• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ali ash Shabun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ali ash Shabun"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

▸ Baca selengkapnya: nabi muhammad shallallahu alaihi wasallam memiliki pribadi yang peduli dengan sesama beliau selalu

(2)

1 Musuh-musuh Islam senantiasa berusaha meyebarkan keragu-raguan tentang

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, menyerang sunnahnya dan berusaha

menghilangkan keagungan beliau. Mereka membuat kedusataan dan pemikiran yang

mengelirukan untuk membuat orang-orang beriman ragu dengan agamanya dan untuk

menjauhkan dari keyakinan terhadap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tidaklah mengherankan dengan adanya berbagai kedustaan, kebohongan dan

tuduhan-tuduhan palsu yang dialamatkan kepada para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

dan Rasul, karena hal ini merupakan sunatullah, yang diberlakukan Allah kepada

hamba-hamba-Nya yang shalih. Maha Benar Allah yang telah berfirman:

“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi

Pemberi petunjuk dan Penolong.” (QS. Al-Furqan: 31)

Sebelum saya berbicara mengenai kesucian “Para Ummul Mukminin” dan

hikmah di balik pernikahan Rasulullah dengan mereka, saya akan menjawab sumber

kebohongan yang seringkali dimunculkan oleh para musuh Islam yang jahat untuk

mengoyak keimanan kita, untuk mengaburkan kebenaran dan untuk menjatuhkan

kedudukan hadits Muhammad bin Abdullah.

Mereka mengklaim bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah

seorang pria yang penuh syahwat, yang mengikuti nafsunya dan mengejar kenikmatan

nafsu birahi, bahwa beliau tidak puas dengan satu istri, atau bahkan empat istri, seperti

yang beliau ajarkan kepada ummatnya, tetapi beliau sendiri memiliki banyak istri dan

menikahi sepuluh atau lebih wanita demi memenuhi nafsu syahwat dan hasrat

birahinya. Mereka juga mengklaim bahwa ada sebuah perbedaan besar antara Yesus

yang menahan syahwatnya dan menguasai dirinya, dan Muhammmad yang menuruti

nafsu syahwatnya.

“...alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5)

Ini menunjukkan bahwa mereka adalah para pendusta yang penuh dendam.

(3)

2 syahwat, tetapi dia adalah seorang rasul, menikah seperti manusia pada umumnya

menikah, sebagai teladan untuk mengikuti jalan yang lurus dan benar. Beliau bukanlah

seorang Tuhan atau anak Tuhan seperti yang orang-orang (Yahudi dan Nasrani, pen-)

yakini terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mereka, tetapi beliau hanya seorang

manusia seperti manusia-manusia lainnya yang mendapat kistimewaan dengan wahyu

dan risalah. Allah berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku...” (QS. Al-Kahfi: 110)

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seorang pembuat-buat ajaran

baru di antara para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga menyelisihi praktek atau

jalan-jalan mereka. Al-Qur’an memberitahukan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi

wasallam berkata:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan...” (QS. Ar-Ra’d: 38)

Mengapa, kemudian mereka memunculkan tuduhan tanpa bukti kepada sang

khatamul anbiya (penutup para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam)?!

Allah berfirman:

“...sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al-Hajj: 46)

Saudaraku,

Ada dua poin pokok yang akan membantah semua pernyataan tanpa dasar

kepada Rasulullah; kita tidak boleh melupakan poin-poin ini dan kita harus selalu

menanamkannya sebelum kita ketika kita berbicara mengenai “Para Ummul Mukminin”

atau “Ibunda Orang-orang Mukmin” dan hikmah dari banyaknya istri Nabi Shallallahu

‘alaihi wasallam:

Pertama: Rasulullah tidak menggauli istri-istrinya sampai beliau berusia uzur,

(4)

3 Kedua: Semua istri-istri Rasulullah adalah janda kecuali Sayyidah A’isyah yang

dinikahi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dia masih seorang perawan.

