BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Kelapa Sawit (CPO)
Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) masih disebut minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil). Selain CPO, kelapa sawit menghasilkan PKO (Palm Kernel Oil). Produksi CPO Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 6% tahun. Indonesia mampu memproduksi CPO sebesar 25,4 juta ton sepanjang tahun 2012 dengan luas total perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 9,5 juta hektar (Ha) (Nurmayanti, 2013). CPO bersifat setengah padat pada suhu kamar, dengan titik cair antara 40-70 oC, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karotenoida. Berdasarkan perbedaan titik cairnya CPO dibagi menjadi 2 (dua) fraksi besar, yaitu fraksi olein (ringan) berbentuk cair yang mengandung asam lemak jenuh, dan fraksi stearin (berat) yang berbentuk padat yang mengandung asam lemak tak jenuh pada suhu kamar (Serlahwaty, 2007). Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak bebas (3-5%) dan komponen non trigliserida yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoida, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen trace element. Minyak kelapa sawit banyak mengandung lemak, asam lemak, karotenoida dan tokoferol. Komponen penyusun minyak sawit terdiri dari trigliserida dan non trigliserida (Tambun, 2002). Asam-asam lemak penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam-asam lemak jenuh yang mengandung sekitar 47-48 %, dan mempunyai ikatan tunggal. Sedangkan asam-asam lemak tak jenuh yang mengandung sekitar 52-53 %, dan mempunyai ikatan rangkap (Kuswardhani, 2007). Kelapa sawit dan bentuk warna CPO seperti Gambar 2.1 dibawah ini.
2.2 Komposisi Minyak Sawit 2.2.1 Komponen Trigliserida
Asam-asam lemak penyusun komponen trigliserida atau komponen mayor dari minyak kelapa sawit terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Telah dilaporkan Salunkhe, 1992, asam-asam lemak penyusun trigliserida dalam minyak sawit dari 3 (tiga) Negara adalah seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Komposisi asam lemak pada minyak sawit
Sedangkan dalam dunia perdagangan persyaratan kualitas minyak kelapa sawit kasar yang digunakan di Indonesia adalah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2901-2006 dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2 Standar kualitas minyak sawit kasar menurut SNI 01-2901-2006
No. Karakterisasi Satuan Nilai
1
2.2.2 Komponen non-trigliserida
Warna minyak kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kandungan karotenoida dalam minyak tersebut. Karotenoida dikenal sebagai sumber vitamin A, sedangkan tokoferol dan tokotrienol sebagai sumber vitamin E dan antioksidan. Tokoferol dapat dibedakan atas α, β, θ tokoferol. Disamping senyawa karotenoida dan tokoferol komponen minor lainnya dalam minyak sawit adalah senyawa sterol dan squalena.
Sterol adalah komponen karakteristik dari semua minyak dan sebagai sumber vitamin D serta sebagai bahan obat-obatan atau farmasi. Senyawa ini merupakan senyawa unsaponifiable. Senyawa sterol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan disebut phytosterol. Dua senyawa phytosterol yang telah dapat diindentifikasi karakteristiknya adalah β-sitosterol dan α -stigmasterol. Selain senyawa karotenoida, tokoferol dan sterol minyak sawit masih memiliki komponen minor yaitu senyawa phospatida. Senyawa ini dapat dianggap sebagai senyawa trigliserida yang salah satu asam lemaknya digantikan oleh asam phosphoric. Senyawa pospatida yang terpenting dalam CPO adalah lesitin. Senyawa ini larut dalam alkohol (May, 1994).
Minyak kelapa sawit mengandung kontaminan logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang merupakan katalisator yang baik dalam proses oksidasi, walaupun dalam jumlahnya yang sedikit. Sedangkan kotoran-kotoran dalam minyak kelapa sawit merupakan sumber makanan bagi pertumbuhan jamur lipolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya hidrolisis.
Air merupakan bahan perangsang tumbuhnya mikroorganisme lipolitik, karena itu di dalam perdagangan, kadar ini juga menentukan kualitas minyak. Jika kandungan air dalam minyak tinggi, maka dapat menaikkan kandungan asam lemak bebas selama penyimpanan. Akan tetapi minyak yang terlalu keringpun mudah teroksidasi, sehingga nilai optimum kadar air dan bahan menguap juga harus diuji (Ketaren, 2008).
