ii
PENGALAMAN SOSIAL-PERSONAL INDIVIDU KELUARGA BEDA
AGAMA DALAM PEMBENTUKAN PANDANGAN PERAN AGAMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Heriberta Maharestusadhya
NIM : 089114135
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PENGALAMAN SOSIAL-PERSONAL INDIVIDU KELUARGA BEDA
AGAMA DALAM PEMBENTUKAN PANDANGAN PERAN AGAMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Heriberta Maharestusadhya
NIM : 089114135
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
PENGALAMAN SOSIAL-PERSONAL INDIVIDU KELUARGA BEDA
AGAMA DALAM PEMBENTUKAN PANDANGAN PERAN AGAMA
Oleh :
Heriberta Maharestusadhya
NIM : 089114135
Telah disetujui oleh :
Pembimbing
iii
SKRIPSI
PENGALAMAN SOSIAL-PERSONAL INDIVIDU KELUARGA BEDA
AGAMA DALAM PEMBENTUKAN PANDANGAN PERAN AGAMA
Oleh :
Heriberta Maharestusadhya
NIM : 089114135
Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 15 Juli 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Nama Lengkap
Tanda Tangan
Penguji I
: V. Didik Suryo Hartoko., M.Si.
….………..
Penguji II
: Dr. A. Priyono Marwan, S.J.
..……….
Penguji III
: Y. Heri Widodo, M.Psi
.…….………..
Yogyakarta,
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
HALAMAN MOTTO
Faith is a house with many rooms. There is a room of doubt on every floor. Doubts is useful to
keep faith as a living thing.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk keluarga lintas agama di Indonesia yang menjadi inspirasi bagi saya dan
menjadi diorama pluralisme nusantara.
Untuk Bapak, Ibu juga mas Dofi
–
keluarga yang jauh di mata tapi dekat di hati
yang penuh kesabaran dan dukungan.
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya milik orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 20 September 2013
Penulis,
vii
PENGALAMAN SOSIAL-PERSONAL INDIVIDU KELUARGA BEDA
AGAMA DALAM PEMBENTUKAN PANDANGAN PERAN AGAMA
Heriberta Maharestusadhya
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian fenomenologi deskriptif yang bertujuan melihat pandangan terhadap peran agama pada individu yang tumbuh dalam keluarga beda agama serta pengalaman sosial dan personal yang melatarbelakangi pandangan tersebut. Penelitian ini melibatkan 5 individu berusia 18-25 tahun yang tumbuh di tengah keluarga beda agama. Analisis data dilakukan dengan metode analisis tematik induktif. Penelitian ini menemukan 4 tema dalam pengalaman sosial, 3 tema dalam pengalaman personal dan 3 tema dalam pandangan terhadap peran agama. Penelitian ini juga menemukan hubungan antara pengalaman beragama dengan pandangan terhadap peran agama. Individu yang secara umum memiliki emosi positif dalam pengalaman beragamanya cenderung memandang agama berkaitan dengan diri, Tuhan, dan kehidupan sosial. Individu tersebut memandang bahwa agama dapat membantu perkembangan dirinya, agama dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan, dan agama dapat membantunya dalam dunia sosial. Individu yang secara umum memiliki emosi negatif dalam pengalaman beragama cenderung hanya memandang agama berkaitan dengan kehidupan sosial. Agama dipandang sebagai alat bantu sosial.
viii
SOCIAL-PERSONAL RELIGIOUS EXPERIENCE IN THE RELIGION
ROLE VIEW FORMATION ON INTER-RELIGION INDIVIDUAL
Heriberta Maharestusadhya
ABSTRACT
This descriptive phenomenological research aimed to see the view of religion role of individuals who grew in inter-religion family based on their social-personal experiences. This research involved five adults of eighteen to twenty five year old who raised in inter-religion family.. The data were analyzed using thematic analysis method. The research showed four themes at social experience, three themes at personal experience and three themes at religion role. The research also found out that individuals who have positive emotion in religious experience tend to see religion role relating to self, God, and social life. They see religion helped their self development, communicated their self to God, and helped them in social life. Individuals who generally have negative emotion on their religious experience tend to see religion role only relating to their social life. They see religion as a tool for their social life.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Heriberta Maharestusadhya
NIM : 089114135
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Pengalaman Sosial-Personal Individu Keluarga Beda Agama dalam
Pembentukan Pandangan Peran Agama
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 23 September 2013
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang sudah memberkati usaha
penulis sehingga mampu menyelesaikan tulisan ini. Karya ilmiah mengenai
pengalaman beragama individu yang tumbuh dalam keluarga beda agama ini
terinspirasi dari keluarga beda agama Indonesia yang berjuang di tengah
permasalahan sosial maupun personal. Semoga karya ini bisa kembali
memberikan inspirasi bagi keluarga lintas agama dan masyarakat luas.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak yang berperan
dalam pembuatan karya ilmiah ini. :
1.
Bapak V. Didik Suryo Hartoko.,M.si selaku dosen pembimbing skripsi serta
Dr. A. Priyono Marwan, S.J dan Y. Heri Widodo, M.Psi selaku dosen
penguji. Terima kasih atas bimbingannya dan selalu membantu saya
berpikir lebih kritis dalam mengerjakan skripsi saya.
2.
Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi.
3.
Ibu Ratri Sunar A., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi dan Ibu Sylvia
Carolina MYM., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memperhatikan anak bimbingan akademiknya, salut.
4.
Buat Bapak Ir. Paulus Sukartono dan Ibu Christiana Sri Pamintasih yang tak
lain adalah orang tuaku, terima kasih buat segala bentuk
support
yang
diberikan sampai mengantar aku ke titik ini. Buat kakakku Leudoficus
Apriadi Ismoyo Agni, SE yang entah bagaimana selalu membawa
xi
5.
Untuk harta karun duniaku yaitu sahabat-sahabatku Gita Dwiputri, Mario F.
Heimbach, Galuh Sekardhita, Elsa Isabella, Alfa Ridhian Anshary, Ristina
M.Sinurat. Juga untuk sahabat yang jauh di mata tapi dekat di hati Christine
Hermelina, Radite Aji Pamungkas, Pangestu Adi Wiyasa, Maryska Firyadi,
Alexandra Tiara, dan Emiliana Yolanda Primaningtyas. Kalian semua
menempati peran yang berbeda dalam kisah hidupku dan itu menjadi alasan
aku bersyukur pada Tuhan.
6.
Buat teman-teman yang menjadi
mood booster: Crew Masdha FM 2009,
Psynema, Footraffic, Puji Widjaya, Dicky Sugiyanto, Juwita Krisanti, Ellisa
Bryandhani, Wieana Oktami, Arisa theresia, Arafiani Difka, Rakyan Woro
Sinto, Manik Wikansari, Adita primasti dan masih banyak lagi
7.
Untuk teman satu bimbingan Budi hartono & Ellisa Bryandhanie, Ade
Marpaung, Osin, terima kasih dukungan dan kerja samanya.
8.
Untuk narasumber penelitian ini, Bunga, Mawar, Rosa, Kumbang dan
Gogon. Terima kasih atas sharing pengalaman kalian. I appreciated it.
9.
Semua pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terimakasih
atas semua dukungannya sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari keterbatasan karya tulis ini, maka dari itu penulis
terbuka dengan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya tulis ini
bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lain.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
...
i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
...
ii
HALAMAN PENGESAHAN
...
iii
HALAMAN MOTTO
...
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
...
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
...
vi
ABSTRAK
...
vii
ABSTRACT
...
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH
...
ix
KATA PENGANTAR
...
x
DAFTAR ISI
...
xii
DAFTAR TABEL
...
xv
BAB I. PENDAHULUAN
...
1
A.
Latar Belakang ...
1
B.
