• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKU GURU DAN SAHABATKU pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AKU GURU DAN SAHABATKU pdf"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

AKU, GURU DAN SAHABATKU

Dunia Pesantren dan Pemikiran

Bagian Pertama

Setelah selesai menamatkan sekolah di sebuah sekolah dasar di sebuah desa di Sumatera Selatan, aku diminta oleh ayahku untuk belajar di Pesantren. Ini sebenarnya sudah menjadi bagian tradisi keluarga, terutama keluarga ayahku, mulai dari kakak pertama hingga adik-adikku kemudian dianjurkan ke pesantren, meski tetap ada salah satu adikku yang memilih sekolah umum di kemudian hari. Karena sudah menjadi tradisi keluarga, aku tentu menurut saja, tanpa banyak protes terhadap preferensi yang dimiliki ayah agar semua anak-anaknya memilih pesantren selepas sekolah dasar. Kakak pertama, Agustini, memilih pesantren Pabelan, lalu Zaenal Fikri, kakak kedua memilih pesantren Gontor, kakak ketiga dan aku memilih pesantren Daar El-Qolam atau biasa disebut dengan singkat 'Darqo', di daerah Cikande, Banten. Di masa itu, aku belum mengerti sama sekali, mengapa ayah yang biasa kami panggil ‘abah’ begitu bersikukuh memasukkan anak-anaknya ke pesantren. Seingatku, tak ada jejak yang cukup kuat di daerah tempatku dilahirkan, di mana pesantren menjadi preferensi pendidikan oleh para orang tua. Sebagaimana umumnya di daerah, terutama daerahku, orang tua menyekolahkan anaknya dengan cita-cita agar kelak sang anak bisa bekerja baik sebagai pegawai swasta atau pemerintah, sehingga pesantren tidak dianggap mewakili cita-cita tersebut.

Di kemudian hari , aku berusaha memahami satu kenyataan, mungkin saja ‘abah’ memiliki obsesi pada Islam, sebagaimana yang ia alami sewaktu kecil, karena buyutku dari garis ‘nenek’ dikenal sebagi salah satu Ulama di daerah kami, yang mengabdikan hidupnya untuk mengajar agama, termasuk beberapa muridnya diperkenankan menginap di rumahnya agar lebih intensif mempelajari agama. Suatu kali, aku membuka-buka lemari peninggalan kakek, kudapati begitu banyak teks-teks keagamaan yang meliputi fikih, tafsir, tasawuf dll, terutama teks-teks yang biasa digunakan di pesantren tradisional, atau biasa dikenal dengan ‘kitab kuning’.

Kedua, tampaknya ‘abah’ terpengaruh dengan cita-cita modernisme Islam, karena kakekku dari garis ‘abah’, seorang yang aktif dalam pergerakan Muhammadiyah, termasuk mendirikan sekolah Muhammadiyah, yang hingga kini dikelola ‘abah’ dan teman-temannya di desa. Cita-cita itu, mungkin saja, diproyeksikan kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya dimasukkan ke pesantren modern sejenis Gontor, agar kelak bisa memahami agama dengan baik, di saat yang sama mempelajari ilmu pengetahuan umum. Di dalam cita-cita itu, mungkin saja pilihan tak begitu banyak, hanya pesantren modern yang menyediakan kemungkinan, salah satunya, untuk mempelajari Islam tapi tak lupa belajar juga ‘cas cis cus’ bahasa Inggris ala pesantren.

(2)

sudah mulai ‘betah’ dan jarang menangis meski seringkali ingat ‘abah’ dan ibu di rumah, membayangkan masakan mereka, kasih sayang, juga kehangatan hidup di desa yang penuh keakraban dan saling tolong-menolong antar sesama umumnya desa-desa di Indonesia. Di pesantren, aku mulai menemukan rasa betah, karena mulai banyak teman, dan terbangun keakraban. Sesuatu yang sangat membekas hingga kini, dan punya banyak pengaruh terhadap pembentukan karakter, yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang, entah apa latar belakangnya; kaya, miskin, dan seterusnya. Semua santri diletakkan di satu kamar yang sama, tak ada privelese di antara santri. Sesuatu yang kemudian membuatku menjadi mudah bergaul dengan siapa saja hingga kini, tanpa perduli status sosial-ekonominya.

Setelah berjalan tiga tahun, setingkat tsanawiyah, aku sudah tak lagi pusing dengan aturan yang dibuat pesantren untuk para santrinya, karena pengalaman tiga tahun pertama cukup bagiku untuk menyesuaikn-diri, meski agak berat terutama di tahun-tahun pertama dan kedua, dan sudah bisa menikmati ritme-nya sesudah tahun ketiga. Di saat-saat senggang di tahun keempat, aku seringkali meluangkan waktu di sore hari, di saat istirahat segala rutinitas belajar, mengunjungi perpustakaan pesantren. Perpustakaan yang sederhana, tak banyak buku yang tersedia, tapi cukup tertata rapi. Buku-buku di perpustakaan ini biasanya disediakan bukan secara khusus oleh pihak pesantren, tapi atas inisiatif kakak kelas yang sudah menjadi pengurus pelajar (semacam OSIS), meminta agar para santri memebawa minimal satu buku ilmiah setiba kembali ke pesantren, di saat liburan sudah usai. Bayangkan, dengan cara demikian, tentu buku-buku yang tersedia juga tak banyak pilihan, apalagi untuk menyesuaikan dengan katalog, sebagaimana perpustakaan yang serius. Para santri diperkenankan meminjam buku untuk jangka waktu satu minggu, tapi tak lebih dari lima buku satu kali pinjam.

