• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korupsi dan Pembangunan Sosial di Indone

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Korupsi dan Pembangunan Sosial di Indone"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Korupsi dan Pembangunan Sosial di Indonesia

Ratih Probosiwi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta, Kementerian Sosial RI

Abstrak

Praktek korupsi telah menjadikan Indonesia terkenal sebagai Negara terkorup se-Asia. Korupsi yang terjadi di Indonesia bahkan telah menjadi sistem dan sulit untuk dihilangkan. Sebagai dampak dari praktek ini, pembangunan di Indonesia tersendat, kesejahteraan masyarakat terancam karena tujuan pembangunan tentu saja tidak tercapai. Tulisan ini mencoba menggambarkan korupsi yang terjadi di Indonesia, memandang korupsi sebagai masalah sosial yang dapat mengganggu pembangunan terutama pembangunan sosial. Adanya bantuan sosial yang digelontorkan pemerintahpun menjadi rawan praktek korupsi, dan disinilah peran Kementerian Sosial ditantang untuk menangani dana bansos secara lebih terpadu dan tepat sasaran. Beberapa pendekatan ditawarkan pula dalam rangka pemberantasan korupsi demi tercapainya kesejahteraan rakyat.

(2)

A. Pendahuluan

Sangat memprihatinkan dan ironis jika Malaysia berusaha menampilkan citra Asia yang sebenar-benarnya, Indonesia masih menampilkan kesan korupsi yang sebenar-benarnya [ CITATION Ste04 \l 1033 ]. Menurut survei bisnis yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010, Indonesia menjadi negara paling korup di Asia dengan skor 9,07 dari 10. Survei tersebut diperkuat dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2013 oleh Transparancy International, Indonesia berada di peringkat 114 dari 177 negara yang disurvei dengan skor 32, peringkat ini naik dari tahun sebelumnya yaitu peringkat 118 dari 176 negara [ CITATION Mar14 \l 1033 ]. Indonesia seakan dipermalukan dengan hasil survei ini, namun kita juga tidak dapat mengelak karena hasil survei tersebut berbanding lurus dengan fakta yang terjadi di lapangan. Praktik korupsi di Indonesia telah mencapai level kronis, menyebar di hampir seluruh lembaga, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun perguruan tinggi.

Negara harus menanggung kerugian hingga trilyunan rupiah akibat banyaknya kasus korupsi di Indonesia. Sebut saja kasus korupsi Bank Century yang hingga kini belum juga menunjukkan titik terang, kasus korupsi Hambalang yang sampai menyeret nama keluarga presiden, atau kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang akhirnya menyeret mantan Walikota Bandung di penjara selama 15 tahun. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa tahun 2014, KPK telah melakukan penyelidikan 11 perkara, penyidikan 10 perkara, penuntutan 10 perkara, dan eksekusi lima perkara. Total perkara sepanjang 10 tahun terkahir, penanganan tindak pidana korupsi mencapai penyelidikan 596 perkara, penyidikan 363 perkara, penuntutan 287 perkara, inkracht 243 perkara, dan eksekusi 252 perkara. Data penanganan korupsi oleh KPK pada tahun 2004-2014 ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Tahun 2004-2014 (per 28 Februari 2014)

Penindakan 2004 2005 2006 2007 2008T a h u n2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah Penyelidikan 23 29 36 70 70 67 54 78 77 81 11 596

Penyidikan 2 19 27 24 47 37 40 39 48 70 10 363

Penuntutan 2 17 23 19 35 32 32 40 36 41 10 287

Inkracht 0 5 17 23 23 39 34 34 28 40 0 243

Eksekusi 0 4 13 23 24 37 36 34 32 44 5 252

(3)

Dari Tabel 1, diketahui bahwa pada tahun 2009 dan 2013 menunjukkan

trend naik dibandingkan 4 tahun sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena pada tahun tersebut merupakan tahun politik yang sangat rawan terjadinya money politics dalam proses pemilu baik itu pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Korupsi bahkan terjadi dari Sabang hingga Merauke, KPK telah menangani kasus korupsi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Beberapa kasus juga terjadi di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Aliran dana korupsi yang luwes membuat jangkauan korupsi menjadi sangat luas melalui berbagai upaya pencucian uang. Penanganan korupsi oleh KPK menurut wilayah ditunjukkan pada grafik 1.

