SELF-EXPLORATION
TEKNIK
A.
SELF-EXPLORATION (Engel, 2014a: 42-52)
Self-exploration (eksplorasi diri) sebagai teknik pertama, membantu klien dalam menyingkapkan masalah low spiritual self-esteem yang dialaminya. Konselor meminta klien mengidentifikasi pikiran-pikiran, perasaan, dan perilaku tidak rasional yang menyebabkan klien mengalami low spiritual self-esteem. Konselor menjelaskan tentang konsep self-esteem dan karakteristik healthy spiritualself-esteem. Konselor menjelaskan tentang konsep dan teknik eksplorasi diri sebagai penjelajahan masalah klien mengatasi low spiritual self-esteem.Self-exploration adalah eksplorasi diri terhadap masalah untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat kesadaran diri, yaitu pemberdayaan untuk suatu perubahan sikap dan perilaku sehat. Pemberdayaan tersebut berhubungan dengan pendidikan yang dapat meningkatkan kemampuan untuk menciptakan ide, karya, membuat keputusan, dan kemampuan untuk mengatasi masalah, dalam rangka meningkatkan intelegensi diri. Perubahan sikap dan perilaku sehat itu terlihat ketika para klien merasa dirinya kotor, tidak layak, tidak berguna dan tidak berharga,
saling berbagi, mendukung, menyokong, sehingga mereka bangkit dari keterpurukan, menatap masa depan dengan antusias bahwa hidup ini perlu diperjuangkan.
Teknik self-exploration (eksplorasi diri) adalah penjelajahan masalah klien mengatasi low self-esteem. Maksudnya mengeksplorasi hubungan, kebiasaan, pola berpikir, perasaan, perilaku, pilihan, dan pengalaman yang mungkin menjadi sumber low self esteem. Teknik ini menyangkut eksplorasi diri, dapat dilakukan melalui proses reframing thought, emotional dan behaviour, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, serta mengembangkan kesadaran diri dan penerimaan diri (Center for Healing & Change, 2012: 1). Dalam konteks penjelajahan masalah klien mengatasi low self-esteem proses eksplorasi yang dipergunakan adalah reframing thought of low self-esteem, reframing emotional of low self-esteem, reframing behaviourof low self-esteem dan reframing of healthy self-esteem. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien. Sasarannya adalah klien mencapai keyakinan diri seimbang. Steven (2012: 9) eksplorasi diri berhubungan dengan suara hati untuk mengontrol pikiran positif atau negatif, perasaan, tindakan, atau peristiwa.
APLIKASI
B.
WEBSITESELF-EXPLORATION
Berikut ini merupakan cuplikan tampilan aplikasi website logo konseling dari proses sesi pertama.
Media yang dipakai adalah kertas kerja (work sheet) dan
diari (diary). Tujuannya adalah mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahanklien. Sasarannya adalah mengembangkan kesadaran
diri klien. Mengidentifikasi perasaan, pikiran, dan perilaku
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, membantu klien untuk
mengeksplorasi dirinya terhadap masalah yang dialami, seperti
berikut ini.
Identifikasi Perasaan
Apakah anda merasa diri anda berharga? Dalam hal apa? 1. Pernahkah anda merasa tidak berguna? Dalam hal apa? 2. Apakah anda mempunyai kemampuan? Seperti apa kemampuan 3. anda itu? Apakah anda merasa dicintai? 4. Pernahkah tidak dicintai oleh seseorang? 5. Apa tujuan hidup anda? 6. Apakah anda puas dengan seluruh hidup anda? Seperti apa 7. kepuasan anda itu? Pernah merasa tidak bahagia? Seperti apa ketidakbahagia anda? 8. Identifikasi Pikiran Apa kata-katayang Anda gunakan untuk menggambarkan diri anda? Berharga? Ya/tidak Berkompoten? Ya/tidak Dicintai? Ya/tidak Realistis? Ya/tidakIdentifikasi Perilaku Apakah deskripsi Anda tentang diri Anda umumnya positif atau negatif? Penampilan fisik anda! Positif/negatif Kemampuan diri anda! Positif/negatif Perasaan diri anda! Positif/negatif
MATERI LAYANAN
C.
