• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI KEDAULATAN RAKYAT DALAM LEGIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSTRUKSI KEDAULATAN RAKYAT DALAM LEGIS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI

K

EDAULATAN RAKYAT

DALAM LEGI“LA“I

Bivitri Susanti

1. GAGASAN KEDAULATAN RAKYAT

Suatu gagasan dalam dunia ilmu lahir dalam suatu konteks dan mengalami banyak perkembangan dalam perspektif waktu. Makalah yang membahas mengenai bagaimana kedaulatan rakyat dikonstruksikan dalam peraturan perundang-undangan harus beranjak pertama kali dari konsep kedaulatan rakyat itu sendiri.

“e a a p i sip, gagasa e ge ai kedaulata se agai kekuasaa te ti ggi se i gkali dite i a egitu saja Ko sep kedaulata sesu gguh ya isa dila ak sa pai ke abad pertengahan. Konsep awalnya, kedaulatan diletakkan dalam konteks kedaulatan raja, yang dilahirkan dari kepercayaan akan Tuhan. Kemudian gagasan kedaulatan ini bergerak ke wilayah konsep negara, seiring dengan lahirnya negara-negara modern yang mulai memisahkan antara Tuhan dan penguasa.1

Lantas, dengan perkembangan negara-bangsa, konsep kedaulatan semakin banyak mengalami

i te p etasi. “epe ti dikataka Ba telso : The state becomes conceptualized as a whole, capable of assimilating political and social differences into one form, held together by an array of analogical

elatio ships hi h ediates et ee the u i e sal a d the pa ti ula , a d et ee su je t a d o je t 2 Konsep yang kemudian lahir adalah kedaulatan di tangan rakyat. Gagasan ini menguat terutama setelah adanya kesadaran tentang kesetaraan yang menghilangkan batas antara rakyat jelata dan kaum bangsawan, terutama setelah Revolusi Perancis. Gagasan ini bisa dilihat dari beberapa pemikir negara

ode ya g te ke al sepe ti Joh Lo ke da Jea Ja ue ‘ousseau, ya g e ggu aka kedaulata

rakyat se agai la dasa a gu e ya.

Gagasan kedaulatan rakyat kemudian menguat dan bahkan seringkali dijadikan jargon politik untuk melegitimasi kekuasaan. Dalam praktik, tentu ada berbagai tantangan dalam menerjemahkan konsep

kedaulata akyat i i, apalagi di tengah negara yang plural dan kompleks. Secara teknis, kedaulatan atau kekuasaan rakyat kerap diturunkan menjadi prosedur-prosedur, seperti pemilihan umum dan struktur kelembagaan dalam pengambilan keputusan politik. Masalahnya, seperti dikatakan oleh Christopher W. Morris, dalam dunia politik kontemporer, gagasan kedaulatan rakyat ini terlalu sering dipahami sebagai satu prosedur yang sederhana mengenai satu lembaga politik yang dianggap mewakili kedaulatan rakyat, yang dapat menggunakan kekuasaannya atas nama rakyat. 3

Disampaikan dalam Simposium Nasional Kedaulatan Rakyat di Dalam UUD NRI Tahun 1945, ya g disele gga aka oleh Lembaga Pengkajian MPR RI bekerjasama dengan bidang studi tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 24 Mei 2016.

1 Jens Bartelson, A Genealogy of Sovereignty (Cambridge: Cambridge University Press, 1995). 2Id., hlm. 241.

3 Christopher W. Morris, The Ve y Idea of Popula “o e eig ty: "We the People" ‘e o side ed, “o ial Philosophy a d Poli y

(2)

Kritik terhadap hasil kajian MPR mengenai Kedaulatan Rakyat

Jebakan jargon kedaulatan rakyat ini agaknya mulai menyentuh masyarakat politik dan tata negara di

I do esia. Bagai a a se e a ya kedaulata akyat dipaha i da dipraktikkan dipermasalahkan tanpa melihat perkembangan gagasan sejak lahirnya UUD 1945 sebelum diamandemen.

UUD 1945 yang telah diamandemen pada 1999-2002, mengatakan: Kedaulata e ada di ta ga akyat dan dilaksanakan menurut Undang-U da g Dasa (Pasal 1 ayat (2)). Perubahan ini mengandung arti bahwa Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang kewenangannya ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.

