• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI Ahmad Hariandi Dosen Agama Islam Pada FKIP Universitas Jambi Abstract - View of REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI Ahmad Hariandi Dosen Agama Islam Pada FKIP Universitas Jambi Abstract - View of REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMULASI PESANTREN DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

Ahmad Hariandi

* Dosen Agama Islam Pada FKIP Universitas Jambi

Abstract

Boarding School is one institution that has a significant contribution in maintaining and developing the culture of Islam in Indonesia. Because schools grow and develop the culture of indigenous peoples in Indonesia. Boarding school with all its advantages and disadvantages, is considered able to keep students-santrinya morality, thus recognized can counteract the negative impact of globalization is threatening the nation's morale. But on the other hand has the disadvantage schools in improving the quality of its output to meet the professional work that is expected to answer the challenges of globalization. It is necessary for reformulation of boarding schools, so that human excellence resaurces (human resources) to be achieved pesantren can be realized in a comprehensive manner. Namely by preparing students are of good quality in terms of cognitive, affective and psychomotor so as to master the development of science and technology. But by not leaving the distinctive nature and diversitatifnya as an Islamic educational institution that has a distinctive subculture anyway. With the principle of al muhafadzah 'ala al qadim al Salih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah (retain the tradition of positive and take on new things positive), schools are expected to be the first milestone for the rebirth of Islam in Indonesia capable of challenging the current globalization.

Keyword: School, globalization

Abstrak

(2)

globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan reformulasi pesantren, agar

keunggulan human resaurces (sumber daya manusia) yang ingin

dicapai pesantren dapat terwujud secara komprehensif. Yaitu dengan mempersiapkan santri yang berkualitas baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotoriknya sehingga mampu menguasai perkembangan iptek. Tetapi dengan tidak meninggalkan sifat distingtif dan diversitatifnya sebagai sebuah lembaga pendidikan islam yang mempunyai subkultur distingtif pula. Dengan

prinsipnya al muhafadzah „ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al

jadid al ashlah (tetap memegang tradisi yang positif dan mengambil hal-hal baru yang positif), pesantren diharapkan menjadi tonggak awal bagi kelahiran kembali Islam di Indonesia yang mampu menantang arus globalisasi.

Keyword: Reformulasi,Pesantren, globalisasi

Pendahuluan

Perkembangan Islam saat ini di Indonesia mengalami progresifitas

yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari munculnya

gerakan-gerakan Islam radikal ataupun Islam garis keras. Islam radikal muncul

tidak saja dalam bentuk pemikiran yang rigid dan tekstualis, tetapi juga

menjelma menjadi sebuah gerakan yang bersifat massal. Salah satu

contohnya adalah FPI yang terkenal dengan ajaran mainstreamnya

sehingga menimbulkan citra negatif bagi agama Islam. Belum lagi

sederetan teroris yang beraksi dengan mengatasnamakan Islam. Lalu,

apakah Islam seperti itu yang perlu eksis di Indonesia yang plural dengan

beraneka ragam budaya, suku, bahasa bahkan agama.

Idealnya, dengan kemajemukan yang ada, jangan sampai umat

Islam melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif doktrinal saja,

sehingga melahirkan sikap apologetik secara berlebihan. Sikap tersebut,

pada taraf tertentu, sampai pada klaim kebenaran (truth claim) dan

terjebak pada perspektif sepihak (one side) yang akhirnya menjustifikasi

Islam sebagai agama yang paling benar dan menuduh agama lain

kafir/sesat. Sikap seperti inilah yang mengerdilkan makna Islam secara

(3)

Islam sebagai agama yang sempurna telah didesain Tuhan sampai

akhir zaman, jadi Islam pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman

dan tempat (shalih li kulli zaman dan makan). Walaupun Islam lahir di

Jazirah Arab, bukan berarti Islam yang ada di Indonesia juga harus

mengikuti kultur asli Arab, kecuali untuk masalah fundamental Islam. Al-Qur‟an juga telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia untuk seluruh umat manusia (Q.S. 4: 79).

Karena itulah, saat ini penting untuk menemukan kembali (reinvent)

Islam autentik Indonesia. Islam yang bisa hidup dalam kemajemukan

masyarakat Indonesia. Tentu saja tidak menafikan gerakan Islam radikal

sekalipun. Namun berbahaya jika Islam radikal yang mendominasi dan

memframe warna Islam Indonesia. Sebabnya hanya satu, Indonesia

bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang sangat plural baik dari

segi suku, agama dan ras. Apa yang terjadi jika Islam radikal

mendominasi bahkan menguasai gerakan Islam Indonesia. Bisa saja akan

terjadi disharmonisasi antar kehidupan umat beragama. Bahkan dalam

tingkat tertentu akan menimbulkan disintegrasi bangsa.

Oleh sebab itu, melihat Indonesia yang sangat pluralistik, Islam

Indonesia yang relevan pada masa depan adalah Islam yang

menghidupkan kultur Indonesia, Islam yang damai dan sejuk namun

dinamis. Dari fenomena diatas, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa

pesantren merupakan salah satu lembaga yang memiliki kontribusi cukup

signifikan dalam menjaga dan mengembangkan kultur Islam di Indonesia.

Karena pesantren tumbuh dan berkembang dari kebudayaan asli bangsa

Indonesia.

