Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Sastra
Oleh:
Andreas Kresnan Hadi 11407141005
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
v
vi
secara langsung ataupun tidak langsung. Cita-cita ku cuma satu, yaitu membahagiakan orang tuaku, dan membalas semua budi yang pernah beliau berikan. Walaupun sepertinya tidak mungkin. Terimakasih juga untuk Tuhan
vii Oleh:
Andreas Kresnan Hadi 11407141005
Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura dan kota-kota di pantai Jawa Timur membawa dampak besar bagi kedua belah pihak, khususnya masyarakat Madura. Dengan munculnya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, membuat Jawa Timur menjadi kawasan perkebunan yang besar. Serta membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar pula. Masyarakat Madura dengan geografis dan ekonominya yang buruk, tidak melewatkan kesempatan ini. Atas dasar faktor ekonomi sebagian besar masyarakat Madura bermigrasi ke wilayah Jawa Timur. Banyak yang menetap dan tinggal disana, namun ada pula yang tetap pulang ke Madura tiap bulannya. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui faktor penarik dan pendorong, serta dampaknya bagi orang Madura dan masyarakat asli Jawa Timur dari adanya migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur tahun 1870-1930.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian historis, dengan tahapan. Pertama, heuristik merupakan kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau. Dalam penelitian sejarah, heuristik adalah pencarian sumber sejarah yang berkaitan dengan tema penelitian. Kedua, kritik sumber dilakukan untuk mencari keabsahan data dengan melakukan penyaringan secara kritis. Ketiga, interpretasai adalah penciptaan fakta baru dengan menafsirkan berbagai fakta yang ada di dalam sumber-sumber. Keempat, penulisan sejarah merupakan sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji dan diinterpretasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor ekonomilah yang menjadi motivasi utama, ketika masyarakat Madura bermigrasi ke Jawa Timur. Banyaknya lahan-lahan perkebunan baru yang membutuhkan tenaga kerja, membuat peluang kerja mereka semakin besar, proses migrasi tersebut tejadi secara berantai. Dampak migrasi di daerah tujuan pada akhirnya menyebabkan terjadinya pertumbuhan penduduk, bertambahnya tingkat kepadatan penduduk, perkembangan wilayah, diferensiasi sosial dan mobilitas sosial. Meskipun begitu sikap toleran dan menghargai perbedaan tetap terjada diantara penduduk asli dan para migran.
viii
ini yang berjudul ”Migrasi Orang-Orang Madura ke Jawa Timur Tahun 1870-1930” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari kerjasama, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial. 2. Bapak Agus Murdiyastomo, M. Hum. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Sejarah.
3. Bapak Mudji Hartono, M. Hum. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan penuh perhatian telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Danar Widiyanta, M. Hum. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi dan perhatiannya.
ix
Perpustakaan Laboratorium Sejarah UNY, Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Perpustakaan Sonobudoyo yang telah memberikan pelayanan dengan baik dalam proses penyusunan skripsi ini.
7. Kedua orangtuaku tersayang, Bapak Heribertus Widodo dan Alm Ibu Veronica S, yang telah mencurahkan dukungan kepada penulis.
8. Para sahabat di Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011 beserta para kakak dan adik tingkat yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.
9. Berbagai pihak yang telah banyak membantu di mana penulis tidak dapat menyebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan demikian, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak-pihak yang telah menggunakan skripsi ini sebagai bahan bacaan dan referensi. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi para pembacanya. Amin.
Yogyakarta, 18 Januari 2016
x
HALAMAN PERSETUJUAN………. ii
HALAMAN PENGESAHAN………iii
HALAMAN PERNYATAAN……….. iv
MOTTO………...v
PERSEMBAHAN………... vi
ABSTRAK……….. vii
KATA PENGANTAR………viii
DAFTAR ISI………...………....x
DAFTAR TABEL……….. xii
DAFTAR ISTILAH………... xiv
DAFTAR SINGKATAN………...xvi
DAFTAR LAMPIRAN……….xvii
BAB I PENDAHULUAN………...1
A. Latar Belakang……….………...1
B. Rumusan Masalah………...5
C. Tujuan Penulisan………....………5
D. Manfaat Penelitian……….…………...6
E. Kajian Pustaka………... 7
F. Historiografi Relevan………... 10
xi
B. Pola Pemukiman……….25
C. Mata Pencaharian………...32
BAB III PROSES MIGRASI……… 47
A. Migrasi Orang Madura….………... 47
B. Identifikasi Kelompok Migrasi………...60
BAB IV DAMPAK MIGRASI ORANG-ORANG MADURA………...68
A. Dampak Sosial Ekonomi………... 68
B. Dampak Sosial Budaya………...77
BAB V KESIMPULAN………. 87
DAFTAR PUSTAKA……….93
xii kg) di Madura 1919-1940—21
Tabel 2 Jumlah Rata-Rata Banyaknya Hujan Per Hari Tiap-Tiap Bulan—22 Tabel 3 Jumlah Rata-Rata Curah Hujan Tiap-Tiap Bulan (dalam milimeter) —
23
Tabel 4 Tanah yang Ditanami di Madura: Tipe-Tipe, Luas dalam Bau, dan Persentase (dalam tanda kurung) Tahun 1906—24
Tabel 5 Kepadatan Penduduk Tahun 1867—28
Tabel 6 Kelompok-Kelompok Populasi di Madura—29 Tabel 7 Kepadatan Penduduk Per 100 Ha/ kepala—30 Tabel 8 Pemilikan Tanah di Desa Tahun 1912—33 Tabel 9 Jumlah Ternak di Madura—33
Tabel 10 Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul) —35
Tabel 11 Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau (dlam pikul) — 35
Tabel 12 Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten (dalam kg)—37 Tabel 13 Penanaman Tembakau (dalam bau)—39
Tabel 14 Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih (dalam koyang)—43 Tabel 15 Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920—44
Tabel 16 Produksi Garam Tahun 1917—45
xiii
Tabel 22 Jumlah Emigran Madura di Jawa Timur Tahun 1930—61 Tabel 23 Jumlah Orang-orang Jawa dan Madura di beberapa wilayah—66 Tabel 24 Jumlah Penduduk, Angka Pertumbuhan di Indonesia, Jawa Madura
xiv 1870.
Aksentuasi : Pemberian tekanan suara pada suku kata atau kata.
Alluvial : Sejenis tanah liat, halus dan dapat menampung air hujan yang tergenang.
Bau : Satuan ukuran luas tanah 7.096 m2.
Erpacht : Hak sewa turun temurun untuk menggunakan benda yang tidak bergerak atau lahan milik orang lain dengan kewajiban membayar sewa setiap tahunnya.
Empirik : Suatu keadaan yang bergantung pada bukti yang telah diamati oleh seorang.
Geologis : Bersangkut paut dengan geologi; peta-peta dan tektonis menjadi dasar untuk menaksir sumber mineral.
Geomorfologi : Sebuah ilmu yang mempelajari tentang bentuk alam dan proses yang membentuknya.
Hydrologis : Suatu ilmu yang mempelajari pergerakan, distribusi dan kualitas air di muka bumi.
Industrialisasi : Usaha menggalakkan industri dalam suatu negara; pengindustrian.
Inferioritas : Kerendahan diri atau rasa rendah diri.
Komperhensif : Bersifar mampu menangkap atau menerima dengan baik. Kompleks : Mengandung beberapa unsur yang pelik, rumit, sulit dan
saling berhubungan.
xv
Pandalungan : Percampuran antara budaya Jawa dan Madura dan masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa.
Partisipan : Orang yang ikut serta dalam suatu kegiatan atau pemeran serta.
Retorika : Seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis. Sekunar : Kapal layar bertiang dua.
Superioritas : Sebuah keunggulan ataupun kelebihan.
Tegalan : Tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dan sebagainya, dengan tidak menggunakan sistem irigasi, tetapi bergantung pada hujan; ladang, huma.
Topografi : Kajian ataupun penguraian yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah.
xvi MSM :Madoera Stoomtram Maatschappij SDA : Sumber Daya Alam
xvii
2. Lampiran 2 : Peta Madura Tahun 1930 (lanjutan)—99 3. Lampiran 3 : Peta Administratif Jawa Timur—100 4. Lampiran 4 : Fisiografis Jawa Timur—101
5. Lampiran 5 : Iklim Jawa Timur—102
6. Lampiran 6 : Peta Kabupaten Situbondo—103 7. Lampiran 7 : Peta Fisiografis Madura—104
1
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Madura sangat erat hubungannya dengan pulau Jawa,
khususnya Jawa Timur. Di sepanjang masa telah terjadi migrasi, penduduk dalam
jumlah yang sangat besar, baik untuk selama-lamanya, ataupun untuk waktu yang
singkat. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang
Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak dari
pada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri.1 Pada
kenyataannya di daerah sepanjang pantai Utara Jawa Timur bagian Timur yang
berbatasan dengan Selat Madura, banyak terdapat orang-orang suku bangsa
Madura. Bahkan di beberapa tempat mereka menggunakan bahasa pengantar
sehari-hari dengan bahasa Madura. Daerah pedalaman yang banyak dijumpai suku
bangsa Maduranya di Jawa Timur bagian Timur adalah Kabupaten Bondowoso,
Kabupaten Jember, dan Kabupaten Lumajang.2
Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan di Madura dan kota-kota di pantai
Utara Jawa Timur telah terjalin lama. Pelabuhan-pelabuhan itu ialah Sumenep,
Pamekasa, Sampang dan Kamal. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan di patai Utara
Jawa Timur di antaranya Gersik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo dan Besuki.
