t i k e t k e r e t at o k o b a g u sb e r i t a b o l a t e r k i n ia n t o n n bA n e k a K r e a s i R e s e p M a s a k a n I n d o n e s i ar e s e p m a s a k a nm e n g h i l a n g k a n j e r a w a tv i l l a d i p u n c a kr e c e p t e nb e r i t a h a r i a ng a m e o n l i n eh p d i j u a lw i n d o w s g a d g e tj u a l c o n s o l ev o u c h e r o n l i n eg o s i p t e r b a r ub e r i t a t e r b a r uw i n d o w s g a d g e tt o k o g a m ec e r i t a h o r o r
1. Dr. drh. I Wa yan Batan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali-Indonesia
1. Dr. drh. T jok . G de Ok a Pe ma yun, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
2. Prof. Dr. drh. Ny o man Mant ik Asta wa, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali-Indonesia
3. Prof. Dr. drh. I wan Harja Uta ma, Progam Magister Kedokteran Hewan, Program Pascasarjana, Universitas
Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia
4. Dr. drh. Ketut Suatha, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali-Indonesia
5. Prof. Dr. drh. I Ny o man Suar sana, Lab. Biokimia FKH Unud, Denpasar, Indonesia
6. Dr. drh Wa yan Suardana, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
7. drh. Tjo k Sar i N in dh ia, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
1. Yulia Nugraha, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
2. Moch. Fa q ih A mrulah, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
3. Moch. Gha iz Abr ians yah, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
4. Saifu l Ak bar, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
5. Lidya Nof antri, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
6. Hanif Wahyu W ib ison o, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
7. Cyrilus Jeffers on B our, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
8. Yusuf R is ka A lha mdhan i, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia
Faktor Re s ik o Infek s i E scher ichia c o li O157 :H7 pada Ternak Sap i Ba li d i
Abian sema l, Badung , Ba li.
Eva Damayanti, I Made Sukada, I Wayan Suardana
Dos is Aman Paraseta mo l Terhadap A kt iv ita s As partate A m inotransferase dan
Alan ine A m inotranferase pad a Aya m Pe dag ing
Alifianita Anake Yansri, Ida Bagus Komang Ardana, Luh Dewi Anggreni, Made Suma Anthara
Deteksi Gen Sh ig a L ike T ox in 1 iso lat e scher ich ia C o li O15 7:H7 Asa l Sap i Ba li
di Kuta Selatan , Badun g
Dwi Lestari, Komang Januartha Putra Pinatih, I Wayan Suardana
Perbandin gan Auto lis is Organ Jantung dan G inja l Sa pi Ba li pada Beberapa
Perio de Waktu Pas ca Penye m belihan
Farhan Abdul Hasan, I Ketut Berata, I Made Kardena
Aktiv itas Verm is ida l dan O v is idal Daun B iduri (Ca lotrop is S pp.) Terhadap
Cacing F asc io la G igant ica Sec ara In V itr o
Gilang Kala Maulana, Ida Bagus Made Oka, I Made Dwinata
Uj i Kepekaan Bakter i E scher ic hia C o li O157 :H7 Sa p i Ba li As al Ab ianse ma l –
Badung – Ba li Terhada p Ant ib iot ik
Iga Prassetyo Adji, Iwan Hardjono Utama, I Wayan Suardana
Pengaruh Pem berian Ekstra k Kulit Batang ke lor (M or inga o le ifera) Terhadap
Perubahan Histo pato lo g i Hat i Tiku s W istar yan g D iindu ks i A lo ksan
Patrisius Yanuaris Lada Salasa, Ni Luh Eka Setiasih, I Made Kardena
Uj i Kepekaan Escher ich ia c o li O157:H7 Feses Sap i d i Keca matan Kuta Se latan
Badung Ba li Terhadap Ant ib io tik
Iso la s i dan Ident if ikas i Esche rich ia c o li O157 :H7 pada Sap i Ba li d i Kuta
Selatan, Ba dung, Ba li
Wahyu Hananto, Mas Djoko Rudyanto, I Wayan Suardana
Perbandin gan Ba kteri Co lifor m, E . c o li, E. co li O157, dan E. co li O157 :H7 pa da
Sapi ba li d i Meng wi, Ba dung, Bali
Yuli Darmawan, Ida Bagus Ngurah Swacita, I Wayan Suardana
Kualita s Su su Segar pada Pen y im panan Suhu Ruang D itinja u dar i Uj i Alkoh o l,
Derajat Keasa man d an Ang ka Kata lase
Maulina Nababan, I Ketut Suada, Ida Bagus Ngurah Ngurah Swacita
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. ISS N
Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320
pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637
314
Aktivitas Vermisidal dan Ovisidal Daun Biduri (Calotropis Spp.)