Hampir setiap sore, bila ada waktu aku menyempatkan-diri untuk membaca, selain ruangannya cukup lega, di belakangnya terdapat hamparan sawah yang luas, dan diperdengarkan musik, tentu sesuai selera kakak kelas, bukan selera kita sendiri. Di tahun keempat inilah, aku mulai mengenal buku-buku yang ditulis oleh para pemikir Islam, baik dari Indonesia maupun dari negeri-negeri Muslim yang lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saat itu, aku sudah mulai membaca buku yang ditulis Mukti Ali, Munawir Sadjali, bahkan para pemikir Iran seperti Murtadha Mutahari, Ali Syariati, bahkan arsitek revolusi Iran Imam Khomeini. Untuk menambah koleksi buku di lemariku, aku juga menyisihkan uang belanja bulanan, terutama membeli buku-buku ilmiah di luar kurikulum pesantren. Karena tak puas dengan buku-buku yang disediakan oleh perpustakaan pesantren, aku juga tak lupa meminta Kakakku yang pertama, yang kuliah di IAIN Ciputat (waktu itu belum jadi UIN seperti sekarang), untuk membawakan buku-buku ilmiah, di saat berkunjung ke pesantren.

(3)

(alm.), menjadi teman berdiskusi secara serampangan saja semua topik yang aku baca, tak tahu mana yang benar mana yang salah, pokoknya berdiskusi saja. Di samping itu, kami berdua seringkali bertemu dengan seorang guru, ust.Dahlan (alm.), yang bisa diajak berdiskusi dan mau meladeni kami membicarakan topik-topik yang agak liar untuk ukuran santri masa itu.

Di tahun kelima ini pula, kami mulai berlangganan Jurnal Ulumul Qur’an, membaca buku-buku yang ditulis para eksponen pembaruan Islam seperti, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rahmat, Dawan Rahardjo dll. Melalui tulisan-tulisan yang dimuat di Jurnal Ulumul Qur’an inilah, semesta pemikiran keagamaan dibentangkan, ditambah dengan beberapa buku eksponen pembaruan Islam. Meski tak mengerti benar, apa saja yang dibicarakan secara ilmiah dan canggih itu, aku dan temanku, Hadi Jaya, tak terlalu peduli, pokoknya terus saja dibaca, dibicarakan, dan didiskusikan dengan guru yang bersedia menanggapi. Di sini tak hanya, para penulis muslim yang aku kenal, aku juga mengenal tulisan Franz Magnis-Suseno yang dimuat oleh Ulumul Qur’an, seseorang yang kelak menjadi pembimbing akademikku, di saat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Sebuah sekolah yang turut ikut membangun ‘blue-print’ pemikiranku hingga kini.

Di tahun keenam, aku mulai belajar menulis kecil-kecilan, dimuat di majalah pesantren El-Qolam. Tulisan pertama yang dipublikasikan, tentu dengan perasaan senang tak terkira. Sementara Hadi Jaya menuliskan pemikiran Ahmad Wahib untuk karya ‘ilmiah’ yang diwajibkan untuk santri tahun keenam, sebuah tulisan yang kemudian dikembalikan dan ditolak, karena dianggap menyimpang dari ‘mainstream’, tulisan itu kusimpan hingga kini, sebagai pengobat rindu pada almarhum. Selain membaca karya yang ditulis Cak Nur, Dawam atau Kang Jalal, mungkin renungan Ahmad Wahib inilah yang begitu memukau, meski ditulis sebagai ‘catatan harian’. Buku itu aku dapat dari seorang kakak kelas, Abdurrahman, yang kala itu menjadi mahasiswa akidah filsafat di Ciputat. Ia begitu bergairah berbicara pemikiran Islam, termasuk catatan harian Wahib itu. Aku begitu terpesona dengan caranya mengemukakan argumen, terlihat penuh sikap percaya-diri, dan diksi yang kuat.

Di samping itu, Abdurrhaman juga dikenal oleh kalangan santri kala itu sebagai santri yang saleh, bahkan sering dipanggil ‘wali’. Ia juga salah satu kakak kelas yang seringkali berdiskusi dengan Kyai Ahmad Rifa’i, di kediamannya. Bahkan setelah lulus dari pesantren pun, aku masih sering mendengarkan Abdurrahman menjadi pembicara, dan menyaksikan kegigihannya melakukan penentangan terhadap rezim Suharto, terlibat dalam aksi-aksi pembelaan hak-hak tanah, SDSB, juga membangun jaringan antarkampus, mengadakan program ‘pesantren wawasan kebangsaan’. Meski pada akhirnya, Rahman, demikian ia sering dipanggil, atau ‘Bedul’ nama kecilnya,setelah sekian lama mengarungi jalan berliku, menjadi salah satu tokoh kunci di dalam lingkaran Ibu Lia Aminuddin yang dikenal dengan 'Lia Eden', yang dulu awalnya hanya disebut komunitas 'Jama’ah Salamullah'.

(4)

perdebatan-perdebatan yang terjadi di harian nasional. Seingatku, saat itu marak sekali perdebatan-perdebatan atau diskursus tentang posmodernisme , selain topik-topik pembaruan Islam yang ditulis oleh Cak Nur dkk,. Aku mulai membaca tulisan-tulisan yang dimuat di Jurnal Kalam, Ulumul Qur’an, dan buku-buku yang aku beli atau dipinjamkan oleh teman-temanku di Ciputat.

