• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggunakan Televisi untuk Mengembangkan. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menggunakan Televisi untuk Mengembangkan. doc"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Menggunakan Televisi untuk Mengembangkan Minat Baca Anak? Dua Model dari Amerika Serikat

Christopher A. Woodrich International Indonesia Forum

Abstrak

Meskipun Indonesia memiliki sejarah kesusastraan yang panjang serta industri penerbitan yang cukup aktif, masyarakat seakan tidak tertarik dengan membaca. Banyak program sudah diterapkan oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi hasilnya belum memadai. Karena itu, pendekatan lain sangat diperlukan.

Makalah ini berargumentasi bahwa adaptasi dari karya sastra dapat mendukung pendidikan literasi serta pembudayaan membaca di Indonesia. Untuk mendukung argument tersebut, makalah ini membahas dua acara televisi dari Amerika Serikat:

Reading Rainbow (1983–2006) dan Wishbone (1995–2001). Kedua acara televisi ini, yang banyak meraih penghargaan, menawarkan dua model untuk adaptasi karya sastra—pembacaan langsung dan penyederhanaan—yang dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan kebudayaan setempat. Diharapkan bahwa, melalui adaptasi, anak-anak dapat lebih terlibat dalam proses belajar-mengajar dan lebih menghargai dan menikmati dunia membaca.

Latar Belakang

Sejarah kesusastraan di Indonesia sudah dimulai setidaknya pada abad ke-9 Masehi, ketika Kakawin Ramayana pertama kali ditulis (Coedès 1968, 128). Kini, industri penerbitan di Indonesia tergolong cukup besar; sebanyak 1.317 penerbit terkumpul dalam Ikatan Penerbit Indonesia, dan sekitar 40.000 buku diterbitkan di Indonesia setiap tahun. Pada tahun 2013, pasar buku Indonesia bernilai 48,1 juta Euro ("Information on the Indonesian book market"). Pada tahun 2015, ketika Indonesia menjadi tamu terhormat di Frankfurt Book Fair, ada sebanyak 850 buku (dari kurang-lebih 300 pengarang) yang diterjemahkan dari atau ke dalam bahasa Indonesia ("Terima Kasih Indonesia").

(2)

dilaksanakan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam "perilaku melek huruf" (literate behavior characteristics) seperti akses perpustakaan dan minat membaca ("Indonesia ranks"). Kenyataan ini cukup problematis, mengingat bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan dengan tingkat fanatisme dan penyensoran yang tinggi: tingkat literasi yang rendah membuat orang takut dengan hal-hal yang baru, sehingga tidak mau menerima cara berpikir lain ("Low literacy", "Societies with poor literacy").

Sejumlah program sudah dimulai oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah untuk meningkatkan literasi dan membudayakan membaca. Sastra sudah dimasukkan ke dalam kurikulum, dan sejak pertengahan tahun 2016 siswa SMA sudah diwajibkan membaca di kelas selama lima belas menit setiap hari. Orang tua diharapkan dapat membantu anak mereka mengembangkan minat membaca; menurut mantan Menteri Pendidikan Anies Basweden, "gerakan [membaca] yang tersebar tidak akan terhenti, sebab ia tidak berdasarkan perintah, bantuan dana, atau proyek, tetapi bersifat menular" ("Indonesia ranks"). Namun, keberhasilan program-program seperti ini belum memuaskan, dan banyak siswa masih beranggapan bahwa membaca itu tugas yang berat.1 Karena itu, sangatlah

penting untuk menggunakan pendekatan lain, yang menggunakan rasa ingin tahu anak untuk mendukung usaha peningkatan literasi.

Salah satu pendekatan yang dapat membantu ialah adaptasi, representasi cerita (karya sastra, di sini) melalui film. Melalui proses ini, cerita dari karya sastra dapat disampaikan kepada anak-anak dan pemuda-pemudi dan, dengan demikian, memancing mereka untuk membaca (Moses, 2009). Untuk mendukung argumen ini, makalah ini membahas Reading Rainbow (1983–2006) dan Wishbone (1996–2001), dua acara televisi dari Amerika Serikat yang menerapkan dua model adaptasi yang berbeda untuk meningkatkan literasi dan membudayakan membaca. Setelah menguraikan kedua acara tersebut secara singkat, makalah ini merumuskan model-model adaptasi yang digunakan serta beberapa halangan yang harus diatasi sebelum model-model tersebut dapat diterapkan di Indonesia.

