproduksi atau yang

membuatnya. Berbeda dengan mandatory authority layaknya undang-undang ataupun putusan pengadilan yang mana sumber otoritasnya adalah

kekuasaan. Seperti yang dikatakan Scholten, sebagaimana dikutip Titon,

Bahwa masyarakat mengikutinya dan menerimanya tanpa ragu-ragu. Siapa yang tidak mempunyai bakat atau waktu untuk mengkajinya, mengopernya (mengambil alihnya).12

Makna tersirat yang bisa diambil dari pendapat tersebut ialah hakim

dalam menangani suatu perkara seyogyanya memperhatikan serta

menggunakan doktrin sebagai pedoman interpretasi maupun sebagai sumber

hukum. Hakim tidak selalu memahami suatu hal dan tidak selalu mempunyai

waktu untuk mengkaji suatu hal. Oleh karenanya, hakim bisa meminjam

12 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Op.Cit, h.138.

(10)

kekuatan otak dari para legal scholar melalui doktrin untuk membuat putusan yang justifiable. Sebab, jika tidak, seperti Scholten melanjutkan:

“Siapa yang berusaha melepaskan diri daripadanya akan tersisih sebagai orang yang berlagak pandai dan berlagak tahu, berdiri di luar perkembangan jiwa-jiwa.”13

Ketika hakim berusaha mengabaikan doktrin untuk memutus maka

sebenarnya seperti dikatakan Scholten ia telah tersisih sebagai orang yang

berlagak pandai dan berlagak tahu. Ia telah mengabaikan kekuatan otak yang

menjadikan doktrin otoritatif, tanpa tahu barangkali kekuatan otaknya sendiri

(dalam hal ini knowledge) adalah sangat terbatas.

A. Doktrin sebagai Sumber Hukum Tambahan

Doktrin memiliki otoritasnya sendiri. Namun, sifatnya yang otoritatif

tersebut terbatas ketika disandingkan dengan sumber hukum mengikat

lainnya seperti undang-undang atau putusan pengadilan. Sifat doktrin

memang sekunder dilihat dari perannya yang bukan menetapkan hukum

secara langsung tetapi mengklarifikasi ketentuan hukum. Shecaira juga

mengatakan hal yang sama terkait keberadaan doktrin dalam kaitannya

dengan sumber hukum mengikat lain bahwa, “should be used and enforced in a sense of 'should' that is fairly strong but not strong enough to count as

13 Ibid., h.139. Dalam bukunya Paul Scholten, Penuntun dalam Mempelajari

(11)

authoritative"—as is the case with mandatory sources.”14 Sebelum melihat lebih dalam mengenai posisi doktrin dalam sumber hukum, ada baiknya

dilihat kategori-kategori sumber hukum menurut Peczenik yaitu konsep

sumber must-, should-, dan may-. Lebih lanjut ia menjelaskan dari konsep tersebut sebagai berikut.

The following comments elucidate the complex meaning of “must”, “should” and “may”.

1. The “must-sources” are more important than the “should-sources” which are more important than the “may-sources”.

One way to make this hierarchy of importance precise is, what follows. a. The more important sources are stronger reasons than the less important ones.

b. Reasons strong enough to justify disregarding a less important source may be weaker than those required to justify disregarding a more important one.

c. If a more important source is incompatible with a less important one, e.g. if a statute is incompatible with a view expressed in legislative preparatory materials, the former has a prima facie priority. One thus ought to apply the more important source, not the less important one, unless sufficiently strong reasons support the opposite conclusion.

d. Many cumulated weak reasons often take priority over fewer strong ones.

e. Whoever wishes to reverse the priority order, has a burden of reasoning.

