• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas 1 Hukum Administrasi Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas 1 Hukum Administrasi Negara"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas 1 Hukum Administrasi Negara

Nama : Andree Nugroho

NIM : 020713128

TUMPANG TINDIH PERATURAN DAERAH DAN PUSAT TERHADAP

PEMUNGUTAN PENERIMAAN NEGARA DARI HASIL TANDAN

BUAH SEGAR KELAPA SAWIT YANG MENGAKIBATKAN

PUNGUTAN GANDA (DOUBLE TAXATION)

SUATU CONTOH KASUS DALAM KAJIAN PERMASALAHAN

HUKUM

ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA

Bagian 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Sebagai bentuk perjalanan bangsa Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis, reformasi terhadap otonomi daerah menjadi suatu hal yang penting. Hal ini dipertegas dengan disahkannya UU no. 32 tahun 2004 yang mengatur peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sebagaimana dijelaskan dalam dasar pertimbangan UU no. 32 tahun 2004, Otonomi daerah intinya adalah suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan pembangunan yang berdasarka wewenang penetapan keputusan permerintah daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan keistimewaan daerah masing-masing.

Dengan demikian penegasan otonomi daerah sebagaimana dijelaskan dalam alinea diatas tentu membawa implikasi tersendiri bagi sistem hukum administrasi negara di Indonesia. Implikasi positifnya yaitu harapan adanya perbaikan fungsi regeling pemerintah menuju arah peraturan-peraturan yang lebih demokratis dan sesuai dengan aspirasi masyarakat yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Implikasi negatifnya adalah potensi terjadinya overlapping antara peraturan perundangan produk pemerintah pusat dan peraturan perundangan produk pemerintah daerah.

(2)

pemerintah daerah dalam bidang-bidang hukum yang termasuk dalam tatanan keilmuan hukum administrasi negara yang nyata-nyatanya saling overlapping dan bahkan bertentangan. Ketua DPD RI Irman Gusman, sebagaimana dilansir oleh portal berita daring www.empatpilarmpr.com , menjelaskan bahwa tidak adanya harmoni peraturan perundang-undangan terjadi di hampir semua jenis dan tingkat peraturan perperundang-undangan-perundang-undangan – ketidak harmonisan ini terjadi baik secara horizontal maupun vertikal, sampai-sampai peraturan antara pemerintah daerah tingkat I dengan tingkat II saja bisa tidak harmonis.

Perkembangan ini sungguh sangat merisaukan sebab ketidak harmonisan produk hukum antar lingkungan pemerintah akan mengakibatkan inkonsistensi hukum yang dapat menghambat efektivitas instrumen wet in regeling sebagai alat negara dalam pelaksanaan hubungan istimewa negara dengan rakyatnya (fungsi pelayanan publik). Hal yang demikian tentu secara langsung akan mempengaruhi secara negatif inti dari hubungan istimewa tersebut, yakni tugas negara untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Penulis menyadari bahwa ruang lingkup dari fenomena tumpang-tindihnya produk hukum adminstrasi negara mencakup berbagai bidang yang luas, dan tidak mungkin semuanya dibahas didalam makalah singkat ini. Oleh sebab itu penulis memutuskan untuk mengangkat sebuah permasalah spesifik sebagai suatu contoh kasus faktual, yakni permasalahan overlapping peraturan pemungutan pendapatan negara yang berasal dari hasil pengolahan sumber daya alam berupa Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang mengakibatkan terjadinya pungutan ganda (double taxation) terhadap penjualan TBS.

Penulis merasa bahwa masalah yang diangkat ini adalah cukup representatif dalam menggambarkan dampak negatif dari fenomena overlapping produk hukum terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini didasari oleh fakta bahwa industri perkebunan kelapa sawit adalah salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian rakyat banyak, sebab seperti yang kita ketahui, industri perkebunan kelapa sawit adalah industri yang padat karya dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat; selain itu data statistik menunjukkan bahwa selain menjadi sasaran usaha bagi pengusaha-pengusaha, diperkirakan sekitar 80 persen dari total keseluruhan lahan perkebunan sawit adalah perkebunan rakyat yang menjadi sandaran ekonomi bagi sekitar 15 juta keluarga di Indonesia – atau kurang lebih hampir 25 persen dari rakyat Indonesia. Hal ini berarti produk-produk hukum yang inkonsisten dan memberatkan industri ini dengan praktek pemungutan ganda/double taxation sangat berpotensi mempengaruhi kesejahteraan rakyat banyak secara negatif.