Dari kedua poin ini, kita dapat dengan mudah menjawab kebohongan dari

pernyataan/tuduhan tanpa bukti yang diklaim oleh para orientalis yang jahat. Jika tujuan

pernikahan adalah memenuhi syahwat jasmani atau kenikmatan seksual semata, beliau

akan menikah ketika beliau masih muda bukan ketika beliau berusia lanjut yang telah

berkeadaan uzur atau mulai lemah (karena faktor usia, pen-); atau beliau seharusnya

menikahi gadis-gadis perawan, bukan janda-janda yang telah berumur; terutama ketika

kita mengingat bahwa beliau melihat Jabir bin ‘Abdullah dalam keadaan wangi dan

menampakkan nikmat dan kegembiraannya, beliau bertanya kepadanya: “Engkau sudah

menikah Jabir?”, tanya Rasulullah. “Iya.”, jawab Jabir. “Perawan ataukah janda?”, Rasulullah kembali bertanya. “Janda”, jawab Jabir kemudian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Kenapa tidak menikahi perawan saja? Engkau bisa bermain

dengannya dan ia bisa bermain pula denganmu.

Rasulullah sendiri menyarankan Jabir agar menikahi seorang gadis perawan.

Beliau mengetahui dengan sempurna bagaimana cara untuk memperoleh kenikmatan

syahwat. Jika beliau menikah hanya untuk kesenangan seksual, apakah masuk akal jika

beliau menikah pada usia lanjut bukan pada usia mudanya?! Atau dengan memilih

wanita janda daripada perawan?!!!

Para sahabat rela mengorbankan hidup mereka untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi

wasallam; dan jika beliau ingin menikah, mereka akan dengan sepenuh hati menikahkan

beliau dengan seseorang yang beliau inginkan dari wanita-wanita cantik dari kalangan

mereka. Tetapi mengapa beliau malah menikahi janda-janda tua dan meninggalkan

gadis perawan?

Tidak diragukan lagi fakta ini menyangkal semua tuduhan-tuduhan tak berdasar

itu dan membantah para pendusta berhati jahat yang mencoba menurunkan kesucian

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau pun mendistorsi kedudukan beliau yang tanpa

cela. Pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam waktu itu, bukan hanya untuk tujuan

seksual atau tanpa sebab; tetapi ada tujuan mulia dan cita-cita yang agung (di baliknya,

pen-). Musuh-musuh Islam akan mengakui hal ini jika mereka melepaskan diri mereka

dari belenggu fanatisme buta dan menggunakan logika atau akal sehatnya. Mereka akan

(5)

4 bagi orang yang shalih dan murah hati, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Rasul

yang penuh rahmat, yang mengorbankan hidupnya demi dakwah Islam.

Saudaraku,

Alasan di balik poligami terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

ada banyak dan bisa disimpulkan sebagai berikut:

1. Faktor Pendidikan dan Pengajaran.

2. Faktor Legislatif.

3. Faktor Sosial

4. Faktor Politik.

Kita akan membahas secara singkat tiap-tiap faktor ini, dan kemudian

membahas kesucian “Para Ummul Mukminin” dan alasan mengapa Rasulullah

menikahi mereka.

1. Faktor Pendidikan dan Pengajaran.

Tujuan pokok yang pertama dari banyaknya istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi

wasallam adalah untuk menjadikan mereka sebagai pengajar wanita yang bisa

mengajarkan wanita-wanita muslimah lainnya hukum dan pendapat yang benar. Wanita

merupakan separuh dari masyarakat dan mereka sebagaimana kaum lelaki diperintahkan

untuk melaksanakan perintah-perintah agama.

Banyak wanita yang merasa malu untuk bertanya kepada Rasulullah tentang

perkara hukum, terutama yang berhubungan dengan mereka, seperti hukum-hukum

dalam menstruasi, melahirkan, hadats besar dan perkara perkawinan lainnya.