2.3 Karotenoida
buah gugus cincin. Fraksi karotenoida yang paling berpengaruh dalam CPO adalah β-karoten, pigmen ini juga tidak stabil terhadap pemanasan. Karotenoida bentuk lainnya adalah seperti likopen, xantin, dan lutein. Karotenoida termasuk kedalam kelompok senyawa terpenoid, dimana mempunyai rumus umum adalah (C5H8)n. Untuk karotenoida memiliki n=8 (tetra), sehingga rumus kimia karotenoida adalah C40H56. Rumus bangun senyawa karotenoida adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 Rumus bangun α, β dan γ karoten
Senyawa karotenoida dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
(i) karotenoida hidrokarbon C40 H56 seperti alfa, beta, gamma karotenoida dan likopen (ii) xantofil dan derivatnya karotenoida yang mengandung oksigen dan hidroksil antara
(iv) ester xantofil asam lemak (Meyer, H., 1966). Senyawa karotenoida sangat penting dalam kehidupan manusia karena berfungsi sebagai sumber vitamin A, antioksidan, bahan pewarna serta dalam bidang kecantikan.
2.4 Metode Pemisahan Karotenoida
Metode pemisahan karotenoida dari minyak sawit dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu dengan mereaksikan minyak sawit dengan natrium hidroksida metanolik 2-3% selama beberapa jam pada suhu 30-40 oC sehingga hampir 98% minyak terkonversi menjadi ester. Gliserin yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan cara dekantasi dan ester didistilasi molekuler pada suhu 100 oC dalam keadaan vakum bertekanan 0,0001 mmHg. Metil ester akan terdistilasi dan karotenoida tertinggal sebagai residu dari hasil distilasi (Blaizot, P., 1956). Selain cara diatas karotenoida juga dapat diperoleh dengan cara distillasi molekular. Untuk memperoleh konsentrat karotenoida dari minyak sawit dengan proses distillasi molekular dilakukan dengan proses netralisasi dan transesterifikasi dari minyak sawit terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan distillasi molekular dari ester sehingga diperoleh konsentrat karotenoida 30.000 ppm (C.B Batistella, Wolf Maciel, MR, 1998). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut petroleum eter : aseton (1: 3) untuk mengestraksi karotenoida dari minyak sawit mentah (Sahidin, 2001). Cara ekstraksi yang lain yaitu dengan penggunaan CO2 cair sebagai pelarut dapat digunakan untuk memperoleh konsentrat karotenoida melalui sistem Supercritical Fluid Extraction dimana sampel yang ditempatkan dalam bejana ekstraksi pada suhu 40 oC dan tekanan 30 Mpa kemudian gas CO2 didinginkan pada suhu -5 oC sebelum pompa HPLC digunakan untuk memompa CO2 cair ke ekstraktor secara kontiniu pada kondisi spesifik ekstraksi dengan laju alir yang konstan 5 mL/menit sehingga diperoleh karotenoida konsentrat (Wei, 2005).
Konsentrat karotenoida dari minyak sawit juga banyak diperoleh dengan menggunakan proses adsorpsi dengan adsorben alami maupun adsorben sintetis diikuti dengan ekstraksi pelarut. Penggunaan adsorben sintetik jenis kopolimer sintetik stiren divinil benzena sudah dilakukan. Proses tersebut pertama dimulai dengan mencampurkan adsorben dengan IPA (isopropanol) kemudian diaduk selama 15 menit. Adsorben dipisahkan dari IPA dan dikeringkan dalam temperatur kamar sehingga dapat digunakan dalam proses adsorpsi. Selanjutnya minyak kelapa sawit dilarutkan dalam IPA. Adsorben kemudian dimasukkan ke dalam kolom diikuti dengan minyak kelapa sawit. Karotenoida kemudian diekstraksi denngan n-heksan untuk memisahkannya dari adsorben. Karotenoida yang diperoleh sampai dengan 20.000 ppm dengan variasi yang paling sesuai adalah pada 1,5 jam dan temperatur 40 oC (Latip., Baharin., 2001). Selain itu dapat juga digunakan adsorben campuran abu sekam padi dan silika gel sebagai adsorben berdasarkan metode kromatografi adsorpsi dimana adsorben dimasukkan ke dalam kolom yang diikuti dengan metil ester kasar dan dielusi dengan menggunakan pelarut n-heksan kemudian eluat dipekatkan dengan gas N2 (Zulkipli, 2007).