(3)

Makalah ini disusun dengan metodologi penulisan sebagai berikut :

a. Deskripsi contoh kasus double taxation terhadap objek TBS Kelapa sawit dan analisis peraturan perundangannya yang melandasinya

b. Analisis implikasi contoh kasus dalam secara yuridis dan sosial ekonomi

c. Analisisis implikasi contoh kasus tersebut berdasarkan teori-teori dasar hukum administrasi negara

d. Kesimpulan dan Saran

Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam memaparkan masalah yang dituangkan kedalam makalah ini adalah metode penelitian kepustakaan yang bersumber dari buku-buku mengenai Hukum Administrasi Negara, artikel-artikel daring, dan Perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang dibahas.

C.

Tujuan

Selain dari pemenuhan syarat dalam proses pembelajaran mata kuliah Hukum Administrasi Negara, penulis berharap dapat memberikan analisis yang jelas akan masalah tumpang tindih produk hukum dalam sistem hukum administrasi Indonesia melalui sebuah contoh kasus, serta memberikan sumbangsih pikiran berupa saran solusi sesuai dengan pemahaman penulis.

Penulis menyadari bahwa pemahaman penulis mengenai Hukum Administrasi Negara sebagai sebuah sistem kaidah hukum yang luas serta hukum perpajakan dan hukum lainnya yang berkaitan dengan pendapatan negara sebagai sebagai subsistem kaidah hukum adminstrasi negara masih teramat sangat terbatas, oleh sebab itu penulis sangat menghargai koreksi dan kritik yang membangun sebagai suatu sarana untuk mengembangkan dan meningkatkan pemahaman penulis akan hal-hal tersebut.

Bagian 2

Pembahasan

A. Deskripsi Contoh Kasus double taxation dan peraturan perundangan yang melandasinya

(4)

adalah kontributor ketiga terbesar ekonomi Indonesia setelah industri pengolahan dan perdagangan.

Data BPS menunjukkan bahwa kontribusi sektor perkebunan bagi PDB Indonesia pada tahun 2014 adalah 3,77 persen atau menepati urutan pertama di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Selain daripada itu sektor perkebunan adalah sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi dan menghasilkan Devisa. Sehingga dapat dikatakan bahwa sektor perkebunan (perkebunan sawit khususnya) sebagai subsektor agrobisnis Indonesia, adalah subsektor unggulan dari industri agrobisnis Indonesia.

Beranjak dari beberapa fakta diatas, dapat kita katakan bahwa perkebunan sawit adalah subsektor potensial yang dapat memberi sumbangsih yang berarti bagi pembangunan negara melalui pemungutan pendapatan negara berupa pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan bea ekspor CPO.

Oleh sebab itu dalam rangka mewujudkan sumbangsih , negara dalam operasional administratifnya telah menetapkan beberapa peraturan (regeling) sebagai instrumen pengaturannya yaitu :

a. mengenai perpajakan seperti UU no. 18 Tahun 2000 mengenai pajak pertambahan nilai secara yang belaku juga bagi komoditas hasil perkebunan kelapa sawit, yang secara spesifik diatur melalui SE Dirjen Pajak No. SE-02/PJK/01 yang memasukkan hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN.

b. Selanjutnya ada juga peraturan perpajakan umum yakni Pajak Penghasilan (PPh badan ataupun perorangan) yang dikenakan juga kepada para pelaku industri perkebunan berbadan hukum ataupun perseorangan, sesuai dengan UU no. 7 tahun 1983 dan perubahan-perubahan terkininya dalam UU no. 36 tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan.

c. Kemudian, pendapatan negara dari komoditas kelapa sawit dan turunannya juga dikenakan bea ekspor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 136/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012

(5)

a. menyediakan Dana bagi pengembangan Usaha Perkebunan yang berkelanjutan;

b. meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Perkebunan;

c. mendorong pengembangan industri hilir Perkebunan;

d. meningkatkan optimasi penggunaan hasil Perkebunan untuk bahan baku industri, energi terbarukan, dan ekspor;

e. meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan Usaha Perkebunan dengan mengoptimalkan harga ditengah fluktuasi harga komoditas Perkebunan dunia; dan

f. mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan Pekebun/Perkebunan rakyat dari dampak negatif gejolak harga komoditas dunia.

