• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Hubungan Militer Sipil di F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbandingan Hubungan Militer Sipil di F"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Perbandingan Hubungan Sipil dan Militer di Filipina

pada Masa Pemerintahan Ferdinand Marcos dan Corry Aquino

diajukan untuk memenuhi tugas akhir

Mata kuliah : MILITER DAN POLITIK Dosen pengampu : Yahya A. Muhaimin

NAMA : ANDI TRISWOYO NIM : 12/328930/SP/25198

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Militer merupakan elemen penting dalam berdirinya suatu negara, khususnya negara pasca-kolonial. Di negeri-negeri eks kolonialisme inilah, militer muncul sebagai benteng utama dalam mempertahankan harga diri dan eksistensi pribumi yang dikuasai kolonialis. Filipina menjadi negara Asia, yang notabene mengalami pengalaman dijajah yang cukup panjang. Sejak tahun 1500, Spanyol telah mendudukkan kuasanya atas kepulauan di timur laut china selatan tersebut. Kolonisasi Spanyol yang begitu berdarah, kemudian direbut oleh kedigdayaan Amerika Serikat (AS) pada awal 1900an. Dibawah koloni AS inilah, kemudian bangsa Filipina mulai menyusun identitasnya. Dibawah kolonisasi Spanyol juga, militer kemudian menjadi elemen penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Filipina. Meskipun begitu, selama era penjajahan tersebut, militer tidak dapat dibatasi sebagai sebuah institusi pemonopoli senjata. Seperti negeri jajahan lain pula, perjuangan melawan kolonialisme tidak menampilkan wajah militer sebagai institusi, namun instrumen terpadu yang tidak hierakhis, tertutup, dan eksklusif. Hal ini dikarenakan perjuangan zaman itu, melibatkan kaum sukarelawan, yang didominasi rakyat jelata dengan pelbagai latar belakang keahlian yang berbeda.

AS seakan menjadi penyelamat bangsa Filipina setelah menyingkirkan Spanyol. Hegemoni AS yang begitu besar telah membuat Amerikanisasi muncul dalam ujud nyata di Filipina. Pertama, bahasa Inggris menjadi bahasa utama Filipina, yang kemudian menempatkannya sebagai negara dengan penutur Inggris terbesar ketiga di dunia,setelah Inggris dan AS. Kedua, rasa kepemilikan yang begitu tinggi terhadap AS membuat rakyat Filipina, berserah diri menjadi bagian dari AS. Selama berpuluh tahun kemudian, nostalgia rakyat Filipina untuk menjadi negara bagian AS terus ada.

Pada awal kemerdekaan, Filipina telah menganut supremasi sipil, sekaligus kontrol sipil yang demokratis. Diceritakan pasca pemberontakan Huk, militer yang pada saat itu berperan untuk mengamankan kondisi negara mampu mengembalikan keamanan terhadap sipil. Bahkan, AFP (Armed Force of Philippines) mau hidup berdampingan dengan kelompok Huk dengan pembagian tanah yang adil. Tak ayal, slogan “ Land for landless “ menjadi terkenal dan sangat dinikmati rakyat pada masa itu1. Kemudian, pada masa ini pula terjadi control sipil

(3)

yang obyektif, dimana pemerintahan Ramon Magsaysay pada waktu itu, mendorong maksimalisasi profesionalisme AFP.

B. Landasan Konseptual

1. Supremasi Sipil

Menurut Finer, Supremasi Sipil ditandai dengan kesadaran militer terhadap dirinya sendiri, dimana profesionalismenya dilihat sebagai pelayan bagi negara daripada menjadi pemerintah yang berkuasa.2 Selain itu, supremasi sipil juga merujuk pada pertanggung jawaban pemimpin sipil dalam berbagai kebijakan dan program pemerintah yang utama, baik secara politik dan efektif.3 Dalam banyak hal, supremasi sipil diidentikan dengan kekuasaan dan penguasaan kaum sipil atas militer, baik secara legitimasi dan resmi. Supremasi sipil ditandai dengan taatnya militer terhadap konstitusi yang berlaku dan mau bekerja sama dengan kaum sipil sesuai dengna profesionalisme masing-masing.

