• Tidak ada hasil yang ditemukan

ELASTISITAS HUKUM ISLAM (Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro) M. Adib Hamzawi Abstract - ELASTISITAS HUKUM ISLAM (Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ELASTISITAS HUKUM ISLAM (Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro) M. Adib Hamzawi Abstract - ELASTISITAS HUKUM ISLAM (Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

24 Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

ELASTISITAS HUKUM ISLAM

(Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro)

M. Adib Hamzawi*

Abstract

The Islamic education convised had absolute truth. But the truth of fiqih as Islamic education aplication concept not ever confessed absolute, the procces of fiqih formulation influenced by approach methode, surrounding and social-culture atmosphere, mujtahid turned up distinction wich implicated to pluralist of Islamic law. Beside it was gleaming activity in the beginning of Islam. But another side the result of vanery ikhtilaf exactly made broked fraternity of religious life. The singular truth claim and primordialisme behavior of people made weak the shari’ah shine clamed as sali{h li kulli zaman wa al-makan. Where is the recite about ikhtilaf needed to look for the solution in ordered the variety became bless and impact and impact of was destruktif for moeslem people. Al-Sha’rani by means of his creation al-Mi>zan al-Kubra with explanatoris evaluative character was one of Ulama’ found the handling ikhtilaf concept. Fiqih in al-Sha’rani perspective had to look in elastition a manner two valence that was azimah had tashdi>d character and rukhsoh had takhfif character. In ordered the plurality of fiqih not to negative impact the pluratition of fiqih not to negative impact. Al-Sha’rani gave two concept in holding ikhtilaf problem. The first the meaning shari’ah in a extensive manner the second the employing Al-Jami wa al-Taufiq method. Finnaly moslem people had to always breadned firmament knowledge about Islmic shari’ah. Where as application had to be classifier about situation and condition wich incuded it. By means Islam as Rahmah lil’alamin religion materialized.

Keywords : al-Sha’rani, fiqh, shari’ah, al-mizan

Pendahuluan

Ajaran Islam diyakini memiliki kebenaran absolut, final dan berlaku sepanjang zaman (salih li kull al-zaman wa al-makan). Konsekuensinyasegala yang berkaitan dengan Islam, harus bisa mengejawantahkan universalitas Islam tersebut, tak terkecuali hukum Islam1.

Hukum Islam yang dalam istilah teknis

* Dosen Tetap STAI Hasanuddin Pare Kediri 1 Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan” Jurnal

Prisma, (Jakarta: LP3ES, nomor 4, Agustus, 1995), 37. Lihat juga dalam Sayyed Hossein Nasser, Islamic Life and Thought (Albany: State University of New York Press, 1981), 24-27.

akademis disebut fiqih2 mencakup semua

aspek perilakuumat Islam. Oleh karena itu, apa yang secara sederhana dinamakan

(2)

M. Adib Hamzawi,Elastisitas Hukum Islam… 25

fiqih, sesungguhnya adalah tata hidup religiusitas Islam itu sendiri3.

Realitanya, kebenaran fiqih sebagai konsep aplikasi ajaran Islam ternyata tidak selamanya diakui absolut. Fiqih sebagai produk penalaran intelektual ulama (ijtihad) sangat dipengaruhi lingkungan historis dan atmosfir sosio-kultur yang melingkupi pribadi para mujtahid. Selain itu, pemilihan metode dan pola pendekatan juga turut mempengaruhi hasil sebuah ijtihad4. Pada akhirnya, dalam satu

persoalaan fiqihdapat memiliki beragam rumusan hukum yang dinamakan ikhtilaf

(perbedaan kesimpulan hukum di antara ulama).

Luasnya ikhtilaf yang berimplikasi pluralitas fiqihsesunguhnya merupakan berkah bagi umat Islam. Tersedia berbagai alternatif pengamalan ajaran agama yang bisa dipilih oleh seorang mukallaf sesuai dengan kondisi yang mengitarinya. Pluralitas hukum seperti itulah yang menjadikan hukum Islam terlihat elastis. Dan karena elastisitasnya, hukum Islam dapat berkembang di lingkungan yang memiliki sosio-budaya yang sangat kontras sekalipun di dalam waktu yang bersamaan.

Kajian mengenai ikhtilaf merupakan hal yang penting bagi para pengkaji hukum Islam. Khusus bagi ulama, kapasitas pemahaman yang memadai tentang ikhtilaf

menjadi tidak terelakkan. Pentingnya memahami ikhtilaf tergambar dari peribahasa Arab klasik;“man lam ya‘rif al-ikhtilaf lam yashum raihat al-fiqh”5

(Barangsiapa belum memahami seluk-beluk ikhtilaf, niscaya tidak akan bisa merasakan aroma fiqih).

3 JND Anderson, Islamic Law in Modern

World (New York: New York University Press, 1959), 4.

4Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum

Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 13. 5Noel J. Coulson, Konflik dalam

Yurisprudensi Islam, terj. Fuad (Yogyakarta: Navila, 2001), 26.

Pada realitasnya, keragaman konsep hukum ternyata menimbulkan dilema tersendiri bagi umat Islam. Lahirnya madhhab-madhhab hukum yang menjadi kecemerlangan aktivitas intelektual generasi awal umat Islam, ternyata juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan oleh para pendirinya. Di antara efek tersebut ialah terganggunya ukhuwwah di antara umat Islam dan munculnya kesulitan dalam merumuskan hukum dalam bentuk respon bersama terhadap permasalahan baru yang timbul kemudian6.

Efek lainnya adalah menurunnya intensitas dialog intelektual lintas madhhab secara sehat. Pola sektarian yang muncul dari para pengikut madhab berbanding lurus dengan kecenderungan melemahnya kreativitas dan semangat inovasi untuk menciptakan produk fiqih yang baru.