Sebagaimana telah dipaparkan pada alinea-alinea sebelumnya, penulis berpendapat bahwa pemerintah (dalam hal ini pemerintah pusat) dalam fungsi administratif penyelengaraan negara telah menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan ( wet en regeling) pada sektor industri kelapa sawit dengan tujuan-tujuan utama sebagai berikut :

1. Mengamankan penerimaan negara dari industri kelapa sawit agar dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional secara menyeluruh

2. Pengumpulan dana dari industri kelapa sawit yang oleh pemerintah akan disalurkan untuk program-program pembangunan yang secara spesifik berkaitan dengan penguatan industri kelapa sawit.

Oleh karena besarnya kontribusi industri kelapa sawit bagi ekonomi nasional, penulis berpendapat bahwa tindakan administratif negara – melalui instrumen perundangan (wet en regeling)- untuk mewujudkan kemakmuran bangsa Indonesia melalui penerimaan negara dari industri kelapa sawit untuk pembangunan nasional dan upaya konservasi kesinambungan industri kelapa sawit sebagai salah satu sektor industri yang berkontribusi besar terhadap ekonomi negara, adalah suatu tindakan administratif negara dalam subsistem hukum administrasi negara berupa hukum-hukum yang mengatur pendapatan negara (salah satunya undang-undang perpajakan). Peraturan perundangan yang demikian itu tentunya termasuk dalam ranah kebijakan fiskal nasional negara.

(6)

hasil industri kelapa sawit oleh pemerintah pusat adalah bagian dari wewenang pemerintah pusat dalam kebijakan fiskal nasional.

Namun demikian, dalam prakteknya penulis menemukan pungutan dari hasil industri kelapa sawit tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Reformasi dibidang otonomi daerah ternyata juga membawa pengaruh terhadap sistem pemungutan pendapatan negara dari industri kelapa sawit.

Di beberapa daerah, pemerintah daerah melalui kewenangan legislasi yang melekat dengan kewenangan otonominya, kemudian menafsirkan wewenang pengambilan kebijakan mengenai pemungutan pendapatan daerah berupa pajak daerah,retribusi-retribusi, dan PAD lainnya yang diatur didalam UU no 33 Tahun 2004 mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagai suatu landasan hukum untuk mengeluarkan Perda yang menargetkan hasil industri perkebunan kelapa sawit (TBS Sawit) sebagai objek pajak daerah dan retribusi-retribusi lainnya.

Beberapa contoh yang dapat penulis temukan adalah :

1. Perda Kabupaten Bangka No. 25 Tahun 2001 tentang Pajak Tandan Buah Segar, dengan ketentuan tarif pajak sebesar 1,5 %

2. SK Bupati Bangka No. 09 Tahun 2001 tentang Penerimaan Sumbangan dari Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit, yakni sebesar Rp 100 juta untuk Tahun 2001, Rp 200 juta untuk Tahun 2002, dan berdasarkan musyawarah kedua pihak (pengusaha dan pemda) untuk tahun-tahun berikutnya (Pasal 2)

3. Perda Kabupaten Labuan Batu No.35 Thn 2002 tentang Perizinan Usaha Perkebunan, dimana para pelaku usaha di bidang usaha budidaya perkebunan (dengan luas lahan minimal 25 ha) maupun usaha industri perkebunan wajib memiliki Ijin Usaha Perkebunan (IUP), dengan kewajiban membayar retribusi dengan besaran tarif adalah: usaha budidaya perkebunan Rp 5.000/ha, Daftar ulang izin Rp2.500/ha, Izin usaha industri perkebunan: untuk pabrik minyak kelapa sawit Rp 1-4,5 juta); untuk pabrik pengolahan karet (Rp 1-3 juta); dan untuk pabrik pengolahan kakao (Rp 1-2 juta). Pematokan tarifnya berdasarkan bobot kapasitas terpasang per hari. Selain itu diluar kewajiban membayar retribusi di atas, orang pribadi/badan usaha dikenakan kewajiban menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi sekitarnya (community development/CD).