(12)

2. If one only considers judicial reasoning, one may add, what follows. The courts have a strong duty to apply the “must-sources”. They have a weak duty to apply the “should-sources”.This distinction is, however, difficult to state precisely. One way is to point out that the consequences of disregarding the “should-sources” are usually milder.15

Kurang lebih ketika melihat penjelasan di atas, kategori-kategori

tersebut dirumuskan dengan konsep yang hirarkis. Sumber hukum yang

paling kuat menurut pengkategorian tersebut adalah must-sources. Must-sources dikatakan adalah sumber hukum yang lebih penting dari should-sources dan keduanya itu lebih penting dari may-sources. Namun dalam

hirarki yang dijelaskan ini dimungkinkan sumber hukum yang lebih ‘lemah’

bisa mengenyampingkan yang lebih ‘kuat’. Membalik urutan prioritas

tersebut memiliki beban penalaran. Pengadilan tentu memiliki kewajiban

yang kuat untuk menggunakan must-sources, karena must-sources

merupakan mandatory authority. Pengadilan dalam membuat putusan tidak terikat dengan should-sources dan bisa mengabaikannya.

Doktrin atau scientia juris menurut Penulis berada pada kategori

should-souces. Doktrin dalam posisinya yang otoritatif tidak memiliki kekuatan mengikat (binding) seperti halnya sumber hukum yang dikatakan

must-sources atau misalnya secara konkrit undang-undang. Doktrin tidak memiliki kekuatan mengikat tetapi lebih ke sifatnya yang membimbing atau

(13)

menuntun (guiding). Tetapi doktrin tidak juga termasuk dalam may-sources

karena otoritasnya sebagai doktrin—scientia juris. Doktrin mungkin saja termasuk dalam may-sources, tetapi dalam konteks doktrin yang lebih luas bukan doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu scientia juris. Oleh karena itulah, ketika masuk dalam kategori should-sources, doktrin merupakan sumber hukum tambahan. Tetapi harus diingat pula bahwa tidak

menutup kemungkinan sumber hukum yang lebih ‘penting’ dikesampingkan

oleh kategori di bawahnya. Dengan demikian scientia juris dalam posisi mengikat (binding) hakim ketika memutus berada pada sumber hukum tambahan.

B. Eksistensi Doktrin terhadap Hukum Positif

Hukum positif yang dimaksud di sini adalah produk dari badan atau

lembaga otoritatif pada waktu dan tempat tertentu (misalnya:

undang-undang). Hukum positif merupakan mandatory authority yang pada hakekatnya mengikat. Di lain sisi, doktrin berada pada posisi otoritatif

(14)

sources play precisely this role in Sweden.”16 Bahasan kutipan inilah bermaksud untuk menjelaskan posisi doktrin. Doktrin memiliki posisi yang

sekunder dalam sumber hukum tetapi memiliki pengaruh yang kuat terhadap

pengadilan. Lantas, seperti apa eksistensi bahkan pengaruh dari doktrin

terhadap hukum positif. Doktrin sebetulnya sudah mempunyai tempatnya

sendiri pada dunia hukum termasuk pada hukum positif. Doktrin memiliki

peran dalam membuat dan menciptakan hukum positif, termasuk misalnya

dalam proses legislasi. Pattaro mengemukakan:

In general, legal doctrine exerts a significant influence in creating law. For example, in many countries legal researchers join legislative committees. Moreover, in international relations, model law (a kind of soft law) is often made by bodies of professors, sometimes having a tenuous authorization (as from the U.N.) and recognized as authoritative.17

Para legal scholar memberikan pengaruhnya pada pembuatan pengaturan-pengaturan hukum tertentu. Di balik perannya yang penting bagi

perkembangan hukum, kaitannya dengan hukum positif doktrin sering

disalahgunakan. Seperti diungkap Pattaro ketika doktrin dalam proses

politik. Ia memberikan analogi ketika doktrin tidak digunakan sebagaimana

mestinya. Analoginya seperti orang mabuk yang menggunakan tiang lampu

16Ibid, h.262

17 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence

(15)

(lampu jalan). Orang mabuk menggunakan tiang lampu untuk bersandar

bukan dalam rangka untuk mendapatkan penerangan dari lampu.

