• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guru Katolik dituntut memiliki spiritual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Guru Katolik dituntut memiliki spiritual"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Guru Katolik dituntut memiliki

spiritualitas sebagai pendidik

05/05/2010

Frederik Ray Popo, siswa SMP Kanisius, mengakui bahwa guru punya pengaruh sangat besar terhadap murid

Para guru Katolik dituntut untuk memiliki spiritualitas sehingga dapat melihat profesi mengajar sebagai suatu panggilan untuk melayani Gereja, sekolah, dan siswa.

Guru perlu memupuk spiritualitas di tengah-tengah lingkungan profesi yang mulai mengedepankan uang.

“Spiritualitas guru Katolik sangat penting,” kata Pastor Carolus Jande, ketua Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), dalam seminar di Kolese Kanisius, Jakarta, 2 Mei lalu.

Acara dengan tema Spiritualitas Sang Guru Sang Peziarah: Mendalami Spiritualitas Guru dan Pendidikan Kristiani, diadakan oleh Percetakan dan Toko Buku OBOR untuk

memperingati Hari Pendidikan Nasional.

Sekitar 200 peserta, kebanyakan guru-guru dari Keuskupan Agung Jakarta, hadir pada acara tersebut.

Pastor Jande menekankan peran guru Katolik sebagai tokoh sentral dalam menentukan mutu sekolah Katolik.

Spiritualitas yang berpijak pada Yesus Sang Guru mestinya menjadi hal utama bagi para guru sehingga mampu mewariskan nilai-nilai iman di sekolah-sekolah Katolik.

Saat ini ada empat pengelola utama sekolah Katolik, yakni keuskupan, tarekat, paroki, dan awam Katolik.

Namun dia mengeritik pengelola sekolah, terutama awam Katolik, yang lebih mengutamakan ekonomi ketimbang spiritualitas.

Dia juga turut prihatin dengan adanya orang-orang yang menjadi guru hanya karena tidak diterima di bidang lain. Sekolah Katolik harus menerima orang yang merasa terpanggil dan motivasi menjadi guru.

(2)

“Guru jangan memikirkan soal gaji atau utang saja …tapi juga siswa dengan menanamkan nilai-nilai yang baik,” katanya.

Yulia Sri Prihartini, pembicara dari SMP Negeri di Yogyakarta, mengatakan menjadi guru tidak hanya sekedar mengajar (teaching) tapi juga mendidik (educating). Guru harus menggunakan cinta dan hati agar bisa menyentuh hidup siswa, katanya.

Sementara Frederik Ray Popo, siswa SMP Kanisius, mengakui kalau guru-guru memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap murid.

”Guru yang didambakan oleh para murid adalah guru yang mau mengabdi dan mempunyai perhatian kepada siswanya,” lanjutnya

Mungkinkah Menerapkan Prinsip

Pendidikan Katolik?

[Dari editor Katolisitas:

Sekolah Katolik…, riwayatmu dulu….

Dewasa ini sering terdengar selentingan, atau bahkan keluhan dari kalangan umat Katolik, bahwa sepertinya pendidikan Katolik di tanah air dewasa ini tidaklah seperti dulu. Di satu generasi sebelum zaman ini, bahkan beberapa generasi sebelumnya, hampir semua sekolah Katolik di tanah air terkenal baik mutunya dan banyak diminati. Kini, nampaknya tidak otomatis demikian. Terlepas dari ada banyak alasan yang ada di luar kompetensi kami di Katolisitas untuk membahasnya, namun ada satu hal yang memang dapat kembali kita renungkan bersama. Apakah sekolah-sekolah Katolik di tanah air sudah sungguh-sungguh mencerminkan pendidikan Katolik? Apakah yang dapat diusahakan agar pendidikan di sekolah-sekolah Katolik menjadi semakin “Katolik”?

Hal inilah yang hendak kami ketengahkan, agar menjadi bahan permenungan kita bersama. Salah seorang narasumber di situs Katolisitas, Maria Natalia Brownell MTS, ibu dari 5 orang anak, yang kini tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat, kami undang untuk

membagikan pengalamannya lewat tulisan. Lia- demikian kami memanggilnya- dan suaminya Kyle Brownell, turut berperan aktif dalam peningkatan kualitas sebuah sekolah Katolik, yang bernama St. Adalbert Catholic School, di kota Rosholt, Wisconsin. Lia dan suaminya Kyle, adalah anggota Komite Pendidikan di sekolah tersebut. Bagi kami,

pengalaman mereka sangatlah menarik. Mereka berdua, bersama dengan beberapa keluarga Katolik lainnya terpanggil untuk ‘membenahi’ sekolah tersebut yang di sekitar tahun 2009 tahun silam hampir ‘ditutup’, karena semakin berkurangnya jumlah murid. Namun kini setelah sekitar 6 tahun, jerih payah mereka mulai menghasilkan buah yang

(3)

Serikat (dari kelas TK sampai kelas 8). Bahkan untuk Science, mereka termasuk golongan 2%, artinya hanya 7 dari 1000 sekolah di seluruh Amerika yang lebih baik di bidang Science, daripada sekolah St. Adalbert.

Namun di balik semua prestasi akademis itu, nampaknya ada suatu ‘mutiara’ yang jauh lebih berharga. Yaitu, bagaimana sekolah itu menerapkan cara pendidikan Katolik dalam

kehidupan belajar dan mengajar; antara para murid, guru, orang tua, pastor dan kepala sekolah. Dalam lingkungan yang saling menunjang, para guru membagikan ilmu mereka dan para pelajar menjadi semakin terdorong untuk mencapai prestasi sebaik-baiknya, sambil terus bertumbuh di dalam iman dan kecintaan mereka kepada Kristus dan Gereja Katolik. Artikel ini ditulis untuk para pendidik, terutama mereka yang menjalankan tugas sebagai guru di sekolah-sekolah Katolik. Semoga dapat berguna dan membangun semangat untuk meningkatkan kualitas pendidikan Katolik di sekolah- sekolah Katolik di tanah air. ] Pendidikan di sekolah Katolik: Apakah definisi dan tujuannya?

Sebenarnya, definisi pendidikan di sekolah Katolik adalah sederhana, yaitu pendidikan dan pengajaran sekolah yang didasarkan oleh iman Katolik sebagaimana diajarkan oleh Gereja Katolik. Artinya, iman Katolik-lah yang mendasari segala aspek pendidikan, dari mulai guru-guru/ staf pengajar, kurikulum, lingkungan belajar, cara disiplin, peraturan-peraturan sekolah, dan hal-hal lainnya. Dengan kata lain, sekolah Katolik menjadi lingkungan yang sungguh Katolik, sehingga menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal dan mengasihi iman Katolik, serta bertumbuh di dalamnya.

Apa yang membedakan antara pengajaran secara umum dengan pengajaran/ pendidikan Katolik?

Secara umum, proses pengajaran dipahami sebagai proses penyaluran informasi dari guru kepada muridnya. Namun pendidikan Katolik tidak hanya terbatas kepada penyaluran

informasi dari guru kepada murid. Pendidikan Katolik tidak hanya mencakup pengajaran dan pembekalan akal budi ataupun pemikiran seorang anak dengan informasi yang sebanyak-banyaknya. Sebab di samping membekali murid dengan ilmu pengetahuan, pendidikan Katolik juga membekali, membangun, dan membentuk iman dan spiritualitasnya. Iman dan spiritualitas ini tidak saja mencakup pengajaran agama secara teoritis, tetapi juga

pembentukan watak, karakter dan moralitas tiap-tiap murid.

Untuk pendidikan spiritual inilah, kita kembali mengingat akan apa hakekat kita sebagai manusia yang diciptakan Allah. Secara sempurna, manusia diciptakan Tuhan sebagai ciptaan yang spiritual atau mahluk rohani. Inilah yang membuat kita berbeda dengan mahluk ciptaan lainnya. Tidak saja kita memiliki akal budi, perasaan, dan hati nurani; kitapun diberikan anugerah yang termulia untuk bisa menjalin hubungan yang khusus dengan Allah Sang Pencipta. Tuhan menciptakan kita manusia supaya kita bisa menjalin hubungan yang akrab denganNya. Allah memanggil kita untuk menjadi kudus, seperti para Santo dan Santa di surga. Ya, kita semua dipanggil untuk menjadi serupa seperti Kristus.

(4)

“Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk 12:30) Oleh karena itu, segala yang kita miliki: kepandaian, akal budi, keberadaan, hati nurani dan iman kepercayaan- segala yang ada pada kita, selayaknya kita arahkan kepada Tuhan. Semuanya itu adalah untuk digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah, mencintai Dia, dan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Dengan tujuan hidup yang berpusat kepada Tuhan inilah, kita akan

dikuduskan sesuai dengan gambaran dan rupa Allah, agar dapat bertemu denganNya kembali di Surga. Dengan pengertian tersebut, pendidikan menurut iman Kristiani adalah pendidikan yang tidak hanya berpusat kepada penyempurnaan akal budi manusia, tetapi juga

penyempurnaan hati nurani, moralitas, karakter pribadi, dan iman kepercayaannya.

Pendidikan yang seperti inilah yang menjadi tujuan sekaligus ciri khas pendidikan Katolik.

Apa yang membedakan pendidikan Katolik dari pendidikan Kristen non-Katolik?

Pendidikan Katolik berbeda dari pendidikan Kristen non-Katolik, karena pendidikan Katolik juga mengikutsertakan peran Gereja Katolik di dalam pembangunan dan pembentukan karakter seseorang anak. Peran Gereja sangat penting, karena Gereja sudah dipercayakan oleh Kristus sendiri untuk menggembalakan umat-Nya agar dapat mencapai Surga. Melalui sakramen-sakramen kudus, Kitab Suci, devosi kudus (seperti rosario, doa-doa, litani, renungan harian), pengajaran ataupun penghayatan akan kehidupan para santo/santa, dan banyak tradisi Gereja lainnya; seorang anak diajar, dibimbing, diarahkan, dan dibentuk hati nurani-nya, karakternya, dan iman kepercayaannya untuk menjadi seseorang yang kudus.