Selain itu, derasnya arus globalisasi juga menjadi hal penting yang

jadi perhatian. Di sisi lain, globalisasi bisa berdampak positif bila melihat

kemajuan-kemajuan yang ada dari segala bidang. Tetapi di sisi lain

(4)

menghadapi segala dampak negatif yang muncul.1 Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, selama ini dianggap mampu

menjaga moralitas santri-santrinya, sehingga diakui dapat menangkal

dampak negatif dari arus globalisasi yang mengancam moral bangsa.

Meskipun di sisi lain pesantren memiliki kelemahan dalam meningkatkan

kualitas outputnya untuk menghadapi profesionalitas kerja yang

diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi.

Karena itulah, tulisan ini ingin membahas lebih lanjut tentang

pesantren yang dikatakan sebagai indigenous kultur Islam Indonesia. Lalu

bagaimana eksistensinya sebagai learning society, implementasi

pendidikan karakternya, serta bagaimana merumuskan kembali

(reformulasi) pesantren agar mampu menghadapi tantangan globalisasi

saat ini, tapi tetap mempertahankan tradisi kepesantrenannya yang positif

(al muhafadzah „ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah).

Mengingat arus globalisasi perlahan tapi pasti telah menggerus

kebudayaan bangsa sendiri lewat westernisasi dan modernisasi, yang

semakin hari semakin mengerdilkan moral anak bangsa.

1

(5)

Pembahasan

1. Pesantren; Indigenous Dan Distingtif

Nurcholis Madjid dalam Dawam menyebut pesantren tidak hanya

mengandung makna keislaman, tapi juga keaslian (indigenous)

Indonesia.2 Sementara Azyumardi Azra mengidentikkan pesantren

dengan istilah distingtif.3 Kedua istilah tersebut secara substansial

memang melekat pada pesantren. Dikatakan indigenous, karena secara

historis pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang

pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini

dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang asli. Bahkan

Nurcholis Majid sampai mengatakan kalau seandainya negeri ini tidak

mengalami penjajahan, tentunya pertumbuhan sistem pendidikan di

Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren

itu.4

Hadi Supeno menyebutkan bahwa pesantren berasal dari kata

santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata

Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang

selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan

Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.5 Hal inilah

yang menyebabkan banyak penulis sejarah pesantren berpendapat

bahwa pesantren merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang

diselenggarakan orang-orang Hindu dan Budha.

2

Nurcholis Madjid dalam Dawam Raharjo, edt, Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M, 1985, hlm. 3

3

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 48. Sejalan dengan hal tersebut, Husni Rahim, juga mengatakan bahwa sejarah pertumbuhan pesantren tersebut menunjukkan bahwa lembaga ini memiliki akar tradisi sangat kuat di masyarakat. Meskipun berjalan seiring proses Islamisasi yang sekaligus sebagai simbol Islam, pesantren pada dasarnya lebih merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang orisinal. (Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001, hlm. 145)

4

Nurcholis Majid dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia, hlm. 3

5

(6)

Sebagaimana diketahui, sewaktu Islam datang dan berkembang di

Pulau Jawa telah ada lembaga perguruan Hindu dan Budha yang

menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan

bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya.

Bentuk pendidikan seperti ini kemudian menjadi contoh model bagi para

wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran Islam kepada

masyarakat luas, dengan mengambil bentuk sistem biara dan asrama

serta merubah isinya dengan pengajaran agama Islam yang kemudian

dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren.

Sementara itu, pesantren dikatakan distingtif, karena memang

secara spesifik pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbeda

dan memiliki kekhasan tersendiri yang tidak akan dijumpai di

lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Zamakhsari Dhofier dalam Hasbullah

menyebutkan bahwa pesantren setidak-tidaknya ditandai dengan lima

elemen pendukungnya, yaitu: pondok, masjid, santri, kitab klasik dan

kyai.6 Satu kesatuan dari elemen-elemen inilah yang membuat pondok

pesantren bersifat distingtif.

Elemen yang paling menarik yang tidak dijumpai di lembaga lain

adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada kitab-kitab salaf

(klasik), yang terintroduksi secara populer dengan sebutan kitab kuning.

Ciri-cirinya yang melekat sebagaimana dikatakan M.Sahal Mahfudz,

antara lain bukan saja karena kertasnya yang berwarna kuning, tapi juga

tidak menggunakan tanda baca yang lazim, sehingga untuk

memahaminya memerlukan keterampilan tertentu yang tidak cukup hanya

penguasaan bahasa Arab saja.7

Sementara itu dalam proses pendidikannya, pesantren memiliki

model-model pembelajaran yang bersifat klasikal.8 Model pembelajaran

tersebut menggunakan metode sorogan (individual learning process) dan

6

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3Es, 1984, hlm. 138

7

M.Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LkiS, 2004, hlm. 258.

8

(7)

metode bandongan atau wetonan (collective learning process).9 Dimana

pelajaran yang dipelajari meliputi pelajaran tafsir, „ulum at tafsir, asbab al

-nuzul, hadits, „ulum al-hadits, asbab al-wurud, fiqh, qawa‟id al-fiqhiyah, tauhid, tashawuf, nahwu, sharaf, balaghah, dan ilmu-ilmu keislaman

lainnya.10

Secara historis, tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren

adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (1419) yang berasal dari Gujarat

India sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa.11 Meskipun

bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren

merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga

pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum

muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya

menyangkut praktek kehidupan keagamaan.