Penggunaan bahan penjerap arang aktif dan bleaching earth dalam larutan n-heksan dimana minyak sawit dilarutkan terlebih dahulu dengan n-heksan dan ditambahkan dengan bahan penjerap kemudian dishaker selama beberapa saat. Karotenoida yang terjerap dilarutkan dengan n-heksan dan aseton untuk memperoleh konsentrat karotenoida (Serlahwaty, D., 2007) dan penggunaan bentonit dimana minyak sawit dan adsorben (3:1) dicampurkan dalam suatu reaktor berpengaduk selama 171 menit. Selanjutnya disaring dengan menggunakan pompa vakum untuk memisahkan minyak dengan adsorben yang telah mengandung β-karoten. Kemudian karotenoida pada adsorben didesorpsi dengan pelarut n-heksan dan dipekatkan dengan gas N2 sehingga diperoleh konsentrat karotenoida (Hayuningtias, 2007).
2.5 Metode Adsorpsi
proses adsorpsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren, 1986). Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan sisi-sisi aktif di permukaan adsorben. Pada proses adsorpsi terjadi perubahan kepekatan dari molekul ion atau atom antara permukaan dua fase.
Menurut Pari (1995) metode adsorpsi ada dua macam, yaitu adsorpsi secara fisik (physiosorption) dan adsorpsi secara kimia (chemisorption). Adsorpsi fisik terjadi sebagai akibat dari perbedaan energi atau daya tarik menarik elektrik (listrik) sehingga molekul-molekul penjerap terikat secara fisik pada molekul adsorbat. Permukaan partikel padat biasanya lebih aktif dari pada bagian dalamnya, sehingga umum dikatakan mempunyai aktivitas permukaan (surface activity). Sedangkan chemisorption (adsorpsi kimia) terjadi sebagai akibat dari adanya reaksi dari atom-atom yang ada pada molekul adsorbat sehingga molekul-molekul penjerap terikat secara kimia pada molekul adsorbat.
Bila zat padat tersebut dimasukkan dalam suatu larutan, permukaan partikel zat padat tadi mempunyai daya tarik baik pada zat-zat yang terlarut maupun pada zat pelarutnya. Daya tarik atau kekuatan ikatan senyawa organik dengan suatu penjerap tergantung pada kekuatan tipe interaksi yaitu interaksi ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol terinduksi dan ikatan Van der Walls (Slejko, 1985).
1. Adsorpsi adalah proses keseimbangan antara konsenterasi pada satu bidang permukaan dan konsenterasi lain di bidang mana komponen itu terkandung, jadi keadaannya adalah reversibel.
2. Banyak komponen yang diadsorpsi sebanding dengan luas permukaan zat adsorben
3. Daya adsorpsi tiap jenis adsorben terhadap suatu zat berbeda, bahkan cara pembuatan adsorben yang berbeda menyebabkan daya adsorpsi yang berlainan.
4. Daya adsorpsi akan berkurang bila suhu bertambah tinggi
5. Adsorpsi diikuti oleh pengeluaran panas (energi). (Sukmariah dan Kamianti, 1990).
Adsorpsi hidrokarbon tak jenuh dalam substrat logam merupakan sebuah interaksi fisik lemah, dimana lebih didominasi oleh gaya Van der Walls. Ikatan hidrokarbon tak jenuh dengan logam pertama kali dikembangkan oleh Dewar, Chatt dan Duncanson yang sekarang dikenal sebagai model DCD yang didasarkan pada konsep orbital terdepan. Pada model ini, interaksi ditunjukkan dengan adanya donasi muatan dari orbital π tertinggi yang terisi ke logam dan substansi backdonation dari muatan logam yang terisi ke orbital π terendah yang tidak terisi (Nilson, A dan L.G. Peterson, 2008).