“An important question in this context is whether legal experts exert a real influence on political solutions or only on political rhetoric. Politicians often use legal doctrine as a drunkard uses a lamppost: To get support rather than to get light. But whatever intentions they have, they need to be alert to the possibility of criticism from jurists and— more important—from voters, who often demand consistency, coherence, legal certainty, predictability, and, not least, justice and objectivity.”18

Situasi demikian terjadi akibat kurang atau lemahnya pengembangan

teori-teori mengenai hukum yang mengarah pada communis opinio doctorum

sehingga berakibat dimanfaatkan oleh para politikus. Doktrin seharusnya

melalui para legal scholar supaya bisa reaktif ketika tekanan untuk suatu perubahan bertentangan dengan ekspektasi moral. Seperti Pattaro

menambahkan,

“Legal doctrine can be used in the service of politics: Politicians establish goals and values; legal scholars help convert these into draft law. This is the only option when juristic theories are weakly developed and do not lead to any extensive communis opinio doctorum. This may also be justifiable in the face of strong social pressure for change. But there is also a limit. If the pressure for change conflicts too much with the moral expectations of the members of society, legal doctrine should rather act in a reactionary manner, aiming to slow down the pace of change.”19

18Ibid.

(16)

Dalam proses legislasi, kita tahu bahwa peranan legal scholar itu sangat penting dalam membangun suatu kerangka hukum. Tetapi, di sisi lain

hal tersebut dimanfaatkan para politikus untuk memasukkan kepentingan

tertentu. Akibatnya prinsip-prinsip hukum tertentu dianulir dengan

pengaturan-pengaturan yang mengarah pada diakomodirnya kepentingan

para politikus.

On the other hand, politics is conducted within the frame of the law: Politicians initiate legislation within the framework constructed by legal scholars. Thus, legal doctrine may produce exceptions to statutory rules. A more interesting phenomenon is that it may produce “subsidiary” general norms (principles and rules) to which the statutory rules are exceptions. For example, scholars of civil law have developed such norms as the negligence principle and pacta sunt servanda. They also have developed clusters of norms specific to such general theories as the theory of adequate causation in torts and the theory of assumptions in contracts (which see Chapter 2 below). Particular legislation has introduced specific rules that may be regarded as exceptions to such norms.”20

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa doktrin dalam

eksistensinya terhadap hukum positif hanya pada posisi otoritatif

(authoritative) yang memimbing (guiding) bukan mengikat (binding) sebagaimana hukum positif itu sendiri. Akan tetapi, walaupun sebagai

mandatory authority hukum positif mengikat, tetapi sudah diintrodusir oleh kepentingan-kepentingan politik yang notabene bukan hakekat dari peranan

20 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

(17)

doktrin itu sendiri. Doktrin memiliki peranan yang lebih penting dari sekedar

menjadi perantara kepentingan politik. Sebagaimana awalnya dikemukakan

bahwa doktrin membantu praktek hukum termasuk di dalamnya ketika

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat praktis penelitian ini bagi para auditor adalah memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap skeptisisme profesional beserta usaha-usaha yang

Berdasarkan kesimpulan yang telah di buat di atas, maka saran yang diberikan pada pihak manajemen Surya Swalayan yaitu sebaiknya Surya Swalayan mengakui uang sisa pembayaran

Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa minyak mentah yang mempunyai sifat asli emulsi paling stabil adalah minyak mentah Cepu dengan tidak adanya minyak dan sedikit air

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

18.3 Pembuktian kualifikasi untuk menilai pengalaman yang sejenis dan besaran nilai pekerjaan yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang akan dikompetisikan dilakukan

Pada hari ini, Rabu tanggal Dua Puluh Dua bulan Mei tahun Dua Ribu Tiga Belas , telah dilaksanakan Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) secara on-line pada lpse Kabupaten

[r]