Dalam konteks kehidupan

bermasyarakat, sikap intelektual seperti itu

sama dengan menyuburkan bibit

konservatisme dan memupuk semangat fanatisme sektarian yang bisa berakibat destruktif7. Tersedianya berbagai rumusan

hukum tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh sebagian besar masyarakat Muslim yang terdidik untuk secara apriori mengafiliasikan dirinya dengan aliran madhhab tertentu secara kaku. Pada akhirnya, pluralitas fiqih yang seharusnya menjadi “berkah” belum bisa terefleksikan secara sempurna dalam kehidupan umat Islam.

Menanggapi keadaan tersebut, sejumlah ulama berupaya melakukan terobosan dengan melaksanakan studi hukum lintas aliran (muqaranah

6Ubaid al-Haqq, “Kebangkitan Kembali Islam; Tantangan dan Perubahan” dalam Taufiq Kamal (ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1988), 460-465. Lihat juga Anderson, Islamic Law, hlm. 81-95.

7 A. Syarif al-Din al-Musawi. Isu-Isu Penting

(3)

26 Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

madhahib)8. Salah satunya adalah Abī

al-Mawāhib Abd.al-Wahāb binAhmad bin‘Ali al-Shāfi‘i(898- 972 H./ 1492-1565 M.) atau yang lebih dikenal dengan al-Sha‘rani. Dalam magnum opus-nya, Mizan al-Kubra, al-Sha‘rani menuangkan konsep

bahwa keragaman pemikiran dan

pengamalam hukum dalam kehidupan umat bukan hanya realitas historis (das sein) yang harus diterima, namun juga merupakan keharusan moral (das sollen)9.Baginya, kebenaran hukum Islam

tidak boleh hanya dibatasi pada mujtahid tertentu. Oleh karenanya, ia meyakini kebenaran kesimpulan hukum semua mujtahid, khususnya empat imam madhhab. Lebih jauh lagi, kesimpulan hukum semua mujtahid menurutnya tidak hanya harus diterima dalam konteks kebenaran teoritiknya, namun pada level aplikasinya juga memiliki kedudukan setara.

Berbagai rumusan hukum dalam satu masalah yang dihasilkan oleh para imam madhhab menurut al-Sha‘rani pada dasarnya tetap berada dalam bingkai shari‘ah yang benar. Sebab dari keragaman tersebut ada hukum yang termasuk kategori berat, sedang dan ringan yang pelaksanaanya disesuaikan dengan

pengamalnya. Apabila seseorang

mengamalkan satu pendapat atau madhhab, maka hal itu bukan berarti pendapat tersebut satu-satunya yang benar sedangkan lainnya dianggap salah. Pengamalan tersebut semata-mata pendapat itu yang paling sesuai dengan kemampuan dan kondisi dirinya10.

Pandangan al-Sha‘rani terhadap fiqih yang

8 TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu

Perbandingan Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 5. Lihat juga dalam Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 7.

9al-Sha‘rani, al-Mizan al-Kubra, Juz I (Lebanon: Dar al-Fikr, tt), 6.

10Ibid, hlm. 5.

elastis seperti itu berbeda dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa jika terdapat banyak pendapat mengenai satu masalah, maka pada prinsipnya yang benar hanyalah satu11.

Kajian tentang konsep elastisitas al-Sha’rani perlu dilakukan karena dua tinjuan. Tinjauan pertama dari sisi al-Sha’rani sebagai pengarang kitab al-Mizan al-Kubro. Figur al-Sha’rani adalah ulama yang berafiliasi pada madhhab Shafi‘i sebagaimana mayoritas penduduk muslim Indonesia. Maka cukup relevan bila berupayamengaplikasikan ide-ide al- Sha‘rani dalam menciptakan harmoni kehidupan beragama bagi umat Islam Indonesia yang bercorak plural dan terafiliasi dalam berbagai aliran dan kelompok.

Tinjauan kedua adalah dari sisi kitab

al-Mizan al-Kubro. Al-Mizan al-Kubro adalah kitab yang mengupas permasalahan ikhtilaf dengan cukup komprehensif. Al-Mizan berisi perbandingan materi hukum fiqih beserta argumen yang mendasarinya, sekaligus juga berisi pandangan ontologis mengenai ikhtilaf berikut penjelasannya. Atas dasar itu, maka kajian mengenai kitab al-Mizan menjadi signifikan untuk dilakukan.

Dibandingkan dengan penelitian maupun karya yang telah ada sebelumnya, kajian tentang elastisitas hukum Islam yang penulis laksanakan sama sekali berbeda. Tulisan yang ada sebelumnya belum ada yang membahas tentang bagaimana bentuk dari elastisitas hukum itu sendiri dan praktiknya dalam kehidupan. Sedangkan penelitian ini justru memfokuskan untuk menelaah konsep-konsep aplikatif dari elastisitas hukum Islam yang ditawarkan

11 Amir Sa’id al-Zaybari, Kaifa Takunu

(4)

M. Adib Hamzawi,Elastisitas Hukum Islam… 27

oleh al-Sha‘rani dalam kitab Mizan al-Kubra.

Konsep Elastisitas Hukum al-Sha’rani dalam al-Mizan al-Kubro

Karakteristik pemikiran al-Sha‘rani adalah kuatnya visi membangun spirit toleransi dan persaudaraan diantara kaum muslimin. Visi membangun kehidupan sosial yang pluralistik namun harmonis di bawah payung ajaran hukum yang elastis tersebut terutama diekspresikan lewat dua pokok pandangan : (a) Pemaknaan shari'ahIslam dalam perspektif yang luas. (b) Prinsip penanganan ikhtilafdan konsep aplikasinya.

