• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya. Kata konsumsi dalam Kamus Saku Oxford yaitu menghabiskan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya. Kata konsumsi dalam Kamus Saku Oxford yaitu menghabiskan,"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Konsumsi merupakan salah satu cara seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Kata konsumsi dalam Kamus Saku Oxford yaitu menghabiskan, menggunakan, melahap, makan atau minum (Lury, 1998:2). Konsumsi yang berlebihan dapat mengarah ke perilaku konsumtif dikarenakan seseorang membeli produk atau barang hanya sekedar untuk kesenangan dan kepuasan, bukan berdasarkan kegunaan atau manfaat.

Konsumsi di dalam masyarakat terus berkembang khususnya dalam hal kebendaan yang dilihat dari segi materi sehingga menjadikan masyarakat konsumtif. Kata konsumtif melahirkan istilah konsumtivisme. Selain konsumtivisme, ada istilah konsumerisme, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Konsumtivisme maksudnya adalah konsumen yang langsung mengkonsumsi barang atau jasa dan tidak memperjualbelikannya kembali.

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sedangkan konsumerisme seseorang diukur dari “apa yang dimiliki” daripada “menjadi apa”.

Istilah konsumtif lebih menjelaskan dengan mendahulukan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal bahkan dikatakan gaya hidup yang bermewah-mewah1.

1http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30584/5/Chapter%20I.pdf, diakses pada hari Jum‟at, 29 Januari 2016, pukul 15.20 WIB

(2)

Konsumerisme merupakan masalah budaya dan moral yang mana pemecahannya memerlukan pendekatan budaya dan moral, juga terletak pada hubungan antara kebebasan manusia dan kepemilikan benda-benda material.

Hidup dalam masyarakat yang konsumtif, mampu menjauhkan seseorang yang mempunyai perilaku konsumtif dari tujuan hidup mereka yang sebenarnya. Ada beberapa faktor yang membuat masyarakat menjadi konsumtif yaitu diciptakan tren untuk membuat masyarakat melakukan pembelian, membeli barang sebagai self reward system (sistem pemberian upah) dan merayakan kebahagiaan atas

kesuksesan yang diraih, pembelian barang bisa menyelesaikan semua masalah, identitas diri disetarakan dengan barang yang dimiliki serta masyarakat hanya berfokus pada barang-barang yang mereka miliki (Santoso, 2006:43-44).

Soegito (1996 dalam Parma, 2007:5), mengemukakan bahwa perilaku konsumtif masyarakat Indonesia tergolong berlebihan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Keadaan ini dilihat dari rendahnya tingkat tabungan masyarakat Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Philipina, dan Singapura. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting atau hidup dalam dunia konsumerisme yang menjadi syarat mutlak untuk kelangsungan status dan gaya hidup.

Perilaku konsumtif juga dipahami sebagai konsumerisme karena orang cenderung mencari dan membeli barang yang dianggap keluaran terbaru tetapi sebenarnya tidak diperlukan. Konsumerisme tanpa disadari sudah menjadi budaya dan menjurus menjadi penyakit sosial yang berpotensi menciptakan masyarakat

(3)

individualis dan materialistis, bahkan mengarah ke hedonisme. Hal ini ditandai dengan adanya sekelompok masyarakat yang aktif mengonsumsi produk-produk mewah sebagai sebuah prestise dan kehormatan sekedar sebagai pemenuhan hasrat (Imawati dkk., 2013:49). Dapat dilihat bahwa konsumerisme adalah perilaku konsumsi yang tidak terarah, terkadang hanya mengikuti gengsi, tidak terkontrol, dan hanya mengikuti tren.

Tren yang saat ini banyak diminati adalah berbelanja atau shopaholic.

Remaja wanita membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan penampilan seperti pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu. Kondisi pasar yang lebih banyak ditujukan untuk wanita dan kecenderungan wanita lebih mudah dipengaruhi mendorong wanita lebih konsumtif daripada pria. Hal ini disebabkan konsumen wanita cenderung lebih emosional, sedang konsumen pria lebih nalar.