Terhadap Cacing Fasciola Gigantica Secara In Vitro
Gilang Kala Maulana1, Ida Bagus Made Oka2, I Made Dwinata2
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas vermisidal dan ovisidal daun Biduri (Calotropis spp.) terhadap cacing F. gigantica. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu telur dan cacing F. gigantica yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Pesanggaran dan daun biduri diambil dari pantai Sanur, Denpasar Bali. Konsentrasi daun biduri dibuat menggunakan daun segar yang dihancurkan dan kemudian dicampurkan dengan cairan empedu untuk vermisidal dan aquades untuk ovisidal. Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%. Pengujian dilakukan secara in vitro dengan menggunakan lima perlakuan dan empat kali ulangan. Pengamatan vermisidal dilakukan setiap 30 menit sedangkan untuk ovisidal dilakukan pada hari ke-21 dan ke-28. Hasil dari penelitian didapatkan konsentrasi daun biduri (2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%) pada masing-masing kelompok perlakuan memiliki pengaruh vermisidal, tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap satu dengan yang lainnya. Efek ovisidal pada hari ke-21 dan ke-28 didapatkan adanya pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap daya hambat tetas telur cacing F. gigantica. Disimpulkan bahwa daun biduri memiliki aktivitas vermisidal dan ovisidal terhadap cacing dan telur F. gigantica. Konsentrasi yang paling efektif untuk vermisidal dan ovisidal terhadap cacing F. gigantica adalah 5%.
Kata kunci : vermisidal, ovisidal, daun Biduri (Calotropis spp.), F. gigantica.
ABSTRACT
The purposed of this study to understand the vermisidal and ovisidal activity of biduri leaves against F. gigantica. The sample used in this research was the egg and worm of F. gigantica that was taken from Pesanggaran Slaughterhouse and also biduri leaves from Sanur Beach, Denpasar Bali. The concentration of Biduri leaves was made by the fresh leaves combining with bile’s liquid for the vermisidal and aquades for the ovisidal. The concentration used in this research was 2,5%, 5%, 7,5% and 10% respectively . The examination has been done by in vitro by using five treatments and four times replication. Observation of vermisidal activity made every 30 minutes. Where as, for the ovisidal activity was in day 21 and 28. The result of this observation found concentration of biduri leaves (2,5%, 5%, 7,5%, and 10%) in every group for each treatment has the influence of vermisidal and there is no significant different vermisidal influence by (P>0,05) concentration. In day 21 and 28, the ovisidal effect was found that there was significant influencing (P>0,05) against the inhibition factors of hatching eggs of the worm F. gigantica.Concluded that leaves biduri having activity vermisidal and ovisidal against worms and eggs F. gigantica. The concentration most effective to vermisidal and ovisidal against worms F. gigantica was 5 %.
Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320
pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637
315
PENDAHULUAN
Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak diternakkan di Indonesia,
merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi
daging nasional. Sapi bermanfaat menyediakan bahan pangan, kulit dan pupuk kandang.
Selain itu juga dibeberapa daerah, sapi dimanfaatkan sebagai sumber tenaga untuk
kegiatan pertanian; sehingga peternakan sapi berpotensi untuk dikembangkan sebagai
usaha yang menguntungkan. Sampai saat ini baru beberapa peternak menerapkan
manajemen pemeliharaan sapi secara intensif dan masih banyak yang beternak secara
semi intensif dan tradisional (Jusmaldi dan Yuliwan, 2009). Beternak secara tradisional
sering menemukan hambatan, salah satunya adalah gangguan kesehatan. Gangguan
kesehatan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak,
yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan jamur (Munadi, 2011).
Salah satu penyakit endoparasit yang menyerang ternak sapi dan belum
terkendali dan sangat merugikan peternak sampai saat ini adalah fascioliosis yang
disebabkan oleh cacing Fa sciola spp. Di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh
Fasciola gigantica (F. gigantica) yang bersifat kronis. Cacing mudanya berpredileksi dan memakan sel-sel hati, sedangkan cacing dewasanya berpredileksi pada saluran
empedu dan atau kantung empedu. Hasil penelitian Sugama dan Suyasa (2012),
Beberapa daerah di Bali seperti di Kab. Bangli, Badung, dan Singaraja memiliki
prevalensi infeksi berkisar 50-75%. Dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah
anemia berat, penurunan berat badan, dan gangguan pertumbuhan pada pedet sehingga
sangat merugikan peternak.