1
Huub de Jonge,Madura dalam Empat Jaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam. Terjemahan (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 23.
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Budaya Daerah
Melalui kontak dengan pelabuhan-pelabuhan tersebut terjadilah perdagangan
beras yang sangat dibutuhkan oleh daratan Madura. Perdagangan ini merupakan
perdagangan hidup dalam arti terjadi pertukaran komoditi barang-barang
dagangan antara kedua kota tersebut.
Pada tahun 1832 Residen Pasuruan van Nes, berusaha meningkatkan
perdagangan berasnya dengan Madura melalui pelabuhan Pasuruan. Di samping
itu dengan majunya perdagangan, banyak sekali orang Madura yang masuk ke
Jawa melalui pelabuhan Pasuruan. Menurut catatan Kielstra, perpindahan
penduduk dari Madura ke Jawa pada 1850 setiap musim antara 20.000 hingga
30.000 pekerja dengan upah f 0,25 per hari. Pada saat mereka bekerja di
perkebunan teh atau gula, mereka mendapatkan upah f. 0,40 per hari.3 Para
imigran yang berasal dari Madura terus berdatangan di kawasan Jawa Timur. Pada
1892 penduduk yang berasal dari Madura sebanyak 40.000 orang pergi atau
pindah ke Jawa Timur untuk bekerja, 10.000 orang di antaranya berasal dari
Sumenep, 3.000 orang dari Pamekasan, 9.000 orang dari Bangkalan dan 18.000
orang dari Sampang. Para imingran yang berasal dari Sumenep beremigrasi ke
Besuki, dari Sampang bermukim di Probolinggo, sedangkan dari Bangkalan pergi
beremigrasi ke Pasuruan atau Surabaya kota.4
Mulai berlakunya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Di mana
pihak swasta selaku pemilik tanah, membuka lahan-lahan perkebunan baru yang
tentu saja membutuhkan tenaga kerja yang besar, untuk mengolah lahan mereka.
3 Sri Margana, Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan
Permasalahan Sosial,(Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 30.
Membuat orang-orang Madura semakin tergiur untuk bermigrasi. Di Madura
sendiri kebanyakan masyarakatnya, merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih
90% penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-desa,
dukuh-dukuh, dan kelompok-kelompok perumahan petani, namun alam yang tidak
mendukung inilah yang menjadi faktor terjadinya migrasi masyarakat Madura. Di
sepanjang masa telah terjadi migrasi penduduk dalam jumlah yang besar, baik
untuk selama-lamanya ataupun untuk waktu yang singkat maupun untuk masa
yang panjang ke Jawa dan ke pulau-pulau lain di Nusantara.
Bagian terbesar penduduk pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura
dan kira-kira sepertiga dari penduduk Surabaya dan Gersik berketurunan Madura.
Sama seperti di Madura, penduduk di sepanjang pantai itu pada pokoknya hidup
dari usaha pertanian dan perikanan. Sebagian besar dari Jawa Timur dibuka dan
diusahakan oleh orang-orang Madura.5 Di kota-kota, orang-orang Madura
berkerja sebagai kuli, penjaja, pedagang kecil, atau sebagai tukang. Akibat dari
pengembangan perusahaan perkebunan partikelir yang saling berkaitan dengan
pembukaan daerah pedalaman di Jawa Timur dalam paroh kedua abad ke-19, arti
migrasi pun menjadi meningkat. Dari Sumenep saja setiap tahun rata-rata sepuluh
ribu penduduk yang bermigrasi, ke perkebunan teh, gula, dan tembakau
memberikan pekerjaan kepada para migran yang tidak terbilang banyaknya itu.
Bahkan tercipta sumber penghasilan alternatif, banyak petani lokal pun
menyerahkan lahan mereka sebagian atau seluruhnya atas dasar bagi hasil kepada
pendatang baru. Biasanya para migran ini berangkat ke daerah yang berhadapan
dengan kabupaten mereka. Berangsur-angsur daerah sekitar Jember, Malang, dan
Lumajang yang dulunya sedikit penduduknya, dihuni oleh orang-orang Madura.6
Di antara para migran itu terdapat sejumlah pekerja musiman yang setiap
tahunnya makin meningkat, mereka membantu saat panen. Pekerjaan musiman di
seberang dapat dikombinasikan dengan baik dengan pekerjaan mereka di rumah.
Baik di musim kemarau pada waktu lahan-lahan di Madura tidak digarap, maupun
di bulan-bulan musim hujan ketika tanaman sedang tumbuh, kebutuhan tenaga
kerja di Jawa untuk sementara besar sekali. Perkebunan memberikan banyak
kesempatan untuk bekerja di musim kemarau, dan di musim hujan terdapat
banyak pekerjaan di pertanian rakyat. Hampir sekitar 2,5 juta orang Madura yang
dalam tahun 1930 bertempat tinggal di luar Madura dan sebagian tersbesar
bertempat tinggal di Jawa Timur. Orang-orang yang melakukan migrasi ini
menemukan di pantai Jawa suatu lingkungan yang mereka kenal. Seolah-olah
selat Madura ini merupakan suatu teluk bagi daerah kebudayaan Madura.
Sepanjang tahun terdapat lalu lintas barang dan orang sangat ramai di antara
kota-kota dan desa-desa pantai dari kedua pulau itu. Jadi arus migrasi dari Bangkalan
terutama tertuju ke Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, dan Bojonegoro.
Orang-orang dari Sampang terutama ke jurusan Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang,
sedangkan orang-orang Sumenep serta penduduk Pamekasan pada pokoknya ke
Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi. Di daerah-daerah pantai yang saling
berhadapan pun digunakan dialek yang sama.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul dan uraian latar belakang masalah, penulis mencoba
merumuskan dan menguraikan, permasalahan-permasalahan yang ada. Berikut
bebrapa rumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan:
1. Mengapa orang Madura bermigrasi ke Jawa Timur?
2. Bagaimana sikap penduduk Jawa Timur, ketika wilayahnya mulai didatangi
banyak orang Madura?
3. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat Madura yang melakukan
migrasi ke Jawa Timur?
C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penulisan ini dilakukan untuk mencapai tujuan. Yang mana
disini, penulis berusaha mengungkapkan sebuah fakta pengetahuan dengan
menerapkan metode-metode ilmiah.
Penulisan ini bertujuan untuk:
1. Tujuan Umum
a. Mempertajam daya pikir kritis dalam menganalisa sebuah objek, yang
tentu saja dalam sebuah penulisan karya sejarah.
b. Mampu mengaplikasikan metodologi sejarah secara kritis, sehingga
menghasilkan karya sastra yang mampu dipercaya.
c. Memperbanyak karya tulis, yang berhubungan dengan sejarah,
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan penjelasan tentang migrasi orang-orang Madura ke Jawa
Timur dari tahun 1870-1930.
b. Mempelajari bagaimana sikap penduduk Jawa Timur, ketika
wilayahnya mulai didatangi banyak orang Madura.
c. Mengetahui bagaimana kondisi sosial-ekonomi dari orang-orang
Madura yang melakukan migrasi ke Jawa Timur dari tahun 1870-1930.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
a. Mengetahui sejarah migrasi orang-orang Madura di Jawa Timur tahun
1870-1930.
b. Menambah pengetahuan tentang khasanah kesejarahan sehingga dapat
menilai peristiwa sejarah dengan kristis dan obyektif.
c. Sebagai tolak ukur bagi penulis, sejauh mana kemampuan si penulis
dalam membuat sebuah karya tulis yang kristis.
