• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sunda dan "Papayung" Negara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sunda dan "Papayung" Negara."

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

- --

- -

-o

Selasa

4

5

20

o

Mar

.

Rabu

6

7

21

----

22

OApr OMei

o

Kamis

U

Jumat

8

9

10

11

23

__~_.

~

26 8Ju/l OJul GAgs

o

Sabtu

12 13

27 28

-

.-OSep OOkt

() Minggu

14 15 16

29 30 31

--.---ONov ODe~.w

Pikiran

Rakyat

Suilda dan "Papayung"

Negara

-- ~

Oleh ASEP SAIAHUDIN

lam tradisi

masyara-kat Sunda. Pangeran

Komel bercerita

da-lam kisaran 1773-1828

atau

kerap disebut

"zaman

Daen&ls".

Roman Manteri iero

berlatar belakang

ma-syarakat Sunda abad

ke-17,ketika Mataram

memperluas

daerah

kekuasaannya

terma-suk saat

menganeksa-si tatar Padjadjaran.

Walaupun berupa

roman, hal itri cukup

memberikan

gambar-an format kekuasagambar-an

masa lalu di tatar

Sun-da.

Sebagaimanadika-takan kritikus A. Teeuw, roman

seja-rah seperti itu dapat mewadahi

mak-na sejarah, filsafat, dan keadaan

sosi-al-budayanya

tanpa

bertendensi

menggurui,apalagimengelabuilayak-nya diktat politik mutakhir, apalagi

bocoran biografiyang ditulis manusia

sekarang yang isinya tidak kurang

ti-dak lebih: riwayatnarsis.

Tempat bersandar

Papayung negara menuntut

pe-nguasa dapat memosisikandirinya

se-bagai khadim (pelayan) rakyat yang

dengan ikhlas melayanimereka

seba-gaimana terangkum dalam diksi

ke-arifan Sunda: ngumawula ka

wayah-na, menjaditempat bersandar dari

se-tiap keluhkesah

Gadigunungpanang-gehan), dan homo tuna sumujud

(ti---- . - ~- . --'- --

-ALAM tradisi

D

kekuasaan

masyarakat Sunda, kekuasaan bia-sanya disimbolisasi-kan dengan payung sebagaimana ungka-pan Pangeran Komel ketika dibujuk saudar-anya untuk menjadi Bupati Sumedang, "Satungtung teu acan dipayungan bodas pulas emas moal nete Sumedang (Sepanjang belum dipayungi pa-yung putih seleret emas, tidak akan menginjak Sume-dang)". Secara harfiah

penobatan seorang raja dalam sebuah upacara serah terima jabatan juga me-makai payung yang pada masa Mata-ram disebut "Payung Bawat".

Papayung negara merujuk kepada makna, penguasa semestinya menjadi tenda yang dapat memberikan kete-duhan kepada masyarakat. Menjadi payung artinya bisa menghalau ma-syarakat dari tempaan krisis (werit), kekeringan, chaos (bancang pake-wuh), kegelisahan (harengreng), dan penuh kekhawatiran (loba karin-grang kahariwang).

Dua literasi politik Sunda seperti di-telaah Suwarsi Warnaen, dkk. (1987), yakni Manteri Jero (1928) dan Pa-ngeran Komel (1930) karangan R. Memed Sastrahadiprawira dengan ba-g!:ls m~ek~~papc:yunf! negara da-..

(2)

2009---dak akan pernah berhenti mengabdi). Di samping mesti memiliki kepekaan untuk mendengarkan aspirasi masya-rakat hatta yang tersembunyi §ekali-pun seperti dalam ungkapan menak loba socana rimbil cepilna.

Penguasa seperti ini tidak mungkin melakukan lampah basi/at (korup) atau mengingkari janji (subaya rina pasini), apalagi memiliki watak seba~ gai pribadi yang tidak memiliki pendi-rian (lanca lincit luncat mulang). Kita sepakat perilaku seperti inilah, dalam bahasa modern, yang akan menjadi pintu masuk tergelarnya negara berke-adaban, good governance.

Penguasa seperti ini juga harus me-miliki kualifikasi tidak ragu-ragu, ee-pat mengambil keputusan di samping berani. Keberanian ini harus menda-patkan penekanan sebab tanpa keber-anian, negara (kerajaan) dengan mu-dah ditaklukkan kerajaah lain. Begitu pentingnya keberanian ini sehingga ada banyak istilah yang mengandung makna sarna yaitu: wanter, teuneung ludeung, taya karisi, taya karempan, percaya kana diri pribadi, leber wa-wanen, ikhlas miceun pati ngabuang nyawa, taya kasieunjeung taya kagi-mir, henteu gedag bulu salambar.

Kejayaan Sunda tempo hari, tidak lain karena raja-rajanya meneermin-kan kepribadian seperti itu sebagaima-. na tergambarkan dalam naskah kuno Sanghiyang Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan, Bujangga Ma-nik. Terpresentasikan juga dalam so-sok auratik Prabu Siliwangi hal mana raja-raja sesudahnya menisbahkan di-ri kepadanya, seperti dalam babad dan eerita misalnya Babad Padjadjaran, Carita Waruga Guru, Kitab Pancaka-

- - - ...

ki Masalah Karuhun Kabeh, Carita Ratu Pakuan, dan Babad Sumedang.

Mulai absen

Penguasa sebagai papayung nega-ra sekanega-rang mulai punah. Kita akan kesulitan menemukan bupati atau gu-bernur di tatar Sunda yang dapat ngumawula ka wayahna. Alih-alih berkhidmat kepada khalayak malah banyak yang jadi target KPK dan ke-jaksaan karena tindakannya basilat.

Di masa ketika keran otonomi dae-rah dibuka lebar-Iebar dan angin de-mokrasi ditiupkan dengan keneang ternyata kehidupan makmur tidak menjadi jaminan. Otonomi hanya meneiptakan desentralisasi korupsi bahkan nyaris bupati dan kebanyakan anggota legislatif menjadi raja-raja ke-eil yang memerintah wilayahnya tak ubahnya perilaku Dalem Patrakusu-mah alias Dalem Tanubaya dan De-mang Dongkol yang hanya menjadi-kan aturan dan UU itu sebagai topeng untuk mengelabui masyarakatnya.

Hari ini, papayung negara yang se-harusnya, berdiri di garis terdepan da-lam mewujudkari negara hukum dan bersama maju dalam kebaikan justru bertindak sebaliknya. Entah ke mana kearifan lokal ini menguap: kudu nyanghulu k(1hukum, nunjang ka na-gara, mupakat ka balarea. Siapa pun pimpinan yang terpilih seharusnya mengaeu kepada kearifan perenial i~i agar kita sebagai bangsa dapat selamat s~mua. ***

Referensi

Dokumen terkait