• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PERJUANGAN HUKUM LAUT INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH PERJUANGAN HUKUM LAUT INDONESIA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Elfryda Prahandini NIM : E1A014281 Kelas : A (Gabungan)

TUGAS TERSTRUKTUR HUKUM LAUT INTERNASIONAL

SEJARAH PERJUANGAN HUKUM LAUT INDONESIA

Bangsa Indonesia sebenarnya tergolong sebgai bangsa pelaut yang ulung. Nenek moyang bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sudah mangarungi lautan ke segala penjuru angin. Hal ini terbukti dari banyaknya ditemukan peninggalan-peninggalan purbakala di berbagai tempat di muka bumi yang menunjukan banyaknya keunggulan para pelaut dari bergai etnis di Indonesia. Bahkan, banyak di antara mereka yang mentap di wialayah daratan, yang disinggahi dan menurunkan keturunan dari generasi ke generasi, yang kini sudah menjadi warga negara dari wilayah yang sekarang sudah menjadi negara merdekadan berdaulat. Beberapa etnis di Indonesia yang unggul di bidang kelautan adalah etnis Sangihe-Talaud, Madura, Buton, Bugis dan Makassar. Bahkan dua etnis, yaitu Bugis dan Makassar, sejak zaman dahulu kala sudah mengarungi lauta dengan Perahu Pinisi-nya yang terkenal di seluruh Nusantara dan dunia

(2)

Kondisi seperti dipaparkan di atas, sudah berlangsung sejak zaman kuno hingga Belanda penjajah pertama kali datang di Nussantara pada tahun 1597 dan menjelma menjadi penjajah. Di muali dari zaman Vereenigde Oost Indische Copagnie (VOC), yang kemudian berkembang menjadi penjajah oleh Negeri Belanda setelah runtuhnhya VOC, hingga menjelang Perang Dunia II. Tampaknya, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pun merasa aman dan nyaman dengan kondisi demikian. Selama masa penjajahannya, tidak ada satu negara pun yang mempersoalkan kedaulatan pemerintah Hindia Belanda atas laut

Bahwa pada masa kemerdekaan, khususnya pada masa antara tahun 1945-1959, hukum atau peraturan perundang-undangan peninggalan zaman penjajahan Belanda masih terus berlaku untuk mengisi kekosongan hukum dalam alam Indonesia merdeka. Sebenarnya, tidak saja sampai dengan 1959, bahkan sampai kini pun hukum atau peraturan perundang-undangan peninggalan zaman penajajahan Belanda tersebut masih ada yang terus berlaku, meskipun jumlahnya semakin berkurang karena sudah diganti dengan peraturan perundang-undangan nasional.

Salah satu peraturan perundang-undangan peninggalan zaman penjajahan Belanda yang terus berlaku melalui pasal-pasal Peraturan Peralihan dari ketiga Undang-Undang Dasar (1945-1959), tetapi sekarang sudah tidak berlaku lagi, adalah Ordonansi tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang secara otentik dalam bahasa Belanda bernama Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Staatblad Nomor 442 Tahun 1939).

Ordonansi ini menetapkan lebar laut territorial Hindia Belanda 3 mil laut diukur dari garis pangkal normal sehingga mengakibatkan setiap pulau dari kepulauan Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) memiliki laut territorial masing-masing, dan pada laut territorial tersebut berlakulah kedaulatan territorial Hindia Belanda yang hanya dibatasi oleh Hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. Sedangkan bagian laut yang diluar dari laut territorial tersebut terdapat bagian-bagian laut yang disebut laut lepas dengan kebebasan laut lepasnya yang terdiri dari kebebasan pelayaran dan kebebasan perikanan.

(3)

Bahwa pada tataran internasional terjadi hiruk pikuk mengenai hukum laut sebagai dinamika dari perkembangan hukum laut yang sangat dinamis dan progresif. Hal ini antara lain tampak dalam bentuk tindakan-tindakan sepihak negara-negara pantai berupa kalim-klaim atas perluasan lebar laut territorial, pengenalan atas pranata-pranata hukum laut baru, seperti zona tambahan, landas kontinen, zona perikanan, penarikan garis pangkal urus dari ujung ke ujung, ataupun mengikatnya sengekta-sengketa mengnai masalah kelautan dan hukum laut. Dengan kata lain, masalah kelutan dan hukum laut pada masa itu penuh dengan ketidakpastian hukum. Kesempatan inilah yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia bersama-sama dengan negara-negara baru merdeka yang lainnya, untuk mengklaim lebar laut territorial yang melebihi dari 3 mil laut ataupun mengadopsi pranta-pranata hukum laut baru tersebut. Akan tetapi, hal ini dilakukan karena faktor-faktor yang sudah dikemukan diatas.

 Deklarasi Juanda

Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia hal ini dirasa sangat merugikan bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957, saat pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikanal dengan Deklarasi Djuanda. Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.

(4)

Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.

- Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri;

2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :

a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan

keselamatan NKRI.