(7)

diperhitungkan sebagai persentase dari harga per unit jual (Kilogram) komoditas yang dimaksud

Perda-perda tersebut diatas secara langsung berakibat adanya pungutan ganda (double taxation) bagi pelaku industri kelapa sawit, sebab objek daripada pungutan yang ditargetkan oleh pemerintah daerah terkait adalah objek yang sama yang telah ditargetkan pemerintah pusat sebagi objek pemungutan pemerintah pusat melalui PPN, PPh, Bea Ekspor, dan Penghimpunan dana perkebunan.

Penulis berpendapat bahwa fenomena perda-perda tersebut adalah suatu bentuk terjadinya overlapping antar peraturan perundangan dalam tatanan hukum administrasi negara Indonesia. Overlapping ini memiliki dampak yuridis berupa inkonsistensi hukum yang akan mempersulit efektivitas penyelengaraan administrasi negara dan dampak sosial yaitu terciderainya hak masyarakat akan kepastian hukum dan pembebanan biaya pembangunan nasional yang tidak proporsional terhadap sekelompok masyarakat (dalam hal ini pelaku industri kelapa sawit). Adapun implikasi-implikasi tersebut akan penulis coba jabarkan lebih lanjut dalam bagian selanjutnya dari makalah ini.

B. Analisis implikasi contoh kasus secara yuridis dan dampak ekonomi bagi pelaku industri sawit

Penulis berpendapat bahwa secara yuridis, perda-perda pada contoh kasus diatas sebenarnya bertentangan dengan beberapa undang-undang yang secara hierarki perundangan di Indonesia lebih tinggi kedudukannya dari Perda. Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam UU no. 12 tahun 2011 Pasal 7 ayat 1, hirearki perundangan di Indonesia adalah :

a. UUD 1945 b. Ketetapan MPR

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dengan demikian berdasarkan strata perundangan tersebut, maka sebenarnya Perda yang menargetkan hasil perkebunan kelapa sawit (TBS Sawit) secara langsung bertentangan dengan :

(8)

pemerintah dalam ketentuan pasal 4A ayat 2 UU No.18 Tahun 2000 (yang mengatur ihwal Pajak Pertambahan Nilai) serta penegasannya melalui SE Dirjen Pajak No. SE-02/PJK/01, UU no. 7 tahun 1983 dan perubahan-perubahan terkininya dalam UU no. 36 tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan, dan Peraturan Menteri Keuangan 136/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 mengenai bea ekspor CPO (sebagai produk turunan hasil perkebunan kelapa sawit)

b. Pasal 2 ayat (2) UU no. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang tidak memasukan TBS sebagai bagian dari jenis-jenis pajak kabupaten atau kota. c. Pasal 2 ayat (2) poin (d), (f) dan (g) UU no.34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang melarang pemerintah daerah membentuk Perda pajak daerah yang sudah menjadi objek pajak pemerintah pusat, memberikan dampak ekonomi negatif dan tidak sesuai dengan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Pada intinya Perda-perda tersbut adalah suatu bentuk double taxation karena membebani objek pajak yang telah dipajak oleh pemerintah pusat sehingga jelas-jelas bertentangan dengan poin (d), dan mengakibatkan meningkatnya beban biaya industri kelapa sawit yang berakibat negatif bagi perekonomian masyarakat pelaku pekebuanan kelapa sawit – sehingga bertentangan juga dengan poin (f) dan (g).

d. Pasal 7 ayat (1) UU no. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang melarang pemerintah daerah menetapkan pemerintah daerah menetapkan Perda yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan double taxation adalah salah satu elemen dari ekonomi biaya tinggi.