Sebagai contohnya, kalau seorang anak tidak mau menurut kepada gurunya, berbuat salah dan tidak mau mengerjakan pekerjaan sekolah sebagaimana semestinya, anak tersebut akan ditegur dan diperingati oleh gurunya. Dia akan dihadapkan kepada dua pilihan : kembali menjadi anak benar, atau terus menjadi anak nakal. Karena Kristus mengajar kita untuk kembali ke jalan yang benar, maka di dalam hati nuraninya, umumnya anak tersebut akan terpanggil dan tergerak untuk menjadi anak yang baik kembali. Gereja Katolik berperan dalam hal ini, dengan memberikan dia kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan Dosa dan menerima sakramen Ekaristi kudus. Dengan cara dan kesempatan ini, anak tersebut dibantu oleh karunia Roh Kudus, agar terus tergerak untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi murid yang baik kembali. Motivasi-nya adalah bukan saja untuk mempunyai nilai yang baik, dan menjadi anak yang bertanggung jawab, tetapi juga untuk menyenangkan hati Tuhan dan orang tuanya. Dengan proses sedemikian, anak tersebut akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan, dan karenanya lebih kudus.

Maka, tujuan utama sekolah Katolik, sesungguhnya sama dan sejalan dengan tujuan utama Gereja Katolik, yaitu menjadi sarana umat Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan sarana umat untuk bertumbuh dalam kekudusan, agar dapat memperoleh janji keselamatan di Surga. Dengan tujuan misi yang mulia seperti inilah, sekolah-sekolah Katolik harus terus berusaha dengan segenap tenaga untuk senantiasa memperbaiki dan menyempurnakan keberadaannya, agar menjadi saluran berkat dan anugerah Allah kepada umat-Nya, yaitu para murid dan semua pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan di sekolah tersebut.

(5)

menerima sakramen Pengakuan Dosa, melakukan devosi bersama seperti Rosario, Kerahiman Ilahi, Jalan Salib, Litani kepada para Orang Kudus, dan Adorasi Sakramen Mahakudus. Kesempatan semacam ini sangatlah penting untuk membimbing spiritualitas dan karakter seseorang, baik para murid, maupun para pengajar. Tambahan lagi, peran Pastor sebagai gembala juga sesungguhnya cukup penting, untuk membimbing dan mengarahkan anak-anak agar menerapkan ajaran Kristus di dalam tingkah lakunya sehari-hari, baik di sekolah

maupun di rumah. Peran Pastor juga berperan penting bagi para guru/staff di sekolah, untuk membantu memberi motivasi dan pengarahan kepada mereka agar menjadi guru yang baik, dalam mendidik dan membimbing anak-anak didik mereka.

Secara garis besar, kurikulum yang bagaimana yang harus diterapkan di sekolah Katolik ?

Kurikulum yang baik harus disesuaikan dengan ajaran iman Katolik. Sesuai dengan tujuan dan misi dari sekolah Katolik, kurikulum ini harus membantu membina akal budi, iman, dan karakter seorang anak secara maksimal, sesuai dengan keberadaan mereka masing-masing sebagai ciptaan Tuhan yang unik. Kurikulum yang dipakai harus bisa membangun

keberadaan seorang anak secara menyeluruh, membangun keseluruhan pribadi anak, baik tubuh maupun jiwa, termasuk pikiran/ akal budi dan hati nurani. Semua mata pelajaran yang diterapkan selayaknya disampaikan dari perspektif dan sudut pandang Gereja Katolik. Ini bukan berarti bahwa kurikulum hanya dipenuhi dengan pelajaran agama Katolik sepanjang hari. Tetapi ajaran Kristiani harus menjadi fokus utama dalam menganalisa semua pelajaran yang diberikan. Dengan kata lain, pelajaran yang diberikan atau buku-buku yang dipakai harus selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran iman Katolik. Sebagai contohnya : pemilihan buku-buku bacaan di dalam kelas adalah buku-buku yang menyampaikan ajaran moralitas yang baik, yang menyampaikan unsur-unsur kebenaran dan kekudusan. Maka kalau kita dihadapkan kepada pilihan antara buku : “Chronicles of Narnia: the Lion, the Witch, and the Wardrobe”, atau “Harry Potter”, sekolah Katolik seharusnya memilih buku “Chronicles of Narnia”. Alasannya adalah karena buku “Chronicles of Narnia” lebih jelas menerapkan ajaran Kristiani, yang mengutamakan unsur persahabatan, pengorbanan dan perjuangan teguh dalam melawan kejahatan, dan pada akhirnya iblis akan dikalahkan dengan iman dan kebenaran, heroisme, dan unsur-unsur kebaikan lainnya. Tokoh karakter utamanya pun adalah orang biasa yang berjuang dengan motivasi menegakkan kebenaran. Juga tokoh singa ‘Ashland’ menyerupai gambaran Kristus Sang Penyelamat. Sedangkan kisah Harry Potter, tokoh utamanya adalah seorang anak yang mempunyai kepandaian sebagai penyihir dengan kuasa kegelapan, yang dapat melakukan banyak trik penyihir yang ajaib. Kalau dibanding dengan seksama, buku manakah di antara kedua buku itu yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Kristiani? Tentu saja buku “Chronicles of Narnia”!

Kurikulum yang baik juga membantu anak-anak untuk bisa berpikir sendiri, yang dilandasi oleh prinsip Kristiani. Kurikulum yang baik juga harus dapat memotivasi seorang anak untuk menyukai proses belajar (‘to know how to learn, and to love learning’). Karenanya,

kurikulum yang benar tidak hanya memberikan mereka dasar cara belajar yang baik, tetapi juga memberikan dasar prinsip yang kuat dalam membaca, menulis, matematika, dan iman Katolik. Dari dasar yang kuat inilah, pelajaran berikutnya akan terus disusun di atasnya. Pelajaran-pelajaran lain, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, musik, seni rupa, dll; bertolak dari empat pelajaran utama tersebut.

(6)

Misalnya, dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam, anak-anak dibimbing untuk melihat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta, dengan segala keindahan dan keagungannya. Dalam mempelajari ilmu sosial, anak-anak diberi pengertian bahwa Tuhan menginginkan kita untuk bekerja sama, antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain, sehingga terjadi kedamaian dan kemakmuran di segala penjuru dunia. Dalam mempelajari musik, alangkah baiknya kalau para murid diberi kesempatan untuk mempelajari musik klasik yang umum mewarnai musik-musik gerejawi, agar para murid mempunyai penghargaan terhadap musik gerejawi. Dalam mempelajari seni rupa, para murid diajar untuk dapat mengagumi

keindahan seni rupa klasik yang menggambarkan keagungan Tuhan dan ciptaanNya.

Maka, secara garis besar, dalam penyampaian kurikulum, ada tiga prinsip yang perlu ditekankan: yaitu mengajarkan anak-anak akan ‘kebenaran, kebaikan, dan keindahan’ -the truth, the good, and the beautiful. Ini adalah prinsip dasar dari ‘Classical Education’ yang tradisional yang menghasilkan banyak santo/santa, para penemu, pemikir, pemimpin, dan tokoh-tokoh utama di Gereja dan di dunia.

Siapa saja yang harus mengerti akan peran, tujuan ataupun misi dari sekolah Katolik ini?

Pengertian akan pentingnya pendidikan Katolik, tujuan ataupun misi utama yang mulia dari sekolah Katolik ini harus dimengerti, dihayati dan dilaksanakan oleh semua staf pengajar, kepala sekolah, pembimbing, dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah tersebut.

Alangkah baiknya kalau para guru ataupun staf pengajar memiliki misi dan tujuan hidup yang sesuai dengan tujuan dan misi Gereja. Tujuan hidup untuk menjadi serupa seperti Kristus, dan para orang kudus seharusnya menjadi tujuan hidup pribadi dari semua staf pengajar. Hal ini sangatlah penting, karena guru-guru ini berperan sebagai uluran tangan Tuhan untuk mengajar, membimbing dan membentuk anak-anak didik mereka. Para guru adalah penyalur berkat Tuhan kepada murid-muridnya. Maka seorang guru berperan sebagai teladan hidup bagi anak-anak muridnya. Umumnya pikiran seorang anak sangatlah sederhana. Seringkali sulit bagi mereka untuk memahami karakter seseorang yang tidak pernah mereka lihat, seperti karakter para Santo ataupun Santa. Karenanya, pengaruh orang-orang di sekitar mereka yang mereka lihat setiap hari, yang berinteraksi dengan kehidupan mereka sehari-hari, akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam pertumbuhan karakter mereka. Kalau guru-guru di sekolah dan orang tua mereka di rumah berusaha sedapat mungkin untuk melaksanakan ajaran Kristus, mempunyai kehidupan rohani yang dekat dengan Tuhan; bertingkah laku dan bertutur kata yang baik dan bijaksana, penuh pengertian, dan cinta kasih; maka secara otomatis anak-anak pun akan terpanggil untuk menjadi seperti mereka. Dengan cara inilah akhirnya, mereka dapat bertumbuh dalam iman dan kekudusan, seperti para orang kudus yang mengikuti teladan Kristus.