2. Kontrol Sipil

Menurut Samuel P. Huntington, control sipil dapat dicapai dengan meluasnya kekuasaan sipil sembari kekuasaan militer berkurang. Kontrol sipil dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu(1) kontrol sipil yang subjektif (subjective civilian control), yang ditandai dengan maksimalisasi kekuasaan sipil terhadap hubungannya dengan militer dan (2) kontrol sipil yang objektif (objective civilian control), yang ditandai dengan maksimalisasi profesionalisme militer.4

3. Profesionalisme Baru dan Lama

Berdasar pada analisis Huntington, Alfred Stepan menilai bahwa profesionalisme baru mengarah pada keterlibatan militer dalam urusan non-militer, seperti politik dan birokrasi. Sedangkan profesionalisme lama merujuk pada fokus tugas militer konvensional, seperti menjaga pertahanan (defence) negara.5

C. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan relasi sipil-militer pada masa Ferdinand Marcos dan Benigno Aquino III?

2 Finer,S.E, The Man on Horse Back: The Role of the Military in Politics, Frederick A. Praeger, New York, 1962, hal 25.

3ibid, hal 28

4 Huntington,Samuel H, The Soldier and the State : The Theory and Politis of Civil-Military Relations, The Belknap Press of Harvard University, Cambridge, hal 80 dan 83.

(4)

D. Argumentasi Utama

Terdapat beberapa perbedaan dalam hal profesionalisme, control sipil, dan corak supremasi sipil diantara kedua presiden tersebut. Hal ini tak terlepas dari perbedaan rejim yang dianut oleh dua presiden tersebut, yaitu otoritarianisme dan demokrasi.

PEMBAHASAN

A. Relasi Sipil-Militer pada Masa Rejim Marcos

(5)

dengan kesetiaannya membela supremasi sipil, meski telah mampu meredam pemberontakan Huk. Didalam rejim Marcos, terjadi perubahan yang cukup signifikan, terutama dalam relasi sipil dan militer. Pada masa Marcos inilah, terjadi pergeseran corak control sipil, dari objektif menuju subjektif. Ini tak lain, disebabkan oleh sikap Marcos yang otoriter dan anti-demokratis. Lebih jauh, militer pada masa pemerintahan Marcos, dimaksudkan sebagai institusi pembantu presiden, yakni untuk menyelamatkan Republik dan melindungi tradisi demokrasi, yang diinisiasi oleh rakyat Filipina.6

Pertama, Marcos berusaha menggeser peran AFP dari perannya yang heroik menjadi sangat manajerial. Dengan kata lain, Marcos telah mampu mengalihkan unit operasional AFP dari

combat leader menjadi bureaucratic management.7 Pergantian ini tentu berimplikasi serius terhadap pandangan dan ketaatan militer terhadap pemerintah sipil penguasa,dimana terjadi politisasi peran militer yang sebelumnya “hanya” sebagai pengaman negara, beralih menjadi pejabat negara. Fenomena ini tentu saja mengingatkan pengalaman Indonesia dibawah rejim Orde Baru, dimana ABRI (Angkatan bersenjata republik Indonesia) melakukan fungsi non-militer, yang dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Politisasi ini pun berdampak pada loyalitas AFP yang sebelumnya tergolong konstitusional menjadi transaksional.

Kedua, hal lain yang menandai transformasi tipe kontrol sipil adalah imbal jasa yang material guna meningkatkan kesetiaan militer pada rejim Marcos. Ferrer dan Hernandez mengatakan bahwa Marcos secara cuma-cuma, memberikan jam tangan merk Rolex terhadap dua belas pegawai pertahanan dan panglima teratas AFP. Kisah lain juga menceritakan bagaimana privilese diberikan oleh Marcos terhadap para loyalisnya, seperti pengangkatan Jenderal Rafael Ileto sebagai Duta besar Filipina untuk Iran, setelah dia menolah mendukung deklarasi Martial Law.8 Tak hanya itu, patronase politik antara presiden Marcos dan militer tampak dalam plebagai macam kasus, seperti korupsi dan kolusi didalam tubuh militer.

