• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Vermisidal dan Ovisidal Daun Biduri (Calotropis Spp.) Terhadap Cacing Fasciola Gigantica Secara In Vitro.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Vermisidal dan Ovisidal Daun Biduri (Calotropis Spp.) Terhadap Cacing Fasciola Gigantica Secara In Vitro."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

t i k e t k e r e t at o k o b a g u sb e r i t a b o l a t e r k i n ia n t o n n bA n e k a K r e a s i R e s e p M a s a k a n I n d o n e s i ar e s e p m a s a k a nm e n g h i l a n g k a n j e r a w a tv i l l a d i p u n c a kr e c e p t e nb e r i t a h a r i a ng a m e o n l i n eh p d i j u a lw i n d o w s g a d g e tj u a l c o n s o l ev o u c h e r o n l i n eg o s i p t e r b a r ub e r i t a t e r b a r uw i n d o w s g a d g e tt o k o g a m ec e r i t a h o r o r

1. Dr. drh. I Wa yan Batan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali-Indonesia

1. Dr. drh. T jok . G de Ok a Pe ma yun, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

2. Prof. Dr. drh. Ny o man Mant ik Asta wa, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali-Indonesia

3. Prof. Dr. drh. I wan Harja Uta ma, Progam Magister Kedokteran Hewan, Program Pascasarjana, Universitas

Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

4. Dr. drh. Ketut Suatha, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali-Indonesia

5. Prof. Dr. drh. I Ny o man Suar sana, Lab. Biokimia FKH Unud, Denpasar, Indonesia

6. Dr. drh Wa yan Suardana, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

7. drh. Tjo k Sar i N in dh ia, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

1. Yulia Nugraha, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

2. Moch. Fa q ih A mrulah, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

3. Moch. Gha iz Abr ians yah, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

4. Saifu l Ak bar, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

5. Lidya Nof antri, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

6. Hanif Wahyu W ib ison o, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

7. Cyrilus Jeffers on B our, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

8. Yusuf R is ka A lha mdhan i, Fakultas Kedokteran Hewan, Unud, Indonesia

(2)

Faktor Re s ik o Infek s i E scher ichia c o li O157 :H7 pada Ternak Sap i Ba li d i

Abian sema l, Badung , Ba li.

PDF

Eva Damayanti, I Made Sukada, I Wayan Suardana

Dos is Aman Paraseta mo l Terhadap A kt iv ita s As partate A m inotransferase dan

Alan ine A m inotranferase pad a Aya m Pe dag ing

PDF

Alifianita Anake Yansri, Ida Bagus Komang Ardana, Luh Dewi Anggreni, Made Suma Anthara

Deteksi Gen Sh ig a L ike T ox in 1 iso lat e scher ich ia C o li O15 7:H7 Asa l Sap i Ba li

di Kuta Selatan , Badun g

PDF

Dwi Lestari, Komang Januartha Putra Pinatih, I Wayan Suardana

Perbandin gan Auto lis is Organ Jantung dan G inja l Sa pi Ba li pada Beberapa

Perio de Waktu Pas ca Penye m belihan

PDF

Farhan Abdul Hasan, I Ketut Berata, I Made Kardena

Aktiv itas Verm is ida l dan O v is idal Daun B iduri (Ca lotrop is S pp.) Terhadap

Cacing F asc io la G igant ica Sec ara In V itr o

PDF

Gilang Kala Maulana, Ida Bagus Made Oka, I Made Dwinata

Uj i Kepekaan Bakter i E scher ic hia C o li O157 :H7 Sa p i Ba li As al Ab ianse ma l –

Badung – Ba li Terhada p Ant ib iot ik

PDF

Iga Prassetyo Adji, Iwan Hardjono Utama, I Wayan Suardana

Pengaruh Pem berian Ekstra k Kulit Batang ke lor (M or inga o le ifera) Terhadap

Perubahan Histo pato lo g i Hat i Tiku s W istar yan g D iindu ks i A lo ksan

PDF

Patrisius Yanuaris Lada Salasa, Ni Luh Eka Setiasih, I Made Kardena

Uj i Kepekaan Escher ich ia c o li O157:H7 Feses Sap i d i Keca matan Kuta Se latan