2. Bagi Pembaca
a. Menjelaskan penyebab orang-orang Madura melakukan migrasi ke
Jawa Timur pada tahun 1870 hingga 1930.
b. Menjelaskan proses migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur pada
tahun 1870 hingga 1930.
c. Menjelaskan dampak migrasi orang-orang Madura ke Jawa Timur
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah jawaban sementara dari rumusan masalah. Kajian
pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti buku, jurnal
papers, artikel, disertasi, tesis, skripsi, hand outs, laboratory manuals, dan karya
ilmiah lainnya yang dikutip di dalam penulisan proposal. Telaah terhadap pustaka
atau literatur menjadi landasan pemikiran dalam penelitian.7 Perubahan pola
migrasi masyarakat Madura ke Jawa Timur dari tahun ke tahun terus mengalami
perubahan, di awal-awal migrasi berkembang sangat pesat, namun ketika Jepang
mulai menguasai wilayah Jawa dan Madura, pola migrasi berubah, sangat sedikit
orang Madura yang melakukan migrasi bahkan turun drastis. Kajian pustaka
pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah Jakarta 1983. Yang berjudul Geografi Budaya Daerah Jawa Timur,
keluaran Depdikbud Daerah Jakarta. Buku ini menjelaskan faktor-faktor
pendorong dan penarik/push and pull, seperti fisis Pulau Madura, faktor politis,
faktor perdagangan, faktor perpindahan, mata pencaharian dan faktor perlakuan
dan peraturan dari penguasa setempat. Yang mana merupakan penyebab utama
terjadinya migrasi masyarakat Madura ke pulau Jawa, khususnya Jawa Timur.
Kajian Pustaka yang kedua adalah Prof. Dr. Kuntowijoyo yang berjudul,
Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1970. Di dalam buku
ini dijelaskan, migrasi orang Madura merupakan akibat ekologi Pulau Madura
yang tidak menguntungkan, sehingga memaksa mereka mencari pekerjaan ke luar.
Sekitar 1880-1890 datangnya penduduk sebagai buruh ke perusahaan-perusahaan
gula sangat penting, hal ini menunjukkan bertambahnya sistem kerja upah.
Kesukaran-kesukaran yang berhubungan dengan pembukaan tanah baru pada
waktu itu dirasakan lebih berat daripada keberatan-keberatan rakyat terhadap
kerja upah. Kerja upah secara bebas mungkin sekali timbul karena desakan
ekonomi.8 Hal-hal yang menjurus ke perekonomian ini, yang mungkin saja
menjadi faktor utama dari adanya migrasi orang-orang Madura tersebut.
Kajian Pustaka yang ketiga adalah karya dari Egbert de Vries yang
berjudul “Pertanian dan Kemiskinan di Jawa”. Karya tersebut secara garis besar
memperkenalkan metoda komparatif yang berakar pada pengalaman pedesaan dan
yang menggabungkan perkembangan sosial-ekonomi. Melalui buku ini kita akan
memperoleh informasi masyarakat petani Jawa khususnya dan penelitian yang
diungkapkan Egbert de Vries akan membawa keluasan pandangan
“masalah-masalah pertanian-pedesaan” di berbagai pelosok dunia dan kurun zaman. Pada
dasarnya buku ini menjelaskan mengenai kemiskinan dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi petani-petani di Jawa, yang mana berarti teori Egbert de Vries
berlawanan dengan teori migrasi orang-orang Madura ke Pulau Jawa dalan hal ini
Jawa bagian Timur, yakni push and pull. Yang mana “pull” berarti adanya faktor
penarik terjadinya migrasi ke tanah Jawa. Dimana ketika masyarakat Madura
sudah sampai di Jawa mereka lebih memilih profesi sebagai petani atau buruh
untuk pekerjaan mereka.
8
Mengenai migrasi sebagai sebuah dampak dari kependudukan dan sistem
sosial masyarakat Madura, Dr. Kuntowijoyo dalam karyanya pada tahun 1994
yang berjudul “Radikalisasi Petani”. Menurutnya penjelasan ekosistem masih
harus dilengkapi dengan penjelasan demografis. Untuk Madura, masalah
kependudukan mempunyai tempat sentral dalam perilaku, sehingga pengaruhnya
dalam aspek-aspek sosial, politik dan kultural dapat kita lihat.9 Ada pepatah
Madura yang mengatakan: lebih baik berputih tulang dari pada berputih mata.
Kalau Anda hanya menunjukkan bagian putih mata, Anda tidak berani melihat
musuh Anda. Mati lebih disukai daripada menanggung rasa malu karena
penghinaan.10 Hal ini menunjukkan besarnya keberanian masyarakat Madura,
dalam menghadapi suatu permasalahan, yang mana dalam konteks ini, migrasi
menjadi pilihan utama sebagian masyarakat Madura ketika lingkungan dan alam
mereka tidak mendukung. Migrasi orang Madura ke luar daerah membuat Madura
mempunyai penduduk yang sangat mobil. Migrasi ini disebabkan oleh
bermacam-macam hal.
Sebagai faktor pendorong, kita menemukan bahwa Madura mengalami
kekurangan dalam penyediaan bahan makan untuk penduduknya, karenategalan11
9 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Jakarta: PT Gramedia, 1994), hlm. 88.
10
Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan dan Ekonomi, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), hlm. 162.
11 Tegalan adalah tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dan
tidak membuahkan hasil panen yang cukup. Bahkan, sawah-sawah Madura juga
berada di bawah hasil sawah di Jawa. Demikian juga tanaman tebu, yang pernah
dicoba pada pertengahan abad ke-19, tidak dapat menandingi hasil panen di Jawa.
Hanya tanaman tembakau mempunyai prospek yang baik di Madura, tetapi tidak
dapat mengubah tingkat ekonomi secara menyeluruh. Akibat yang tidak
terelakkan dari basis usaha pertanian yang sangat kecil itu menyebabkan selalu
terdapat bahaya laten dari kekurangan bahan pangan dan kekurangan uang. Untuk
mendapat uang, sang petani harus menjual sebagian dari hasil taninya, dan
demikian ia selalu dihadapkan pada dilema yang sulit, menahan bahan makanan
dan tidak melakukan pembelian sandang dan barang-barang industri lainnya, atau
menjual bahan makanan dan kelak menghadapi kekurangan pangan.12
F. Historiografi Relevan
Historiografi Relevan adalah adalah tahap untuk mencari, menemukan,
dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala
bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan
topik/judul penelitian. Dalam hal ini historiografi relevan adalah upaya
pembandingan sebuah penelitian yang akan dilangsungkan dengan penelitian
sejarah yang telah ada. Tujuannya untuk mendapatkan sebuah karya sejarah yang
benar-benar baru. Karya sejarah terdahulu dibedah untuk mengetahui kekurangan
peneliti terdahulu. Kekurangan peneliti digunakan sebagai landasan pembeda
karya sejarah yang akan ditulis.13
Dalam hal ini historiografi relevan yang dijadikan pembanding dalam
penulisan ini adalah disertasi dari Fransiskus Asisi Sutjipto Tjiptoatmojo yang
berjudul “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII Sampai Medio
Abad XIX), Universitas Gadjah Mada, 1983. Desertasi ini menjelaskan
bagaimana masyarakat Madura yang tinggal disekitar selat Madura tersebut.
Mulai dari bagaimana mereka mengupayakan lahan pertanian mereka hingga
terciptanya jalur-jalur perdagangan antara Pulau Jawa dan Madura.
Historiografi yang kedua adalah karya dari Huub de Jonge yang berjudul
“Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam”.
Buku ini membahas tentang peranan para saudagar dan berbagai persekutuan
dagang dalam proses perubahan ekonomis yang terjadi di Pulau Madura pada
paroh kedua abad ke-19 setelah berlaku pemerintahan kolonial secara langsung
dari pusat. Buku ini dimulai dengan penjelasan tentang keadaan geografi-sosial
dan latar belakang sejarah dari proses perubahan ekonomis tersebut; di situ
tampak bagaimana Pulau Madura secara berangsur dilibatkan dalam lalu lintas
perdagangan Indonesia. Pada bagian kedua dibahas keadaan ekonomi desa
Parindu, salah satu kota perdagangan terpenting di pantai selatan Madura, tempat
De Jonge melakukan penelitian lapangan. Semenjak pulau itu mulai terbuka, para
saudagar dari desa Parindu telah memainkan peranan kepeloporan dalam ekonomi
Madura. Bagian akhir buku ini membahas tentang kelompok pengusaha terpenting
13
dari desa tersebut, yaitu para saudagar tembakau. Dalam buku ini, penulis
memberikan pandangan-pandangan baru tentang watak perkembangan ekonomi di
daerah-daerah pinggiran, tentang peranan para saudagar dalam proses itu, dan
hubungan antara perdagangan dan agama Islam.