Perkembangan pesantren, seperti apa yang diungkapkan oleh

Azyumardi Azra sejak akhir 1970-an pesantren telah menemukan

momentumnya dimana modernisasi pesantren telah banyak mengubah

sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Dulunya pesantren

merupakan lembaga pendidikan tradisional yang hanya mengajarkan

ilmu-ilmu agama, tapi akhirnya pesantren mau menerima mata pelajaran

umum, bahkan banyak pesantren yang mengembangkan sekolah-sekolah

umum dan universitas umum. Dengan perkembangan ini, apa yang tersisa

dalam aspek kelembagaan pesantren itu adalah boarding sistemnya.12

9

Lembaga pendidikan yang awalnya berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18, bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren(Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003, hlm. 3)

10

M. Sahal Mahfudz, Nuansa, hlm. 258)

11

Alwi Shihab dalam HS. Mastuki, dan M. Ishom el-Saha, Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003, hlm. 8

12

(8)

Sejalan dengan perubahan pesantren, perkembangan fisik

bangunan pesantren juga mengalami progresifitas yang sangat

observable. Banyak pesantren diberbagai tempat, apakah itu wilayah

urban maupun pedesaan yang sudah mempunyai gedung-gedung dan

bangunan megah. Yang lebih penting lagi, bangunan itu sehat dan

kondusif bagi keberlangsungan proses pembelajaran yang baik. Dengan

demikian citra yang pernah disandang pesantren sebagai kompleks

bangunan yang reot dan tidak higienis semakin memudar.

Sementara itu setelah modernisasi pesantren, pesantren

mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam

beberapa hal, yaitu: Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap

jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun

1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384

orang. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2001 dan menunjukan

pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri

sebanyak 2.737.805 orang.

Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan

bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi

empat, yaitu: 1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal

dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki

sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum; 2).

Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk

Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak

menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan

kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul

Rahman Jakarta; 3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu

pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah seperti Pesantren

Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, dan lain sebagainya; 4).

Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian.13

13

(9)

Dari gambaran di atas, tampak jelas bahwa dewasa ini pesantren

telah mengalami perkembangan dan pergeseran. Dimana pesantren mau

lebih terbuka dengan hal-hal baru yang positif. Meskipun demikian, semua

perubahan itu tidak mencabut akar kultural pesantren sebagai lembaga

tafaqquh fid diin, dan transfer Islami values.

Kajian tentang pesantren di atas, tentunya sangat memenuhi unsur

Islam autentik Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti yang

dikatakan Abdul Qadir bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks

budaya setempat.14 Terlepas dari keberadaan risalah Islam yang

bersifat universal (seluruh dunia) atau mondial (seantero dunia), dan

eternal (sampai akhir zaman), pada intinya Islam diturunkan Tuhan tidak

dalam kevakuman sejarah atau budaya. Dengan demikian, seperti

dikatakan Thohari dalam madjid,15 bahwa Islam dalam menghadapi

realitas budaya bersikap eklektif (terbuka menerima budaya yang sudah

ada) sekaligus selektif. Budaya apapun selama tidak bertentangan

dengan prinsip-prinsip Islam, terutama ketauhidan, dapat diterima. Hal

inilah yang disebutkan dalam al-Qur‟an secara spesifik, bahwa Islam

datang untuk memberikan kemudahan, dan tidak ada kesukaran dalam

Islam. (Q.S. 22: 78).

Karena itulah, Islam di Indonesia memiliki karakteristik yang sesuai

dengan budaya Indonesia itu sendiri. Indonesia memiliki kultur khas

sebelum Islam datang, yang sekiranya memang menunjukkan

identitasnya. Dimana setelah Islam datang dengan jalur damai, proses

akulturasi dan asimilasi budaya menyatu dengan budaya Islam itu sendiri.

Karena itulah, wali songo ketika menyebarkan agama Islam di pulau Jawa

menggunakan pendekatan-pendekatan budaya yang ternyata

menunjukkan hasil. Selagi kultur tersebut tidak menyalahi hal yang

14

Abdul Qadir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 47

15

(10)

fundamental dari ajaran Islam, maka tidak ada salahnya tetap dijadikan

ciri khas Islam di Indonesia.

Seperti itulah adanya Islam di Indonesia. Islam mampu diterima di

Indonesia dengan jalur damai, karena Islam di Indonesia mampu bersikap

eklektif dengan budaya yang ada di Indonesia. Apalagi Indonesia dengan

kemajemukannya. Hal inilah yang digambarkan al-Qur‟an bahwa Islam

adalah agama rahmat lil „alamin. Sebagaimana Allah swt berfirman:



Artinya:“Dan tidaklah kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh umat.” (Q.S. al-Anbiya‟: 107)

M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah memberikan penafsiran

bahwa ayat di atas, merupakan ayat yang mengklaim bahwa pengutusan

Muhammad sebagai pembawa risalah Islam menjadi rahmat bagi semesta

alam. Rahmat yang dimaksudkan disini, bukan saja kedatangan

Muhammad sebagai pembawa risalah dan ajaran Islam yang mampu

membawa keselamatan hidup bagi manusia fi ad-daraini, tetapi sosok dan

kepribadian beliau juga adalah rahmat yang dianugerahkan Allah kepada

beliau.16

Rahmat itu sendiri merupakan sebuah karunia. Jadi, dengan

menganut Islam, diharapkan manusia menjadi karunia bagi semesta,

maksudnya dengan memeluk Islam manusia akan bermanfaat bagi alam

semesta ini. Hal tersebut terwujud karena memang dalam Islam diajarkan

bagaimana berhubungan dengan Allah (hablun minallah), berhubungan

dengan manusia (hablun minannas), dan tak terkecuali dengan alam

semesta ini.

