• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PROGRAM LATIHAN SPEED, AGILITY AND QUICKNESS (SAQ TRAINING) DALAM MENINGKATKAN KEBERBAKATAN SISWA KELAS VII SMPN 1 SERANGPANJANG KAB. SUBANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN PROGRAM LATIHAN SPEED, AGILITY AND QUICKNESS (SAQ TRAINING) DALAM MENINGKATKAN KEBERBAKATAN SISWA KELAS VII SMPN 1 SERANGPANJANG KAB. SUBANG."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

SISWA KELAS VII SMPN 1 SERANGPANJANG KAB. SUBANG

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Olahraga Program Studi Pendidikan Olahraga

Oleh:

DUDI JAKARIYADI NIM : 1302464

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAHRAGA

SEKOLAH PASCA SARJANA

(2)

SISWA KELAS VII SMPN 1 SERANGPANJANG KAB. SUBANG

Oleh Dudi Jakariyadi

S.Pd FPOK Universitas Pendidikan Indonesia, 2006

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) pada Sekolah Pascasarjana

Program Studi Pendidikan Olahraga

© Dudi Jakariyadi 2015

Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,

(3)
(4)

iii ABSTRAK

PENERAPAN PROGRAM LATIHAN SPEED, AGILITY AND QUICKNESS

(SAQ TRAINING) DALAM MENINGKATKAN KEBERBAKATAN

SISWA KELAS VII SMPN 1 SERANGPANJANG KAB. SUBANG

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya peningkatan kecepatan gerak (speed, agility dan quickness) siswa setelah diberikan treatment SAQ

Training antara siswa yang memiliki tingkat keberbakatan tinggi dan rendah. Penelitian

ini menggunakan metode preexsperimental design dengan desain one group

pretest-posttest design. Teknik penyampelan yang digunakan adalah menggunakan purposif

sampling dengan sampel jenuh yang berjumlah 40 siswa. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok sama banyak (20 siswa/kelompok) melalui metode identifikasi bakat secara fisik dan kemampuan motor educability. Pretest dan posttest dalam penelitian ini menggunakan SAQ test, sedangkan treatment yang dipergunakan adalah SAQ Training yang dilaksanakan selama 12 minggu dengan jumlah pertemuan 3 kali/minggu. Data yang diperoleh dari hasil pretest dan posttest diolah dengan menggunakan software MS. Excel 2007 dan IBM SPSS versi 20. Dari hasil pengolahan data terungkap bahwa: 1). Terdapat peningkatan speed, agility, and quickness pada kelompok keberbakatan tinggi dengan t-hitung 17, 121 > 0,05. 2). Terdapat peningkatan kecepatan gerak (speed, agility, and

quickness) pada kelompok keberbakatan rendah dengan t-hitung 16,505 > 0,05. 3).

Terdapat perbedaan peningkatan antara siswa dengan keberbakatan tinggi dan rendah didapat t-hitung 5,757 < 0,005 sehingga dapat disimpulkan peningkatan pada siswa dengan tingkat keberbakatan tinggi lebih baik dibandingkan dengan siswa dengan keberbakatan rendah.

Kata kunci: Identifikasi bakat, Motor Educability, Kecepatan Gerak, SAQ Training,

(5)

iv ABSTRACT

EXERCISE PROGRAM APPLICATION SPEED, AGILITY AND QUICKNESS (SAQ TRAINING) IN INCREASING TALENT

CLASS VII SMPN 1 SERANGPANJANG KAB. SUBANG

The purpose of this study was to determine the magnitude of the increase in the velocity (speed, agility and quickness) students after being given treatment SAQ Training between students who have high and low levels of giftedness. This study uses preexsperimental design with the design of one group pretest-posttest design. Find were the techniques used is using purposive sampling with saturated samples totaling 40 students. The samples were divided into 2 groups of as many (20 students / group) through talent identification methods of physical and motor skills educability. Pretest and posttest in this study using the SAQ test, whereas treatment used SAQ Training is carried out for 12 weeks with the number of meetings 3 times / week. Data obtained from the pretest and posttest processed using MS software. Excel 2007 and IBM SPSS version 20. From the data processing revealed that: 1) There is an increased speed, agility, and quickness at high giftedness group with t-test 17, 121> 0.05. 2) There is an increased speed, agility, and quickness in the low giftedness group by t-test 16.505> 0.05. 3) There is a difference between the increase in students with high and low giftedness obtained t-test 5.757 <0.005 so that we can conclude the increase in students with a high level of giftedness better than students with low giftedness.

(6)

vii

A. Latar Belakang Masalah ...

B. Perumusan Masalah ...

C. Tujuan Penelitian ...

D. Manfaat Penelitian ...

E. Struktur Organisasi Tesis ...

BAB II LANDASAN TEORETIS, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

HIPOTESIS

A. Landasan Teoretis ...

1. Identifikasi Keberbakatan ...

2. Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan ...

3. Program Latihan Kondisi Fisik ...

4. Kecepatan Gerak ...

5. SAQ Training ...

6. Ekstrakurikuler Sepak Bola ...

7. Penelitian yang Relevan ...

(7)

viii

B. Kerangka Pemikiran ...

C. Hipotesis Penelitian ...

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian ...

B. Partisipan ...

C. Populasi dan Sampel ...

D. Instrumen Penelitian ...

E. Prosedur Penelitian ...

F. Analisis Data ...

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Temuan ...

B. Pembahasan ...

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ...

B. Rekomendasi ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...

RIWAYAT HIDUP ... 58

61

62

64

64

67

87

90

95

106

112

112

114

119

(8)

ix

DAFTAR TABEL

2.1 Tabel Sports Specific Performance Test ...

2.2 Tabel Menentukan IMT ...

2.3 Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan LTAD Canadian Sport of Life ..

2.4 Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan LTAD Canadian Sport of Life ..

2.5 Hasil uji Validitas dan Reliabilits Instrumen Identifikasi Keberbakatan ...

2.6 Hasil uji Validitas dan Reliabilits Instrumen Motor Educability ...

3.1 Tabel Penentuan Jumlah Sampel ...

3.2 Table of Predicted VO2 Max for The Multistage Fitness ...

3.3 Tabel Tes Motor Educability ...

3.3 Format Penilaian SAQ Training ...

4.1 Deskripsi Data Sampe dengan Tingkat Keberbakatan Tinggi ...

4.2 Uji Normalitas Data Pretest dan Posttest Sampel Tingkat Keberbakatan

Tinggi ...

4.3 Hasil Uji Beda (Uji-T) Pretest Posttest Sampel Keberbakatan Tinggi ...

4.4 Deskripsi Data Sampe dengan Tingkat Keberbakatan Rendah ...

4.5 Uji Normalitas Data Pretest dan Posttest Sampel Tingkat Keberbakatan

Rendah ...

4.6 Hasil Uji Beda (Uji-T) Pretest Posttest Sampel Keberbakatan Rendah ...

4.7 Deskripsi Data Nilai Selisih (Gain Skor) ...

4.8 Hasil Uji Normalitas Gain Skor ...

4.9 Uji Homogenitas ...

4.10 Hasil Uji Beda (Uji T) Keberbakatan Tinggi dan Rendah ...

(9)
(10)

xi

2.9 Strength Elastic Standing Long Jump ...

2.10 Strength General Burpee Test ...

2.11 Vertical Jump ...

2.12 Basketball Throw ...

2.13 “T” Drill Test ...

2.14 Hand Eye Coordination ...

2.15 Multi Stage Fitness Test (MSFT) ...

2.16 Elemen-elemen Kemampuan Fisik ...

3.1 One Group Pretest-posttest Design ...

(11)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Program Latihan Harian ...

2. Gambar SAQ Training ...

3. Absensi Kehadiran Penelitian ...

4. Agenda Pelaksanaan Penelitian ...

5. Pengelompokkan Tingkat Keberbakatan Berdasarkan Hasil Identifikasi

Bakat Secara Fisik dan Motor Educability ...

