• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Desa Sebagai Rekaysa Sosial dan Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hutan Desa Sebagai Rekaysa Sosial dan Pe"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Hutan Desa Sebagai Rekaysa Sosial dan Pengelolaan Konflik Pengantar

Hutan menyediakan sumber daya alam serta jasa lingkungan. Kayu, tetumbuhan yang dapat menjadi obat, makanan, air, penyerapan emisi, penyedia udara bersih, dan lain-lain. Berbicara hutan juga tidak akan lepas dari komunitas-komunitas yang tinggal disekitarnya atau didalamnya. Hutan telah membentuk karakter masyarakat, kepercayaanya, praktek kehidupan sehari-hari, aturan dan norma. Banyak komunitas adat yang berhubungan langsung dengan hutan dan telah terjalin selama sekian lama. Hutan menjadi sumber penghidupan yang sangat penting bagi mereka.

Sebagai sumber daya ekonomi yang penting, hutan yang semula milik bersama kemudian dikuasai oleh kekuatan eksternal. Negara dan perusahaan swasta yang menjadi reprensentasi kekuatan eksternal itu (Wasito, 2009). Aktor lain yang muncul adalah Lembaga Swadaya Masyarakat, khususnya yang bergerak pada isu lingkungan. Pihak-pihak ini telah melakukan berbagai rekayasa social terhadap masyarakat sekitar hutan, media massa, dan terhadap satu sama lain dengan caranya masing-masing. Negara melalui aturan, perundangan dan kebijakan memberikan akses pengelolaan hutan dengan pengambilan kayu dan pertambangan. Perusahaan dengan rangsangan permintaan pasar menanamkan modal (investasi) yang besar, dan terakhir LSM dengan perjuangan penyelamatan lingkungan.

Angin segar penyelamatan lingkungan hadir ketika negara mengeluarkan wacana soal pembentukan Hutan Desa1. Aturan ini baru lahir puluhan tahun setelah boom kayu Indonesia terjadi. Hutan desa dinilai mampu memberikan solusi bagi persoalan pengambilan lahan oleh negara dan perusahaan. Kebijakan ini disambut baik oleh LSM lingkungan dengan mendampingi masyarakat mengajukan hutan desa. Namun apakah benar hutan desa mampu menjadi solusi yang baik bagi persoalan ini?

Masa Kelam Hutan Indonesia dan Kritik dari LSM

Harmoni alam dan manusia bisa jadi tinggal cerita. Perkembangan kehidupan dan peradaban manusia mau tidak mau mengubah pola interaksi manusia dengan alam. Mulailah pengambil alihan tanah dari pengambil alihan tanah dari komunitas asal oleh negara2 atau land grabbing.

Pada masa Orde Baru pembangunan difokuskan pada upaya mengubah wilayah hutan menjadi wilayah-wilayah kolonisasi (transmigrasi). Beberapa kebijakan komersialisasi dalam sector penguasaan hutan pun lahir. Hak Penguasaan Hutan difasilitasi dan diatur oleh beberapa peraturan, beberapa yang penting adalah :

1. Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

1 Hutan Desa keluar melalui Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomer P49/Menhut-II/2008 dan telah mengalami amandemen beberapa kali hingga keluar PerMen No.P49/Menhut-II/2014.

(2)

2. Undang-undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing

3. Undang-undang No.8 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri 4. Peraturan Pemerintah No.22 tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan

5. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.

6. Keputusan Presiden No.20 tahun 1975 tentang Kebijaksanaan di Bidang Pemberian Hal Penguasahaan Hutan.

Sumber : Antropologi dan Kebijakan Publik, 2012

Kala itu izin diberikan pada para pensiunan jendral melalui yayasan-yayasannya dan kerabat dekat Soeharto. Karena minim teknologi, modal, dan pengetahuan mereka melakukan subkontrak kepada perusahaan-perusahaan kayu dari luar negeri. Dimulailah masa boom kayu Indonesia, pembalakan besar-besaran pada hutan di Kalimantan dan Sumatera. (Amri Marzali: 2012). Pada era 1990an pemerintah Orde Baru menganti focus pengelolaan hutan menjadi industry kelapa sawit dan perkebunan kayu (HTI). Keadaan di juga didorong oleh wacana pengembangan ekonomi di sector non migas sekaligus tekanan angka angkatan kerja (Mia Sicawati, 2014).