Wanita sering menggunakan emosinya dalam berbelanja. Kalau emosi sudah menjadi raja sementara keinginan begitu banyak, maka yang terjadi adalah mereka akan jadi pembeli yang royal (Anugrahati, 2014:3).

Banyaknya pendatang dari luar kota Yogyakarta yang melakukan study tour, melanjutkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi di Yogyakarta,

hingga munculnya berbagai prestasi para pelajar maupun mahasiswa di Yogyakarta menjadikan kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. 2 Banyaknya pendatang baru yang tidak hanya berkutat di bidang pendidikan namun juga merambah ke kehidupan sosial menjadikan kehidupan di kota Yogyakarta semakin berkembang.

2 http://krti2015.ugm.ac.id/jogja-yang-istimewa/, diakses pada hari Kamis, 03 Desember 2015, pukul 16.13 WIB

(4)

Selain sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota yang tidak pernah tidur. Meski sudah larut, Yogyakarta masih menyuguhkan berbagai aktivitas di beberapa sudut kota, seperti titik nol, kafe 24 jam, dan Malioboro.3 Bukan hanya itu saja, berbagai pusat perbelanjaan dan hiburan seperti mall, bioskop, tempat-tempat nongkrong serta restoran juga sudah banyak merambah di Yogyakarta.4

Para pendatang yang menetap di Yogyakarta terutama wanita muda yang menempuh pendidikan sebagai mahasiswi menjadi sasaran bagi produsen kosmetik untuk menawarkan produk kecantikannya. Kalangan mahasiswa merupakan salah satu kelompok sosial dalam masyarakat yang rentan terhadap pengaruh gaya hidup, tren, dan mode yang sedang berlaku. Bagi mahasiswa sendiri, mode, penampilan, dan kecantikan merupakan hal penting yang mendapatkan perhatian khusus. Cross dan Cross menerangkan bahwa kecantikan dan daya tarik fisik sangat penting bagi umat manusia. Dukungan sosial, popularitas, pemilihan teman hidup dan karier dipengaruhi oleh daya tarik seseorang (Hurlock, 1980:219).

Kehidupan di Yogyakarta yang semakin berkembang, serta pengaruh dari berbagai macam latar belakang kehidupan para pendatang memungkinkan mahasiswi untuk mengikuti setiap perkembangan salah satunya gaya hidup. Hal ini dapat mengarah ke perilaku konsumtif yang mana seseorang akan mengikuti temannya jika membeli sesuatu baik dengan alasan ikut-ikutan atau setia kawan,

3 http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/potret-kehidupan-malam-kota-

jogja_552ae9cff17e616b52d6242f, diakses pada hari Kamis, 03 Desember 2015, pukul 16.42 WIB

4 http://www.ukdw.ac.id/id/page/view/46-tinggal-di-jogja, diakses pada hari Kamis, 03 Desember 2015, pukul 16.47 WIB

(5)

bahkan tanpa mempertimbangkan segi kebutuhan dan manfaat dalam pembelian produk. Produk yang banyak diminati wanita muda terutama mahasiswi adalah produk kosmetik. Bukan hal yang asing bahwa produk kecantikan saat ini menjadi kebutuhan penting bagi wanita sehingga mereka rela mengeluarkan dana untuk mendapatkan produk kosmetik yang diinginkan demi memperoleh kecantikan yang diharapkan.

Kosmetik merupakan salah satu produk yang sangat penting dan diminati oleh wanita karena berkaitan dengan wajah. Gloria Swanson (Synnott, 1993:115- 116) mengatakan bahwa wajah menjadi penentu dasar bagi persepsi mengenai kecantikan atau kejelekan individu dan semua persepsi ini secara langsung membuka penghargaan diri dan kesempatan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa wajah menjadi bagian yang pertama kali dinilai dibanding bagian tubuh yang lain sehingga wajah yang cantik menjadi idaman kaum wanita.