Pada bagian ke-3 buku karya Huub de Jonge “Madura dalam Empat
Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam”, beliau menjelaskan
tentang penyebarluasan tanaman tembakau. Yang mana ketika masyarakat
Madura telah mengenal tanaman tembakau, seharusnya kehidupan mereka
membaik. Karena, buku ini menjelaskan tanaman tembakau sangat cocok dengan
keadaan geografis Pulau Madura, walaupun tidak semua. Tetapi mengapa migrasi
terus saja berlangsung hingga 1930. Dan yang paling penting, pada halaman 23
buku ini secara khusus menjelaskan mengapa orang Madura bermigrasi ke Jawa
Timur mulai dari faktor hingga dampaknya.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan
penelitian historis menurut Kuntowijoyo. Metode historis merupakan salah
penyelidikan mengaplikasi metode pemecahan yang ilmiah dari prespektif historis
suatu masalah. Metode penelitian menurut Kuntowijoyo14ini meliputi:
1. Heuristik
Heuristik merupakan kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa
lampau. Dalam penelitian sejarah, heuritik adalah tahap pencarian sumber sejarah
yang berkaitan dengan tema penelitian. Sumber sejarah adalah bahan-bahan yang
dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa sejarah.15
Jejak-jejak sejarah dikenal sebagai data-data sejarah. Kegiatan ini ditujukan untuk
menemukan serta mengumpulkan jejak-jejak dari peristiwa sejarah yang
sebenarnya mencerminkan berbagai aspek aktivitas manusia masa lampau.
Tujuannya agar kerangka pemahaman yang didapatkan berdasarkan
sumber-sumber yang relevan untuk dapat disusun secara jelas, lengkapn dan menyeluruh.
Pengumpulan jejak-jejak dilakukan di Perpustakaan Sonobudoyo, Perpustakaan
Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Laboratorium Sejarah FIS, Perpustakaan
Pedesaan UGM dan perpustakaan-perpustakaa lain di Yogyakarta.
Sumber yang digunakan dalam penulisan adalah sumber primer dan
sumber sekunder. Sumber primer yang digunakan diantaranya adalah koleksi
perpustakaan Sonobudoyo, berupa arsip tentang Perkembangan Laporan Jabatan
Karesidenan Pasuruan/MVO, oleh H.J. Domis tahun 1830,Volkstelling 1930 Deel
III Inheemsche Bevolking van Oos-Java dan Volkstelling 1930 Deel VIII
Overzicht voor Nederlands-Indie. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini berupa referensi yang mendukung penelitian ini.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber dilakukan untuk mencari keabsahan data dengan melakukan
penyaringan secara kritis. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan kritik
ekstern dan itern. Kritik ekstern ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian
terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang
berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekontruksi masa
lalu, maka terlebih dahulu harus dilakuka pemeriksaa yang ketat.16 Sedangkan
kritik intern lebih menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesakisan.
Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik eksternal, tiba giliran sejarawan
untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian itu. Ia harus memastikan apakah
kesaksian itu dapat digunakan atau tidak.17
3. Interpretasi
Interpretasi adalah suatu pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu
atau tafsiran. Oleh karena itu setiap peneliti sejarah bisa saja memiliki penjelasan
yang berbeda meskipun berangkat dari sumber yang sama. Interpretasi sebagai
upaya untuk merangkai fakta-fakta agar memiliki bentuk dan struktur. Fakta-fakta
tersebut ditafsirkan sehingga menemukan struktur logisnya. Selain, diperlukan
landasan yang jelas agar terhindar dari penafsiran yang semena-mena akibat
pemikiran yang sempit.
4. Penulisan Sejarah
Penulisan Sejarah menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil
penelitian yang diungkap, diuji dan diinterpretasi. Kalau penelitian sejarah
bertugas merekontruksi sejarah masa lampau, maka rekontruksi itu hanya akan
menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut ditulis. Penulisan sejarah tidak
16 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 104.
17
semudah dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan
informasi dan argumentasi. Penulisan sejarah, walaupun terikat pula oleh
aturan-aturan logika dan bukti-bukti empirik, tidak boleh dilipakan bahwa ia adalah juga
karya sastra yang menuntut kejelasan struktur dan gaya bahasa, aksentuasi serta
nada retorika tertentu.
H. Pendekatan Penelitian
Sebagaimana permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah adalah
pendekatan. Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada
pendekatan. Seperti segi mana yang dipandang, dimensi mana yang diperhatikan
dan sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan
yang dipakai. Dalam menghadapi gejala historis yang serba kompleks, setiap
penggambaran atau deskripsi menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan
penyaringan data yang diperlukan.18 Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini
menggunakan:
a. Pendekatan Sosial
Manusia senantiasa berada dalam kekurangan kemakmuran. Kekurangan
kemakmuran itulah yang memaksa dia bertindak menurut motif ekonomi.19 Hal
seperti inilah yang membuat masyarakat Madura rela pergi meninggalkan
pulaunya menuju Jawa Timur demi kehidupan mereka yang lebih baik.
18
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 40.
Pendekatan sosial semacam ini akan sangat membantu penulis dalam
mengungkapkan unsur-unsur sosial. Pendekaan sosial ini digunakan untuk
mengetahui keadaan sosial masyarakat Madura dari tahun 1870-1930, baik yang
belum melakukan migrasi ataupun yang sudah melakukan migrasi ke hampir
semua wilayah di Jawa bagian Timur. Untuk mengungkap hal ini penulis
menggunakan karya tulis dari Mohammad Hatta yang berjudul Pengantar Kejalan
Ekonomi Sosiologi.
b. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi akan digunakan penulis untuk mengetahui keadaan
ekonomi masyarakat Madura setelah dan sebelum melakukan migrasi ke Pulau
Jawa khususnya, Jawa Timur tahun 1870-1930. Pendekatan ekonomi dipilih
karena penulis mengetahui bahwa faktor pendorong dari terjadinya migrasi adalah
kemiskinan yang cukup besar di wilayah Madura. Orang-orang ini kesulitan
mendapatkan penghasilan di wilayah mereka sendiri, sehingga mau tidak mau
mereka pergi meninggalkan pulaunya dan menuju Jawa Timur. Yang mana ketika
itu sedang memasuki periode Tanam Paksa. Hal inilah yang membuka peluang
mereka untuk bekerja di perkebunan. Contohnya wilayah Jember yang mana,
mulai mendapatkan perhatian orang-orang Madura sebagai tujuan migrasi karena
mulai banyak perusahaan swasta yang berdiri. Terjadinya gelombang migrasi
penduduk Madura ke daerah ini berawal dari usaha George Birnie yang pada 21
Landbouw Maatscappij oud Djember (LMOD).20 Dengan ini tentunya kita dapat
mengetahui peranan ekonomi dalam mendorong terjadinya migrasi.
I. Sistematika Penulisan
Skripsi yang berjudul “Migrasi Orang-orang Madura ke Jawa Timur tahun
1870-1930”, terbagi menjadi lima bab. Garis besar skripsi ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah yang akan dikaji,
dan manfaat dari penulisan, serta sistematika pembahasan yang akna menjabarkan
ringkasan dari bab yang akan disajikan dalam skripsi ini.
BAB II LATAR BELAKANG MIGRASI
Bab ini berisi tentang gambaran umum perekonomian dan SDA pulau
Madura, yang hingga pada akhirnya menjadi penyebab utama, kenapa masyarakat
Madura melakukan migrasi ke Pulau Jawa Timur tahun 1870-1930.
BAB III PROSES MIGRASI
Bab ini berisi penjelasan tentang pola migrasi yang banyak dilakukan
masyarakat Madura ke Jawa Timur. Dan macam-maca pekerjaan yang mereka
lakukan setelah sampai ditempat tujuan.
BAB IV DAMPAK MIGRASI
Bab ini menjelaskan tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya
migrasi masyarakat Madura ke Pulau Jawa Timur tahun 1870-1930 terhadap
sosial ekonomi masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli.
20Edy Burhan Arifin, Migrasi Orang Madura dan Jawa ke Jember: Suatu
BAB V KESIMPULAN
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari semua
pemaparan yang dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan yang
diperoleh disini, merupakan jawaban yang menjadi pokok pertanyaan dalam
BAB II
LATAR BELAKANG MIGRASI
A. Letak dan Keadaan Alam
Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7osebelah
selatan dari khatulistiwa di antara 112odan 114obujur timur. Pulau ini dipisahkan
dari Jawa oleh Selat Madura, yang menghubungkan Laut Jawa dan Laut Bali,
Moncongnya di baratlaut, karena bentuknya disebut corong, agak dangkal dan
lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut.1 Disebelah timur Surabaya, Selat
Madura menjadi lebih besar dan lebih dalam. Antara Madura dan pantai di Jawa
jarak selat itu bervariasi antara 30 sampai 40 mil laut. Di beberapa tempat di
depan pantai terdapat lumpur dan gundukan pasir yang agak melandai. Panjang
Pulau Madura itu kurang lebih 190 km dan jarak yang terlebar pulau itu adalah 40
km, dan luasnya 5.304 km2.