Beberapa LSM merespon kejadian ini. Salah satunya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Tercatat ada delapan gugatan yang dilakukan WALHI pada periode 1988 – 2000, yaitu menggugat Amdal PT. Inti Indorayon Utama (1988), Dana Reboisasi (1999), Amdal PT. Freeport Indonesia, (1995), Pencemaran air di Surabaya (1995), Penyelewengan dana Reboisasi oleh PT. Kiani Kertas (1997), Kebakaran Hutan di Sumsel (1998), Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar (1999)3.

Sama seperti negara dan perusahaan, LSM seperti Walhi juga hendak melakukan rekayasa social. Awalnya merespon keadaan yang terjadi kemudian menciptakan wacana tandingan. Walhi pada 1999 berniat terjun pada dunia politik agar mereka bisa mengurai persoalan dari dalam, namun niatan itu tidak dsetujui oleh publik4.

Walhi berani mencul dan bersuara sebegitu kencang juga bukannya tanpa modal. Mereka punya pengetahuan soal konservasi, jaringan, teknologi, dan lain-lain. Tidak jarang ketiga pihak ini bersitegang. LSM menganggap perusahaan swasta telah melakukan perusakan alam dengan membuka lahan sawit, menambang logam dan meninggalkan limbah, mengusir satwa liar dan komunitas adat dari tanah mereka. Mereka juga menuding yang pemerintah telah memberikan ijin bagi perusakan lingkungan5. Dalam salah satu kritiknya Walhi mengungkit soal absennya peran Partai Politik dalam isu lingkungan. Menurut mereka kerusakan lingkungan berawal dari kebijakan-kebijakan politik yang tidak memihak.

3 http://www.walhi.or.id/sejarah. Diakses pada Senin, 13 Juni.

4 Juli 1999, WALHI mendaftar sebagai Utusan Golongan di MPR dengan tujuan agar isu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam menjadi isu sentral selain demokratisasi lainnya. Namun, hal ini dibatalkan karena anggota WALHI yang hadir dalam Pertemuan Nasional Lingkungan PNLH ke – VII di Banjarmasin tidak mengijinkan WALHI masuk dalam parlemen.

5 Kampanye terhadap dampak pertambangan di PT. Freeport Indonesia ditahun

(3)

Sebaliknya bagi perusahaan mereka merasa telah mengantongi izin operasional. Keberadaan mereka pun secara ekonomi dapat meningkatkan taraf kehidupan warga sekitar dan bagi mereka tidak jarang LSM menjadi provokator antara negara dan masyarakat karena ditunggangi donasi asing.

Hutan Desa, Sebuah Rekayasa yang “Tulus”?

Berita baik soal redistribusi tanah negara dan pemberian akses hutan terhadap masyarakat muncul seiring dengan wacana negara menetapkan kebijakan Hutan Desa lewat Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomer P49/Menhut-II/2008 . Hutan Desa adalah hutan negara yang belum di bebani izin/hak, yang di kelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Dalam pasal 3 disebutkan maksud dan tujuan hutan desa adalah untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat (masyarakat desa) melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Untuk mewujudkannya beberapa LSM di Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Ketapang mendampingi masyrakat untuk mengajukan hutan desa. LSM tersebut adalah Flora dan Fauna International-Indonesia Program (FFI-IP). LSM ini bergerak dalam bidang konservasi, pemetaan hutan adat dan membantu komunitas adat mendapat pengakuan wilayah6 Selain misi yang disebutkan, LSM ini juga melakukan sebuah projek berskala global untuk pengurangan emisi dan deforestasi7. FFI-IP mendampingi tujuh hutan desa di empat kecamatan di Kabupaten Ketapang, yakni Hutan Desa Sungai Pelang, Laman Satong, Sebadak Raya, Sungai Besar, Beringin Rayo, Tanjung Beulang, dan Pematang Gadung8. FFI juga menggandeng beberapa LSM lain seperti Alam Sehat Lestari (ASRI), Yayasan Palung dan Yayasan Inisisasi Alam Rehabilitasi Indonesia (International Animal Rescue) 9.