Menurut Wulandari, cantik merupakan sebuah masalah bagi para wanita yang merasa tidak cantik, seperti kulit gelap, hidung pesek, maupun alasan-alasan lain yang bukan termasuk syarat cantik pada umumnya. Kriteria kecantikan sendiri dari masa ke masa selalu berubah-ubah. Representasi wanita cantik yang sebagian besar ditampilkan oleh media iklan yaitu perempuan yang berkulit putih, langsing, hidung mancung, dan lain sebagainya. Kriteria cantik menurut sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan representasi cantik seperti yang ditampilkan di media iklan saat ini.5

5 http://www.m.kompasiana.com/post/sosbud/2011/11/12/kriteria-kecantikan/, diakses pada hari Rabu, 13 November 2013, pukul 10.20 WIB

(6)

Untuk mendapatkan kecantikan yang diidamkan, salah satu usaha yang ditempuh yaitu dengan menggunakan produk kosmetik. Data dari Kementerian Perdagangan (2013) menunjukkan industri kosmetik mengalami perkembangan dengan kenaikan penjualan di tahun 2012 sebesar 14% menjadi Rp 9,76 triliun dari sebelumnya Rp 8,5 triliun. Kenaikan ini berasal dari pertumbuhan tingkat permintaan, khususnya dari konsumen kelas menengah. Selain itu terjadi pula perubahan tren penggunaan produk kosmetik yang semakin diminati oleh kaum pria. Industri kosmetik diproyeksikan dapat terus mengalami pertumbuhan oleh Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (PERKOSMI) sebesar 15% menjadi Rp 11,22 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 9,76 triliun di tahun 2012.6

Kosmetik memiliki asal dan jenis yang beragam, tidak hanya lokal tetapi juga impor, salah satunya produk kosmetik impor dari Jepang. Kosmetik impor menjadi pilihan sebagian masyarakat Indonesia meskipun masih banyak produk kosmetik lokal yang lebih terjangkau harganya dan tidak kalah baik kualitasnya dibanding produk kosmetik impor yang terbilang mahal. Pilihan kosmetik tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan kecantikan yang diinginkan sehingga pada akhirnya penggunaan kosmetik impor hanya untuk mengikuti tren dan gaya hidup, bukan kebutuhan pokok. Penggunaan produk kosmetik menjadi suatu gaya hidup yaitu untuk mendapatkan kecantikan sebagai daya tarik fisik agar mendapatkan dukungan sosial, popularitas, teman hidup sesuai dengan kriteria dan karir.

Melalui kosmetik kekurangan fisik khususnya pada wajah dapat tersamarkan,

6 http://www.kemenperin.go.id/artikel/5897/Indonesia-Lahan-Subur-Industri-Kosmetik, diakses pada hari Selasa, 07 Juli 2015, pukul 20.03 WIB

(7)

sebagai contoh jerawat, flek atau noda hitam, warna kulit yang tidak merata, dan lain-lain.

Kosmetik impor dari Jepang merupakan produk kosmetik yang bisa ditemukan di Yogyakarta. Produk ini mengusung kecantikan ideal wanita Jepang, karena kulit wanita Jepang terkenal akan keindahan dan kelembutannya. 7 Beberapa iklan khususnya yang menekankan fungsi produk merupakan sebab dari suatu pengaruh yang diinginkan. Seperti obat yang memiliki fungsi dapat menghentikan sakit, kosmetik memiliki fungsi dapat meningkatkan kecantikan.

Dari produk yang dihasilkan, obat maupun kosmetik tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu pengaruh, sehingga jika ingin tampil cantik, ketika melihat penawaran produk kosmetik maka konsumen membeli produk tersebut supaya bisa tampil cantik seperti ikon dalam produk kosmetik tersebut (Ihza, 2013:48-54).

Produk kosmetik impor dari Jepang masih menjadi pilihan beberapa mahasiswi di Yogyakarta, di tengah banyaknya produk kosmetik khususnya dengan bernacam-macam pilihan produk kosmetik lokal yang ditawarkan di berbagai media iklan. Melalui media iklan tersebut, beberapa konsumen memahami bahwa kecantikan kulit wanita Jepang dapat diperoleh dengan penggunaan kosmetik. Hal inilah yang menarik bagi peneliti untuk mengetahui lebih dalam mengenai budaya konsumerisme mahasiswi di Yogyakarta terhadap produk kosmetik impor dari Jepang.

