BERBAGAI FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
HIPERTENSI
OLEH:
BIANTI NURAINI
1118011023
FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
Latar Belakang: Hipertensi merupakan penyakit peningkatan tekanan darah di atas nilai normal. Menurut American Society of Hypertension (ASH), hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan. Komplikasi yang dapat terjadi akibat hipertensi adalah penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjal kronik, dan retinopati. Penyebab terjadinya hipertensi sampai saat ini belum dapat dipastikan, namun dampak dari hipertensi mengakibatkan morbiditas yang memerlukan penanganan serius, dan mortalitas yang cukup tinggi sehingga hipertensi disebut sebagai “the silent killer”. Pembahasan: Beberapa faktor yang diketahui menyebabkan terjadinya hipertensi terdiri dari faktor penyebab yang dapat dimodifikasi (diet, obesitas, merokok, dan penyakit DM) dan faktor penyebab yang tidak dapat dimodifikasi (usia, ras, jenis kelamin dan genetic). Hipertensi tidak hanya menyerang di usia tua saja, tetapi remaja juga dapat mengalaminya, hal ini karena pada masa transisi remaja ingin menunjukan jati dirinya sehingga rentan terhadap masalah serta berperilaku risiko tinggi, seperti merokok, obesitas, dan lain-lain. Perilaku-perilku berisiko tersebut merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya hipertensi.
Simpulan: Diharapkan dengan mengetahui faktor-faktor penyebab hipertensi, dapat meningkatkan pencegahan hipertensi sedini mungkin dan mencegah terjadinya komplikasi yang terjadi akibat hipertensi.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap dinding pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah terhadap dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Besaran tekanan darah bervariasi tergantung pada elastisitas pembuluh darah, volume darah dan denyut jantung. Tekanan darah paling tinggi terjadi ketika ventrikel berkontraksi yang dinyatakan sebagai tekanan sistolik, dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi yang dinyatakan sebagai tekanan diastolik. Pada keadaan hipertensi, tekanan darah meningkat yang ditimbulkan karena darah dipompakan melalui pembuluh darah dengan kekuatan berlebih.
Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan, WHO menyatakan hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg, (JNC VII) berpendapat hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diatas 140/90 mmHg, sedangkan menurut Brunner dan Suddarth hipertensi juga diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya diatas140/90 mmHg (Brunner dan Suddarth, 2002). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik yang persisten diatas 140 mmHg sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
Mekanisme hipertensi pada usia lanjut belum diketahui secara pasti, namun proses penuaan berdampak terhadap perubahan sistem kardiovaskuler dimana terjadi perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh darah besar
meningkat dan elastisitas pembuluh darah
Hipertensi yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, bila mengenai jantung kemungkinan dapat terjadi infark miokard, jantung koroner, gagal jantung kongestif, bila mengenai otak terjadi stroke, enselopati hipertensif, dan bila mengenai ginjal terjadi gagal ginjal kronis, sedangkan bila mengenai mata akan terjadi retinopati hipertensif. Dari berbagai komplikasi yang mungkin timbul merupakan penyakit yang sangat serius dan berdampak terhadap psikologis penderita karena kualitas hidupnya rendah terutama pada kasus stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung.
B. TUJUAN
1. Tujuan umum:
Tujuan umum dari karya tulis ilmiah (KTI) yang diangkat oleh penulis adalah agar penulis memahami lebih mendalam tentang penyakit hipertenai dan penatalaksanaannya.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari karya tulis ilmiah (KTI) ini adalah: a. Mengetahui dan memahami definisi dari hipertensi
b. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi
c. Mengetahui dan memahami patofisiologi terjadinya hipertensi d. Mengetahui komplikasi dari hipertensi
PEMBAHASAN
A. Definisi
Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap dinding pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah terhadap dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Besaran tekanan darah bervariasi tergantung pada elastisitas pembuluh darah, volume darah dan denyut jantung. Tekanan darah paling tinggi terjadi ketika ventrikel berkontraksi yang dinyatakan sebagai tekanan sistolik, dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi yang dinyatakan sebagai tekanan diastolik.