2.6 Resin Amberlite IR 120 Na
Gambar 2.3 Pertukaran ion resin
Satu ekivalen berat natrium menggantikan satu ekivalen berat hidrogen dari resin. Pada proses ini tidak terjadi kehilangan maupun kelebihan ion. Resin mempunyai dua bentuk yaitu bentuk resin gel dan resin macroporous. Resin gel mempunyai karakteristik yaitu kapasitas resin lebih tinggi, lebih mudah fouling karena ukuran pori-pori lebih kecil, kekuatan mekanis lebih rendah dan cocok untuk air dengan kandungan makromolekul sedikit. Resin makroporous mempunyai karakteristik yaitu secara mekanis lebih kuat dari pada resin jenis gel, kapasitas resin lebih rendah, tidak mudah fouling dan cocok untuk makromolekul seperti zat organik. Kedua-dua jenis bentuk resin dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini :
Resin Gel Resin Macroporous Gambar 2.4 Bentuk resin
Exchange dan Hidrogen Exchange (Rudy, 2000). Afinitas resin dapat dilihat antara resin kation asam kuat dan resin anion basa kuat seperti Tabel 2.4 di bawah ini :
Tabel 2.4 Arah Afinitas Resin dari Lemah ke Kuat
Resin Kation Asam Kuat Resin Anion Basa Kuat Ferri Iron, Fe3+ makin kuat
[SO2NaC6H4CHCH2]CHCH2C6H4CHCH2, senyawa ini adalah dalam bentuk kopolimer. Rumus bangunnya dapat dilihat pada gambar 2.4 sebagai berikut :
Gambar 2.5 Rumus Bangun Amberlite IR 120 Na
Sifat-sifat dan karakteristik garam amberlite IR120 Na mempunyai type Na (Natrium), penampakan dalam bentuk gel, butiran dan kuning sampai kecoklatan. Adapun rumus struktur dari amberlit IR 120 Na adalah seperti pada Gambar 2.5
Sedangkan Menurut Data Produk Sheet dari Rohm and Hass sebagai ion Exchange Resins, sifat lainnya dari amberlit IR 120 Na dapat dilihat pada Tabel 2.5 sebagai berikut:
Tabel 2.5 Sifat-sifat amberlite IR 120 Na
No Parameter Kandungan
1 Kadar air, % 46-52
2 Kapasitas Pengubah kompleks, (mmol/g) 4,5
3 Densitas basah, (g/ml) 0,77-0,87
4 Densitas basah sebenarnya, (g/ml) 1,24-1,28
5 Ukuran grain, (0,315-1,25mm) ≥95
6 Abrasi setelah laju bola ≥95
7 Ukuran, (Mesh) 50
8 Bentuk Gel
9 Matriks Stirena divinilbenzen kopolimer
10 Goup Fungsi Sulfonat
11 Bentuk fisik Bola Amber beads
12 Bentuk ion Na+
hidrokarbon yang panjang bersifat polar dan ikatan rangkap yang memiliki kaya elektron yang dapat berinteraksi dengan gugus non polar dari adsorben. Adsorben ini kemudian dimodifikasi dengan garam klorida dari kalsium (Ca), magnesium (Mg), stronsium (Sr) dan barium (Ba) untuk dalam satu golongan.
Stirena divinil benzena kopolimer merupakan senyawa non-polar dengan rantai hidrokarbon panjang sehingga akan saling menyukai dengan karotenoid yang juga bersifat non-polar sedangkan di dalam amberlite IR 120 Na terkandung logam-logam dengan memiliki orbital d sehingga dapat berinteraksi dengan ikatan rangkap terkonjugasi dari karotenoid. Untuk itu diperlukan adsorben dengan kedua sifat tersebut. Adsorben polimer sintetis yang mempunyai kedua sifat tersebut diantaranya adalah garam amberlite IR 120 Na dan garam polistiril sulfonat dengan memodifikasinya dengan beberapa logam golongan IIA yaitu Mg, Ca, Sr, dan Ba.
Ikatan antara hidrokarbon tak jenuh dengan logam ini dijelaskan melalui konsep orbital terdepan yang dikembangkan oleh Dewar, Chatt dan Duncanson (DCD), (2008) yang menjelaskan bahwa interaksi terjadi dengan adanya donasi muatan dari orbital π yang terisi ke logam yang diikuti dengan backdonation dari orbital d logam yang terisi kepada orbital π* terendah yang tidak terisi. Selain itu sebagai contoh logam kalsium dapat membentuk ikatan dengan hidrokarbon tak jenuh seperti pada Gambar 2.6 di bawah ini.
Gambar 2.7 Donasi Muatan Elektron dari Orbital-π Terisi dari Etilen ke Logam
interaksi. Interaksi ini diperkuat oleh adanya interaksi antara ikatan π dengan orbital LUMO dari logam kalsium sehingga kalsium polistirena sulfonat dapat berfungsi sebagai adsorben. (Shriver, 1990).