Badung Ba li Terhadap Ant ib io tik

PDF

(3)

Iso la s i dan Ident if ikas i Esche rich ia c o li O157 :H7 pada Sap i Ba li d i Kuta

Selatan, Ba dung, Ba li

PDF

Wahyu Hananto, Mas Djoko Rudyanto, I Wayan Suardana

Perbandin gan Ba kteri Co lifor m, E . c o li, E. co li O157, dan E. co li O157 :H7 pa da

Sapi ba li d i Meng wi, Ba dung, Bali

PDF

Yuli Darmawan, Ida Bagus Ngurah Swacita, I Wayan Suardana

Kualita s Su su Segar pada Pen y im panan Suhu Ruang D itinja u dar i Uj i Alkoh o l,

Derajat Keasa man d an Ang ka Kata lase

PDF

Maulina Nababan, I Ketut Suada, Ida Bagus Ngurah Ngurah Swacita

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. ISS N

(4)

Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320

pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637

314

Aktivitas Vermisidal dan Ovisidal Daun Biduri (Calotropis Spp.)

Terhadap Cacing Fasciola Gigantica Secara In Vitro

Gilang Kala Maulana1, Ida Bagus Made Oka2, I Made Dwinata2

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas vermisidal dan ovisidal daun Biduri (Calotropis spp.) terhadap cacing F. gigantica. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu telur dan cacing F. gigantica yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Pesanggaran dan daun biduri diambil dari pantai Sanur, Denpasar Bali. Konsentrasi daun biduri dibuat menggunakan daun segar yang dihancurkan dan kemudian dicampurkan dengan cairan empedu untuk vermisidal dan aquades untuk ovisidal. Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%. Pengujian dilakukan secara in vitro dengan menggunakan lima perlakuan dan empat kali ulangan. Pengamatan vermisidal dilakukan setiap 30 menit sedangkan untuk ovisidal dilakukan pada hari ke-21 dan ke-28. Hasil dari penelitian didapatkan konsentrasi daun biduri (2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%) pada masing-masing kelompok perlakuan memiliki pengaruh vermisidal, tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap satu dengan yang lainnya. Efek ovisidal pada hari ke-21 dan ke-28 didapatkan adanya pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap daya hambat tetas telur cacing F. gigantica. Disimpulkan bahwa daun biduri memiliki aktivitas vermisidal dan ovisidal terhadap cacing dan telur F. gigantica. Konsentrasi yang paling efektif untuk vermisidal dan ovisidal terhadap cacing F. gigantica adalah 5%.

Kata kunci : vermisidal, ovisidal, daun Biduri (Calotropis spp.), F. gigantica.

ABSTRACT

The purposed of this study to understand the vermisidal and ovisidal activity of biduri leaves against F. gigantica. The sample used in this research was the egg and worm of F. gigantica that was taken from Pesanggaran Slaughterhouse and also biduri leaves from Sanur Beach, Denpasar Bali. The concentration of Biduri leaves was made by the fresh leaves combining with bile’s liquid for the vermisidal and aquades for the ovisidal. The concentration used in this research was 2,5%, 5%, 7,5% and 10% respectively . The examination has been done by in vitro by using five treatments and four times replication. Observation of vermisidal activity made every 30 minutes. Where as, for the ovisidal activity was in day 21 and 28. The result of this observation found concentration of biduri leaves (2,5%, 5%, 7,5%, and 10%) in every group for each treatment has the influence of vermisidal and there is no significant different vermisidal influence by (P>0,05) concentration. In day 21 and 28, the ovisidal effect was found that there was significant influencing (P>0,05) against the inhibition factors of hatching eggs of the worm F. gigantica.Concluded that leaves biduri having activity vermisidal and ovisidal against worms and eggs F. gigantica. The concentration most effective to vermisidal and ovisidal against worms F. gigantica was 5 %.

(5)

Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320

pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637

315

PENDAHULUAN

Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak diternakkan di Indonesia,

merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi

daging nasional. Sapi bermanfaat menyediakan bahan pangan, kulit dan pupuk kandang.