1. Ruang Lingkup Shari‘ah

Shari‘ah12 Islam dalam perspektif

al-Sha’rani memiliki cakupan makna yang luas dan tidak terbatas pada pengertian yang tersurat dalam al-Qur’an atau hadist(ma shahidat lahu al-Shari‘ah sarihan). Cakupan Shari‘ah juga meliputi semua pendapat para ulama yang berkompeten melakukan

ijtihad atas kedua sumber pokok tersebutsepanjang kesimpulannya sejalan dengan kaidah universalnya (qawa‘id al-‘ammah). Secara eksplisit al-Sha’rani menyatakan: “Seluruh produk pemikiran hukum (fiqih) dari berbagai madhhab, baik yang masih eksis dan berkembang hingga sekarang ini (al-madhahib al-musta‘malah)

maupun yang telah punah (madhahib al-mundarisah), tercakup dalam pengertian Shari‘ah”.13 Deskripsi di atas

menggambarkan pandangan al-Sha’rani

12Secara literal kata Shari‘ah(bahasa Indonesia: "syariat") berarti jalan menuju tempat air. Sedangkan secara terimonologis terdapat beragam arti.Ketika formulasi teologi Islam dikristalkan untuk pertama kalinya pada abad ke-9 H/ 13 M, kata Shari‘ahmulai digunakan dalam pengertian yang sistematis, maknanya dibatasi untuk menyebut hukum saja, Lihat Muhammad Saied al-Asymawi, “Fiqh Islam” dalam Heijer, Johannes den. Et. al. (eds). Islam Negara dan Hukum,

(Jakarta: INIS, 1993), 119-31.

13al-Sha'rani, al-Mizan al-Kubro, Juz. I., 9.

tentang urgensi pemahaman yang luas dan mendasar mengenai Shari‘ah.

Atas dasar pemikiran tersebut, al-Sha’rani menolak pola pikir dikotomik yang membedakan secara konseptual (dan kemudian memisahkan secara mutlak) antara Shari‘ahdengan fiqih. Dalam

pemahaman dikotomik itu,

Shari‘ahdiartikan sebagai ketentuan hukum (mengenai bidang-bidang tertentu) yang memiliki nilai kebenaran mutlak dan abadi.Alasannya adalah keberadaannya dijelaskan secara eksplisit dalam teks keagamaan14. Sedangkan fiqih berisi

konsep-konsep hukum (mengenai bidang-bidang tertentu) yang nilai keberadaannya bersifat relatif dan situasional, karena tidak tercantum secara eksplisit dalam nass

melainkan dari hasil interpretasi para ulama.15

Al-Sha’rani berpandangan bahwa aturan Shari‘ah tersusun dari rangkaian al-Qur’an, hadist dan atsar dan qowl ulama. Orang yang dengan sengaja mengeluarkan atau mengabaikan salah satunya, maka dianggap melakukan tindakan ceroboh, bodoh dan dangkal pengetahuannya.16

Mengikuti pandangan imam Shafi‘i, al-Sha’rani berpendapat bahwa berpegang pada dua hadist atau dua pendapat hukum

(qawl) sekaligus adalah lebih baik dari pada hanya memakai salah satu dan mengabaikan yang lain. Sikap demikian menurutnya merupakan salah satu indikasi kesempurnaan iman.17

14 Misalnya mengenai keadilan (QS. 16: 90), kesabaran (QS. 2: 45), konsistensi dalam berpegang pada kebenaran(QS. 41: 30), empati (QS. 107: 1-3), dll.

15 Pandangan seperti ini mendapatkan kritik dari para pakar studi Islam kontemporer seperti Fazlurrahman, Muhammad Syahrur dan Muhammad Said al-Asymawi. Lihat Johannes den Heijer dan Syamsul Anwar (eds.), Islam Negara dan Hukum, 122-3.

(5)

28 Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35 Keragaman pendapat para ulama

merupakan sesuatu yang alamiah dan tidak perlu dipersoalkan, karena merupakan konsekuensi logis dari perbedaan pilihan sumber (dalil), metode, dan pendekatan

yang digunakan mujtahid dalam

menafsirkan sumber pokok yang berupa al-nusus al-shar‘iyah. Misalnya, dalam penggunaan analisis bahasa, sebagian ulama memahami perintah (al-amr) dalam

nash sebagai petunjuk hukum wajib, namun ada pula yang memahaminya sebagai hukum sunah (nadb).18 Perbedaan ini tentu

membuka peluang terjadinya perbedaan kesimpulan hukum yang dihasilkan.

Kesimpulan hukum yang dihasilkan oleh para mujtahid, baik wajib, sunahatau lainnya adalah benar, karena semua didasarkan pada sumber Shari‘ah yang sahih. Masalah sesungguhnya tidak terletak pada sumbernya (dalil), namun pada pilihan interpretasinya terhadap dalil itu dan konteks situasi saat penerapannya.

2. Prinsip Penanganan Masalah Ikhtilaf Dalam permasalahan ikhtilaf yang yang berdampak pada disintegrasi umat, al-Sha’rani menawarkan tiga konsep sebagai berikut :

a. Justifikasi kebenaran Seluruh Mujtahid Kesempurnaan Shari‘ah Islam menurut al-Sha’rani tidak diperoleh berdasarkan pemahaman makna nash

secara literal. Pemaknaan secara literalistik

justru akan mencitrakan

ketidaksempurnaan Islam. Kesempurnaan hukum Shari‘ah adalah ketika semua ayat al-Qur’an, hadist sahih dan semua qawl

dihimpun sebagai sebuah kesatuan dengan dua martabat yang berbeda.19

18Ibn Subki dalam Matn Jam‘

al-Jawami‘memberikan rincian tentang makna kalimat perintah ini menjadi 26 kemungkinan yang berbeda-beda. Lihat Taj al-Din Abd. al-Wahab bin ’Ali al-Subki, Jam‘ al-Jawami‘, Juz I(Mesir: Maktabah Dar al-Kutub al-Arabiyyah, tt), 372-374.

