Pilpres: Netralitas Pemerintah Dan Pantang Menyerah Sebagai Bagian Dari Sebuah Kontestasi Opini
Ruddy Agusyanto
Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS)
Institut Antropologi Indonesia (IAI)
Fenomena “pantang menyerah” capres Prabowo-Hatta telah menghebohkan proses pilpres 2014. Mulai dari masalah “quick-count tandingan” hingga pernyataan sikap menolak hasil rekapitulasi penyelenggara pemilu (KPU) dan menarik diri dari proses pilpres yang sedang berlangsung. Semua ini, tentunya terkait dengan masalah “keadilan subyektif” capres Prabowo-Hatta sebagai “peserta” kontestasi dalam pilpres, di mana dirinya merasa diperlakukan tidak adil. Ketidak-adilan yang dirasakan, bisa karena kontestan lain melakukan kecurangan; tapi bisa pula karena penyelenggara kontestasi/pilpres yang tidak berlaku adil atau netral.
Dalam perjalanan waktu, sebagian dari rasa ketidak-adilan itu sudah terobati dengan beberapa TPS yang diadakan pemungutan suara ulang (PSU). Sebagian siasanya, capres Prabowo-Hatta merasa belum terjawab atau terpenuhi. Apalagi, sampai pada tahap rekapitulasi hasil pilpres menunjukan gejala bahwa dirinya kalah dalam pengumpulan suara, kekecewaan ini menambah atau menebalkan rasa ketidak-adilan yang dirasakannya. Dengan dukungan moril timses, relawan dan rekan koalisi yang masih setia, mendorong semangat “pantang menyerah”. Keyakinan semakin tumbuh bahwa dirinya benar-benar diperlakukan “tidak adil” oleh pihak penyelenggara (KPU). Akhirnya tumbuhlah semangat “pantang menyerah” yang luar biasa karena yakin jika “keadilan subyektif”nya terpenuhi maka ia yakin akan keluar sebagai pemenang dalam kontestasi tsb. Hal yang sama juga akan terjadi pada kontestan yang lain (semangat “pantang menyerah” capres Jokowi-Jusuf kalla), jika ternyata dirinya tidak keluar sebagai pemenang dalam kontestasi tsb. Masalahnya, capres Jokowi-Jusuf kalla keluar sebagai pemenang kontestasi sehingga “kejanggalan-kejanggalan” (terganggunya keadilan subyektif) yang terjadi dalam proses kontestasi relatif bisa “dilupakan atau diabaikannya”. Sementara itu, dari sisi pihak penyelenggara merasa bahwa dirinya telah memproses semua protes atas “ketidak-adilan” yang dirasakan berdasarkan aturan-aturan kontestasi yang telah disepakati bersama. Disinilah awal rasa terganggunya “ketidak-adilan subyektif” kontestan.
kontestasi yang telah disepakati bersama. Ketika pemerintah, sebagai penyelenggara yang sekaligus sebagai “wasit dan juri” tidak mampu menjamin rasa keadilan subyektif para pihak (peserta persaingan), maka potensi terjadinya ‘perselisihan” antar kontestan; dan atau tumbuhnya rasa “ketidak-percayaan” terhadap pemerintah tidak bisa dihindari. Dan kita semua tentunya tak berharap akan berlanjut pada “konflik sosial”, oleh karenanya kita semua berharap pemerintah mampu menjadi “hakim” yang adil untuk menyelesaikan “perselisihan” yang ada.