Pengobatan terhadap fascioliosis menggunakan Albendazole, Nitroxynile,
Meniclopholan, Carbontetrachlorida, dan Bithionol. Pemberian Nitroxynil dengan dosis
10mg/Kg berat badan dan Ca rbontetrachlorida dengan dosis 50mg/Kg berat badan
secara subkutan, Sedangkan Meniclopholan dengan dosis 50mg/Kg berat badan dan
pemberian Albendazole dalam bentuk bolus disesuaikan dengan berat badan (< 150 Kg:
1,5 bolus, 150-300 Kg: 3 bolus, 300-400 Kg: 4 bolus, dan >400: 5,5 bolus) diberikan
secara oral (Jusmaldi dan Yuliwan, 2009; Kurniasih, 2007). Menurut Widjajanti et al.,
(2001) pengobatan fascioliosis dapat juga menggunakan Triclabendazole (TCBZ)
dengan dosis 5 ml/50kgBB/ekor sapi yang diberikan secara peroral. Obat yang tersebut
Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320
pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637
316
yang besar sehingga dalam pengobatannya membutuhkan jumlah obat yang lebih
banyak sehingga tidak terjangkau oleh para peternak di pedesaan. Selain itu juga,
pemberian obat anthelmintik sintetis dapat menimbulkan resistensi terhadap obat
tersebut. Kondisi ini menyebabkan kejadian fascioliosis tetap tinggi.
Peternak banyak menggunakan obat bahan alam yang ada di pedesaan, seperti
Carica papaya, bangle, mengkudu, biji pinang; tetapi khasiat dan hasilnya belum banyak terbukti secara ilmiah (Beriajaya dan Priyanto, 2004). Tanaman biduri
(Calotropis spp) juga digunakan sebagai obat tradisional, yang telah terbukti memiliki
aktivitas anthelmintik terhadap infeksi cacing Haemonchus contortus, Ostertagia,
Nematodirus, Dictyocaulis, Taenia, Ascaris, dan Fasciola (Mali dan Mehta, 2008). Pada bagian tanaman biduri berupa daun, bunga, akar, kulit, batang, dan getah banyak
mengandung fitokimia, seperti flavonoid, triterpenoid, alkaloid, steroid, glikosida,
saponin, terpenoid, enzim, alkohol, tannin, resin, asam lemak dan ester. Salah satu
bagian yang mempunyai aktivitas untuk anthelmintik adalah daun. Jumlah daun pada
tanaman banyak sehingga mudah diperoleh dan diolah dalam penelitian (Kumar et al.,
2013).
METODE PENELITIAN
Sample cacing F. gigantica dewasa diperoleh dari kantung empedu ternak sapi
yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Pesanggaran, Denpasar. Telur F.
gigantica didapatkan pada cairan empedu yang dikumpulkan bersama cacing yang ada
di kantong empedu. Cacing yang berada dalam cairan empedu diambil dan cairannya di
tampung dalam gelas beker. Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan cara ditambahkan
air hingga penuh, tunggu sekitar 30 menit hingga terlihat endapan pada bagian bawah
gelas beker. Cairan empedu dibuang dengan menyisakan endapan, pencucian dilakukan
beberapa kali hingga cairan terlihat jernih.
Daun biduri yang telah dikumpulkan kemudian dihancurkan dengan
menggunakan blender. Dibuat konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%. Untuk
mendapatkan konsentrasi daun biduri 2,5% adalah 2,5 gram daun biduri dicampurkan
ke dalam 100 cc cairan empedu; untuk konsentrasi daun biduri 5%, 5 gram daun biduri
Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320
pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637
317
gram daun biduri dicampurkan ke dalam 100 cc cairan empedu; untuk konsentrasi daun
biduri 10%, 10 gram daun biduri dicampurkan ke dalam 100 cc cairan empedu.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Penelitian ini dilakukan dua pengujian yaitu Uji Vermisidal dan Uji Ovisidal. Pada uji
vermisidal dilakukan dengan 5 perlakuan dengan 4 kali ulangan, sehingga total cacing
yang diperlukan sebanyak 20 ekor. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit sampai
semua cacing pada perlakukan mati. Sedangkan, pada uji ovisidal F. gigantica
dilakukan dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan, sehingga diperlukan 20 cawan petri.