6. Tabel Hasil Pretest dan Posttest (SAQ) ...

7. Deskripsi Data ...

8. Tes Motor Educability ...

9. Identifikasi Bakat Fisik ...

10. Konversi Yard ke Meter ...

11. Surat Pengangkatan Pembimbing Tesis ...

12. Surat Izin Melakukan Studi Lapangan/Observasi ...

13. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ...

Lampiran Halaman

120

126

131

132

134

140

144

151

154

156

157

159

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Minimnya regenerasi atlet dan pehamanan para pelaku olahraga dalam

menghasilkan atlet potensial, berakibat pada penurunan prestasi olahraga baik

pada tingkat daerah, nasional, bahkan internasional. Banyak faktor yang seringkali

dianggap sepele padahal manfaatnya sangat besar, salah satunya adalah

pembinaan melalui identifikasi keberbakatan terhadap atlet usia dini dan

penyusunan serta penerapan program latihan yang tepat agar atlet dapat

berprestasi maksimal dimasa yang akan datang.

Identifikasi keberbakatan kini telah banyak dikembangkan dan sangat

dirasakan manfaatnya dalam menghasilkan atlet-atlet yang dapat berprestasi di

tingkat internasional. Burns, (1996), Prescott (1996) dalam Lawrence (2010, hlm.

24) memaparkan bahwa “Talent Identification is perceived by many governments as a means to harness a nation’s sporting talent, to bring about future success in the international arena.” Beberapa negara dengan populasi rendah di Eropa telah menerapkan program identifikasi bakat dalam menjaring bibit-bibit atlet potensial

dalam olahraga. Hal ini memang sangat beralasan berkaitan dengan rendahnya

populasi (SDM) yang dimiliki jika dibandingkan dengan negara yang berpopulasi

tinggi. Alasan tersebut dipaparkan Lawrence (2010, hlm. 24) sebagai berikut: “If

Olympians or elite athletes were “one in a million,” large nations would have

others to replace the lost talent. Conversely, smaller nations would not have the base population sufficient to compensate”.

Meskipun metode identifikasi bakat yang digunakan berbeda-beda, akan

tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu menjaring bibit-bibit atlet potensial secara

efektif dan efisien sedini mungkin. Langkah selanjutnya adalah memaksimalkan

bibit atlet tersebut melalui pembinaan kecabangan olahraga dengan menggunakan

program latihan khusus untuk mencapai prestasi maksimal dimasa yang akan

datang. Vaeyens, dkk (2009), dalam Anshel & Lidor (2012, hlm. 240) ... talent

(13)

young athletes who possess extraordinary potential for success in senior elite

sport, and to select and recruit them into talent promotion programs".

Dari uraian di atas, sangatlah disayangkan jika Indonesia yang memiliki

populasi tinggi akan tetapi tidak dapat mengoptimalkan kelebihan tersebut untuk

menghasilkan atlet yang dapat berprestasi di tingkat Internasional. Anjuran

Pemerintah mengenai pembinaan olahraga sudah sangat jelas tercantum dalam

TAP MPR RI No. II/MPR/1993 (t.t, hlm 754-755) poin 11 tentang pembinaan

prestasi olahraga demi menjunjung tinggi nama dan kehormatan bangsa dan

negara, kemudian dalam UU No. 3 Tahun 2005 tentang SKN BAB VII pasal 21

ayat 4, Pasal 25 ayat 4 dan 6. Apa yang sebenarnya terjadi dalam pola pembinaan

atlet-atlet kita?

Menanggapi fenomena tersebut, Penulis berpendapat bahwa pembinaan

melalui identifikasi keberbakatan yang di mulai sedini mungkin harus diterapkan

di negara Indonesia. Dari beberapa program identifikasi bakat telah

dikembangkan di beberapa negara seperti Long-term Athlete Development

(LTAD) di Belanda dan Canada, Talent Identification Development (TID) di

Inggris, Talent Development (TD) di New Zealand, Scoutland’s Talented Athlete

Development (TAD) di Skotlandia, dan NTID (National Talent Identification and

Development) serta Sport Search yang dikembangkan oleh Australia, Penulis

bermaksud untuk mencoba menerapkan sebuah metode identifikasi bakat dalam

penelitian yang akan Penulis lakukan.

Beberapa aspek penting yang dapat menunjang pencapaian prestasi

maksimal dimasa yang akan datang meliputi aspek fisiologi, psikologi, dan

kekhususan cabang olahraga. Banyaknya kriteria yang harus diidentifikasi dalam

pengenalan bakat dan keterbatasan Penulis, membuat Penulis mengalami kesulitan

untuk meneliti keseluruhan aspek tersebut. Oleh karena itu, penelitian yang akan

Penulis lakukan hanya sebatas pada identifikasi bakat secara fisiologis atau

Fitness components, dan tingkat motor educability sesuai dengan karakteristik

kecabangan olahraga sepak bola.

Identifikasi bakat secara fisiologis dilakukan untuk mengetahui karakteristik

(14)

untuk memprediksi keberhasilan individu tersebut di masa yang akan datang.

Mengenai kemampuan, Schmidt & Wrisberg (2000, hlm. 28-19) memaparkan:

...abilities, defined as inherited, relatively enduring, stable traits of the individual that underlie or support various kinds of activities or skills. Abilities, for the most part, are thought to be genetically determined and essentially unmodified by practice or experience”. “They assume that all individuals possess all of the abilities but that people differ with respect to the strength of various abilities”.

Dari paparan tersebut, Penulis simpulkan bahwa, kemampuan didefinisikan

sebagai warisan yang relatif tahan lama, stabil serta mendasari/mendukung

berbagai jenis kegiatan/keterampilan. Kemampuan pada dasarnya ditentukan

secara genetis dan dimodifikasi oleh praktik atau pengalaman. Setiap individu

memiliki semua kemampuan, tetapi setiap individu akan berbeda sehubungan

dengan kekuatan dari berbagai kemampuannya.

Schmidt & Wrisberg (2000, hlm. 28-19) juga memaparkan sebuah implikasi

antara kemampuan dan kinerja, bahwa:

An important practical implication of this relationship between abilities and performance is that, if a person possesses high levels of the abilities important to the performance of a particular task, that individual should be able to perform the task at a higher level than another person who possesses lower levels of the important abilities.

Dapat diartikan bahwa, jika seseorang memiliki kemampuan tingkat tinggi

yang penting bagi kinerja tugas tertentu, maka individu itu harus mampu

melaksanakan tugas tersebut pada tingkat yang lebih tinggi dari pada orang lain

yang memiliki tingkat yang lebih rendah dari kemampuan penting itu.

Dari pemaparan di atas, maka dapat Penulis simpulkan bahwa kemampuan

fisik adalah kemampuan yang merupakan warisan (genetis) yang bersifat stabil

dan tahan lama serta dapat menjadi pendukung dan dasar dari berbagai

keterampilan setelah melalui sebuah proses latihan. Memiliki tingkat kemampuan

fisik yang tinggi, maka akan dapat menyelesaikan tugas dengan kualitas yang

tinggi pula dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat kemampuan

rendah.

Akan tetapi, bakat fisik saja belumlah cukup, Lawrence (2010, hlm. 24-28)

(15)

international arena. Research as early as Morgan and Johnson (1978), suggests that a combination of approaches should be used to differentiate athletes.”

Selain bakat fisik, aspek lain yang dapat mennunjang pencapaian prestasi

maksimal dimasa yang akan datang adalah motor educability. Motor educability

adalah kemampuan seseorang dalam mempelajari suatu tugas gerak baru dengan

sangat mudah, sehingga dalam segi waktu latihan akan lebih efektif dan efisien.