B. Relasi Sipil-Militer pada Masa Rejim Corry Aquino

Corazon (Corry) Aquino menjadi presiden Filipina, pasca jatuhnya Marcos. Pada masa itu, ditandai dengan kemenangan rakyat ketika rejim otoriter Marcos telah ditundukkan oleh jutaan rakyat Filipina yang turun ke jalan. Fenomena yang dikenal dengan “people power” 1986 itu

6 Carolina G. Hernandez, maria Cecilia T. Ubama, Restoring and Strengthening Civilian Control : Best Practice of Civil-Military Relations in Philippines, Institute for Strategic and Development Studies, 31 Desember 1999, hal 3.

7 Raymundo B. Ferrer, Carolina G. Hernandez, The Military in Democratic Development : The Philippines Cases Study, hal 142

(6)

menginspirasi kejatuhan rejim otoritarian dan mekarnya demokratisasi di negara lain, seperti Polandia, Korea Selatan, Taiwan, dan Pakistan pada akhir 1980an.9

Corry Aquino adalah seorang demokrat dan tokoh reformasi sosial Filipina. Selain itu, dia dikenal juga sebagai Katholik yang taat. Meskipun lahir dari salah satu keluarga tuan tanah terkemuka, dia tidak terlena untuk menikmati segala kekayaannya. Sebagai seorang yang visioner, dia berusaha untuk mendorong demokrasi sejati. Sepanjang hidupnya, dia terus menginisiasi berubahnya wajah demokrasi Filipina dari demokrasi elitis 1960an dengan politik patronase yang kuat menjadi demokrasi partisipatori.10 Berkat kerja keras dan karismanya, Corry Aquino terus dikenang sebagai salah satu presiden terbaik Filipina.

Corry Aquino mewarisi sederet permasalahan, pasca lengsernya Marcos. Pelbagai permasalahan fundamental perlu segera diselesaikan demi demokrasi yang hakiki kedepannya. Beberapa hal yang menjadi perhatian Aquino, antara lain (1) membangun (kembali) dna memperkuat institusi dan mekanisme control sipil dan (2) redefnisi peran militer : pemisahan insitusional Polisi dari AFP. Dalam memperkuat control sipil, Aquino melakukan beberapa priotas program terkait hal tersebut, seperti (1) membangun institusi kebebasan pers; (2) reformasi yudisial; (3) pemberdayaan masyarakat sipil; (4) pembentukan konstitusi baru; dan (5) Pemilu pasca-Edsa. Institusi kebebasan pers perlu dibangun, guna memastikan jaminan kritik public terhadap pemerintah, membangun wacana publik, dan membangun demokrasi deliberatif. Adapun reformasi yudisial ditujukan untuk mengadili berbagai tindak kekerasan, sekaligus pembunuhan yang dilegalisasi pada rejim Marcos, membangun sistem peradilan yang berorientasi sipil, dan menjamin Hak Asasi Manusia (HAM). Pemberdayaan masyarakat sipil ditujukan sebagai instrumen untuk membangkitkan gerakan rakyat yang kuat dan solutif untuk menjawab pelbagai persoalan, seperti kemiskinan dan kebodohan. Pembentukan konstitusi baru, yaitu Konstitusi 1987 dimaksudkan sebagai kerangka hukum bagi pembatasan kekuasaan presiden, pelarangan munculnya dinasti politik yang diatur dalam ranah kerja dan pemilihan, mengamankan supremasi sipil atas militer, mengakui peran wanita dalam pembangunan bangsa (nation-building), penghormatan terhadap HAM, dan meningkatkan keterlibatan rakyat dalam politik. Terakhir, pemilu pasca-Edsa ditujukan untuk mendirikan sebuah komisi pemilu, yang bernama COMELEC (Commission on Elections) untuk memastikan aturan demokrasi minimal.11

9 Carolina G. Hernandez, Maria Cecilia T. Ubama, op.cit, hal 5.

10 Coronel,Sheila, Cory Aquino and Democracy in the Philippines, Open Democracy 15 Agustus 2009, <

http://www.opendemocracy.net/article/cory-aquino-and-democracy-in-the-philippines> diakses pada 26 Juni 2014 pukul 11:04.