Aku juga mulai senang dengan topik-topik filsafat, bahkan lebih jauh, memberanikan diri untuk memfoto-copy buku-buku mengenai filsafat dalam edisi bahasa Inggris, misalnya, topik seputar posmodernisme atau Sekolah Frankfurt. Aku tak mengerti benar apa muatan yang dibicarakan dalam buku-buku filsafat itu, tapi aku tetap tak mau berhenti mengikuti ‘rasa ingin tahu’ yang seringkali mendorongku untuk begadang hingga larut. Aku ingat betul hingga kini, bagaimana aku membuka kamus untuk setiap kata dalam bahasa inggris yang tak kumengerti, aku tak perduli, meski dengan kemampuan bahasa Inggris seadanya, bahkan seringkali terasa ‘lucu’ kalau kalimat-kalimatnya aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Bukan hanya buku-buku dalam bahasa asing, buku berbahasa Indonesia pun aku sebenarnya sulit untuk mencernanya. Masih lekat dalam ingatan, ketika aku berkali-kali membaca buku ‘kritik ideologi’ F.Budi Hardiman, dan tak kunjung faham maksudnya, hingga kemudian baru ‘mengerti’ ketika kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Di tahun kedua mengajar, tepatnya’ mengabdi ‘ pada Kyai di pesantren di Lebak ini, aku mulai menyisihkan uang belanja bulanan untuk berlangganan harian Kompas, agar tidak diganggu oleh yang lain, atau mengantri baca Koran. Seingatku, pesantren saat itu hanya langganan Media Indonesia dan harian Republika, mungkin karena yang terakhir dianggap menwakili harian orang-orang Islam, seiring dengan naiknya pamor ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di paruh terakhir kekuasaan rezim otoritarian Suharto, karena surutnya dukungan politik dari kalangan angkatan bersenjata. Untuk mengikuti isu-isu nasional, aku mengkoleksi semua tulisan-tulisan yang dimuat di harian nasional, terutama yang dimuat di rubric opini, kusimpan baik-baik, dan kucermati apa saja yang diperdebatkan dan dipersoalkan kala itu.

Hingga suatu malam, di saat masih dengan setia membaca buku Cak Nur, ’Islam, Doktrin dan Peradaban’, seorang teman yang sama-sama mengabdi di pesantren mengatakan, “Aku perhatikan rasa ingin tahumu begitu kuat, aku menyarankan ente sebaiknya kuliah di Jakarta saja, agar benar-benar menemukan iklim inteletual”. Di dalam hati, benar juga, aku harus segera memutuskan segera untuk kuliah sesuai dengan minat dan daftar bacaanku selama ini. Karena bukan dari latar belakang keluarga yang cukup untuk kuliah di Jakarta, aku akhirnya berfikir, sebaiknya kuliah di Jogjakarta saja. Aku mulai berkirim surat untuk kuliah di Sanata Dharma Jogjakarta, mengambil jurusan teologi. Setelah beberapa minggu, surat balasan dari kampus Sanata Dharma tiba. Ternyata isinya tak sesuai dengan harapan, aku dipersyaratkan untuk memilki surat keterangan dari paroki setempat, dll., untuk bisa kuliah di jurusan teologi Sanata Dharma.

bagian kedua

(5)

Jogjakarta setelah mereka lulus dari pesantren. Kisah-kisah yang menyenangkan. Seingatku, akhirnya aku berkunjung juga ke Jogjakarta, tapi bukan sebagai mahasiswa Sanatha Dharma sebagaimana yang kuidamkan, tapi sebagai salah satu peyelenggara seminar ‘kebebasan beragama’, kerjasama Universitas Paramadina dan Universitas Gajah Mada. Saat itu, aku menemani penyair ‘gaek’ , teman akrabku minum kopi dan menghisap tembakau, Abdul Hadi W.M. Aku terbiasa memanggilnya ‘syeikh’ dan tampaknya ia tak keberatan dengan panggilan itu. Di sana, ‘syeikh’ minta diantar membeli gudeg kesukaannya sejak mahasiswa di UGM. Aku bingung, di mana kita mencarinya, bukankah itu sudah hampir 40 tahun yang lalu. Tetapi syeikh tetap bersikeras untuk mencari dengan naik becak, di mana letak warung gudeg kesukaannya sejak mahasiswa itu. Akhirnya, syeikh minta berhenti di suatu belokan dan berhenti di sebuah warung. Hingga kini, aku juga tak kunjung yakin apa benar itu warung yang dimaksud sejak 40 tahun yang lalu itu. Itulah saat dimana aku mengunjungi Jogjakarta, tentu tak lupa menikmati ‘kopi arang’ di jalan tak jauh dari tugu. Aku ditemani oleh adik kelasku di pesantren yang kebetulan juga sedang kuliah di Jogjakarta.

Aku terima saja kenyataan bahwa kuliah di Jogjakarta menjadi tak mungkin kala itu. Aku meneruskan kegiatan seperti biasa; mengajar, membaca, dan belajar sedikit demi sedikit kemampuan membaca artikel atau buku ilmiah dalam bahasa Inggris. Aku juga tak hanya belajar untuk diri sendiri, tapi juga berusaha menghidupkan ‘tradisi diskusi dan menulis’ meski hanya untuk skala pesantren. Aku ingin sekali pesantren memiliki sebuah majalah yang dapat mengakomodasi kreativitas para santri juga para guru yang mau menulis. Aku Cuma tak punya dana untuk menerbitkan sebuah majalah. Tentu saja perlu uang dan untuk ukuran saat itu uang satu atau dua juta tentu bukan uang yang sedikit buatku. Setelah sekian lama, aku menemukan ‘jalan’ untuk dapat menerbitkan majalah. Seingatku, angkatanku di pesantren punya kas uang sekitar 2,5 juta. Dalam sebuah pertemuan alumni di Darqo ini, aku meyakinkan teman-teman bahwa uang kas itu sebaiknya diberikan saja untuk membuat majalah. Tak disangka, teman-teman seangkatan menyetujui, toh meskipun dibagi uang itu tak cukup untuk diberikan ke hampir 200 orang alumni satu angkatan. Sejak itulah, aku dan beberapa kolega guru mendirikan majalah pesantren. Majalah pesantren ini pula didistribusikan ke para santri. Setahuku, majalah pesantren itu masih tetap hidup meski aku sudah lama tak mengajar di sana, tentu dengan lay out dan cetakan yang lebih bagus, berwarna, dan jauh lebih menarik daripada yang digarap dahulu.