Dalam Kerangka Acuan diskusi, yang mengacu pada hasil kajian MPR, digambarkan adanya dua perbedaan pendapat mengenai implementasi konsep kedaulatan rakyat dalam konstitusi. Pertama, kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara. Lembaga yang dimaksud tentu saja MPR. Argumennya, para pendiri bangsa ini:

telah menciptaka satu siste Kedaulata ‘akyat te se di i ya g khas I do esia de ga landasan semangat kekeluargaan, musyawarah dan perwakilan. Sistem Kedaulatan Rakyat yang digagas para pendiri Negara tidak berada dalam arus demokrasi yang bercorak individualistis atau sebaliknya, berdasarkan kelas sosial. 4

Sedang pandangan kedua berpandangan bahwa Kedaulatan Rakyat oleh MPR justru mereduksi makna

Kedaulata ‘akyat itu se di i ka e a dise ahka ke satu le aga te ti ggi .

Pandangan pertama, yang kelihatannya sangat kuat dan menjadi dasar bagi diselenggarakannya rangkaian simposium dan kegiatan lainnya untuk mengembalikan kedudukan MPR, sebenarnya tidak mempunyai landasan berpijak yang kuat. Pandangan pertama terlihat cenderung pada gagasan negara integralistik yang dijadikan salah satu pemikiran yang mendasari lahirnya UUD 1945 dalam pembahasan dalam Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Hal ini terlihat jelas bila kita sandingkan dengan pidato yang dikemukakan oleh Soepomo pada Rapat BPUPK pada 31 Mei 1945:

Me u ut sifat ketata ega aa I do esia ya g asli, ya g sa pai za a seka a g pu asih dapat

terlihat dalam suasana desa baik di Jawa maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan Indonesia lain, maka para pejabat negara ialah pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyat dan para pejabat negara senantiasa berwajib memegang teguh persatuan dan keimbangan dalam masyarakatnya. Kepala desa, atau kepala rakyat berwajib menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat dan cita-cita akyat. Oleh ka e a itu, kepala akyat e ega g adat kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya dan untuk maksud itu, senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian bathin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa

4 Kerangka Acuan Simposium Nasional Kedaulatan Rakyat di Dalam UUD NRI Tahun 1945, ya g disele gga aka oleh Lembaga

(3)

terpelihara. Dalam suasana persatuan antara rakyat dan pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan-golongan diliputi oleh semangat gotong royong, semangat

kekeluargaan….Maka teranglah Tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongangolongannya dalam lapangan apapun. Menurut aliran pikiran ini, kepala negara dan badan-badan pemerintah lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur, yang diidam-idamkan

oleh akyat. Nega a ha us e sifat ada pe yele gga a , ada pe ipta huku ya g ti ul

dari hati sanubari rakyat seluruhnya. Dalam pengertian ini, menurut teori ini yang sesuai dengan semangat Indonesia yang asli, negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan tersusun.”5

Apalagi kemudian diungkapkan juga dalam Kerangka Acuan Simposium ini, mengenai adanya kesimpulan sementara dari rangkaian diskusi di Universitas Negeri Malang, Universitas Warma Dewa Bali, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan Universitas Mulawarman Samarinda dalam periode 3-12 Mei 2016. Butir ketiga dari kesimpulan itu adalah perlu adanya suatu konsensus model Kedaulatan Rakyat sesuai Pasal 1 Ayat Ayat (3) (Kedaulatan Rakyat berdasarkan hukum), Pasal 29 Ayat (1) Kedaulatan berdasarkan Ketuhanan dan Pasal 33 Kedaulatan Ekonomi, dengan jiwanya demokrasi Indonesia sesuai sila ke-4 Pancasila. Dari segi analisis teks, butir ini sangat dekat dengan cita negara integralistik yang memiliki konsekuensi yang mengacu pada tiga aspek, yaitu hubungan antara negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, dan hubungan negara dan ekonomi.6