Selain itu juga dibeberapa daerah, sapi dimanfaatkan sebagai sumber tenaga untuk

kegiatan pertanian; sehingga peternakan sapi berpotensi untuk dikembangkan sebagai

usaha yang menguntungkan. Sampai saat ini baru beberapa peternak menerapkan

manajemen pemeliharaan sapi secara intensif dan masih banyak yang beternak secara

semi intensif dan tradisional (Jusmaldi dan Yuliwan, 2009). Beternak secara tradisional

sering menemukan hambatan, salah satunya adalah gangguan kesehatan. Gangguan

kesehatan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak,

yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan jamur (Munadi, 2011).

Salah satu penyakit endoparasit yang menyerang ternak sapi dan belum

terkendali dan sangat merugikan peternak sampai saat ini adalah fascioliosis yang

disebabkan oleh cacing Fa sciola spp. Di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh

Fasciola gigantica (F. gigantica) yang bersifat kronis. Cacing mudanya berpredileksi dan memakan sel-sel hati, sedangkan cacing dewasanya berpredileksi pada saluran

empedu dan atau kantung empedu. Hasil penelitian Sugama dan Suyasa (2012),

Beberapa daerah di Bali seperti di Kab. Bangli, Badung, dan Singaraja memiliki

prevalensi infeksi berkisar 50-75%. Dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah

anemia berat, penurunan berat badan, dan gangguan pertumbuhan pada pedet sehingga

sangat merugikan peternak.

Pengobatan terhadap fascioliosis menggunakan Albendazole, Nitroxynile,

Meniclopholan, Carbontetrachlorida, dan Bithionol. Pemberian Nitroxynil dengan dosis

10mg/Kg berat badan dan Ca rbontetrachlorida dengan dosis 50mg/Kg berat badan

secara subkutan, Sedangkan Meniclopholan dengan dosis 50mg/Kg berat badan dan

pemberian Albendazole dalam bentuk bolus disesuaikan dengan berat badan (< 150 Kg:

1,5 bolus, 150-300 Kg: 3 bolus, 300-400 Kg: 4 bolus, dan >400: 5,5 bolus) diberikan

secara oral (Jusmaldi dan Yuliwan, 2009; Kurniasih, 2007). Menurut Widjajanti et al.,

(2001) pengobatan fascioliosis dapat juga menggunakan Triclabendazole (TCBZ)

dengan dosis 5 ml/50kgBB/ekor sapi yang diberikan secara peroral. Obat yang tersebut

(6)

Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320

pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637

316

yang besar sehingga dalam pengobatannya membutuhkan jumlah obat yang lebih

banyak sehingga tidak terjangkau oleh para peternak di pedesaan. Selain itu juga,

pemberian obat anthelmintik sintetis dapat menimbulkan resistensi terhadap obat

tersebut. Kondisi ini menyebabkan kejadian fascioliosis tetap tinggi.

Peternak banyak menggunakan obat bahan alam yang ada di pedesaan, seperti

Carica papaya, bangle, mengkudu, biji pinang; tetapi khasiat dan hasilnya belum banyak terbukti secara ilmiah (Beriajaya dan Priyanto, 2004). Tanaman biduri

(Calotropis spp) juga digunakan sebagai obat tradisional, yang telah terbukti memiliki

aktivitas anthelmintik terhadap infeksi cacing Haemonchus contortus, Ostertagia,

Nematodirus, Dictyocaulis, Taenia, Ascaris, dan Fasciola (Mali dan Mehta, 2008). Pada bagian tanaman biduri berupa daun, bunga, akar, kulit, batang, dan getah banyak

mengandung fitokimia, seperti flavonoid, triterpenoid, alkaloid, steroid, glikosida,

saponin, terpenoid, enzim, alkohol, tannin, resin, asam lemak dan ester. Salah satu

bagian yang mempunyai aktivitas untuk anthelmintik adalah daun. Jumlah daun pada

tanaman banyak sehingga mudah diperoleh dan diolah dalam penelitian (Kumar et al.,

2013).