Konsep
1.
Self-Esteem dan Karakteristik
HealthySelf-Esteem
Menuut Lim et al. (2005, Modul 1:1), self-esteem memandang dan berpikir tentang diri kita sendiri. Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk tidak hanya menyadari diri kita sendiri tetapi juga untuk menempatkan nilai atau ukuran yang layak untuk diri kita atau aspek-aspek diri. Jadi, harga diri biasanya mengacu pada bagaimana kita memandangdan berpikir tentang diri sendiri dan nilai yang kita tempatkan pada diri kita sebagai pribadi.
Self-esteem adalah persepsi tentang citra diri seseorang yang dikembangkan dari waktu ke waktu (LLC, 2006:1). Itu berarti bahwa citra diri seseorang sangat bergantung pada hubungan keluarga maupun lingkungan yang turut mencitrakan diri seseorang (LLC, 2006:1). Hubungan keluarga selama masa kanak-kanak diyakini memainkan peran penting dalam perkembangannya. Orang tua dapat menumbuhkan self-esteem dengan mengekspresikan kasih sayang dan dukungan bagi anak serta dengan membantu anak menetapkan tujuan yang realistis untuk membangun suatu persepsi tentang citra diri anak.
Self-esteem menggambarkan suatu penilaian positif maupun negatif berdasarkan nilai-nilai, keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri. Self-esteem mencerminkan evaluasi secara keseluruhan seseorang atau penilaian dari dirinya sendiri (QUT, 2008:1). Self-esteem adalah cara individu memandang dirinya dan menempatkan nilai pada
dirinya sendiri. Self-esteem mendekripsikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya tentang dirinya sendiri (Answer, 2012:2).
Menurut Plummer (Ganly, 2009:1, 2) healthy self-esteem adalah perpaduan pikiran dan perasaan sebagai kompetensi diri untuk menjalani hidup sehat. Kompetensi diri tersebut dibangun berdasarkan tujuh komponen harga diri sebagai karakteristik hidup sehat yaitu: (1) pengetahuan diri untuk memahami apa dan siapa saya, (2) diri dan orang lain untuk memahami bagaimana saya berinteraksi, mengungkapkan diri dengan dan dalam perspektif orang lain, (3) penerimaan diri untuk mengetahui dan menerima kekuatan dan kelemahan saya, (4) kemandirian untuk management, memotivasi, dan menguasai diri, (5) ekspresi diri untuk mengembangkan komunkasi yang produktif, jati diri dan gaya hidup yang konstruktif, (6) kepercayaan diri berhubungan dengan kemampuan untuk menciptakan ide, karya, membuat keputusan dan kemampuan untuk mengatasi masalah, (7) kesadaran diri adalah pemberdayaan untuk suatu perubahan sikap dan perilaku sehat.
Heinz (2006:1, 2) memahami healthy self-esteem sebagai pola hidup dalam kebaikan, mencintai diri dan orang lain, tidak menghakimi, bahagia serta berpengharapan. Pola hidup tersebut memiliki 7 karakteristik harga diri sehat yaitu: (1) pilihan untuk belajar, mengendalikan diri, percaya diri, management hidup dan masa depan, (2) evaluasi untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan, (3) ketegasan untuk memiliki kepribadian yang kuat, (4) memaafkan untuk memahami orang lain dan optimis untuk masa depan yang lebih baik, (5) mengendalikan diri untuk memperlakukan diri dan orang lain dengan baik dan benar, (6) bersyukur untuk karunia, talenta, berkat, setiap kesempatan suka maupun duka dengan hati yang penuh cinta dan damai, (7) penerimaan diri untuk kebaikan dan tekad, mencapai kesuksesan dan hidup sehat.
Barb (2012:1, 2) memaparkan delapan karakteristik healthy self-esteem sebagai berikut: (1) hidup secara sadar sesuai suara hati, (2) belajar dari kesalahan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri, (3) mendengarkan pendapat dari sudut pandang orang lain sebagai
penghargaan terhadap diri dan orang lain, (4) Merawat dan menjaga keseimbangan fisik, emosional, mental, dan spiritual, (5)menghormati perbedaan orang lain bahwa mereka mempunyai hak untuk berbeda dan layak dihormati, (6) mengambil tanggung jawab atas kelalaian, kegagalan, dan kesalahan dalam kehidupan sendiri, (7) Mampu berbicara dan bertindak dari keyakinan diri sebagai pengembangan kualitas hidup, (8) memiliki arah dan tujuan hidup yang jelas.