Rumusan Masalah ...
4
C.
Tujuan Penelitian ...
5
D.
Manfaat Penelitian ...
5
1.
Manfaat Teoritis ...
5
xiii
BAB II. LANDASAN TEORI
...
7
A.
Pandangan Umum Mengenai Agama...
7
1.
Agama sebagai Institusi ...
7
2.
Agama sebagai Pengalaman Pribadi ...
9
B.
Peran Agama bagi Kehidupan Manusia ... 13
C.
Faktor Sosial dan Personal yang Mendorong Perkembangan
Beragama... 14
1.
Faktor Sosial ... 19
2.
Faktor Personal ... 20
D.
Anak dalam Keluarga Beda Agama ... 21
E.
Kerangka Berpikir ... 24
F.
Pertanyaan Penelitian ... 25
BAB III. METODE PENELITIAN
...
26
A.
Jenis Penelitian ... 26
B.
Fokus Penelitian ... 27
C.
Subjek Penelitian ... 27
1.
Karakteristik Subjek ...
27
2.
Jumlah Subjek Penelitian ...
28
3.
Lokasi Penelitian ...
28
D.
Metode Pengumpulan Data ...
29
E.
Analisis Data ... 29
xiv
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
...
34
A.
Hasil Penelitian ... 34
1.
Subjek Satu (Bunga) ... 35
2.
Subjek Dua (Mawar) ... 45
3.
Subjek Tiga (Kumbang) ... 56
4.
Subjek Empat (Rosa) ... 70
5.
Subjek Lima (Gogon) ... 83
B.
Pembahasan ... 98
BAB V. PENUTUP
... 102
A.
Kesimpulan ... 102
B.
Keterbatasan Penelitian ... 102
C.
Saran ... 103
1.
Saran bagi Peneliti Selanjutnya ... 103
2.
Saran bagi Konselor maupun Orang Tua Keluarga Beda
Agama... 103
DAFTAR PUSTAKA
... 104
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kode dan Tema dalam Pengalaman Sosial ...
93
Tabel 2 Kode dan Tema dalam Pengalaman Personal ...
95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga beda agama menjadi pemandangan yang semakin sering kita
lihat di negeri ini. Meskipun data statistik pernikahan beda agama yang
mencakup seluruh wilayah di Indonesia belum tersedia, namun gambaran
jumlah keluarga beda agama di Indonesia dapat dilihat melalui beberapa
peneliti dan pemerhati keluarga beda agama di Indonesia yang melakukan
pendataan secara terpisah. Aini (2003) melakukan pendataan statistik di DIY
dan menemukan adanya peningkatan angka pernikahan beda agama dari tahun
1980 sampai dengan 2000. Pada tahun 1980 tercatat 15 pernikahan beda
agama dari 1000 kasus pernikahan. Pada tahun 1990 tercatat 19 pernikahan
beda agama dari 1000 kasus pernikahan. Pada tahun 2000 terdapat 12
pernikahan beda agama dari 1000 kasus pernikahan. Pencatatan lain dilakukan
oleh Nurcholis (2012) dan mencatat ada 77 pasangan beda agama yang
menikah pada tahun 2005-2007. Sedangkan Dinas kependudukan dan Catatan
Sipil (dalam Paryati & Dwinanda, 2011) mencatat sekitar 200 pasangan yang
menikah beda agama pada rentang tahun tahun 2007-2010.
Patsavos dan Joanides (dalam Shaffer, 2008) mengungkapkan bahwa
yang lebih banyak dan bervariasi dalam menumbuhkan lingkungan beragama
di rumah daripada pasangan satu agama. Bentuk tantangan lain yang
diungkapkan oleh Nurcholis (2012) yaitu adanya kekhawatiran yang muncul
baik dari pelaku maupun calon pelaku pernikahan beda agama. Kekhawatiran
tersebut yaitu kesahihan pernikahan secara hukum maupun agama, hubungan
dengan orang tua dan keluarga, konflik dalam rumah tangga, dorongan salah
satu pihak untuk menjadi satu agama, dan persoalan anak. Konflik yang
timbul dari perbedaan agama tersebut dapat membuat kehidupan rumah
tangga berubah (Kertamuda, 2009).
Selain masalah-masalah yang timbul pada pasangan itu sendiri,
perkawinan beda agama juga berdampak kepada anak-anak yang mereka
lahirkan (Surbakti,2009). Menurut Katz (2005), anak dan agama menjadi
topik yang seringkali sensitif dalam keluarga beda agama. Isu ini berpotensi
menjadi masalah terutama apabila topik ini selalu dihindari dan dibiarkan
menjadi ketidaknyamanan dalam diri anak maupun orang tua. Katz (2005)
mengatakan bahwa orang tua dan keluarga besar memiliki kecenderungan
untuk membawa anak mereka untuk menjadi ‘anggota‘ dalam agamanya. Hal
inilah yang berpotensi membawa ketegangan dan beberapa orang memilih
untuk menghindari topik tersebut. Menurutnya, membiarkan anak dengan
pertanyaan yang tidak terjawab atau dengan jawaban yang tidak memuaskan
akan mengakibatkan anak mengalami ketidakamanan identitas (identity
identitas yang dilakukan Coffin (2008) di Sandiago menunjukkan hasil yang
berkontradiksi dengan pendapat Katz (2005). Penelitian Coffin (2008)
menemukan bahwa agama bukanlah faktor paling penting yang berkontribusi
terhadap identitas mereka walaupun masing-masing dari respondennya
memiliki level pengajaran agama yang sama selama pertumbuhannya.
Para tokoh psikologis baik dari mazhab Psikoanalisis, Humanistik dan
Behavioristik setuju bahwa agama memegang peranan yang penting dalam
kehidupan manusia. Tokoh psikoanalitik, Freud dan Jung (dalam Crapps,
1993), mengatakan bahwa agama berfungsi untuk membantu mengurangi
tekanan dunia dan berperan postitif dalam kepribadian. Tokoh Behavioristik
Watson, Skinner dan Bandura (dalam Crapps, 1993) mengakui agama dapat
mengurangi ketegangan. Sedangkan tokoh Humanistik Frankl (dalam
Paloutzian, 1996) berpendapat bahwa agama memiliki fungsi pemenuhan diri.
Namun, peranan agama tersebut tidak ditemukan dalam penelitian Coffin
(2008). Coffin (2008) menemukan bahwa anak dari keluarga beda agama
hanya memandang agama secara dangkal dan menganggap agama hanya
sebagian dari kebudayaan, misalnya seperti festival natal.
Agama berperan penting dalam diri individu seperti keamanan
identitas dan mengurangi tekanan. Apabila individu (dalam hal ini anak dalam
keluarga beda agama) tidak dapat merasakan peran tersebut maka ada
itu, perlu untuk melakukan kajian mengenai pandangan individu terhadap
peran agama serta pengalaman yang melatar belakangi pandangan tersebut.
Pengalaman sosial dan personal dalam keagamaan membentuk
pandangan terhadap peran agama pada diri individu. pengalaman sosial
diperoleh dari lingkungan sosial seperti rumah, tempat ibadah, dan sekolah.
Paloutzian (1996) mengatakan bahwa lingkungan yang paling berperan pada
awal masa kehidupan individu adalah rumah dan komunitas keagamaan. Dari
lingkungan sosial ini individu mengimitasi nilai-nilai kehidupan dan
perilaku-perilaku lain termasuk perilaku-perilaku beragama. Sedangkan dalam pengalaman
personalnya, individu belajar untuk menjadi individu yang unik dan memiliki
jati diri yang stabil. Pengalaman sosial dan personal tersebut berdinamika dan
membentuk suatu pemahaman terhadap peran agama pada diri individu.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran di atas, rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1.