19 al-Sha‘rani, al-Mizan al-Kubro, Juz I, 27.

Seluruh produk fiqih yang dihasilkan para mujtahid20 (khususnya

empat madhhab utama), pada dasarnya benar semua dan secara proporsional tetap boleh diamalkan sepanjang masa. Semua konsep hukum tersebut juga tetap berada dalam lingkup cakupan makna Shari‘ah Islam.21 Apabila ada ikhtilaf di antara para

mujtahid, maka perbedaannya bukan pada jenis, apalagi esensi kebenaran dan nilai etik religiusnya. Perbedaan tersebut hanya sebatas pada tingkatan, intensitas atau posisinya dalam kerangka pikir yang menurut al-Sha’rani bagaikan dua sisi timbangan (martabat), yakni takhfif

(meringankan) dan tashdid

(memberatkan). Selain itu, perbedaan juga terjadi karena ada pendapat yang lebih jauh dan lebih dekat dari posisi (maqam)

20 Dalam al-Mizan al-Kubroal-Sha‘rani tidak menyebutkan nama-nama atau kriteria yang rinci mengenai mujtahid, sehingga kurang jelas apakah hanya berlaku bagi para ulama mujtahiddi masa lalu, khususnya para imam madhhab, atau juga berlaku bagi para ulama dan pakar hukum yang hidup di masa-masa sesudahnya, termasuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Konsekuensinya, pandangan tersebut tidak dapat digunakan untuk menilai validitas klaim-klaim kompetensi untuk melakukan ijtihad yang muncul belakangan.

21 Dalam hal prinsip kebenaran semua hasil ijtihadini, al-Sha‘rani berbeda pendapat dengan sebagian besar (jumhur) ulama. Menurut versi

jumhur, jika terjadi keragaman hasil ijtihad,maka pada dasarnya yang benar hanya satu, sedangkan lainnya adalah keliru atau minimal kurang sempurna. Diantara argumen yang mendasari pendapat tersebut antara lain sabda Rasulullah SAW. “Jika seorang hakim berijtihad dan hasilnya benar, maka dia akan mendapatkan dua pahala sedangkan jika keliru akan mendapat satu pahala". Kesimpulannya adalah bahwa ijtihadyang dilakukan hakim ada yang benar dan ada yang salah.

(6)

M. Adib Hamzawi,Elastisitas Hukum Islam… 29

masing-masing orang yang mengamalkan

dari sudut-sudut intensitas

penghayatannya terhadap nilai-nilai esensial Islam, iman dan ihsan.22

Keterkaitan antara makna Shari‘ah Islam dengan berbagai pendapat fiqih hasil

istinbat para ulama menurut al-Sha’rani adalah laksana pohon dengan rantingnya.23

Shari‘ah dalam pengertiannya yang luas adalah laksana batang pohon, sementara madhhab-madhhab fiqih adalah cabang dan ranting-rantingnya. Selain itu, sumber pokok semua mujtahidjuga sama, yakni Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, Sha’rani mengutip pernyataan, Zakariya al-Ansari: “Sumber Shari‘ah ibarat samudra luas. Dari arah manapun kalian mengambil airnya, semua berasal dari samudra yang sama”.24

Dalam perspektif seperti itu, al-Sha’rani nampak ingin menghadirkan Shari‘ah dalam formatnya yang luas, toleran dan komprehensif. Ia mengakui kebenaran hukum yang telah dihasilkan, baik hukum yang berasal dari the revealed sourcess25 (al-Qur’an dan al-Hadith),

maupun yang berasal dari non revealed sourcess (ijtihad). Oleh karena itu, ia menganjurkan agar setiap muslim hendaknya mengamalkan semua hadist

sahih yang diketahuinya dan juga semua pendapat yang telah disimpulkan para imam.

Keseluruhan pendapat para imam mujtahid menurut al-Sha’rani pada

22 al-Sha‘rani, al-Mizan al-Kubro, Juz I, 5. 23 Di bagian lain dalam kitabnya,al-Sha'rani mengibaratkan hubungan antara shari‘at Islam dan madhhab-madhhab fiqh dengan contoh yang lain, misalnya kaitan antara telapak tangan dan jari-jari yang mengitarinya. jari manapun yang kita pegang semuanya terhubungkan pada telapak tangan yang sama. Ibid., Juz I, 48-54.

24Ibid,.Juz I, 30.

25Istilah ini dipergunakan oleh Muhammad Hashim Kamali dalam tulisannya ”Law and Society”,

The Oxford History of Islam (Oxford: Oxford University Press, 1999), 118.

dasarnya tidak keluar dari konsep dua

martabat mizan, yakni tashdid dan takhfif, atau ‘azimah dan rukhsah.26 Begitu pula

baik pendapat itu disimpulkan dari mantuq

(pesan yang tersurat) atau yang disimpulkan dari mafhum (pesan yang tersirat), kesemuanya senantiasa merujuk kepada cahaya shari'ah.

Di samping argumen di atas, al-Sha’rani juga mendasarkan pandangannya pada tradisi episteme yang tidak khas di kalangan ahli fiqih. Kebenaran para imam madhhab menurutnya adalah karena dua

hal. Pertama, pendapat mereka

berdasarkan pada makna zahir teks-teks Shari‘ah. Kedua,pendapat mereka juga disandarkan pada kedalaman ilmu haqiqah. Para imam mujtahid disebut al-Sha’rani

menguasai ilmu haqiqah dan

Shari‘ahsekaligus.27 Sebagaimana

al-Khawas, al-Sha’rani berpandangan bahwa para imam adalah ahli waris Rasulullah SAW, baik dalam ‘ilmal-ahwal maupun

‘ilmal-aqwal.28

Prinsip justifikasi kebenaran semua madhhab memiliki makna yang penting dalam usaha menjaga kohesi sosial umat.Jika berhasil dimasyarakatkan secara luas, maka setidaknya dapat menciptakan dua implikasi yang positif, baik dalam teori maupun praktis.