Meski tak langsung dijadikan acuan, mendekati konsep kedaulatan rakyat dengan cara seperti ini memang

sa gat se upa de ga ko sep ega a i teg alistik. Da e a g, ko sep asli MP‘ se agai le aga te ti ggi , te pat kedaulata akyat disalu ka , sa gat kuat dila dasi pada pemikiran negara integralistik. Yang perlu dijadikan catatan, konsep negara integralistik ini sendiri sudah banyak mendapat kritik secara akademis, karena dianggap justru mengaburkan kedaulatan rakyat, dengan mengesampingkan prinsip chhecks and balances.7 Bahkan yang menarik, seperti yang dicatat oleh Shidarta, Soepomo sendiri sebagai

penggagas konsep negara integralistik meninggalkan gagasan ini dan justru mendorong lahirnya lembaga-lembaga negara yang lebih akuntabel dalam UUDS 1950.8

Persoalannya bukan sekadar pada penolakan terhadap negara integralistik, melainkan pada kenyataan bahwa konsep ini, selain sudah ditinggalkan oleh konseptornya lima tahun setelah disampaikan, juga

5Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, ibid., hlm. 31-43.

6 Lihat pidato lengkap Soepomo di hadapan BPUPK pada 31 Mei 1945 dan penjelasannya oleh Aidul Fitriciada Azhari, Rekonstruksi

Bernegara dalam UUD 1945 (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014), hlm.58 dst.

7 Lihat antara lain: Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jaka ta: G afitti, 1994 , Hasyi Asy a i, Nega a dala Pa da ga “oepo o, dala Pusat “tudi Tokoh Pe iki a Huku , Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, (Yogyakarta: Thafa Media, 2015).

8 Shidarta, Epilog: Mencari Pemikiran Soepomo Seputar Negara dan Hukum, dalam Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum,

(4)

sudah terbukti dianggap menjauhkan kedaulatan rakyat dari substansinya. Bahkan, pandangan ini juga yang kemudian mendorong lahirnya konsep baru MPR pada amandemen 1999-2002.

2. TENTANG MPR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN 1999-20029

Terkait dengan kritik terhadap gagasan pertama di atas, yang juga harus digarisbawahi adalah bagaimana sebenarnya MPR digagas dalam amandemen UUD 1945.

Perubahan pertama UUD disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan perubahan UUD 1945.

Munculnya gagasan mengenai parlemen bikameral bermula dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG) dalam rapat Badan Pekerja (MPR BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi Sidang MPR. Fraksi UG mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di MPR karena merupakan hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip perwakilan berdasarkan pemilihan. Anggota UG memaparkan dua pilihan yang tersedia. Pertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilu.

Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran Utusan Daerah (UD) yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.

MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

Materi mengenai DPD tercantum pada Bab VIIA Pasal 22D dan 22E. Untuk usulan Pasal 22E ayat (2), diajukan dua alternatif.

BP MPR kemudian menyiapkan kegiatan yang meliputi penggalian aspirasi masyarakat, pembahasan dan perumusan rancangan, uji sahih rumusan dan pembahasan akhir. Untuk keperluan ini dibentuklah Panitia Ad Hoc I (PAH I).

Upaya yang selanjutnya dilakukan adalah menghilangkan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR. Namun upaya ini menimbulkan reaksi pro-kontra.

(5)

Berdasarkan Keputusan MPR No. 7/MPR/2001 dibentuk Komisi A yang bertugas memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai Rancangan Perubahan UUD 1945 dan Usul Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukkan Komisi Konsitusi. Jumlah anggota Komisi A sebanyak 162. Ketua Komisi A adalah Jakob Tobing (F-PDIP). Wakil Ketua Komisi A terdiri dari Slamet Effendy Yusuf (F-PG), Harun Kamil (F-UG), Zain Badjeber (F-PPP) dan Maruf Amin (F-KB).

Mekanisme pembahasan dilakukan tiap bab dengan dua putaran. Pada putaran pertama, pembahasan melalui curah pendapat anggota Komisi A. Lalu diteruskan dengan putaran kedua yang merupakan pendapat fraksi. Hasil pembahasan tiap fraksi tersebut dilanjutkan dengan lobi. Selanjutnya, dilakukan perumusan oleh tim lobi dan tim perumus yang terdiri dari pimpinan komisi dan satu orang wakil dari masing-masing fraksi.