(7)

Aquino berargumen bahwasanya penguatan institusi sipil tidak akan berjalan secara berarti, ketika terjadi permasalahan akut dalam institusi militer. Lebih lanjut, Aquino melihat bahwasanya institusi militer sejauh yang dia lihat telah terpolarisasi dan tidak stabil. Terdapat dua hal utama yang menjadi perhatian Aquino, antara lain (1) pemisahan secara institusional,

Philippines Constabulary (PC), korps satuan polisi Filipina dan AFP, satuan tentara Filipina dan profesionalisme militer AFP. Menurutnya, era rejim Marcos telah melakukan kesalahan dengan mengitegrasikan PC dan AFP kedalam Integrated National Police (INP). Sehingga, pemisahan PC dari INP diharapkan mampu mengembalikan korps satuan keamanan sipil, yang telah termiliterisasi. Adapun profesionalisme militer AFP direstorasi sedemikian rupa, hingga mereka hanya berperan sebagai garda terdepan dalam mengamankan pertahanan negara. Perlu Anda ketahui, pemisahan polisi dari yurisdiksi militer diatur secara inklusif pada Konstitusi 1987 pasal XVI, ayat 6 berikut.12

The State shall establish and maintain one police force, which shall be national in scope and civilian character, to be administered and controlled by a national police commission. The authority of local executives over the police units in their jurisdiction shall be provided by law.

C. Analisis

Perbandingan sipil dan militer di kedua era kepresidenan, tampak sangat berbeda. Presiden Marcos dengan otoritarianismenya telah membawa militer kedalam nikmatnya jabatan politik. Berbanding terbalik dengan Corry Aquino yang menginisiasi pembentukan rejim yang demokratis dengan restorasi peran sipil dan militer di Filipina menjadi prioritas utama. Pada masa ini pulalah, “invasi” militer kedalam politik, yang sejatinya menjadi ranah sipil dihentikan, baik melalui konstitusi dan institusi. Jika mencermati lebih cermat, terdapat beberapa transformasi relasi sipil-militer dari masa transisi presiden Marcos yang otoriter menuju presiden Aquino yang demokratis, antara lain (1) transformasi kontrol sipil; (2) transformasi profesionalisme militer; dan (3) transformasi tipe supremasi sipil.

Pertama, dalam masa transisi dua pemimpin tersebut, terdapat sebuah fenomena transformasi control sipil, dari subyektif menuju objektif. Kontrol sipil yang subyektif dapat terlihat dalam masa pemerintahan Marcos, dimana militer berusaha ditundukkan oleh sipil (dalam arti, dirinya sendiri) untuk melanggengkan legitimasi kekuasaannya. Beberapa upaya untuk menundukkan militer tampak dari beberapa tindakannya, seperti (1) pemberian jabatan politik terhadap pejabat tinggi AFP; (2) pemberian jam tangan mahal merk Rolex secara gratis terhadap perwira militer;

(8)

dan (3) pemberian legitimasi bagi militer untuk masuk dalam ranah birokrasi, serta (4) praktik korupsi dan kolusi yang marak terjadi dalam tubuh militer. Disisi lain, Aquino berusaha untuk mengembalikan obyektivitas control sipilnya, dengan cara mengadili segala tindak kejahatan yang dilakukan militer dan profesionalisme kerjanya.