Pantai utara merupakan suatu garis panjang yang hampir lurus. Pantai
selatannya dibagian timur memiliki dua teluk yang besar, terlindung oleh
pulau-pulau, gundukan-gundukan pasir, dan batu-batu karang. Disebelah timur terletak
Kepulauan Sapudi dan Kangean yang termasuk administrasi Madura. Kepulauan
ini keseluruhannya terdiri dari hampir 50 pulau yang berpenghuni dan tidak
berpenghuni. Secara geologis Madura merupakan embel-embel bagian utara Jawa.
Daerah itu merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah
utara dan disebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura
1 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan,
merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar, dan lebih bulat daripada
bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih bergabung. Pantai utara yang berada di
perpanjangan pegunungan bagian utara Jawa, di mana Kabupaten Rembang dan
Kabupaten Bojonegoro itu terletak, terdiri dari punggung kapur yang rendah dan
terpotong secara teratur oleh lembah-lembah sungai.
Deretan bukit yang terletak di tengah-tengah dan di selatan pulau,
membentuk kaki-kaki gunung dari pegunungan Kendeng yang terletak lebih ke
selatan. Dari punggung pantai utara dan tanah yang berbukit di bagian tengah, di
sana-sini memisahkan punggung-punggung bukit pendek kearah tenggara.
Bukit-bukit disebelah timur dan disebelah tenggara Madura dilanjutkan dalam bentuk
pulau-pulau dan karang-karang di laut. Pada umumnya bukit-bukit di pedalaman
itu lebih tinggi daripada bukit-bukit disepanjang pantai. Bukit-bukit di bagian
timur jelas lebih tinggi letaknya di atas permukaan laut dari pada di bagian barat
Madura. Puncak tertinggi di bagian timur Madura adalah Gunung Gadu 341 m,
Gunung Merangan 398 m, dan Gunung Tembuku 471 m.
Sebagian besar Madura terdiri dari formasi-formasi batu sudut tersier,
yang di beberapa tempat di sepanjang pantai terendap dengan jalur-jalur alluvial.
Langsung disebelah selatan bukit-bukit kapur yang rusak karena cuaca di
pedalaman terdapat tanah liat bercampur kapur yang disela oleh tanah yang
mengandung gips. Pulau ini tidak memiliki banyak hutan. Kurang lebih enam
persen dari tanahnya merupakan daerah hutan. Pada waktu pembuatan topografi
yang pertama pada tahun 1873 di Madura, luas hutannya masih berkisar tiga belas
daerah hutan. Pertambahan penduduk yang besar awal abad ke-19 telah membuat
areal hutan itu menjadi sangat berkurang, semakin banyak lahan hutan yang terus
menerus dibuka, walaupun kenyataannya penghidupan para penghuni pulau itu
sebagian besar tergantung pada hutan. Disamping bahan makanan untuk mereka
sendiri dan ternak, kayu sebagai alat bangunan untuk perumahan, perahu dan
peralatan, serta kayu bakar untuk menanak makanan diambil dari hutan-hutan itu.
Juga pengolahan barang-barang untuk diekspor seperti ikan pindang, gula
siwalan, dan arang menggunakan kayu dalam jumlah yang besar.
Tabel 1
Persediaan Bahan Makanan Rakyat Rata-Rata 1 Tahun/Jiwa (dalam kg) di Madura 1919-1940
Bahan Tahun
makanan 1919 1920 1925 1930 1935 1940
Beras Sumber: Soedigdo Hardjosudarmo, Kebijaksanaan Transmigrasi: Dalam
Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta:
Bharatara, 1965), hlm. 84.
Keadaan fisik Pulau Madura kurang menguntungkan untuk usaha
pertanian. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur, yang terbentuk pada
jaman pleistosen, yang umumnya kurang subur untuk pertanian. Disamping itu
18,20 % atau kira-kira 99,650 hektar, merupakan tanah gundul dalam keadaan
sekitar 1276 mm, dengan rata-rata bulan basah tahunan 5,4 dan bulan keringnya
4,8. Suhu udara rata-rata di Madura 26.61oC. Tipe iklim Madura termasuk dalam
klasifikasi “Type Aw”. Tipe iklim ini ditandai oleh curah hujan bulan terkering
13,95 mm (di bawah 60 mm) dan kekeringan ini tidak dapat diimbangi oleh
jumlah curah hujan sepanjang tahun. Iklim di Madura ditandai oleh dua musim,
yaitu musim kering dan musim hujan, yang masing-masing berlangsung dari
bulan Mei sampai pertengahan Oktober dan dari pertengahan November sampai
April. Yang mana kegiatan pertanian di sebagian besar pulau ini tergantung pada
besarnya curah hujan.2
Tabel 2
Jumlah Rata-Rata Banyaknya Hujan Per Hari Tiap-Tiap Bulan (dalam millimeter)
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 28.
Tabel 3
Jumlah Rata-Rata Curah Hujan Tiap-Tiap Bulan (dalam millimeter)
Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 29.
Dari tabel di atas kita dapat simpulkan, bahwa wilayah Madura, seperti
Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep. Memiliki curah hujan yang sangat sedikit
jika dibandingkan dengan wilayah Jawa. Keadaan yang semacam ini sangat
menganggu untuk usaha pertanian, karena curah airnya tidak mencukupi terutama
di musim kemarau. Ketidakseimbangan tata air yang ada di Madura bukan
semata-semata dari pengaruh unsur iklim saja tetapi juga dipengaruhi oleh
keadaan jenis hutannya dan jumlahnya, keadaan fisik tanah, serta kegiatan
Tabel 4
Tanah yang Ditanami di Madura: Tipe-Tipe, Luas dalam Bau, dan Persentase (dalam tanda kurung) Tahun 1906
Sawah Tegal Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 39.
Statistik di atas menunjukkan bahwa ekologi Pulau Madura sebenarnya
sangatlah tidak mendukung sebagai tempat bercocok tanam. Respons orang
Madura terhadap kekurangan ekologis ini tentu saja sangat penting untuk
diketahui. Orang Madura tidak hanya memiliki persedian tanah yang sedikit,
kenyataannya mereka sering kali kekurangan tenaga pengolah tanah. Tanah-tnah
pertanian yang ditanami telah dicatat selama Belanda melaksanakan kembali
distribusi tanah Pamekasan. Laporan tahun 1860 mencatat bahwa di Desa Tokol,
misalnya, beberapa lading ditinggalkan, tidak ditanami karena kekurangan tenaga
kerja, dan orang-orang desa enggan untuk menerima penghuni-penghuni tetap
yang baru. Sebuah alasan telah diberikan pejabat resmi bahwa kekosongan tanah
meninggalkan tanah-tanah pertanian miliknya untuk bekerja di perkebunan
Belanda yang secara ekonomis lebih menguntungkan.3
Secara keseluruhan keadaan fisik Pulau Madura baik yang mencakup
masalah tanahnya, iklimnya, morfologinya, tata airnya dan sebagainya kurang
menguntungkan untuk usaha pertanian. Keadaan alam yang kurang
menguntungkan ini mendorong mereka meninggalkan daerahnya untuk
bermigrasi. Karesidenan Madura terletak antara 6o49 dan 7o20 Lintang Selatan
dan antara 112o40 dan 116o20 Bujur Timur. Karena letak Madura termasuk dalam
jajaran pulau-pulau tropika, maka temperatur di Madura selalu panas.4
B. Pola Pemukiman
Desa dalam artian pengelompokan pekarangan yang merupakan kesatuan
geografis menurut imbangannya kurang terdapat di Madura. Desa dalam artian
yang demikian hanya terdapat disepanjang pantai, di pusat-pusat persimpangan
jalan yang penting, dan di daerah yang dahulu adalah milik raja, bukan merupakan
daerah pertanian. Mata pencaharian penduduk desa-desa tersebut, pada pokoknya
terdiri dari perdagangan dan perikanan. Sebagian besar penduduk pedesaan hidup
terpencar-pencar di pedalaman dalam rumah-rumah petani, yang bergabung dalam
kelompok-kelompok yang kecil. Kelompok-kelompok perumahan itu terletak di
antara lading-ladang dan persawahan, dan saling dihubungi melalui jalan-jalan
kecil yang ruwet. Di Madura bagian timur, perumahan petani yang berkelompok
3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura
1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 38.
menjadi satu disebut tanean lanjang, arti harfiahnya ialah “pekarangan panjang”.
Perumahan petani itu didirikan secara berdampingan dengan arah yang sejajajar
dengan panjangnya pulau. Tanean Lanjang mungkin sekali merupakan bentuk
pemukiman yang tertua di Pulau Madura. Di pekarangan terdapat rumah, dapur,
kandang dan sering juga langgar. Pada dasarnya semua rumah dibangun di utara
halaman dengan sisi depannya menghadap selatan. Dapur dan kandang
berhadapan dengan perumahan dengan sisi depannya menghadap ke utara, filosofi
dari hal ini adalah bahwa petani harus bias mengawasi istri dan ternaknya.