Kebanyakan wanita diliputi oleh perasaan malu, merasa malu ketika mereka ingin

bertanya tentang masalah-masalah ini.

Salah satu sifat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pemalu. Beliau

sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits, “Rasulullah lebih pemalu daripada

gadis yang dipingit di kamarnya.” Beliau tidak dapat menjawab dengan sebenarnya dari

semua pertanyaan yang diajukan oleh para wanita. Kadang-kadang beliau menggunakan

majas, dan wanita boleh jadi tidak mengerti dengan apa yang beliau maksud.

(6)

5 mengajarkannya bagaimana cara untuk mandi junub, dan kemudian menjelaskan

kepadanya cara untuk mengambil sepotong kain dengan misyk dan menyucikan dirinya

dengan itu. Sang wanita bertanya, "Bagaimana aku mandi untuk bersuci (dari haid)?"

Rasulullah berkata; "Ambillah sepotong kapas yang sudah diberi minyak wangi misik,

dan bersucilah dengannya." Dia bertanya, "Bagaimana aku bersuci dengannya?"

Rasulullah bersabda, "Bersucilah dengan itu." Lalu dia bertanya, "Bagaimana aku

bersuci dengannya?" Beliau lalu bertasbih dan berkata, “Sucikan dirimu dengan itu!!”.

Sayyidah A’isyah berkata; Aku tarik wanita tersebut agar mendekat kepadaku dan kuberitahu maksud perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tadi," dan

kemudian berkata: Gunakan sepotong kapas ini dengan diberi misik untuk memeriksa

bercak darah dan aku menjelaskan kepadanya dengan benar dimana seharusnya kapas

tersebut digunakan.”

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa sangat sungkan untuk menjelaskan dengan sebenarnya dan dengan secara eksplisit (terus terang) seperti

pertanyaan yang diajukan, dan sangat sedikit wanita yang bisa menguasai perasaan

malu mereka dan bertanya di muka umum mengenai masalah-masalah wanita yang

memalukan (intim).

Contoh lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dalam

Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ummu Salamah berkata: “Ummu Sulaim (istri

Abu Thalhah) datang kepada Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran,

apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.” Ummu Salamah berkata: “Mungkinkah hal itu terjadi (pada diri seorang wanita) ?”. Nabi Shallallahu

‘alaihi wasallam shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya. (Jika tidak), maka

darimana adanya penyerupaan (seorang anak kepada orang tuanya) ?. Sesungguhnya air

mani laki-laki kental lagi berwarna putih, sedangkan air mani wanita encer dan

berwarna kekuning-kuninganan. Siapa saja di antara keduanya yang mengalahkan atau

mendahului dari yang lain, maka akan terjadi penyerupaan (dari si anak) terhadap

(7)

6 Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami

jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insaan: 2)

Pertanyaan-pertanyaan yang demikian memalukan ini dijawab oleh para istri

beliau. Inilah yang membuat Sayyidah A’isyah berkata: “Sebaik-baiknya wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memahami

agama.”

Mereka biasanya pergi kepada istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Ibunda Orang-orang Mukmin” untuk bertanya tentang perkara-perkara agama, hukum-hukum menstruasi, melahirkan, kebersihan... dan lain sebagainya, mereka adalah

sebaik-baik pengajar dan menuntun lewat siapa mereka sebaiknya mempelajari

agamanya.

Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa Sunnah tidak terbatas hanya

pada perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi juga perbuatan dan persetujuan

beliau. Ini adalah bagian dari syari’at yang harus diikuti oleh ummat Islam. Siapa lagi

yang bisa menyampaikan perilaku Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan persetujuan

beliau di dalam rumah beliau selain daripada istri-istri beliau? Mereka menjadi guru dan

periwayat hadits; mereka dikenal karena kekuatan hafalan mereka, yang brillian dan

cerdas.