Reading Rainbow

Reading Rainbow merupakan acara televisi untuk anak-anak yang ditayangkan di Public Broadcasting Service (PBS) dari tahun 1983 hingga tahun 2006 dan dibawa oleh

(3)

Bagan 1: Seorang anak meresensi buku di

Reading Rainbow

LeVar Burton, seorang aktor yang dikenal untuk perannya di serial Roots dan Star Trek: The Next Generation. Reading Rainbow terdiri dari 155 episode. Dalam setiap episode, Burton atau seorang tamu (seringnya seorang selebritis) membacakan suatu karya sastra anak secara langsung. Ilustrasi dari buku yang dibaca juga dipajangkan ketika karya dibaca. Tema dari buku yang dibacakan terus dikembangkan dalam beberapa bagian lain dari setiap episode, misalnya melalui wawancara atau penjelasan mengenai topik yang berkaitan. Misalnya, setelah buku Laura Numeroff If You Give a Mouse a Cookie (1985) dibacakan, bowling dan domino digunakan untuk menjelaskan tema kausalitas dan rangkaian peristiwa.

Pada umumnya, karya-karya yang dibacakan di Reading Rainbow merupakan terbitan baru, dimaksud untuk pembaca yang masih SD, dan cukup ringkas sehingga dapat dibaca secara tuntas dalam waktu 10 menit. Selain If You Give a Mouse a Cookie (1985), karya yang dibacakan termasuk buku cerita seperti Gila Monsters Meet You at the Airport (Marjorie W. Sharmat, 1980) dan Little Nino's Pizzeria (Karen Barbour, 1987), serta puisi seperti All the Colors of the Race (Arnold Adoff, 1982). Beberapa karya sastra anak terkenal, termasuk karya-karya Dr. Seuss, tidak pernah dibacakan. Sebelum suatu buku dibacakan, PBS memperoleh izin dari penerbit. Ada pula beberapa buku yang dibacakan kemudian diangkat menjadi serial televisi oleh PBS, misalnya The Magic School Bus: Inside the Earth (Joanna Cole, 1987), yang dibacakan pada tahun 1990 kemudian dijadikan bagian dari serial The Magic School Bus pada tahun 1994, dan Arthur's Eyes (Marc Brown, 1979),yang dibacakan pada tahun 1983 kemudian dijadikan bagian dari serial Arthur pada tahun 1996.

Pada bagian akhir dari setiap episode Reading Rainbow, tiga resensi buku disampaikan tiga anak (penonton

Reading Rainbow) melalui video. Anak-anak tersebut dipilih melalui lomba resensi buku tertulis yang diadakan di perpustakaan-perpustakaan di Amerika Serikat. Resensi dibaca dan dinilai juri, dan anak-anak yang resensinya terseleksi kemudian diberi kesempatan untuk merekam resensi mereka. Bagian ini

(4)

melalui siaran nasional. Pengalaman ini kerap dinilai berharga, dan banyak resensi sudah diunggah ke YouTube oleh penulisnya (yang sudah tumbuh dewasa).

Reading Rainbow, yang diproduksi dengan dukungan para pendidik dan ahli anak-anak, meraih lebih dari tiga puluh penghargaan selama ia ditayangkan, termasuk sejumlah Daytime Emmy Awards for Outstanding Children's Series. Pada tahun 1997, survei yang diadakan PBS menemukan bahwa para guru beranggapan bahwa acara televisi ini sangat berguna untuk pendidikan (Raphael 2014). Rekaman Reading Rainbow sudah dijual dalam bentuk DVD, dan sejumlah produk lain juga dapat dibeli.

