• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROS Bistok HS, Yohanes HA, Sri Yulianto Jp Kajian Ketersediaan Air fulltext

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROS Bistok HS, Yohanes HA, Sri Yulianto Jp Kajian Ketersediaan Air fulltext"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KETERSEDIAAN AIR TANAH UNTUK PENENTUAN SURPLUS-DEFISIT AIR TANAH DAN POLA TANAM

STUDY OF AVAILABILITY SOIL WATER FOR DETERMINATION OF SURPLUS-DEFICIT SOIL WATER AND PLANTING PATTERN

Bistok Hasiholan Simanjuntak1), Yohanes Hendro Agus2), Sri Yulianto JP3) 1), 2) Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana

3)Fakultas Teknologi Informasi

Kontak Person: email:bhasiholans@yahoo.com

ABSTRACT

Water sources for agricultural production in rainfed land based on the rainfall. Therefore, information on potential available soil water storage is needed on water management in rainfed land. Fluctuations in the available soil water from month to month can be determined by using a water balance approach between the magnitude of the rainfall, the soil’s ability to store water and the potential evapotranspiration. Through the water balance analysis can determined amount (mm) and time of water surplus and deficit in the soil, so that it can determine the planting time and irrigation provision. Therefore, the research objective to determine the available soil water (surplus and deficit soil water) in the rainfed land using the water balance concept. Research methods for water balance analysis using Java NRCS Newhall Simulation Model (jNSM). The results of the soil water balance analysis mapped the geographic information system (GIS) in order to know which districts have experienced a period of water deficit and surplus. The study was conducted in March-June 2016 for 11 districts in Boyolali. The results showed the amount of annual rainfall in the district of Boyolali greater than potential evapotranspiration, so that in total annual a water surplus in soil by 1128.38 mm / year. Shows the average monthly rainfall in Jul-August-September is lower than potential evapotranspiration, so the month of June-July-Aug-September there was a water deficit region Boyolali. Based on the condition of deficit and surplus water in soil per month then the design of cropping patterns in Boyolali are: 1). Rice planting season 1st (first) could begin in October/November to January/February. 2). Rice planting season 2th (second) or pulses can be started in January/February to May/June. 3). The land will experience water deficit in June/ July/August/September, so in this period of potential for fallow land

(2)

PENDAHULUAN

Pada saat musim kemarau sebagian wilayah di Indonesia mengalami kekeringan karena kesulitan mendapatkan air. Berdasarkan laporan Bappenas (2010) Pulau Jawa tergolong pulau yang kritis air, dimana setiap penduduk di Jawa hanya terpenuhi kebutuhan airnya sebesar 1.750 m3/thn per kapita. Fenomena El Nino pada tahun 2015 memberikan dampak kekeringan secara ekstrim pada sejumlah lahan, terutama pada lahan yang mengandalkan sumber air dari curah hujan (lahan tadah hujan). Lahan tadah hujan hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan dalam proses produksi pertanian. Pada lahan tadah hujan akan tampak sekali secara mencolok antara surplus air tanah saat musim hujan dan defisit air tanah saat kemarau. Oleh karena itu pada saat musim kemarau banyak lahan tadah hujan yang mengalami bera (kosong tidak ada aktifitas produksi tanaman). Lahan tadah hujan merupa-kan lahan potensial untuk pengembangan komoditas pertanian, namun air menjadi factor pembatas utama untuk produksi pertanian. Oleh karena itu sebagian dari lahan tadah hujan belum dimanfaatkan secara optimal dan pada umumnya hanya ditanami sekali dalam setahun yaitu dengan tanaman padi atau palawija saat penghujan dan musim berikutnya dibiarkan menjadi lahan tidur.

Variasi hujan baik dalam jumlah, intensitas, dan saat/waktu hujan, menjadi penyebab sulitnya prediksi waktu yang tepat untuk melakukan penanaman atau mengatur pola tanam. Hal ini dikarenakan variasi hujan menyebabkan ketersediaan air yang fluktuatif. Penguasaan sifat hujan sepanjang musim pada lahan tadah hujan dapat digunakan untuk perkiraan jumlah air tanah tersedia pada suatu

periode tertentu (Ayu dkk., 2013). Ketersedia-an air tKetersedia-anah akKetersedia-an menentukKetersedia-an pertumbuhKetersedia-an dKetersedia-an hasil tanaman secara langsung, karena ke-kurangan air menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, serta berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik pada fase vegetatif maupun fase generative (Aqil dkk., 2008).