NAD Sumut Sumsel Riau dan Kepri Bengkulu Lampung Banten DKI Jakarta (Pusat) DKI Jakarta (Daerah) Jabar Jateng Jatim NTB Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Papua Malaysia Singapura

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

2014 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004

(4)

mantan hakim agung Akil Muchtar dan juga kasus pengadaan barang dan jasa di Banten yang melibatkan dinasti Ratu Atut.

Dalam upaya memberantas korupsi, pemerintah telah mengesahkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), sebagai langkah lanjutan terhadap pemberlakuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain mengatur mengenai pembentukan KPK, UU KPK juga mengatur mengenai peradilan korupsi di Indonesia. Berdasarkan Pasal 54 ayat (2) UU KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan secara yurisdiksi mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Dibentuknya pengadilan khusus korupsi dapat menjadi sarana bagi KPK dalam menjalankan tugasnya yang mencakup sebagai penuntut umum dalam peradilan tindak pidana korupsi. Seluruh skema sistematik upaya pemberantasan korupsi tersebut diharapkan setidaknya dapat mengurangi atau menghentikan laju korupsi di Indonesia saat ini. Jika tidak ada upaya serius untuk memberantas korupsi maka masa depan bangsa Indonesia pun akan terancam. Korupsi yang terjadi di Indonesia dapat diumpakan sebagai kapal bocor sarat muatan yang pasti akan tenggelam di tengah samudera luas kancah persaingan internasional.

(5)

dapat diajukan ke tingkat kasasi, dan putusan kasasi tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi [ CITATION Kom14 \l 1033 ].

B. Korupsi sebagai Masalah Sosial

Sebelum membahas lebih jauh tentang korupsi, perlu diketahui pengertian dari korupsi itu sendiri. Korupsi menurut masyarakat umum adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan keuangan negara yang dimiliki secara tidak sah. Sedangkan menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi diartikan sebagai perbuatan seseorang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Berdasarkan kata atau bahasa yang digunakan, korupsi berasal dari bahasa latin corruption-corruptus

yang artinya buruk, bejad, dan menyimpang dari kesucian. Dalam bahasa Sansekerta yang tertuang dalam naskah kuno Negara Kertagama, korupsi diartikan sebagai perbuatan yang rusak, busuk, bejat, dan tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan[ CITATION Sud96 \l 1033 ].

Korupsi juga dapat dilihat sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip dalam pengambilan keputusan ekonomi, baik oleh perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik, yang menyimpang dari aturan yang berlaku [ CITATION Tan94 \l 1033 ]. David M. Chalmers menguraikan pengertian istilah korupsi dalam berbagai bidang, yaitu manipulasi dan keputusan keuangan yang membahayakan perekonomian, kesalahan ketetapan bidang perekonomian umum, suap dan gratifikasi, dan pada pemilihan umum termasuk dalam jual beli suara[ CITATION Sur13 \l 1033 ].

(6)

yang lebih penting adalah setting sosial-budaya yang mengkondisikan suatu kelompok untuk berbuat korupsi.

Sebagai tindakan yang mampu menghancurkan negara, menjatuhkan pemerintahan dan menghambat pembangunan, korupsi pantas disebut sebagai masalah sosial. Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga kelompok tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Masalah sosial terjadi karena timbulnya kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomi, biologi, psikologi, dan kebudayaan. Dalam perspektif sosiologis, masalah sosial didefinisikan secara luas sebagai suatu persoalan yang secara negatif mempengaruhi masyarakat. Masalah sosial terkadang juga disebut sebagai masalah kemasyarakatan antara lain adalah korupsi, narkotika, penyalahgunaan kekuasaan, perjudian, dan perkosaan (Wright Mills dalam Marisa Puspita Sary, 2013).