Selain daripada implikasi yuridis yang telah dijabarkan dalam alinea sebelumnya, praktek double taxation ini jelas akan berdampak negatif bagi perekonomian pelaku perkebunan kelapa sawit, terutama bagi para pemodal kecil dan petani sawit swadaya (Perkebunan Rakyat). Adapun penyebabnya adalah :

(9)

 Pemotongan PPN TBS oleh pihak pabrik CPO sebenarnya sudah sesuai dengan sistem perpajakan, dimana kemudian petani seharusnya bisa meng-offset PPN penjualan mereka dengan PPN yang telah mereka bayarkan pada pembelian material-material pendukung usaha (pupuk, alat-alat pengolahan lahan, alat perlengkapan perkebunan, dll) pada saat melaporkan SPT. Namun pada kenyataan dilapangan, banyak petani sawit plasma dan swadaya (perkebunan rakyat) yang masih belum mengerti tata cara sistem perpajakan, atau bahkan belum terdaftar sebagai wajib pajak, sehingga beban PPN yang mereka tanggung menjadi lebih besar daripada yang seharusnya mereka bayarkan.

 Perhitungan pemotongan Perda-Perda tersebut tidak menyasar persentase dari keuntungan petani, tapi dari volume penjualan total ataupun harga penjualan per unit. Hal ini berarti Perda-perda ini sangat memberatkan karena tidak memperhitungkan faktor biaya yang harus dikeluarkan para petani sawit dalam menjalankan usahanya

b. Belum lengkapnya atau bahkan belum adanya produk hukum yang mengatur tata niaga sawit, khususnya mekanisme penetapan harga berdasarkan ambang batas minimum harga TBS kelapa sawit bagi para petani sawit plasma dan swadaya, berarti para petani sawit adalah pihak yang paling terkspos terhadap ketidakpastian (volatility) harga komoditas TBS. Penyebab-penyebab utamanya antara lain adalah volatilitas harga CPO di pasar dunia dan regulasi pemerintah mengenai bea ekspor CPO dan penghimpunan dana perkebunan yang dibebankan kepada eksportir CPO, kedua faktor ini akan mengakibatkan para pelaku industri produksi CPO menekan biaya produksi dengan jalan menekan harga pembelian bahan baku (TBS Kelapa Sawit). Praktek “efisiensi biaya” yang dilakukan oleh pabrik CPO yang tidak dibatasi oleh produk hukum tata niaga sawit yang berpihak kepada para petani sawit mengakibatkan sering terjadinya pemangkasan harga yang membuat petani sawit merugi. Dengan demikian pemotongan oleh Perda-Perda yang memotong pendapatan dan bukan keuntungan, semakin memperparah kondisi petani yang kemungkinan besar sudah merugi akibat harga jual yang tidak memadai.

(10)

biaya pengangkutan TBS kelapa sawit yang harus ditanggung petani kelapa sawit

Dari ketiga analisis dampak ekonomi yang telah penulis sampaikan bahwa jelaslah produk-produk peraturan pusat dan daerah yang tumpang tindih telah mengakibatkan double taxation yang membebani perekonomian masyarakat petani kelapa sawit, pungutan pemerintah yang beragam dari mulai tingkat pusat sampai dengan daerah telah menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi bagi para petani sawit. Hal ini sangat berpotensi menghambat bahkan membahayakan kelangsungan industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, suatu hal yang sangat disayangkan, mengingat sektor ini adalah salah satu kontributor terbesar bagi PDB Indonesia.

Dalam bagian selanjutnya, dalam rangka mengkaji permasalahan ini sebagai suatu masalah administratif akitivitas penyelengaraan negara, penulis akan menganalisa contoh kasus ini dalam persepektif ilmu hukum administrasi negara. Penulis akan mencoba membahas permasalahan ini dari perspektif teoritis prinsip-prinsip ilmu hukum administrasi negara yang harusnya melandasi kegitatan wet en regeling pemerintah dalam contoh kasus yang telah diuraikan sebelumnya dan kesalahan pelaksanaan kegiatan tersebut secara dari sudut pandang ilmu hukum admnistrasi negara.