Setelah Reading Rainbow dibatalkan PBS karena kekurangan dana, pada tahun 2010 Burton membeli hak atas Reading Rainbow dan menyatakan bahwa acara tersebut akan diproduksi dan disiarkan secara independen. Dua tahun kemudian, Reading Rainbow Skybrary diluncurkan di iPad (dan kemudian untuk platform lain). App ini kini menawarkan lebih dari 500 buku anak-anak, 200 "field trip", serta sejumlah fitur lain kepada para langganan.2 Kampanye Kickstarter pada tahun 2014 berhasil mengumpulkan $6.478.916 (dari

$1.000.000 yang hendak dikumpul). Uang ini digunakan untuk mengembangkan app Reading Rainbow Skybrary dan memberikan fasilitas gratis kepada sekolah-sekolah yang kurang mampu. Kenyataan bahwa lebih dari 100,000 orang menyumbangkan uang kepada Reading Rainbow, dan bahwa nostalgia untuk acara ini dapat ditemukan secara luas di internet, menunjukkan bahwa Reading Rainbow sudahmemiliki dampak kultural yang sangat besar.

Wishbone

Wishbone merupakan serial televisi yang ditayangkan di PBS dari tahun 1995 hingga tahun 2001. Serial ini, yang berlatar Oakdale, Texas, menceritakan seekor anjing bernama Wishbone dan pemiliknya, seorang siswa SD yang bernama Joe Talbot. Tokoh Wishbone merupakan daya tarik utama serial ini: anjing sangat umum dipelihara di Amerika Serikat dan bahkan dianggap sebagai "teman terbaik manusia", dan jenis

anjing yang dipilih—Jack Russell Terrier, yang panjangnya biasanya hanya 25–38 cm—tidak

2 Harga langganan, sampai bulan September 2016: $9.99 untuk satu bulan, $29.99 untuk enam bulan, atau $49.99 untuk satu tahun.

Bagan 2: Wishbone, tokoh utama

(5)

menakutkan untuk anak-anak kecil. Kenyataan bahwa Wishbone dapat "berbicara" (dengan suara Larry Brantley) dan menyampaikan pikirannya yang lucu juga berfungsi untuk memikat penonton.

Setiap episode terdiri dari dua cerita yang mengalir secara paralel. Satu cerita mengikuti petualangan Wishbone dengan Joe dan kawan-kawannya (misalnya mengikuti Olimpiade Sains,3 atau menyelidiki suatu kejahatan4). Cerita lainnya merupakan adaptasi

singkat (biasanya tiga atau empat adegan) dari karya sastra terkenal, seperti Frankenstein

(Mary Shelley, 1818) atau The Hound of the Baskervilles (Sir Arthur Conan Doyle, 1902), dengan Wishbone "memerankan" salah satu tokoh utama, misalnya Frankenstein atau Sherlock Holmes. Kedua cerita memiliki tema yang serupa, yang sering mengajarkan pelajaran penting kepada penonton, misalnya berbahayanya sains yang tidak terkontrol atau pentingnya menyelidiki sesuatu sebelum mengambil kesimpulan. Pada bagian penghabisan dari (hampir) setiap episode, Wishbone (atau, setepatnya, pengisi suaranya) menyampaikan sedikit informasi mengenai bagaimana episode itu diproduksi atau jenis karya sastra yang dipaparkan. Bagian ini pun mendukung misi Wishbone untuk mendidik para penontonnya.

Sejumlah karya diadaptasi dalam series Wishbone. Sebagian besar karya tersebut merupakan novel. Namun, ada pula karya drama (a.l. Romeo and Juliet), cerita pendek (a.l. "The Purloined Letter"), cerita agama (a.l. "David and Goliath") dan mitos (a.l "Hercules") yang difilmkan. Karya-karya yang diadaptasi diambil dari sejumlah tradisi sastra, termasuk susastra Barat (dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Yunani, dsb.) serta sastra rakyat pribumi Afrika dan Amerika (a.l. "Anansi", "The People Could Fly", dan "The Story of the Deathless Voice"). Semua karya yang diangkat sudah masuk wilayah umum (tidak berhak cipta) di Amerika Serikat.

Untuk mendukung pendidikan literasi, sejumlah series buku berdasarkan Wishbone

ditulis. Setiap buku dalam series Wishbone Classics menceritakan kembali satu episode dalam bahasa sederhana, supaya pembaca muda dapat mengikuti cerita Wishbone serta karya sastra yang diadaptasi. Series lain, The Adventures of Wishbone, mengadaptasi episode (sebagian besar dari series pertama) dalam novel singkat (120 halaman) untuk pembaca remaja. Sementara itu, Super Adventures of Wishbone, yang terdiri dari empat buku, menceritakan kembali pengalaman Wishbone dalam novel yang agak panjang (250 halaman). Dua buku dalam series diangkat dari episode atau film Wishbone, sementara dua buku lainnya merupakan karya baru. Semua series buku ini diterbitkan antara tahun 1995 dan

(6)

2001. Beberapa episode Wishbone dirilis dalam bentuk video cassette, dan semua episode sudah dapat ditonton di YouTube secara bebas.