(7)

seperti para orang kudus di Surga, sudah selayaknya juga menjadi tujuan hidup setiap orang tua. Tujuan untuk hidup kudus ini harus menjadi tujuan hidup para orang tua secara pribadi, bukan hanya menjadi tujuan ideal yang ‘di awang-awang’ oleh para orang tua secara kolektif. Sebab jika orang tua juga berjuang untuk hidup kudus, ini akan sangat berpengaruh kepada nilai-nilai yang mereka terapkan dalam keluarga, yaitu tentang apa- apa yang diperbolehkan ataupun tidak diperbolehkan di dalam rumah tangga mereka. Di sinilah penting agar proses pendidikan di sekolah melibatkan juga peran orang tua, atau tepatnya berjalan seiring dengan pendidikan dari orang tua, agar apa yang diajarkan di sekolah dilanjutkan secara konsisten di rumah, terutama yang menyangkut nilai-nilai positif sehubungan dengan pembentukan karakter anak.

Relevan di sini untuk disebutkan besarnya pengaruh media sekular, termasuk internet, hand phone, berbagai entertainment -seperti film, video game, musik- dan buku-buku bacaan, bagi pikiran, perkembangan karakter dan kerohanian seorang anak. Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam hal ini orangtua adalah pondasi dan benteng keluarga yang utama untuk menjaga dan mengawasi hal-hal apa saja yang mempengaruhi pikiran seorang anak, yang dapat

berpengaruh juga terhadap pembentukan karakternya. Orang tua, bersama para pendidik di sekolah harus dapat menentukan hal-hal yang baik bagi perkembangan anak dan hal-hal yang bersifat merusak dan mengotori pikiran seorang anak. Segala jenis buku, media,

entertainment, dll yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, sedapat mungkin harus

dijauhkan dan dicegah pemakaiannya dan sirkulasinya dari kehidupan anak-anak sehari-hari. Termasuk di sini adalah jenis film yang mereka lihat, buku cerita yang mereka baca, website yang mereka cari di komputer, video game yang mereka mainkan, dll. Semua hal ini perlu diarahkan agar membantu dan bukannya merusak kerohanian anak ataupun mempengaruhi karakter anak secara negatif. Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan, yang

mempelajari pengaruh buruk dari film, video game, musik sekular, dan media sekular lainnya terhadap perkembangan akal budi, moralitas, dan karakter anak. Akses terhadap film atau video game tertentu dapat mengakibatkan anak-anak menjadi hiper-aktif, tidak bisa berkonsentrasi saat belajar, tidak senang membaca, tidak dapat bersosialisasi dengan baik, tidak dapat berimajinasi, dll; karena otak mereka sudah dibiasakan untuk terstimulasi dengan entertainment yang sifatnya cepat, menarik, ber-glamour, dan materialistis. Belum lagi tambahan pengaruh buruk dari segi moralitas, yang berpotensi membawa anak-anak untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran dan pandangan iman Kristiani. Untuk membentengi anak-anak dari pengaruh negatif ini, orang tua bukan saja perlu secara aktif menjaga jenis entertainment dan pengaruh media di dalam keluarganya, mereka juga harus membatasi pemakaiannya. Jika diperlukan, para pendidik di sekolah perlu untuk

mengingatkan orang tua akan hal ini, terutama jika karena hal-hal ini, anak-anak tidak dapat berkonsentrasi belajar di sekolah. Orang tua perlu diingatkan agar tidak mengandalkan media, entertainment untuk menjadi baby-sitter bagi anak-anak mereka. Ini bukan berarti bahwa semua media entertainment buruk sifatnya. Tetapi baik orang tua maupun para pendidik di sekolah perlu mengawasi, agar anak-anak dapat memilih permainan ataupun tayangan yang mendukung pertumbuhan moral yang positif untuk perkembangan karakter anak, dan adalah perlu agar jumlah waktu penggunaan ataupun akses kepada hal-hal tersebut dibatasi.

Apakah peranan sekolah Katolik terhadap masyarakat ?

(8)

bersinar di tengah kegelapan. Oleh karena itu, sekolah Katolik berperan penting dalam mendidik, membina dan membangun suatu generasi, yang tidak hanya percaya dan beriman kepada Tuhan, tetapi juga peka terhadap kehidupan dan masyarakat di sekitarnya. Anak-anak semestinya dibimbing untuk menjadi pemimpin masa depan yang tidak hanya penuh dengan ilmu, ketrampilan, dan kepandaian; tetapi juga menjadi pemimpin yang takut akan Tuhan, rendah hati dan mempunyai jiwa melayani sesama. Untuk itulah pendidikan Katolik ini sangat penting peranannya, karena pendidikan Katolik bertujuan untuk menghasilkan orang-orang yang berintegritas, terbentuk secara keseluruhan (‘well rounded people’). Berintegritas di sini, bukan saja hanya dalam hal pemikiran, tetapi juga dalam perkataan dan perbuatan. Alangkah baik dan mulianya kalau dunia ini mempunyai pemimpin-pemimpin utama di masyarakat yang tidak saja pandai, tetapi juga beriman kepada Tuhan, rendah hati, adil, bijaksana dan penuh kasih terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan menderita.

Seperti banyak Santo/Santa yang diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin suatu organisasi di dalam Gereja ataupun di masyarakat, atau lebih lagi suatu negara; misalnya St. Patrick dengan peranannya untuk membimbing dan memimpin masyarakat di Irlandia kepada Tuhan, atau Mother Teresa dalam memimpin Sisters of Charity menjadi berkat pelayanan masyarakat miskin di India, atau St. Fransiskus dari Asisi dalam mendirikan ordo Fransiskan, atau St. Thomas Aquinas yang melalui tulisannya dan pengajarannya menjadi salah seorang Pujangga Gereja yang berperan penting dalam menyampaikan ajaran iman secara sistematik, dan lain lain. Semua orang kudus tersebut mempunyai peran yang sangat besar dalam mewujudkan panggilan hidup untuk menjadi garam dan terang dunia. Tuhan menggunakan mereka, satu-persatu secara pribadi, dengan cara-Nya yang khusus untuk menjadi saluran berkat-Nya dalam karya-Nya menyelamatkan dunia.

Bagaimana mewujudkan sekolah Katolik yang baik?

Sejujurnya kami percaya bahwa dewasa ini masih ada sejumlah sekolah Katolik yang baik dan bermutu, namun karena kami tidak mempunyai akses untuk membahas apa yang diterapkan di sana, maka kami memutuskan untuk membagikan pengalaman kami bersama dengan beberapa keluarga lainnya, bersama dengan Pastor paroki untuk mengembangkan sebuah sekolah Katolik kecil di Amerika. Sekolah ini bernama St. Adalbert School di Rosholt, Wisconsin. Kami yang tergabung dalam Komite Pendidikan, selama enam tahun terakhir ini berusaha dengan segenap hati dan tenaga, untuk memperbaiki keberadaannya, untuk menjadi lebih menyerupai gambaran sekolah Katolik yang dikehendaki oleh Gereja Katolik.

Case Study : St. Adalbert Catholic School di Rosholt, Wisconsin, USA Latar Belakang

(9)

St. Adalbert Catholic school ini terletak berseberangan dengan St. Adalbert Catholic Church. Seperti keadaannya dengan banyak sekolah Katolik di Amerika, sekolah adalah bagian dari paroki; istilahnya: sekolah paroki (parish school). Karenanya, Pastor dari Gereja St. Adalbert juga menjadi pastor di St. Adalbert school.

Di tahun 2008, Saint Adalbert school merubah kurikulum yang dipakai hampir secara total. Mereka berusaha untuk menjadi sekolah yang lebih berkualitas baik, dari segi akademis dan dari segi iman Katolik. Perubahan ini merupakan titik balik utama dalam sejarah sekolah ini. Tahun itu merupakan tahap pertama dari proses perkembangan kualitas secara

berkesinambungan untuk menjadi sekolah Katolik yang ideal, seperti yang diharapkan oleh Gereja Katolik.

Misi Sekolah dan Pelaksanaan

Misi dari St. Adalbert school adalah “to teach children as Jesus did, so that they become future leaders and the new saints of the new millennium”- “mengajarkan kepada anak-anak sebagaimana Yesus mengajar, sehingga kelak mereka dapat menjadi para pemimpin dan para orang kudus di era milenium.” Maka, St. Adalbert school tidak saja mengutamakan tingginya kualitas akademis, tetapi juga tingginya pembentukan iman Katolik dari murid-muridnya. Sekolah ini selalu berusaha sedapat mungkin untuk memberikan kualitas pelajaran dan lingkungan belajar yang terbaik bagi semua muridnya, sesuai dengan ajaran iman Katolik. Motto yang sering dipakai dalam menggambarkan keberadaan sekolah ini adalah mendorong agar, “anak-anak yang biasa dapat mengerjakan hal-hal yang luar biasa” (ordinary children doing extra-ordinary things).

Dari usaha pertama yaitu mencari guru, St. Adalbert school sedapat mungkin mencari guru Katolik yang benar-benar mengerti dan mempraktekkan ajaran Katolik di dalam

kehidupannya sehari-hari. Guru-guru di sekolah ini benar-benar berdedikasi tinggi. Mereka meluangkan waktu dan tenaga sepenuhnya untuk mengajar murid-murid di sekolah ini. Terlebih lagi, karena sekolah ini sangat kecil, satu orang guru harus mengajar dua level (grades) di dalam satu ruang kelas. Mereka hanya mempunyai waktu yang singkat sekali untuk ‘break-time’. Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak umatnya, paroki ini hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada guru-gurunya. Walaupun demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya dengan sabar dan penuh berjiwa pelayanan. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di sekolah Katolik, jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau melayani Tuhan dan Gereja-Nya. Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka. Mereka sangat peduli akan keberadaan dan perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut. Mereka mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.