Hipertensi Menurut WHO adalah peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg. Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan tekanan diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik. Dan menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
Berdasarkan JNC VII seorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg. Seseorang yang berusia 50 tahun dengan tekanan darah sitolik > 140 mmHg lebih berisiko menderita penyakit kardiovaskular daripada hipertensi diastolik. Risiko menderita penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, menambah 2 kali pada setiap penambahan 20/10 mmHg. Seseorang yang mempunyai tekanan darah normal pada usia 55 tahun, 90% nya berisiko menjadi hipertensi.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi :
dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini dkk, 2009).
2. Obesitas: indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
3. Stress karena Lingkungan: Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat. Selain itu, pada saat stres biasanya pilihan makanan kita kurang baik. Kita akan cenderung melahap apa pun untuk merilekskan diri, dan itu bisa berdampak secara tidak langsung pada tekanan darah kita.
4. Kurang olahraga: Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri (Rohaendi, 2008).
5. Mengkonsumsi garam berlebih: Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi. (Hans Petter, 2008).
stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani, 2007).
C. Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti refleks kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang
D. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).
Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian.
Kardiovaskular
miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi infark.
Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik.
Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina. Penderita hypertensive retinopathy pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir.
Kerusakan yang lebih parah pada mata terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat secara tiba-tiba. Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara mendadak, antara lain nyeri kepala, double vision, dim vision, dan sudden vision loss.
E. Penatalaksanaan Hipertensi.
Pencapaian tekanan darah target secara umum dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:
1. Modifikasi Gaya Hidup: Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi merupakan suatu cara pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak terabaikan dalam penanganan pasien tersebut. Modifikasi gaya hidup memperlihatkan dapat menurunkan tekanan darah yang meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight atau obesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang tinggi kalium dan kalsium, rendah natrium, olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, mempertinggi khasiat obat antihipertensi, dan menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Contohnya, konsumsi1600 mg natrium memiliki efek yang sama dengan pengobatan tunggal. Kombinasi dua atau lebih modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang lebih baik. Berikut adalah uraian modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan hipertensi.
2. Terapi Farmakologi: Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah a. diuretik tiazid (misalnya bendroflumetiazid),
b. beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,)
c. penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), d. antagonis angiotensin II (misalnya candesartan, losartan),
e. calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan f. alpha‐blocker (misalnya doksasozin).
Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.
sekali sehari. Efek samping yang dapat ditimbulkan akibat mengonsumsi diuretic antaralain yaitu peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia, hipo‐natriemi, dan hipomagnesiemi.
b.
c. Beta-blocker :Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor.
Beta adrenoreseptor diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung dan ginjal sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, otak, dan otot lurik. Sehingga ditemukan juga di jantung karena jantung termasuk golongan otot lurik. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system rennin‐angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.
Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah.Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena rebound.
Efek samping Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta‐bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangan‐kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer, hipoglikemia, impotensi dan mimpi buruk (night mare) terutama pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol.
pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi.
e. Antagonis Angiotensin II Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
f. Calcium channel blocker (CCB) dapat menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina.
Penanganan menurunkan tekanan darah dapat memberikan penurunan insidensi stroke dengan persentase sebesar 35-40%; infark mioakrd, 20-25%; gagal jantung, lebih dari 50%. Diperkirakan bahwa pada pasien dengan hipertensi stage 1 (TDS 140-159 mmHg dan TDD 90-99 mmHg) yang disertai dengan faktor resiko penyakit kardiovaskuler, jika dapat menurunkan tekanan darahnya sebesar 12 mmHg selama 10 tahun akan mencegah 1 kematian dari setiap 11 pasien yang diobati. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ, hanya 9 pasien yang diketahui melakukan pengontrolan tekanan darah dalam mencegah kematian.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan :
1. Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg. Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi a. Genetik
b. Obesitas c. Stress
d. Kurang olahraga
e. Mengkonsumsi garam berlebih f. Kebiasaan Merokok
3. Komplikasi yang dapat timbul apabila hipertensi tidak ditangani antaralain yaitu:
a. Apabila mengenai bagian otak otak maka akan mengalami stroke. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension. Management of hypertension in adults in primary care. London:NICE;2006.
Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine McCarty. 1995. Hipertensi dalam Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. FKUI. Jakarta: Balai Pustaka