2.7 Polistirena Sulfonat
Polistirena adalah polimer linier yang secara kimia bersifat inert. Polistirena bersifat kaku, sifat optis yang bagus, tahan terhadap zat alkalis, halida asam dan agen oksidasi-reduksi (Ulrich, 1993). Namun, polistirena dapat dinitrasi dengan uap asam nitrat dan disulfonasi dengan asam sulfat pekat pada suhu 100 oC. Polistirena mempunyai bentuk transparan dan indeks bias (1,60) yang tinggi sehingga dapat berguna untuk komponen optik plastik dan baik untuk insulator listrik. Gaya tarik dari polistirena mencapai 8000 psi. Polistirena di gunakan untuk injeksi cetakan seperti pada sisir, kancing, mainan, insulator listrik, lensa, radio, televisi, kulkas dan panel pencayahaan. Polistirena dapat dibuat melalui polimerisasi stirena dengan adanya peroksida seperi benzoil peroksida sebagai inisiator. Monomer stirena di buat dari benzena dan etilena pada suhu 90 oC dengan bantuan katalis AlCl3 dimana etil benzena dihidrogenasi ke stirena dengan adanya katalis besi oksida, magnesium oksida atau aluminium oksida pada suhu 600 0C. Stirena dapat dipisahkan dengan metode destilasi (Dara, 1986). Reaksi Pembuatan Polistirena ditampilkan pada Gambar 2.7. dibawah ini.
Gambar 2.7 reaksi pembuatan polistirena terdapat kesukaran dalam pemumian stirena melalui penyulingan karena manomer mudah terpolimerkan sekalipun pada suhu sedang.stirena dapat di polimerkan dengan menggunakan sinar matahari ataupun katalis dimana derajat polimerisasinya bergantung pada kondisi polimerisasi.polistirena merupakan bahan lentuk – bahang yang bening(kecuali jika ditambahkan warna atau pengisi) dan dapat dilunakkan pada suhu sekitar 100 0C. Polistirena tahan terhadap zat pengarat (korosif) tetapi mudah larut dalam hidrokarbon aromatik dan berklor. Dalam propanon (aseton), polistirena hanya mengembung (Cowd, 1991).
2.7.1. Reaksi Sulfonasi
Sulfonasi adalah suatu reaksi untuk memodifikasi bahan polimer yang memiliki cincin aromatik sebagai rantai utama nya.karena sulfonasi termsuk kedalam reaksi elektrofilik maka reaksi ini sangat bergantung pada tipe gugus yang terikat pada cincin aromatis dimana polimer dengan gugus difenil eter dapat disulfonasi di bawah kondisi dingin karena ada efek donasi elektron dari gugus eter.sulfonasi dari polimer aromatis bisa jadi sangat komleks karena reversibilitasnya.untuk itu,reproduksibilitas dengan menggunakan kondisi reaksi yang sama bisa menjadi hal yang sangat sulit (Pinto, 2006).
Sulfonasi benzena dengan asam sulfat berasap (H2SO4 dan SO3) menghasilkan asam benzena sulfonat dapat dilihat pada Gambar 2.8. dibawah ini.
Gambar 2.8 menunjukkan bahwa sulfonasi bersifat mudah balik dan menunjukkan efek isotop kinetik yang sedang dimana ion benzenonium antara dalam sulfonasi dapat kembali ke benzena atu terus ke asam benzenasulfonat dengan hampir sama mudah nya.gugus asam sulfonat mudah digantikan oleh anekaragam gugus lain.oleh karena itu ,asam arilsulfonat merupakan zat antara yang bermanfaat dalam sintesis (Fessenden, 1986).
Gambar 2.10. Reaksi Sulfonasi Polistirena dengan Asetil Sulfat
Gambar 2.9 menunjukan bahwa bahan polimer yang telah tersulfonasi dianggap sebagai senyawa makromolekul yang mengandung gugus sulfonik ( –SO3H ) dengan sifat kimia dan mekanik yang disukai sehingga banyak diaplikasikan dalam industri seperti untuk bahan penukar ion, membran untuk ultrafiltrasi dan plasticizers untuk komposit konduktif (Martins, 2003).
2.7.2. Sintesis Polistirena sulfonat