Mengenai motor educablity, Mc Cloy & Young (1984) dalam Syamsuddin (2014,

hlm. 110) memaparkan:

Motor Educability is the ability to learn motor skills easily and quickly.

(Baumngartner & Jackson, 1995) The quality of motor educability is the

ability to learn motor skills easily and well. (Rusli Lutan, 1988) In other word, motor educability is the general ability to learn a task immediately and precisely.

Jika seseorang siswa memperlihatkan penampilan yang cepat dalam

menguasai suatu keterampilan baru dengan kuantitas dan kualitas yang baik maka

siswa tersebut dapat dikategorikan memiliki motor educability yang tinggi.

Dengan memiliki tingkat motor educability yang tinggi, sekompleks apapun

latihan (teknik) yang ditugaskan akan dapat dengan mudah dikuasai oleh siswa

tersebut. Berbeda dengan siswa yang memiliki tingkat motor educability rendah,

akan mengalami kesulitan dalam mempelajari tugas geraknya.

Dari pemaparan tersebut jelaslah bahwa selain pengetasan kemampuan fisik,

pengetesan motor educability pun perlu dilakukan karena kedua hal tersebut akan

saling mendukung dalam upaya pencapaian prestasi di masa yang akan datang.

Selain identifikasi keberbakatan, penyusunan sebuah program latihan yang

tepat sangat penting dalam usaha pencapaian prestasi dimasa yang akan datang.

Harsono (1988, hal. 101) memaparkan bahwa, “Training adalah proses yang

sistematis dari berlatih atau bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang,

dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan atau pekerjaannya”. Dari paparan tersebut, dapat Penulis simpulkan bahwa program latihan kondisi fisik

adalah suatu program latihan yang disusun secara sistematis, berencana, dan

progresif, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan fungsional dari seluruh

sistem tubuh agar prestasi atlet akan semakin meningkat.

Mengenai tujuan dari latihan, Harsono (1988, hlm. 100) memaparkan pada

(16)

Tujuan serta sasaran utama dari latihan atau training adalah untuk membantu atlet meningkatkan keterampilan dan prestasinya semaksimal mungkin. Untuk mencapai hal itu, ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secara seksama oleh atlet, yaitu (a) latihan fisik, (b) latihan teknik, (c) latihan taktik, dan (d) latihan mental.

Meskipun keempat aspek tersebut tidak dapat dipisahkan, program latihan

kondisi fisik menjadi hal utama yang harus menjadi sorotan. Ini karena kondisi

fisik merupakan pondasi untuk dapat mendukung terlaksananya ke tiga aspek

latihan lain dalam mencapai prestasi maksimal.

Harsono (2001, hlm. 4) memaparkansebagai berikut:

Latihan kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting dalam program latihan atlet, terutama atlet pertandingan.

Kalau kondisi fisik baik maka akan ada:

1. Peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung. 2. Peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan, dan

lain-lain komponen kondisi fisik.

3. Ekonomi gerak yang lebih baik pada waktu latihan.

4. Pemulihan yang lebih cepat dalam organ-organ tubuh setelah latihan. 5. Respon yang cepat dari organisme tubuh kita apabila sewaktu-waktu

respon demikian diperlukan.

Selain itu kalau kondisi fisik atlet baik, maka dia akan lebih cepat pula menguasai teknik-teknik gerakan yang dilatihkan.

Sesuai dengan paparan di atas, maka untuk mendapatkan atlet yang

potensial haruslah melalui sebuah program identifikasi bakat yang dilakukan

sedini mungkin dan penyusunan serta penerapan program latihan yang tepat

terhadap para calon atlet tersebut.

Sebagai langkah awal pengimplementasian dari program tersebut, maka

Penulis tertarik untuk melakukan identifikasi keberbakatan dan penerapan

program latihan fisik pada tingkat Sekolah Menengah Pertama. Hal ini dilakukan

karena siswa terkadang dipandang sebelah mata oleh para pelatih/guru dalam

pemilihan atlet dibandingkan dengan siswa/anak yang mengikuli pelatihan khusus

melalui klub-klub cabang olahraga. Keterbatasan dan ketidak mampuan siswa

secara ekonomi untuk bergabung di klub-klub pelatihan cabang olahraga bukan

berarti siswa tersebut tidak memiliki bakat dan tidak dapat berprestasi dimasa

yang akan datang. Aristanto (1990) dalam Setiawan (2010, hlm. 1) bahwa

(17)

Berbicara tentang prestasi olahraga di tingkat sekolah memang menjadi

sebuah dilema, karena konsep dari Penjasor itu sendiri adalah pendidikan olahraga

bukan olahraga prestasi. Akan tetapi banyaknya event yang cukup bergengsi

seperti diantaranya POPDA dan LPI, secara tidak langsung menuntut setiap

sekolah untuk berprestasi maksimal. Menanggapi hal tersebut, maka pembinaan

prestasi olahraga ditingkat sekolah/pendidikan perlu dilaksanakan. Pembinaan

cabang olahraga untuk prestasi pada tingkat pendidikan jelas ditegaskan

KEMENPORA (2011), melalui beberapa pasal dalam UU No. 3 Tahun 2005

tentang SKN BAB VII tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga.

Pasal 21 ayat 4

(4) Pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilaksanakan melalui jalur keluarga, jalur pendidikan, dan jalur masyarakat yang berbasis pada pengembangan olahraga untuk semua orang yang berlangsung sepanjang hayat. (hlm. 13).

Pasal 25 ayat 4 dan 6

(4) pembinaan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan dengan memperhatikan potensi, kemampuan, minat, dan bakat peserta didik secara menyeluruh, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun

ekstrakurikuler.” (hlm. 14).

(6) Untuk menumbuhkembangkan prestasi olahraga dilembaga pendidikan, pada setiap jalur pendidikan dapat dibentuk unit kegiatan olahraga, kelas olahraga, pusat pembinaan dan pelatihan, sekolah olahraga, serta diselenggarakannya kompetisi olahraga yang berjenjang dan

berkelanjutan.” (hlm. 15).

Fenomena yang Penulis perhatikan pada tingkat sekolah, banyak siswa dan

siswi yang menekuni cabang olahraga tidak berdasarkan pengidentifikasian bakat.

Mereka menekuni cabang olahraga karena mengikuti pengaruh lingkungan

(teman-temannya), trend, bahkan dorongan atau paksaan dari orang tua.

Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di satu sekolah saja, akan tetapi di sekolah

lain pun terjadi hal sama. Fenomena lain yang Penulis dan rekan-rekan seprofesi

alami ketika akan menghadapi event-event seperti POPDA, O2SN dan LPI, setiap

sekolah sibuk memilih atletnya secara mendadak tanpa mempertimbangkan

keberbakatan serta melakukan pembinaan terlebih dahulu terhadap para atletnya.

Adanya fenomena tersebut, dapat dibayangkan prestasi maksimal tidak akan

tercapai dan bakat-bakat yang seharusnya dapat memberikan konstribusi prestasi

dalam keolahragaan baik untuk lingkup sekolah, kabupaten, bahkan nasional serta

(18)

Melihat karakteristik siswa SMP kelas VII, secara usia dapat diperkirakan

bahwa mayoritas usia para siswa berkisar antara usia 13-14 tahun atau dapat

dikatakan sebagai tahap awal untuk memasuki persiapan terhadap pemusatan

latihan. Dalam Canadian sport for life (Tanpa nama, 2007, hlm. 15) dipaparkan

The ages that define the Train to Train stage are based on the approximate onset and end of the adolescent growth spurt. This period is generally defined as ages 11 to 15 years for females and 12 to 16 years for males.