(6)

Di saat menjelang lebaran tiba, terutama saat liburan pesantren, aku seringkali mengunjungi teman-temanku di Bandung. Di kota ini, beberapa teman baikku dari pesantren kuliah di berbagai universitas, bahkan juga di ITB. Seorang teman yang sedang aktif di komunitas Salman ITB seringkali kuajak ke beberapa toko buku untuk membeli beberapa buku yang akan kubaca di pesantren dan belum tersedia di dalam koleksiku. Aku ingat, saat berkeliling ke tempat buku murah di kota Bandung, aku sempat membeli buku K. Berten, Erich Fromm, Edward Said, dll., dan memesan sejumlah foto kopi buku, termasuk buku ‘selected writing’ filsuf Hegel mengenai filsafat sejarah. Buku terakhir ini, tak kunjung aku mengerti meski dibaca berkali-kali sebelum sekolah ke Jembatan Serong, STF Driyarkara. Ya,,..ini mungkin kebiasaanku, bila tertarik di foto-copy saja dulu, soal faham atau tidak faham itu masalah belakangan, toh,.membaca tak mesti mengerti, membaca bisa juga menikmati ‘kebingungan’ dan menurutku itu sudah satu langkah ‘perjalanan’ filosofis. Mungkin, aku juga seringkali diperdaya oleh ‘pesona’, terutama ‘pesona’ terhadap penulis-penulis besar, sesuatu yang kemudian begitu kuat daya dorong dari ‘dalam’ untuk berprinsip, ‘minimal punya bukunya saja dulu’.

Selain itu, temanku yang kuliah di ITB ini juga seringkali menyimpan beberapa rekaman diskusi yang diadakan di ITB Bandung dalam bentuk kaset. Aku ‘menikmati’ sekali rekaman-rekaman itu, membayangkan bagaimana mereka mengekspolarasi tema-tema yang didiskusikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para peserta. Kalau tak salah, temanku punya rekaman diskusi tentang ‘Desain Yahudi atau kehendak Tuhan’, sebuah buku yang dilarang beredar karena dianggap ‘menyesatkan’. Sebaliknya, aku malah tertarik segala sesuatu yang disebut ‘menyesatkan’ ini baik versi pemerintah yang berkuasa atau versi tokoh keagamaan. Rasa ingin tahu yang sama juga, mendorongku untuk membaca secara sembunyi-sembunyi beberapa foto-copy novel Pramoedya karena dilarang oleh rezim politik Suharto.

(7)

Di lain pihak, aku juga sering dapat pernyataan ‘sinis’ bahwa mempelajari filsafat itu tak jelas pekerjaannya apa dan ngantornya dimana. Soal ini, kala itu, aku tak punya jawaban, aku hanya mengikuti ‘mata hati’ yang membimbing hidup untuk terus ‘mencari dan bukan ‘berhenti’. Setelah lulus dari pesantren teman-temanku memang lebih suka mengambil kuliah dengan jurusan yang ‘parktis’ dan jelas ‘keterampilannya’ apa dan untuk apa setelah kuliah. Di antara mereka banyak yang kuliah di jurusan pendidikan, akuntansi, komputer, managemen., pendeknya ilmu-ilmu sejenis. Sesuatu yang tak memerlukan perdebatan ‘aneh-aneh’. Setelah lulus kuliah pun mereka kebanyakan bekerja sebagai pegawai pemerintah, perusahaan, atau mengajar di sekolah. Hidup mungkin saja memang ‘sederhana’ dan jangan dibuat ‘susah’. Aku sangat menghargai pilihan-pilihan kebanyakan temanku itu, dan menurutku itu juga pilihan yang paling masuk akal untuk lingkungan di Indonesia. Sekolah kita memang belum menghargai riset atau ketekunan akademik dalam bidang sains. Buat apa susah dengan yang ‘aneh-aneh’ toh akhirnya juga cari uang, dan mahasiswa filsafat rata-rata kurang uang. Temanku bilang, bahwa mereka yang bacaannya njelimet itu otaknya penuh, tapi kantongnya ‘kosong’. Sebuah tamsil yang tepat bila melihat ‘pencarian ‘ ilmu sebatas ‘perut’ atau ‘pendapatan’.

Tapi, di atas semua itu, aku tak bergeming, toh pada akhirnya kita yang akan menjalani mana yang ‘enak’ buat kita sendiri dan mana yang dijalani dengan penuh ‘beban’. Dalam soal ini, mengambil jalan ‘pencarian’ ini, aku sama sekali tak terbebani mau kerja dimana, ngantor di lantai berapa atau ‘penghasilannya’ nanti bisa buat hidup atau tidak. Jelas, faktanya, selama menyenangi bacaan-bacaan ‘aneh’ ini aku masih tetap ‘gembira’ , tidur nyenyak dan senang-senang saja. Sesudah hampir dua tahun di Rangkasbitung, aku bertemu kembali kakak kelasku di pesantren Darqo dulu, ia mengajakku untuk ikut membantunya ‘mengajar’ di Cibinong, Bogor. Sebuah sekolah menengah sederhana di dekat pasar Cibinong. Aku pikir, mengajar bisa jadi pekerjaan sambilan bila aku mau kuliah lagi di Jakarta, agar tak membebani biaya bulanan pada keluarga yang di desa. Minimal aku dapat memenuh kebutuhan sehari-hari dengan mengajar.

Aku akhirnya, memutuskan untuk keluar dari Pesantren tempatku mengajar di Rangkasbitung dengan bebeberapa temanku. Seingatku, kami diantar pakai mobil bak terbuka ke pertigaan Cipanas sekitar 3 km jaraknya dari pesantren dan diberi sebuah amplop tanda terimakasih sudah mengajar di sana. Di mobil menuju Bogor melalui Leuwiliang, aku buka amplop yang tadi diberikan oleh bendahara pondok, isinya lumayan 10 ribu rupiah, cukup untuk makan di terminal dan ongkos ke Cibinong, tempat baruku mengajar. Di Cibinong inilah kemudian aku kembali dipertemukan dengan seorang guru yang kelak membawaku mempelajari kitab-kitab klasik, yaitu Pesantren Salafi Raudhotul Hikam.