(10)

langkah yang dijalani di sekolah. Misalnya: di bulan Mei yang baru saja berlalu, untuk memperingati dan menghormati Bunda Maria, setiap kelas diwajibkan untuk menggambar Bunda Maria dari segala penjuru dunia, sebesar satu pintu masuk kelas. Ada kelas yang menggambar Bunda Maria dari Polandia, Bunda Maria dari Lourdes, Bunda Maria dari Guadalupe- Mexico, Bunda Maria dari Korea/Japan, dst. Semua gambar ini adalah upaya kerja sama dari anak-anak di kelas masing-masing. Gambar yang indah ini kemudian mereka pasang di pintu masuk ruang kelas. Mereka juga menggambar bunga-bunga, taman, burung, kupu-kupu, pohon, dll sepanjang korridor dan langit-langit sekolah. Tujuannya adalah mereka ingin menciptakan “Mother Mary’s Garden” (kebun Bunda Maria), supaya selama bulan Mei ini, anak-anak diberi kesempatan khusus untuk menghayati dan menghormati Bunda Maria, yang adalah Bunda Tuhan Yesus dan Bunda semua umat Kristen. Anak-anak sangat bangga dan senang sekali dengan kreativitas ciptaan mereka. Proyek ini bukan saja menghasilkan sesuatu karya yang indah, yang bisa dinikmati setiap orang, tetapi juga

membantu mendekatkan hati anak-anak dan semua orang yang melihat kepada Bunda Maria dan kepada Tuhan kita yang telah memilihnya untuk melahirkan Yesus Kristus Putera-Nya.

Idealisme para guru

Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak umatnya, paroki ini hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada guru-gurunya. Walaupun demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya dengan sabar dan penuh berjiwa pelayanan. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di sekolah Katolik, jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau melayani Tuhan dan Gereja-Nya. Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang ataupun berbisnis semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka. Mereka sangat peduli akan keberadaan dan perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut. Mereka mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.

Guru-guru di St. Adalbert school menganggap bahwa menjadi guru di sekolah ini adalah suatu pelayanan kepada Tuhan dan Gereja Katolik. Bagi mereka, menjadi guru di sekolah Katolik adalah kesediaan memenuhi kehendak Tuhan dan panggilan hidup dari Tuhan, agar mereka dapat memberikan dampak positif dan pengaruh yang besar kepada anak-anak didik yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para guru ini melihat kesempatan mendidik anak-anak tersebut sebagai berkat yang besar, karena dipercayakan untuk turut membentuk akal budi dan karakter setiap dari anak-anak itu. Sebagai pendidik, para guru berperan sebagai “saluran” berkat Tuhan kepada anak-anak didik mereka. Dengan demikian, para guru

mengabdikan diri mereka sebagai pelayan Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa, “I am like a pencil in the hand of God”.

(11)

Menurut pengamatan saya, idealisme yang tinggi dari para guru ini terjadi karena:

1. Mereka bukan hanya Katolik di KTP saja, tetapi adalah orang-orang yang hidup melaksanakan imannya, dan berusaha semampu mereka untuk mengikuti ajaran Gereja. Mereka mempunyai kehidupan rohani sendiri, rajin membaca Kitab Suci dan buku-buku Katolik lainnya, melaksakan devosi seperti rosario, dan Adorasi, mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa secara rutin, dst.

2. Mereka mencintai iman Katolik mereka, mereka meyakini bahwa Gereja Katolik mengajarkan kepenuhan kebenaran iman Kristiani, dan bahwa Kristus telah mendirikan Gereja sebagai sarana keselamatan.

3. Mereka tidak melakukan hal-hal yang menentang ajaran Gereja. Mereka tidak hidup bersama pasangannya sebelum menikah, mereka yang sudah menikah, tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi, mereka tidak

mendukung aborsi, tidak mendukung perkawinan sesama jenis, dst yang dilarang oleh Gereja. Memang dalam penerimaan guru mereka harus menandatangani bahwa mereka harus menyetujui semua ajaran Gereja Katolik, termasuk ketaatan untuk tidak melakukan hal-hal yang ditolak oleh Gereja. Ketaatan ini penting agar para guru itu dapat menjadi teladan iman bagi anak-anak didik mereka.

4. Mereka menyukai aktivitas mengajar. Mereka menjadi guru bukan karena semata-mata pekerjaan. Para guru itu menyukai anak-anak, dan

berbahagia dapat terlibat dalam pembentukan karakter mereka.

Garis Besar Kurikulum

Kurikulum yang diterapkan di sekolah ini mengikuti kurikulum dengan pandangan ‘traditional/classical education’. Dari kelas Pre-Kindergarten sampai kelas 2, fokus yang diutamakan adalah belajar membaca, menulis, berhitung dan Katekismus Katolik dasar. Penekanan diberikan pada pentingnya membaca melalui diktasi, phonics, ’decoding’ words, dan basic grammar English. Buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang sesuai dengan level mereka masing-masing, dengan kesempatan untuk naik ke level yang berikutnya jika dipandang memadai. Dari segi literatur, anak-anak diarahkan untuk membaca buku-buku novel klasik yang memiliki pemilihan bahasa yang baik, disertai dengan jalan cerita yang menarik untuk anak-anak di level mereka masing-masing. Untuk matematika, mereka dilatih mengenal dunia matematika dengan ‘hands-on’ aktivitas, menghapal Math’s facts, berhitung dasar, dan pengulangan yang rutin. Tujuan utama sampai kelas 2 ini adalah agar mereka bisa membaca dengan lancar buku novel klasik anak (tanpa gambar) setebal ± 150 – 200 halaman. Di sekolah ini, komputer sama sekali tidak digunakan sampai murid-murid mencapai kelas 3, waktu mereka mengetik karangan/tulisannya yang pertama.

(12)

Dari kelas 6 sampai kelas 8 (SMP), penekanan baru ditambahkan pada mengajar anak untuk menganalisa dan berpikir secara lebih dalam. Pelajaran-pelajaran yang diterapkan harus disesuaikan sehingga melatih daya pikir anak untuk menganalisa suatu keadaan yang lebih abstrak, dengan cara dialogue dan pembahasan dari pandangan Gereja Katolik. Penekanan logika menganalisa harus mulai diterapkan di dalam kurikulum pelajaran. Hal ini penting, supaya anak-anak mulai diajar untuk mengaplikasikan pelajaran Katolik yang mereka sudah dapat, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Pelajaran Agama

Adalah sangat penting, bahwa kurikulum pelajaran agama yang diberikan adalah kurikulum yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Sekolah St. Adalbert menggunakan buku terbitan Ignatius Press yang berjudul Faith and Live series. Di sana disampaikan ajaran iman Katolik dengan penuh (tidak dikompromikan) walaupun disampaikan sesuai dengan umur anak. Prinsipnya ajaran iman Katolik tidak dapat diubah ataupun dikurangi, namun cara penyampaiannya saja, yang disesuaikan.

Di sekolah St. Adalbert, pelajaran agama diadakan setiap hari, di setiap kelas, sekitar 20 menit; kecuali hari Jumat, karena setiap Jumat sudah diadakan perayaan Ekaristi, dan Benediction setelahnya di gereja. Guru yang mengajarkan agama sama dengan guru

kelasnya. Kekecualian adalah pada kelas yang gurunya adalah non-Katolik. Pelajaran agama bagi kelas ini diberikan oleh guru yang Katolik, dan guru yang non-Katolik ini ‘bertukar tugas’ sementara dengan guru ini, dengan mengajarkan mata pelajaran spelling (membaca) pada kelas yang lain. Guru yang non- Katolik ini menghormati apa yang diajarkan di sekolah. Ia berpartisipasi dalam doa Rosario maupun doa-doa lainnya. Walaupun tidak menerima Komuni dalam perayaan Ekaristi, ia mengikuti perayaan tersebut dengan khidmat. Pada saat pembagian Komuni ia maju ke depan untuk menerima berkat dari Father.

Kehidupan Spiritualitas komunitas sekolah

Berikut adalah jadwal rutinitas rohani setiap minggu yang dilakukan di St. Adalbert School:

1. Waktu masuk sekolah adalah jam 8:00 pagi. Doa pagi dilakukan di kelas masing-masing.

2. Pada hari Rabu pagi dan Jumat pagi, semua murid dan staf guru pergi ke gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi pagi.

3. Pada hari Jumat pagi, setelah Misa pagi, semua murid dan staf guru mengikuti Adorasi Sakramen Mahakudus, Litani para kudus, dan devosi Kerahiman Ilahi/ “Divine Mercy”.

4. Pada hari Selasa dan Kamis, murid-murid belajar mengenai Santo/santa tertentu (disesuaikan dengan kalendar liturgi), atau berdoa rosario.

5. Kurang lebih 3 minggu sekali, setiap anak diberikan kesempatan untuk menerima Sakramen Pengakuan Dosa.

(13)

7. Pada waktu makan siang (jam 11:20 a.m), doa makan dilakukan di kelas masing-masing.

8. Tepat pada jam 12:00 siang, semua staf/ murid berdoa Angelus (Malaikat Tuhan).

9. Setelah istirahat siang/waktu main selama 30 menit, pelajaran di sekolah kembali dilakukan dan diakhiri jam 3:00 siang dengan doa penutup.

Di samping jadwal rutinitias di atas, ada acara-acara lain yang dilakukan untuk membantu mendalami iman:

1. Acara Natal dilakukan di bulan Desember, dengan topik yang berfokus pada kelahiran Kristus dan keselamatan melalui Inkarnasi Kristus.

2. Semasa Adven dan Prapaskah, murid-murid diberikan aktivitas yang mempersiapkan mereka kepada Natal/Paskah.

3. Seni rupa/musik yang diajarkan sepanjang tahun seringkali bertemakan Kristiani, disesuaikan dengan perayaan/hari-hari khusus Gereja.