Pengamatan dilakukan pada hari ke-21 dan ke-28. Tiap pemeriksaan dilakukan
menggunakan mikroskop untuk mengetahui daya tetas telur cacing F. gigantica
dihitung sebanyak 30 butir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian didapatkan lama hidup cacing F. gigantic pada perlakuan
terlama adalah selama 8,5 jam, sehingga waktu pengamatan pengujian vermisidal
konsentrasi daun biduri dilakukan selama 8,5 jam. Pengamatan dimulai saat cacing
mulai dimasukkan ke dalam masing-masing konsentrasi perlakuan. Selama penelitian
teramati cacing mengeluarkan cairan berwarna merah kehitaman dari mulut (tetapi tidak
bisa didokumentasikan), karena tidak bertahan lama. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan dapat diketahui bahwa terjadi kematian pada cacing F. gigantica mulai
terjadi pada jam ke-1,5 hingga jam ke-4, yaitu pada perlakuan dengan konsentrasi 10%.
Konsentrasi 7,5%, kematian cacing mulai terjadi pada jam ke-5 hingga jam ke-6,5. Pada
konsentrasi 5%, kematian cacing terjadi pada jam ke-6,5 hingga jam ke-8,5, sedangkan
konsentrasi 2,5% kematian cacing mulai terjadi pada jam ke-7 hingga jam ke-8,5.
Cacing F. gigantica pada kontrol tidak mengalami kematian hingga pengamatan
diselesaikan.
Hasil pengamatan dari pengujian vermisidal diperoleh masing-masing
konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10% dapat menyebabkan kematian pada cacing F.
gigantica. Kematian cacing F. gigantica disebabkan karena daun biduri mengandung glikosida dan resin yang mempunyai efek mengganggu metabolisme dalam tubuh
cacing, sehingga cacing tidak dapat membentuk energi. Glikosida dan resin
Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320
pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637
318
Selain itu juga, menurut Henry (1949) kandungan alkaloid dapat menghambat kerja
enzim asetilkolinesterase yang berperan memecah asetilkolin pada tubuh cacing
sehingga menyebabkan kekejangan pada tubuh cacing dan kematian. Kematian cacing
juga disebabkan oleh flavonoid, karena dapat menyebabkan denaturasi protein dalam
tubuh cacing (Bhadoriya et al.,2011 ; Faradila, 2013).
Dalam penelitian ini konsentrasi 10% menyebabkan kematian tercepat pada jam
ke-1,5 hingga jam ke-3,5. Pada konsentrasi 7,5% menyebabkan kematian dan paralisa
pada jam ke-5 hingga jam ke-6,5. Untuk konsentrasi 2,5% dan 5% menyebabkan
kematian yang paling lama hingga 8,5 jam. Didapatkan bahwa semakin besar
konsentrasi yang digunakan maka semakin banyak kandungan anthelmintik yang
terdapat pada daun biduri sehingga menyebabkan kematian yang semakin cepat pada
cacing.
Berdasarkan hasil pengamatan daya hambat tetas telur (ovisidal) yang dilakukan
pada hari ke-21 dan ke-28 didapatkan rata-rata daya hambat tetas telur cacing F.
gigantica pada masing-masing perlakuan. Hasil dari hari ke-21 didapatkan rata-rata
daya hambat tetas telur cacing F. gigantica pada P0=36,5%, P1=62,25%, P2=66,5%,
P3=73,75%, dan P4=77,5, cenderung ada perbedaan rata-rata satu dengan yang lainnya.
Hasil analisis data dengan uji Sidik Ragam didapatkan bahwa perlakuan berbagai
konsentrasi daun biduri sangat berbeda nyata (P<0,01) terhadap daya hambat tetas telur
cacing F. gigantica. Hasil uji Jarak Berganda Duncan lebih lanjut untuk mengetahui
perbedaan daya hambat tetas telur cacing F. gigantica, didapatkan tidak terjadi
perbedaan nyata (P<0,05) satu dengan yang lainnya, tetapi sangat berbeda sangat nyata
(P<0,01) dengan control.
Hasil dari hari ke-28 didapatkan rata-rata daya hambat tetas telur cacing F.
gigantica pada P0=48,75%, P1=68,75%, P2=72%, P3=79,5, dan P4=84,75, cenderung
ada perbedaan rata-rata daya hambat tetas telur cacing F. gigantica pada setiap
perlakuan. Hasil analisis data dengan uji Sidik Ragam didapatkan bahwa perlakuan
berbagai konsentrasi daun biduri berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap daya hambat
tetas telur cacing F. gigantica pada hari ke- 28. Uji statistika selanjutnya yaitu uji Jarak
Berganda Duncan konsentrasi 10% sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan konsentrasi
Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320
pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637
319
7,5%. Konsentrasi 5% dan 7,5% tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan konsentrasi 2,5%
dan 10%, tetapi berbeda nyata dengan kontrol.