Maka dari itulah, pesantren diharapkan mampu mewujudkan ketiga

macam hubungan di atas, sekaligus juga menjaga dan mengembangkan

16

(11)

kultur Islam di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan

Husni Rahim,17 bahwa pesantren memiliki peran penting dalam

masyarakat Indonesia, yaitu: pertama, sebagai pusat berlangsungnya

transmisi ilmu-ilmu Islam (transmission of Islamic knowledge). Pada

tataran ini, ilmu-ilmu keislaman memang menjadi prioritas utama

sebagaimana perannya sebagai lembaga tafaqquh fid din nya.

Kedua, pesantren sebagai penjaga dan pemelihara

keberlangsungan Islam tradisional (maintenance of Islamic tradision). Hal

ini jelas, karena di pesantrenlah ditemui kultur Islam Indonesia

sesungguhnya, dimana pesantren tumbuh dan berkembang bersama

masyarakat. Ketiga, pesantren sebagai pusat reproduksi ulama

(reproduction of ulama). Peran ini melekat pada pesantren karena

pesantrenlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang siap mendidik

dan mempersiapkan ulama. Ulama inilah yang diharapkan dapat mendidik

umatnya tentang ulumud diin yang bertujuan untuk keselamatan manusia

di dunia dan akhirat.

2. Eksistensi Pesantren Sebagai Learning Society

Pada awal pertumbuhannya, pesantren merupakan pusat

penggemblengan nilai-nilai (Islamic values) dan penyiaran agama Islam

(Islamic Publications). Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini

semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu

mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi

keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran social).

Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis

keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi

juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat

(society-based curriculum).

Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata

sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi

17

(12)

lembaga sosial yang hidup dan terus merespons carut marut persoalan

masyarakat di sekitarnya. Adalah keliru bila ada anggapan bahwa selama

ini pesantren hanya mengajarkan membaca menulis al-Qur‟an dan ilmu

agama yang lain seperti Fiqih, Tauhid, Tarikh dan semacamnya. Cakupan

pesantren lebih luas dari itu, yang meliputi masalah-masalah hidup dan

kehidupan, kemasyarakatan, kebudayaan dan berbagai hal yang dihadapi

sehari-hari. Dengan intensitas pembelajaran 24 jam penuh, memang

pantas bila dikatakan bahwa pesantren adalah miniatur kehidupan

bermasyarakat.

Kehidupan pesantren mengajarkan tentang kehidupan

bermasyarakat yang dilakoni dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi.

Kebersamaan yang dilalui di pesantren, membuat para santri belajar untuk

saling memahami dan menghargai. Belum lagi aturan-aturan yang ada di

pesantren yang merupakan pembelajaran nyata tentang cara

berorganisasi. Dengan berorganisasi, santri akan tahu bagaimana cara

menjadi pemimpin yang baik sesuai dengan ajaran Islam, dan bagaimana

menjadi rakyat yang patuh dan taat pada pemimpin.

Dari perjalanan dan fenomena kehidupan pesantren tersebut, maka

tidaklah berlebihan kalau dikatakan pesantren bukan hanya sekedar

learning school tapi lebih dari itu. Pesantren adalah learning society,

sebab disanalah santri belajar hidup bersama, seperti sebuah komunitas

masyarakat. Selain itu, karena keberadaan pesantren yang tidak

terpisahkan dari lingkungan masyarakat, maka para santri bisa belajar

banyak dari masyarakat, begitu pula sebaliknya. Karena itu pembelajaran

dalam pesantren bersifat andragogi bukan paedagogi.

Sejalan dengan pernyataan diatas MM. Billah dalam Dawam

mengatakan bahawa Pesantren diharapkan dapat berperan aktif dan

memberikan kontribusi yang berbobot dalam social engineering dan

transformasi nilai kultural. Untuk itu ada tiga dimensi yang tidak bisa

(13)

engineering dan memberi arah transformasi sosio kultural, yaitu dimensi

edukatif, kultural, dan sosial.18

Seperti juga yang dikatakan oleh Hadi Supeno, jika saat ini banyak

yang mempertanyakan relevansi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan

masyarakat, maka pesantren telah memberikan jawabannya sejak

semula.19 Jika kini para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan

tengah disibukkan bagaimana menjabarkan konsep penguasaan

taksonomi Bloom (kognitif, afektif dan psiko motorik) dan muatan lokal,

maka pesantrenlah sebenarnya yang sejak lama telah

mengimplementasikannya.

Jika di lembaga-lembaga pendidikan lain, pendidikan moral

merupakan hal yang sangat sulit diaplikasikan apalagi arus globalisasi

yang semakin menggeser nilai-nilai moral (degradasi moral), sehingga

tengah digalakkan pendidikan karakter. Maka pesantren telah sejak awal

berdiri mampu membentuk karakter santrinya sesuai dengan

ajaran-ajaran Islam sehingga dikatakan pesantren adalah laboratorium moral.

Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang

indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus

dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri).