Air hujan adalah sumber utama air tanah pada lahan tadah hujan. Informasi potensi simpanan air tanah diperlukan pada manajemen air di lahan tadah hujan. Fluktuasi ketersediaan air tanah dari bulan ke bulan dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan neraca air antara besarnya masukan air hujan, kemampuan tanah menyimpan air dan keluaran dari evapotranspirasi potensial. Menurut Hillel (1972) neraca air merupakan perincian tentang semua masukan, keluaran, dan perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lahan. Besaran tiap komponen siklus dapat diukur dan digabungkan satu dengan yang lain sehingga menghasilkan neraca atau keseimbangan air (Suprayogo, 2000). Neraca air bermanfaat untuk melengkapi gambaran umum dari keadaan air pada suatu daerah (presipitasi, evapotranspirasi, kandungan dan perubahan kelembaban tanah); menilai kemampuan suatu daerah untuk ditanami melalui pendugaan kebutuhan air bagi tanaman, menguji hubungan iklim atau cuaca dengan hasil produksi tanaman (Ayu dkk, 2013). Melalui analisis neraca air maka dapat ditentukan besarannya (mm) dan waktu terjadinya defisit air di dalam tanah. Sehingga dengan mengetahui defisit air tanah dapat ditentukan waktu tanam dan waktu pemberian air irigasi.

(3)

faktor lingkungan. Ketersediaan air tanah akan menentukan status air tanaman dan penting dalam proses absorbsi CO2(Grant et al., 1993). Pemodelan didalam bidang pertanian dapat digunakan untuk studi neraca air untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air (deficit air) pada suatu wilayah. Dalam rangka pengembangan tanaman pangan terutama untuk palawija yang berkelanjutan, maka pengukuran defisit air tanah melalui pendekatan neraca air sangat diperlukan. Jenifa Lathaet al.(2010) mendifinisikan neraca air sebagai perubahan bersih dalam air tanah, dengan mempertimbangkan memperhitungkan semua arus masuk dan arus keluar dari sistem hidrologi. Variasi penggunaan lahan, tekstur tanah, kelerengan, kemampuan tanah

mengikat air (water holding capacity), dan kondisi iklim terutama curah hujan, suhu udara dan suhu tanah menjadi faktor perhitungan dalam pendugaan neraca air. Hasil perhitungan neraca air memberikan informasi berupa kadar air tanah, surplus dan defisit air serta limpasan permukaan dapat dimanfaat-kan untuk perencanaan sistem usaha tani, yaitu dalam memberikan pertim-bangan waktu tanam dan pola tanam. Oleh karena itu tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui ketersediaan air tanah (surplus dan defisit air tanah) pada lahan tadah hujan dengan meng-gunakan konsep neraca air.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Boyolali, dengan luas wilayah lebih kurang 101.510.0965 ha.

Wilayah Boyolali terletak antara 110o22’ BT – 110o50’ BT dan 7o36’ LS – 7o71’LS dengan

ketinggian antara 100 meter sampai dengan 1.500 meter dari permukaan laut. Sebelah timur dan selatan merupakan daerah rendah, sedang sebelah utara dan barat merupakan daerah pegunungan (Bappeda, 2015). Pengukuran neraca air dilakukan di 11 lokasi Stasiun Klimatologi Kecamatan Selo, Cepogo, Mojosongo, Boyolali, Andong, Ngemplak, Wonosegoro, Juwangi, Musuk, Simo dan Kemusu (Gambar 1), dimana di lokasi tersebut dilakukan pengambilan contoh tanah dan pengambilan data iklim 10 tahun yaitu mulai tahun 2006 hingga 2015. Pengukuran tekstur tanah dan kadar air kapasitas lapang dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian dan Bisnis UKSW Salatiga.