Pertama, tidak perlu lagi ada kasus

khilafiah yang tidak dapat dikelola, baik secara intelektual maupun aktual (apalagi sampai menimbulkan konflik sosial). Hal tersebut karena setiap pendapat, dari madhhab manapun asalnya, selalu mendapatkan tempat dan aspirasi yang wajar.Selain itu, terbuka kemungkinan untuk diamalkan oleh segenap kaum muslimin, termasuk mereka yang sehari-harinya menganut madhhab yang berbeda. Dengan demikian, pelaksanaan praktik

26Ibid.,Juz I, 19.

(7)

30 Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35 keagamaan senantiasa berlandaskan

toleransi, dan dapat berkembang ke arah

ukhuwah serta solidaritas yang lebih erat. Oleh karena semua madhhab diyakini benar dan berada dalam hidayahAllah SWT, maka tidak perlu ada reaksi negatif terhadap siapapun yang berpegang teguh pada madhhab yang dipercayai. Begitu pula terhadap mereka yang beralih dari satu madhhab ke madhhab yang lain karena alasan tertentu, atau terhadap orang yang dalam kondisi terentu terpaksa mengamalkan selain madhhab yang biasa diikuti.

Kedua, konstruk hukum Islam tidak akan terlihat rigid dan kaku. Pluralitas kesimpulan hukum akan menjadikan hukum Islam terlihat elastis dan dapat diaplikasikan dalam segala situasi dan kondisi. Selain itu, karena semua diyakini benar, maka umat Islam tidak lagi mengalami hambatan psikologis untuk saling “meminjam” pandangan keagamaan pihak lain demi kesempurnaan pemahaman yang telah mereka ikuti.

b. Stratifikasi Aturan Shari’ah

Al-Sha‘rani tampaknya menyadari bahwa prinsip pembenaran semua madhhab yang diusulkannya menimbulkan pertanyaan filosofis yang serius. Pertanyaan; “mungkinkah dua pendapat (atau lebih) yang saling berlawanan dapat dibenarkan dalam waktu yang sama?”29.

Sebagai contoh, hukum menjalankan pernikahan yang dinyatakan wajiboleh sebagian ulama, sementara ulama lainnya

mengatakan tidak wajib. Lalu

dipertanyakan, apakah masuk akal (dalam arti bisa dibenarkan dari sudut pandang keagamaan dan logika) jika dikatakan bahwa hukum nikah adalah wajibsekaligus tidak wajib.Kasus-kasus lain pula tidak lepas dari pertanyaan semacam itu.

Untuk menyelesaikan masalah ini, al-Sha‘ranimenyatakan bahwa seluruh

29Ibid.,Juz. I, 10.

ketentuan Shari’ah mengandung dua alternatif ketentuan hukum. Pemberlakuan dua alternatif tersebut dengan skala prioritas yang berjenjang, yaitu ketentuan hukum yang lebih ketat (‘azimah) dan yang lebih ringan (rukhsah).30Tidak ada satu pun

masalah yang diatur dengan satu versi aturan hukum dan diberlakukan bagi semua orang secara kaku dalam segala ruang, waktu, dan kondisi.

Pendapat semua imam mujtahid menurut al-Sha‘rani tidak ada yang semata-mata memilih tashdid dan takhfif saja dalam segala kasus dan situasi. Pada saat tertentu, ada ulama mengambil posisi

takhfif, sedangkan pada saat lain cenderung memilih yang tashdid. Hal itu karena masing-masing mengambil kesimpulan berdasarkan dalil-dalil dan ketentuan al-Shari’ yang (kebetulan) mereka peroleh..31

Manakala mereka mengetahui ada riwayat sahih bahwa (pada suatu kasus tertentu) Rasulullah SAW. mengambil posisi tashdid, maka mereka akan memilih posisi

tashdid.Sebaliknya,jika pada kasus atau situasi yang lain Rasulullah SAW. memilihtakhfif, mereka pun akan mengikutinya.32

Dengan menghimpun pendapat semua madhhab, maka pengertian Shari’ah Islam menjadi sangat luas dan lentur. Mengambil salah satu saja dari alternatif-alternatif yang tersedia itu secara ketat adalah sama sekali tidak dibenarkan. Karena jika yang dipilih hanya yang tashdid

dan kemudian diberlakukan secara ketat dan menyeluruh bagi semua orang, maka dapat menimbulkan kesulitan bagi sebagian besar umat. Sebaliknya jika yang dipilih hanya takhfifsaja, maka semarak syiar Islam akan lenyap dari kehidupan umat.

Atas dasar pemikiran tersebut, pendapat semua mujtahid hendaknya

30Ibid.,Juz. I. 4.

(8)

M. Adib Hamzawi,Elastisitas Hukum Islam… 31

diletakkan dalam kerangka pikir ‘azimah

dan rukhsah.Suatu konsep hukum dikategorikan ‘azimah jika lebih mencerminkan sikap berhati-hati

(ikhtiyat)dalam pengamalan ajaran agama.Sedangkan konsep hukum yang lebih ringan dikategorikan sebagai

rukhsah.33

Hukum ‘azimah harus senantiasa diprioritaskan dan bersifat mengikat jika situasinya relevan. Hal itu karena pengalaman ajaran agama merupakan cermin dari loyalitas seseorang kepada Allah. Dalam kondisi normal, seorang hamba Allah harus memilih untuk mengamalkan hukum yang mencerminkan loyalitas paling optimal (’azimah), Jika kondisinya tidak memungkinkan, barulah dia boleh mengambil alternatif pada prioritas berikutnya (rukhsah)34.