Dalam prakteknya, di samping menyelenggarakan kegiatan pengajaran,

pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui

penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren. Hal tersebut

pada umumnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu lingkungan (sistem

asrama/hidup bersama), perilaku Kiai sebagai central figure dan

pengamalan kandungan kitab-kitab yang dipelajari.

Jika di lembaga-lembaga pendidikan lain, sedang mencari formula

yang tepat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu

membentuk manusia Indonesia yang utuh, maka pesantren telah lama

18

MM. Billah dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M, 1985, hlm. 293

19

(14)

menemukan teori tersebut sekaligus prakteknya. Sebab di pesantren,

santri bukan hanya diajari teori, tapi juga langsung prakteknya, seperti

pelajaran tentang akhlak dan ibadah. Sehingga para santri bukan hanya

belajar dari segi kognitif tapi juga afektif dan psikomoriknya. Di pesantren

santri-santri diajarkan nilai-nilai kehidupan Islami yang sebenarnya.

Dengan metode keteladanan, penugasan dan pembiasaan, juga

demonstrasi dan diskusi, mereka belajar tentang idealisme, kemandirian,

kesederhanaan, kebersahajaan, ketekunan, keikhlasan, kesabaran, dan

ukhuwah Islamiyah. Nilai-nilai itulah yang sangat berguna bagi bekal

menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Selain itu pesantren juga

sangat berhati-hati dalam menghadapi dan menerima budaya baru.

Itulah yang menyebabkan kenapa pesantren bisa survive sampai

hari ini. Pesantren tetap eksis dan mampu bertahan dengan semua

perubahan (changes) dan tantangan (challenges) yang ada. Selain itu,

pesantren cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cautious

policy) dimana mereka menerima pembaharuan hanya dalam skala

terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren untuk bisa survive.20

Tetap bertahannya pesantren agaknya secara implisit

mengisyaratkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih

relevan ditengah deru modernisasi, walaupun bukan tanpa kompromi.

Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya

melakukan adjusment dan readjusment tetapi juga karena karakter

eksistensialnya yang tidak hanya identik dengan makna keislaman tapi

juga mengandung makna keaslian (indigenous).

3. Pesantren Dan Pendidikan Karakter

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pesantren sebagai

learning society, telah mendidik santrinya tidak hanya dari segi kognitif,

tetapi juga afektif dan psikomotornya. Maka tidaklah heran jika pesantren

dikatakan sebagai laboratorium moral, karena pesantren telah mampu

20

(15)

menerapkan pendidikan karakter di saat lembaga-lembaga pendidikan

formal tengah mencari formulasi yang tepat untu mengimplementasikan

pendidikan karakter tersebut.

Sebagaimana diketahui, pendidikan karakter dapat dimaknai

sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui

serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para

siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan

mengintegrasikan nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang

dijalaninya ke dalam kepribadiannya. Dengan menempatkan pendidikan

karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan

individu, para insan pendidik diharapkan semakin dapat menyadari

pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman

perilaku, pembentukan akhlak, dan pengayaan nilai individu dengan cara

menyediakan ruang bagi figur keteladanan dan menciptakan sebuah

lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan, berupa kenyamanan

dan keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama

lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intelektual, psikologis, moral,

sosial, estetis, dan religius).

Pendidikan karakter di pesantren dapat berjalan dengan baik dan

berkesinambungan dikarenakan pendidikan pesantren mampu

melaksanakan tahapan tiga component of good character dengan baik,

yaitu: Tahapan pertama, tahapan moral knowing, disampaikan dalam

dimensi masjid dan dimensi komunitas oleh kiai/ustad. Tahapan kedua,

moral feeling yang dikembangkan melalui pengalaman langsung para

santri dalam konteks sosial dan personalnya. Aspek emosi yang

ditekankan untuk dirasakan para santri meliputi sembilan pilar pendidikan

karakter, khususnya pilar rasa cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya.

Tahapan ketiga, moral action meliputi setiap upaya pesantren dalam

rangka menjadikan pilar pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap

(16)

melalui serangkaian program pembiasaan melakukan perbuatan yang

bernilai baik menurut parameter agama di lingkungan pesantren.

Selain itu, pesantren juga memperhatikan tiga aspek lainnya dalam

mewujudkan moral action, terkait dengan upaya perwujudan materi

pendidikan karakter pada diri santri, yang meliputi kompetensi, keinginan,

dan kebiasaan. Pembentukan ketiga aspek tersebut diupayakan oleh

kiai/ustad secara terpadu dan konsisten yang pada akhirnya diharapkan

melahirkan moral action yang secara spontan dilakukan anak, baik di

lingkungan pesantren, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka diketahui bahwa

pendidikan di pesantren memang memprioritaskan pembentukan karakter,

yang dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri

anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan

sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami,

dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values dalam pendidikan

yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya.

Sementara itu, Muhammad Nuh dalam sebuah sambutannya,

mempertegas bahwa betapa besar peran pesantren dalam pembangunan

karakter generasi bangsa, karena pesantren telah sejak dulu

mempraktekkan pendidikan berbasis karakter bangsa. Sejak pesantren

ada, tidak ada orang yang ada di pesantren yang tidak mencintai bangsa

ini. Karena keluarga besar pesantren itu adalah orang Indonesia yang

Islam, bukan orang Islam yang ada di Indonesia. Kurikulum berbasis

karakter itu banyak diserap dari pendidikan yang ada di kalangan

pesantren.