(4)

Penelitian dilakukan pada Maret 2016 sampai 30 Juni 2016. Pemodelan di dalam bidang pertanian dapat digunakan untuk studi neraca air untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air (defisit air) pada suatu wilayah. Salah satu pemodelan untuk menentukan neraca air adalah menggunakan NRCS Java Newhall Simulation Model (jNSM) (Douglas and Brian, 2011). Model jNSM adalah model komputer dengan bahasa basic Java yang digunakan untuk memahami neraca air tanah yang didasarkan pada kondisi iklim di tanah dan udara dengan data iklim jangka panjang. Perhitungan dari model jNSM terhadap defisit air dan suhu tanah dapat untuk menentukan kondisi iklim tanah terutama dalam menentukan regime kelembaban tanah dan regime suhu tanah. Dalam model jNSM, data yang diperlukan adalah curah hujan, suhu tanah, suhu udara, nilai Evapotrasnpirasi Potensial (ETP), Tekstur tanah, kandungan air tanah pada tingkat kapasitas lapang (KL). Selanjutnya hasil analisis neraca air tanah dipetakan dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) sehingga dapat diketahui wilayah kecamatan yang mengalami periode defisit air maupun yang mengalami periode surplus air. Prosedur

perhitungan neraca air menurut NRCS Java Newhall Simulation Model (jNSM) meng-gunakan langkah-langkah sebagai berikut 1) Pengukuran tekstur tanah; 2) Pengukuran kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang; 3) Pengumpulan data suhu tanah bulanan selama 10 tahun (2006-2015); 4) Pengumpulan data suhu udara bulanan selama 10 tahun (2006-2015); 5) Analisis perbedaan bulanan suhu udara terhadap suhu tanah; 6) Pengumpulan data curah hujan bulanan selama 10 tahun (2006-2015); 7) Melakukan input data hujan, suhu udara, perbedaan suhu tanah dan udara, kemampuan tanah memegang air, koordinat statsiun klimatologi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Curah Hujan dan Suhu Udara

Masukan utama alami untuk air tanah adalah serapan dari air permukaan, terutama dari air hujan. Oleh karena itu kajian air tanah pada suatu wilayah akan selalu berhubungan dengan besaran curah hujan diwilayah tersebut. Adapun rataan curah hujan bulanan di 11 lokasi area penelitian di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Gambar 2.

(5)

Selama tahun 2006-2015 terlihat bahwa rata-rata di Kabupaten Boyolali setiap bulan terjadi turun hujan walaupun pada bulan Juli, Agustus, September adalah bulan-bulan dengan curah hujan lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya. Rataan total curah hujan tahunan di Kabupaten Boyolali adalah 2.499 mm/ tahun. Adapun peta sebaran curah hujan di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Gambar 3.

Suhu udara akan mempengaruhi ketersediaan air tanah melalui mekanisme besarnya evapotranspirasi. Nilai suhu udara berfluktuatif terhadap nilai evapotranspirasi yaitu terjadi kenaikan dan penurunan suhu disertai kenaikan dan penurunan evapo-transpirasi, hal ini disebabkan oleh-oleh unsur-unsur iklim. Menurut Handoko (1996) bahwa secara potensial evapotrans-pirasi ditentukan hanya oleh unsur-unsur iklim (suhu dan udara), sedangkan secara aktual evapotranspirasi juga ditentukan oleh kondisi tanah dan sifat tanaman. Dari data pengukuran selama 2006-2015 menunjukkan rataan suhu udara bulanan di 11 lokasi area penelitian di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Gambar 4.

Evapotranspirasi

Air merupakan kebutuhan mutlak untuk menopang pertumbuhan tanaman, dimana

Gambar 3 Peta Hujan di Kabupaten Boyolali

Gambar 4 Sebaran Temperatur Udara Bulanan di Area Penelitian (11 lokasi)

(6)

Lokasi Kecamatan

Jan Peb Mar April Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des Total

Boyolali 73.94 79.96 105.89 127.13 145.21 139.41 131.68 124.90 117.18 106.85 84.02 73.60 1,309.77 Andong 90.18 95.05 127.77 152.11 166.60 158.96 149.21 148.16 143.10 128.34 102.60 88.89 1,550.97 Kemusu 90.05 96.24 127.61 151.97 171.03 160.94 151.05 147.92 143.10 128.34 102.60 90.02 1,560.87 Cepogo 57.80 61.62 84.30 97.19 112.40 109.91 104.57 98.75 89.58 82.12 64.23 56.57 1,019.04 Mojosongo 79.75 84.06 114.31 133.95 150.98 148.50 138.20 131.22 121.89 115.60 88.52 77.44 1,384.42 Selo 46.27 49.79 67.78 76.42 88.38 85.92 82.17 73.39 66.97 62.36 51.52 45.59 796.56 Juwangi 95.58 100.75 137.70 155.25 179.55 170.68 159.84 159.15 147.87 132.20 109.21 94.50 1,642.28 Simo 75.06 92.04 121.99 145.06 165.56 158.34 146.93 141.63 135.48 124.20 98.42 84.85 1,489.56 Wonosegoro 86.79 92.75 124.66 148.37 164.77 159.51 151.98 146.61 140.46 124.20 102.60 86.72 1,529.42 Musuk 81.29 87.99 116.59 136.72 152.03 149.40 138.80 131.90 127.67 121.18 96.37 82.14 1,422.08 Rataan 77.67 84.03 112.86 132.42 149.65 144.16 135.44 130.36 123.33 112.54 90.01 78.03 1,370.50