Branden (1990:6, 7, 15) menjelaskan bahwa healthy self-esteem terintegrasi dalam aspek self-efficacy sebagai kemampuan pribadi dan self-respect sebagai nilai pribadi. Self-efficacy berhubungan dengan keyakinan kemampuan berpikir untuk mengatasi tantangan hidup yang menggambarkan tingkat rasionalitas seseorang, sedangkan self-respect berhubungan dengan kepercayaan nilai diri bahwa setiap orang layak bahagia yang menggambarkan tingkat integritas seseorang. Tingkat rasionalitas dan integritas seseorang menggambarkan reputasi dirinya. Membahas self-esteem menurut Branden berarti berbicara tentang reputasi kita dengan diri kita sendiri.
Reputasi diri dibangun dalam enam pilar harga diri sebagai karakteristik healthy self-esteem sekaligus menurut Branden Blog (2008:14-15) menggambarkan perkembangan spiritual seseorang sebagai berikut: 1) hidup secara sadar berhubungan dengan pengetahuan dan nilai diri 2) penerimaan diri berhubungan dengan komitmen terhadap kekuatan dan kekurangan diri 3) tanggung jawab diri berhubungan dengan komitmen terhadap keberhasilan maupun kegagalan 4) ketegasan diri berhubungan dengan spiritualitas yang lebih terkait dengan keterbukaan diri 5) tujuan hidup berhubungan dengan pengembangkan disiplin spiritual diri; 6) integritas diri berhubungan dengan keutuhan dalam sikap dan perasaan secara tulus, jujur dan benar.
Konsep dan Karakteristik
2.
Low Self-Esteem
Psikolog Amerika Serikat Abraham Maslow (Answer, 2012:13) mendeskripsikan ada dua macam kebutuhan esteem yaitu kebutuhan untuk rasa hormat dari orang lain dan kebutuhan untuk menghormati diri sendiri. Sementara itu, self-esteem mengacu pada bagaimana individu memandang dan berpikir tentang dirinya, dan nilai yang ditempatkan pada dirinya sendiri sebagai pribadi. Rasa hormat dari orang lain melahirkan pengakuan, penerimaan, kedudukan dan penghargaan. Tanpa pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, Maslow mengatakan seseorang akan mengalami low self-esteem dengan karakteristik yang berbeda-beda seperti; merasa kehilangan semangat hidup, pesimis, citra diri buruk, menyalahkan diri, rendah diri dan lain-lain.
Lim et al. (2005, Module 1:2) memahami Lowself-esteem sebagai keyakinan negatif yang menempatkan nilai negatif secara umum pada diri sendiri. Lowself-esteem bisa menjadi masalah dalam dirinya sendiri dan menjadi faktor risiko untuk masalah lain seperti depresi, bunuh diri, memiliki pikiran negatif yang terus-menerus, gangguan makan, dan fobia sosial. Suasana hati yang sering berfluktuasi dengan harapan kosong, merasa diri tidak berharga, hampa karena pernah mengalai hal-hal buruk yang sama di masa lalu, maka hal ini dapat menempatkan individu pada risiko mengalami stress, kecemasan, ketakutan dan depresi lagi. Dengan demikian, lowself-esteem adalah memiliki pandangan negatif tentang diri sendiri, merasa bersalah dan tidak berharga, selalu mengingat dan memikirkan kritik sementara mengabaikan dan melupakan pujian.