4. Selain pendidikan agama, murid-murid juga belajar mengenal dan memperdalam pengertian mereka akan orang-orang kudus. Terutama pada waktu merayakan hari ‘para orang kudus’ (All Saints’ Day) 1 November, mereka melakukan perayaan khusus dengan memberikan kesempatan bagi murid-muridnya untuk memakan pakaian seperti Santo/santa yang dipilih. Anak- anak yang lebih besar memberikan presentasi akan Santo/santa yang mereka pilih.

5. Pada waktu masa Prapaskah, murid-murid mengikuti acara Jalan Salib.

6. Pada bulan Mei, diadakan upacara ‘May Crowning’, di mana murid-murid memberikan mahkota bunga yang mereka rangkai kepada patung Bunda Maria.

7. Di akhir tahun ajaran, diadakan konser /pementasan yang bertemakan ajaran Kristiani.

8. Beberapa kali dalam tahun pelajaran diadakan field trip/tour/ziarah ke tempat-tempat kudus, seperti grotto (taman gua Maria), Gereja Katedral, Shrine, dll.

9. Pada tanggal December 5, Pastor dari St. Adalbert Church memakai jubah menyerupai Santo Nicholas (bukan sebagai santa Klaus) dan mengunjungi setiap kelas.

10.Anak-anak diajar untuk peka terhadap masalah sosial dengan

(14)

Pengaruh positif pelaksanaan devosi terhadap perilaku anak-anak

Salah satu ciri khas sekolah Katolik yang menonjol adalah pelaksanaan doa bersama di sekolah. Pelaksanaan doa bersama, devosi, perayaan Ekaristi Kudus, dan penerimaan sakramen-sakramen lainnya, seperti sakramen Pengakuan dosa, Komuni pertama dan

Penguatan/ Krisma berperanan sangat besar sekali terhadap perilaku anak-anak. Melalui doa-doa devosi, anak-anak diajar untuk meluangkan waktu mereka bagi Tuhan. Di tengah-tengah kesibukan belajar dan kegiatan sekolah yang banyak memakan waktu, mengadakan waktu untuk Tuhan adalah penting sekali untuk diajarkan kepada anak.

Maka berdoa bersama, selayaknya tidak dipandang sebagai ‘membuang-buang waktu’, namun sebagai kesempatan untuk mendidik anak-anak untuk mengutamakan Tuhan dalam hidup mereka. Berikut ini adalah hal-hal positif yang ditimbulkan dengan pelaksanaan devosi dalam komunitas sekolah:

1. Pelaksanaan devosi membuat anak-anak menjadi lebih tenang di dalam hatinya, lebih memiliki self-control/ pengendalian diri untuk menjaga kelakuannya sehari-hari di sekolah.

2. Secara tidak langsung, mereka juga belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah lainnya dengan lebih fokus -karena keterbatasan waktu- dan sistematis.

3. Pelaksanaan devosi juga mengajar anak-anak untuk memulai harinya dengan Tuhan dan menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan.

4. Hubungan yang baik dengan Tuhan akan membawa akibat hubungan yang baik antara anak-anak dan para guru juga dengan sesama murid dan sesama guru.

5. Hubungan yang baik dengan Tuhan membuat Roh Kudus akan bekerja di dalam hati setiap murid dan guru, untuk memberikan segala sesuatu yang terbaik di sekolah, dan untuk bersikap seperti Kristus di dalam segala hal.

Peran guru dalam mendisiplinkan murid yang nakal

Tentu saja pengaruh guru-guru penting sekali dalam membantu anak-anak untuk bersikap baik di sekolah. Jika anak-anak nakal, para guru mengingatkan mereka dengan memberikan pertanyaan, “What would Jesus do?” jika Ia ada dalam keadaan tersebut. Karena anak-anak sudah dengan sendirinya ingin berlaku baik, peringatan ini cukup dilakukan sekali ataupun dua kali saja.

Cara mendisiplinkan murid yang dilakukan di St. Adalbert school adalah sistem disiplin secara Kristiani. Yang dimaksud di sini adalah disiplin atas dasar ‘kasih Kristus kepada anak-anak-Nya’. Maka disiplin ini bukan didasarkan atas kemarahan ataupun pelampiasan

kekesalan guru dan juga bukan dengan pendidikan dengan sistem militer. Disiplin ini didasarkan pada motivasi, “Apa yang sebaiknya dilakukan untuk membantu pembentukan karakter anak ini untuk menjadi lebih baik?”

(15)

1. Memperingatkan dengan nada suara yang biasa -tetapi cukup bisa didengar oleh anak- untuk memberhentikan perbuatan nakalnya dan kembali menjadi anak baik.

2. Apabila anak tersebut mengabaikan peringatan tersebut, guru akan

memberikan peringatan yang kedua kalinya dengan nada suara yang lebih tegas, dan bisa juga lebih keras, sebab kemungkinan murid itu benar-benar tidak mendengar sebelumnya.

3. Apabila anak tersebut tetap mengabaikan peringatan yang kedua kalinya, maka guru akan mendekatkan dirinya kepada sang murid, melihat murid tersebut dengan seksama dalam jarak yang dekat -maksudnya adalah supaya bisa berkomunikasi dengan lebih personal- mengingatkan anak tersebut akan apa yang mungkin Yesus lakukan dalam keadaan seperti itu, atau juga mengingatkan akibat perbuatan anak tersebut terhadap dirinya sendiri, terhadap orang di sekitarnya, dan terhadap Tuhan -karena dia mengabaikan Tuhan dan membuat Tuhan sedih). Penting bagi guru untuk mengambil nada suara yang tenang, tetapi tegas; tidak perlu marah-marah atau berteriak-teriak dengan suara yang keras. Nada suara yang membentak-bentak akan memberikan dampak yang tidak produktif. Hal ini akan membuat anak menjadi takut atau bertambah marah-tergantung karakter anaknya, tetapi tidak membantu mereka memperbaiki diri. Tambahan lagi, guru tersebut juga menjadi kehilangan pengendalian dirinya sendiri.

4. Kadang-kadang anak tersebut perlu dipindahkan dari

situasi/lingkungannya, dengan cara pergi ke tempat lain, atau masih di dalam kelas yang sama atau kalau perlu, ke kantor kepala sekolah), untuk ‘take a break’, supaya dia bisa punya waktu untuk berpikir dan

merenungkan akibat perbuatannya tersebut pada dirinya sendiri, orang lain, dan Tuhan.

5. Setelah selesai merenungkan perbuatannya, anak tersebut sebaiknya berdoa singkat, minta ampun pada Tuhan, karena telah membuat Tuhan bersedih. Anak itu juga harus minta maaf kepada orang lain (murid lainnya ataupun guru) yang terkena akibat perbuatannya.

(16)

Perlunya melibatkan orang tua dalam pendidikan anak-anak

Orang tua sangat besar pengaruhnya dalam mendidik anak. Dalam melibatkan orangtua, pertama kali pentingnya bagi pihak sekolah dan orangtua berada dalam pengertian yang sama mengenai cara mendidik anak. Maksudnya, pihak sekolah dan orang tua harus kurang lebih melihat dari cara pandang yang sama, sehingga apa yang dilakukan di sekolah juga ditunjang oleh orangtua di rumah. Contohnya:

1. Mengerjakan pekerjaan sekolah/ rumah. Orangtua sebaiknya ikut terlibat (disesuaikan dengan umur anak) akan perkejaan sekolah anak.

Maksudnya, orangtua harus mengetahui akan apa yang dikerjakan/ dipelajari oleh anaknya di sekolah. Tujuannya adalah apabila ada hal-hal yang tidak sesuai/ tidak baik yang didapat dari anak di sekolah (misalnya dari buku bacaan, teman, internet, dll), orangtua bisa lebih pro-aktif mencegah pengaruhnya bagi anak.

Alangkah baiknya bagi orang tua untuk benar-benar memahami peran utamanya dalam pendidikan dan pembentukan anak. Katekismus Gereja Katolik sendiri mengajarkan bahwa peran orang tua tersebut adalah yang pertama dan utama apabila dibanding dengan peranan sekolah. Sekolah fungsinya hanya membantu orangtua dalam mendidik anak. Pada

akhirnya, tujuan orang tua yang utama adalah membawa dan mengarahkan anaknya ke Surga.

2. Dalam masalah mendisiplinkan anak. Apabila seorang anak didisiplinkan di sekolah, lalu pulang ke rumah dengan complain-complain atau

menyalahkan gurunya, orangtua tidak boleh langsung membela anaknya dan menyalahkan gurunya. Orangtua harus dengan kepala dingin

mendengar masalah yang dikemukakan anaknya, dan berusaha

menjelaskan kepada anaknya mengapa guru/ pihak sekolah melakukan kebijaksanaan yang demikian.

Apabila orangtua merasa ada hal yang tidak jelas akan keadaan yang dilaporkan oleh anak, orang tua bisa menghubungi pihak sekolah dan berbicara dengan guru/kepala sekolah untuk mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya. Satu hal penting untuk diingat adalah jangan

mengkoreksi/ berselisih pendapat dengan guru di depan anak-anak. Kalau hal ini dilakukan, anak-anak akan kehilangan rasa hormat pada gurunya. Dan di kemudian hari, apabila ada masalah baru, dia akan menggunakan orangtuanya sebagai ‘senjata’ atau ‘tameng’ untuk tidak mengikuti perkataan gurunya. Hal ini bisa terjadi terutama pada anak-anak yang lebih besar. Jika secara umum para guru mengalami keadaan di mana para orang tua justru tidak kooperatif dengan upaya pihak sekolah untuk

mendidik anak-anak mereka, mungkin ada baiknya diadakan pertemuan antara para murid, guru, kepala sekolah dan hal-hal semacam ini dapat dibicarakan dengan baik, sehingga dapat terjadi rasa saling pengertian di antara semua pihak.