Pada priode ini para atlet mengalami pertumbuhan yang sangat cepat (Peak

Height Velocity), ditandai dengan memanjangnya tulang yang berefek pada

perubahan tinggi badan yang cepat. Akan tetapi, pada masa ini para atlet juga

akan mengalami gangguan dalam hal kemampuan dan keterampilan. Dalam

Canadian sport for life (Tanpa nama, 2011, Hal. -), “At this stage, athletes are

ready to consolidate their basic sport-specific skills and tactics. It is also a major fitness development stage”. Berdasarkan pendapat tersebut, maka pada masa ini kemungkinan terjadinya peningkatan kemampuan fisik sangat mungkin terjadi

dibandingkan dengan peningkatan keterampilan atlet.

Merujuk pada pentahapan usia pembinaan keberbakatan dalam LTAD (11 to

15 years for females and 12 to 16 years for males) latihan speed (kecepatan)

adalah salah satu komponen fisik yang sangat cocok untuk dilatihkan. Ada

beberapa bentuk dari kecepatan, yaitu kecepatan gerak siklis (speed), kecepatan

merubah gerakan (agility), dan kecepatan reaksi gerak (quickness). Ketiga hal

tersebut dianggap penting karena sangat identik dengan karakterisrik permainan

sepak bola. Untuk meningkatkan kemampuan tersebut, maka diperlukan sebuah

model latihan yang tepat.

Salah satu model latihan yang digunakan untuk meningkatkan speed,

agility, dan quickness adalah SAQ training. SAQ training adalah sebuah program

latihan yang telah banyak digunakan untuk meningkatkan kecepatan gerak, baik

itu kecepatan yang bersifat siklis (speed), kelincahan (agility), dan kecepatan

reaksi (quickness). Bahkan beberapa penelitian menganjurkan untuk memasukkan

metode SAQ training ini ke dalam program latihan untuk meningkatkan kecepatan

gerak pada cabang olahraga sepak bola.

Penulis berpendapat melalui pengidentifikasian keberbakatan dan penerapan

(19)

dan kecabangan olahraga akan lebih memberikan pengaruh yang positif untuk

pencapaian prestasi maksimal dimasa yang akan datang. Dengan demikian maka

penyimpangan/kesalahan yang tanpa disadari terjadi dalam sebuah proses

pembinaan regenerasi atlet akan dapat dihindari. Jika penyimpangan/kesalahan

dalam pembinaan regenerasi atlet terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin

prestasi atlet akan semakin terpuruk dan regenerasi atlet yang berprestasi akan

semakin minim.

Adapun tujuan khusus yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh treatment yang diberikan (SAQ training) dalam

meningkatkan kecepatan gerak yang meliputi speed, agility, dan quickness

berkaitan dengan perbedaan tingkat keberbakatan siswa. Sedangkan secara umum

(tidak langsung) yang diharapkan (1) Akan dapat menghasilkan calon-calon atlet

sepak bola potensial yang dapat berprestasi maksimal pada tingkat sekolah (dalam

waktu dekat) maupun dimasa yang akan datang. (2) Bagi siswa berprestasi akan

lebih mudah untuk melanjutkan ke sekolah yang difavoritkan/yang diinginkan

melalui jalur prestasi, bahkan sangat dibutuhkan oleh sekolah-sekolah tertentu

yang mengedepankan prestasi keolahragaan. (3) Bagi sekolah yang memiliki

prestasi dalam bidang keolahragaan, biasanya akan menjadi salah satu daya tarik

dan pertimbangan utama bagi para calon siswa/i dan para orang tua untuk

memasukkan anaknya (melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut).

Bertolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas tentang pentingnya

identifikasi keberbakatan dan penerapan program latihan yang tepat dalam sebuah

proses pencapaian prestasi maksimal, maka Penulis bermaksud untuk melakukan

penelitian mengenai penerapan program latihan SAQ Training dalam

meningkatkan kecepatan gerak berkaitan dengan tingkat keberbakatan siswa yang

mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sepak bola di lingkungan SMPN 1

Serangpanjang Kab. Subang. Melalui sasaran dekat sebuah program latihan

dalam penelitian ini, diharapkan akan dapat diketahui seberapa besar peningkatan

(20)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari penerapan program SAQ

training terhadap siswa yang memiliki tingkat keberbakatan tinggi dalam

meningkatkan Speed, Agility, dan Quickness siswa SMPN 1 Serangpanjang?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari penerapan program SAQ

training terhadap siswa yang memiliki tingkat keberbakatan rendah dalam

meningkatkan Speed, Agility, dan Quickness siswa SMPN 1 Serangpanjang?

3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dari peningkatan Speed, Agility,

dan Quickness antara kelompok siswa yang memiliki tingkat keberbakatan

tinggi dan rendah setelah melalui program SAQ training ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah hanya sebatas pada:

1. Untuk mengetahui pengaruh penerapan program SAQ training terhadap siswa

yang memiliki tingkat keberbakatan tinggi dalam meningkatkan Speed, Agility,

dan Quickness siswa SMPN 1 Serangpanjang.

2. Untuk mengetahui pengaruh penerapan program SAQ training terhadap siswa

yang memiliki tingkat keberbakatan rendah dalam meningkatkan Speed,

Agility, dan Quickness siswa SMPN 1 Serangpanjang.

3. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan Speed, Agility, dan

Quickness antara siswa yang memiliki tingkat keberbakatan tinggi dan tingkat

keberbakatan rendah.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berpendapat bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan

karena akan sangat memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan keilmuan

dalam rangka untuk meningkatkan prestasi olahraga.

1. Manfaat secara teoretis

Secara teoretis, penelitian ini akan sangat membantu untuk perkembangan

(21)

hal menjaring bibit-bibit atlet berbakat yang dapat berprestasi baik di level rendah

maupun level tinggi melalui program identifikasi keberbakatan dan penerapan

sebuah program latihan yang tepat sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan

perkembangan siswa.

2. Manfaat kebijakan

Adanya kebijakan dari pemerintah mengenai pentingnya pembinaan

olahraga yang dilakukan sedini mungkin, diharapkan penelitian ini menjadi salah

satu awal dalam usaha menghasilkan regenerasi atlet yang sangat potensial untuk

meningkatkan prestasi olahraga baik pada tingkat sekolah, daerah dan nasional

dimasa yang akan datang.

3. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitain ini dapat menjadi alternatif untuk mengatasi

masalah yang dihadapi siswa/atlet, guru, pelatih, bahkan orangtua, berkenaan

dengan pentingnya mengenal bakat yang dimiliki dan pemilihan cabang olahraga

yang sesuai dengan keberbakatan yang dimiliki oleh siswa/atlet. Selain itu

penelitian ini juga akan membantu para praktisi olahraga untuk memahami akan

pentingnya pengidentifikasian keberbakatan kecabangan olahraga serta

pentingnya penyusunan dan penerapan program latihan yang tepat bagi bibit-bibit

atlet sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh setiap individu.

4. Manfaat dari segi isu serta aksi sosial

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu alternatif pendorong bagi para

guru, pelatih dan praktisi olahraga untuk melakukan pembinaan prestasi olahraga

secara kontinyu yang diwali dengan pengidentifikasian bakat sedini mungkin

dengan tahapan yang benar baik pada tingkat sekolah maupun pada club-club

SSB.

E. Struktur Organisasi Tesis

Sistematika Penulisan dari penelitian ini mengacu pada pedoman Penulisan

karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun

2014. Adapun sistematika Penulisan tersebut adalah seperti yang tertera pada

(22)

Bab I. Pendahuluan.

Pada bab ini dipaparkan mengenai latar belakang masalah dan perumusan

masalah, berupa isu dan fenomena yang terjadi dalam pembinaan olahraga

prestasi. Dari mulai prestasi keolahragaan yang cenderung menurun/tidak ada

peningkatan, minimnya regenerasi dan raihan prestasi atlet, minimnya

pemahaman pelatih, guru dan praktisi olahraga mengenai pentingnya identifikasi

bakat sebagai awal dari sebuah pembinaan yang berkelanjutan. Dalam Bab ini

pula dipaparkan mengenai tujuan dan manfaat dari dilakukannya penelitian ini,

serta dampak jika hal ini terus dibiarkan.