Merujuk paradigma teori konflik yang dikemukakan oleh Harriet Matineau, Karl Marx, W.E.B. Du Bois, ataupun John Bellamy Foster, korupsi didefinisikan sebagai masalah sosial. Teori konflik melihat bahwa dalam masyarakat pasti akan ada dominasi, koersi, dan kekuasaan. Adanya otoritas yang berbeda dalam tiap kelompok menyebabkan adanya superordinasi dan subordinasi yang akan menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan (Zaka Aditya, 2013). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada kepemilikan sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat yaitu kelas proletar dan borjuis. Karl Marx mengungkapkan bahwa kapitalisme menyebarkan konflik antara si kaya dan si miskin, hal ini disebabkan adanya masyarakat yang korup. Du Bois juga mengungkapkan bahwa keadilan sosial mustahil dicapai pada sistem sosial yang korup. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan borjuis ini mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. [ CITATION www14 \l 1033 ].

(7)

tersebut dapat mengakibatkan self organizing, yaitu suatu kondisi dimana individu menyesuaikan dengan perilaku orang lain dalam komunitas tersebut. Self organizing dapat dikatakan sebagai awal pijakan konfirmitas individu terhadap kelompok atau anggota kelompoknya. Hal ini pulalah yang menyebabkan wabah kecanduan materi berkembang dari individu (mikrosistem) ke komunitas yang lebih luas (makrosistem). Kecanduan materi dapat disebut sebagai ’virus’ yang menyebarkan penyakit korupsi.

Wabah korupsi secara struktural, ditunjukkan dalam birokrasi yang berbelit atau sengaja dibuat berbelit untuk membuka peluang timbulnya korupsi-manipulasi. Penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan tender pengadaan, mekanisme birokrasi yang obesitas dalam mengurus kepentingan publik, dan pungutan liar menunjukkan peluang oknum aparat pemerintahan melakukan korupsi. Praktek mafia birokrasi ini yang menyebabkan korupsi semakin merajalela dan sistemik[ CITATION rar13 \l 1033 ].

C. Korupsi dan Pembangunan Sosial

Dengan berbagai bentuknya, korupsi telah banyak menimbulkan kerugian di segala bidang termasuk dalam hal pembangunan. Contohnya adalah korupsi dana rekonstruksi pascabencana alam, dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dikurangi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi, akibatnya pembangunan tidak dapat berjalan optimal, dan tujuan pembangunan tidak dapat tercapai. Contoh lainnya adalah korupsi dana bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak masyarakat kurang mampu dalam meningkatkan kesejahteraannya, menjadi tidak tercapai, dan masyarakat miskin yang menjadi korban.

(8)

mensejahterakan rakyat bukan tidak mungkin malah menimbulkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Mungkin saja pembangunan yang sangat diharapkan dapat menaikkan kesejahteraan rakyat kecil, malah menyebabkan kesejahteraan mereka menjadi makin terpuruk karena pembangunan tidak dilakukan secara optimal akibat adanya manipulasi dana.

Pada tahun 1995, Midgley menguraikan beberapa indikator pembangunan yang terdistorsi, yaitu pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat, diskriminasi atas etnis dan ras minoritas untuk meningkatkan standar hidup, penindasan terhadap perempuan, eksploitasi anak, degragasi lingkungan, dan berlebihnya anggaran militer. Pembangunan sosial seharusnya berupaya mengangkat kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengharmonisasikan tujuan pembangunan dengan kepentingan ekonomi, dan kesejahteraan sosial secara dinamis, inklusif, dan universal.