Husni Rahim (2001: 35) menyebutkan, bahwa peran pesantren

dalam memperkukuh karakter bangsa meliputi: pertama, pesantren telah

memainkan peran dalam ikut mencerdaskan bangsa dan melestarikan

pemeliharaan etika dan moralitas bangsa. Hal ini dimungkinkan karena

sebagai institusi pendidikan ia tidak hanya menekankan kepada

(17)

menekankan pada pembinaan sikap dan perilaku moral yang tinggi;

Kedua, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai tradisi keagamaan

yang kuat, pesantren telah mengambil peran aktif dalam memperkukuh

dan mengembangkan etika dan moral bangsa. Corak pendidikan yang

dikembangkan di dalam sistem pendidikan pesantren, melalui sosialisasi

nilai-nilai agama dan pembiasaan serta pengamalannya dalam kehidupan

sehari-hari. Hal inilah yang semakin mempertegas peran pesantren

sebagai benteng pemelihara moralitas kehidupan bangsa; Ketiga, sebagai

lembaga pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan imbang antara ilmu

pengetahuan dan agama, pesantren dapat dikembangkan sebagai

pendidikan alternatif bagi pendidikan nasional di masa datang.

4. Reformulasi Pesantren Menghadapi Tantangan Globalisasi

Yunan dalam Madjid menyebutkan bahwa tidak dipungkiri kalau

globalisasi telah membawa kemakmuran ekonomi dan kemajuan iptek,

tapi disisi lain globalisasi telah pula membawa dampak berupa pergeseran

nilai-nilai baik yang berskala global maupun lokal yang bersifat

multidimensi.21 Proses interaksi dan ekspansi budaya yang meluas

melalui media massa dan komunikasi, mempengaruhi berkembangnya

budaya materialistik, sekuleristik, dan hedonistik. Belum lagi

perkembangan iptek yang begitu pesat sehingga menimbulkan

kecenderungan menjadikan iptek sebagai ideologi baru yang implikasinya

menyentuh pada kehidupan sosial, budaya dan moral manusia, tidak

terkecuali melanda pula pada kehidupan masyarakat Indonesia.

Dari fenomena di atas, bila kita melihat ke dalam (inside) dunia

pesantren, Maka kita bisa cukup bernafas lega, karena pesantren dengan

perannya sebagai lembaga tafaqquh fi ad diin dan transfer Islamic values

mampu diaplikasikan sebagai kontrol sosial, sehingga dianggap cukup

mampu dalam mengatasi degradasi moral. Walaupun tidak secara

komprehensif menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tetapi paling tidak

21

(18)

bisa dijadikan bukti bahwa masih ada lembaga yang tetap kompeten

dalam menjaga nilai-nilai Islami sekaligus budaya bangsa.

Tapi bila kita melihat ke luar (outside) dunia pesantren, maka saat

ini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian

masyarakat Muslim Indonesia. Sebab pesantren yang selama ini lebih

menitikberatkan pada pendidikan karakter dan agama, dianggap kurang

berhasil dalam meningkatkan kecerdasan, keterampilan dan

profesionalisme. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di

menara gading, elitis, jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan

aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi

kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan)

antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Meskipun saat ini telah

banyak dijumpai pesantren-pesantren modern, tetapi dalam realitasnya

hal tersebut belum mampu mengatasi masalah tersebut.

Gambaran di atas, seringkali menyebabkan out put pesantren kalah

bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan

profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada

masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban

tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren. Tantangan inilah yang

dihadapi pesantren pada era globalisasi ini. Bagaimana agar human

resaurces yang disiapkan pesantren berkualitas dan mampu bersaing,

yang ditandai dengan lulusan yang cerdas, terampil, profesional, dan

berkepribadian (berakhlak/bermoral).

Hal inilah yang membuat Fazlur Rahman seorang intelektual

Muslim mengkritisi sistem pendidikan tradisional konservatif para ulama

yang mengabaikan perubahan hasil dari modernisasi budaya dan

intelektual. Menurut Fazlur Rahman penolakan tersebut merugikan

(19)

belakang masyarakat kontemporer lain yang telah maju di bidang

ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan.22

Seperti dikatakan oleh Said Agil Siraj, ada tiga hal yang belum

dikuatkan dalam pesantren, yaitu: pertama, tamaddun yaitu memajukan

pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana.

Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan

semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah

diri. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada

umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas

ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi

kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer

dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya. Ketiga,

hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya

kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap

mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat

Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang

berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.

Untuk itulah, dalam menghadapi era globalisasi, pondok pesanten

perlu meningkatkan peranannya karena agama Islam sebagai agama

yang terakhir dan berlaku untuk seantero dunia sepanjang masa. Ini

berarti ajaran Islam adalah global dan melakukan globalisasi untuk

semuanya. Sebagaimana firman allah dalam Surat al-Hujurat ayat 13

yang berbunyi:

Artinya:“…Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Q.S. al-Hujurat: 13)

22

(20)

Kunci dari ayat ini yakni setiap persaingan yang keluar sebagai

pemenang adalah yang berkualitas, memiliki iman dan taqwa,

kemampuan, ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Untuk itu,

pesantren dituntut mampu untuk melakukan reorientasi dan reformulasi

tata nilai bentuk baru yang relevan dengan tantangan zaman tanpa

kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Sehingga

pesantren mampu menunjukkan kualitasnya baik dimata Allah maupun

dimata manusia.