Bagian Ketiga

(8)

sholat, dan tak lupa di kardus yang satu lagi sejumlah buku yang akan berguna untuk menemaniku di saat-saat senggang nanti, di sela-sela mengajar dan rehat.

Sekitar satu jam, aku akhirnya tiba di sekolah tempatku akan mengajar. Aku berdua dengan temanku diterima oleh pemilik sekolah dengan ramah, sambil bercerita mengenai visi mereka akan masa depan sekolah, juga harapan apa saja yang selama ini tersimpan di benaknya mengenai pendidikan. Pasangan suami istri, pemilik sekolah ini, bercerita latar belakang mereka yang sekolah di Jombang hingga menuntaskan kuliah di sana. Di sana pula keduanya dipertemukan hingga kemudian diikat oleh pernikahan hingga kini. Dari percakapan itu, aku menangkap tampaknya si istri lebih ’dominan’, lebih gesit, dan tangkas dalam mengungkapkan gagasan. Dari caranya berbicara, ia orang yang terbiasa mengelola pekerjaan-pekerjaan hingga soal-soal teknis. Sementara, aku menyimpulkan, di kemudian hari aku akan banyak berkonsultasi dengan si ’ibu’ ketimbang suaminya. Dari cara bicara, suaminya lebih banyak mengemukakan canda, ketimbang ide. Sesekali tangannya membersihkan debu tembakau dari cangklongnya dan di antara percakapan itu ia mengusap jenggotnya yang relatif tebal. Suaminya menggunakan jubah warna merah tua, menutup hingga mata kaki, dan terlihat agak jauh berbeda penampilannya dengan para guru di pesantren modern yang suka dengan kemeja, dan celana panjang biasa.

Setelah percakapan yang tidak terlalu panjang, karena mungkin juga aku masih lelah, dan belum ingin banyak bicara soal ini itu, aku ditemani oleh salah seorang pembantunya ke kamar, tempat di mana aku akan tinggal kelak selama mengajar di sekolah ini. Aku dan temanku memasuki sebuah kamar yang ternyata letaknya di samping rumah pemilik sekolah, di depan kamar digunakan untuk garasi mobil pemilik rumah. Kamar ini tak terlalu besar, mungkin ukuran 2x3 m, cukup untuk berdua, layaknya tempat kos-kosan yang sederhana untuk mahasiswa kalangan ekonomi lemah. Aku mulai membersihkan kamar, menata lemari, memasukkan pakaianku, juga buku-buku yang kubawa. Di kamar ini, tak ada radio, gelas, piring, atau alat-alat mandi, hanya dua buah kasur tua dan seprai untuk melapisi kasur. Di pojoknya, ada satu meja belajar, yang mungkin diambil dari dalam kelas, bukan meja khusus sebagaimana dipakai untuk belajar di kamar tapi untuk belajar di kelas.

(9)

dapur saja yang perempuan, hingga di kemudian hari, para tukang masak ini terlihat cantik-cantik, akibat jarang bertemu perempuan dan terlalu sering berinteraski dengan para guru dan santri laki-laki.

Di minggu selanjutnya, aku dan temanku mulai menyusun mata pelajaran apa saja yang akan diajarkan pada para santriwan dan santriwati yang menginap ini, terutama pelajaran-pelajaran yang terkait dengan agama, juga tak lupa kegiatan ekstra kulikuler seperti latihan pidato dan pramuka. Karena guru yang menginap di lokasi sekolah hanya aku dan temanku saja, tentu akhirnya tak bisa tidak melibatkan diri dalam segala jenis kegiatan; menjadi imam sholat, mengajar mengaji, dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya. Pukul empat pagi sudah harus bangun, bersiap-siap untuk sholat subuh berjama’ah, dilanjutkan dengan mengaji salah satu mata pelajaran agama atau bahasa. Pukul tujuh pagi sudah berganti kostum untuk mengajar sekolah menengah hingga siang nanti dilanjutkan dengan sholat dzuhur, makan siang, dan mengajar lagi hingga jam lima sore untuk siswa yang masuk jam siang. Di sekolah ini, aku digaji setiap kali ’berdiri’ mengajar sebesar tiga ribu rupiah, bila dijumlahkan semua, satu bulan dapat gaji enam puluh lima ribu rupiah. Di sini sudah mengenal istilah gaji, sebaliknya, sewaktu di Lebak, aku mengajar tak digaji karena dianggap sebagai bagian dari ’pengabdian’.

Sebenarnya, aku tak punya banyak waktu lagi membaca secara tenang, kecuali di akhir pekan atau liburan, karena malam pun tetap digunakan waktunya untuk mengajar mengaji dan beberapa pelajaran agama. Di saat penat, aku dan temanku meluangkan waktu menonton bioskop di pasar Cibinong. Tak banyak pilihan yang tersedia, lebih didominasi oleh film ’action’ Hongkong. Menonton jadi pilihan keluar dari ’penat’ mengajar, untuk satu tiket masuk bioskop hanya membayar seribu lima ratus rupiah. Aku tak terlalu peduli dengan judul filmnya apa, pokoknya nonton saja, toh dengan bioskop kelas bawah ini tak mungkin berharap bisa nonton box office atau film-film yang bermutu, yang penting ada jagoannya, penjahat, dan ’dar der dor’ hingga akhir, atau parade jurus-jurus silat ala Tiongkok yang selalu terbang ke sana terbang ke sini sambil mengumbar ’dendam’ dan hasrat mengalahkan musuh. Itu saja sudah cukup buatku sebagai hiburan dan ventilasi keluar dari kepenatan mengajar dari pagi hingga malam.