C. Analisis contoh kasus terhadap teori-teori Hukum Administrasi Negara

Setiap negara di dunia ini pasti memiliki tujuan dibentuknya negara. Terlepas dari apapun tujuannya, suatu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa demi tercapainya tujuan negara tersebut, maka pemerintah sebagai organ fungsional negara yang oleh masyarakat diberikan mandat untuk menyelenggarakan pemerintahan membutuhkan suatu instrumen yang mengatur segala aktivitas pemerintahan/administrasi negara dalam mencapai tujuan tersebut – instrumen inilah yang dapat kita sebut sebagai sistem hukum administrasi negara (bestuurecht). Namun apakah sebenarnya definisi dari instrumen tersebut dan apakah ruang lingkupnya ?

(11)

Administrasi Negara, pertama-tama harus ditetapkan bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan antar organ pemerintahan...Hukum administrasi negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya (Ridwan, 2014).

Berdasarkan kutipan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa hukum administrasi negara adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan administrasi negara demi tercapainya tujuan negara tersebut. Selanjutnya, dalam konteks ruang lingkup hukum administrasi, kutipan diatas memuat kalimat “keseluruhan peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya”, penulis menyimpulkan bahwa dengan demikian ruang lingkup dari hukum administrasi negara bisa saja luas namun bisa saja sangat terbatas, tergantung kepada tugas dan peran negara yang telah digariskan dalam tujuan pendirian suatu negara.

Dengan demikian jika kita kaitkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kegiatan administrasi negara pemerintah ditentukan oleh tugas apakah yang diemban oleh Pemerintah Indonesia ? Secara umum tugas pemerintah Indonesia dapat dijabarkan sebagai tujuan dibentuknya Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea ke-empat konstitusi negara republik Indonesia (UUD 1945) khususnya pada kalimat “memajukan kesejahteraan umum”. Dengan demikian peran dan tugas pemerintah Indonesia adalah mengupayakan kesejahteraan umum (bestuurzorg) melalui kegiatan administrasi pemerintahan. Selanjutnya konstitusi Indonesia (UUD 1945) dalam pasal 1 ayat (3) mengatur bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat), ini berimplikasi bahwa setiap penyelengaraan kegiatan administrasi pemerintahan Indonesia selain bertujuan untuk mengupayakan kesejahteraan umum namun juga haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmahtige van bestuur). Hukum yang mengatur kegiatan adminstrasi pemerintah Indonesia inilah yang kita kenal sebagai Hukum Administrasi Negara Indonesia.

Hukum Administrasi Negara Indonesia pada hakikatnya memiliki ruang lingkup peraturan yang cukup luas. Hal ini sesuai dengan bentuk negara Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang materiil, yang sosial, dan yang dibentuk untuk kesejahteraan umum, atau yang secara singkat di sebut oleh Bung Hatta sebagai Verzorgingstaat atau negara pengurus.

(12)

ini dimaksudkan sebagai bentuk peran pemerintah untuk memastikan tujuan “Memajukan kesejahteraan umum” dapat tercapai. Sehingga dengan demikian Hukum Administrasi Negara Indonesia pada perkembangannya, selain mencakup Hukum Administrasi Negara Umum (algemeen deel) yang merupakan peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip umum tata administrasi negara yang tidak terikat kepada bidang tertentu, juga mencakup Hukum Administrasi Khusus (bijzonder deel) yang secara spesifik mengatur bidang-bidang tertentu seperti tata ruang, pertanahan, kepegawaian, perpajakan, pendidikan, pertambangan dan sebagainya (Ridwan, 2014).