Sebagaimana kita ketahui bahwa strategi pembangunan adalah menghapuskan kemiskinan dan kebodohan. Upaya menanggulangi kemiskinan dan kebodohan telah dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat itu sendiri. Sebagai upaya terencana, pembangunan diusahakan seefisien dan seefektif mungkin dengan dana dan kemampuan yang ada, tetapi ketika pembangunan sedang diselenggarakan, muncul kasus korupsi uang negara yang melemahkan semangat kerja orang yang masih berada di golongan “miskin” dan dapat pula menimbulkan perasaan pesimis atau bahkan dapat menghilangkan harapan yang diinginkan.

Korupsi mau tidak mau telah menimbulkan permasalahan dalam pembangunan. Pengaruh korupsi dapat dilihat dari beberapa hal, pertama dalam hal efisiensi. Korupsi menelan biaya efisiensi pembangunan dalam rangka pemborosan dan penyalahgunaan yang seringkali menyertainya. Misalnya saja karena kebijakan pengadaan yang korup, pemerintah di negara berkembang membayar antara 20 hingga 100 persen lebih mahal dari harga yang seharusnya, karena adanya praktek

(9)

meningkat dapat pula disebabkan oleh korupsi karena banyaknya program pembangunan yang ditujukan untuk menambah lapangan kerja tidak diselenggarakan. Ketiga, pada tingkat yang lebih tinggi, korupsi dapat menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin bahkan mengancam kesatuan negara.

Dari segi politik, korupsi dapat mengakibatkan keterasingan (alienasi) dan ketidakstabilan. Sejumlah bukti telah menyebutkan bahwa korupsi dapat menyebabkan ketidakstabilan politik, padahal suatu pembangunan dapat dilakukan jika pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik berjalan dengan baik. Pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik tidak dapat dipisahkan, saling berkaitan dan bila salah satu tidak ada maka yang lainpun tidak akan berjalan. Kepercayaan luar negeri dicapai jika suatu negara stabil, dan mereka mau melakukan investasi yang dapat mendukung pembangunan. Korupsi telah menjadi penghambat dan problema pembangunan yang cukup pelik untuk diselesaikan.

(10)

D. Rawan Korupsi Dana Bantuan Sosial dan Peran Kementerian Sosial

Dana bantuan sosial merupakan salah satu instrumen penting dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Bantuan sosial merupakan pemberian berupa uang/barang dari Pemerintah Daerah kepada individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial (PMK 81/PMK.05/2012). Risiko sosial adalah peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadi kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar. Berdasarkan UU Kesejahteraan Sosial pasal 15 ayat 1, bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.

Bantuan sosial kepada anggota/kelompok masyarakat meliputi individu, keluarga dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, dan lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, keluarga dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Bantuan sosial dalam keadaan tertentu dapat berkelanjutan ataupun tidak, tergantung tujuan yang ingin dicapai melalui bantuan tersebut dalam mempertahankan taraf kesejahteraan sosial dan/atau mengembangkan kemandirian serta menjaga kinerja sosial.

(11)

pemberian kartu Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk jaminan kesejahteran. Pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri, misal pemberian modal pengembangan usaha melalui kelompok usaha bersama (Kube). Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.