7 http://www.vemale.com/body-and-mind/cantik/78379-15-rahasia-kecantikan-wanita- jepang.html, diakses pada hari Selasa, 07 Juli 2015, pukul 16.55 WIB

(8)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dianalisis yaitu:

1. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi mahasiswi di Yogyakarta sehingga memilih produk kosmetik impor dari Jepang?

2. Bagaimana budaya konsumerisme mahasiswi di Yogyakarta terkait dengan penggunaan produk kosmetik impor dari Jepang?

1.3 Ruang Lingkup

Penelitian ini akan terfokus pada mahasiswi yang menggunakan produk kosmetik impor berlisensi dari Jepang yang ada di Yogyakarta.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk:

1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi

mahasiswi di Yogyakarta sehingga memilih produk kosmetik impor dari Jepang.

2. Mendeskripsikan budaya konsumerisme mahasiswi di Yogyakarta terkait dengan penggunaan produk kosmetik impor dari Jepang.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat praktis bagi para pembaca yang ingin mengetahui tentang latar belakang mahasiswi di Yogyakarta dalam memilih

(9)

produk kosmetik impor dari Jepang. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa pertimbangan dan pandangan mengenai beberapa mahasiswi yang memilih menggunakan produk kosmetik impor dari Jepang.

Selain itu, diharapkan penelitian ini menarik dan bermanfaat, serta menambah wawasan bagi para pembaca dan peneliti yang kelak akan melakukan penelitian mengenai budaya konsumerisme di kalangan mahasiswi dalam menggunakan produk kosmetik dari luar negeri.

1.6 Landasan Teori

Kebudayaan menjadi salah satu topik yang paling sering diangkat dalam berbagai pembicaraan mengenai globalisasi. Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga macam: 1) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan; 2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan 3) benda-benda sbagai karya manusia (Koentjaraningrat, 1974:83).

Derasnya arus globalisasi saat ini serta sistem kebijakan pemerintah yang relatif terbuka, semakin memberikan peluang bagi produk industri dari negara- negara maju untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat. Walaupun sebagian besar produk tersebut baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan, namun seiring dengan kemajuan teknologi, pengaruh kehidupan di perkotaan pun mulai masuk ke tengah kehidupan masyarakat pedesaan.

Masuknya sebuah pola budaya baru atau consumer culture (Featherstone, 1991 dalam Sairin, 2004:6) dari negara-negara maju terhadap negara-negara

(10)

berkembang melalui pasar (Said, 1993 dalam Sairin, 2004:6), menimbulkan luar negeri minded yang kemudian mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi pendorong yang kuat bagi terbentuknya pola budaya konsumer tersebut. Makna konsumer sama dengan konsumen, yang diambil dari penyebutan konsumen dalam bahasa Inggris consumer. Ketika produk-produk massa industri mulai dikonsumsi masyarakat, saat itu juga masyarakat terperangkap pada budaya tersebut (Bodley, 1975 dalam Sairin, 2004:6) yang kemudian berkembang pada wujud kehidupan konsumerisme.

Makna “konsumerisme” perlu dibedakan dari “konsumsi”. Sejarah manusia menunjukkan bahwa manusia merupakan pelaku konsumsi dan produksi.

Pada awalnya, manusia menggunakan daun atau kulit binatang sebagai pakaian dan tangan untuk makan. Dalam perkembangannya, manusia memproduksi serta menggunakan sendok dan garpu untuk makan. Konsumsi berkaitan dengan pemakaian barang atau jasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomis- kultural tertentu yang menyangkut kelayakan survival (untuk bertahan hidup), sedangkan konsumerisme adalah sebuah ideologi global baru. Sassatelli (2007:2) menyatakan konsumerisme adalah, “A continuous and unremitting search for new, fashionable but superfluous things”, sehingga dengan menyebarnya

konsumerisme maka orang cenderung mencari dan membeli berbagai macam barang yang dinilai modern tetapi sebenarnya tidak diperlukan.