Sebagaimana dikatakan Suadi Putro bahwa masa depan dunia

saat ini dikuasai oleh sains dan teknologi. Siapa yang memiliki keduanya,

maka merekalah yang akan menguasai dunia.23 Dan hal tersebut telah

lama dibuktikan oleh dunia barat. Diawali dari revolusi industri di Inggris

dan revolusi Perancis pada abad pertengahan yang melatarbelakangi

lahirnya renaissance. Mulai saat itulah J.J. Rousseou (1712-1778) telah

mengenalkan kata “modern” yang kita kenal sampai sekarang.

Kemajuan dunia Barat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang melaju pesat dan hingga sampai saat ini mampu mempengaruhi

dunia Islam yang secara perlahan tapi pasti menggilas peradaban Islam

yang pernah mencapai puncak peradaban dan kejayaan. Karena itulah,

pesantren sebagai lembaga yang mampu mempertahankan tradisi

keislamannya, seperti yang dikatakan Husni Rahim harus mampu

memainkan perannya sebagai agent of change dan community

development.24

Sudah saatnya pesantren tidak hanya melulu mempelajari masalah istinja, tayammum, tashrif, i‟rab, dan sejenisnya. Tapi harus mulai memberi tempat pada inseminasi,euthanasia, perbankan, pendidikan

islam, media Islam, dan lainny. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin

Rahmat, bahwa ilmu dakwah seharusnya tidak lagi membicarakan makna

hikmah dan mujadalah, tetapi mulai mengupas tentang komunikasi

23

Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Lazis Paramadina, 1998, hlm. 5

24

(21)

massa, media massa, atau pengembangan analisis sistem informasi.

Pendeknya, kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam.25 Ada

beberapa langkah yang bisa diambil pesantren untuk merealisasikannya,

antara lain:

Pertama, melakukan kerjasama yang erat dengan

lembaga-lembaga sains seperti ITB, LIPI; kedua, menjadi wadah atau lembaga

yang menampung dan mempertemukan cendekiawan muslim dari

berbagai disiplin ilmu; ketiga, mengintensifkan kajian ilmu-ilmu Islam

dalam sorotan sains dan teknologi mutakhir. Hal ini senada dengan falsafah dasar “Iqra”, sebagaimana yang dikemukakan M. Quraish Shihab bahwa Allah telah menurunkan wahyu yang pertama adalah perintah

untuk membaca.26

Membaca disini mengandung makna yang luas. Karena untuk

berhasil, langkah pertama yang harus dilakukan manusia adalah

membaca. Membaca yang dimaksudkan bersifat umum. Maka objek kata

tersebut mencakup segala yang dapat dijangkau. Karena ilmu, baik yang

kasby (acquired knowledge) maupun yang ladunni (abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira‟at bacaan dalam arti yang luas.

Maka dari itu, secara signifian, pesantren bisa berperan sebagai

pusat kajian ilmiah sekaligus mampu menjalankan fungsinya dalam

memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat,

penelitian mana yang patut menjadi prioritas, atau hal-hal lain yang

menyangkut keputusan etis terhadap penerapan sains dan teknologi.

Bersamaan dengan itu semua, kita patut mendukung upaya global untuk

mengislamkan sains dan teknologi.

Sejalan dengan pandangan di atas, Azyumardi Azra juga

mengemukakan bahwa pesantren harus bisa dikembangkan sebagai

25

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 155

26

(22)

wahana untuk menanamkan apresiasi dan bibit bibit keahlian dalm bidang

sains dan teknologi.27 Jadi pengembangan pesantren bukan hanya

menciptakan interaksi dan integritas keilmuan yang lebih intens antara

ilmu agama dan ilmu umum termasuk sains-teknologi, tetapi juga dapat

mendorong penguasaan sains-teknologi.

Said Aqil juga mengemukakan hal yang sama, dimana menurutnya

pesantren sekarang ini memang telah berhasil memadukan pendidikan

modern dan Islam, tapi hanya mampu menyelenggarakannya pada tingkat

dasar dan menengah sehingga tidak mampu mencetak ulama yang

unggul. Karena itu dibutuhkan ekspansi pesantren untuk meningkatkan

eksistensinya dalam sistem pendidikan nasional.28

Ada dua hal yang dikemukakan oleh Said Aqil dalam usaha

ekspansi pesantren, yaitu pertama, pengadopsian aspek-aspek tertentu

sistem pendidikan pesantren oleh lembaga pendidikan umum ataupun

sebaliknya, dan kedua, pengembangan lembaga pendidikan pesantren ke

jenjang yang lebih tinggi, yaitu Ma‟had „Aly. Hal terakhir ini adalah tugas

penting dan mendesak yang harus direalisasikan oleh masyarakat pesantren. Melalui integritas keberadaan ma‟had „aly diharapkan kemampuan berpikir, menganalisis, dan mengaplikasikan dalil ushul dapat

dikembangkan oleh para santri.