Selama periode 2007-2010, anggaran bansos yang disiapkan pemerintah mencapai Rp 300,94 triliun yang terdiri atas Rp 48,46 triliun di tingkat daerah dan Rp 252,48 triliun di tingkat pusat. Jumlah dana bansos yang tidak sedikit memberikan celah bagi koruptor untuk melakukan penyelewengan sehingga dana inipun menjadi sangat rawan dikorupsi. Dalam Keppres Nomor 37 tahun 2012 tentang Rincian APBN 2013, total belanja bantuan sosial yang dianggarkan dalam belanja kementerian sebesar Rp 69.541.588.695.000,- (4%) dari seluruh total belanja APBN 2013 yang mencapai Rp 1.683.011.103.699.000,- (Emerson Yuntho, 2011).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I tahun 2010 menemukan sejumlah penyimpangan penggunaan dana bansos di 19 provinsi yang nilainya mencapai 765 miliar rupiah, dengan urutan tiga besar adalah Jawa Tengah sebesar 173,7 miliar rupiah, Sumatera Utara sebesar 148,44 miliar rupiah, dan Jawa Timur sebesar 89,31 miliar rupiah. Temuan terbaru dari ICW mengungkapkan bahwa Provinsi Banten mengalokasikan anggaran bansos untuk tahun 2011 sebesar 51 miliar rupiah, akan tetapi dari 160 penerima dana, hanya 30 nama lembaga atau kepanitian yang tercantum dan itupun tidak didukung alamat yang jelas. Peluang korupsi dana bansos semakin terbuka dengan adanya proses penyusunan dan pelaksanaan APBD tertutup.

(12)

bansos, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan surat rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 April 2014, meminta agar Kementerian Sosial menjadi satu-satunya kementerian atau lembaga yang mengelola dana bansos. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan dana bansos sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku terutama UURI Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, khususnya pasal 14 (2) yang menyebutkan bahwa Kementerian Sosial bertanggung jawab atas perlindungan sosial yang dilaksanakan melalui pemberian bantuan sosial, dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial [ CITATION Kem14 \l 1033 ].

Dalam penyaluran dana bansos, selama ini Kementerian Sosial selalu berkoordinasi dengan dinas sosial, lembaga kesejahteraan sosial (LKS) milik pemerintah daerah ataupun masyarakat yang jumlahnya kurang lebih 8.000 LKS. Selain itu di tiap provinsi terdapat pendamping penyelenggara kesejahteraan sosial yang terdiri atas tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK); tenaga kesejahteraan sosial masyarakat (TKSM); pendamping program kesejahteraan sosial semisal PKH, asistensi lanjut usia terlantar, dan asistensi sosial orang dengan kecacatan; satuan bakti pekerja sosial (sakti peksos), taruna siaga bencana (tagana), dan tim reaksi cepat (TRC). Kesemuanya merupakan representasi personel Kementerian Sosial dalam melaksanakan upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah selain unit pelaksana teknis (UPT) di sejumlah daerah yang menyelenggarakan kegiatan kesejahteraan sosial bagi PMKS.

(13)

Kerawanan bansos untuk diselewengkan oleh pihak tertentu, menginspirasi pemikiran untuk mencanangkan sentralisasi dalam penyaluran melalui Kementerian Sosial. Pengawasan dana bansos akan lebih baik dan terfokus apabila hanya dilakukan oleh satu kementerian sehingga keefektifan pemanfaatan dana bantuan lebih terjamin untuk kesejahteraan sosial dan mengurangi risiko sosial masyarakat. Peran Kementerian Sosial menjadi lebih tinggi seiring tanggung jawab yang lebih berat untuk memastikan dana bansos tersalurkan tepat sasaran dan bebas korupsi sehingga pembangunan kesejahteraan sosial dapat terlaksana dengan baik. Kondisi ini sesuai dengan komitmen Kementerian Sosial dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (clean and good government).

E. Penutup

Praktek korupsi yang terjadi di Indonesia telah menjadi suatu hal yang dianggap wajar karena korupsi telah menjadi sistem dan sangat sulit untuk dihilangkan. Pelanggaran terkait korupsi dapat berupa penyalahgunaan kekuasaan untuk meraup keuntungan pribadi. Korupsi dapat terjadi karena adanya kesempatan untuk melakukan praktek tersebut, lingkungan yang kurang peduli, sikap konsumtif dan hedonis, serta kualitas moral yang rendah. Salah satu penghambat kesejahteraan di negara berkembang disinyalir karena korupsi yang melibatkan aparat ataupun masyarakat itu sendiri.