(10)

judul, ’Kelas Menengah Bukan Ratu Adil’, diterbitkan oleh Tiara Wacana Jogjakarta, sebuah buku yang tetap kusimpan hingga kini, sebagai kenang-kenangan dari almarhum.

Aku masih sering berkunjung ke Ciputat di saat libur mengajar, terutama ke tempat almarhum, yang kebetulan juga aktif di lembaga studi yang lumayan produktif mengadakan kajian-kajian keislaman dan ilmu-ilmu sosial, FORMACI. Di kelompok kajian inilah, aku mengenal para aktivis termasuk para penulis muda, baik yang bekerja di pusat kebudayaan maupun di Jurnal keislaman, seperti ISLAMIKA. Aku tak banyak terlibat dalam diskusi internal, tapi beberapa kali mendengar mereka berdiskusi dan bercakap-cakap dengan mahasiswa yang aktif di FORMACI. Di lembaga studi ini, juga tersedia perpustakaan, meski tak banyak bukunya, tapi cukup lumayan untuk sebuah kelompok studi yang dibiayai secara ’patungan’ mereka yang tinggal di dalamnya atau pernah aktif di sini. Aku juga sering meminjam buku untuk kubawa ke Cibinong sebagai bacaan di saat senggang. Meski bacaan almarhum sudah bergeser ke politik, aku tetap masih suka membaca perihal keagamaan, terutama perbandingan agama. Seingatku, di saat senggang aku masih sempat menamatkan buku perbandingan agama karya Joachim Wach, Wilfred Cantwell Smith, Metafisika Persia karya M.Iqbal, dan beberapa karya menyangkut filsafat perenial baik yang ditulis oleh Hossein Nasr maupun Fritjhof Schuon. Pergaulan dengan sophia perennis alias filsafat perenial ini, juga perbandingan agama, akhirnya menginspirasiku untuk menulis sebuah monograf mengenai ’titik-temu’ agama-agama, yang sepuluh tahun kemudian aku perbaiki untuk diterbitkan bersamaan kapita selekta mengenai Cak Nur, ’Menembus batas tradisi, menuju masa depan yang membebaskan: refleksi atas pemikiran Nurcholish Madjid’, sebagai salah satu tulisan yang disertakan hasil simposium Cak Nur yang diadakan oleh mahasiswa Himpunan Jurusan Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina.

Di kemudian hari, bacaan mengenai perbandingan agama, sophia perennis, maupun M. Iqbal begitu berguna ketika bergaul dengan teman-teman dari berbagai latar-belakang agama, terutama ketika kuliah di filsafat. Lalu, mungkin muncul pertanyaan, apakah aku tak terguncang setelah ’bersentuhan’ dengan bacaan tsb? Ya, sesuatu yang tak dapat dielakkan. Aku mulai tak lagi melihat ’keselamatan’ hanya untuk mereka yang memeluk agama tertentu terutama Islam yang kupeluk sejak kecil. Di sini, aku mulai mempersoalkan ajaran yang hanya membenarkan agamaku sebagai agama yang terbaik di sisi Ilahi. Aku mulai membuka diri, suatu horison keagamaan yang melampuai batas-batas institusionalnya. Metafisika Persia yang ditulis Iqbal, menunjukkan padaku, bahwa agama tertentu pernah ’hidup’ dan ’berkembang’ dalam satu epos sejarah tertentu dengan janji keselamatan, perangkat spiritual, dan perlengkapan kelembagaannya sebagaimana juga Islam yang kupeluk ini. Dalam sejarah spesies manusia, bisa jadi satu agama bertahan dalam kurun waktu tertentu, bisa jadi juga gugur ditelan zaman, mungkin karena tak relevan, singkatnya ia ada dalam satu fase sejarah, dibentuk dan punah bersama sejarah. Karena itu, ada banyak pewarta, kitab suci, dan jenis ajaran yang datang pada manusia, meski kemudian pupus ditelan zaman. Aku melihat semua jalan spiritual mengantarkan manusia pada yang ilahi, dan dipertemukan dalam satu ’common-flatform’ yaitu ’kesadaran akan yang tak terungkapkan, yang tak terkatakan, suatu mysterium tremendum et fascinosum, ”misteri yang menggetarkan dan mempesona’.

(11)

telingaku sudah tak ’betah’ mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan yang sempit dan justru kadang-kadang ’picik’. Aku masih ingat, kakak kelasku yang mengajakku mengajar di sini pernah memanggilku dan menasehatiku agak panjang lebar, karena suatu malam aku bertemu dengan seorang mu’alaf (orang yang baru masuk Islam). Malam itu, kami hanya berdua setelah sholat Isya’, aku tanya mengapa ia masuk Islam, dan ia menjawab dengan penuh percaya-diri sejumlah alasan mengapa ia penuh semangat masuk Islam. Mungkin ia berharap, aku juga mendukungnya dan menjelek-jelekkan agamanya sebelum masuk Islam. Sebaliknya, aku justru menanggapinya dengan dingin. Aku tegaskan padanya, mengapai mesti pindah agama, karena pada dasarnya bila ia belajar agamanya terdahulu dengan baik, mendalami secara serius, dan mengamalkannya tak ada satupun yang bertentangan dengan ’kemanusiaan’, lalu ia juga akan mendapati bahwa semua agama mengajarkan ’kebaikan’. Mukanya merah padam, kecewa dan tak bisa menyembunyikan rasa ’kesal’ atas jawabanku yang dianggapnya tak menghargai ’pergulatannya’ hingga masuk Islam. Aku tak menyangka, bahwa ia kemudian ’curhat’ ke kakak kelasku yang mengajak mengajar ke Cibinong.