Tabel 1 Evapotranspirasi Potensial (ETP) Bulanan di Area Penelitian merupakan peubah yang sangat berkaitan

dengan produksi tanaman. Pengamatan evapo-transpirasi dapat digunakan sebagai peringatan dini terhadap kekurangan air. Jika kekurangan air dapat diatasi sedini mungkin maka penurun-an produksi dapat dihindari. Peubah-peubah dari sistem atmosfir digunakan untuk menduga evapotranspirasi potensial (Doorenbos dan Pruitt, 1977).

Evapotranspirasi merupakan salah satu komponen neraca air. Neraca air merupakan model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu. Ketersediaan air tanah dipengaruhi kondisi iklim, topografi, jenis tanah, tutupan lahan serta struktur geologi suatu daerah (Ayu dkk, 2013). Tingkat ketersediaan air tanah diperoleh dengan menganalisa data kandungan air tanah (lengas tanah) terhadap nilai suhu, dan Evapotranspirasi Potensial. Evapotranspirasi potensial terjadi pada kondisi air tersedia maksimum atau kapasitas lapang (Handoko, 1996). Tabel 1 adalah besarnya evapotranspirasi

potensial dari wilayah pengamatan di Kabu-paten Boyolali.

(7)

Gambar 5Peta Evapotranspirasi Potensial (ETP) Tahunan di Kabupaten Boyolali

Ketersediaan Air Tanah dan Defisit Air Tanah

Secara kuantitatif, neraca air menggam-barkan prinsip bahwa selama periode waktu tertentu masukan air total sama dengan keluaran air total ditambah dengan perubahan air cadangan (change in storage) (Djufry Fadjry. 2012). Nilai perubahan air cadangan ini dapat bertanda positif atau negatif. Jika nilai perubahan cadangan air tanah adalah negatif maka dapat dikatakan bahwa kondisi air tanah mengalami defisit air. Bila cadangan air tanah adalah positif maka dapat dikatakan tersimpan sejumlah air ditanah.

Curah hujan dan evapotranspirasi akan memberikan informasi perkiraan jumlah air yang dapat diperoleh untuk menentukan periode surplus (S) atau defisit (D) air tanah di lahan, yang dapat dianalisis melalui perhitungan neraca air. Defisit air dihitung berdasarkan

(8)

Keterangan:

= Kondisi waktu deficit air; S = Suplus A; D = DefisitAir

Lokasi

Kecamatan Jan Peb Mar April Mei Jun Juli Agst Sep Okt Nop Des Total Boyolali 276.06 253.04 251.11 141.87 36.79 (39.41) (74.68) (78.90) (63.18) 25.15 170.98 239.40 1,138.23 Andong 354.42 294.55 191.03 185.69 45.00 (42.36) (97.41) (127.16) (88.10) (5.74) 226.60 153.51 1,090.03 Kemusu 250.05 266.86 171.99 54.53 (77.64) (96.32) (111.55) (122.84) (118.69) 43.46 140.70 156.38 556.93 Cepogo 460.20 379.38 412.70 198.81 135.60 50.09 (7.57) (30.75) 15.42 88.88 307.77 395.43 2,405.96 Mojosongo 252.25 230.94 219.69 125.05 23.02 (52.50) (84.20) (87.22) (70.89) 12.40 145.48 210.56 924.58 Selo 392.73 352.21 347.22 225.58 111.62 11.08 0.83 (20.39) (3.97) 94.64 272.48 357.41 2,141.44 Juwangi 242.42 177.25 130.30 45.75 (31.55) (95.68) (97.84) (104.15) (60.87) 29.80 107.79 182.50 525.72 Simo 257.94 207.96 214.01 114.94 26.44 (61.34) (76.93) (89.63) (63.48) 35.80 117.58 186.15 869.44 Wonosegoro 255.21 205.25 198.34 106.63 27.23 (72.51) (74.98) (91.61) (63.46) 44.80 118.40 197.28 850.58 Musuk 241.71 234.01 221.41 90.28 6.97 (82.40) (89.80) (99.90) (84.67) 0.82 135.63 206.86 780.92 Rataan 298.30 260.15 235.78 128.91 30.35 (48.14) (71.41) (85.26) (60.19) 37.00 174.34 228.55 1,128.38