Kedua, dalam masa transisi dua pemimpin tersebut, juga terdapat fenomena transformasi profesionalisme militer, dari profesionalisme “baru” menuju profesionalisme lama. Menurut Samuel Huntington, profesionalisme baru merujuk pada tindakan militer untuk terjun di ranah yang bukan merupakan “bagian”nya secara semestinya. Dalam kasus militer di era Marcos, militer telah melanggar profesionalismenya dengan masuk dalam ranah sipil, yaitu menduduki jabatan politik dan birokratik. Nah, dalam era Aquino, posisi militer berusaha untuk dikembalikan pada profesionalisme lama. Alfred Stepan mengatakan bahwa profesionalisme lama merujuk pada fokus profesionalisasi militer terkait peperangan konvensional (conventional warfare) melawan tentara asing.13

Ketiga, dalam masa pergantian dua presiden tersebut, juga terdapat perubahan corak supremasi sipil, dari supremasi sipil yang “formal” menjadi “substansial”. Ketika menilik makna dari supremasi sipil, dapat merujuk pada (1) penguasaan sipil atas militer dalam konstitusi dan (2) penguasaan sipil atas militer dalam emosi. Dalam era kepresidenan Marcos, terlihat sangat jelas dimana Marcos berusaha untuk menundukkan militer, melalui cara-cara konvensional, seperti pemberian jabatan dan hak istimewa terhadap militer. Hal ini berbeda dengan era Aquino, dimana ketertundukkan militer terhadap sipil tidak hanya dikaitkan secara konstitusional. Dalam artian, militer tunduk terhadap sipil karena memang konstitusi berkata demikian. Namun, dalam era Aquino, militer telah sedikitnya memiliki kesadaran penuh untuk tunduk terhadap sipil. Hal ini tak terlepas dari gelombang demokratisasi ketiga, yang menekankan pentingnya masyarakat sipil dalam operasionalisasi pemerintahan suatu negara. Dalam bahasa sederhana, militer tunduk kepada sipil bukan karena tuntutan aturan, akan tetapi karena kesadaran mereka secara pribadi yang memutuskan demikian.

(9)

PENUTUP

A. Simpulan

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Coronel, Sheila, Cory Aquino and Democracy in the Philippines, Open Democracy 15 Agustus 2009, < http://www.opendemocracy.net/article/cory-aquino-and-democracy-in-the-philippines> diakses pada 26 Juni 2014 pukul 11:04

Finer,S.E, The Man on Horse Back: The Role of the Military in Politics, Frederick A. Praeger, New York, 1962, hal 25 dan 28

Hernandez, Carolina C, Ubama, Maria Cecilia T, Restoring and Strengthening Civilian Control : Best Practice of Civil-Military Relations in Philippines, Institute for Strategic and Development Studies, 31 Desember 1999, hal 3,7,8, dan 9

(11)

Jose Almagro, Juan, Diaz Cassou,Javier, Fiestas, Ignacio, The rise of the “new professionalism”

in the Andean Region, fundacion CILAE, <

http://www.cilae.org/publicaciones/DTNewProf_JJIFJD.pdf> diakses pada 26 JUni 2014 pukul 10:25, hal 5

Referensi

Dokumen terkait

proses pembelajaran sesuai dengan profil peserta didik secara real-time. 4) Institusi pendidikan, merupakan lembaga yang menyelenggrakan pembelajaran yang digerakan oleh AI

1) Menentukan jumlah pungutan pajak dan retribusi daerah serta pengutan lainnya yang dilakukan kepada masyarakat. 2) Merupakan sarana mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang

Big data service process has few steps starting from Data acquisition, Data staging, Data analysis and application analytics processing and visualisation.. Figure 2 presents a

proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata.... Komunikasi Ruang

Second, the paper focuses on the inner workings and limitations of bottom-up participation and mobilisation in Indonesia by speciically looking into the state-run

terjadi, kumpulan identitas yang sudah dimiliki dan simbol diri yang melekat dalam

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Pengabdian

Simpulan: ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi, status bekerja, berada pada status ekonomi menengah ke atas, dan berdomisili di daerah perkotaan menunjukkan konsumsi zat