(14)

negara terjaga sehingga investor dari dalam dan luar negeri merasa aman dalam melakukan usaha.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghilangkan praktik korupsi, namun ternyata ada semacam budaya atau mekanisme untuk mempertahankan korupsi (corrupt defend mechanism) tersebut sehingga sekeras apapun usaha dan upaya yang dilakukan untuk membasmi korupsi menjadi hal yang sia-sia. Begitupun juga dengan dibentuknya lembaga Komisi Pengawasan Korupsi (KPK) yang masih belum cukup dirasa mampu untuk memberantas korupsi. Menurut Ronald Wraith dan Edgar Simpkins (1963), berbagai upaya yang dilakukan oleh kebanyakan negara berkembang untuk memberantas korupsi dirasa hanya sebagai usaha yang tidak perlu. Usaha yang ada hanya dirasa sebagai nasehat yang fatalistik. Bukan karena nasehat tersebut keliru, tetapi karena tidak membicarakan strategi kebijakan yang dapat digunakan sementara untuk mengurangi, meskipun tidak menghapuskan berbagai jenis korupsi.

Upaya pemberantasan korupsi seharusnya melibatkan semua pihak, sektor, dan komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini dikarenakan praktek korupsi bukan monopoli pegawai atau pejabat pemerintah, melainkan perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur masyarakat (ada supply

karena ada demand). Pendekatan yang kemudian ditawarkan adalah pendekatan

carrot and stick [ CITATION Wij09 \l 1033 ] yang memandang penanganan korupsi secara hitam putih. Pendekatan carrot menekankan pada pendapatan bersih yang akan diperoleh seorang pegawai sebagai penghargaan atas pekerjaannya. Saat pendekatan carrot ini tidak berhasil, maka pendekatan stick yang akan dilakukan, yaitu pemberian sanksi atau perangkat hukum untuk menjamin semua warga mematuhinya. Pendekatan stick lebih menekankan pada pemberian sanksi yang tegas dan diharapkan memberikan efek jera bagi para koruptor.

(15)

tersebut perlu didukung dengan prinsip transparansi dan bebas konflik kepentingan, dan disinilah peran masyarakat dapat dioptimalkan dalam strategi pemberantasan korupsi.

F. Daftar Pustaka

Emerson Yuntho. (2011, Oktober 14). Korupsi Dana Bansos. Retrieved April 08, 2014, from Indonesia Corruption Watch: http://w w w .antik

orupsi.org/id/content/korupsi-dana-bansos

Indonesia Corruption Watch. (2013, November 15). Kajian Dana Bansos 2011-2013 Divisi Korupsi Politik ICW. Retrieved April 23, 2014, from Indonesia Corruption Watch: http://www.antikorupsi.org/id/doc/kajian-dana-bansos-2011-2013-divisi-korupsi-politik-icw

Indriyani Ma'rifah. (2014, April 01). Gerakan Antikorupsi: Dekulturisasi Korupsi. Retrieved April 2014, 2014, from Bisnis Indonesia:

http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/376/216899/dekulturisasi-korupsi Kementerian Sosial RI. (2014, April 15). Anggaran Bansos Melalui Kemensos.

Press Release . Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: www.kemsos.go.id.

Kompas.com. (2014, February 2014). Kontroversi RUU KUHAP, Wantimpres Laporkan 12 Pasal Pelemahan KPK ke Presiden. Retrieved May 19, 2014,

from Kompas.com:

http://nasional.kompas.com/read/2014/02/20/1817322/Kontroversi.RUU.K

UHAP.Wantimpres.Laporkan.12.Pasal.Pelemahan.KPK.ke.Presiden.

Midgley, J. (1995). Social Development: The Developmental Perspective in Social Welfare. London: Sage Publications Ltd.