Apa pandangan terhadap peran agama bagi individu yang tumbuh
di keluarga beda agama?
2.
Apa pengalaman sosial dan personal apa yang melatarbelakangi
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pandangan individu yang
tumbuh di keluarga beda agama terhadap peran agama serta pengalaman
sosial dan personal apa yang melatarbelakangi pandangan tersebut
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
bagi ilmu perkembangan, konseling keluarga dan psikologi
agama.Penelitian ini akan memberikan gambaran bagaimana
pengalaman sosial dan personal individu membentuk pandangan
terhadap peran agama.
2.
Manfaat Praktis
Agama anak sering kali menjadi pertanyaan atas kekhawatiran
orang tua pelaku pernikahan beda agama. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran bagi masyarakat luas terutama keluarga
lintas agama di Indonesia tentang bagaimana anak yang tumbuh dalam
keluarga lintas agama memandang peran agama. Pembelajaran
mengenai pandangan peran agama serta pengalaman sosial dan
personal yang melatarbelakanginya diharapkan mampu memberikan
proses
transfer of knowledge terutama bagi keluarga lintas agama di
perkembangan agama anak. Selain itu penelitian ini diharapkan akan
membuka jalan peneliti lain untuk mempelajari kehidupan keluarga
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pandangan Umum Mengenai Agama
Secara garis besar, agama dapat dipandang melalui 2 dimensi yaitu
agama sebagai institusi dan agama sebagai pengalaman pribadi. Meskipun
demikian, penelitian ini akan berfokus pada dimensi agama sebagai
pengalaman pribadi. Dimensi ini dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk
melihat pengalaman dan pandangan individu dalam beragama.
1.
Agama sebagai Institusi
Baumeister dan Vohn (2007) mengatakan bahwa agama merujuk
pada bentuk pencarian suci yang terorganisasi secara sosial. Menurut
Crapps (1993), ilmuwan sosial memandang agama sebagai bentuk
institusional atau kelembagaan yang mencakup segala pengaturan dan
praktik yang dalam masyarakat telah dikaitkan dengan tradisi keagamaan.
Robert (dalam Crapps, 1993) menawarkan tiga tipe institusional atau
kelembagaan agama, yaitu:
a.
Tipe pertama (klasik) merupakan bentuk yang mencakup
lembaga utama yang sudah terbentuk lama bahkan selama
berabad-abad dan telah menjadi perwujudan nilai dan arti
kebudayaan kuno yang sudah mati (agama-agama di
Mesopotamia, Mesir, Yunani dan Romawi) dan yang masih
hidup seperti Islam, Kristen, Budha. Selain itu juga terdapat
bentuk yang lebih khusus lagi seperti islam Sunni atau Syiah,
Kristen Katholik atau Protestan, dan Budha Zen.
b.
Tipe kedua merupakan bentuk institusional agama terdiri dari
ungkapan atau perwujudan yang memiliki organisasi intern
tersendiri, tetapi bergerak lepas dari induk agama yang sudah
ada. Tipe ini memiliki sosok ajaran, ibadat dan organisasi yang
jelas, namun bentuk institusionalnya berbeda dari agama induk.
Theosofi dan Meditasi Transendental termasuk dalam tipe ini.
c.
Tipe ketiga merupakan bentuk institusional agama lebih tidak
jelas Karena tergantung pada struktur sosial yang sifatnya non
keagamaan sebagai perwujudannya. Dalam tipe ini ada nilai dan
kepercayaan yang pada umumnya tidak bisa disebut sebagai
agama namun secara aktif berperan sebagai agama pada
penganutnya. Jadi pada tipe ini vitalitas keagamaan dan bentuk
kehidupan politik melebur menjadi ―agama kemasyarakatan‖
(civil
religion).
Tipe
ini
berkaitan
dengan
semangat
2.
Agama sebagai Pengalaman Pribadi
Selain dipandang sebagai institusional, agama juga bisa dipandang
sebagai pengalaman pribadi. Salah satu cabang ilmu yang memandang
agama sebagai pengalaman pribadi adalah psikologi.
Masing-masing mazhab psikologi memiliki karakter tersendiri
dalam memandang agama. Meskipun demikian, mazhab-mazhab tersebut
sepakat bahwa agama merupakan pengalaman pribadi bagi tiap individu.
Berikut ini uraian pemikiran para tokoh psikologi terhadap agama mulai
dari mazhab Psikoanalisis, Humanistik dan Behavioristik.
a.
Pandangan Psikoanalisis terhadap Agama
Tokoh PsikoanalisisFreud (dalam Crapps, 1993) menganggap
agama sebagai gejala psikis. Ia melihat adanya hubungan yang erat
antara Tuhan dan Oedipus dan menganggap agama tidak ada
hubungannya dengan kenyataan melainkan khayalan yang diciptakan
dari kecenderungan masa kanak-kanak untuk mendapatkan kepuasan
dan keamanan. Freud (dalam Paloutzian, 1996) menganggap orang
beragama pada dasarnya infantile, insecure, dan unstable. Sedangkan
bagi tokoh analisis lain Jung (dalam Crapps, 1993), agama bukanlah
sisa sifat kekanak-kanakan manusia untuk dikeluarkan dan diobati
tetapi tempat berhubungan dengan kemampuan tertinggi kepribadian
ketidaksadaran kolektif. Dalam buku
Psychology & Religion,
Jung(1938) mengatakan:
Agama merupakan perilaku tertentu dari pikiran
manusia, yang bisa diformulasikan sesuai dengan
penggunaan asli istilah ‗religio‘, yaitu pemikiran dan
pengamatan cermat terhadap faktor dinamik tertentu,
dimengerti sebagai ‗power‘ roh, iblis, Tuhan, hukum,
ide, ideal, atau nama apapun yang diberikan oleh
manusia untuk suatu faktor yang dia anggap powerful,
berbahaya,
atau
cukup
membantu
untuk
dipertimbangkan secara cermat atau diagungkan,
indah, dan cukup berarti untuk dikagumi dan dicintai
secara tulus. (hal. 5)
Jung (dalam Paloutzian, 1996) menganggap manusia
memiliki kebutuhan tidak sadar untuk mencari dan menemukan
Tuhan dan agama memiliki peran yang positif dalam kepribadian.
Pendapat lain muncul dari tokoh Psikoanalisis generasi kedua Erich
Fromm (dalam Crapps,1993) yang berpendapat bahwa ada dua
konsep agama yaitu agama Authoritarian dan agama Humanistik.
Agama Authoritarian dianggap sebagai agama yang belum masak
dan dewasa karena melanjutkan begitu saja cara berpikir tentang
bapak yang menolong dan mengawasi. Sebaliknya, Crapps (1993)
mengatakan bahwa agama Humanistik memiliki sikap membebaskan
manusia agar menjadi diri sendiri dan hal itu merupakan tuntutan
terhadap agama dalam arti sebenarnya
b.
Pandangan Behavioristik terhadap Agama
Paloutzian
(1996)
mengatakan
bahwa
para
tokoh
Behavioristik setuju bahwa semua perilaku termasuk semua perilaku
keagamaan dipelajari melalui proses dasar
reward, punishment,
association, dan imitation. Kegiatan agama diulangi karena menjadi
faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan (Crapps,
1993).
c.