Salah satu ciri dari perilaku konsumerisme yaitu mengkonsumsi suatu produk bukan karena kegunaan (utility), tetapi lebih pada pertimbangan nilai (value) yang melekat pada produk itu. Suatu produk bukan lagi dilihat dari fungsi

(11)

substansialnya, tetapi lebih ditekankan pada makna yang melekat pada produk tersebut. Dalam hal ini, suatu produk telah berubah menjadi sesuatu yang memiliki makna simbolik, sehingga dalam mengkonsumsi suatu produk orang lebih mementingkan image yang melekat pada produk itu daripada kegunaannya.

Produk itu lebih dilihat dari citra, kemewahan dan kenikmatan baru, sehingga semakin langka dan terbatas suatu produk, semakin tinggi pula makna simbolik yang melekat pada produk itu. Selain memiliki nilai guna (utility) sesuai dengan fungsi yang telah ditentukan oleh produsen, masyarakat juga membangun makna (value) simbolik baru terhadap produk itu terutama simbol-simbol kehidupan yang berkaitan dengan citra kemewahan dan gengsi.

Gervasi (Baudrillard, 1998:63) menyatakan bahwa pertumbuhan dalam masyarakat konsumsi diiringi dengan kemunculan produk-produk baru yang didorong oleh meluasnya lingkup konsumsi karena meningkatnya pendapatan.

Hal ini karena semakin besar pendapatan seseorang, semakin banyak pula hal yang diinginkan. Akan tetapi, pendapatan sebesar apapun jelas tidak akan dapat memenuhi semua permintaan manusia karena keinginan-keinginan itu tidak memiliki batas tertentu. Maka, perilaku konsumsi pun akan terus terjadi dalam ruang dan waktu masyarakat konsumsi.

Hidup dalam masyarakat yang terjerat dalam pola hidup konsumerisme memang sering terasa membebani kehidupan. Beban kultural yang muncul seakan tidak mungkin untuk dielakkan begitu saja. Padahal untuk memenuhi tuntutan kehidupan konsumerisme itu dibutuhkan dana yang tidak sedikit (As, 2001:182- 187).

(12)

1.7 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berhubungan dengan penampilan atau kecantikan yang menjadi ruang lingkup penelitian ini penulis temukan di dalam skripsi yang berjudul “Pemutih Kulit: Gaya Hidup dan Kecantikan Perempuan (Studi tentang Perilaku Konsumsi Alat Kecantikan Perempuan)” oleh Anggun Veranantika jurusan Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2007. Skripsi ini membahas mengenai perilaku konsumsi oleh perempuan terhadap pemutih kulit yang menjadi simbol kecantikan perempuan atas pengaruh dan pencitraan iklan- iklan produk kecantikan. Perempuan berusaha mereproduksi identitas dan status melalui kecantikan sehingga membentuk perilaku konsumsi terhadap produk- produk pemutih kulit.

Selain itu, penelitian mengenai kecantikan juga pernah dilakukan oleh Palupi Setiani jurusan Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2010 dalam skripsi yang berjudul “Harga Sebuah Penampilan Studi Kasus 5 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Mengenai Tubuh yang Proporsional”. Penelitian ini membahas mengenai tindakan remaja putri, khususnya dalam kalangan mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi, terhadap perubahan yang menjauhi bentuk proporsional pada salah satu bagian tubuhnya.

Untuk memperoleh tubuh yang bagus, perempuan harus banyak berkorban dengan menerima rasa sakit dan lapar. Kecantikan sendiri saat ini merupakan mitos dan juga obyek penanaman nilai-nilai tentang kecantikan yang seringkali merupakan ilusi karena sulit sekali diwujudkan secara logika.

(13)

Kemudian penelitian yang juga membahas tentang kosmetik dilakukan oleh Eva Yaumi Ifada jurusan Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2012 dalam skripsi berjudul “Pengaruh Katalog dan Konsumsi Oriflame (Studi pada Mahasiswi Pengguna Oriflame di Yogyakarta)”. Penelitian ini menjelaskan mengenai perilaku konsumen dalam memaknai gambar pada katalog sebuah produk kecantikan sebagai kebutuhan atau gaya hidup dalam dunia kecantikan. Penelitian yang dilakukannya menunjukkan adanya hubungan antara gaya hidup brand, yaitu produk kecantikan Oriflame, dengan kecenderungan perilaku konsumtif pada mahasiswi. Selain itu hal tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat gaya hidup mereka, maka semakin tinggi pula kecenderungan perilaku konsumtif mereka. Begitu juga sebaliknya, apabila semakin rendah gaya hidup mereka, maka semakin rendah pula kecenderungan perilaku konsumtif. Akan tetapi penelitian ini hanya membahas gaya hidup konsumtif para konsumen Oriflame.