Wishbone tergolong cukup berhasil. Series ini meraih sejumlah penghargaan, termasuk empat Daytime Emmy Awards. Satu survei (Calverta dan Kotler 2003, 307) menemukan bahwa Wishbone merupakan series pendidikan paling popular di PBS. Wishbone

juga pernah digunakan dalam kurikulum sekolah di Texas (Cooter et al. 1999, 891-896). Dampak series ini serta peran pentingnya dalam perkembangan penonton dapat dilihat, misalnya, dari kenyataan bahwa ia merupakan perkenalan pertama penonton dengan karya sastra klasik seperti Pride and Prejudice (Nickel 2013). Sampai sekarang, banyak media popular di Amerika Serikat masih membahas Wishbone. Judul artikel-artikel seperti "11 Times 'Wishbone' Taught Us Everything We Needed to Know about Life" (Burt 2015) dan "6 Times the 'Wishbone' Episode Was Better than the Book" (Cook-Wilson 2016) pun menunjukkan nostalgia yang nyata. Dalam satu artikel di MTV, Kayti Burt menyatakan:

"Entah apa lagi yang diajarkan Wishbone, yang jelas ia sudah membuat kita jatuh cinta dengan segala bentuk cerita—buku, televisi, holodeck, dsb. Untuk si anjing peminat sastra itu, naratif bukanlah sesuatu yang pantas diejek atau dihindari. Naratif merupakan alat yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan kita dan orang-orang di sekitar kita. Ia menawarkan petualangan yang tak berujung."5

Dua Model Adaptasi

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa Reading Rainbow dan Wishbone menerapkan dua model adaptasi yang berbeda untuk meningkatkan kemelekan huruf dan mengembangkan minat membaca. Model yang digunakan Reading Rainbow cukup berbeda dengan model adaptasi yang umum, sebab model tersebut menggunakan pendekatan pembacaan langsung— yang didukung oleh penggunaan efek suara, intonasi, serta teknik perfilman untuk memaparkan ilustrasi—dalam bercerita. Model ini, bersama dengan format "majalah" (yaitu kompilasi cerita dan adegan yang saling berkaitan), paling tepat untuk mengadaptasi sastra anak. Sastra dewasa dan remaja terlalu panjang untuk dibaca secara langsung dalam satu episode, yang hanya berdurasi tiga puluh menit. Para pemain di Reading Rainbow bergonta-ganti, selain pembaca acara. Model ini memungkinkan penonton menjadi terlibat secara langsung.

(7)

Sementara itu, model Wishbone menggunakan pendekatan adaptasi yang lebih umum: karya sastra dewasa dipersingkat dan dicocokkan dengan media televisi. Dalam kasus

Wishbone, ini berarti setiap adaptasi karya sastra hanya berdurasi kurang-lebih lima belas menit (dengan sisa waktunya digunakan oleh cerita Joe dan kawan-kawannya), salah satu tokoh dari setiap karya yang diadaptasi "diciptakan kembali" sebagai anjing, dan beberapa adegan yang lucu dimasukkan untuk menarik perhatian penonton. Series ini menggunakan format episode, yang memungkinkan adanya kontinuitas tetapi juga menjamin bahwa setiap episode dapat berdiri sendiri. Karena Wishbone menggunakan format ini, maka para pemain tidak mungkin gonta-ganti. Format ini juga menghalangi pelibatan penonton.

Kedua model ini memiliki beberapa ciri yang sama. Setiap episode menggabungkan pendidikan literasi, pembudayaan membaca, dan pendidikan non-literasi, termasuk character building. Beberapa unsur dari setiap episode berkaitan secara tematis, sehingga penonton memperoleh pelbagai pelajaran yang berpusat kepada satu topik tertentu. Kedua acara televisi ini juga ditayangkan melalui jaringan penyiaran umum dan didukung secara finansial oleh pemerintah, sehingga kepentingan komsersil dapat dihindari. Selain itu, baik Reading Rainbow maupun Wishbone dipindahkan ke media baru setelah acara tersebut dibatalkan oleh PBS.