Suatu sore, aku diundang makan oleh kakak kelasku itu, lalu ia bicara dari hati ke hati, bahwa aku tak ’layak’ bicara seperti itu pada seorang mu’alaf yang baru beberapa tahun masuk Islam dan masih begitu bersemangat dengan agama baru yang dipeluknya. Setelah peristiwa itu, setiap kali bertemu di masjid, sang mu’alaf tak mau lagi menyapaku. Buatku tidak apa-apa, yang penting aku sudah mengemukakan pendapatku, dan ’bacaanku’ terhadap tradisi Islam yang aku fahami. Sepengetahuanku, Kitab suci juga seringkali memuji kehidupan keagamaan kaum Nasrani yang diliputi oleh ’cinta dan kasih’, serta pujian kepada kehidupan monastik, atau ’kerahiban’. Soal-soal yang ’menebalkan’ tapal batas, biasanya datang dari pertikaian politik, dan bukan keagamaan, sesuatu yang jarang diperiksa, apakah suatu pendirian teologis tertentu bertaut dengan kekuasaan atau dalam rentang waktu tertentu menjadi penyokong rezim kuasa tertentu.

bagian empat

(12)

Perkenalan ini kemudian membawa manfaat lebih jauh, aku akhirnya menjatuhkan pilihan untuk belajar di bawah bimbingan Ustadz di pesantrennya, kebetulan ia sedang merintis pesantren salafy di dekat rumahnya. Bila selesai mengajar dari pagi hingga sore hari di sekolah menengah, aku segera meluncur ke kediaman ustadz untuk kemudian belajar beberapa teks keagamaan di malam harinya. Di pesantren ini, aku termasuk santri generasi pertama, dengan fasilitas yang masih sangat terbatas. Kami, para santri, sekitar 7 orang, belajar di Mushola, seringkali tidur juga di Mushola, atau ruang tamu rumah Ustadz, karena ustadz masih membangun 3 kamar untuk santri. Rasa hormat dan takzim semakin hari semakin kuat, karena ia mendidik dengan 'kasih sayang', tak ada amarah, muka yang kecut, atau kecewa pada santrinya, ia selalu semangat, bahkan mengajar beberapa pengajian di luar pesantren untuk masyarakat sekitar. Seringkali ia kutanya mengapa ia tak pernah 'keras' mendidik santrinya, dengan lembut ia menjawab, " ,..pengetahuan dan kehidupan keagamaan harus ditempuh dengan kesadaran yang tumbuh dari hati kecilmu, bukan karena paksaan dari orang lain, bila kesadaran itu tumbuh maka ia adalah guru sejati setiap orang, saya hanya 'membantu' agar kesadaran itu semakin kuat, setiap hari saya memunajatkan do'a agar setiap santri di sini menemukan 'jalan' nya, dan mecintai jalan yang kalian pilih".

Setelah 3 tahun mengaji di bawah bimbingan Ustadz, aku berpamitan untuk meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Ustadz hanya memberikan pesan yang sangat singkat di saat aku pamit ingin kuliah filsafat, " ,..saya mendorong dengan tulus usahamu meneruskan sekolah di sana, hanya dengan ilmu kamu bisa membuka kunci rahasia hidup di dunia, bahkan untuk membuka kunci rahasia langit". Hati tergetar mendengar nasihat Ustadz, dan akhirnya menjalani petualangan baru di dunia 'pemikiran' filsafat, selama hampir 7 tahun, mulai dari mempelajari tradisi filsafat Yunani hingga dekonstruksi. Hingga di kemudian hari bekerja di Universitas Paramadina Jakarta, dan meneruskan kuliah di Australian National University. Di saat hendak meneruskan kuliah ke ANU Canberra, aku tak hanya berpamitan dengan Ustadz, tetapi juga berpamitan pada guru tarikatnya, Kyai Munfassir di Banten, pada kyai Munfassir aku memperkenalkan diri sebagai muridnya ustadz tempatku mengaji, dan diberikan wejangan yang menguatkan keputusanku untuk kuliah ke ANU Canberra.

Selama di Canberra, selain belajar menunaikan tugas-tugas rutin kuliah, menambah teman baru, beradaptasi dengan kultur Australia, termasuk menikmati travelling ke beberapa kota, pantai, dan pegunungan bersalju. Aku juga terus berkomunikasi dengan para santri di pesantren salafy tempatku mengaji dulu. Di dalam pikiranku yang sederhana, sudah saatnya Ustadz memiliki pesantren yang lebih 'layak', bahkan pendidikan formal setingkat sekolah menengah agar turut merespons kebutuhan pendidikan keagamaan yang toleran dan terbuka di kalangan masyarakat muslim di sekitar pesantren. Sepulang dari Canberra, Ustadz termasuk dalam daftar orang yang harus kutemui pertama kali, dan menyampaikan pikiranku yang sederhana itu, yaitu mendirikan pendidikan formal, untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat muslimr akan pendidikan keagamaan yang terbuka, dan bervisi ke depan, tanpa meninggalkan, 'warna dasar' yang sudah tumbuh dan berkembang baik di pesantren sejak pertama kali dirintis sekitar 15 tahun yang lalu.

(13)

hanya mengatakan, ",..tunggu sebentar ya, saya ke kamar". Dalam hatiku, apa yang akan dibawanya dari kamar. Berapa helai kertas di tangannya diperlihatkan padaku, sambil berucap,.." rencanamu itu sudah saya jalankan separuhnya, dan separuhnya menjadi bagianmu". Ia memperlihatkan gambar beberapa gedung asrama dan kelas yang akan dibangun, lengkap dengan rencana kapan akan dimulai serta siapa saja para penyandang dananya; dari luar negeri dan domestik yang terdiri dari para pengusaha tambang. Malam itu kami berdiskusi visi dasarnya, agar ketika kami bekerja bertolak dari 'pengertian' yang kurang lebih sama parameternya, atau semacam kesepakatan 'minimal' yang bisa menjadi titik tolak buatku untuk menterjemahkan apa yang Ustadz ingin dengan lembaga pendidikan pesantren ini ke depan.