Berdasarkan tujuan pendirian hutan desa, masyarakat kini diberikan akses terhadap hutan proses itu dilegalkan dengan surat keputusan. Poin ini berangkat dari pengalaman di masa lalu, saat warga sekitar hutan hanya menjadi penonoton yang mengambil remah-remah kemakmuran dari industry besar. Namun dalam kenyataan di lapangan saya menganalisa hutan desa sebagai satu bentuk pencaplokan baru, kali ini dengan dalih penyelamatan

6 http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/ . Diakses pada Jumat 10 Juni 2016

7 Projek ini juga disebut Reduced Emission in Deforestation and Degradation (REDD+), lihat http://www.reddplus.go.id/.

8 Observasi Lapangan Mei-Juli 2015.

9 Yayasan ASRI secara khusus bergerak pada bidang kesehatan masyarakat dan pelestarian alam. Salah satu wujudnya adalah pendirian klinik untuk masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Palung. Yayasan ini berdiri sejak tahun 2007. Sumber : Website Yayasan ASRI

Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (Yayasan IAR Indonesia/YIARI) adalah organisasi nirlaba yang bergerak dibidang penyelamatan, rehabilitasi dan konservasi satwa liar khususnya primate. YIARI memulai kegiatannya sejak tahun 2009 dan diresmikan tahun 2013. Sumber: Website YIARI

(4)

lingkungan dan pelibatan masyarakat. Mia Siscawati (2004 menulis pada awal 2000an negara melakukan pengambil alihan penguasaan hutan dengan dalih penyelamatan lingkungan. Dalih ini lahir dari santernya wacana soal pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, penyerapan karbon dan pembayaran jasa lingkungan. Fenomena ini disebut juga dengan green grabbing atau green appropriation.

Hal ini ditunjukkan dari dinamika yang terjadi pada salah satu hutan desa dampingan FFI-IP yaitu Hutan Desa Manjau. Dua buah bukit yang mengapit Dusun Manjau itu resmi menjadi Hutan Desa pada tahun 201110. Tatat dan Kiderun, begitu warga desa menyebutnya. Manjau merupakan salah satu dusun di Desa Laman Satong Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dimasa lalu Bukit Kiderun merupakan tempat keramat bagi masyarakat. Ada syarat-syarat untuk memasuki hutan tersebut. Mereka harus meminta izin kepada Demung adat atau kepala desa dalam adat Dayak. Sebagai syarat tambahan warga harus berkerinah atau berdukun, kali ini untuk meminta izin pada sang “penjaga hutan”. Kini warga memanfaatkan hutan itu sebagai tempat bercocok tanam buah seperti durian, langsat, rampbutan, dan kelapa serta berladang sayuran.

Kini aktifitas disekitar di dua bukit itu tidak lagi sama semenjak bukit-bukit ini berubah statusnya menjadi Hutan Desa. Hutan Desa adalah tanah milik negara yang disewakan selama 35 tahun kepada penduduk suatu wilayah untuk dimanfaatkan potensinya11. Perubahan status hutan diikuti dengan terbitnya berbagai peraturan yang mengatur akses warga desa pada hutan.. Di mulut Hutan Desa Bukit Kiderun terdapat patok hutan desa berisi larangan menebang pohon, membakar, merusak hutan dan berburu satwa dilindungi12.

Setelah proses pencaplokan berjalan, proses selanjutnya adalah pemagaran atau enclosure. Pemagaran dilakukan untuk membatasi akses, melakukan control, dan memungkinkan transfer. Hutan Desa kini menjadi property bagi negara dan LSM dengan salah satu agenda ekonomi mendapat insentif dari donor dan simpati public13. Warga sebetulnya tetap boleh melakukan aktifitas yang dianggap tidak merusak hutan, namun aksesnya dibatasi pada zona tertentu. Hutan telah dizonase secara ilmiah melalui satelit dan hitungan karbon. Ada dua zona yang berlaku pada Hutan Desa Manjau, yakni pemanfaatan dan lindung. Aktifitas warga hanya boleh dilakukan didalam zona pemanfaatan.

10 Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No:493/Menhut-II/2011

11 Ketentuan, peraturan dan penjelasan lainnya ada dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menhut-II/2014 Tentang Hutan Desa.