Poin-poin penting dari kedua model ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Reading Rainbow Wishbone

Ditayangkan di jaringan penyiaran umum Ditayangkan di jaringan penyiaran umum Melibatkan penonton secara langsung Tidak melibatkan penonton secara langsung

Menerapkan Model Adaptasi di Indonesia?

(8)

iklan dapat masuk ke dalam acara televisi yang menerapkan model adaptasi, yang akan berdampak buruk kepada pesan mendidik acara tersebut. Namun, apabila pengaruh komersial dapat dihindari, maka acara yang disiarkan secara luas dapat ditonton oleh orang-orang di seluruh Indonesia, termasuk di daerah pedalaman.

Acara seperti ini juga dapat disiarkan melalui Internet, baik dengan sistem streaming

seperti YouTube atau app untuk telepon pintar. Penyiaran sedemikian rupa memungkinkan konten disebarluaskan secara bebas, tanpa iklan, dan mengurangi ongkos penyiaran. Penggunaan streaming dan/atau app juga memungkinkan konten lebih muda dibawa ke tempat lain: penonton dapat menikmati acara mendidik di telepon pintar atau komputer sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Namun, audiens yang dapat dicapai dengan pendekatan sedemikian rupa masih terbatas. Bahkan di perkotaan di Indonesia—terutama di luar Jakarta —akses internet masih terbatas, dan kecepatan koneksi tergolong cukup rendah,6 sehingga

penggunaan internet akan mengalami banyakmasalah, terutama di daerah pedesaan.

Memperoleh izin untuk mengadaptasi novel atau karya sastra lain juga merupakan tantangan besar. Sebagian besar karya sastra Indonesia modern masih berhak cipta;7 demikian

pula sebagian besar karya sastra anak di Indonesia. Dengan demikian, karya yang diadaptasi dengan model-model yang ditawarkan di atas harus minta izin dari pemilik hak cipta untuk mengadaptasi suatu karya sastra. Karena itu, biaya yang akan dihabiskan untuk memenuhi tuntutan hokum untuk mengadaptasi karya sastra akan cukup tinggi, kecuali apabila pemegang hak cipta tidak minta ganti rugi.

Alternatif lain ialah hanya mengadaptasi karya sastra tradisional, terutama yang berasal dari kelisanan. Rata-rata karya sastra lisan sudah masuk wilyah umum, sehingga ia dapat diadaptasi secara bebas dan orisinil. Pendekatan sedemikian rupa sudah digunakan di Malaysia dalam serial Pada Zaman Dahulu. Namun, efektif-tidaknya pendekatan seperti ini untuk mengembangkan literasi penonton belum diuji. Apabila tradisi lisan diutamakan, maka tradisi tulis (sastra) akan diabaikan, sehingga mungkin kurang berpengaruh pada tingkat literasi dan minat pembaca.

Tantangan lain ialah penyesuaian model dan ajaran dengan konteks budaya Indonesia. Banyak penelitian dan perencanaan diperlukan sebelum model adaptasi dapat diterapkan.

6 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyatakan bahwa 40% dari penduduk Indonesia (100 juta orang) sudah bias mengakses internet; sebagian besar dari pengguna ini (65.2 juta orang) menggunakan telepon pintar ("Indonesia Has 100 Million Internet Users"). Akamai Technologies, menurut Kompas

("Kecepatan Internet Indonesia"), menyatakan bahwa rata-rata kecepatan di Indonesia baru mencapai 3.9 Mbps, di bawah kecepatan rata-rata di seluruh dunia (5.6 Mbps).

(9)

Aktualisasi dari dua model di atas tentu akan berubah: acara yang menggunakan model

Wishbone, misalnya, mungkin akan diprotes kalua dibintangi oleh anjing. Selain itu, nilai-nilai yang hendak diajarkan kepada anak-anak berbeda di Amerika Serikat dan di Indonesia. Dalam konteks sosio-politik sekarang, tema percintaan dan kekerasan dalam novel Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922) mungkin ditolak oleh para orang tua.