Pandangan Humanistik terhadap Agama
Mazhab Humanistik memiliki caranya sendiri dalam
memandang agama. William James (dalam Crapps, 1993)
berpendapat bahwa kesadaran merupakan kunci untuk mengetahui
pengalaman manusia, khususnya agama. Bagi James (dalam Crapps,
1993), ada tiga ciri yang mewarnai agama yaitu: pribadi (personal),
emosionalitas
(emotionality),
keanekaragaman (variety). James
pribadi (personal) dan menyimpulkan bahwa kesalehan batin, hati,
merupakan ungkapan keagamaan yang utama. James (dalam Crapps,
1993) juga percaya bahwa emosi keagamaan merupakan dasar bagi
para penganut agama untuk membangun struktur intelektual mereka
sehingga ia lebih terkesan pada emosi daripada dengan pemikiran
mengenai pengalaman keagamaan. Selain itu James (dalam Crapps,
1993) juga berpendapat bahwa keanekaragaman pengalaman
keagamaan praktis tak terbatas. Ia menganjurkan agar ―setiap orang
bertahan dalam pengalaman sendiri, apa pun pengalaman itu, dan
orang-orang lain membiarkannya tetap dalam pengalaman itu. Itulah
keadaan dan sikap yang terb
aik.‖ (James dalam Crapps, 1993
).
Tokoh Humanistik lainnya, Abraham Maslow (dalam Crapps, 1993)
menyadari bahwa agama-agama memiliki keanekaragaman tempat,
bahasa, atau faktor etnis kesukuan, namun agama-agama pada
prinsipnya sepakat dalam hal meningkatkan pengalaman puncak
B.
Peran Agama bagi Kehidupan Manusia
Aliran Psikoanalisis, Behavioristik dan Humanistik setuju bahwa
agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Dalam
kacamata Psikoanalisis Freud (dalam Crapps, 1993), agama merupakan
kekuatan yang hebat bagi manusia dan harus dinilai sebagai sarana yang
diterima masyarakat untuk menangani ketakutan, ancaman dan penderitaan
yang lewat cara-cara lain tidak mungkin ditanggung. Jung (dalam Paloutzian,
1996), juga menganggap agama memiliki peran positif dalam kepribadian
karena manusia memiliki kebutuhan tidak sadar untuk mencari dan
menemukan Tuhan. Agama membuka lubuk jiwa manusia, kerap dengan
kecerdasan dan keterarahan yang lebih hebat daripada pemahaman yang sadar,
dan wahana untuk membentuk lubuk jiwa manusia adalah arketipe (Crapps,
1993). Crapps (1993) mengatakan bahwa psikologi Behavioristik memandang
agama berfungsi sebagai perilaku yang mengurangi ketegangan. Sedangkan
tokoh Humanistik Frankl (dalam Paloutzian, 1996) menganggap agama
berfungsi memenuhi kebutuhan bawaan manusia untuk mencari arti. Secara
singkat Paloutzian (1996) mengatakan bahwa agama berfungsi sebagai
C.
Faktor Sosial dan Personal yang Mendorong Perkembangan Beragama
Paloutzian (1996) berpendapat bahwa arti agama bagi seseorang
berubah seiring dengan perkembangan dari anak-anak sampai dewasa seperti
halnya pendewasaan memodifikasi peran agama selama tahap perkembangan
dewasa. Harms (dalam Ploutzian, 1996) mengungkapkan tahap-tahap kognitif
yang dilalui individu dalam perkembangan agama. Tahap-tahap tersebut
adalah:
1.
Usia 3-6 tahun: tahap dongeng agama (the fairy tale stage of
religion). Pada tahap ini individu belum bisa membedakan antara
fantasi dan realita. Gambaran dan ide tentang Tuhan setara dengan
cerita raksasa, fabel, hantu, malaikat bersayap, dan
Santa Claus.
Figur-figur dalam agama tersebut berperan dalam menghadirkan
figur yang memberi imbalan maupun hukuman.
2.
Usia 7-12 tahun: tahap realistik (the realistic stage). Pada tahap ini
individu cenderung membuat konsep religius secara konkret.
individu mulai memandang fantasi tertentu sebagai hal konkret,
misalnya mulai menyadari bahwa
Santa Claus adalah fantasi dan
mampu memaknai simbol-simbol agama. Pada tahap ini individu
menyadari fungsi agama dalam konformitas sosial. Dengan
menggunakan simbol-simbol dan melakukan kegiatan keagamaan,
3.
Usia 13-18 tahun: tahap individualistik (the individualistic stage).
Pada tahap ini individu sudah memiliki pandangan agama yang
berbeda dengan individu yang lainnya. Harms (dalam Paloutzian,
1996) membaginya ke dalam 3 kategori yaitu konvensional,
mistikal dan kreatif. Pada tahap ini agama tidak lagi digunakan
untuk mendapatkan konformitas sosial tetapi lebih ke fungsi diri
sendiri.
Tokoh lain yang mengungkapkan tahap perkembangan kepercayaan
pada individu adalah Fowler. Fowler (dalam Cremers, 1995) membedakan
antara agama (religion),
belief, dan
faith.
Baginya,
faith jauh lebih
fundamental dan pribadi daripada
religion dan
belief.
Faith mendasari
belief
dan
religion. Fowler (dalam Cremers, 1995) mengatakan bahwa
faith
seringkali bersifat kepercayaan religius, namun tidak selalu dan mutlak.
Fowler (dalam Cremers, 1995) mencontohkan, seorang atheis pun memiliki
faith berupa mencari arti dan makna misalnya dalam bentuk konkrit seperti
akal budi manusia, karya sosial, ilmu pengetahuan, dan kesenian. Berdasarkan
pengertian tersebut, Fowler (dalam Crapps, 1995) membagi tahapan
perkembangan agama menjadi lima tahap, yaitu:
1.
0-2 th
: Tahap primal faith atau kepercayaan awal (elementer)
Tahap ini berfungsi untuk menciptakan suatu jaringan kuat
sejumlah relasi kepercayaan serta kesetiaan yang tidak dapat
diragukan. Hal ini penting untuk menanggulangi kontingensi
eksistensi yang menjelma dalam ketakutan fundamental akan
ketiadaan dan perasaan tentang rapuhnya segala sesuatu yang ada.
Segala pengalaman negatif yang menimbulkan rasa curiga dasar
ini dapat merajalela ke seluruh segi hidup, dan tentu saja dapat
mempunyai dampak negatif terhadap segala gambaran tentang
Allah.
2.
2-6 th
: Tahap kepercayaan intuitif-proyektif
Pada tahap ini individu baru mengenal bahasa dan
memiliki dorongan untuk menjelajah dunia barunya. Segala
pengalaman baru yang perseptif-afektif dan imajinatif ini diangkat
ke dalam medium bahasa untuk diekspresikan dan ―disadari‖.
Maka dari itu, pada tahap ini anak sering bertanya ‗apa‘ dan
‗mengapa‘ demi mencapai objektifitas.
Tahap ini berfungsi untuk
memperoleh pengetahuan yang benar dan objektif.
3.
6-11 th : Kepercayaan mistis-harfiah
Pada tahap ini individu tidak lagi memandang Allah dalam
konteks imajinatif melainkan dalam konteks antropomorf. Alah
digambarkan sebagai figur otoritas yang menciptakan
undang-undang dan terikat pada ―resiprositas‖ dan
fairness. Dengan
yang tak kenal kompromi. Hal ini mendorong individu untuk
berbuat baik demi memperoleh sesuatu yang baik pula, misalnya
berdoa supaya memperoleh pahala.
4.
12-18
: Tahap kepercayaan Sintetis-Konvensional
Pada tahap ini individu berlajar mengambil sudut pandang
orang ketiga. Individu mencoba saling mencocokkan diri dengan
nilai dan perspektif yang belum dipilihnya secara independen.
Formasi ideologi yang terbentuk pada tahap ini merupakan awal
bagi seseorang untuk mengkombinasikan nilai dan kepercayaan.
5.
18-35
: Tahap kepercayaan Individutif-reflektif
Tahap ini menghasilkan diri yang membentuk identitasnya
sendiri dan mengadopsi pandangannya sendiri serta mengakui diri
yang terpisah dari orang lain.
6.