Kondisi Surplus atau Defisit

Air Tanah

S S S S S D D D D S S S

Tabel 2 Kandungan Air Tanah Bulanan (mm/bulan) dan Waktu Defisit Air di Wilayah Penelitian

Gambar 6 Kandungan Total Potensial Air Tanah Tersedia Tahunan

(9)

Menurut Jackson (1977), neraca air merupakan perimbangan yang terjadi antara curah hujan (P) dan laju evapotranspirasi potensial (ETP). Apabila curah hujan melebihi evapotranspirasi potensial (P > ETP), maka terjadi peningkatan air tanah sehingga air cukup tersedia bahkan lahan mengalami kelebihan air atau surplus (S), dan sebaliknya jika curah hujan lebih kecil dari evapotraspirasi potensial (P < ETP), akan berkurang kandungan air dalam tanah bahkan dapat mencapai keadaan defisit (D).

Hasil perhitungan neraca air bulanan pada lokasi penelitian yang mewakili gambaran ketersediaan air di kabupaten Boyolali, terlihat bahwa:

1. Secara total tahunan menunjukkan curah hujan selama setahun sebesar 2.499 mm/ tahun (Gambar 2), dipergunakan untuk keperluan evapotranspirasi potensial sebesar 1.270,50 mm/tahun (Tabel 1) mm, sehingga terjadi surplus air (tersimpan dalam potensial air tanah) sebesar 1.128,38 mm/ tahun.

2. Secara bulanan menunjukkan rata-rata curah hujan pada bulan Juni-Juli-Agustus-September lebih rendah dibandingkan dengan besarnya evapotranspirasi potensial. Kondisi demikian menunjukkan secara bulanan rata-rata pada bulan Juni-Juli-Agustus-September terjadi defisit air diwilayah Kabupaten Boyolali (Tabel 2). Adapun lebih jelasnya wilayah-wilayah yang mengalami defisit air setiap bulannya selama setahun dapat dilihat pada Gambar 7.

Pola Tanam

Periode surplus (S) dan defisit (D) air dapat digunakan untuk menentukan pola tanam maupun jadwal pemberian air irigasi. Periode surplus atau defisit air dapat untuk mengatur pola tanam dan air irigasi. Tabel 3 adalah rancangan pola tanam untuk padi dan palawija berdasarkan kondisi surplus dan defisit air tanah untuk wilayah Kabupaten Boyolali.

(10)

Keterangan Jan Peb Mar April Mei Jun Juli Agst Sep Okt Nop Des Kandungan

Air Tanah (mm/bln)

298.30 260.15 235.78 128.91 30.35 (48.14) (71.41) (85.26) (60.19) 37.00 174.34 228.55

Kondisi Air

Tanah S S S S S D D D D S S S

Pilihan Tanaman

Padi 1

Padi 2/ Padi 2/ Padi 2/ Padi 2/

bero bero bero bero Padi 1

Padi 1

Padi 1 Palawija Palawija Palawija Palawija

Pola Tanam Penanaman

Padi MT 1 Penanaman Padi MT 2/Palawija Bero Penanaman Padi MT 1

Total Ketersediaan Air Tanah

Total Ketersediaan Air Tanah Selama Masa Tumbuh = 655.19 mm

Total Ketersediaan Air Tanah Selama Masa Tumbuh = 738.19 mm

Tabel 3 Pengaturan Pola Tanam

Keterangan:

1. S=surplus air; D= defisit air

2. Asumsi untuk kebutuhan air tanaman padi selama masa siklus hidup (3-4 bulan) adalah 600 mm, dan kebutuhan air tanaman palawija selama siklus hidup (3-4 bulan) adalah 450 mm

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil kajian maka dapat disimpulkan:

1. Secara total tahunan besarnya curah hujan di wilayah Kabupaten Boyolali lebih besar dari evepotranspirasinya, sehingga secara total tahunan terjadi surplus air tanah sebesar 1.128,38 mm/tahun.