Kesimpulan

Makalah sederhana ini telah memaparkan dua model adaptasi yang berbeda, yang masing-masing berdasarkan acara televisi Reading Rainbow dan Wishbone. Kedua model ini dapat digunakan untuk pendidikan literasi dan membudayakan membaca. Model Reading Rainbow berpusat pada pembacaan langsung karya sastra anak, yang didukung oleh beberapa materi yang berkaitan dengan tema-tema buku tersebut. Sementara itu, model Wishbone

berpusat pada adaptasi (alih wahana) beberapa adegan dari karya susastra yang dinilai representatif. Di model ini pula, tema-tema yang ada dalam karya yang diadaptasi dikembangkan melalui unsur-unsur lain dari setiap episode. Kedua model ini, dalam aktualisasinya di Amerika Serikat, pada awalnya ditayangkan oleh jaringan penyiaran umum. Namun, seiring dengan perkembangan dalam mediascape dan teknologi, kedua aktualisasi ini sudah dialihkan ke media lain: Reading Rainbow telah dijadikan app untuk telepon pintar, sementara Wishbone dapat ditonton di YouTube.

(10)

Daftar Pustaka

Burt, Kayti. 2015. "11 Times 'Wishbone' Taught Us Everything We Needed to Know about Life". MTV.com. Diunduh dari http://www.mtv.com/news/2227909/wishbone-life-lessons/ pada tanggal 7 September 2016.

Calverta, Sandra L. dan Jennifer A. Kotler. 2003. "Lessons from Children’s Television: The Impact of the Children’s Television Act on Children’s Learning". Applied

Developmental Psychology 24. 275–335.

Coedès, George. 1968. Walter F. Vella, peny. The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: East-West Center Press.

Cook-Wilson, Winston. 2016. "6 Times the 'Wishbone' Episode Was Better than the Book".

Inverse.com. Diunduh dari https://www.inverse.com/article/12930-6-times-the-wishbone-episode-was-better-than-the-book pada tanggal 7 September 2016.

Cooter, Robert B. Jr, Earlene Mills-House, Peggy Marrin, Barbara A. Mathews, et al. 1999. "Family and Community Involvement: The Bedrock of Reading Success". The Reading Teacher 52(8): 891-896.

Frankfurt Book Fair. 2016. "Information on the Indonesian book market". Buchmess.de. Downloaded from

http://www.buchmesse.de/images/fbm/dokumente-ua-pdfs/2015/book_market_indonesi a_52246.pdf on 5 September 2016.

Frankfurt Book Fair. 2016. "Terima Kasih Indonesia". Buchmess.de. Diunduh dari http://www.buchmesse.de/en/guestofhonour/review/ pada tanggal 7 Agustus 2016. "Indonesia Has 100 Million Internet Users, Internet Penetration at 40%". 2016, 17 Mei.

Indonesia Investments. Diunduh dari

http://www.indonesia-investments.com/news/todays-headlines/indonesia-has-100-million-internet-users-internet-penetration-at-40/item6827 pada tanggal 11 September 2016.

"Indonesia ranks second-last in reading interest: Study". 2016, 29 August. The Jakarta Post.

Diunduh dari http://www.thejakartapost.com/life/2016/08/29/indonesia-ranks-second-last-in-reading-interest-study.html pada tanggal 5 September 2016.

"Low literacy rate leads to fanaticism, experts say". 2016, Mei 20. The Jakarta Post. Diunduh dari

http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/20/low-literacy-rate-leads-to-fanaticism-experts-say.html pada tanggal 5 September 2016.

(11)

Nickel, Eleanor Hersey. 2013. "When Darcy Is a Dog: How Wishbone Introduces Children to Jane Austen". Persuasions On-Line 34(1). Diunduh dari

http://www.jasna.org/persuasions/on-line/vol34no1/nickel.html pada tanggal 7 September 2016.

"Societies with poor literacy rate prone to censorship". 2016, Mei 9. The Jakarta Post.

Diunduh dari http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/09/societies-with-poor-literacy-rate-prone-to-censorship.html pada tanggal 5 September 2016.

Yusuf, Oik. 2016, 1 April. "Kecepatan Internet Indonesia Naik Dua Kali Lipat". Kompas. Diunduh dari

Referensi

Dokumen terkait