Dalam pembahasan di komisi A tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) muncul dua alternatif. Pertama, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum ditambah dengan UG. Kedua, keberadaan UG dihapuskan dari susunan MPR. Hampir seluruh fraksi di Komisi A memilih alternatif kedua. Namun, hal ini ditolak tegas oleh F-UG sehingga sempat mengalami kebuntuan (deadlock). Sementara di sisi lain, Fraksi TNI dan Polri sendiri, yang dipilih berdasarkan pengangkatan, tidak lagi memaksa untuk menjadi wakil di MPR pada periode transisi hingga tahun 2009. Meski, jalan keluar yang disepakati adalah mengurangi jumlah keanggotaan fraksinya. Hal ini disebabkan karena TNI dan POLRI tidak memiliki hak pilih.

Suasana buntu ini memicu bergulirnya ide perlu dibentuknya Panitia Nasional Perubahan UUD 1945 atau Komisi Konstitusi yang secara independen membahas perubahan UUD 1945. Hal ini demi menghindari campur tangan kepentingan politik dibandingkan bila dilakukan di dalam tubuh MPR. Gagasan ini diadvokasikan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru, sebuah koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah dan individu untuk mendorong dibentuknya konstitusi baru melalui Komisi Konstitusi. Namun ide ini ditolak oleh beberapa fraksi yang ada di Komisi A. Alasannya, sudah ada BP MPR dan tim ahli yang mengerjakan pekerjaan Komisi Konstitusi tersebut.

Pada Sidang Paripurna ke-7 8 November 2001, Komisi A menyampaikan hasil pembahasannya yang disahkan keesokan harinya sebagai bagian dari perubahan ketiga UUD 1945. Rumusan ini akhirnya disetujui sebagai bagian dari UUD 1945 yang diamandemen.

Ada dua perubahan konsep dasar dalam amandemen UUD 1945 mengenai MPR. Pertama, MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi yang memegang seluruh kedaulatan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari Pasal 1 ayat (2) UUD yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Awalnya, pasal ini menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, ya g ke udia ditafsi ka dala Pe jelasa UUD, Oleh ka e a Majelis Pe usya a ata ‘akyat

e ega g kekuasaa ega a, aka kekuasaa ya tidak te atas... Kedua, susunan MPR yang tadinya terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan diubah menjadi dua unsur, yaitu anggota DPR dan anggota DPD (Pasal 2 ayat (1)).

(6)

ika e al, yaitu ada ya dua ka a ya g elatif sejaja dala suatu le aga legislatif ya g aka

bertemu hanya pada saat menjalankan wewenang tertentu.

Begitulah MPR seharusnya dipahami, ia bukan lagi lembaga permanen seperti sebelum perubahan ketiga UUD, melainkan hanya akan muncul pada saat menjalankan wewenangnya, di mana DPR dan DPD akan bersidang bersama-sama (Sidang Gabungan).

Masalahnya terlihat dari ketidakjelasan UUD sendiri. Pasal 2 ayat (1) UUD bahwa MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, bukan DPR dan DPD secara kelembagaan. Kedua, dari konstruksi kelembagaan yang mengesankan MPR sebagai lembaga tersendiri.

3. BANGUNAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM LEGISLASI

Uraian di atas dibutuhkan untuk dapat melihat dengan jernih, bagaimana peraturan perundang-undangan mengkonstruksikan kedaulatan rakyat.

Kerangka apa yang dapat digunakan untuk memeriksa peraturan perundang-undangan dalam konteks kedaulatan rakyat? Seperti dikatakan pada bagian awal, gagasan kedaulatan mengandung makna kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Dalam pandangan negara modern, konsep kekuasaan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek substantif.

Untuk bisa menurunkannya menjadi kerangka, pijakannya adalah: terbukanya ruang-ruang politik yang tertutup selama masa Orde Baru dan Orde Lama, dengan dibongkarnya konsep MPR sebagai lembaga tertinggi. Karena adanya MPR sebagai lembaga tertinggi negara telah meminggirkan konsep checks and balances dalam sistem presidensial, yang justru dianggap dapat mendorong partisipasi politik dan akuntabilitas lembaga-lembaga politik.

De ga disalu ka se ua kedaulata akyat kepada satu le aga te ti ggi, aka aka ada kekuasaa

tertinggi dalam negara. Ini berarti ada kekuasaan absolut yang sulit untuk dikontrol. Asumsinya, kontrol dilakukan oleh rakyat. Namun pada titik ini, sistem politik akan sangat bergantung pada prosedur demokrasi yang dibuat, seperti mekanisme pemilihan umum, pengaturan partai politik, dll. Sudah terbukti selama masa Orde Baru dan Orde Lama, yang menggunakan UUD 1945 asli dengan MPR sebagai lembaga te ti ggi, kete ga tu ga politik ya g lua iasa pada satu le aga akhi ya e uat ko petisi politik tidak berjalan. Sebab semua hal ditentukan oleh satu lembaga. Padahal dalam pemikiran politik kontemporer, aspek penting yang menjadi roda penggerak politik adalah kompetisi politik.