Pengertian rukhsah dan ‘azimah di sini adalah takhfif dan tashdid secara mutlak dalam pengertian yang luas, di mana yang satu merupakan pasangan bagi yang lain.35Begitu pula perbedaan norma

hukum ke dalam kelompok rukhsah dan

‘azimah berlaku di semua aspek kehidupan manusia.

Konsep rukhsah dan ‘azimah al-Sha’rani sedikit berbeda dengan pandangan sebagian ulama. Pertama, dalam konsep sebagian ulama, bidang-bidang yang mengandung ketentuan rukhsah dan

‘azimah lingkupnya lebih sempit, yakni dalam masalah yang secara tegas dijelaskan dalam nash.Sedangkan menurut al-Sha‘rani, ruang lingkupnya meliputi semua bidang kehidupan, sekalipun tidak dijelaskan oleh

nash. Prinsip itu didasarkan pada generalisasi makna firman Allah, “Dia tidak

33Memang dalam kenyataannya tingkat kesulitan dalam mengamalkan ketentuan-ketentuan hukum ‘azimah pada umumnya lebih tinggi dibandingkan yang rukhs}ah, namun hal ini bukan menjadi hal yang mutlak.

34 Ibid.

35Ibid.,Juz. I, 14.

membebani hambanya melebihi batas kemampuan yang dimilikinya”(QS. 2: 233 & 286; 5: 8٧ dan 23:6٢)36.

Kedua, pada umumnya ketentuan hukum yang dijelaskan secara eksplisit olehnash dianggap tetap dan seragam bagi semua orang. Ketentuan ini menjadi target final dari semua upaya pengamalan aturan shari’ah.Adapun menurut al-Sha‘rani, konsep distingsi itu hanya sebagai bagian dari tahapan proses dinamis penghayatan setiap individu dalam menjalankan ajaran agamanya.

Selanjutnya al-Sha‘rani juga menyatakan bahwa pada dasarnya semua mujtahid selalu menyediakan dua alternatif aturan hukum, yakni ketika hukum itu diamalkan dalam situasi yang berbeda. Salah kalau ada yang mengira bahwa jika seorang imam mujtahid mengambil pendapat ‘azimahberarti tidak menyetujui

rukhsah pada kondisi yang berbeda, atau sebaliknya jika imam itu mengambil pendapat rukhsah tidak menyetujui

‘azimah-nya.37

Secara substansial, semua interpretasi perintah dan larangan Shari’ahke dalam lima kategori hukum

(wajib, sunah, mubah, makruh dan haram)

merupakan hasil dari sebuah dialektika penafsiran dalam kerangka stratifikasi ini. Bagi mereka yang mengambil posisi takhfif, maka sebuah perintah Shari’ahdipandang sebagai hukum sunah. Sedangkanbagi yang mengambil posisi tashdid, maka (demi menyempurnakan kualitas imannya) perintah itu dimaknai sebagai hukum wajib.

Demikian pula bagi yang mengambil sikap

takhfif, sebuah larangan ditafsirkan sebagai isyarat hukum makruh, sedangkan bagi yang mengambil posisi tashdid, larangan dimaknai sebagai haram.

Meskipun semua pendapat para ulama adalah benar, namun pengalaman

36 Ibid., Juz. I, 4.

(9)

32 Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35 aturan Shari’ahbukan urusan selera hingga

berlaku hak pilihan bebas (takhyir al-mutlaq)38. Dalam arti bahwa setiap orang

boleh memilih konsep hukum mana saja yang disukainya baik yang rukhsah

maupun‘azimah.39Konsep dua martabat

mizan al-Sha‘raniini harus diberlakukan secara prinsip urutan kewajiban (al-tartib al-wujubi). Seseorang yang mampu melaksanakan hukum ‘azimah (tashdid)

secara moral tidak diperbolehkan memilih untuk mengamalkan aturan hukum yang lebih ringan (rukhsahatau takhfif).

c. Prinsip proporsionalisme dalam implementasi hukum

Dalam al-Mizan al-Kubra, al-Sha‘raninampak sangat menganjurkan prinsip bermadhhab sekaligusmemberikan petunjuk tentang pemilihan madhhab hukum yang hendak diamalkan. Pemilihan madhhab hukumselain ditentukan dari otentisitas sumber (dalil) dan logika penyimpulannya (istinbat) secara teoritik, juga harus memperhatikan konteks dalam pengamalannya. Dalam arti siapa yang

mengamalkan dan dalam kondisi

bagaimana hukum itu diamalkan.40

Pemilihan madhhab hukum

berdasarkan tiga kriteria di atas menunjukkan bahwa nilai etik religius dalam pengamalan ajaran Shari’ah tidak semata-mata dilihat dari sisi obyektif bentuk formalnya. Lebih jauh lagi juga harus dikaitkan dengan faktor subyektif

38 Ibid., Juz I, 10.

39 Seperti dinyatakan oleh al-Sha‘rani, bagian inilah yang sering disalahpahami, termasuk oleh para ulama, sehingga mengesankan seolah-olah

al-Mizan memberikan pembenaran terhadap prinsip pilihan bebas, termasuk yang berdasarkan kemauan dan selera pribadi.

40Prinsip proporsionalisme mengacu pada penekananbahwa manusia adalah makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri.Makhluk yang berakal dan berkehendak sendiri, serta memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dirinya dan memiliki kesadaran mandiri atas apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ibid., 104-116.

personal berupa semangat keberagamaan, hambatan yang dihadapi serta penghayatan moral individu yang menjalankannya. Secara formal sejumlah orang bisa melakukan perbuatan yang sama, misalnya sama-sama memberikan sedekah senilai Rp. 100.000,- namun nilai etiknya menurut Shari’ah bisa berbeda antara orang satu dengan lainnya.

