o
Selasa
123
17
18
19
OJan
8Peb
4
20
OMa,
~ibun
Jabar
5
6
21
OAp,
o
Rabu
7
22
OMel
. Kamis
0
Jumat
8
9
10
11
23
24
~
26OJun
OJul
0
Ags
o
Sabtu
12
13
27
28
OSep
OOkt
Demonstrasi:
o
Minggu14 15 16 29 30 31
ONov ODes
INDONESIA dalam masa transisi demokrasi. Oalam masa transisi demokrasi, semua belajar berdemo-krasi. Elite politik dan massa atau rakyat kebanyakan sama-sama belajar ber-demokrasi.
Di negara yang menjalan-kan sistem demokrasi, de-monstrasi atau unjuk rasa tidaklah dilarang, diper-bolehkan, meski tidak dian-jurkan. Demonstrasi yang marak akhir-akhir ini de-ngan membawa berbagai macam hewan, mulai dari hewan unggas yang relatif ked I seperti ayam betina dan atau ayam jantan hing-ga hewan mamalia yang berukuran besar seperti kerbau dan babi, bahkan hewan melata cecak dan buaya, pun sempat meng-hiasi pemberi taan media cetak tulis dan elektronik terkait demonstrasi yang dilakukan warga Indonesia. Disertakannya hewan dalam aksi demonstrasi tersebut dimaksudkan se-bagai simbolisasi dari peri-laku oknum pejabat publik yang dipersepsikan massa bertentangan dengan ke-hendak publik. Misal: ayam betina biasanya diserahkan ke penegak hukum yang tak berani menegakkan keadilan, atau perala tan perempuan untuk bersolek pernah diserahkan Soe Hok Gie kepada anggota OPR Gotong Royong (GR) dari unsur mahasiswa yang me-rupakan kawan-kawannya Soe semasa sesama de-monstran, sebagai wujud sindiran ketidakberanian.
Perumpamaan atau sim-bolisasi itu bisa tepat bisa juga bias, seperti ikhwal perempuan yang disim-bolkan representasi lemah, _munglsW saat Yli bila
di~-referat
DEDEMARIANA Dosen dan Peneliti Universitas Padjadjaran
Guru Sesar IImu Pemerintahan
-
-
~riakan bisa diprotes aktivls perempuan atau para fE:mi-_ nis pembela hak-hak pe-rempuan karena simbolisasi demikian jadi bias gender.
Oalam konteks demons-trasi yang melibatkan he-wan-hewan tersebut, mun-cui berbagai persepsi dan tanggapan, yang umumnya menganggap tak etis ma-nakala di hewan-hewan itu digantungkan foto pejaba. publik setingkat presiden, wapres, dan atau menteri-menteri kabinet. Atau bah-kan sekadar diberi tulisan, umpamanya Si Bu Ya, yang berkonotasi mengarah ke-pada nama salah satu pe-tinggi negara di kita. Ous, itu semua dianggap peng-hinaan terhadap simbol-simbol negara.
Untuk kasus ini, Presiden RI Soesilo Bambang Yu-dhoyono (SBY) meluang-kan wakhmya untuk sed~
kit mengomentari -dan me-nyatakan keprihatinannya soal maraknya demonstrasi yang melibatkan hewan-hew an tersebut dengan diberi label yang seolah-olah mengarah atau me-nyindir perilaku para peja-bat publik yang jadi sasaran
_
~itik paIapendemo.:-.-Saya amati, para peng-gagas demonstrasi sema-earn itu tampaknya sangat puas manakala "kreasi de-monstrasi" -nya membuah-kan hasil meski hanya se-kadar q.itanggapi atau diu-las ikhwal demonya terse-but oleh pejabat publik yang di demo, seperti dalam kasus Si Bu Ya.
Meski, yang pesan subs-tansinya tampaknya tidak tcrlampau jadi perhatian para pihak yang jadi tujuan atau sasaran demonstrasi, misalnyaagar berubah sua-tu kebijakan atau agar ada kejelasan penyelesaian per-soalan, misal: dalam kasus century yang masih diseli-diki panitia angket.
Wacana berikutnya yang berkembang, bagaimana agar demonstrasi tidak terjerumus menjadi jadi arena praktik penghinaan terhadap seseorang, apalagi seseorang yang jadi simbol negara seperti Kepala Ne-gara dan Wakil Kepala Negara.
Ikhwal ini sebenarnya terkait dengan soal kema-tangan dalam berdemo-krasi danberpolitik. Oi ke-banyakan negara yang ba-ru menjalankan demokrasi dan politik nya belum ma-tang, kecenderungan aksi massa yang seperti kita saksikan dalam demons-trasi-demonstrasi di kita adalah sesuatu yang lum-rah, hanya memang ke depan harus makin diper-baiki sehingga demonstrasi tidak mengarah kepada penghinaan namun benar-benar melakukan kritik terhadap kebijakan yang ditelorkan para pejabat publik, dan yang lebih pen-ting iagi tidak mengarah kepada kemungkinan munculnya tindakan tak terkontrol, misalnya
tin--~~--~
-
dakan anarkis.
Bahkan ke depan, boleh jadi mestinya ditradisikan adanya demonstrasi cukup dfalam jumlah yang kecil saja bahkan cukup dila-kukan seorang diri untuk menyuarakan ketidakse-tujuan atas kebijakan tertentu yang di-buat pejabat pu-blik yang berten-tangan dengan ke-pentingan publik.
Beranikah? Karena demonstrasi dengan membawa massa banyak sebenarnya cerminan dari bentuk ketidakberdayaan dan ketidak beranian seseo-rang atau sekelompok orang untuk menyatakan pendapatnya yang diang-gap jauh lebih penting atau lebih tepat daripada yang telah dijadikan kebijakan
---
-
pu-b 1 i k oleh elit politik yangmemerintah, misal: soal tetap diberlakukannya uji-an nasional, soal pengaturuji-an perguruan tinggi da~
bentuk bdan hu-kum publik, dan se-terusnya.
Mestinya di alam demo-krasi tertanam keyakinan, "pendapat atau sikap yang sedikit itu belum tentu sa-lah, dan pendapat ma-yoritas belum tentu
juga benar" bila ini sudah menjadi
sikap dasar maka budaya kritik akan men-jadi hal biasa, ber-demonstrasi sendirian pun bisa menjadi tren di masa depan karena yakin pendapat seseorang belum tentu salah daripada penda-pat kebanyakan orang.