Marisa Puspita Sary. (2013). Analisa Framing Masalah Sosial Korupsi dalam Film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Komunikasi Indonesia untuk Peradaban Bangsa (pp. 491-498). Denpasar: Universitas Mercu Buana.

Muh Ikhsan. (2012). Korupsi, Siri' Na Pacce dan Beban "Teologi" Islam. Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII) (pp. 1714 - 1728). Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

rarandom. (2013, July 04). Mengapa Korupsi Sulit Diberantas di Indonesia (Patologi Sosial). Retrieved April 25, 2014, from rarandom:

http://rarapsp.blogspot.com/2013/07/mengapa-korupsi-sulit-diberantas-di.html

(16)

http://www.tempo.co/read/news/2014/04/16/173571110/Kemensos-Tuduh-Kementerian-Lain-Selewengkan-Bansos

Stevanus Subagija. (2004, April 08). Sosialkan Antikorupsi Menjadi Sikap Terbuka dan Tindakan Nyata: Korupsi yang Sebenar-benarnya. Retrieved April 25, 2004, from Pikiran Rakyat: www.pikiran-rakyat.com Sudarto. (1996).

Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni Bandung.

Suandi Edy Hamid & Muhammad Sayuti. Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.

Sudarto. (1996). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni Bandung. Surjo & Partners. (2013, July 27). David M. Chalmers Menguraikan Arti Isilah

Korupsi (Corrupt). Retrieved April 14, 2014, from Kantor Hukum/Law Office Surjo & Partners:

http://surjoadvokat.wordpress.com/2013/07/27/david-m-chalmers-menguraikan-arti-istilah-korupsi-corrupt/

Tanzi, V. (1994). Corruption, Governmental Activities, and Markets. IMF Working Paper.

Wijayanto & Ridwan Zachrie. (2009). Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wraith, Ronald., & Simpkins, Edgar. (1963). Corruption in Developing Countries.

London: George Allen & Unwin

www.pearsonhighered.com. (n.d.). The Study of Social Problems. Retrieved April 23, 2014, from www.pearsonhighered.com:

https://www.google.com/search?

q=the+study+of+social+problems&oq=the+study+of+social+problems&aq s=chrome..69i57.7797j0j7&sourceid=chrome&espv=2&es_sm=93&ie=UT F-8

Zaka Firma Aditya. (2013, September). Teori Konflik dari Beberapa Ahli. Retrieved May 19, 2014, from Zakaaditya.blogspot.com:

Gambar

Tabel 1. Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Tahun 2004-2014 (per 28 Februari 2014)
grafik 1. Singapura

Referensi

Dokumen terkait

Khusus bagi anak-anak, ketrampilan kecerdasan emosional (EQ) perlu disuguhkan sedini mungkin agar nantinya anak-anak ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan tentang Tata Cara Pengawasan

Isi dari dua perikop yang pertama dari Kisah Para Rasul adalah tentang Kebangkitan dan Kenaikan Tuhan Yesus, tentang janji akan Kedatangan Roh Kudus, dan tentang Kerajaan

Dijelaskan dalam putusan tersebut bahwasannya pemaknaan terhadap Pasal 15 ayat (2) terkait penyamaan sertifikat fidusia dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap,

Malah, Program Kongsi Rezeki turut dijalankan pihak Jabatan Hal Ehwal Pelajar dan Alumni (JHEPA) dengan kerjasama kafeteria universiti dengan menyediakan pek makanan untuk

PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses p embelajaran guru harus menciptakan suasana

Sesuai Permen ESDM 02/2011, proses ESC PLTP IPP FTP II dilakukan dengan: • Negosiasi : untuk harga hasil lelang diatas harga patokan 9,7 cent USD/kwh. • Tanpa negosiasi : untuk

Hasil observasi terhadap proses pembelajaran Biologi pada kelas X-1 SMA Negeri 3 Surakarta menunjukkan bahwa 23,52% siswa bertanya pada guru tentang materi yang