Menurut Sorensen (2012:4), Lowself-esteem sebenarnya merupakan gangguan berpikir, pandangan individu yang menganggap diri sebagai tidak memadai, tidak dapat diterima, tidak layak dicintai, dan atau tidak kompeten dalam pemikiran yang menembus setiap aspek kehidupan seseorang. Lowself-esteem dapat dipahami sebagai pandangan irasional yang terdistorsi diri dan memengaruhi asumsi orang tersebut, interpretasi, persepsi, kesimpulan dan keyakinan tentang
dirinya sendiri serta yang lain. Hal ini dapat mengakibatkan seseorang menjadi sangat kritis terhadap diri dan orang lain dan atau menggunakan penilaian buruk dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, lowself-esteem adalah memiliki pendapat negatif tentang diri sendiri, menilai atau mengevaluasi diri sendiri negatif, dan menempatkan nilai negatif secara umum pada diri sendiri sebagai pribadi. Pada intinya, individu dengan lowself-esteem biasanya memiliki, keyakinan negatif yang mendalam tentang diri mereka sendiri dan orang lain.
Tyrrell (2011:1, 2) melihat lowself-esteem dari cara individu memperlakukan dirinya secara buruk karena merasa jelek, bodoh dari kebanyakan orang lain. Individu selalu menahan diri untuk melakukan hal-hal yang benar dan baik bagi dirinya sendiri karena selalu merasa tidak layak dan pantas untuk melakukannya. Dengan demikian, lowself-esteem adalah persepsi yang salah tentang diri sendiri dengan selalu menggeneralisasi semua orang, situasi, peristiwa, tempat, sifat atau karakter apapun memandangnya buruk. Individu selalu memperbesar kegagalan dan kesalahan pribadi dan meminimalkan keberhasilan dan kekuatan pribadinya. Individu cenderung tidak jujur dan tidak mau mengakui kemampuan, potensi diri, dan nilai yang dimilikinya. Lowself-esteem adalah kebiasaan memperlakukan diri sendiri tidak layak, karena percaya bahwa dirinya tidak cukup baik dalam pandangan orang lain.
Theravive (2011:2) mengatakanlow self-esteem merupakan gejolak emosi berupa kecemasan, selalu menonjolkan yang negatif, tidak bisa menerima pujian, terlalu khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan, tidak percaya pada pendapat sendiri, terus tertekan, suka menarik diri, tidak mampu untuk menghadapi tantangan, selalu berhenti dan mengundurkan diri, perfeksionisme berlebihan. Low self-esteem sering terlihat dalam kondisi serius seperti depresi, anoreksia, masalah tubuh dismorfik, perilaku anti-sosial, dan kekerasan. Dengan itu, low self-esteem adalah pola pikir yang terus-menerus dihantui dengan perasaan tidak berharga, dan merasa benar-benar tidak berdaya melakukan apa saja untuk kehidupan yang lebih baik. Individu sering
merasa kalah untuk berpikir bahwa ia bisa mengubah orang lain menjadi baik apalagi dirinya sendiri, maka kepribadiannya didorong ke dalam dan bukan ke luar.
CMHC (2012: 3) mengategorikan masalah low self esteem dalam tiga karakteristik yaitu: (1) penipu (theimposter), yaitu karakteristik orang dengan gaya hidup mewah tetapi hidup dengan ketakutan bahwa dia akan ketahuan; (2) pemberontak (therebel), yaitu karakteristik orang dengan gaya hidup suka menyalahkan orang lain berlebihan, melanggar peraturan atau hukum, atau menentang otoritas; (3) korban
(the victim) bertindak tak berdaya dan tidak mampu mengatasi stres, depresi, trauma, kecemasan, ketakutan dan semacamnya karena perlakuan kekerasan fisik, psikis maupun seksual dan lain sebagainya.
QUT (2008: 3, 4) menggolongkan masalah low self esteem dalam lima karakteristik yaitu: (1) kegelisahan untuk suatu kesimpulan negatif tentang dirinya. Orang dengan karakteristik seperti ini, biasanya gelisah untuk reaksi buruk tentang dirinya; (2) memengaruhi hidup yang tidak terjangkau. Orang dengan karakteristik seperti ini, biasanya tidak bisa menerima keadaan dirinya, karena mempunyai pola hidup tinggi, tetapi kondisi ekonomi rendah; (3) berpikir hitam dan putih. Orang dengan karakteristik seperti ini, pola hidupnya tidak semuanya baik tetapi tidak semuanya juga buruk, dan biasanya ada di tengah-tengah kedua pola hidup tersebut; (4) diskualifikasi positif. Orang dengan karakteristik seperti ini, biasanya tidak menginginkan orang lain mengetahui jati dirinya. Hal ini juga bisa menyangkut pengalaman-pengalaman bisnis yang sukses untuk diceriterakan kepada orang lain; (5) kehilangan perspektif (losing perspective). Orang dengan karakteristik seperti ini, biasanya menilai dirinya hanya dari satu aspek saja. Saya tidak berguna, saya tidak berharga hanya karena jeratan ekonomi, terjebak trafficking perempuan. Orang yang menjadi korban trafficking perempuan biasanya merasa kehilangan harga diri, dengan mengganggap dirinya kotor, tidak layak, tidak berguna, dan lain sebagainya.