2. Faktor Legislatif

Faktor legislatif di balik pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa

begitu mudah membatalkan beberapa praktik jahiliyah seperti yang berlaku pada

masyarakat Arab sebelum datangnya Islam, misalnya kebiasaan umum dalam masalah

adopsi yang mana merupakan sebuah warisan kebudayaan Arab sebelum datangnya

Islam. Seseorang bisa mengadopsi (mengangkat sebagai anak, pen-) anak orang lain,

membuatnya seperti anak kandungnya sendiri dan berkata kepadanya, “ Kamu adalah

(8)

7 perceraian, pernikahan dan tingkat larangan pernikahan, dan lainnya diterapkan kepada

anak angkat itu.

Islam tidak akan menerapkan sesuatu yang salah ataupun meninggalkan manusia

dalam kebodohan. Dalam misi untuk mengakhiri kebiasaan yang salah dalam hal anak

angkat ini, hal ini diwahyukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebelum misi

beliau untuk menjadi seorang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam diumumkan, agar

mengangkat anak Zaid bin Haritsah mengikuti kebiasaan umum masyarakat Arab

Jahiliyyah. Zaid kemudian setelah itu dipanggil sebagai Zaid bin Muhammad. Imam

al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Kami

biasa memanggil Zaid bin Haritsah “Zaid bin Muhamad” sampai turunnya ayat Al

-Qur’an yang berbunyi:

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah...” (QS. Al-Ahzab: 5)

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahkan Zaid dengan

sepupunya yang bernama Zainab binti Jahsyi; tetapi pernikahan mereka tidak

berlangsung lama. Zainab berlaku kurang baik kepada Zaid karena merasa lebih mulia

dalam tingkatan sosial, karena Zaid hanya seorang budak sebelum Nabi Shallallahu

‘alaihi wasallam mengadopsinya sedangkan Zainab adalah seorang berketurunan bangsawan.

Zaid menceraikan Zainab dan Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk

menikahinya untuk membatalkan adat Jahiliyyah, demi menerapkan ajaran Islam dan

mengeliminasi adat-adat Jahiliyyah secara tuntas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

khawatir jika orang-orang munafik dan tukang fitnah akan berkata bahwa Muhammad

menikahi bekas istri “anaknya”. Al-Qur’an meluruskan beliau dengan ayat:

“...kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),

Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk

(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah

(9)

8 Dengan cara ini, maka kebiasaan jahiliyyah telah tamat dan Al-Qur’an

mendukung hukum Allah yang baru ini dengan firman-Nya:

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Zainab berkata dengan bangga kepada

istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain: “Keluarga kalian yang menikahkan

kalian, tetapi hanya aku yang Allah dari langit ke tujuh yang telah menikahkanku.”

3. Faktor Sosial:

Faktor sosial di balik pernikahan-pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

sangatlah jelas dalam pernikahan beliau dengan anak perempuan Abu Bakar, dan juga

dengan anak perempuan ‘Umar. Alasan-alasan ini juga bisa dengan jelas terlihat dalam hubungan pernikahan beliau dengan bangsa Quraisy; ini membuat kabilah-kabilah dan

suku yang berbeda (dengan beliau, pen-) menjadi betul-betul membantu beliau dan

agama yang beliau bawa.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Sayyidah A’isyah, anak perempuan

dari orang yang paling dia cintai, teman yang paling berharga dan sahabat Abu Bakar

termasuk di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam dan menyerahkan jiwa

dan hartanya untuk kejayaan Islam dan untuk melindungi Nabi Shallallahu ‘alaihi

wasallamnya, melawan segala rintangan demi Islam.