Langgar menutup pekarangan tersebut di bagian barat. Pada malam hari langgar
digunakan sebagai tempat tidur bagi anak laki-laki yang sudah besar. Di sekitar
pekarangan terdapat pohon-pohon, semak-semak, belukar dan tanaman-tanaman
yang membuat perumahan itu sebagian besar tertutup dari pandangan mata.
Pertama-tama tumbuhan di pekarangan itu diperkuat oleh pagar bambu yang
dibelah, tanaman tersebut memenuhi aneka ragam kebutuhan seperti sayur-mayur,
buah-buahan, bunga, rempah, tali-temali, minyak, kayu untuk bangunan, dan kayu
bakar. Sampai pada tingkat tertentu, sejarah dan susunan keluarga yang bermukim
ditanean lanjangdapat diketahui dari caranya pekarangan itu dibangun.5
Anak perempuan yang telah menikah tetap tinggal di pekarangan orang
tuanya. Anak lelaki yang sudah menikah pindah ke pekarangan istri atau
mertuanya. Rumah pertama yang terletak di baratlaut merupakan rumah asal dan
dengan demikian menjadi terpenting dari pekarangan. Rumah ini dihuni oleh para
orang tua. Di rumah-rumah berikutnya, tinggal anak perempuan yang telah
menikah dengan suaminya menurut urutan umur. Yang menentukan urutan
sebenarnya adalah hari perkawinan, tetapi jarang sekali seorang anak perempuan
yagn lebih muda akan menikah lebih dahulu dari pada saudara perempuan yang
lebih tua. Biasanya orang tua sudah mencarikan calon ketika anaknya masih
sangat muda. Setelah orang tua itu meninggal dunia, para penghuni semuanya
berpindah tempat. Anak perempuan tertua dengan sendirinya menempati rumah
kediaman orang tuanya dan anak perempuan yang kedua menempati rumah
kediaman saudara perempuannya yang tertua. Menantu laki-laki yang pertama,
kini menjadi kepalatanean lanjang.
Suatu perubahan yang mendalam terjadi, bila anak perempuan dari para
ibu yang orang tuanya masih hidup itu menikah. Supaya anak perempuan itu
bertempat tinggal di samping orang tuanya, ia diberi tempat tinggal di antara
anak-anak perempuan dari kepala pekarangan. Bila kakek dan nenek pun telah
meninggal dunia, maka pekarangan itu dibagi-bagikan di antara anak-anak
perempuan itu dan keluarga mereka, ditempatkan dinding pemisah dan dua atau
lebih, sedikit banyak hidup berdampingan secara berdikari. Sebuah pekarangan
tidak boleh mengambil banyak tempat. Bila perluasan itu terjadi dengan
mengorbankan lahan pertanian yang memang sangat diperlukan, perumahan pun
dibangun di sebelah selatan. Dalam hal ini, anak perempuan tinggal di sebelah kiri
orang tuanya. Keadaan ini sepintas lalu nampaknya bertentangan dengan prinsip
“barat-timur”. Sebetulnya ini adalah penerapan yang konsekuen dari situasi yang
meningkat di desa-desa dan di dukuh-dukuh di mana sebagian besar penghuni
tidak bekerja di bidang agraria.
Tabel 5
Kepadatan Penduduk Tahun 1867
Ukuran Dalam Kepadatan Dalam
Wilayah Persegi Populasi Persegi
Mil Pal Mil Pal
Pamekasan
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 84.
Pola pemukiman dalam bentuknya yang paling murni terdapat di
daerah-daerah pertanian. Namun, di desa nelayan di sepanjang pantai pola tanean juga
masih dipertahankan. Walaupun tanean lanjang itu dihuni oleh satu atau lebih
keluarga luas, keluarga-keluarga inti tetap merupakan kesatuan social terpenting.
Setiap keluarga mengurus rumah tangganya sendiri dan menguasai sebidang lahan
tertentu. Tetapi di antara keluarga-keluarga inti dari sebuah pekarangan itu
terdapat kerjasama yang sangat erat. Para penghuni saling membantu dalam hal
berbelanja, masak pun kadang dilakukan bersama dan secara teratur saling
mengurus anak-anak mereka. Para penghuni dari suatutanean lanjangmerupakan
Tabel 6
Kelompok-Kelompok Populasi di Madura
Tahun Pend. Asli Eropa Cina Arab Lain-lain Total
1857 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 76.
Tabel di atas menjelaskan bagaimana pada tahun 1870 penduduk Madura
berkurang dengan pesatnya. Satu-satunya yang dapat menjelaskan masalah
penurunan populasi adalah emigrasi ke Jawa, yang tentu saja penyebab emigrasi
ini antara lain, geografis Madura yang tidak layak, tekanan penguasa lokal, dan
tentu saja pandangan tentang penghidupan di Pulau Jawa yang lebih baik dari
Tabel 7
Kepadatan Penduduk Per 100 Ha/ kepala
Kabupaten Areal
dalam Ha
1885 1890 1900 1905
Pamekasan
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 88.
Wilayah pemukiman tradisional di Madura tidak hanya tanean lanjang
saja, namun ada pula takat lanjang.Takat lanjangadalah sebutan untuk rumah di
atas laut, tepatnya di Sumenep, Desa Sepanjang, Kecamatan Sepaken. Untuk
menuju kesana dengan perahu dari Pulau Sepaken membutuhkan waktu sekitar
satu jam. Jika dilihat dari jauh, rumah-rumah tersebut menyerupai keramba ikan
raksasa di tengah laut, namun sebenarnya dari sejumlah “keramba” itu adalah
rumah tempat tinggal penduduk setempat. Bentuk bangunan rumah takat lajang
tersebut sangat sederhana. Dindinnya terbuat dari anyaman bambu. Sebagian ada
juga yang terbuat dari papan. Sementara atap rumah menggunakan anyaman
jannur kering. Setiap rumah dibangun berukuran 3x5 meter. Rumah-rumah
tersebut dibangun dengan pola berjajar. Jarak lantai rumah dengan laut sekitar 1
meter. Lokasi takat lanjang tepat berada di atas gugusan karang. Mereka
yang berjajar mengingatkan kita pada rumah saudara mereka yang ada di daratan,
yang disebuttanean lanjang.6
Sama seperti tanean lanjang, semua penghuni rumah apung tersebut
memiliki hubungan kekerabatan. Kehidupan mereka yang mengelompok dan
hanya terdiri dari beberapa keluarga itu membuat mereka rukun satu sama lain.
Mereka juga sangat ramah dan hangat, pada tamu yang berkunjung kesana. Ketika
ada tamu yang dating, semua warga di tempat itu segera berkumpul di satu tempat
untuk menemui tamu. Satu-satunya alat transportasi disana adalah perahu, yang
dimiliki setiap keluarga. Untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok mereka
mencari di pulau terdekat. Untuk mendapatkan air minum, warga menuju Pulau
Sasel’el. Sementara untuk kebutuhan lain, mereka mennuju pulau lainnya. Warga
disana semuanya bekerja sebagai nelayan. Di tempat ini tentu saja sangat mudah
mendapatkan ikan segar. Karena tinggal di antara sejumlah pulau, warga di sini
memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi. Mereka rata-rata menguasai
tiga bahasa, yakni bahasa Madura, Bajo, Indonesia. Ketiga bahasa tersebut
digunakan sesuai dengan lawan bicara. Baha Bajo digunakan saat berhadapan
dengan warga pulau sekitar yang juga menggunakan bahasa Bajo. Begitu pula
dengan bahasa Madura, digunakan saat mereka berhadapan dengan orang yang
berbahasa Madura.
C. Mata Pencaharian
Tanah dan hewan ternak merupakan sesuatu yang sangat spesial di Pulau
Madura. Walaupun kebanyakan tanah di Pulau Madura, tandus dan berkapur.
Namun tidak sedikit dari masyarakat Madura yang bermata pencaharian
sepenuhnya bergantung pada tanah. Pertanian dan peternakan merupakan mata
pencaharian utama. Antara 70% dan 80% dari penduduk Madura, bagi kehidupan
sehari-hari seluruhnya atau sebagian besar tergantung pada kegiatan-kegiatan
agraris. Di daerah-daerah pantai dan di sekitar kepulauan, perikanan mempunyai
arti penting disamping pertanian.
Perdagangan, kerajinan, pembuatan garam dan pelayaran merupakan
sumber pendapatan penting lainnya. Lagi pula mata pencaharian dari sebagian
besar penduduk masih bertumpu kepada pekerjaan yang mereka lakukan di
seberang laut. Pada tahun 1879 ketika topografi pulau itu untuk pertama kali
dibuat, ternyata kira-kira 70% dari luas lahan telah dibudidayakan. Pada akhir
tahun-tahun dua puluhan, pertanian tersebut telah meningkat menjadi hampir
sekitar 80%. Sejak saat itu luas lahan pertanian tidak berubah. Luas lahan
pertanian dewasa ini ialah 433.000 ha, dan 52.000 ha terdiri dari pekarangan dan
Tabel 8
Pemilikan Tanah di Desa Tahun 1912
Wilayah Jumlah Desa
Pemilikan Individu
Campuran Komunal Perdikan Bukan Tanah Sumber: Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 357.