35- dst : Tahap kepercayaan konjungtif
Pada tahap ini individu kembali meninjau dirinya secara
raikal sehingga batas-batas diri, kepribadian, dan pandangan hidup
yang sebelumnya telah ditetapkan, sekarang menjadi kabur.
Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai kepastian melainkan
relatif. Suatu hal tidak pasti benar atau salah, bahkan pada agama
7.
30- dst : Tahap kepercayaan universal
Tahap ini jarang terjadi dan terutama hanya muncul pada
tokoh besar di sejarah agama. Orang yang masuk tahap ini
memiliki ciri yang mirip dengan manusia matang namun, mereka
melampaui dirinya menuju kedalaman transendensi yang bukan
manusiawi dan alamiah.
Paloutzian (1996) mengamati teori-teori perkembangan agama milik
Harms (dalam Brown, 1973) dan Fowler (dalam Creswel, 1995) dan
mengambil garis besar bahwa setidaknya ada tiga tipe proses psikologis yang
berinteraksi mendorong perkembangan agama, terutama pada remaja. Faktor
psikologis itu adalah kognitif, faktor sosial, dan faktor personal. Sedangkan
pada anak yang lebih muda, faktor yang berinteraksi adalah kognitif dan
faktor sosial.
Perubahan kemampuan kognitif selama perkembangan manusia
mempengaruhi individu dalam memahami agama. Paloutzian (1996)
menggunakan teori perkembangan moral Piaget untuk menjelaskan
perkembangan agama pada anak. Menurut Paloutzian (1996), faktor kognitif
mempengaruhi pemahaman anak terhadap agama seperti perkembangan
bahasa dan imajinasi. Sedangkan selama masa remaja, individu berkembang
ke tahap operasional formal yang membuat remaja secara mental mampu
mengkonseptualisasikan hal abstrak yang diperlukan untuk memahami
kognitif bersifat normatif sehingga tidak akan dibahas lebih lanjut dalam
penelitian ini.
1.
Faktor Sosial
Individu memiliki lingkungan sosial yang mempengaruhi
kehidupan beragamanya. Pengalaman yang didapat dari lingkungan sosial
tersebut mempengaruhi pandangan dan kehidupan beragamanya.
Paloutzian (1996) mengatakan Faktor sosial utama yang berpengaruh
pada perkembangan agama anak adalah keluarga dan gereja (dalam hal
ini diartikan sebagai komunitas keagamaan), sedangkan pada remaja
muncul faktor sosial baru seperti teman sebaya dan sekolah. Ragg (2006)
berpendapat bahwa anggota keluarga melalui hubungannya dengan
institusi budaya, membentuk sistem nilai anak mereka. Anak
mengobservasi peran institusional, prioritas pengasuhan, dan
cost-benefit
antara keluarga dan institusi budaya dan sejak usia yang sangat muda,
anak-anak memutuskan seberapa pentingnya institusi dan nilai yang
berkaitan dalam hidup mereka. (Ragg, 2006). Noller dan Fitzpatrick
(1993) mengungkapkan hal yang senada, menurut mereka salah satu tugas
orang tua adalah mensosialisasikan anak mereka untuk menjadi anggota
bertahun-tahun dan berbagai variasi perilaku (misalnya makan dengan
mulut tertutup, mencintai Tuhan, jangan menyakiti orang lain, dsb).
2.
Faktor Personal
Menurut Paloutzian (1996), Individu pada usia remaja memiliki
banyak pertanyaan berkaitan dengan konsep individualitas dan identitas.
Konsep individualitas merujuk pada proses menjadi diri yang terpisah,
sedangkan identitas merujuk pada proses berkembangnya definisi diri
yang stabil. Proses yang dialami individu ini akan menghasilkan
dorongan pribadi untuk menemukan solusi dari isu tersebut. Fase ini lah
yang mendewasakan individu dan mengembangkan individu untuk
menjadi pengambil keputusan yang mandiri baik terhadap agama maupun
isu lainnya (Paloutzian, 1996).
Pada orang dewasa dan usia lanjut, perkembangan agama tidak
berhenti begitu saja (Paloutzian, 1996). Menurut Paloutzian (1996)
konteks dan fungsi spiritual seseorang kemungkinan akan berubah
D.
Anak dalam Keluarga Beda Agama
Dalam penelitian ini, istilah anak merujuk pada individu yang
menempati peran anak dalam keluarga sehingga tidak bisa diartikan secara
sempit sebagai individu berusia dini. Persoalan anak menjadi pertanyaan yang
sering muncul dalam kasus keluarga beda agama. Nurcholis (2012)
menemukan banyak pertanyaan seputar anak dari beberapa pelaku pernikahan
beda agama. Pertanyaan yang muncul adalah mengenai pendidikan agama
anak, dan pilihan agama anak. Sebagai contoh, Shinta yang merupakan salah
satu responden Nurcholish (2012) khawatir fondasi keyakinan agama anak
menjadi labil/ tidak kuat/ hanya setengah-setengahapabila anak-anak sering
melihat ritual agama orang tua yang berbeda.
Metode yang dilakukan orang tua dalam mendidikagama anak
berbeda-beda. Ada orang tua yang memilih untuk mendidik anak dengan
agama tertentu dan ada pula orang tua yang memilih untuk mendidik anak
dengan demokratis. Nonnie, salah seorang responden dalam wawancaraJibi
(2011), sejak awal membuat kesepakatan dengan suaminya untuk mendidik
anaknya dengan ajaran agamanya. Sedangkan, Nurcholish (2012) sebagai
pemerhati sekaligus pelaku pernikahan beda agama, memilih untuk
menyerahkan sepenuhnya agama apapun yang ingin dipeluk oleh
anak-anaknya setelah dewasa kelak karena baginya yang penting bukan agama apa
melainkan bagaimana mereka beragama. Nurcholis (2012) mencantumkan
anak-anaknya ke dalam sekolah Kristen, kemudian ia juga mengenalkan
agama yang dipeluknya (Islam) dan agama istrinya (Kong Hu Chu).
Retno (dalam Jibi, 2011) mengatakan bahwa dalam usia pertumbuhan,
anak-anak yang hidup di keluarga berbeda keyakinan tentunya akan merasa
kebingungan dengan dua ritual keagamaan yang terjadi di dalam
keluarganya.Informasi dan pengertian dari orang tua kepada anak mengenai
agama memegang peranan yang penting karena seperti yang dikatakan oleh
Paloutzian (1996), keluarga dan komunitas keagamaan merupakan dua faktor
sosial utama selama usia anak-anak. Apabila pertanyaan anak tidak terjawab
atau dijawab dengan tidak memuaskan, anak akan mengalami ketidakamanan
identitas (Katz, 2005)
Dalam hal pemilihan agama, penelitian Surbakti (2009) menemukan
adanya perbedaan sikap dalam memilih agama pada anak dari keluarga beda
agama. Surbakti (2009) menemukan bahwa sebagian besar individu yang lahir
dari perkawinan beda agama memiliki agama yang berbeda dengan orang
tuanya, sedangkan sebagian lagi mengikuti agama salah satu orang tuanya.
Pemilihan agama didorong oleh beberapa faktor. Surbakti (2009)
mengatakan bahwa di samping keinginan dari dalam diri sendiri, ada
faktor-faktor dari luar diri mereka yang mempengaruhi terjadinya pemilihan agama
tersebut seperti: peran ayah, peran ibu, peran orangtua angkat, hubungan
Ningsih (2008) juga menunjukkan ada dua faktor yang mempengaruhi anak
dari pasangan beda agama dalam pengambilan keputusan beragama, yaitu:
a. faktor dari dalam individu yaitu yang berupa keyakinan dan
kebiasaaan.
a.
faktor dari luar yang meliputi keluarga, teman sebaya, lawan jenis,
lingkungan tempat tinggal, ketertarikan terhadap lawan jenis, orang
lain bahkan pengalaman.