Melihat banyaknya ruang lingkup dari Hukum Administrasi Negara di Indonesia, penulis berpendapat bahwa sesungguhnya Hukum Administrasi Negara di Indonesia adalah suatu tatanan dari kaidah-kaidah hukum dari berbagai bidang yang terkait dengan pencapaian tujuan negara, sehingga sangat pantas disebut sebagai suatu sistem. Suatu sistem memiliki sembilan sifat yang integral sebagaimana dijabarkan oleh Yos Johan Utama sebagai berikut (Y.J. Utama,2014):

1. Mempunyai tujuan

2. Mempunyai batas-batas sistem

3. Bersifat terbuka, walau dalam beberapa hal dapat bersifat tertutup 4. Terdiri dari beberapa bagian/subsistem

5. Mempunya sifat wholism atau terpadu 6. Saling terhubung

7. Melakukan kegiatan transformasi 8. Terdapat mekanisme kontrol

9. Mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri

Dari kesembilan sifat sistem tersebut, dalam kaitannya dengan asumsi Hukum Administrasi Negara sebagai sebuah sistem dan contoh kasus pada makalah ini, penulis menggaris hendak menggaris bawahi sifat sistem poin ke-5 dan ke-8.

(13)

sistem tersebut tidak akan menjadi kacau balau dan akan gagal dalam fungsinya untuk memenuhi tujuan negara.

Secara teoritis, mekanisme kontrol hirearki sistem dikemukakan oleh Hans Nawiasky dalam 4 kategori utama, dengan urutan sebagai berikut :

1. Staatsfundamentalnorm yang adalah sumber dan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar, yaitu bagi NKRI adalah Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila

2. Staatsgrundgesetz yang adalah aturan dasar negara atau konstitusi, yaitu bagi NKRI adalah batang tubuh UUD 1945

3. Formell Gesetz yang adalah norma hukum negara yang dibentuk oleh kekuasaan legislatif, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku

4. Verordnung dan Autonome Satzung : Verordnung adalah peraturan pelaksanaan yang dibentuk oleh organ pemerintahan dalam konteks pelaksanaan Formell Gesetz, sementara Autonome Satzung adalah peraturan daerah yang bersumber kepada wewenang otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah

Penulis Inti daripada teori Hans Nawiasky tersebut adalah menjamin uniformitas dan konsistensi norma hukum agar pengejewantahan semangat pembentukan negara tidak hilang dalam pelaksanaan kegiatan administrasi negara berupa regeling oleh pemerintah, sehingga mekanisme kontrol sistem hukum ini sangat penting diterapkan dalam kegiatan regeling pemerintah dalam konteks sistem hukum Administrasi Negara. Pendapat penulis ini diperkuat oleh fakta bahwa teori ini dipositifkan sebagai perundangan oleh pemerintah dalam UU no. 12 tahun 2011 Pasal 7 ayat 1 yang mengatur hirearki perundangan di Indonesia.

Jika kita telaah kembali contoh kasus yang penulis angkat pada makalah ini, maka fenomena double taxation dan implikasi-implikasi yuridisnya (sebagaimana telah penulis jabarkan dalam bagian sebelumnya) adalah suatu bentuk gamblang permasalahan hukum administrasi negara yang serius, dimana telah tercipta suatu kondisi dimana terdapat peraturan perundangan yang saling berlawanan antara hirearki yang lebih rendah kepada hirearki yang lebih tinggi.

(14)

negara sebuah negara, sebab Bagaimanakah sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara hukum, apabila asas kepastian hukum tidak dapat ditegakkan didalamnya ?

Bagian 3

Kesimpulan dan Saran

Dengan adanya tumpang tindih peraturan perundangan yang jelas menginjak asas kepastian hukum seperti yang terjadi pada contoh kasus yang telah penulis jabarkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem Hukum Administrasi Negara untuk mencapai cita-cita konsitusi, yaitu Negara Indonesia sebagai Negara Hukum telah dihambat oleh adanya Perda-Perda yang tidak sesuai dengan asas kepastian hukum.

Kemudian, kejadian tumpang tindih peraturan tersebut, sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada bagian yang terdahulu, juga membawa dampak yang ekonomi yang negatif bagi masyarakat luas; sehingga pada prinsipnya juga menggagalkan fungsi sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia sebagai instrumen pemerintahan Indonesia untuk mencapai tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan ekonomi.

Hal-hal tersebut adalah permasalahan Hukum Administratif Negara Indonesia yang sifatnya sistemik dan perlu segera ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai organ-organ utama penyelenggara kegiatan administrasi negara.