(17)

4. Orangtua harus menerapkan disiplin yang benar, efektif dan konsisten di rumah. Misalnya sehubungan dengan waktu tidur malam yang cukup banyak bagi anak. Tidur malam penting sekali bagi anak sekolah, karena mempengaruhi kelakuan anak di esok harinya, dan prestasi belajarnya. Kalau seorang anak dibiasakan tidur terlalu malam, ia akan terlalu lelah besoknya, cenderung lebih emosional (gampang kesal, marah, atau menjadi ‘trouble-maker’ di sekolah). Lebih lagi, ia akan tidak fokus dalam pelajaran (karena lelah), tidak mau melakukan pekerjaan sekolahnya dengan seksama, dll.

Hal lain yang penting untuk dikontrol adalah pengaruh rekreasi media di rumah, seperti TV, video game dan penggunaan telepon. Waktu istirahat yang dihabiskan di depan media seperti ini sifatnya counter productive. Penggunaan alat-alat semacam ini dalam jangka waktu yang lama, akan membawa pengaruh bagi anak-anak, terutama membuat anak-anak menjadi malas berpikir, membuat perilaku jadi hyper-active, dan menurunkan kreativitas / daya imajinasi anak.

Contoh cara menumbuhkan rasa kasih persaudaraan

Rasa kasih persaudaraan sesama murid bisa ditanamkan dengan banyak cara. Berikut adalah beberapa contoh yang mudah untuk dilakukan:

1. Kalau ada murid yang sakit, guru dapat mengkoordinasikan agar teman-teman sekelasnya dapat mengirimi kartu sederhana yang ditandatangani oleh mereka, dengan ucapan singkat yang membangun semangat,

seperti: semoga cempat sembuh, we miss you, dll. Waktu doa pagi di kelas tersebut, bisa juga mendoakan murid/ guru yang sedang sakit. Kalau sakitnya berat, bisa didoakan di bagian doa umat dalam perayaan Misa Kudus.

2. Pada waktu istirahat main, dapat diadakan permainan yang menyangkut banyak anak, seperti team work, untuk menjalin kerjasama dan

kekompakan.

3. Beberapa perkerjaan sekolah sebaiknya dilakukan di dalam kelompok. Misalnya, dekorasi untuk perayaan tertentu, perkerjaan ketrampilan, pertunjukan musik/drama, dll.

4. Melakukan perkerjaan sosial secara bersama-sama, misalnya: membuat selimut untuk orang yang berkekurangan, membersihkan gereja,

membuat paket Natal atau Paska untuk anak-anak panti asuhan, dll.

St. Adalbert School’s Achievements

1. Tahun 2012 – 2013 : St. Adalbert school menerima penghargaan khusus dari Keuskupan; se bagai satu di antara tujuh sekolah terbaik “Top Winning Schools” di Keuskupan Agung LaCrosse, Wisconsin; dari segi akademis dan kualitas pendidikan.

(18)

dilihat berita ‘press release’ di bawah artikel ini, yang dipublikasikan di media setempat.

Marilah kita terus berusaha untuk memperbaiki keadaan pendidikan di masyarakat, terutama di sekolah Katolik untuk menjadi lebih baik, sesuai dengan gambaran dan ajaran Gereja Katolik. Pendidikan adalah masa depan suatu bangsa, dan masa depan Gereja.

(19)

Pendahuluan

Jika kita mendengar kata ‘spiritualitas’, kita dibawa pada suatu kenyataan bahwa di dalam hidup, manusia selalu mencari ‘sesuatu di atas dirinya’ sebagai manusia. Hal ini disebabkan karena kita manusia tidak hanya terdiri dari tubuh saja, melainkan juga jiwa spiritual, sehingga kita selalu memiliki kecenderungan untuk menemukan jati diri kita dengan mengenali Sang Pencipta. Seperti halnya ikan salmon yang mengembara ribuan kilometer dalam hidupnya untuk kembali ke tempat ia dilahirkan dan mati di tempat asalnya tersebut; demikian halnya dengan manusia. Sudah selayaknya, kita –yang diciptakan lebih sempurna dari ikan salmon- menyadari, bahwa kita berasal dari Tuhan dan suatu saat akan kembali kepada Tuhan. Maka, di dalam hidup, kita akan berusaha untuk mengenal diri sendiri dan Tuhan, dan di sinilah spiritualitas berperan dalam kehidupan kita.

Tuhanlah yang memberi makna hidup

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat, bahkan mengalami pergumulan untuk pencarian jati diri, yang lebih umum dikenal dengan pencarian makna hidup, atau singkat kata, kebahagiaan. Dan karena asal dan akhir manusia adalah Tuhan, maka tidak

mengherankan bahwa di dalam pergumulan ini, banyak orang mengalami seperti yang dikatakan oleh Santo Agustinus, “Hatiku tak pernah merasa damai sampai aku beristirahat di dalam Engkau, ya Tuhan.” Tuhanlah sumber kebahagiaan kita dan Dia-lah yang memberi arti dan maksud dari hidup ini. Maka, hanya jika kita sampai kepada Tuhan, barulah kita

menemukan damai dan pemenuhan makna hidup. Kesaksian dari banyak orang membuktikan hal ini: ada banyak orang yang secara materiil tak kurang sesuatu apapun, tetapi tidak

bahagia, sementara ada orang-orang lain yang hidup sederhana tetapi dapat sungguh berbahagia dan menikmati hidup. Pertanyaannya, kenapa demikian?

Dapat dimengerti, spiritualitaslah yang membedakan kedua kelompok ini. Spiritualitas di sini mengacu pada nilai- nilai religius yang mengarahkan tindakan seseorang.[1] Jika nilai- nilai yang dipegang tidak mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang dicapai adalah ‘semu’ sedangkan jika nilai-nilai itu mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan sejati. Meskipun spiritualitas ini tidak terbatas pada agama tertentu, namun, kita bisa memahami, bahwa spiritualitas mengarah pada Tuhan Sang Pencipta, karena semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama, dan karena hanya di dalam Tuhanlah kita mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan di dalam kehidupan ini.

Spiritualitas Kristiani adalah Spiritualitas Tritunggal Maha Kudus yang berpusat pada Kristus

Sebagai umat Kristiani, kita percaya bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus PuteraNya[2] oleh kuasa Roh Kudus-Nya. Oleh karena itu, spiritualitas Kristen

bersumber pada Allah Tritunggal Maha Kudus, yang berpusat kepada Kristus,

(20)

Jadi, ‘komuni’ atau persatuan kudus kita dengan Allah Tritunggal adalah tujuan hidup kita. Sekarang masalahnya adalah, apakah kalau kita percaya kepada Tuhan, otomatis kita pasti bisa bersatu dengan Dia? Pertama-tama kita harus menyadari, bahwa persatuan dengan Tuhan yang membawa kita pada keselamatan adalah suatu karunia; itu adalah pemberian, bukan karena usaha manusia (Ef 2:8). Karunia keselamatan tersebut diberikan oleh Kristus melalui wafatNya di salib, kebangkitanNya dan kenaikanNya ke surga. Misteri ini-lah yang sampai sekarang selalu dihadirkan kembali oleh Gereja Katolik, melalui sakramen

sakramennya, terutama Sakramen Ekaristi,[4] di mana kita dipersatukan dengan Tubuh dan Darah Kristus, Jiwa dan Ke–ilahianNya. Persatuan atau komuni kudus ini adalah cara yang dipilih Allah untuk mengangkat kita menjadi serupa dengan Dia. Untuk maksud persatuan kudus inilah, Kristus mendirikan Gereja Katolik untuk melanjutkan karya Keselamatan-Nya kepada dunia sampai kepada akhir zaman.

Peranan Iman

Dalam hal persatuan dengan Tuhan melalui misteri Keselamatan inilah, iman mengambil peranan penting. Iman di sini bukan berarti kepercayaan subjektif bahwa pasti kita diampuni sehingga kita tidak perlu melakukan sesuatu apapun sebagai konsekuensi, melainkan iman yang objektif, yang diawali dengan pertobatan sejati dan diikuti dengan proses

memperbaiki diri, yaitu suatu perjuangan untuk semakin menjadikan diri kita semakin mirip dengan Tuhan yang menciptakan kita. Dalam hal ini, iman yang dimaksud adalah ketaatan iman (Rom 16:26; 1: 5) yang diberikan kepada Allah yaitu dengan cara mempersembahkan ketaatan kita secara penuh yang mencakup kehendak dan akal budi, dan dengan mematuhi dan menyetujui segala kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan kepada kita.[5] Kebenaran yang dinyatakan oleh Kristus dilanjutkan oleh Gereja-Nya, Gereja Katolik, sehingga ketaatan total kepada Tuhan membawa kita kepada ketaatan kepada kepada Gereja. Taat di sini tidak saja mencakup taat kepada Firman Tuhan yang tertera pada kitab suci, tetapi juga kepada Gereja-Nya, karena keduanya sejalan dan tidak dapat dipisahkan.