Pada awal embrio, daun biduri sudah dapat menimbulkan daya hambat tetas
terhadap telur cacing F. gigantica, karena beberapa kandungan yang terdapat dalam
daun biduri dapat menembus masuk kedalam telur. Mungkin, glikosida dan resin dapat
menembus masuk kedalam telur sehingga mengganggu pembentukan energi untuk
mulai terjadinya embrionisasi. Selain itu juga, flavonoid mungkin juga dapat menembus
telur dan menyebabkan denaturasi protein dalam telur sehingga pertumbuhan embrio
terhambat. Pada akhir berembrio, kandungan yang terdapat pada daun biduri semakin
kuat dalam menghambat daya tetas telur dan bahkan dapat membunuh embrio.
Disebabkan karena glikosida dan resin dapat menembus masuk kedalam telur sehingga
mengganggu pembentukan energi untuk mulai berembrio dan menyebabkan kematian
pada embrio. Selain itu juga, flavonoid dapat masuk menembus telur dan menyebabkan
denaturasi protein dalam embrio sehingga pertumbuhan embrio terhambat dan
membunuh embrio. Menurut Min dan Hart (2003), Tannin yang terdapat pada daun
biduri juga dapat menghambat pembelahan telur sehingga perkembangan larva juga
terhambat. Daun biduri juga memiliki kandungan berupa enzim proteolitik yang dapat
menembus kulit telur sehingga menghambat perkembangan larva bahkan dapat
membunuh larva cacing (Tandon et al., 2011 ; Faradila, 2013).
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daun biduri bersifat ovisidal
terhadap telur cacing F. gigantica. Daun biduri bersifat vermisidal terhadap cacing F.
gigantica. Konsentrasi yang paling efektif untuk vermisidal dan ovisidal terhadap
cacing F. gigantica adalah 5%.
SARAN
Perlu dilakukan uji toksisitas terhadap daun biduri untuk mengetahui apakah
aman diberikan dan dijadikan sebagai obat anthelmintik tradisional untuk sapi.
Penelitian ini baru pada tahap in vitro sehingga disarankan agar dilakukan penelitian
secara in vivo untuk mengetahui peran vermisidal dan ovisidal daun biduri terhadap
Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320
pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637
320
DAFTAR PUSTAKA
Beriajaya dan Priyanto D. 2004. Efficacy of pineapple leave extract against gastrointestinal nematode in infected cattle. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bhadoriya SS, Uplanchiwar V, Mishra V, Ganeshpurkar A, Raut S, Jain KS. 2011. In vitro anthelmintic and antimicrobial potential of flavonoid rich fraction from
Tamarindus indica seed coat. Pharmacologyonline 3: 412-420.
Faradila A. 2013. Uji daya anthelmintik ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica
less) terhadap cacing gelang (Ascaris suum) secara in vitro. (Skripsi). Malang:
Universitas Brawijaya.
Henry TA. 1949. The plants alkaloids. Chemical Research Laboratories and Superintendent of Laboratories, Imperial Institute, London. The Blakiston Company Fourth Edition.
Jusmaldi dan Yuliwan. 2009. Prevalensi infeksi cacing hati (fasciola hepatica) pada sapi
potong di rumah pemotongan hewan samarinda. Bioprospek 6(2): 21-27.
Kumar PS, Suresh E, and Kalavathy S. 2013. Review on a potential herb Calotropis
gigantean. Sch. Acad. J. Pharm 2(2): 135-143.
Lohare GBB, Manu SJ, Manoj MB, Shashikant DB, and Hamid S. 2011. Determination
of Anthelmintic Potential of Calotropis Gigantea. AJPSCR 1(3): 13-21.
Mali RG and Mehta AA. 2008. A review on anthelmentic plants. Department of
Pharmacology L. 7(5): 466-475.
Munadi. 2011. The level of liver flukes infection and its relation to the economic loss of
beef cattle at the abattoir of banyumas ex-resident. Agripet 11(1): 45-50.
Min BR and Hart SP. 2003. Tannins for suppression of internal parasites. E (Kika) de la Garza Institute for Goat Research, Langston University, Langston. American Society of Animal Science.
Sugama IN dan Suyasa IN. 2012. Keragaan infeksi parasit gastrointestinal pada sapi bali model kandang simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Tandon V, Roy YB, and Das B. 2011. Phytochemicals as cure of worm infections in
traditional medicine. Emerging Trends in Zoology : 351–378.
Widjajanti S, Estuningsih SE, dan Suharyanta. 2001. Antibody fluctuations of infected
cattle with Fasciola gigantica and the effect of Triclabendazole treatment.