Penelitian yang juga membahas tentang kecantikan dilakukan oleh Galih Sekar Tyas Sandra jurusan Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2004 dalam skripsi berjudul “Pola Perilaku Wanita Dalam Bidang Kecantikan”. Penelitian ini menjelaskan mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan seorang wanita untuk tampil cantik dan pengaruh yang diperoleh dari kecantikan tersebut bagi wanita dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini membahas ada banyak cara yang harus ditempuh seorang wanita untuk tampil cantik karena kecantikan sangatlah penting bagi wanita.

(14)

Selain itu, penelitian yang dilakukan Anugrahati (2014) tentang “Gaya Hidup Shopaholic sebagai Bentuk Perilaku Konsumtif pada Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta” menemukan bahwa mahasiswa UNY yang bergaya hidup shopaholic menghabiskan banyak waktu untuk belanja sebagai penghilang rasa jenuh, sebagai kepuasan tersendiri dan lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki hobi yang sama dalam banyak hal. Belanja menjadi sebuah gambaran perilaku konsumtif yang sulit untuk diubah. Faktor- faktor yang menyebabkan gaya hidup shopaholic pada mahasiswa UNY antara lain yaitu: (1) gaya hidup mewah, (2) pengaruh dari keluarga, (3) iklan, (4) mengikuti tren, (5) banyaknya pusat-pusat perbelanjaan, (6) pengaruh lingkungan pergaulan. Gaya hidup shopaholic selain memberikan dampak positif, bisa juga memberikan dampak negatif. Dampak positifnya sebagai penghilang stress dan untuk mengikuti perkembangan jaman. Sedangkan dampak negatifnya adalah terbentuknya perilaku konsumtif, boros, dan candu.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini lebih menjelaskan mengenai 1) bagaimana awal mula mahasiswi pengguna produk tersebut mengenal produk kosmetik impor dari Jepang; 2) bagaimana perilaku konsumsi yang terjadi di kalangan mahasiswi di Yogyakarta dalam menggunakan produk kosmetik impor dari Jepang; dan 3) budaya konsumerisme mahasiswi di Yogyakarta terhadap produk kosmetik impor dari Jepang.

(15)

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yaitu peneliti berusaha memahami fenomena yang sedang marak terjadi dan mengkaitkannya dengan orang-orang yang berhubungan dengan fenomena tersebut. Dalam metode kualitatif ini, selain lebih menekankan aspek subjektif dari perilaku seseorang, peneliti juga berusaha masuk ke dalam kerangka berpikir para subjek yang ditelitinya, sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana pemahaman yang dikembangkan oleh subjek yang diteliti di sekitar fenomena dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong, 1989:10).

Data penelitian kualitatif berupa tulisan, rekaman ujaran secara lisan, gambar, angka, pertunjukan kesenian, relief-relief dan berbagai bentuk data lain yang diubah ke dalam bentuk teks. Data tersebut bisa bersumber dari hasil survei, observasi, wawancara, dokumen, rekaman, hasil evaluasi dan lain sebagainya (Maryaeni, 2005:60). Ada beberapa teknik pengambilan data kualitatif, antara lain teknik survei, partisipasi, observasi, interview, catatan lapangan dan memo analitik, elisitasi dokumen, pengalaman personal dan antisipasi dalam kaji tindak (Maryaeni, 2005:67).

Dalam penelitian ini, pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik interview (wawancara), observasi, dan dokumentasi.