Spiritualitas Katolik adalah spiritualitas yang otentik

Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa spiritualitas yang dinyatakan oleh Kristus adalah spiritualitas yang otentik, meskipun Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan kudus yang dinyatakan oleh agama-agama lain.[6] Dikatakan otentik karena spiritualitas ini berasal dari Tuhan sendiri, yang kini berada di dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para uskup pembantunya, meskipun ada banyak unsur pengudusan dan kebenaran ditemukan di luar struktur Gereja Katolik.[7] Berakar dari Firman Tuhan dan ajaran Gereja inilah, kita mengetahui bahwa panggilan hidup kita sebagai manusia adalah agar kita hidup kudus dan mengasihi, karena Allah itu Kudus dan Kasih (Im 19:2, 1Yoh 4:16). Di sini kekudusan berkaitan erat dengan memegang dan melakukan perintah Tuhan[8], yang adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31) (Lihat artikel: Bagaimana caranya untuk hidup kudus?). Hanya dengan cara ini, maka kita dapat bertumbuh untuk menjadi ‘serupa’ dengan Allah, dan dikuduskan oleh Allah. Panggilan hidup kudus adalah panggilan bagi semua orang Kristen, bahkan panggilan untuk semua orang, karena kita semua diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama. Jadi kekudusan bukan monopoli kelompok para pastor, suster dan religius lainnya tetapi harus menjadi tujuan bagi kita semua.

(21)

sebab Allah sendiri adalah Kudus.[9] Jadi panggilan ini berasal dari Allah yang satu, dan berlaku untuk semua orang, karena Allah menciptakan semua orang di dalam kesatuan, dan menginginkan kesatuan itu kembali di dalam diriNya, yang berlandaskan kasih. Maka nyatalah bahwa Spiritualitas Katolik mengarah kepada kekudusan dan kasih di dalam kesatuan yang universal, yaitu yang merangkul semua orang kepada persatuan di dalam Tuhan. Persatuan ini adalah kesempurnaan dari hidup Kristiani, yang dihasilkan dari penerapan pengajaran Tuhan di dalam kehidupan sehari- hari.[10] Jadi spiritualitas yang otentik haruslah diikuti oleh penerapan di dalam perbuatan, sebab jika tidak, spiritualitas menjadi hanya sebatas teori.

Ciri-ciri Spiritualitas Katolik

Dengan demikian, ciri-ciri dari Spiritualitas Katolik adalah[11]:

1. Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia, Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas tergantung dari semua pengajaran Kristus.

2. Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi kedua di dalam kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus, maka kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal.

3. Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya, Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus,[12] penderitaan dan kesadaran diri akan dosa- dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya, kita-pun selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama dengan kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan mau menanggung

penderitaan demi keselamatan sesama, dan dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita hanya mau

mengambil bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam ‘penderitaan’ –yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya.

4. Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat dialami oleh kita semua.

5. Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang menghalangi kita untuk

menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik.

(22)

7. Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan. Spiritualitas Katolik menerima segala kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia.

8. Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu

memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.

Kesimpulan

Dengan melihat ciri-ciri di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan akhir Spiritualitas Katolik adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa berbuah (bdk. Yoh 15:15). Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini adalah melalui Ekaristi kudus, di mana kita menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal. Oleh karena itu, Spiritulitas Katolik selalu berpusat dan bersumber pada Ekaristi, yang adalah Allah sendiri,[13] karena kekudusan adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan. Melalui Ekaristi, kita tinggal di dalam Kristus dan dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya, sehingga dapat berjalan menuju kekudusan, yaitu persekutuan dengan Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Di sinilah kebahagiaan kita sebagai manusia menjadi juga kemuliaan bagi Allah, karena Allah menciptakan kita agar kita berbahagia bersama-Nya!

CATATAN KAKI:

1. Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology, Spiritual Theology, (Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p17, “…spirituality refers to any religious or ethical value that is concretized as an attitude or spirit from which one’s actions flow.” []

2. Kristus dan Allah Bapa adalah satu (Yoh 10: 30; 14: 9-11). []

3. Paus Yohanes Paulus II, dalam Redemptoris Hominis (Penyelamat

Manusia), Surat Ensiklikal, 7, menulis, “Jiwa kita diarahkan pada satu arah, pada satu-satunya arah akal budi, kehendak dan hati – menuju Kristus Penyelamat kita, menuju Kristus, Sang Penyelamat manusia. Kita berusaha untuk mengarahkan pandangan kita kepada Dia- sebab tidak ada

(23)

man. We wish to look towards Him – because there is no salvation in no one else but Him, the Son of God…” []

4. Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1085, dan 1362, “Ekaristi adalah

kenangan akan Paska Kristus yang menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban satu-satunya dalam liturgi Tubuh-Nya yaitu Gereja.” []

5. Dei Verbum, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi 5, “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26 ;lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang

sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan secara

sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya.” []

6. Lihat Nostra Aetate 2, Dokumen Vatikan II, Dokumen Vatikan II, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani, “Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” []

7. Lihat Lumen Gentium 8, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[[13]], walaupun diluar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik. []

8. Lihat Im 20:7-8, “Maka kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu sebab Akulah Tuhan Allahmu. Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah Tuhan yang menguduskan kamu” []

9. Lumen Gentium 40, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “…semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan

(24)

10.Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology, (Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p25, 23. ”Spiritual theology reflects precisely on the mystery of our participation in divine life….Spiritual theology …is not a pure speculative science but also a practical and applied theology.” []

11.Diterjemahkan dan disederhanakan dari tulisan Douglas G. Bushman, S.T.L., Foundation of Catholic Spirituality, Institute for Pastoral Theology, Ave Maria University, 2006, p. 35-37. []

12.Hal ini sangat nyata dalam pengajaran Rasul Paulus, “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengatahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.”(1 Kor 2:2). []

13.Lihat Katekismus Gereja Katolik, dan Lumen Gentium 11, “Ekaristi adalah ‘sumber dan puncak seluruh hidup kristiani.” []

Paper pendekatan Pendidikan Kristiani

yang kontekstual

Pendahuluan

Dalam proses Pendidikan Kristiani memiliki pendekatan-pendekatan yang dipakai, yaitu pendekatan instrukional, pertumbuhan spiritual, komunitas iman dan transformasi. Dimana dalam proses pendidikan beberapa gereja memakai keempat pendekatan ini namun ada juga beberapa gereja yang tidak dapat menerapkan keempatnya.

Dalam paper ini, saya akan mencoba menguraikan empat pendekatan tersebut dan menilai serta merelevansikannya dalam kehidupan gereja. Tidak hanya sekedar itu, saya juga akan mencoba memberikan pendekatan yang cocok melihat konteks dan latar belakang gereja yang menjadi tempat saya mengamati, dan memberikan saran dalam pelaksanaan dan penerapan pendekatan tersebut.

I. Konteks Kehidupan GBKP Sei Tapung

Gereja Batak Karo Protestan(GBKP) Jemaat Sei Tapung merupakan jemaat yang merupakan bagian dari GBKP klasis Riau-Sumbar yang terletak di Provinsi Riau Kabupaten Rokan Hulu Kecamatan Ujung batu. GBKP Sei Tapung merupakan bagian dari runggun Ujung Batu-Maranatha Kabun. Runggun merupakan bagian yang lebih kecil dari Klasis yang terdiri dari 5 gereja di daerah berbeda yang disebut perpulungen. Runggun Ujung Batu-Matranatha Kabun terdiri dari 5 perpulungen yaitu GBKP perpulungen Sei Intan, GBKP perpulungen Ujung Batu, GBKP perpulungen Koto Kampar, GBKP perpulungen Maranatha Kabun dan GBKP perpulungen Sei Tapung. Runggun ini hanya memiliki satu orang pendeta,

sedangkan jarak antara satu perpulungen dengan yang lain cukup jauh.

(25)

berdampingan dengan masyarakat muslim, namun jemaat hampir tidak pernah memiliki masalah. Hal ini mungkin juga di pengaruhi dari pekerjaan mereka yang sama, yaitu sebagai karyawan PTPN V. Pekerjaan mempengaruhi kerukunan karena menurut saya mereka memiliki tujuan yang sama berada di perkebunan ini. Kehidupan jemaat yang berdekatan karena faktor tempat tinggal yang

berupa perumahan milik PTPN V, membuat jemaat mengenal dekat satu dengan yang lainnya. Bukan hanya faktor rumah yang berdekatan namun juga lamanya tinggal di Sei Tapung yang dimana sebagian besar jemaat sudah tinggal lebih dari lima tahun. Contohnya saja salah seorang jemaat bernama Rinaldi

Sembiring, yang tinggal sudah hampir dua puluh tahun.

Sebagai jemaat GBKP Sei Tapung merupakan gereja dengan profil homogen dalam dimensi sosio-kultural. Homogenitas yang pertama adalah budaya, karena GBKP merupakan gereja kesukuan dapat dikatakan jemaat bersuku karo.

Homogenitas juga terlihat dari pekerjaan yang dimana merupakan karyawan. Walau memiliki profil jemaat yang homogen namun kompleksitas masalah yang dihadapi, dimulai dari masalah dalam keluarga , masalah sesama jemaat dan juga pekerjaan.

Saat ini jemaat mengalami kendala dalam pekerjaan yang sanga mempengaruhi keadaan gereja. Saat ini PTPN V memiliki manager yang sangat disiplin dalah hal waktu. Waktu bekerja yang tepat dan juga kehadiran sangat diperhatikan oleh manager. Pengaruh pada gereja adalah ketika hari minggu jemaat berkurang sangat banyak karena harus bekerja, selain itu dalam kehadiran jemaat pada PA yang diadakan juga berkurang. Bukan hanya hal itu namun juga pengaturan majelis juga sedikit sulit karena jadwal yang hampir sama pada majelis dalam pekerjaannya.

II. Konteks Internal Pendidikan Kristian Di GBKP Sei Tapung

Dilihat melalui konteks pendidikan kristiani di GBKP Sei Tapung cukup

memperihatinkan. Hal ini memiliki faktor yang cukup kompleks. Yang pertama jemaat kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya pendidikan kristiani dalam pertumbuhan jemaat. Selain itu, sumber daya yang minim di jemaat juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pendidikan kristiani yang kurang baik. Di Sei Tapung banyak pemuda-pemudi yang melanjutkan

pendidikan keluar sehingga untuk pendidikan kristiani pada anak yang umumnya ditangani pemuda-pemudi menjadi seperti tidak terurus dan tidak terlalu

mendapat perhatian khusus.