Tabel 9
Jumlah Ternak di Madura
Tahun Sapi Kerbau Kuda Total Rata-rata
per 1.000 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 369.
Sepertiga dari lahan sawah ini diairi secara teknis dengan air sungai, mata
air atau dari waduk-waduk cadangan yang dahulu dibuat di bawah pemerintahan
kolonial. Sawah seluruhnya tergantung pada curah hujan. Dua pertiga dari areal
sawah tersebut terletak di bagian barat Pulau Madura. Di Pulau Madura hanya
pertanian rakyat saja yang ada. Pada waktu tanah-tanah partikelir di Jawa
mengalami zaman makmur, Pulau Madura hanya memiliki dua buah perusahaan
perkebunan, yaitu sebuah perkebunan gula dan sebuah perkebunan tembakau.
pertumbuhan penduduk yang pesat, lambat laun tekanan yang berlangsung terus
menerus terhadap lahan menjadi semakin berat.
Pulau Madura juga memiliki sejumlah perusahaan kecil, seperti
pembakaran kapur, pabrik batu bata, dan genteng, pabrik tenun, pabrik es batu,
perusahaan pemintalan tali, dan galangan kapal yang kecil. Selain pabrik garam,
tidak ada perusahaan besar. Madura merupakan salah satu dari daerah-daerah
yang paling miskin di kepulauan Indonesia per kepala. Dibandingkan dengan
daerah-daerah lain sehubungan dengan permasalahan ekonominya, seperti
Gunung Kidul yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta, Madura kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan propinsi. Kehidupan yang pelik
seperti ini tentunya memancing niat dari orang-orang Madura untuk pindah atau
bermigrasi ke wilayah lain terutama Jawa Timur.
Orang-orang Madura dipaksa oleh keadaan untuk memilih jenis bibit padi
yang mempunyai masa pertumbuhan singkat, hanya sedikit yang memilih bibit
dengan masa tumbuh lama. Di Pameksan tidak ada padi berumur 5 sampai 6 bulan
ditanam; padi tengah dengan masa tumbuh 4 sampai 5 bulan dipilih untuk ditanam
di sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Di Sumenep, padi dalem juga ditanam,
namun sebagian besar menanam padi genjah dengan masa pertumbuhan pendek,
yakni 3 sampai 4 bulan. Di Bangkalan, padi dalem juga ditanam, tetapi yang
paling disukai adalah padi tengah. Di Sampang, padi dalem ditanam dalam skala
yang sangat kecil di sawah tadah hujan, namun petani lebih banyak menanam di
sawah irigasi dibandingkan dengan padi tengah. Rupanya, keterbatasan air
Tabel 10
Hasil Panen Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul) Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 49.
Tabel 11
Hasil Ladang yang Ditanami Padi Rata-Rata Per Bau (dalam pikul)
Tahun Madura Jawa-Madura
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 49.
1 bau = 0,7096 hektar; 1 pikul = 137 lb
Buruknya kondisi tanah dan kurangnya air mengakibatkan hasil yang
rendah. Dibandingkan dengan Jawa, produktivitas tanah di Madura lebih rendah,
kurang lebih separuh dari jumlah padi per unit tanah. Tabel 10 dan 11
memperlihatkan hasil panen dan hasil ladang yang ditanami rata-rata per bau di
Madura dan Jawa-Madura. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, resiko
penanaman padi di Madura jelas lebih besar dibanding dengan di Jawa. Walaupun
mereka mengalami kesulitan, orang Madura lebih intensif dalam pengolahan
tanah disbanding rata-rata orang Jawa. Pada tahun 1930 proporsi hasil panen dari
seluruh tanah yang ditanami di bagian barat Madura adalah 143 persen dan
adalah 102 persen (Bojonegoro 151,6 persen yang tertinggi dan Priangan Timur
61,3 persen yang terindah). Intensitas penanaman mereka yang lebih tinggi tidak
menjadikan orang Madura makmur. Beras langka dan harganya menjadi tinggi.
Bagi orang Madura, pemanfaatan bahan makanan pokok tergantung pada
tanaman-tanaman lain juga. Jagung paling popular, kemudian singkong. Ubi jalar
sekali waktu dianggap sebagai pengganti. Pada tahun 1880, orang Madura
mempunyai andil yang cukup besar dalam produksi jagung untuk Jawa-Madura,
yaitu lebih dari 50 persen. Jumlah areal yang ditanami jagung di Jawa-Madura
pada tahun itu seluas 637.677 bau, di Madura sendiri 324.252 bau.
Andil orang Madura ini terus-menerus dan turun-temurun. Tahun 1895
tanah yang ditanami jagung di Jawa-Madura 1.090.497 bau, dan di Madura
321.920 bau. Adapun distribusi tiga tanaman pokok subsisten, yakni padi, jagung,
dan singkong, seperti terlihat dalam tabel 11. Ubi jalar ditanam dalam jumlah
yang agak besar: 23.467 bau pada tahun 1916, 35.981 bau pada tahun 1926, dan
32.260 hektar pada tahun 1935. Sedangkan kentang hanya ditanam dalam jumlah
yang kecil: 1 bau pada tahun 1926, 58 hektar pada tahun 1935. Umbi-umbian
yang lain ditanam pada areal seluas 19.492 hektar. Kacang ditanam dalam jumlah
yang cukup berarti, namun tidak demkian dengan keledai. Persentase tanaman
selain padi yang ditanam pada tahun 1927: jagung 61,7 persen, singkong 16,6
persen, ubi jalar 3,6 persen, kacang-kacangan 5,4 persen, dan tanaman lain 5,3
persen.7
Tabel 12
Hasil Panen Tiga Tanaman Subsisten (dalam kg)
Tahun dan Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 51.
Di antara tanaman keras, siwalan menduduki tempat yang penting di
dalam perekonomian orang Madura. Siwalan tumbuh di dataran tinggi bagian
timur perbatasan Sapulu-Pameasan, yang paling banyak di Sumenep. Siwalan
dapat tumbuh dengan baik di tanah-tanah tandus. Seluruh bagian dari pohon
Siwalan dapat dimanfaatkan: daunnya untuk membuat tikar, keranjang, timba, dan
mainan; sari buahnya untuk bahan dasar minuman keras, arak, dan cuka; rebusan
sari buahnya untuk membuat gula; pohonnya untuk bahan-bahan bagunan; dan
buahnya dapat dimakan. Tanaman lain yang memberikan keuntungan bagi orang
Madura dalam perdagangan di antaranya asam jawa, kapuk, dan pohon
buah-buahan (khususnya mangga). Di Pulau Madura kelapa tumbuh dimana-mana dan
buahnya dimanfaatkan untuk minyak. Satu lagi tanaman tradisional adalah Indigo
digunakan sebagai pewarna tekstil. Indigo hanya tumbuh dalam jumlah yang kecil
Tanaman-tanaman komersial seperti tebu, tembakau, dan kopi juga
tumbuh di Madura. Mulai tahun 1835 perkebunan tebu di Pamekasan dikuasai
oleh raja-raja pribumi. Semula hanya terbatas di desa-desa, dan tak lebih dari 400
bau. Setelah penguasa pribumi dihentikan pada tahun 1858, pemerintah kolonial
melanjutkan kontrak dan pengawasan perkebunan tebu tersebut. Pada tahun 1860
jumlah areal yang ditanami tebu 300 bau dan menghasilkan 10.000 pikul tebu.
Tanaman itu ternyata menguntungkan pemerintah regional Madura, yang
kemudian merencanakan perluasan penanaman ke seluruh bagian pulau, dengan
masing-masing ditanami 400 sampai 500 bau. Namun sesungguhnya Madura
tidak cocok untuk perkebunan tebu. Hasil per bau pada tahun 1867 adalah 32,02
pikul pada tahun 1871. Madura termasuk penghasil tebu terjelek. Keuntungan
terus mengalir untuk pengusaha perkebunan, tetapi kenyataan perkebunan itu
telah merusak produksi tanaman pangan lain serta menimbulkan beberapa
persoalan yang serius.