Dalam proses pemilihan agama, anak melewati beberapa tahapan.
Berikut ini adalah tahapan yang dilalui anak dalam melakukan pemilihan
agama menurut Ningsih (2008):
a.
pencarian informasi mengenai agama-agama yang merupakan
alternatif pilihan.
b.
Konsultasi terhadap orang lain sebelum mengambil keputusan
untuk memilih suatu agama.
c.
Memilih suatu agama sebagai alternatif yang terbaik.
d.
Terjadi konversi agama.
e.
Menyampaikan hasil keputusan kepada orang lain.
f.
Melaksanakan keputusan yaitu menjalankan perintah agama.
g.
Mengevaluasi yaitu selalu memperbaiki kekurangan dengan terus
belajar megenai agama yang dipilih.
Individu yang mengambil keputusan beragama memiliki konsekuensi
perubahan sikap ke arah yang positif seperti menghormati dan menghargai
pemeluk agama lain, tenggang rasa, merasa semakin mantap dalam beragama,
rajin berdoa dan beribadah. Sedangkan menurut Katz (2005), anak akan
merasa bersalah ketika mereka memilih agama. Perasaan ini bisa muncul
terutama apabila ia mencintai ayah / ibunya secara seimbang sehingga anak
akan merasa menyakiti orang tua mereka ketika memilih suatu agama (Katz,
2005).
E.
Kerangka Berpikir
Pengalaman Sosial Keluarga inti Keluarga besar Sekolah
Rumah ibadahPandangan terhadap Peran Agama
Pengalaman Personal individualitas
identitasImitasi perilaku keagamaan dan nilai agama dari lingkungan sosial
Berpikir secara independen dan bervariasi
F.
Pertanyaan Penelitian
1.
Apa pandangan terhadap peran agama bagi individu yang tumbuh di
keluarga beda agama?
2.
Apa pengalaman sosial dan personal apa yang melatarbelakangi
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Demi menjawab pertanyaan penelitian ini, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menemukan hal
yang tidak dapat diperoleh melalui prosedur statistik atau kuantifikasi lain
(Strauss dan Corbin dalam Basrowi dan Suwandi, 2008). Penelitian kualitatif
mengeksplorasi masalah sosial atau manusia dalam
settingalami dan peneliti
menyusun laporan detail dari informan mengenai pandangan kompleks,
gambaran holistik dan analisa kata (Creswell, 1997). Penelitian kualitatif
mampu melihat suatu fenomena secara utuh, menyeluruh dan mendalam
karena mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan dan faktor eksternal
lain yang ikut mempengaruhi responden dalam penelitian (Poerwandari,
2007).
Metode penelitian
yang digunakan peneliti adalah metode
fenomenologi. Menurut Smith (2009), fenomenologi bertujuan untuk
menangkap sedekat mungkin bagaimana sebuah fenomena dialami serta
berusaha menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam suatu
fenomena melalui contoh yang hidup. Tujuan fenomenologi yang
melihat pengalaman beragama individu serta melihat pandangan terhadap
peran agama yang dimiliki individu.
B.
Fokus Penelitian
Fokusdari penelitian ini adalah untuk melihat pandangan terhadap
peran agama pada individu yang tumbuh dalam keluarga beda agama. selain
itu penelitian ini juga melihat pengalaman sosial dan personal dalam
beragamayang melatarbelakangi pandangan tersebut.
C.
Subjek Penelitian
1.
Karakteristik Subjek
Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik
tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah :
a.
Wanita atau pria yang tumbuh dalam keluarga beda agama
b.
Berusia lebih dari 18 tahun.
Pemilihan usia ini berdasarkan tahap perkembangan
yang diungkapkan oleh Harms (dalam Paloutzian, 1973)
bahwa sejak berusia 13 tahun, individu memiliki variasi
interpretasi
yang
luas
terhadap
agama
mulai
dari
konvensional, kreatif sampai mistikal. Pendapat lain
di atas 18 tahun memiliki struktur berpikir operasional formal
dan memiliki kesadaran tentang identitas diri yang khas dan
otonomi tersendiri dimana refleksidiri tidak seluruhnya
bergantung pada pandangan orang lain. Dengan kata lain,
individu di atas18 tahun sudah mampu merefleksikan
pengalamannya dan mampu menginterpretasikan agama
secara bervariasi dan independen.
2. Jumlah Subjek Penelitian
Subjek yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah lima orang.
Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan pengetahuan peneliti terhadap
latar belakang subjek. Peneliti sudah mengenal subjek sebelum penelitian
berlangsung dan sudah mengetahui latar belakangnya. Kemudian subjek
lain dipilih berdasarkan rekomendasi dari subjek sebelumnya karena
dianggap memenuhi kriteria subjek penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Yogyakarta sesuai dengan domisili subjek.
Lokasi pengambilan data disesuaikan dengan permintaan subjek. Dengan
demikian diharapkan dapat membuat subjek lebih nyaman dalam
D.
Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dengan pedoman
umum. Menurut Patton dalam Poerwandari (2005), peneliti yang
menggunakan metode wawancara ini dilengkapi dengan pedoman wawancara
yang sangat umum mengenai isu-isu yang akan digali tanpa bentuk
pertanyaan yang eksplisit dan urutan pertanyaan. Pelaksanaan wawancara dan
pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks
wawancara yang sebenarnya (Basrowi dan Suwandi, 2008).
Wawancara model ini dipilih karena dapat membantu peneliti berfokus
pada fokus penelitian tanpa membatasi perkembangan alur cerita sehingga
subjek lebih nyaman dalam bercerita. Poerwandari (2005) mengatakan bahwa
wawancara model ini bisa berbentuk wawancara terfokus dimana wawancara
mengarahkan pembicaaraan pada hal-hal / aspek-aspek tertentu dalam
kehidupan/pengalaman subjek namun model wawancara ini juga tidak
menutup kemungkinan munculnya hal-hal baru dalam wawancara yang bisa
memperkaya pemahaman terhadap pengalaman.
E.
Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik
induktif. Menurut Braun dan Clarke (2006), analisis tematik adalah sebuah
metode untuk mengidentifikasi, menganalisis dan melaporkan pola (tema)
mampu menggambarkan data yang kaya akan detail dan mampu
menginterpretasikan berbagai aspek dari topik penelitian. Analisis tematik ini
juga dikenal sebagai metode yang fleksibel serta tidak membutuhan banyak
detail teoritis maupun pengetahuan sebelumnya mengenai topik yang akan
diteliti (Braun dan Clarke, 2006). Analisis tematik lebih dari sekedar
menghitung kata-kata atau frase eksplisit dan fokus dalam mengidentifikasi
dan mendeskripsikan ide implisit maupun eksplisit dari data, yaitu tema (Greg
danVohs, 2012)
Taylor dan Bogdan (dalam Aronson, 1994) mendefinisikan tema
sebagai unit-unit yang berasal dari pola seperti topik percakapan, kosa kata,
perilaku berulang, makna, perasaan, atau cerita rakyat dan peribahasa.
Sedangkan
Boyatzis
(dalam
Fereday
dan
Muir-Cochrane,
2006)
mendefinisikan tema sebagai pola informasi yang minimal menggambarkan
dan mengatur kemungkinan observasi dan maksimal menafsirkan aspek dari
fenomena tersebut. Tema menangkap sesuatu yang pentingdari data yang
berkaitan dengan pertanyaan penelitian, dan merepresentasikan beberapa
tingkat respon berpola atau makna dalam kumpulan data (Braun & Clarke,
2006). Tema diidentifikasikan dengan mengumpulkan komponen atau
fragmen-fragmen ide atau pengalaman, yang sering kali tidak memiliki arti
ketika dilihat secara terpisah (Leininger dalam Aronson, 1994). Jadi, tema
bisa diartikan sebagai kumpulan dari informasi-informasi kecil yang didapat
Analisis induktif adalah sebuah proses pengkodean data tanpa
mencoba mencocokan dengan kerangka kode yang sudah ada sebelumnya,
atau dengan konsep analisis peneliti sebelumnya (Braun dan Clarke, 2006).