Penulis berpendapat ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab terjadinya tumpang tindih peraturan seperti yang terjadi dalam contoh kasus diatas, penulis dalam kesimpulan dan saran mengompilasi faktor-faktor tersebut dan saran solusi bagi penyelesaian faktor permasalahan sebagai berikut :

1. Reformasi kebijakan terhadap otonomi daerah yang diatur dalam UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 33 tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah masih belum secara lengkap dan jelas mengatur kewenangan pemungutan penerimaan daerah beberapa bidang (khususnya sektor agribisnis), sehingga menimbulkan grey area yang berpotensi menyebabkan tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah. Oleh sebab itu jika perlu maka Undang-Undang tersebut perlu ditambah dan dirubah agar menghilangkan celah-celah yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih peraturan perundangan.

(15)

pendapatan negara baik di pusat maupun di daerah, menyebabkan beragamnya pungutan yang dibebankan kepada sektor-sektor ekonomi unggulan. Penulis menyadari bahwa pungutan negara merupakan salah satu pilar pembangunan nasional, namun pemerintah harus lebih bijaksana dalam mengawasi dan memperhitungkan distribusi pembebanan biaya pembangunan sehingga jangan sampai pembebanan biaya pembangunan yang berlebihan pada satu sektor yang kemudian berpotensi menghambat pertumbuhan bahkan mematikan sektor-sektor ekonomi yang sebenarnya berpotensi memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat banyak.

3. Masih lemahnya pengaplikasian intstrumen yuridis pemerintah dalam konteks perencanaan (hetplan) yang berkaitan pembetukan peraturan perundang-undangan yang harmonis antar hirearki perperundang-undangan. Penetapan Rencana Pembangunan Daerah oleh Pemerintah Daerah seringkali masih belum sinkron dengan Rencana Pembangunan Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, hal ini tentu saja membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya tumpang tindih peraturan. Dalam hal ini, kerjasama antara DPD, sebagai perwakilan daerah ditingkat pemerintah pusat, dengan Kepala Daerah dan DPRD harus lebih diefektifkan dan diintensifkan, dengan harapan bisa disinkronkannya rencana pembangunan nasional dan daerah

4. Masih kurang efektifnya fungsi pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, dalam hal ini terhadap Perda-Perda jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang, pemerintah pusat (dalam hal ini kementrian dalam negeri sebagai pemangku ortoritas) harus lebih giat lagi menjalankan kewenangan pengawasan represifnya untuk merevisi atau membatalkan Perda-Perda yang terbukti tumpang tindih dengan Undang-Undang.

Demikianlah, kesimpulan dan saran yang dapat penulis sampaikan sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman penulis yang masih sangat terbatas mengenai ilmu Hukum Administrasi Negara dan subsistem-subsistem hukum yang berada dalam ruang lingkupnya. Penulis mohon bimbingan dan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang pasti terdapat dalam penulisan makalah ini, dan akhirnya penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi dosen pengampu yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk menulis makalah ini sebagai sarana pembelajaran dan peningkatan pengetahuan penulis dalam mata kuliah Hukum Administrasi Negara.

(16)

Yos Johan Utama, Hukum Administrasi Negara. Penerbit UT, 2014

Dr. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pres, 2014

Dr. A. Rosyid Al Atok., MH, Konsep Pembentukan Peraturan Perudangan, Setara Press,2015

KPPOD, Potret Permasalahan Perda Perkebunan, www.kppod.org

Portal berita daring www.empatpilarmpr.com

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia no. 32 Tahun 2004

Undang-Undang Republik Indonesia no. 33 Tahun 2004

Undang-Undang Republik Indonesia no. 12 Tahun 2011

Undang-Undang Republik Indonesia no. 34 Tahun 2000

Undang-Undang Republik Indonesia no. 28 Tahun 2009

Undang-Undang Republik Indonesia no. 18 Tahun 2000

Undang-Undang Republik Indonesia no. 36 Tahun 2008

(17)

Referensi

Dokumen terkait