Namun meskipun begitu bukan berarti Pulau Madura tidak memiliki
komiditi unggulan di bidang pertaniannya. Tembakau bukanlah tanaman baru, ada
dua pendapat tentang asal-usul tanaman tembakau di Madura. Pendapat pertama
mengatakan bahwa tanaman tembakau diperkenalkan di Madura oleh bangsa
Portugis pada akhir abad 16. Pendapat kedua mengatakan bahwa pada waktu
kedatangan Belanda di Madura sekitar abad 16, tanaman tembakau telah banyak
dibudidayakan rakyat. Tanaman tembakau telah ada sebelum kedatangan Portugis
ke Indonesia. Bahkan timbul dugaan bahwa tembakau merupakan tanaman asli
Madura, bahwa tanaman tembakau diperkenalkan pertama kali oleh penyebar
Islam dari Kudus bernama Pangeran Katandur sekitar abad ke-12. Tanaman
tembakau Madura ini tersebar mulai dari dataran tinggi di sebelah utara Pulau
Madura, mulai Pakong, Kabupaten Pamekasan, sampai Batu Putih, Kabupaten
Sumenep. Awalnya sebagian besar petani menanam tembakau untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Hanya sedikit yang diperjualbelikan di pasar. Pemerintah
Belanda mengenalkan tembakau jenis Virginia. Namun gagal karena lahan dan
sistem pengairan yang buruk serta kondisi sosial budaya pada saat itu yang tidak
mendukung untuk penanaman tembakau secara besar-besaran. Baru pada era
kepemimpinan Raffles kesuksesan budidaya tembakau Madura mulai dapat
dirasakan. Bahkan hasil dari petanian tembakau nomor dua setelah padi.
Tabel 13
Penanaman Tembakau (dalam bau)
Tahun Sumenep Pamekasan Sampang Bangkalan
1917 Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 58.
Tanaman tembakau memberikan harapan bagi ekonomi pertanian orang
Madura. Walaupun terdapat keluhan-keluhan dari pemerintah setempat mengenai
kurangnya keberanian petani untuk berusaha, pertumbuhan temabaku sebagai
kemungkinan karena adanya kemampuan adaptasi dari tanaman tembakau
terhadap variasi tanah dan kondisi air. Di musim penghujan dan musim kemarau,
tembakau akan tumbuh di sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegal. Pada tahun
1875 di Pamekasan telah dipanen tembakau dari tanah seluas 137 bau dan pada
tahun 1880, 279 bau. Di Sumenep, pada tahun 1884 luas areal tembakau yang
dipanen adalah 3.671 bau; tahun 1895, 2.629 bau; tahun 1900, 3.652 bau; tahun
1905, 8.865 bau; tahun 1910, 6.410 bau; dan tahun 1915, 8.506 bau.
Cepatnya popularitas itu menguntungkan pasaran tembakau Madura.
Sebelum Perang Dunia I, produksi tembakau terbatas untuk pasar local, tetapi
setelah Perang Dunia I tembakau Madura banyak dibutuhkan di pasaran Eropa.
Akan tetapi, tembakau Madura kemudian mengecewakan pasaran Eropa; sebab
yang mendasar adalah karena tiap-tiap produsen tidak sama dalam menjaga mutu.
Pada tahun 1919 hanya satu perusahaan di Surabaya yang mengadakan transaksi
ekspor tembakau Madura. Meskipun tembakau telah hancur reputasinya di
pasaran luar negeri, tetapi di pasaran local tembakau Madura tidak merosot.
Penanaman tembakau semakin meluas pada dasawarsa setelah tahun 1917. Tabel
12 memperlihatkan penanaman tembakau di masing-masing kabupaten. Pusat
penanamannya ada di Pegantenan dan waru di Pamekasan, barat laut dan timur
laut di Sumenep, dan Kedundung di Sampang. Pusat-pusat pengiriman di Waru,
Ambunten dan Bunder.
Selain dibidang pertanian Pulau Madura juga memiliki komoditi unggulan
lain, dalam hal ini ialah produksi garamnya. Produksi garam terpusat di Pantai
pertanian. Sebuah laporan 1885 mencatat hanya 2.586 produsen garam, meskipun
dalam kenyataannya hal itu berarti hanya pemilik-pemilik ladang garam. Pada
tahun 1894, jumlah yang terlibat seluruhnya dalam produksi garam diperkirakan
24.600 orang: 4.000 orang di Sampang, 10.000 orang di Pamekasan dan 10.600 di
Sumenep. Pembuat-pembuat garam yang betul-betul bekerja di ladang jumlahnya
3.269 dengan perincian 815 di Sampang, 1.072 di Pamekasan, dan 1.382 di
Sumenep. Taksiran yang komperhensif untuk partisipan-partisipan8 produksi
garam tidak hanya para pemilik, pembuat, dan pekerja saja, tetapi juga yang
terlibat dalam transportasi. Pada tahun 1894 terdapat 222 perahu yang terlibat
dalam transportasi garam dengan perincian, 94 di Sampang, 38 di Pamekasan, dan
90 di Sumenep, seluruh pekerja transportasi itu jumlahnya 1.110 orang. Dalam
rangka proses pengiriman garam, pada umumnya digunakanlah perahu,
nama-nama perahu yang ada seperti perahu Jukung, Lis-alis, Paduwang, Leti-leti,
Galekan, dan Janggolan. Perahu Lis-alis terutama Janggolan, biasa untuk
mengangkut garam dari Madura ke tempat tujuan ke Jawa. Perahu Janggolan amat
efektif untuk pengangkutan garam karena mempunyai daya muat dalam jumlah
yang besar. Jenis perahu ini merupakan perahu raksasa yang mempunyai berat
100 hingga 200 ton.
Tujuan pengangkutan garam dengan meggunakan perahu semacam itu
adalah ke gudang-gudang yang telah ditentukan. Sebagai konsekuensi adanya
monopoli, maka mengenai pendistribusiannya pemerintah tekah menentukan
tempat atau gudang dari setiap propinsi di ketiga propinsi di Jawa dan ditempat
8
lainnya. Kemudian dari gudang-gudang itu diangkat ke tempat-tempat penjualan
yang resmi. Produksi garam tidak hanya banyak menguntungkan pendapatan
keuangan pemerintah kolonial, tetapi juga menguntungkan penduduk Madura.
Secara ekologis di katakan bahwa produksi garam adalah salah satu alternatif dari
pertanian. Ketika keadaan cuaca tidak menguntungkan untuk pertanian, justru
untuk produksi garam menguntungkan, begitu sebaliknya. Dengan keadaan alam
di Madura yang demikian itu, migrasi kerja ke ujung timur Jawa diatur oleh
keadaan cuaca.
Dalam musim kemarau, petani-petani pergi ke Jawa untuk bekerja dan
kembali lagi pada musim hujan, sedangkan produsen-produsen garam di Pantai
Selatan pada musim hujan giliran pergi ke Jawa dan kembali lagi ke Madura pada
musim kemarau. Namun, tidak adanya pembatasan prosuksi garam
mengakibatkan stok garam di gudang-gudang berlebih. Hal itu terjadi misalnya
pada tahun-tahun setelah krisis garam tahun 1859 ketika pemerintah pada tahun
1861 mencoba menstimulasi produksi dengan menaikkan harga beli dari f3,50 per
koyang (1.825 kg) menjadi f10. Akibat kelebihan produksi, pemerintah terpaksa
memberhentikan produksi garam sampai 24.000 koyang per tahun.9 Pada tahun
1876 Sampang dibuka kembali dengan produksi per tahun 7.250 koyang, jadi
pada tahun-tahun itu produksi garam di Madura hanya kira-kira 30.000 koyang.
Pemerintah menangguhkan pembukaan kembali Pamekasan karena kesulitan
transportasi. Malahan, mereka membuka ladang-ladang garam milik pemerintah
9
di Gersik Putih, Sumenep, pada tahun 1876. Seribu rancangan dibuat, tetapi
karena kurangnya kerja sama dengan peduduk rencana itu baru dilaksankan pada
Tabel 14
Produksi Garam pada Tahun-Tahun Terpilih (per koyang 27-28 pikul)
Tahun Hasil Produksi (koyang)
1870
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 405.
tahun 1881. Menurut catatan, pada tahun-tahun itu ladang-ladang garam di
Pamekasan dibuka kembali dengan rata-rata produksi 10.000 koyang pertahun.
Pada tahun 1882, dengan demikian, jumlah seluruh produksi adalah 42.250
Tabel 15
Pemilikan Tanah Ladang Garam Tahun 1920 Jumlah Pemilik
Plot Sumenep Pamekasan Sampang Total
1
Total 1.719* 1.557 1.377 4.653
Sumber : Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm, 414.
*termasuk 41 plot baru yang digunakan pertama kali tahun 1919. Plot adalah sebuah istilah yang dibuat oleh pihak kolonial, untuk menandai lahan satu dengan lahan lainnya.
Pemerintah sendiri menyatakan tidak lagi membuka ladang-ladang garam
baru sampai tahun 1910. Landasan dasar monopoli garam adalah untuk
melindungi produksi. Belanda telah lama menganggap monopoli garam sebagai