Bab II. Landasan Teoretis, Kerangka Pemikiran Dan Hipotesis.

Pada bab ini memuat tentang pembahasan secara teoritik mengenai variabel

dan hal-hal yang berkaitan dan sangat menunjang pelaksanaan penelitian ini.

Seperti kajian teori tentang: Identifikasi Keberbakatan, Kecepatan Gerak (Speed,

Agility, and Quickness), Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan, Program

Latihan Kondisi Fisik, SAQ Training, Ekstrakurikuler sepak bola.

Selain itu pada bab ini pun dicantumkan mengenai penelitian-penelitian

terdahulu yang relevan dengan apa yang akan diteliti. Kemudian kerangka

pemikiran yang menyebabkan penelitian ini harus dilakukan berdasarkan Bab I

dan kajian teoretis. Sedangkan hipotesis adalah jawaban sementara yang akan

dicari kebenarannya melalui penelitian ini.

Bab III. Metode Penelitian

Pada bab ini berisi tentang metodologi penelitian yang mencakup: metode

dan desain penelitian yang sesuai dengan karakteristik penelitian ini, partisipan

yang terlibat dalam penelitian ini, populasi yang akan dijadikan sampel beserta

teknik penyamplingan, instrumen yang dipergunakan dalam penelitian, prosedur

pelaksanaan penelitian, serta bagaimana teknik pengolahan data yang akan

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian

Penelitian yang akan penulis lakukan ini menggunakan metode Eksperimen,

karena penulis berpendapat bahwa metode ini paling tepat untuk diterapkan dalam

penelitian ini. Mengenai eksperimen, Maksum (2012, hlm. 65) memaparkan

bahwa: “Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan secara ketat

untuk mengetahui hubungan sebab akibat di antara variabel. Salah satu ciri utama

dari penelitian eksperimen adalah adanya perlakuan (treatment) yang dikenakan

kepada subjek atau objek penelitian.” Kemudian Ali (2011, hlm. 262) memaparkan bahwa: “Studi eksperimen adalah riset yang dilaksanakan melalui eksperimentasi atau percobaan.” Wermeister (1973) dalam Ali (2011, hlm. 262) memaparkan “Eksperimentation... consist in the deliberate and controlled

modification of the condition determining an event, and in the interpretation of the ensuring dhanges in the event itself.” Arti dari paparan tersebut bahwa kondisi yang dilakukan secara disengaja dan terkontrol dalam menentukan peristiwa serta

pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada peristiwa tersebut.

Sedangkan ciri dan jenis sebuah penelitian eksperimen, lebih jelas

dipaparkan oleh Maksum (2012, hlm. 67), bahwa:

Penelitian eksperimen dicirikan dengan 4 hal, yaitu adanya perlakuan, mekanisme kontrol, randomisasi dan ukuran keberhasilan. Apabila suatu penelitian eksperimen memenuhi ke-empat hal di atas, maka dapat dikatakan eksperimen murni (true experiment). Sebaliknya, jika suatu penelitian eksperimen tidak dapat memenuhi ke-empat hal tersebut - terutama dalam hal randomisasi dan kelompok kontrol - maka disebut eksperimen semu (quasi experiment) atau bisa juga berbentuk praeksperimen (weak experiment).

Dari pemaparan di atas, maka metode penelitian eksperimen yang cocok

untuk digunakan oleh Penulis adalah desain praeksperimen (Preexperimental

Design). Hal ini dikarenakan pada pemilihan kelompok sampel tidak dilakukan

secara random akan tetapi dengan cara perangkingan melalui program identifikasi

(24)

Mengenai desain penelitian, Maksum (2012, hlm. 95) memaparkan “Desain

penelitian merupakan sebuah rancangan bagaimana suatu penelitian akan dilakukan.” Desain penelitian yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian ini adalah One-Group Pretest-posttest Design. Mengenai desain ini, Maksum

(2012, hlm. 97) memaparkan “Dalam desain ini tidak ada kelompok kontrol, dan subjek tidak ditempatkan secara acak. Kelebihan desain ini adalah dilakukannya

pretest dan posttest sehingga dapat diketahui dengan pasti perbedaan hasil akibat

perlakuan yang diberikan.” One-Group Pretest-posttest Design dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1

One Group Pretest-posttest Design. Sumber: Sugiyono (2014, hlm. 75)

Ket:

O1 : nilai pretest (sebelum diberi perlakuan)

X : treatment (perlakuan)

O2 : nilai post test (setelah diberi perlakuan)

Desain penelitian yang akan penulis lakukan dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 3.2 Desain Penelitian

O

1

X

O

2

IDENTIFIKASI

BAKAT

T2

POSTTEST S.A.Q

X

SAQ TRAINING

T1 PRETEST

S.A.Q BAKAT

TINGGI

(25)

B. Partisipan

Beberapa pihak yang terlibat dalam penelitian yang penulis lakukan ini

adalah:

1. DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd. Beliau adalah Ahli Pendidikan dan

Kepelatihan Olahraga, Pembimbing akademik sekaligus Pembimbing

TESIS dan Dosen Pengampu Mata Kuliah Kajian Identifikasi dan

Pengembangan Keberbakatan di SPS Pendidikan Olahraga Universitas

pendidikan Indonesia.

2. Rekan guru olahraga yang membantu Taryono, S.Pd dan Acep Nurelza,

S.Pd. Beliau adalah rekan Penulis yang berprofesi sebagai pelatih pada

kegiatan ekstrakurikuler Sepak Bola di SMPN 1 Serangpanjang dan

sebagai pelatih sepakbola pemuda di lingkungan kecamatan

Serangpanjang Kab. Subang.

3. Sampel penelitian yang berjumlah 40 siswa laki-laki yang mengikuti

kegiatan ekstrakurikuler sepak bola di SMPN 1 Serangpanjang Kab.

Subang.

C. Populasi dan Sampel

Lokasi penelitian yang akan penulis gunakan adalah:

Nama sekolah : SMP Negeri 1 Serangpanjang

NSS : 201021904077

Alamat : Jalan Raya Serangpanjang No. 40 Kec.

Serangpanjang Desa Ponggang Kab. Subang

Provinsi Jawa Barat.

Status : Negeri

Akreditasi sekolah : A

Tahun didirikan : 1993

Tahun beroprasi : 1993

Luas lahan : 6250 m2

Letak Lokasi : Lokasi sekolah terletak di wilayah selatan

berbatasan dengan Kab. Purwakarta dan termasuk

(26)

Alasan peneliti memilih populasi Siswa Kelas VII SMPN 1 Serangpanjang

Kab. Subang, karena :

a. Penulis adalah merupakan guru Penjas di sekolah tersebut sehingga

lebih mengenal karakteristik siswa dan sudah dikenal oleh siswa yang

secara otomatis menjadi salah satu alasan kemudahan dalam

pelaksanaan penelitian.

b. Lokasi kecamatan terletak didataran tinggi jauh dari perkotaan dengan

tingkat ekonomi masyarakat yang berada pada tingkat ekonomi bawah,

sehingga kemungkinan untuk mengikuti klub-klub sekolah sepak bola

sangat tidak mungkin.

c. Belum pernah diadakannya penelitian mengenai identifikasi

keberbakatan terhadap para siswa/calon atlet melalui jalur pendidikan di

wilayah Kab. Subang termasuk di lokasi kecamatan serangpanjang.