At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memuji

Abu Bakar dengan berkata bahwa dia tidak bisa memberikan haknya (membalas jasa

beliau, pen-) dan hanya Allah yang akan memberikannya apa yang pantas dia dapatkan

pada hari pembalasan nanti, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru Abu

Bakar untuk Islam, dia tidak pernah ragu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disuruh

(10)

9 Rasulullah tidak bisa mendapatkan sebuah hadiah yang lebih baik untuk Abu

Bakar di dunia ini selain dengan menikahi anak perempuannya; yang dengan demikian

itu memperkuat persahabatan mereka dan memperdalam ukhuwah mereka.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menikahi Hafshah, anak perempuan

‘Umar, untuk menghadiahi bapaknya karena memeluk Islam, atas kebenaran dan

ketulusannya, dengan apa yang dia lakukan untuk Islam. ‘Umar adalah pahlawan besar

bagi Islam, dengannya perantaraannya lah Allah memuliakan dan menjayakan Islam

dan kaum muslimin. Dalam pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak

perempuan Abu Bakar dan ‘Umar, di sana ada balas jasa dan ungkapan terima kasih

kepada laki-laki yang telah berjasa dan tulus.

Demikian halnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menghargai ‘Utsman dan

‘Ali dengan menikahkan mereka dengan dua anak perempuan beliau. Empat orang ini –

Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali – adalah sahabat-sahabat dan pengganti beliau yang terbaik dalam menyebarkan dakwah dan mengokohkan agama Islam.

4. Faktor Politik

Salah satu alasan utama pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah

untuk membentuk hubungan yang erat dengan orang-orang di sekeliling beliau. Ini

biasanya terjadi ketika seseorang menikah dengan seorang anggota keluarga atau suku,

terbentuh sebuah hubungan baru dan sang saudara sang pasangan akan datang untuk

membantu jika butuh bantuan. Di sini ada beberapa contoh yang menunjukkan

faktor-faktor politik di balik pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Sayyidah Juwairiyah, anak

dari Al-Harits yang merupakan pimpinan kabilah Bani Mustaliq. Juwairiyah bersama

seluruh kaumnya menjadi tawanan perang dalam salah satu perang yang dilakukan Nabi

Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dia sebagai anak perempuan pemimpin kabilahnya, datang kepada Nabi

Shallallahu ‘alaihi wasallam, menawarkan sejumlah uang sebagai tebusan agar bebas.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan penawaran untuk membayarkan tebusan untuknya dan menikahinya. Kaum Muslimin berpikir tidak pantas jika menahan

(11)

10 membebaskan mereka semua. Melihat kemuliaan orang Islam, seluruh suku Bani

Mustaliq masuk Islam.

Kedua, dalam perang Khaibar, Sayyidah Saffiyah, anak perempuan Huyay bin

Akhtab ditawan oleh kaum muslimin setelah suaminya terbunuh. Nabi Muhammad

Shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya pilihan; pertama, membebaskannya dan beliau akan menikahinya atau kedua, membebaskannya dan dia boleh kembali kepada

keluarganya yang beragama Yahudi. Melihat keluhuran akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi

wasallam serta sopan santun beliau, dia memilih dibebaskan dan menjadi istri beliau.

Selain itu, dia, dan juga banyak orang-orang yang bersamanya masuk Islam.

Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah menjelaskan kepada Saffiyah bahwa

ayahnya adalah orang yang paling keras permusuhannya kepada beliau di antara kaum

Yahudi, Saffiyah menjawab, “Ya Rasulullah! Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“...seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” (QS. Al-An’am: 164)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kepadanya bahwa jika dia memilih Islam, beliau akan menikahinya; jika dia memilih beragama Yahudi maka

beliau akan membiarkannya untuk bergabung dengan kelompoknya, kaum Yahudi.

Saffiyah berkata bahwa dia menyukai Islam, percaya kepada beliau, dan tidak lagi

berhubungan dengan orang-orang Yahudi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi

Saffiyah.

Ketiga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menikahi Sayyidah Ummu

Habibah (Ramlah) yang ketika itu ayahnya Abu Sufyan adalah salah seorang pembesar

orang-orang kafir dan seorang musuh besar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ummu

Habibah memeluk Islam di Mekkah dan pindah ke Ethiopia bersama suaminya. Ketika

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa suami Ummu Habibah meninggal di Ethiopia, beliau mengutus Raja Ethiopia, An-Najasyi untuk menikahkan beliau

dengan Ummu Habibah.