1. Interview (wawancara)

Interview (wawancara) yaitu salah satu cara pengambilan data yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk semi terstruktur dan tak terstruktur, yaitu interview yang sudah diarahkan oleh sejumlah daftar

(16)

pertanyaan namun tidak menutup kemungkinan memunculkan pertanyaan baru yang muncul secara spontan sesuai dengan konteks pembicaraan yang dilakukan. Interview bisa dilaksanakan secara individual maupun kelompok.

Dalam interview baik secara individual maupun kelompok, peneliti sebagai interviewer bisa melakukan interview secara directive, yaitu peneliti selalu

berusaha mengarahkan topik pembicaraan sesuai dengan fokus permasalahan yang mau dipecahkan, maupun interview secara nondirective, yakni peneliti bukannya ingin memfokuskan pembicaraan pada suatu masalah, tetapi ingin mengeksplorasi suatu masalah.

2. Observasi

Observasi adalah pengamatan terhadap fenomena yang terjadi di sekitar yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengamatan dilakukan terhadap fenomena yang menjadi tren dalam penggunaan produk kosmetik impor dari Jepang oleh mahasiswi di Yogyakarta.

3. Dokumentasi

Dokumentasi ialah setiap bahan tertulis atau film (Moleong, 2012:217).

Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi penunjang yang berkaitan dengan penelitian ini. Dokumentasi yang akan diambil dalam penelitian ini antara lain profil dan perkembangan produk kosmetik impor dari Jepang yaitu SK-II, Kanebo, dan Shiseido.

Setelah data diperoleh maka perlu diuji validitasnya. Validitas penelitian kualitatif dengan metode wawancara menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah upaya untuk memeriksa data dalam suatu penelitian, yang mana peneliti

(17)

tidak hanya menggunakan satu sumber data, satu metode pengumpulan data atau hanya menggunakan pemahaman pribadi peneliti saja tanpa melakukan pemeriksaan kembali dengan penelitian lain. Triangulasi ini merupakan teknik yang didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Artinya, untuk menarik kesimpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang.

Triangulasi dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber yaitu membandingkan dan memeriksa kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui sumber yang berbeda. Misalnya membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan antara apa yang dikatakan umum dengan yang dikatakan secara pribadi, membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang ada (Bachri, 2010:56).

1.9 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari:

Bab I berisi tentang pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan, dan daftar pustaka.

Bab II berisi tentang landasan teori yaitu mengenai perkembangan budaya Jepang di Indonesia, konsep kecantikan ideal ala Jepang, produk kosmetik impor dari Jepang di Yogyakarta, dan budaya konsumerisme.

(18)

Bab III berisi tentang pembahasan yang mencakup profil responden, faktor-faktor yang melatarbelakangi mahasiswi di Yogyakarta sehingga memilih produk kosmetik impor dari Jepang, budaya konsumerisme mahasiswi di Yogyakarta terkait dengan penggunaan produk kosmetik impor dari Jepang, dan pembahasan mengenai hasil penelitian di lapangan yang dihubungkan dengan teori.

Bab IV merupakan kesimpulan dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk memperlancar pelaksanaan tugas penuh waktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat, pada tahun 1998 Pemerintah Provinsi Jawa

Hasil penelitian ini menambah kekuatan dari teori- teori yang ada, karena berdasarkan hasil analisis regresi pada penelitian ini menunjukkan bahwa variabel

merupakan daging sapi impor yang terkenal dengan kandungan lemak intramuskuler (marbling) yang sangat tinggi.Secara umum, semakin tinggi kandungan lemak di dalam

Prinsip ini dibentuk tidak hanya untuk mengendalikan pencemaran dan untuk menghilangkan kerusakan tetapi juga untuk mencegah munculnya dampak lingkungan hidup yang

Namun karena reaksi bolak-balik di industri umumnya tidak dilakukan hingga mencapai kesetimbangan, maka penelitian suhu optimum lebih ditekankan pada konversi

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan

Bahan kimia yang digunakan untuk resin akrilik swapolimerisasi dan resin akrilik polimerisasi panas adalah sama namun, resin akrilik yang teraktivasi secara

Guru membahas tugas rumah yang diberikan pada pertemuan yang lalu. Dilanjutkan menunjukkan gambar pelangi pada siswa dan menjelaskan materi tentang cahaya