Mengenai Populasi, James H. McMillan dan Sally Schumacher (2001, hlm. 169) bahwa “A population is a group of elements or cases, whether individuals, objects, or events, that conform to spesific criteria and which we intend to

generalize the result of the research”. Sugiono (2014, hlm. 80) “Populasi adalah

wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas

dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.” Hal ini dijelaskan pula oleh Maksum (2012, hlm. 53) bahwa:

Populasi adalah keseluruhan individu atau objek yang dimaksudkan untuk diteliti, yang nantinya akan dikenai generalisasi. Generalisasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan terhadap kelompok individu atau objek yang dijadikan wakil dalam penelitian tersebut.

Dari beberapa pemaparan tersebut maka populasi adalah keseluruhan

obyek/subyek yang memiliki kualitas atau kriteria tertentu untuk diteliti dan

dipelajari melalui sebuah treatment, untuk kemudian diambil kesimpulan.

Populasi yang penulis gunakan dalam dalam penelitian ini adalah siswa Kelas VII

SMPN 1 Serangpanjang tahun ajaran 2014/2015 yang mengikuti ekstrakurikuler

(27)

selanjutnya adalah melakukan generalisasi untuk mendapatkan sampel yang akan

dijadikan subyek dalam penelitian ini.

Sampel menurut Sugiyono (2014, hlm. 81) adalah “bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.” Mengenai jumlah sampel, Fraenkel & Wallen (1993) dalam Maksum (2012, hlm. 62) berpendapat “..., tidak

ada ukuran yang pasti berapa jumlah sampel yang representatif itu. Meskipun

demikian mereka merekomendasikan sejumlah petunjuk sebagai berikut:

Tabel 3.1 Penentuan jumlah sampel. Sumber: Maksum (2012, hlm. 62)

Jenis Penelitian Minimal Jumlah Sampel

Deskriptif/Survei Korelasional

Eksperimen/kausal-komparatif

100 subjek 50 subjek

30 subjek atau 15 subjek dengan kontrol yang sangat ketat.

Merujuk pada pendapat Fraenkel & Wallen (1993) maka Penulis

mengunakan keseluruhan jumlah populasi sebanyak 40 subjek atau disebut

dengan total sampling atau sampling jenuh dan purposif sampling. Mengenai

penggunaan sampling jenuh Sugiyono (2014, hlm. 85) “sampling jenuh adalah teknik penentuan sample bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.” Sedangkan purposif sampling, Ali (2011, hlm. 113) memaparkan “Penggunaan

teknik penyampelan purposif semata-mata didasarkan atas pertimbangan pelaku

riset sesuai dengan maksud dilakukannya riset itu.” Sedangkan Maksum (2012,

hlm. 60) memaparkan lebih jelas bahwa:

Purposive sampling atau sampel bertujuan, adalah sebuah teknik

pengambilan sampel yang ciri atau kaakteristiknya sudah diketahui lebih dulu berdasarkan ciri atau sifat populasi. Kriteria sampel ditentukan oleh peneliti sendiri sesuai dengan tujuan penelitian. Karena itu, purposive sampel acapkali disebut juga judgement sampling. Misalnya kita akan meneliti tentang “kedisiplinan para atlet”, maka sampel yang diambil khusus merujuk pada kelompok atlet dan bukan yang lain.

Melalui rujukan tersebut maka penulis menganggap bahwa gabungan antara

sampel jenuh melalui purposif sampel sangat tepat untuk digunakan untuk

(28)

mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sepak bola, penulis menggunakan keseluruhan

sampel.

D. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah:

1. Identifikasi Keberbakatan : a. Metode Identifikasi Bakat

Setelah mempelajari beberapa literatur mengenai metode identifikasi bakat,

seperti Sport Specific Performance Tests yang dikembangkan oleh Mackenzie

(2011), kemudian Sport search yang dikembangkan di Australia, dan metode

Sport talent yang dikembangkan oleh Brown (2001) tentang soccer importance of

physical attributes, Penulis memilih beberapa point test yang menurut penulis

sangat cocok dengan karakteristik cabang olahraga sepak bola dan karakteristik

siswa yang akan penulis teliti.

Pemilihan beberapa point tes identifikasi bakat tersebut dilakukan karena

Penulis merasa dari ke tiga metode tersebut terdapat kekurangan dan kelebihan

masing-masing. Adapun jumlah komponen tes identifikasi bakat yang penulis

pilih berjumlah 10 point tes yang terdiri dari:

1. Anthropometric

a. Height (tinggi badan)

b. Weight (berat badan)

c. IMT (Indeks Massa Tubuh) 2. Flexibility

3. Balance

4. Speed

5. Quickness a. Arm b. Foot

6. Srtength

a. Strength-Core.

b. Strength-Elastic.

c. Strength-General.

7. Power. a. Leg b. Arm

8. Agility

9. Coordination

(29)

Adapun instrumen dan pelaksanaan tes identifikasi bakat tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Anthropometric

a. Height (tinggi badan)

Nurhasan (2000, hlm. 51) memaparkan bahwa, “Tinggi badan

adalah satuan jarak yang diukur dari lantai ke ke kepala, tanpa

menggunakan alas kaki pada posisi berdiri tegak dengan posisi berdiri tegak dengan membelakangi skala ukur.”

Dalam pelaksanaan penmgukutan tinggi badan, penulis

mengadopsi dari Wood, R (2008, hlm. -) dalam

www.topendsports.com memaparkan sebagai berikut:

Equipment required: stadiometer (or steel ruler or tape

measure placed against a wall.

Procedure: standing height is the measurement the maximum

distance from the floor to the highest point on the head, when the subject is facing directly ahead. Shoes should be off, feet together, and arms by the sides. Heels, buttocks and upper back should also be in contact with the wall when the measurement is made.

b. Weight (berat badan)

Dengan mengetahui berat badan seseorang, maka akan dengan

mudah dapat diketahui komposisi tubuh seseorang. Wood, R (2008,

hlm. -) dalam www.topendsports.com memaparkan sebagai berikut:

Equipment required: Scales, which should be calibrated for

accuracy using weights authenticated by a government department of weights and measures.

Procedure: the person stands with minimal movement with

hands by their side. Shoes and excess clothing should be removed.

c. IMT (Indeks Massa Tubuh)

Pengukuran Indeks Massa Tubuh adalah suatu cara untuk

mengetahui seberapa ideal berat badan yang dimiliki oleh seseorang.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui indeks

massa tubuh seseorang seperti dipaparkan oleh Nurhasan (2000, hlm.

(30)

Pengukuran komposisi tubuh dapat dilakukan melalui beberapa teknik tak langsung, yaitu:

1. Keseimbangan antara indeks berat badan dan tinggi 2. Densitometri

3. Lipatan kulit (skinfold)

Dari beberapa cara tersebut, penulis menggunakan kesimbangan

antara indeks berat badan dan tinggi badan. adapun rumus

penghitungannya dijelaskan oleh Nurhasan (2000, hlm. 53), bahwa “penilaian Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat ditentukan dengan cara menggunakan rumus sebagai berikut. Berat Badan (kg) dibagi kuadrat

tinggi badan (m2) (W/H2).”

Adapun tabel panduan dari hasil penghitungan rumus tersebut

adalah sebagai berikut:

2. Flexibility

Adapun pelaksanaan flexibility test dalam penelitian ini, Penulis

adopsi dari situs www.topendsports.com. Adapun tes tersebut adalah Sit and

Reach Test, untuk pelaksanaannya lebih lanjut dipaparkan oleh Wood, R

(2008, hlm. -) sebagai berikut:

Equipment required: sit and reach box (or alternatively a ruler can

be used, and a step or box).

Procedure: This test involves sitting on the floor with legs stretched

out straight ahead. Shoes should be removed. The soles of the feet are placed flat against the box. Both knees should be locked and pressed flat to the floor - the tester may assist by holding them down. With the palms facing downwards, and the hands on top of each other or side by side, the subject reaches forward along the measuring line as far as possible. Ensure that the hands remain at the same level, not one reaching further forward than the other. After some practice reaches, the subject reaches out and holds that position for at one-two seconds while the distance is recorded. Make sure there are no jerky movements.