Di tengah-tengah pembicaraan dengan Ustadz, aku penasaran bagaimana ia bisa bertemu dengan para donatur untuk pesantren; membebaskan tanah, membangun masjid yg bisa menampung 3000-an jama'ah, mengganti rumah penduduk yang dibeli tanahnya untuk pesantren dengan ganti rumah yg lebih baik, plus menyepakati rancangan rumah barunya agar tak merasa 'digusur', dll. Ia mulai bercerita, dalam prinsipnya, kyai tak boleh mengadahkan tangan membawa proposal ke mana2 untuk membangun pesantren, dengan cara itu, menurut keyakinannya, wibawa para ulama telah direndahkan. Ia tak pernah berhenti mengelola pengajian, merawat jama'ahnya, dan ia serahkan sepenuhnya semua rencananya pada para jama'ah yang hadir, " tugas saya hanya mengisi pengajian dan berdzikir,..yang lain sudah ada yang menjalankan".

Suatu ketika, setelah pulang pengajian di suatu tempat, ia kedatangan tamu, yang mengemukakan testimoni begini," Ustadz,.saya beberapa bulan ini mendengar dari rumah melalui pengeras suara pengajian yang ustadz berikan di sekitar tempat saya tinggal, saya merasa tersentuh dengan apa yang ustadz sampaikan, meski tak dapat mengucapkannya bagian mana yg telah membuat saya begitu tergugah, buat saya, saya menemukan Islam yang cocok pada pengajian yg ustadz sampaikan". Ternyata yang memberi testimoni adalah seorang pengusaha, lalu mengajak teman-temanya untuk ikut langsung menjadi perserta pengajian di pesantren, pengajian bulanan yang biasa disebut acara 'ratiban'. Acara 'ratiban' ini di hadiri lebih dari 3000-an jama'ah setiap bulan, di antara mereka ada yang pengusaha properti, tambang, konstruksi, para tentara, perwira kepolisian, termasuk keluarga mantan salah satu Kapolri. Mereka ini, para jama'ah yang menggalang dana untuk mendirikan masjid, gedung asrama santri, pembebasan tanah, singkatnya, Ustadz hanya terima kunci saja bila semua telah selesai. Mereka pula yang menitipkan kendaraannya untuk pesantren beserta sopirnya untuk mobilitas ustadz dan para santri. Tak ada satu proposal pun keluar dari pesantren ini, tegas Ustadz, bahkan kepala daerah yang mau menyumbang pun belum tentu ia terima, karena sangat hati-hati dengan dana yang masuk ke pesantren.

(14)

mahasiswa di STF Driyarkara, membawa teman2 Katolik untuk berkunjung ke beberapa pesantren di Jawa Barat dan Banten. Ketika pesantren2 lain kurang percaya diri menerima dengan lapang dada teman2 Katolik ini, mengingat saat itu, masih begitu kuat konflik keagamaan di Ambon maupun Poso, Ustadz dengan sangat santun mengatakan padaku," kamu ajak teman2mu bersilaturrahmi dengan saya di tempat di mana saya biasa sholat dan bermunajat pada Allah". Dengan sikap yang sangat rileks Ustadz mengajak bicara dari hati ke hati teman-teman frater dari STF Driyarkara, hingga tuntas pertemuan pagi itu. Di sela-sela pembicaraan yang hangat Ustadz menegaskan, " saya sengaja menerima kalian di tempat di mana saya sholat dan bermunajat, karena di dalam kekristenanmu terdapat keislamanku, dan sebaliknya di dalam keislamanku termuat juga kekristenanmu". Suatu pernyataan yang sangat mengagetkan, mengingat Ustadz hanya mencecap pendidikan tradisional Islam, bahkan seandainya diusir pun, sebenarnya, aku sudah siap mental menghadapinya. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya, sebuah penerimaan yang lapang dan penuh kehangatan.

Selain kepada Ustadz, guru mengajiku ini, aku sempat juga mengutarakan pikiran pada pimpinan pesantren di daerah Rangkas Bitung, agar membangun inovasi pada pendidikan yang sudah berjalan hampir dua dekade tersebut. Pesantren sudah memasuki fase yang berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi 60-an, dengan segala obsesinya mengenai pendidikan Islam, serta konteks kesadaran saat mereka merespons perkmebangan zaman. Tetapi sayangnya, tak semua pikiran bisa diterima dengan mudah, di kemudian hari, dengan agak 'pongah', orang-orang di sekitar pimpinan pesantren di Rangkas Bitung mengklaim, " ,..pesantren kami sudah solid dan sistemnya berjalan baik, lagian pula Hakim itu sudah keluar perilakunya dari syari'at Islam, kami sama sekali tidak respek dengan alm. Nurcholish Madjid dan orang-orang yang bekerja di lingkaran pemikirannya". Aku hanya mengelus dada, pada respons yang naif dan 'kekanak-kanakan' ini. Untuk sesuatu yang kita tawarkan yang diturunkan dari pikiran rasional ternyata dihadapi dengan sikap-sikap yang keluar dari irasionalitas dan tak masuk akal. Buatku, tak ada kerugian, meski 'difitnah' sebagai agen Yahudi, keluar dari syari'at, dan tak 'pantas' masuk pesantren. Kerja-kerja seperti ini hanya menjadi bagian dari karya 'pengabdian' bukan untuk sesuatu di luar itu. Respons salah satu pimpinan pesantren di Rangkas Bitung ini juga aku utarakan pada Ustadz, dan dengan tenang ia menjawab, "..masing2 orang diperangkap oleh prasangkanya, bila ia tak bisa keluar dari 'kurungan' prasangka tersebut, selama itu itu pula ia melihat orang lain sesuai dengan persepsinya yang sempit". Sejak saat itu, aku tak lagi menawarkan agenda atau program untuk meningkat mutu pendidikan pada pimpinan pesantren di Rangkas Bitung, alih-alih menjalani suatu 'kemadjoean' yang didapat malah fitnah kelas 'comberan'.

(15)

Referensi

Dokumen terkait