Patton (dalam Braun dan Clarke, 2006) mengatakan bahwa pendekatan
induktif berarti tema yang telah diidentifikasikan berkaitan erat dengan data
itu sendiri. Jadi, peneliti akan mencari tema yang berkaitan dengan fenomena
yang diteliti dengan membaca data berulang-ulang kali dan tidak terpaku
dengan tema yang sudah didapat dari penelitian atau teori terdahulu.
Tahapan dalam analisis data dilakukan berdasarkan tahapan analisis
tematik menurut Braun dan Clarke (2006). Tahapan dalam melakukan analisis
tematik tersebut yaitu:
1. Membiasakan diri dengan data
2. Membuat kode awal
3. Mencari tema
4. Review tema
5. Mendefinisikan dan memberi nama tema
6. Membuat laporan
Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti melakukan tahap-tahap
penelitian seperti berikut. Langkah awal dalam analisis, membiasakan diri
dengan data dilakukan dengan cara membaca transkrip data secara
berulang-ulang sehingga peneliti terbiasa dengan data. Pada langkah kedua yaitu
berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Pada langkah ketiga yaitu
membuat tema, peneliti mulai mengelompokkan kode-kode yang tampak
serupa. Kemudian pada langkah keempat yaitu review tema, peneliti melihat
kembali apakah kode-kode yang telah dikelompokkan tadi sudah masuk ke
kelompok yang tepat. Setelah peneliti yakin dengan pengelompokkan
tersebut, peneliti memberi nama kelompok-kelompok kode itu menjadi
tema-tema. Pada tahap mendefinisikan dan memberi nama inilah tema secara resmi
terbentuk. Pada tahap akhir, peneliti akan membuat laporan penelitian yaitu
dengan cara menyusun laporan secara tertulis tentang temuan tema dalam
penelitian ini. Tahap-tahap analisis tematik induktif ini dapat dilihat secara
lebih rinci dalam lampiran.
F.
Kredibilitas Penelitian
Poerwandari (2005) mengatakan bahwa kredibilitas merupakan istilah
yang digunakan untuk mengganti konsep validitas dalam penelitian kualitatif
dan bertujuan untuk merangkum bahasan menyangkut kutalitas penelitian
kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai
maksud dan mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses
kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005).
Penelitian ini menggunakan validitas yang disebut Poerwandari sebagai
validitas komunikatif dan validitas argumentatif. Validitas komunikatif
responden penelitian sedangkan validitas argumentatif tercapai bila presentasi
temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat
dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah (Poerwandari, 2005).
Peneliti melakukan validasi komunikatif dengan meminta subjek untuk
membaca hasil verbatim untuk mengkonfirmasikan informasi yang didapat
dari proses wawancara sehingga subjek dapat mengkonfirmasi informasi yang
diterima secara bias oleh peneliti. Selain itu peneliti juga melakukan validasi
argumentatif dengan cara berkonsultasi dan berdiskusi dengan rekan peneliti
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara
terhadap 5 orang subjek. Subjek dari penelitian ini adalah Bunga, Mawar,
Kumbang, Rosa dan Gogon.
Melalui analisis tematik, penelitian ini menemukan10 tema. Penelitian ini
menemukan 4 tema dalam pengalaman sosial, 3 tema dalam pengalaman
personal dan 3 tema dalam pandangan terhadap peran agama pada individu yang
tumbuh dalam keluarga beda agama. Tema dalam aspek pengalaman sosial
adalah: keluarga besar, keluarga inti, sekolah, dan tempat ibadah. Tema dalam
aspek pengalaman personal adalah: kebutuhan, sikap dan emosi. Sedangkan tema
yang ditemukan dalam aspek pandangan terhadap peran agama adalah: agama
berkaitan dengan diri, agama sebagai alat berkomunikasi dengan Tuhan dan
agama berkaitan dengan kehidupan sosial.
Masing-masing individu memiliki keunikan tersendiri dalam pengalaman
beragama dan pandangan mereka terhadap peran agama. Dalam bagian berikut
1.
Subjek Satu (Bunga)
a.
Profil Subjek
Subjek pertama bernama Bunga. Saat pengambilan data dilakukan,
Bunga berusia 22 tahun dan masih menjadi mahasiswi di Universitas Sanata
Dharma. Bunga merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dan memiliki
orang tua yang berbeda agama. Ibu subjek beragama Islam sedangkan ayah
subjek beragama Kristen.
b.
Pengalaman Sosial
Tema dalam pengalaman sosial Bunga adalah keluarga besar,
keluarga inti, lingkungan sekolah dan tempat ibadah. Pada awalnya,
pernikahan orang tua Bunga pernah mendapat tentangan dari keluarga besar.
Namun demikian pada akhirnya keluarga besar dari ayah dan ibu bisa
menerima pernikahan mereka. Saat ini hubungan antara kedua keluarga
besar terjalin dengan baik begitu juga hubungan keluarga inti Bunga dengan
keluarga besar terjalin baik. Saat hari raya, Bunga dan keluarga kecilnya
bersilaturahmi ke keluarga besar baik ayah dan ibu.
―meskipun mereka awalnya agak kurang menerima, tapi juga tidak
memberikan perlakuan yang berbeda kok, gitu. Ke aku, atau ke
sodara-sodara yang lain malah.. malah kesannya itu kayak mmh..
aku, kakakku, dan adikku nih cucu-cucu yang e.. apa ya? Diperhatiin
lebih. Gitu.. dan perlakuan yang berbeda sih yang aku liat nggak
ada.‖ (
54).
juga paling Cuma ke rumah mbah, trus ngucapin met natal, udah,
udah biasa aja.‖
(28)
Perbedaan agama di dalam keluarga inti Bunga menjadi hal yang
tabu untuk dibicarakan. Orang tua Bunga bahkan tidak pernah memberitahu
Bunga tentang perbedaan agama yang mereka miliki.
―Bahkan, kayaknya aku baru tahu kalo mereka beda agama itu..
udah agak besar kok. Gara-gara nggak sengaja lihat KTP atau apa
gitu. Karena tadinya kupikir, tadinya mereka sama, gitu bapak sama
ibu. dan cuma keluarga dari mbah doang yang beda. Gitu..
‖ (
66)
Topik agama merupakan topik yang sensitif di keluarga sehingga
Bunga merasa tidak nyaman untuk mendiskusikan dengan keluarga.
―karena kami juga nggak terbiasa untuk terbuka hal
-hal yang
—
itu
mungkin masih sensitif gitu, jadi, mmh.. nggak diomongin. Dan kami
pun nggak berusaha menanyakan itu..‖ (
32)
Bunga dan saudara sekandungnya telah ditetapkan sebagai seorang
Kristen sejak mereka kecil. Meski demikian, ia tidak merasa mendapatkan
bimbingan beragama dari orang tuanya. orang tua Bunga tidak ada yang
melaksanakan kegiatan keagamaan dan tidak terlibat dalam pendidikan
agama Bunga.
Kedua orang tua juga tidak rajin melakukan kegiatan keagamaan. Ibu
Bunga tidak pernah terlihat menjalankan kegiatan keagamaan apapun
sedangkan ayah Bunga juga jarang pergi ke gereja.