METODE PENELITIAN

Sample cacing F. gigantica dewasa diperoleh dari kantung empedu ternak sapi

yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Pesanggaran, Denpasar. Telur F.

gigantica didapatkan pada cairan empedu yang dikumpulkan bersama cacing yang ada

di kantong empedu. Cacing yang berada dalam cairan empedu diambil dan cairannya di

tampung dalam gelas beker. Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan cara ditambahkan

air hingga penuh, tunggu sekitar 30 menit hingga terlihat endapan pada bagian bawah

gelas beker. Cairan empedu dibuang dengan menyisakan endapan, pencucian dilakukan

beberapa kali hingga cairan terlihat jernih.

Daun biduri yang telah dikumpulkan kemudian dihancurkan dengan

menggunakan blender. Dibuat konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%. Untuk

mendapatkan konsentrasi daun biduri 2,5% adalah 2,5 gram daun biduri dicampurkan

ke dalam 100 cc cairan empedu; untuk konsentrasi daun biduri 5%, 5 gram daun biduri

(7)

Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320

pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637

317

gram daun biduri dicampurkan ke dalam 100 cc cairan empedu; untuk konsentrasi daun

biduri 10%, 10 gram daun biduri dicampurkan ke dalam 100 cc cairan empedu.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Penelitian ini dilakukan dua pengujian yaitu Uji Vermisidal dan Uji Ovisidal. Pada uji

vermisidal dilakukan dengan 5 perlakuan dengan 4 kali ulangan, sehingga total cacing

yang diperlukan sebanyak 20 ekor. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit sampai

semua cacing pada perlakukan mati. Sedangkan, pada uji ovisidal F. gigantica

dilakukan dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan, sehingga diperlukan 20 cawan petri.

Pengamatan dilakukan pada hari ke-21 dan ke-28. Tiap pemeriksaan dilakukan

menggunakan mikroskop untuk mengetahui daya tetas telur cacing F. gigantica

dihitung sebanyak 30 butir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian didapatkan lama hidup cacing F. gigantic pada perlakuan

terlama adalah selama 8,5 jam, sehingga waktu pengamatan pengujian vermisidal

konsentrasi daun biduri dilakukan selama 8,5 jam. Pengamatan dimulai saat cacing

mulai dimasukkan ke dalam masing-masing konsentrasi perlakuan. Selama penelitian

teramati cacing mengeluarkan cairan berwarna merah kehitaman dari mulut (tetapi tidak

bisa didokumentasikan), karena tidak bertahan lama. Berdasarkan pengamatan yang

dilakukan dapat diketahui bahwa terjadi kematian pada cacing F. gigantica mulai

terjadi pada jam ke-1,5 hingga jam ke-4, yaitu pada perlakuan dengan konsentrasi 10%.

Konsentrasi 7,5%, kematian cacing mulai terjadi pada jam ke-5 hingga jam ke-6,5. Pada

konsentrasi 5%, kematian cacing terjadi pada jam ke-6,5 hingga jam ke-8,5, sedangkan

konsentrasi 2,5% kematian cacing mulai terjadi pada jam ke-7 hingga jam ke-8,5.

Cacing F. gigantica pada kontrol tidak mengalami kematian hingga pengamatan

diselesaikan.

Hasil pengamatan dari pengujian vermisidal diperoleh masing-masing

konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10% dapat menyebabkan kematian pada cacing F.

gigantica. Kematian cacing F. gigantica disebabkan karena daun biduri mengandung glikosida dan resin yang mempunyai efek mengganggu metabolisme dalam tubuh

cacing, sehingga cacing tidak dapat membentuk energi. Glikosida dan resin

(8)

Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320

pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637

318

Selain itu juga, menurut Henry (1949) kandungan alkaloid dapat menghambat kerja

enzim asetilkolinesterase yang berperan memecah asetilkolin pada tubuh cacing

sehingga menyebabkan kekejangan pada tubuh cacing dan kematian. Kematian cacing

juga disebabkan oleh flavonoid, karena dapat menyebabkan denaturasi protein dalam

tubuh cacing (Bhadoriya et al.,2011 ; Faradila, 2013).

Dalam penelitian ini konsentrasi 10% menyebabkan kematian tercepat pada jam

ke-1,5 hingga jam ke-3,5. Pada konsentrasi 7,5% menyebabkan kematian dan paralisa

pada jam ke-5 hingga jam ke-6,5. Untuk konsentrasi 2,5% dan 5% menyebabkan

kematian yang paling lama hingga 8,5 jam. Didapatkan bahwa semakin besar

konsentrasi yang digunakan maka semakin banyak kandungan anthelmintik yang

terdapat pada daun biduri sehingga menyebabkan kematian yang semakin cepat pada

cacing.