 Persetujuan Pemenrintah Indonesia Dengan Berapa Negara Dalam Penetapan Garis Batas Kontinen

Persetujuan pemerintahan Indonesia dengan beberapa negara yang berbatasan tidak lepas dengan hak dan kewajiban persetujuan yang telah dilakukan mengatur masalah Landasan Kontinen dua negara atau lebih berbentuk peraturan perundangan mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan, terjadinya pelanggaran perbatasan berarti kemungkinan ketegangan akan timbul, oleh sebab itu disajikan batas-batas wilayah sehingga garis batas Landas Kontinen antara :

1. Pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Malaysia

Persetujuan ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia yang telah disahkan secara konstitusionil diwujudkan dalam bentuk keputusan Presiden yaitu Keputusan Presiden RI no 89 tahun 1969 menetapkan, mengesahkan persetujuan antara pemerintah RI dengan pemerintah Indonesia tentang penetapan garis batas landas kontinen antara ke dua negara yang di tanda tangani para delegasi masing-masing di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.

2. Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thauland

(5)

Konstitusional di tuangkan dalam bentuk Keputusan Presiden pada 11 Maret 1972, yaitu Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang pengesahan persetujuan antara pemerintah RI, pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thailand dalam penetapan garis-garis batas Kontinen di bagian utara selat Malaka.

3. Pemerintah RI dengan Pemerintah Thailand.

Hasil persetujuan antara pemerintahan RI dengan pemerintahan kerjaan Thailand membicarakan batas landas kontinen dua negara dibagian selat Malaka dan di laut Andaman, untuk memisahkan bagian kedaulatan ke dua negara di bagian wilayah Kontinennya dan di tanda tangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971 dan oleh pemerintahan RI disahkan dalam bentuk keputusan Presiden yang ditetapkan pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden no 21 tahun 1972.

4. Pemerintah RI dengan pemerintah Filipina.

Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni Middle Line atau Ekuedistant, baik Indonesia maupun Filipina kedua nya adalah negara kepulauan. Pada bulan Mei 1979 Filipina mengumumkan ZEE 200 milnya, dengan terjadinya penetapan batas tersebut oleh masing pihak dan diukur dari garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi kepulauannya, maka di baigian selatan Filipina ( selatan Mindanau ) dan bagian utara Indonesia ( Laut Sulawesi dan Sangir Talaud ).

5. Pemerintah RI dan pemerintah Vietnam

Vietnam telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairannya pada tanggal 12 Mie 1977 dan menetapkan UU Maritimnya pada bulan Januari 1980. Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa wilayah maritim Virtnam adalah sejauh 200 mil laut dengan perincian 12 mil laut Teritorial, 2 mil wilayah menyangga dan selebihnya ZEE. Menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya tahun 1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia berpendirian bahwa tidak ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.

6. Pemerintah RI dengan pemerintah Papua Nugini

(6)

menetapkan Zona perikanan 200 mil serta kebijakannya dalam pergolakan sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut diakui.

 Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958

Indonesia menempuh langkah pada tataran internasional, yaitu menyatakan persetujuan terkait pada tiga dari empat Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan pada tataran nasional (sebagai kelanjutan dari langkah pada tataran internasional), mengesahkan dan mengundangkan Konvensi tersebut dengan UU No. 19 Tahun 1961. Dengan demikian, pda tataran internasional Indonesia baru menjadi negara pihak atau peserta (state party) pada waktu mulai berlakunya masing-masing dari 3 konvensi itu sebagai hukum internasional postif, sedangkan pada tataran nasional atau domestic, Konvensi amsuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia pada saat disahkan dan diundangkannya UU NO 19 Tahun 1961 tersebut.

Persetujuan terkait Indonesia yang hanya pad tiga Konvensi tdari empat Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, sebagaimana dinyatakan dalam UU No 19 Tahun 1961, yaitu Konvensi mengenai Laut Lepas, Konvensi mengenai Perikanan dan Pengonservasian Sumber-Sumber Daya Hayati Laut Lepas, dan Konvensi mengenai Landas Kontinen. Ini menunjukan bahwa Indonesia tidak menyatakan persetujuan terkaiy pada Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Dengan demikian, Indonesia tetap memiliki kebebasan untuk memperjuangkan dan mempertahankan laut lebar teritorialnya selebar 12 mil laut di forum internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Injil mengajak kita untuk belajar dari pengalaman orang kaya yang tidak peduli semasa hidupnya.. Kita diajak untuk berbagi, untuk memberikan hati dan sebagian harta

Selain variabel kualitas kehidupan kerja, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel persepsi peluang kerja juga memiliki peran terhadap intensi pindah kerja pada

Selain variabel kualitas kehidupan kerja, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel persepsi peluang kerja juga memiliki peran terhadap intensi pindah kerja pada karyawan

Pada dasarnya bahwa Panel Control membutuhkan perawatan yang tidak begitu rumit di bandingkan perawatan peripherial yang lainnya,dalam hal ini bahwa control panel bekerja

SATUAN KERJA / SKPD : Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Batang GIGIH SAYOGO, SH, M.Hum.. ALAMAT

Menurutnya peranikahan adat Jawa khususnya yang terjadi di Kecamatan Tanjung Bintang yang diawali dari lamaran ini adalah sesuai dengan ajaran Islam bahwa sebelum

Adapun faktor penghambat dalam pelaksanaan pemungutan pajak hiburan secara online, yaitu kurangnya pemahaman Wajib Pajak terhadap pelaksanaan pemungutan pajak hiburan