Pandangan al-Sha‘ranitersebut berbeda dengan pandangan para fuqaha’

kebanyakan. Para faqih pada umumnya berpandangan bahwa kesimpulan hukum yang diperoleh lewat istinbat merupakan hasil final yang tinggal diterapkan dan berlaku untuk selamanya bagi semua

mukallaf. Meskipun kesimpulan itu masih terbuka peluang untuk dikritisi, dikaji ulang atau ditangguhkan penerapannya dengan menggunakan ketentuan hukum yang lebih ringan dalam kondisi darurat, namun prinsip aplikasi yang dipakai tetap bertolak dari asumsi hukum tunggal yang berlaku secara tetap dan general.41

Di samping itu, pemilihan konsep hukum menurut al-Sha‘rani harus dilakukan berdasarkan kondisi individual yang dinamis42. Setiap muslim harus

mengamalkan pandangan hukum yang paling proporsional sesuai dengan kondisi

masing-masing. Dalam pemilihan

kesimpulan hukum, al-Sha‘rani

menyatakan bahwa seorang muqallid bila kondisinya memungkinkan hendaknya (atas kesadarannya sendiri) tidak mengamalkan rukhsah. Meskipun rukhsah

tersebut merupakan fatwa imam

41 Cara pandang seperti itu, akan berimplikasi pada pola penilaian moral yang bersifat "hitam putih" secara ekstrim terhadap semua orang. Karena semua orang hanya dibedakan menjadi dua kategori saja, yakni yang patuh (taat)

dan mereka yang melanggar (ma'siyat). Sedangkan dengan cara pandang al-Mizan,penilaian bersifat kuantitatif sesuai dengan proporsi kesempurnaannya dalam menjalankan ajaran shari‘ah itu.

(10)

M. Adib Hamzawi,Elastisitas Hukum Islam… 33

madhhabnya. Seorang muslim seharusnya mengamalkan ‘azimah seperti yang difatwakan oleh selain imam madhhabnya jika memang mampu. Al-Sha‘rani berargumentasi bahwa pada dasarnya hukum harus mengacu pada pernyataan al-Shari‘ dan bukan kepada lainnya. Terlebih lagi bila dalil yang dipergunakan sebagai dasar hukum selain madhhabnya tersebut lebih meyakinkan.43

Ukuran untuk memilih pendapat hukum adalah berdasarkan kemampuan maksimal masing-masing individu sesuai dengan kondisi obyektif dan subyektivitas tingkat “kesadarannya” sendiri. Izin pengamalan hukum rukhsah hanya berlaku bagi yang tidak mampu mengamalkan

‘azimah. Dalam kondisi itu, maka hukum-hukum rukhsahbagi orang itu telah menempati posisi ‘azimah. Model pengamalan ajaran agama yang bercorak komunal dan seragam bagi semua individu hingga dalam rincian aturan teknisnya menurut al-Sha’rani bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi ruh utama Shari’ah. Pola keseragaman justru mengabaikan dinamika penghayatan religius yang seharusnya bergerak dinamis sepanjang masa.Dalam hal ini, al-Sha‘ranitampak berupaya mengintrodusir semacam ide personalisme etik ke dalam pemikirannya mengenai asas pengamalan hukum yang membedakannya dari sebagian fuqaha’ lainnya.

Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan dua catatan penting yang secara tersirat terdapat dalam pemikiran al-Sha’rani. Pertama, pengamalan hukum Shari’ah setiap individu seharusnya terus bergerak secara dinamis dari hukum-hukum yang lebih ringan (takhfif) ke arah yang lebih berat (tashdid) sejalan dengan perkembangan religiusitasnya.

Kedua, pengamalan hukum

seharusnya tidak dibatasi secara ketat

43 Ibid., Juz I, 10.

dengan sekat-sekat madhhab. al-Sha‘ranimenyatakan; “Tidaklah sempurna pengamalan seorang mukmin terhadap ajaran Shari’ah jika selamanya dia hanya mengikatkan dirinya secara tetap dengan satu madhhab tertentu dalam segala hal”.44

Setiap muqallid yang telah berhasil meningkatkan pemahamannya tentang hukum hingga mampu “melihat” sumber mata air yang suci ('ain Shari’ah al-mutahharah), tidak lagi diharuskan mengikatkan diri hanya kepada suatu madhhab tertentu. Hal tersebut karena dia telah dapat melihat keterkaitan antara pendapat semua imam mujtahid dengan sumber utama Shari’ah.

Apabila pendapat yang diambil dan diamalkan tersebut secara kebetulan sesuai dengan pandangan madhhab tertentu, maka hal itu disebabkan oleh beberapa hal. (1). Pendapat tersebut termasuk dalam dalam kerangka pikir takhfif dan tashdid. (2). Secara kondisional ia memang berada pada tingkatan pendapat yang diambil. (3). Ia atas kesadarannya sendiri memilih madhhab yang lebih mencerminkan sikap hati-hati dalam menjalankan ajaran agama atas dasar motivasi tatawwu'.

Adapun bagi umat Islam yang belum mampu menyimpulkan secara mandiri ketentuan hukum Shari’ah dari sumbernya,

diperintahkan mengikuti secara

bertanggung jawab salah satu diantara para mujtahid yang mereka ketahui dan percayai, tanpa memperdulikan madhhab manapun yang mereka pilih. Hal ini bukan

untuk membatasi kebebasannya,

melainkan demi menghindari sikap memilih-milih secara tidak bertanggung jawab, serta dari preferensi berdasarkan keinginan hawa nafsu, baik yang timbul dari dirinya sendiri maupun dari orang yang diikutinya.