Makalah ini tidak mengatakan bahwa pandangan dominan atau mainstream dalam ilmu politik harus diadopsi oleh Indonesia. Pendukung pandangan negara integralistik tentu dapat berargumen pada

kekhasa siste i i bagi kultur Indonesia. Namun dalam mendesain sistem politik, yang seharusnya dijadikan ukuran adalah keuntungannya bagi rakyat: sistem mana yang akan lebih mendorong kesejahteraan rakyat. Masalahnya, sudah terbukti pada masa Orde Lama dan Orde Baru, bahwa sistem yang diklai khas I do esia tadi just u e uka pelua g ada ya kekuasaa ya g e le ih da tidak akuntabel. Apalagi, kultu kada g disalahgu aka u tuk elegitimasi klaim-klaim tertentu.10

10 I gat isal ya klai P eside “uha to da Lee Kua Ye e ge ai Asia Values ya g khas da kultu al sehi gga

(7)

Dengan demikian, makalah ini menyetujui pandangan kedua mengenai kedaulatan rakyat dalam kajian MPR, yang justru tidak populer karena tidak menguntungkan MPR. Landasan pemikirannya, dengan diubahnya susunan lembaga-lembaga negara, serta dimasukkannya pasal-pasal mengenai hak-hak asasi manusia, UUD hasil amandemen memberikan landasan yang baik untuk membangun implementasi gagasan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara.

Sebagai kerangka ukuran lanjutan, implementasi gagasan kedaulatan rakyat bisa dilihat dari dua aspek. Pertama, aspek prosedural. Aspek ini dijadikan ke a gka ka e a kedaulata akyat adalah gagasa ya g berada dalam tataran pemikiran fisolofis. Muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti: kedaulatan seperti apa

ya g dikelola? ‘akyat ya g a a ya g e daulat? Bagai a a kedaulata itu dite je ahka dala kekuasaa ? Bagai a a e gkua tifikasi akyat dala se uah le aga pe ega g kekuasaa ? Ka e a

itu, untuk melihat implementasi gagasan kedaulatan rakyat, aspek prosedural penting untuk dilihat. Kedua, aspek substansi. Aspek prosedural belaka, berpotensi meminggirkan esensi ini dari gagasan kedaulatan rakyat, yaitu bagaimana menangkap apa yang dimaui oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kerap terjadi, atas nama pemenuhan prosedur, hak-hak dasar rakyat justru tidak didapatkan. Alat untuk memagari aspek substansi kedaulatan rakyat adalah pengakuan hak-hak asasi manusia dan adanya mekanisme untuk melindungi, mendapatkan, dan mendorong pemenuhan hak-hak asasi manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, hak asasi manusia juga mencakup hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta kesejahteraan rakyat.

a. Aspek Prosedural

No Isu Legislasi Terkait

1. Pemilihan umum dan sistem perwakilan

UU tentang Pemilihan Umum legislatif serta pemilihan presiden, berikut lembaga-lembaga pelaksana teknisnya (KPU, Bawas, DKPP).

2. Kelembagaan yang melaksanakan kedaulatan rakyat

UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)

3. Partisipasi rakyat dalam politik adanya ketentuan partisipasi publik dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta berbagai undang-undang lainnya yang belakangan ini kerap memasukkan bab mengenai partisipasi masyarakat.

4. Kedaulatan rakyat berdasarkan aspek geografis

UU tentang Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala Daerah, dan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Desa

5. Partisipasi dalam pembangunan UU tentang Program Pembangunan Nasional, yang memungkinkan partisipasi rakyat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, maupun Pendek.

6. Lembaga pengelola keadilan dalam melaksanakan kedaulatan rakyat

(8)

b. Aspek Substansi

No Isu Legislasi Terkait

1. Landasan bagi hak-hak dasar rakyat Secara substantif, akyat dijaga hak-hak dasarnya dengan adanya ketentuan mengenai HAM dalam konstitusi. Selanjutnya juga dengan adanya UU HAM, UU Pengadilan HAM, ratifikasi berbagai Kovenan HAM seperti ICCPR dan ICESCR.