―maksudnya untuk hal
-hal yang apa namanya? E.. ritual keagamaan
kayak sholat segala macem, itu uda nggak gitu.‖ (
30)
―Enggak. Karena mungkin, kalo menurut aku, e.. basic
keagamaannya dari keluarga dia sendiri itu juga tidak terlalu
ditekankan kan.. jadi, mungkin juga karena e.. kurang diarahkan
sama mbah mungkin ya? Jadi kayak, jadi kayak.. ya udah menurun
aja gitu ke anaknya..‖ (
46)
Bunga mendapatkan pengetahuan agama dari lingkungan lain. Ketika
kecil ia pergi ke gereja ketika ada kegiatan di sekolah atau ketika ada acara
bersama keluarga besar.
―Seingetku, waktu SD itu aku ke gereja kalo di sekolah ada event
gereja. Jadi misal kayak, kan sekolahku dulu kan katholik nih. Jadi
setiap minggu ke berapa itu kan pasti yang ada acara apa sih di
gereja katholik gitu kan? Nah, paling itu.. cuman selebihnya,
seingetku nggak pernah sih waktu kecil, kecuali kalo rame-rame
keluarga besar. Gitu.. kalo yang satu rumah, kayaknya nggak pernah
deh.‖ (44
)
Lingkungan yang sangat berperan dalam perkembangan agama
Bunga adalah lingkungan sekolah. Bunga masuk ke SMP Negeri dan
bertemu dengan guru agama yang menyenangkan lalu kemudian ia
berkenalan dengan komunitas keagamaan. Di Komunitas ini lah Bunga
mendapatkan banyak pengetahuan dan merasa bertumbuh bersama anggota
―kebetulan juga dapet guru agama yang menyenangkan, gitu, jadi
aku mendapatkan hal-hal yang sebe
lumnya aku nggak tahu gitu..‖
(74).
c.
Pengalaman Personal
Tema yang terdapat dalam pengalaman personal Bunga adalah
kebutuhan, sikap, dan emosi. Kebutuhan yang tampak dari hasil wawancara
adalah kebutuhan untuk dibimbing secara keagamaan dan kebutuhan akan
pengetahuan keagamaan. Sikap Bunga yang tampak adalah terlibat dalam
komunitas keagamaan, mendalami agama, berharap anggota keluarga yang
lain ikut beribadah, dan terbuka dengan pilihan agama ibu. Sedangkan emosi
Bunga yang tampak adalah kebingungan, rendah diri, tidak tahu apa-apa,
bertumbuh dan mantap, serta merasa bersalah dengan ibu.
Bunga sempat merasa bahwa dirinya tidak memiliki pengetahuan
apapun tentang agamanya. Kurangnya pengetahuan agama membuat Bunga
merasa kebingungan. Bunga bingung dengan ketidaksesuaian agama dirinya
dengan agama keluarga besar (dari pihak ibu) yang saat itu merupakan
lingkungan terdekatnya. Bunga juga kebingungan untuk bersikap sebagai
seorang Kristen karena ia tidak memiliki pengetahuan itu. Selain itu,
kurangnya pengetahuan agama membuat Bunga minder karena dibandingkan
teman-teman yang lain dia paling tidak mengerti apa-apa. Menurut Bunga,
yang ia butuhkan adalah kepastian akan apa yang seharusnya ia lakukan
―mungkin karena aku nggak ngerti apa
-apa itu makanya aku
bingung gitu..‖ (
84)
―jadi sebenernya pengetahuan aku tuh sangat amat minim kecuali di
sekolah. Gitu... sedangkan lingkungan yang istilahnya selalu ada
buat aku itu muslim gitu kan.. jadi kadang tuh yang ―hah? Hah?
Gimana sih ini?‖ (
60)
―ya dari awal yang aku butuhkan kepastian itu gitu.. jadi kayak, kan
sebelumnya aku yang nggak ngerti apa-apa, gitu kan.. aku mesti
yang kayak gimana sih? Cara, cara buat, cara doa yang bener
gimana? Terus eh... pokoknya hal-
hal yang rohani kayak gitu,‖
(84)
―sebetulnya sih awal
-awal tuh yang ngerasa ya ampun aku minder
bangeet.. maksudnya di antara orang-orang yang lain tuh kayaknya
aku yang paling nggak ngerti apa-
apa..?‖(74)
Kegiatan beragama dalam komunitas keagamaan membuat Bunga
merasa bertumbuh dan lebih mantap. Komunitas keagamaan memenuhi
kebutuhan Bunga untuk mendapatkan pengetahuan tentang agama.
Komunitas juga membentuk perilaku Bunga dalam melaksanakan kegiatan
beragama. Hal ini membuat Bunga merasa lebih mengenal agamanya dan
lebih mantap.
―nah, inilah kenapa aku beruntung.. aku bersyukur waktu SMP sama
SMA aku masuknya ke Negeri.‖
(74)
―trus ketika mulai
ketemu komunitas, dibimbing dan segala macem
tuh aku jadi kayak dapet eh... o ternyata gini, gini, gini.. dapet ilmu
pengetahuan baru.. trus eh.. dapet pola kehidupan yang baru
juga..‖
(84)
―aku udah tahu nih aku harus ngapain. Aku udah tahu nih.. e..
sebenernya yang harus aku lakukan sebagai seorang Kristen yang
baik tuh seperti apa. Nah, karena aku udah tahu itu jadi aku lebih,
lebih mantep gitu.. lebih oh udah tau, oh udah tahu..‖ (
84)
hal-hal yang aku alami ketika aku sama.. aku bertumbuh bersama
orang-
orang lain yang ada dalam komunitas itu..‖
(80)
Saat ini Bunga juga terlibat secara aktif dalam kegiatan keagamaan di
komunitas keagamaan. Bunga terlibat dalam pendampingan iman anak,
kelompok tari dan menjadi pengiring musik di gereja.
―Eeem.. banyak sih beberapa, kayak e ngajar sekolah minggu, terus,
ee, ikut kayak se
macem kelompok tari..‖ (108
)
―E‘eh.. jadinya kayak, apa ya? K
alo di sekolah jadi kayak ekskul kali
ya.. jadi komunitas-komunitas gitu lho.. komunitas e..ku ikut yang
dance. Terus sama beberapa kali ikut ngisi ini sih.. ngiringin
kebaktian (b
ermain musik). Gitu..‖ (110
)
Ketika sudah merasa lebih yakin dengan agamanya, Bunga berharap
anggota keluarga yang lain juga menjalani kegiatan keagamaan terutama
bagi ibu dan adiknya. Bunga sempat mengkhawatirkan perasaan ibunya yang
belum jelas keagamaannya.
―Aku mikir sih.. aduh ini baik
-
baik aja nggak sih? Kayak gitu..‖
(94)
―Aku sih pernah kepikiran. Jadi kayak mikir eh.. nyadar bahwa e
ibu ni satu-satunya yang maksudnya belum masuk gitu. Eh.. ngerasa
gimana gak ya kalo ketiga anaknya nih semuanya ke kristen.‖ (
94)
Bunga berharap ibunya memilih agama dan menjalankan kegiatan
agama tersebut. Bunga memiliki harapan agar ibunya memeluk agama
Kristen namun dia merasa tidak enak untuk mengajaknya masuk Kristen.
Akhirnya diaberpikir bahwa yang terpenting adalah sejauh mana seseorang
menghayati agamanya dan bukan apa label agamanya. Maka Bunga terbuka
―kakakku dan aku juga untuk membawa ibu lebih mengenal tentang
agama.. ke agama kristen juga gak, agak gak enak. Kecuali sering
ngajak ke gereja aja. Gitu.. (106)
―aku ee.. sangat
-sangat mm.. apa ya bilangnya? Sangat-sangat
menerima apapun lah.. apapun yang di putuskan.‖
(94)
― klo memang dia memi