Scoring: The score is recorded to the nearest centimeter or half inch

as the distance reached by the hand.

3. Balance

Balance atau keseimbangan menurut Brown dan McGee (19790

(31)

mempertahankan sistem neuromuscular kita dalam konsidi statis, atau

mengontrol sistem neuromuscular tersebut dalam satu posisi atau sikap

yang efisien selagi kita bergerak.” Dengan memiliki keseimbangan yang

baik maka seorang atlet tidak akan mudah jatuh meskipun dalam situasi

yang sulit dibandingkan dengan dengan atlet yang memiliki keseimbangan

buruk, sehingga kemungkinan untuk cedera akan dapat diminimalisir.

Pengukuran keseimbangan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah

untuk mengetahui kekampuan atlet dalam mempertahankan keadaan

equilibrium (keseimbangan) dalam posisi statis dengan menggunakan

Standing Stork Test Blind.

Melihat keuntungan lain dari belance ini penulis berpendapat bahwa

balance sangat cocok untuk dimasukkan sebagai salah satu komponen

identifikasi beket dalam cabang olahraga sepak bola.

Lebih lanjut mengenai prosedur pelaksanaan Standing Stork Test

Blind, Mackenzie, B (2004, hlm. -) dalam www.brianmac.uk.co,

memaparkan sebagai berikut:

To undertake this test you will require:

Warm dry location - gym against the side of the left kneecap and close both eyes

The assistant gives the command “GO”, starts the stopwatch and the athlete raises the heel of the left foot to stand on their toes The athlete is to hold this position for as long as possible

The assistant stops the stopwatch when the athlete‟s left heel touches the ground or the right foot moves away from the left knee The assistance records the time

The athlete rests for 3 minutes

The athlete stands comfortably on both feet with their hands on their hips

The athlete lifts the left leg, places the sole of the left foot against the side of the right kneecap and close both eyes

(32)

The assistant stops the stopwatch when the athlete‟s right heel touches the ground or the left foot moves away from the right kneecap

The assistance records the time

4. Speed

Melihat karakteristik dari siswa SMP Kelas VII maka pengukuran

speed ini menggunakan 20 meter Dash. Adapun prosedur pelaksanaannya

penulis adopsi dari www.TopendSports.com, Wood (2008, Hlm. -) :

Purpose: The aim of this test is to determine acceleration, and also a

reliable indicator of speed, agility and quickness.

Equipment required: measuring tape or marked track,

stopwatch or timing gates, cone markers, flat and clear surface of at least 40 meters.

Procedure: The test involves running a single maximum sprint over 20

meters, with the time recorded. A thorough warm up should be given, including some practice starts and accelerations. Start from a stationary position, with one foot in front of the other. The front foot must be on or behind the starting line. This starting position should be held for 2 seconds prior to starting, and no rocking movements are allowed. The tester should provide hints to maximizing speed (such as keeping low, driving hard with the arms and legs) and encouraged to continue running hard past the finish line.

Results: Two trials are allowed, and the best time is recorded to the

nearest 2 decimal places. The timing starts from the first movement (if using a stopwatch) or when the timing system is triggered, and finishes when the chest crosses the finish line and/or the finishing timing gate is triggered.

Dari keterangan diatas jarak yang ditempuh adalah 20 meter,

dilakukan dua kali ulangan dan diambil waktu tercepat. Pengambilan waktu

menggunakan stopwatch dengan ketelitian 2 desimal.

5. Quickness

Jenis tes yang dilakukan untuk mengukur quickness adalah dengan

menggunakan Ruler Drop Test dari Mackenzie, B (2004, hlm. -) dan Quick

Feet Test dari Wood, R. (2008, hlm. -). Adapun prosedur pelaksanaan tes

tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk mengukur kecepatan reaksi, Penulis mengadopsi dari

(33)

To undertake this test you will require:

Metre ruler assistant

How to conduct the test:

The ruler is held by the assistant between the outstretched index finger and thumb of the athlete's dominant hand, so that the top of the athlete's thumb is level with the zero centimetre line on the ruler The assistant instructs the athlete to catch the ruler as soon as possible after it has been released

The assistant releases the ruler and the athlete catches the ruler between their index finger and thumb as quick as possible

The assistant is to record distance between the bottom of the ruler and the top of the athlete's thumb where the ruler has been caught.

The test is repeated 2 more times and the average value used in the assessment.

Untuk tes kecepatan kaki menggunakan Quick Feet Test. Adapun

prosedur pelaksanaannya dalam www.topendsports.com, Wood, R (2008,

hlm. -) memaparkan sebagai berikut:

This is a simple test of foot speed and agility, and gives an indication of the amount of the athlete's leg muscle's fast twitch fibers.

Equipment required: a flat, non-slip surface, stopwatch, 21 two-foot

(60cm) long sticks or a 20-rung rope ladder. A football field with each yard marked can also be used.

Procedure: Place the sticks 18 inches apart (or a similar size 20-rung

stride rope ladder) on a flat surface, which makes a distance 10 yards (9.14m). The subject starts at one end, and when ready starts running along the ladder, placing a foot in each space without touching the sticks/rungs. The timing starts when their foot first touches the ground between the first and second stick, and ends when they step beyond the last stick. Rest for two minutes and repeat the test.

Results: Record the best result of two trials.

6. Srtength

Harsono (1988, hlm. 177) memaparkan bahwa:

(34)

Merujuk pada keterangan diatas maka strength merupakan komponen

penting yang dapat dijadikan sebagai komponen dasar dalam mendukung

komponen penting lain dalam cabang olahraga sepak bola, sehingga Penulis

memasukkan strength kedalam komponen tes identifikasi bakat. Adapun

komponen strength yang akan diukur adalah sebagai berikut:

a. Strength-Core.

Tujuan dari pengukuran strength-core ini adalah untuk

mengukur kekuatan dan stabilitas otot inti pada perut dan otot

punggung bawah. Adapun tes yang digunakan untuk mengukur

strength-core ini adalah dengan menggunakan Core Muscle Strength

and Stability Test. Adapun prosedur pelaksanaannya dipaparkan oleh

Mackenzie, B (2002, hlm. -) dalam www.brianmac.co.uk, sebagai

berikut:

To undertake this test you will require :

Flat non-slip surface Mat

Stopwatch Assistant

How to conduct the test

The assistant is responsible for instructing the athlete as to the position to assume at the appropriate stage. Throughout the test the back, neck and head should be maintained in the posture as per figure below. If the athlete is unable to hold this position then the test is to be stopped.

Stage 1

The athlete warms up for 10 minutes

The athlete, using the mat to support their elbows and arms, assumes the Start Position

Once the athlete is in the correct position the assistant starts the stopwatch

The athlete is to hold this position for 60 seconds Stage 2

The athlete lifts their right arm off the ground and extends it out in front of them parallel with the ground

The athlete is to hold this position for 15 seconds Stage 3

The athlete returns to the Start Position, lifts the left arm off the ground and extends it out in front of them parallel with the ground The athlete is to hold this position for 15 seconds

(35)

The athlete returns to the Start Position, lifts the right leg off the ground and extends it out behind them parallel with the ground

The athlete is to hold this position for 15 seconds Stage 5

The athlete returns to the Start Position, lifts the left leg off the ground and extends it out behind them parallel with the ground

The athlete is to hold this position for 15 seconds Stage 6

The athlete returns to the Start Position, lifts the left leg and right arm off the ground and extends them out parallel with the ground The athlete is to hold this position for 15 seconds

Stage 7

The athlete returns to the Start Position, lifts the right leg and left arm off the ground and extends them out parallel with the ground The athlete is to hold this position for 15 seconds

Stage 8

The athlete returns to the Start Position

The athlete is to hold this position for 30 seconds Stage 9

End of test

The assistant records the stage at which the athlete is unable to maintain the correct body position or is unable to continue with the test.

b. Elastic Leg Strength.