2. Lembaga yang dapat menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan HAM

Untuk menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan HAM dibuat pula seperangkat institusi seperti: Komisi Nasional HAM, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung

3. Kesejahteraan Rakyat UU BPJS

4. Keamanan rakyat UU Kepolisian

Tentu saja, dari berbagai legislasi yang tertulis di atas, masih banyak kelemahan yang terkandung di dalamnya maupun dalam praktik pelaksanaannya. Misalnya saja kritik terhadap UU MD3, maupun terhadap sistem jaminan sosial nasional. Untuk itu, diperlukan kajian yang lebih mendalam dan berdasarkan topik, mengenai berbagai undang-undang di atas. Namun yang ingin digarisbawahi dalam makalah ini adalah adanya peta legislasi yang menunjukkan hal positif: adanya berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang menerjemahkan kedaulatan rakyat sebagai konsep filosofis. Seperti bisa kita lihat, peta legislasi ini terus berkembang. Misalnya saja dorongan akan adanya UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tengah didorong belakangan ini dengan adanya kejahatan-kejahatan seksual yang luar biasa. Dalam sebuah sistem ketatanegaraan yang baik, perluasan peta legislasi untuk pemajuan kedaulatan rakyat inilah yang paling penting. Bukan sekadar lembaganya (apakah ada

ya g te ti ggi atau tidak da apakah khas I do esia atau tidak , tapi agai a a e iptaka enabling environment ke a gka ya g e duku g agi pe e uha kedaulata akyat.

4. KESIMPULAN

Amandemen UUD pada 1999-2002 yang membuka ruang yang lebih luas untuk menerapkan checks and balances membuka pintu untuk berbagai produk legislasi yang membumikan konsep kedaulatan rakyat.

Ada ya ko petisi politik dala kedaulata akyat ya g dijala ka e dasa ka ko stitusi sesuai Pasal

(9)

bagaimana memperbaikinya di tingkat peraturan perundang-undangan. Namun sebagai konsep dasar,

kedaulata akyat ya g dilaksa aka e u ut UUD e upaka la dasa ya g sa gat kuat agi

implementasi kedaulatan rakyat, karena ko sep i i e jadi enabling environment atau siste ya g memungkinkan bagi penerjemahan kedaulatan rakyat, di tengah dunia politik dan sosial yang bergerak dengan cepat. Konsep ini membuat berbagai lembaga dalam UUD teraktivasi (activated) dalam sistem politik dan pada akhirnya meluaskan makna kedaulatan rakyat, dalam koridor hak asasi manusia yang juga tercantum dalam UUD 1945.

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat Pengaruh Determinasi Diri Terhadap Komunikasi Interpersonal Pengurus Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas DEMA-F Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

pengetahuan dengan metode demonstrasi menjadi mengetahui tentang jajanan yang sehat, ciri-ciri yang sehat, cara memilih jajanan sehat dan tidak sehat, mengetahui

Dari grafik rata-rata delay seluruh jaringan pada penggunaan perangkat tiga router dan enam router diperoleh bahwa Protocol RIPng yang menggunakan IPv6 sebagai

Tenaga kerja bongkar muat merupakan tenaga kerja yang berpotensi mengalami penyakit yang terkait dengan pekerjaan yaitu keluhan nyeri punggung bawah dimana sikap kerja

Aplikasi atau komponen yang berjalan di awan ( cloud ); 2). Kebutuhan bisnis untuk melakukan perkiraan / estimasi kebutuhan bisnis. Organisasi harus aktif mengelola beban

Dinding rahim terdiri atas tiga lapisan yaitu endometrium atau selaput lender yang membatasi dinding bagian dalam, miometrium yang merupakan lapisan otot polos yang tebal,

Uji F adalah alat statistik yang digunakan untuk menentukan pengaruh secara serempak atau simultan variabel-variabel bebas yaitu modal dan tenaga kerja terhadap variabel

Peranan laba sendiri sangat penting dalam suatu perusahaan baik sebagai tolak ukur kinerja keuangan maupun sebagai indikator prospek pertumbuhan perusahaan dimasa