Penutup

(11)

34 Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35 Permasalahan ikhtilafdalam bentuk

pluralitas hukum Islam tidak semestinya dibiarkan berujung konflik yang dapat

menyebabkan disintegrasi umat.

Keragaman pendapat hukum merupakan keniscayaan akibat perbedaan metode istinbat, sudut pandang dan lingkungan sosio historis sekitar mujtahid. Maka yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana mengelola keberagaman tersebut agar menjadi berkah. Salah satu caranya ialah mengikuti prinsip al-Sha’rani yang memandang bahwa fiqih bersifat elastis.

Elastisitas hukum Islam dapat terwujud melaluipemaknaan shari‘ah Islam secara luas. Aplikasinya dengan menjustifikasi kebenaran kesimpulan

hukum seluruh imam mujtahid,

pemberlakuannya sepanjang masa secara proporsional sesuai dengan stratifikasinya. Perbedaan kesimpulan hukum pada dasarnya tidak saling bertentangan, karena bermuara pada sumber yang sama. Oleh karena fitrah manusia diciptakan Allah dalam dua bentuk, yang kuat dan yang lemah, maka proporsional berarti bahwa hukum yang ringan (takhfif) adalah kemurahan (rukhsah) bagi umat Islam yang lemah. Adapun hukum yang berat (tashdid) merupakan ‘azimah dan berlaku bagi umat Islam yang kuat dan menghendaki kesempurnaan ibadah.

Kajian ini memerlukan elaborasi lebih lanjut, mengingat al-Sha’rani dengan sikap husn al-zannnya menyerahkan pemilihan kesimpulan hukum antara yang ringan (takhfif/rukhsah) dan yang berat (tashdid/‘azimah) pada moral individu umat Islam. Namun kapasitas pengetahuan ajaran agama mayoritas umat Islam kurang memadai, serta meningkatnya gejala degradasi moral, maka sudah seharusnya ada kajian khusus yang membahas mengenai batasan-batasan takhyir

(pemilihan) kesimpulan hukum tersebut. Pada akhirnya, umat Islam hendaknya senantiasa terus memperluas

cakrawala pengetahuannya mengenai shari‘ah Islam. Dengan begitu, konflik sektarian akibat ta‘assub (fanatisme buta) madhhab tertentu dapat diminimalisir. Selain itu, ajaran Islam sudah seharusnya dilaksanakan secara fleksibel dengan memperhatikan faktor sosio kultur masyarakat dan kekuatan individu umat Islam sebagai pengamalnya. Apabila ini dapat diaplikasikan, maka syiar Islam sebagai agama yang rahmah li al-alaminakan terwujud secara lebih sempurna.

Bibiography

’Awwama, Muhammad. Athar Hadith Sharif fi Ikhtilaf Aimmat al-Fuqaha’.Kairo: Dar al-Salam, 1987. Abdul, Jamal Aziz.“Dilema Hukum Islam,

antara Kemutlakan dan Kenisbian”,

Jurnal Hermenia, Volume 2, Nomor 1. Januari, 2005

al-Asymawi, Muhammad Saied. “Fiqh Islam” dalam Heijer, Johannes den. et.al. (eds). Islam Negara dan Hukum.Jakarta: INIS, 1993.

al-Musawi, A. Sharif al-Din. Isu-isu Penting Ikhtilaf, terj. Bandung: Mizan, 1993. al-Subki,Taj al-Din Abd. al-Wahab bin

‘Ali.Jam‘ al-Jawami‘. Mesir: Maktabah Dar al-Kutub al-Arabiyah, tt.

Amin, Ahmad. Duha al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahd}ah al-Mis}ri>yah, tt.

Anderson, JND. Islamic Law in Modern World. New York: New York University Press, 1959.

Bungin, Burhan (ed). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Coulson, Noel J. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago: The University of Chicago Press, 1969. Hasbi, T.M. Ash-Shiddieqy. Dinamika dan

(12)

M. Adib Hamzawi,Elastisitas Hukum Islam… 35

Kamal, Taufiq (ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1988.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rieka Sarasin, 1996.

Muhammad Hashim Kamali dalam tulisannya ”Law and Society”, The Oxford History of Islam (Oxford: Oxford University Press, 1999),

Nasution, Lahmuddin. Pembaruan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

`Qardhawi, Yusuf.‘Awamil Sa‘ah wa al-Murunah fi al-Shari‘ah al-Islamiyah. Beirut: Dar al-Fikr. 1998

Romli, SA.Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Sa‘id, Amīr al-Zaybari. Kayfa Takunu

Faqihan; Mukhtasar Kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih li al-Khatib al-Baghdadi. Tt: Dar Ibn Hazm, tt.

Wahid, Abdurrahman. “Menjadikan Hukum

Islam Sebagai Penunjang

Pembangunan”.JurnalPrisma. Jakarta: LP3ES, nomor 4, Agustus, 1995.

Watt, William Montgomery. Islam, terj. Imron Rosadi. Yogyakarta: Jendela, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

negatif terhadap keberhasilan turnaround, free assets juga berpengaruh positif terhadap keberhasilan turnaround namun tidak signifikan, CEO turnover (pergantian CEO)

[r]

Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001. Constant is included in

Muhammad Zarlis dan Bapak Muhammad Andri Budiman, ST., M.Comp.Sc.,M.E.M selaku Sekertaris Prodi Magister Teknik Informatika Universitas Sumatera Utara dan sekaligus

[r]

Bagan dan Semifrase Lagu Bengawan Solo Yang Dinyanyikan Waldjinah ... Ornamentasi Lagu Bengawan Solo Yang Dinyanyikan Waldjinah

metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,

[r]