Saat ini terdapat empat guru sekolah minggu yang terdiri dari dua anak remaja dan dua merupakan ibu rumah tangga, namun keempat guru sekolah minggu juga tidak pernah diberikan pembinaan sebagai guru sekolah minggu. Menurut hasil wawancara dengan majelis GBKP Sei Tapung, hal itu disebabkan oleh wilayah yang cukup luas namun pendeta yang ada hanya satu. Menurut majelis dalam program klasis telah terprogram pembinaan namun pelaksanaan di Ruggun Ujung Batu – Maranatha Kabun belum terlaksana karena faktor-faktor yang tidak disebutkan oleh majelis.

Terdapat perhatian terhadap pendidikan kristiani dalam hal sekola minggu yaitu diperhatikan oleh komisi anak yang ditangani oleh seorang diaken. Dalam sekolah minggu kurikulum yang dipakai adalah buku bahan pengajaran yang disusun dan dicetak oleh sinode GBKP.

Pembahasan

• Religious instruction(pendekatan instruksi)

(26)

formal yang memiliki meja, kursi, papan tulis, kapur tulis dan hal-hal umum lainnya yang biasa terdapat didalam kelas yang formal di sekolah-sekolah. Selain suasana kelas formal, juga terdapat konsep pemikiran dimana terdapat batasan-batasan antara guru dan murid dimana guru bertugas mengajar dan murid mendengarkan dan mengerti yang diajarkan oleh guru. Karena memilikikonsep pendidikan seperti pendidikan formal atau seperti pendidikan di sekolahan, maka dapat di perkirakan akan terdapat kelas-kelas tertentu.

Namun dalam Pendidikan Kristiani terdapat transformasi tentang konsep “instruksi” yang telah ada dan telah terbentuk. Dalam pendekatan “instruksi” diharapkan terdapat Homemaking sebagai cara alternatif. Dalam pendekatan ini, homemaking diharapkan dapat menyamarkan batasan yang sangat terlihat antara guru dan naradidik. Homemaking dapat membangun sebuah komunitas belajar dimana guru dan murid saling belajar lewat berbagi. Homemaking juga berbeda penerapannya satu dengan yang lain. Ada beberapa yang menerapkan didalam relasi yang sangat akrab ada juga penerapan didalam suasana tempat. Seymour mengatakan dalam pengalamannya ia pernah melihat sebuah kelas yang diisi oleh sebuah group yang menaruh berbagai ornamen dikelasnya sehingga mereka dapat merasa seperti hidup dan berada dirumah sendiri. Tujuan dari pendekatan ini secara padat dikatakan Seymour pada bukunya pada halaman 21 yaitu memampukan naradidik mendasarkan diri pada iman yang alkitabiah dan menghubungkan isi iman dan alkitabiah. Dalam hal ini iman kristen dan kehidupan nyata harus berpadu seimbang sehingga kita tidak hanya mementingkan iman kristen ataupun kepercayaan kepada Tuhan saja namun juga kehidupan kita sehari-hari. Dalam sekolah minggu pendekatan ini sering dipakai, sehingga terdapat konsep yaitu

Sehingga dalam hal ini pendekatan instruksional dan pendidikan kristiani

memiliki tiga tujuan yaitu yang pertama memampukan naradidik mendasarkan diri pada iman alkitabiah. Yang kedua adalah memfokuskan pada suasana

mengajar dan belajar. Berfokus pada metode belajar mengajar yang disesuaikan dengan konten yang diajar.

Guru adalah seseorang yang sangat berperan dalam pendekatan ini. Pendidik atau sering disebut guru merupakan orang yang banyak ambil andil dalam pendekatan ini karena kontribusinya dalam proses pembelajaran, dan guru juga menghargai setiap proses dalam proses pembelajaran itu. Sehingga dalam mengharagai guru juga memperhatikan sehingga dapat menilai hal yang baik dan kurang baik dalam proses itu lalu dapat memperbaikinya yang dapat di terapkan kepada pendidikan yang selanjutnya. selain itu, dalam setiap prosesnya guru harus merasa bahwa setiap proses itu penting. Dalam hal memberikan instruksi, pendekatan ini menuntut agar di dalam proses guru membuat atau menerapkan konsep homemaking yang dipakai dalam pendekatan ini. Sehingga dalam perhatian yang ditaruh guru, guru dapat mempertimbangkan dan menilai apakah pendekatan ini baik atau tidak.

Murid dalam pendekatan ini bertanggung jawab penuh dalam prosesnya. Karena ketika guru melakukan tugasnya tetapi naradidik tidak mengambil dan

(27)

disebut komunitas belajar. Didalam komunitas belajar di harapkan timbul

suasana saling menghargai setiap proses dan suasana belajar, suasana harapan untuk tumbuh dan bertanggung jawab, saling belajar baik guru maupun murid, dan proses dalam suasana yang bersifat eksperiensial(pengalaman).

Implikasinya dalam pelayanan adalam untuk menyiapkan naradidik agar beriman dan dapat hidup secara bertanggung jawab dan menghadapi dunia. Naradidik juga disiapkan untuk menghadapi kehidupan di dunia dengan mengacu pada iman yang dimilikinya .

• Pendekatan Perkembangan Spiritual

Pendekatan ini bertujuan untuk membantu orang-orang agar dapat

meningkatkan kehidupan pribadinya dan dapat memberikan respon dengan memberikan tindakan keluar terhadap orang lain dan kepada dunia. Dalam hal ini diharapkan naradidik dapat belajar mengenali dirina terlebih dahulu lalu dapat bertindak dengan menentukan tindakan sesuai kepercayaannya dari pengenalan diri yang ia lakukan. Dalam pendekatan ini, guru berperan hanya sebagai penunjuk kepada nara didik. Dengan petunjuk-petunjuk itu-lah

diharapkan nara didik berkembang secara pribadi sesuai dengan keinginan dan prosesnya maing-masing sehingga diharapkan dapat memberikan tindakan keluar sesuai pemahaman pribadi yang dialaminya.

Dalam Pendidikan Kristiani pendekatan-pendekatan merupakan proses, dan diharapkan naradidiklah yang berada dalam proses perjalanan itu. Yang menentukan berhasil tidaknya pendekatan ini tergantung pada naradidik. Keberhasilan pendekatan ini terjadi apabila naradidik mengikuti petunjuk dari guru. Menurut Seymour proses pembelajaran dapat dilakukan dengan

hening(meditasi), mendengarkan, istirahat, belajar dan melayani. Dalam proses ini terlihat pendekatan ini mengajak nara didik bertumbuh dan berkembang berdasarkan imannya sendiri.

Pendekatan ini mengutamakan pengalaman-pengalaman pribadi naradidik, hal ini menyebabkan perkembangan anak yang satu dengan anak yang lain

berbeda-beda. Namun pengalaman yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan adalah pengalamaman yang di refleksikan.

Wujud nyata atau implikasi pendekatan ini dalam pelayanan adalah berusaha untuk menghubungkan naradidik dengan kehidupan ini secara mendalam didalam membangun relasi persahabatan, hubungan, keadilan dan kepedulian. Dalammembangun hubungan, pendekatan ini bertujuan agar naradidik belajar dari pengalaman yang dialami, sehingga dapat membangun

hubungan-hubungan dengan lebih baik.

a) Adapun tokoh-tokoh yang ikut medukung pendekatan ini dengan mengemukakan teori-teori mereka, adalah :

1. Jean Piaget, yang mengemukakan teori perkembangan kognitif manusia. Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap yaitu tahap sensomotor, tahap praoperasi, tahap operasi konkret, dan tahap operasi formal . Tahap ini hanya menunjukkan tahap perkembangan kognitif saja tanpa

memperhatikan unsur lain yang juga berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tahap perkembangan kognitif manusia maksudnya adalah tahap perkembangan otak seseorang dan kedewasaan seseorang diukur melalui bagaimana dia dapat berpikir secara nalar. Urutan yang ada dalam

Referensi

Dokumen terkait

Mereka sedikit banyak memahami dan mengerti antara satu dengan yang lainnya sangat baik, karena mereka mengenal serta mengetahui pasangan mereka dalam kehidupan sehari-hari,

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa agar proses ekstraksi tekstur dapat menghasilkan bentuk tekstur citra yang mudah diidentifikasi, sangat bergantung

Unatoč visokoj razini inozemnih izravnih ulaganja u Hrvatskoj, nije vidljiv pozitivan efekt na gospodarstvo, odnosno na rast zaposlenosti, proizvodnje i izvoza i to

Representasi model-model tersebut dapat membantu analisis dan pengamatan untuk mengambil asumsi-asumsi hasil kerja ANFIS seperti memahami dan membuat keputusan

Sistem pendukung keputusan(SPK) penentuan dana bantuan perbaikan MCK menggunakan Metode Fuzzy Simple Additive Weighting (FSAW) ini, dibangun untuk mengatasi kesulitan dalam

Berdasarkan tabel didapatkan hasil data pre test atau sebelum diberi pendidikan kesehatan bahwa responden yang memiliki sikap pencegahan ISPA dengan kategori baik

Sifat penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri selain dipengaruhi oleh muatan positif dari logam Ag juga dipengaruhi oleh gugus amonium kuarterner dari kitosan yang

Perlakuan kombinasi bakteri endofit dan IAA tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan berat tanaman padi varietas Inpari 13 disebabkan karena kondisi air yang