Berdasarkan hasil pengamatan daya hambat tetas telur (ovisidal) yang dilakukan

pada hari ke-21 dan ke-28 didapatkan rata-rata daya hambat tetas telur cacing F.

gigantica pada masing-masing perlakuan. Hasil dari hari ke-21 didapatkan rata-rata

daya hambat tetas telur cacing F. gigantica pada P0=36,5%, P1=62,25%, P2=66,5%,

P3=73,75%, dan P4=77,5, cenderung ada perbedaan rata-rata satu dengan yang lainnya.

Hasil analisis data dengan uji Sidik Ragam didapatkan bahwa perlakuan berbagai

konsentrasi daun biduri sangat berbeda nyata (P<0,01) terhadap daya hambat tetas telur

cacing F. gigantica. Hasil uji Jarak Berganda Duncan lebih lanjut untuk mengetahui

perbedaan daya hambat tetas telur cacing F. gigantica, didapatkan tidak terjadi

perbedaan nyata (P<0,05) satu dengan yang lainnya, tetapi sangat berbeda sangat nyata

(P<0,01) dengan control.

Hasil dari hari ke-28 didapatkan rata-rata daya hambat tetas telur cacing F.

gigantica pada P0=48,75%, P1=68,75%, P2=72%, P3=79,5, dan P4=84,75, cenderung

ada perbedaan rata-rata daya hambat tetas telur cacing F. gigantica pada setiap

perlakuan. Hasil analisis data dengan uji Sidik Ragam didapatkan bahwa perlakuan

berbagai konsentrasi daun biduri berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap daya hambat

tetas telur cacing F. gigantica pada hari ke- 28. Uji statistika selanjutnya yaitu uji Jarak

Berganda Duncan konsentrasi 10% sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan konsentrasi

(9)

Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320

pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637

319

7,5%. Konsentrasi 5% dan 7,5% tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan konsentrasi 2,5%

dan 10%, tetapi berbeda nyata dengan kontrol.

Pada awal embrio, daun biduri sudah dapat menimbulkan daya hambat tetas

terhadap telur cacing F. gigantica, karena beberapa kandungan yang terdapat dalam

daun biduri dapat menembus masuk kedalam telur. Mungkin, glikosida dan resin dapat

menembus masuk kedalam telur sehingga mengganggu pembentukan energi untuk

mulai terjadinya embrionisasi. Selain itu juga, flavonoid mungkin juga dapat menembus

telur dan menyebabkan denaturasi protein dalam telur sehingga pertumbuhan embrio

terhambat. Pada akhir berembrio, kandungan yang terdapat pada daun biduri semakin

kuat dalam menghambat daya tetas telur dan bahkan dapat membunuh embrio.

Disebabkan karena glikosida dan resin dapat menembus masuk kedalam telur sehingga

mengganggu pembentukan energi untuk mulai berembrio dan menyebabkan kematian

pada embrio. Selain itu juga, flavonoid dapat masuk menembus telur dan menyebabkan

denaturasi protein dalam embrio sehingga pertumbuhan embrio terhambat dan

membunuh embrio. Menurut Min dan Hart (2003), Tannin yang terdapat pada daun

biduri juga dapat menghambat pembelahan telur sehingga perkembangan larva juga

terhambat. Daun biduri juga memiliki kandungan berupa enzim proteolitik yang dapat

menembus kulit telur sehingga menghambat perkembangan larva bahkan dapat

membunuh larva cacing (Tandon et al., 2011 ; Faradila, 2013).

SIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daun biduri bersifat ovisidal

terhadap telur cacing F. gigantica. Daun biduri bersifat vermisidal terhadap cacing F.

gigantica. Konsentrasi yang paling efektif untuk vermisidal dan ovisidal terhadap

cacing F. gigantica adalah 5%.

SARAN

Perlu dilakukan uji toksisitas terhadap daun biduri untuk mengetahui apakah

aman diberikan dan dijadikan sebagai obat anthelmintik tradisional untuk sapi.