12 Peraturan Hutan Desa. Peraturan lain yang mengatur akses masyarakat tertuang dalam Peraturan Adat Tentang Pengelolaan, Pemanfaatan dan Perlindungan Fungsi Hutan Desa Manjau. Dalam peraturan itu diatur batas maksimum penggunaan kayu sebesar 50m3/tahun, Hutan Desa tidak boleh dibuka untuk perladangan, pertambangan dan hanya diperbolahkan memanfaatkan area bawas atau hutan muda

(5)

Penutup

Mencari solusi yang memenangkan semua pihak memang sulit. Hutan desa bertujuan baik, menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. Namun kebijakan ini bermakna bias. Disatu sisi pemerintah memberikan akses kepada masyarakat setelah sekian lama meminggirkannya sekaligus untuk melindungi hutan yang tersiss dari incaran investor. Tetapi akses itu rupanya tidak sepenuhnya “tulus”, kepercayaan negara hanya sebatas zoa pemanfaatan dan kegiatan “yang tidak merusak lingkungan”. Sayangnya, pemerintahan yang korup masih saja memberikan ijin konsesi kepada perusahaan, perkebunan dan tambang.

Daftar Pustaka

Buku dan Dokumen

Indonesia, M. K. (2014). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.89/Menhut-II/2014 Tentang Hutan Desa. Republik Indonesia: Kementrian Kehutanan.

Ketapang, P. K. (n.d.). Peraturan Desa Laman Satong Tentang Lembaga Kelola Hutan Desa. Kalimantan Barat, Republik Indonesia.

Satong, P. D. (n.d.). Struktur Kepengurusan Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa. Kalimantan Barat, Republik Indonesia.

Siscawati, M. (2014). Pertarungan Penguasaan Hutan dan Perjuangan Perempuan Adat. Wacana, 159-187.

Warto. (2009). Desa Hutan Dalam Perubahan. Eksploitasi Kolonial terhadap Sumberdaya Lokal di Krasidenan Rembang 1865-1940. Yogyakarta: Ombak.

Amri Marzali (2012). Antropologi dan Kebijakan Publik. Jakarta: Kencana

Sumber Internet

Indonesia. (2016, June Jumat). Retrieved from Flora and Fauna International: http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/

Kenapa Orangutan. (2016, Juni Jumat). Retrieved from Yayasan Palung: https://yayasanpalung.wordpress.com/

International Animal Rescue. Animal from Suffering Around the World. (2016, Juni Jumat). Retrieved from International Animal Rescue: HYPERLINK "https://www.internationalanimalrescue.org/"

https://www.internationalanimalrescue.org/

Program. (2016, Juni Selasa). Retrived from Yayasan Asri

HYPERLINK "http://www.alamsehatlestari.org/id/" http://www.alamsehatlestari.org/id/

Referensi

Dokumen terkait

testing , gambar (a) wajah mahasiswa tidak berhasil teridentifikasi dengan benar pada video meskipun komposisi warnanya (warna kerudung) sama dengan komposisi warna

a) Susunlah dalam kolom 1, tentukan faktor-faktor strategis eksternal yang menjadi peluang dan ancaman serta faktor- faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan. b) Beri

•Seperti pada novel “Beautiful Soul” , yaitu “ Setelah melihat banyak orang di dalam, aku melangkah masuk dengan senyum yang mirip seringai, rambut berantakan, poni kusut,

Budi Rahardjon (2000:33) berpendapat bahwa : ”Adanya hubungan yang erat mengenai tingkat penjualan terhadap peningkatan laba bersih perusahaan dalam hal ini dapat dilihat

Hasil uji lanjutan terhadap daya adaptasi dari lima varietas yang dihasilkan dari kegiatan uji adaptif 15 varietas, pada agroekosistem lahan kering spesifik pada

G. DAFTAR PUSTAKA...100 Lampiran-lampiran.. vii Badan Penanggulangan Bencana Aceh)”. Aceh sebagai daerah rawan bencana sudah semestinya memiliki langkah antisipatif yang

Srikandi Diamond Motors Bandung dan pembahasan yang telah diuraikan pada BAB IV sebelumnya mengenai pelaksanaan sistem informasi akuntansi penjualan dan pelaksanaan

Display merupakan bagian dari lingkungan yang perlu memberi informasi kepada pekerja agar tugas-tugasnya menjadi lancar (Sutalaksana,1979). Arti informasi disini