Dari uraian di atas, pada dasarnya apapun alternatif untuk

pengembangan pesantren, yang jelas keunggulan human resaurces

(sumber daya manusia) yang ingin dicapai pesantren dapat terwujud

secara komprehensif. Yaitu dengan mempersiapkan santri yang

berkualitas baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotoriknya

sehingga mampu menguasai perkembangan iptek. Tetapi dengan tidak

meninggalkan sifat distingtif dan diversitatifnya sebagai sebuah lembaga

pendidikan islam yang mempunyai subkultur distingtif pula. Dengan

prinsipnya al muhafadzah „ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid

27

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, hlm. 48

28

(23)

al ashlah (tetap memegang tradisi yang positif dan mengambil hal-hal

baru yang positif), pesantren diharapkan menjadi tonggak awal bagi

kelahiran kembali Islam di Indonesia yang mampu menantang arus

globalisasi.

Penutup

Manusia sebagai makhluk yang berkembang tentu saja senantiasa

dihadapkan pada aneka macam persoalan yang mengitarinya. Mulai

persoalan hidup yang paling mendasar hingga persoalan yang paling pelik

sekalipun. Karena itu, pesantren dalam konteks ini memiliki peran yang

sangat besar untuk memberikan tafsir dan arahan hidup manusia menuju

jalan yang benar. Hal terpenting, diharapkan melalui pesantren yaitu

mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari zaman ke

zaman dan dapat mempengaruhi kesejahteraan manusia serta dapat

mengangkat harkat dan martabat manusia itu sendiri.

Idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan

zaman dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya,

jika tidak ingin akhirnya pesantren hanya akan menjadi cagar budaya

(Cultural Preserve). Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan civic

values akan bisa dibenahi melalui prinsip yang dipegang pesantren

selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdayaguna,

akan mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al

musawah bain al nas) dan menemukan kembali keotentikan Islam kultural

Indonesia yang sesuai dengan tuntutan globalisasi.

Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, distingtif, kekhasan

dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang indigenous kultur

Indonesia harus dituntut mampu mendidik santrinya dengan harapan

menjadi orang-orang yang mendalam keilmuannya, tidak hanya dalam

tafaqquh fiddin, tapi juga mumpuni dalam bidang ilmu umum yang

(24)

Pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata

diri dalam menghadapi tantangan globalisasi. Tapi perubahan dan

pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan

coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu‟asyir (modern),

karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren.

Selain itu, pesantren juga harus mampu menjaga kultur Islam Indonesia,

yang mampu hidup berdampingan dengan kemajemukan yang ada,

dengan mengedepankan Islam yang damai, menghargai sesama,

tasamuh, dan saling mengasihi dalam perbedaan yang ada tapi tetap

dinamis. Sehingga Indonesia mampu kembali menemukan jati dirinya

sebagai bangsa besar dengan aneka ragam suku, budaya, bahasa, ras,

dan agama, tapi tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan

(Bhinneka Tunggal Ika) serta mampu menantang arus globalisasi yang

semakin deras.

Bibliografi

Al-Qur‟an dan Terjemahannya

Agil Husin al-Munawwar. Said, 2003, Aktualisasi Nilai-nilai Qur‟ani dalam

Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press

Amhar, Fahmi, Politik Global; Penjajahan Ekonomi Indonesia, Implikasi dan Strategi dalam Menghadapinya, dalamAl-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 3, Depok: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, 2008,

Azra. Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju

Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Dhofier. Zamakhsyari, , Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3Es, 1984

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah,

pertumbuhan dan perkembangannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999,

HS. Mastuki, dan M. Ishom el-Saha, , Intelektualisme Pesantren; Potret

Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003

Madjid. Nurcholis, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern,

Jakarta: Media Cipta, 2000,

(25)

Mastuhu, , Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: Inis 1994

Masyhud. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok

Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003

Putro. Suadi, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Lazis Paramadina, 1998

Qadir. Abdul, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia,

Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Quraish Shihab. M, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2003.

____________, Tafsir Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur‟an, Vol. 8, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Raharjo. M. Dawam, edt, Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M,

1985

Rahim. Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos,

2001.

Rahman. Fazlur, terj, Gelombang Perubahan dalam Islam, Jakarta:

rajaGrafindo Persada, 2000.

Rakhmat. Jalaluddin, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus,

Bandung: Mizan, 1998,

Supeno. Hadi, Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan, Magelang:

Referensi

Dokumen terkait

Bagi generasi akan datang, penglibatan datuk dan neneknya dalam perayaan agama selain Islam menjadikan minda mereka akan menyamakan agama Islam sama seperti dengan agama

Tulisan ini mendeskripsikan perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran tahfidz al-Qur’an di Wadi Mubarok. Melalui wawancara, observasi dan studi dokumen, bahwa

Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan pada data kemampuan pemecahan masalah matematis dan self- efficacy bahwa model guided discovery learning

Kendala-kendala dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah melalui jual beli tanah menurut UUPA diantaranya adalah dengan berakhirnya hak-hak atas tanah menurut sistem

Korban menurut Arif Gosita adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain, yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri

Untuk memecahkan masalah yang ada pada SMK Jakarta Pusat 1 adalah dengan media pengembangan sistem dengan menggunakan metode air terjun (Waterfall) yang dapat mengatasi

penelitian dari Pandori (2013) melalui FGD (focus group discussion) mengenai persepsi remaja tentang korban dan pelaku perundungan daring menunjukkan bahwa konsepsi

Pengawasan pelaksanaan Peraturan Desa telah diatur oleh pemerintah desa, seperti yang tertuang dalam Perdes No.01 Tahun Anggaran 2012 tentang Anggaran Pendaptan