ARAHAN UNTUK KONSELING
D.
Langkah pertama: Suara hati memberikan sensasi yang berbeda antara, pikiran, emosi, dan tindakan yang terjadi dalam kesadaran diri. Saat mencoba menutup mata anda dan dengan “suara hati” anda mencoba mengamati semua sensasi tubuh anda, emosi anda, dan pikiran anda. Cobalah hanya mengamati tanpa mengendalikan atau menghakiminya. Terutama memperhatikan urutan dan pola peristiwa internal. Saat anda merasa emosi,selama tahap eksplorasi diri berusaha untuk tidak mengubahnya. Mengamati hubungan antara emosi dan pikiran anda. Langkah kedua: Fokus pada situasi saat terjadi masalah, untuk membantu klien menemukan penyebab masalah mereka. Berdiam diri, tanpa bicara. Pikirkan tentang saat-saat ketika anda mengalami masalah. Carilah urutan peristiwa. Kapan masalah mulai dan apa kondisi saat itu? Bagaimana perasaan anda saat itu? Bayangkan kalau masalah itu terjadi sekarang apa perasaan yang anda alami sekarang? Perasaan apa saja yang anda rasakan sekarang? Apa yang menyebabkan anda mengalami perasaan yang demikian? Apa yang dapat anda lakukan agar dapat keluar dari perasaan tersebut?
PROSES KONSELING
E.
Tabel 1. Proses Konseling Teknik Self-Exploration
TAHAP AWAL TAHAP EKSPLORASI DIRI TAHAP AKHIR
a. Konselor memprovokasi klien tentang masalah yang dialaminya, dengan memejamkan mata, lampu dimatikan, berdiam diri tanpa bicara, pikirkanlah tentang
saat-Coba memperhatikan a.
urutan peristiwa dan masalah yang anda alami.
Saat anda merasa b.
emosi pada tahap eksplorasi diri berusaha untuk tidak mengubah hubungan
Anda berpotensi a.
mendapatkan kontrol dalam situasi yang paling sulit. Anda bisa b. mengendalikan pikiran anda, tindakan, dan perasaan.
TAHAP AWAL TAHAP EKSPLORASI DIRI TAHAP AKHIR saat ketika anda
mengalami masalah. Dengan “suara hati” b.
anda mencoba mengamati semua sensasi tubuh anda, emosi anda, dan pikiran anda (instrument lagu yang syahdu)
antara emosi dan pikiran anda. Bayangkan kalau c.
masalah itu terjadi sekarang, perasaan apa saja yang anda rasakan sekarang? Apa saja yang d.
menyebabkan anda mengalami perasaan yang demikian? Itulah kelemahan anda. Apa yang dapat anda e.
lakukan agar dapat keluar dari perasaan tersebut? Itulah kekuatan anda.
Anda bertanggung c.
jawab atas pikiran, tindakan, dan perasaan anda. Anda bertanggung d.
jawab untuk dirinya sendiri dan memilih bagaimana menangani masalah anda.
TUJUAN TEKNIK DAN
SASARAN PENCAPAIAN MEDIA EVALUASI
Tujuannya adalah a. mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan klien. Sasarannya adalah b. mengembangkan kesadaran diri klien.
a. Kertas kerja komitmen perilaku dan outwork task.
b. Instrumen lagu yang syahdu Keberhasilan sesi initerpantau dari kemampuan klien mengidentifikasi pikiran-pikiran, perasaan dan perilaku sehat dan yang tidak rasional yang menyebabkan klien mengalami low spiritual self-esteem.