Penelitian ini baru pada tahap in vitro sehingga disarankan agar dilakukan penelitian

secara in vivo untuk mengetahui peran vermisidal dan ovisidal daun biduri terhadap

(10)

Indonesia Medicus Veterinus Agustus 2015 4(4) : 314-320

pISSN : 2301-7848; eISSN: 2477-6637

320

DAFTAR PUSTAKA

Beriajaya dan Priyanto D. 2004. Efficacy of pineapple leave extract against gastrointestinal nematode in infected cattle. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Bhadoriya SS, Uplanchiwar V, Mishra V, Ganeshpurkar A, Raut S, Jain KS. 2011. In vitro anthelmintic and antimicrobial potential of flavonoid rich fraction from

Tamarindus indica seed coat. Pharmacologyonline 3: 412-420.

Faradila A. 2013. Uji daya anthelmintik ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica

less) terhadap cacing gelang (Ascaris suum) secara in vitro. (Skripsi). Malang:

Universitas Brawijaya.

Henry TA. 1949. The plants alkaloids. Chemical Research Laboratories and Superintendent of Laboratories, Imperial Institute, London. The Blakiston Company Fourth Edition.

Jusmaldi dan Yuliwan. 2009. Prevalensi infeksi cacing hati (fasciola hepatica) pada sapi

potong di rumah pemotongan hewan samarinda. Bioprospek 6(2): 21-27.

Kumar PS, Suresh E, and Kalavathy S. 2013. Review on a potential herb Calotropis

gigantean. Sch. Acad. J. Pharm 2(2): 135-143.

Lohare GBB, Manu SJ, Manoj MB, Shashikant DB, and Hamid S. 2011. Determination

of Anthelmintic Potential of Calotropis Gigantea. AJPSCR 1(3): 13-21.

Mali RG and Mehta AA. 2008. A review on anthelmentic plants. Department of

Pharmacology L. 7(5): 466-475.

Munadi. 2011. The level of liver flukes infection and its relation to the economic loss of

beef cattle at the abattoir of banyumas ex-resident. Agripet 11(1): 45-50.

Min BR and Hart SP. 2003. Tannins for suppression of internal parasites. E (Kika) de la Garza Institute for Goat Research, Langston University, Langston. American Society of Animal Science.

Sugama IN dan Suyasa IN. 2012. Keragaan infeksi parasit gastrointestinal pada sapi bali model kandang simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.

Tandon V, Roy YB, and Das B. 2011. Phytochemicals as cure of worm infections in

traditional medicine. Emerging Trends in Zoology : 351–378.

Widjajanti S, Estuningsih SE, dan Suharyanta. 2001. Antibody fluctuations of infected

cattle with Fasciola gigantica and the effect of Triclabendazole treatment.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui vermisidal dan ovisidal dari ekstrak daun pepaya terhadap cacing Ascaris suum.. Dilakukan uji vermisidal dan uji ovisidal,

Zat aktif dalam daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) steenis) juga menunjukkan potensi sebagai anthelmintik yang menyebabkan kelumpuhan dalam cacing pada unggas

Berdasarkan hal tersebut, Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji aktivitas rebusan daun pare ( Momordica charantia ) sebagai antelmintik

Perlakuan dengan konsentrasi 2500 mg/ml memiliki zona hambat paling besar di antara perlakuan konsentrasi ekstrak etanol daun mangga bacang ( Mangifera foetida L.

Dari hasil pengukuran uji aktivitas antibakteri ekstrak air daun ashitaba, dapat diketahui bahwa Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak air daun ashitaba terhadap

yaitu fenol, flavonoid, tanin, saponin, alkaloid dan steroid. Konsentrasi aktif ekstrak etanol daun Mangifera foetida L. Kesimpulan: Ekstrak etanol daun Mangifera

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol daun cengkodok ( Melastoma malabathricum L.) dan konsentrasi efektifnya dalam

Ekstrak etanol daun ketapang yang diberikan pada konsentrasi 20 %, konsentrasi 40 %, konsentrasi 60 %, konsentrasi 80 %, dan konsentrasi 100 % tidak dapat menghambat pertumbuhan