2. Secara bulanan menunjukkan rataan curah hujan pada bulan Juni-Juli-Agustus-September lebih rendah dibandingkan dengan besarnya evapotranspirasi potensial-nya. Kondisi demikian menunjukkan pada bulan Juni-Juli-Agustus-September terjadi deficit air diwilayah Kabupaten Boyolali. 3. Berdasarkan dari kondisi deficit dan surplus

air tanah per bulan menunjukkan rancangan pola tanam dan kalender tanam di Kabupaten Boyolali bahwa:

1) Musim tanam padi 1 dapat dimulai pada Oktober/Nopember hingga Januari/ Pebruari

2) Musim tanam padi 2 atau palawija dapat dimulai pada Januari/Pebruari hingga Mei/Juni

3) Lahan akan mengalami deficit air pada bulan Juni/Juli/Agustus/September sehingga pada periode potensi terjadi lahan bero

Ucapan Terimakasih

Makalah ini adalah bagian dari penelitian besar PUSNAS 2016-2017, oleh karena itu diucap-kan banyak terimakasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kemenristek atas dana hibah penelitian PUSNAS 2016-2017.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Ieke Wulan, Sugeng Prijono, Soemarno. 2013. Evaluasi Ketersediaan Air Tanah Lahan Kering di Kecamatan Unter Iwes, Sumbawa Besar. J-PAL, Vol. 4, No. 1, 2013 ISSN: 2087-3522, E-ISSN: 2338-1671

Aqil. M, Firmansyah.I.U dan Akil, M. (2008). Pengelolaan Air Tanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros

(11)

BAPPENAS. 2010. Letter of Sector Policy Water Resources and Irrigation Sector: Policy, Institutions, Legal and Regulatory Reform Program. Jakarta: Pokja Reformasi Kebijakan Sektor Sumberdaya Air, Bappenas.

Brook B. Fonnesbeck. 2015. Digital Soil Mapping Using Landscape Stratification for Arid Rangelands in the Eastern Great Basin, Central Utah. Thesis. All Graduate Theses and Dissertations. Paper 4525. Utah State University. http:// digitalcommons.usu.edu/etd

Doorenbos, J., W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements. FAO of United Nation. Rome

Douglas A. Miller and Brian Bills. 2011. Java Newhall Simulation Model (jNSM). CESU 68-7482-9-527 Enhanced Newhall Simulation Model Project. Center for Environment Information. Pennstate University USA.

Djufry Fadjry. 2012. Pemodelan Neraca Air Tanah Untuk Pendugaan Surplus Dan Defisit Air Untuk Pertumbuhan Tanaman Pangan Di Kabupaten Merauke, Papua. Informatika Pertanian, Vol. 21 No.1, Agustus 2012: 1 - 9.

Eko Sulistyono, Suwarto, Yulianti Ramdiani. 2005. Defisit Evapotranspirasi sebagai Indikator Kekurangan Air pada Padi Gogo (Oryza sativa L.). Buletin Agronomi (33) (1), p.6 – 11.

Grant, R.F., P. Rochette, R.L. Desjardins. 1993. Energy Exchange and Water Use Efficiency of Field Crops: Validation of a Simulation Model. Agron. J., 85:916 – 928.

Handoko, 1996. Analisis Sistem dan Model Simulasi Komputer untuk Perencanaan Pertanian di Indonesia. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA. IPB. Bogor.

Hilell. 1972. The Field Water Balanced And Water Use Efesiensi. In: D Hillel (Ed) Optimizing The Soil Physical Enviroment Toward Greater Crop Yields. Academic Press. New York.

Jackson, IJ. 1977. Climate, Water an Agriculture in The Tropics. Longman, London and New York.

Jenifa Latha, C., Saravanan,S. Palanichamy,K. 2010. A Semi – Distributed Water Balance Model For Amaravathi River Basin Using Remote Sensing And GIS. International Journal Of Geomatics And Geosciences Volume 1, No 2. ISSN 0976 – 4380.

(12)

Gambar

Gambar 1  Lokasi Penelitian
Gambar 2. Sebaran Curah Hujan Bulanan di Area Penelitian (11 lokasi)
Gambar 4  Sebaran Temperatur Udara Bulanan di Area Penelitian (11 lokasi)
Gambar 5 Peta  Evapotranspirasi Potensial (ETP)
+4

Referensi

Dokumen terkait