Ummu Habibah merasa sangat senang, karena jika dia kembali kepada ayahnya

di Mekkah, ayahnya akan memaksanya untuk keluar dari Islam atau menyiksanya.

Ummu Habibah menerima mahar sebesar empat ratus dinar dan ketika dia kembali ke

(12)

11 Kemudian, setelah ayahnya Abu Sufyan memeluk Islam dan mengetahui

pernikahan anaknya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ayahnya setuju dan

bangga karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjadi seorang pasangan yang

baik bagi anak perempuannya.

Pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak perempuan Abu

Sufyan, yang notabene merupakan seorang musuh besar bagi kaum Muslimin, membuat

permusuhan terhadap kaum muslimin berkurang. Pernikahan ini juga bermaksud

sebagai sebuah penghargaan bagi Ummu Habibah dan sebuah hadiah untuknya karena

telah berani menentang ayahnya dan kaumnya dengan memutuskan memeluk Islam.

Kita telah menyebutkan faktor-faktor di balik poligami yang dilakukan Nabi

Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita sebaiknya beralih dengan membicarakan tentang

“Kesucian Para Ummul Mukminin” yang Allah telah pilihkan di antara wanita-wanita pilihan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta dan yang Allah muliakan

dengan menjadi istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka semua harus

dimuliakan dan dihormati, dan demi menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

tidak menikahi istri-istri beliau pasca kewafatan beliau. Allah berfirman:

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka...” (QS. Al

-Ahzab: 6)

Dan juga firman-Nya:

...Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini

isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat

(13)

12

“Para Ummul Mukminin” yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam nikahi jumlahnya ada sebelas. Mereka adalah:

1. as-Sayyidah Khadijah binti Khuwailid

2. as-Sayyidah Saudah binti Zam’ah

3. as-Sayyidah A’isyah binti Abu Bakar

4. as-Sayyidah Hafshah binti ‘Umar

5. as-Sayyidah Zainab binti Khuzaimah

6. as-Sayyidah Zainab binti Jahsyi

7. as-Sayyidah Ummu Salamah (Hindun binti Abu Umayyah)

8. as-Sayyidah Ummu Habibah (Ramlah binti Abu Sufyan)

9. as-Sayyidah Juwairiyah binti Al-Harits

10. as-Sayyidah Maimunah binti Al-Harits

11. as-Sayyidah Safiyyah binti Huyay

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis dampak ekonomi pengoperasian Transjakarta dari 461 persepsi pengguna Transjakarta menunjukkan bahwa nilai pelayanan sebesar 85,69 dengan kriteria sangat

bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 160 Ayat 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri

Segera setelah Hadhrat Abu Ubaidah (ra) menerima surat Hadhrat ‘Umar (ra) ini, beliau mengutus sepuluh pemimpin pasukan ke Fihl, yang mana di antara mereka yang

1 Selepas pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, pentadbiran kerajaan Islam seterusnya telah dilaksanakan oleh kerajaan Bani Umaiyah.. (a) Namakan pusat pentadbiran

(1) Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas mengumpulkan dan mengkoordinasikan bahan penyusunan program kerja, evaluasi dan pelaporan

melihat kumpulan orang, tidak pernah melihat seorang pribadi!” Dan pelancong Timur yang telah menjelajahi kota-kota Barat merasa ia hanya melihat pergolakan yang tak teratur,

a) Kabel sindrom anterior: dicirikan oleh kerusakan pada bagian depan tulang belakang, mengakibatkan gangguan suhu, sentuhan, dan sensasi nyeri di bawah

Tahun 2018 Pusat Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon mendapat alokasi anggaran sebagaimana tercantung dalam RKAKL Perpustakaan untuk kegiatan peningkatan koleksi