Tujuan dari pengukuran Elastic leg strength ini adalah untuk

mengukur kekuatan dan elastisitas otot kaki atlet. Adapun tes yang

digunakan untuk mengukur strength-elastic ini adalah dengan

menggunakan Standing Long Jump Test.

Adapun prosedur pelaksanaannya dipaparkan oleh Mackenzie, B

(2000, hlm. -) dalam www.brianmac.co.uk, sebagai berikut:

To undertake this test you will require:

(36)

The assistant measures and records the distance from the edge of the sandpit to the nearest impression made by the athlete in the sand pit

The athlete repeats the test 3 times

The assistant uses the longest recorded distance to assess the athlete's athlete's leg strength

c. Strength-General.

Tujuan dari pengukuran strength-general ini adalah untuk

mengukur kelincahan dan keseimbangan badan atlet. Adapun tes yang

digunakan untuk mengukur strength-general ini adalah dengan

menggunakan Burpee Test.

Adapun prosedur pelaksanaannya dipaparkan oleh Mackenzie, B

(2005, hlm. -) dalam www.brianmac.co.uk, sebagai berikut:

To undertake this test you will require:

Flat non-slip surface floor in front of the feet (squat position) - thrust the legs back to assume a push up position with a straight line from the shoulders to the heels - return to the squat position - return to the standing position.

The athlete warms up for 10 minutes

The assistant gives the command “GO”, starts the stopwatch and the athlete commences the test

The assistant counts the number of correctly performed Burpees

The assistant keeps the athlete informed of the remaining time

The assistant stops the test after 30 seconds and records the number of correctly performed Burpees

7. Power.

Power merupakan gabungan atau hasil dari kekuatan dan kecepatan.

Harsono (1988, hlm. 176), memaparkan bahwa “Power adalah hasil dari

(37)

olahraga sepak bola untuk menunjang keberhasilan dalam setiap usaha yang

dilakukan pada saat bertanding, contoh melakukan long passing, heading,

shoting dan lain-lain. Oleh karena itu penulis merasa untuk mengetahui

kemampuan power atlet haruslah dilakukan sedini mungkin melalui

identifikasi bakat.

Adapun kemampuan power yang akan diukur dalam identifikasi bakat

ini adalah:

a. Leg

Mengukur power tungkai para calon atlet dengan menggunakan

Vertical Jump Test.

Equipment required: measuring tape or marked wall, chalk for

marking wall (or Vertec or jump mat).

Procedure: the athlete stands side on to a wall and reaches up with

the hand closest to the wall. Keeping the feet flat on the ground, the point of the fingertips is marked or recorded. This is called the standing reach height. The athlete then stands away from the wall, and leaps vertically as high as possible using both arms and legs to assist in projecting the body upwards. The jumping technique can or cannot use a countermovement (see vertical jump technique). Attempt to touch the wall at the highest point of the jump. The difference in distance between the standing reach height and the jump height is the score. The best of three attempts is recorded.

b. Arm

Mengukur power lengan para calon atlet dengan menggunakan

Basketball Throw. Adapun prosedur pelaksanaan Basketball throw ini,

penulis adopsi dari Tower Hamlets (2006/2007, hlm. 31) mengenai

Sport Search.

Equipment: A size 7 basketball and a 15-metre tape measure,

accurate to 5 centimetres.

Procedure: Pupils sit with their buttocks, back and head against the

wall, with their legs extended straight out in front of them. Pupils should use a two handed chest pass to propel the ball as far forward as possible. Students are allowed two attempts.

The longest distance thrown should be recorded to the nearest centimetre.

Protocol: The throw is defined as the distance from the base of the

(38)

8. Agility

Untuk mengukur tingkat agility para calon atlet, maka pengujian

dilakukan dengan menggunakan “T” Drill Test. Adapun prosedur

pelaksanaan “T” Drill Test ini Penulis adopsi dari Mackanzie (2000, hlm. -)

sebagai berikut:

This test requires the athlete to touch a series of cones set out in “T” shape whilst side stepping and running as fast as possible.

The athlete warms up for 10 minutes

The assistant places 3 cones 5 metres apart on a straight line (A, B, C)and a 4th cone (D) is placed 10 metres from the middle cone (B) so that the 4 cones form a 'T'.

The athlete stands at the cone (D) at the base of the “T” facing the “T”

The assistant gives the signal to 'Go', starts the stopwatch and the athlete commences the test

The athlete runs to and touches the middle cone (B) , side steps 5 metres to the left cone (A) and touches it, side step 10 metres to the far cone (C) and touches it, side step 5 metres back to the middle cone (B) and touches it and then runs 10 metres backwards to the base of the 'T' and touches that cone (D)

The coach stops the stopwatch and records the time when the athlete touches the cone at the base of the “T”

9. Coordination

Koordinasi berkaitan dengan kemampuan seseorang

mengkoordinasikan beberapa gerakan secara sempurna tanpa kekakuan

meskipun gerakan tersebut sangat kompleks. Tes untuk mengukur

kemampuan koordinasi yang akan diberikan terhadap para calon atlet adalah

menggunakan Hand Eye Coordination. Adapun prosedur pelaksanaannya

Penulis adopsi dari Wood (2008, hlm. -) dalam situs www.topensport.com

yang dijelaskan juga dalam www.brianmac.co.uk adalah sebagai berikut:

Purpose: to measure hand-eye coordination

Equipment required: tennis ball or baseball, smooth and solid wall,

marking tape, stopwatch(optional)

Procedure: A mark is placed a certain distance from the wall (e.g. 2

(39)

period (e.g. 30 seconds). By adding the constraint of a set time period, you also add the factor of working under pressure.

Scoring: This table lists general ratings for the Wall Toss Test, based

on the score of the number of successful catches in a 30 second period.

10. Aerobic fitness

Untuk mengukur tingkat VO2 Max para calon atlet, maka pengukuran

dilakukan dengan menggunakan Multi Stage Fitness Test. Adapun prosedur

pelaksanaannya Penulis adopsi dari Wood (2008, hlm. -) dalam situs

www.topensport.com adalah sebagai berikut:

equipment required: Flat, non-slip surface, marking cones, 20m

measuring tape, beep test audio, music player, recording sheets.

procedure: This test involves continuous running between two lines

20m apart in time to recorded beeps. For this reason the test if also often called the 'beep' or 'bleep' test. The subjects stand behind one of the lines facing the second line, and begin running when instructed by the recording. The speed at the start is quite slow. The subject continues running between the two lines, turning when signaled by the recorded beeps. After about one minute, a sound indicates an increase in speed, and the beeps will be closer together. This continues each minute (level). If the line is reached before the beep sounds, the subject must wait until the beep sounds before continuing. If the line is not reached before the beep sounds, the subject is given a warning and must continue to run to the line, then turn and try to catch up with the pace within two more „beeps‟. The test is stopped if the subject fails to reach the line (within 2 meters) for two consecutive ends after a warning.

scoring: The athlete's score is the level and number of shuttles (20m)

reached before they were unable to keep up with the recording. Record the last level completed (not necessarily the level stopped at). This norms table below is based on personal experience, and gives you a very rough idea of what level score would be expected for adults, using the standard Australian beep test version. There is a more detailed table of norms for the beep test. This level score can be converted to a VO2max equivalent score using this calculator. You may also wish to download the Beep Test Recording Sheet.

Adapun tabel panduan pengukuran VO2Max untuk tes ini penulis adopsi

dari www.fvspartan.org.uk, yang penulis rubah bentuk tabelnya, seperti terlihat

Gambar

Tabel  2.1 Tabel Sports Specific Performance Test  .......................................................
Gambar  Halaman
Gambar SAQ Training  ...............................................................................
Gambar 3.2  Desain Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait