PERMASALAHAN PESISIR DAN SUMBER DAYA LAUT MANAJEMEN DI
INDONESIA
Oleh : PM.Ananda Samekto,SE.MM Dosen KPN STIMART AMNI SEMARANG
ABSTRAK
Ini adalah fakta yang diketahui bahwa bagian dari ekosistem laut pesisir seperti muara, bakau, tempat tidur rumput laut, dan terumbu karang, sangat produktif. Produksi primer mungkin pergi ke 10.000 g C / m2 / tahun dalam sistem ini. Hal ini sangat tinggi dibandingkan dengan produksi primer di laut terbuka yang hanya 50-100 g C / m2 / tahun. Akibatnya laju produksi sekunder, seperti ikan, dan fauna laut lainnya, yang hidup dalam sistem ini, juga tinggi. kegiatan antropogenik dilakukan dalam rangka untuk menggunakan sumber daya di wilayah pesisir, seperti praktek destructive fishing, penambangan karang, pemotongan mangrove, dapat mempengaruhi ikan (termasuk fauna laut lainnya) produksi.
Mengingat sifat destruktif dari beberapa aktivitas manusia di daerah pesisir, pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa hukum dan peraturan untuk perlindungan lingkungan laut. Ini termasuk pembentukan 37 kawasan konservasi laut yang mencakup area seluas sekitar 2.800.000 Ha. Diharapkan daerah-daerah tersebut akan diperluas ke 30.000.000 Ha pada tahun 2000, tetapi tidak ada jaminan apakah ekspansi ini dapat dicapai atau tidak. Sementara itu strategi untuk mencari alternatif untuk praktek yang merusak di ekosistem pesisir dan laut sedang dipersiapkan.
Kata kunci: Manajemen Sumber Daya Kelautan Pesisir
I. PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terdiri dari
sekitar 17.508 pulau dengan lebih 81.290 km
dari garis pantai. Sebagai negara kepulauan,
Indonesia didominasi oleh lingkungan laut.
Wilayah laut mencapai 81,7% (5,8 juta
kilometer persegi) dari luas total bangsa. Selain
0,3 juta kilometer persegi wilayah perairan,
yurisdiksi Indonesia yang terbentang lebih dari
2,7 juta kilometer persegi lautan sebagai Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pesisir dan laut ekosistem, yang
terdiri dari muara, bakau, rumput laut, dan
terumbu karang yang produktif. Telah
dilaporkan bahwa produksi kelautan utama
dalam sistem ini dapat mencapai rata-rata
3.000 g C1m2 / tahun, dan bahkan di
beberapa systemn seperti perairan terumbu
karang, produktivitas primer mereka dapat
naik ke 11.680 g C / m2 / tahun, misalnya
sebagaimana dicatat di Hawaii oleh Gordon
dan Kelly (Supriharyono, 2000). Sebaliknya,
produktivitas di sekitarnya hanya 21-27 g C /
m2 / tahun. Beberapa peneliti menyarankan
bahwa secara umum, produksi utama sangat
rendah di laut terbuka, yang hanya sekitar
50-100 g C / m2 / tahun, dibandingkan dengan
Produktivitas primer yang tinggi dari perairan
pesisir menyebabkan berkumpulnya ikan dan
invertebrata laut lainnya, di daerah ini, baik
untuk tujuan pemijahan, keperawatan, atau
makan. Oleh karena itu, produktivitas
sekunder, seperti ikan, udang, dan invertebrata
laut lainnya, biasanya juga tinggi dalam sistem
ini.
Sektor perikanan bersama dengan
kegiatan lainnya di pesisir dan laut daerah,
seperti pengiriman atau berlayar, kegiatan
pelabuhan, lepas pantai pengeboran minyak,
perikanan laut, tambak (tambak) eksploitasi
dan wisata bahari memberikan penghasilan
ekonomi nasional. Kegiatan ini menghasilkan
total 22% dari PDB (Gross Produk
Domestik) pada tahun 1992 (Sugandhy, 1993).
Namun, kegiatan di atas dalam penggunaan
sumber daya alam di wilayah pesisir seringkali
tumpang tindih antara satu sama lain, dan
mengakibatkan penurunan potensi sumber
daya di daerah-daerah.
Berkenaan dengan masalah di atas,
manajemen dari kedua sumber daya hidup dan
aktivitas manusia di daerah pesisir mungkin
diperlukan. Makalah ini menjelaskan beberapa
ringkasan dari studi yang telah dilakukan di
banyak bagian wilayah pesisir Indonesia,
seperti Kepulauan Riau (Supriharyono et al,
1990), Sulawesi Selatan (Supriharyono et al,
1990), Sulawesi Utara (Supriharyono et al,
1993), North Coast Jawa Tengah
(Supriharyono et al, 1990, 1992). Makalah ini
juga melaporkan strategi nasional untuk
pengelolaan pesisir di Indonesia.
II. MASALAH DAN ISU
PEMBANGUNAN PESISIR
Hal ini juga diketahui bahwa
ekosistem pesisir dan laut yang potensial
ekosistem produktif bagi Indonesia. Namun,
ada masalah yang terkait dengan
pengembangan penggunaan sumber daya alam
di ekosistem pesisir dan laut untuk produksi
perikanan. Masalah dan isu terdaftar sebagai
berikut:
2.1. Dampak Pembangunan Industri
Pembangunan nasional di sebagian
besar negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia ditandai dengan meningkatnya
jumlah industri. Jumlah industri meningkat
sekitar 256% antara tahun 1978-1995 di
Indonesia, dengan rata-rata sekitar 15% /
tahun (BPS, 1995). Mayoritas industri ini
berkembang pesat di kota-kota besar,
terutama di daerah pesisir. Sayangnya, tidak
semua industri yang dilengkapi dengan
instalasi pengolahan air limbah. Oleh karena
itu, limbah mereka sering mencemari sungai
atau aliran, dengan demikian mereka akhirnya
mencemari laut. Hal ini mengakibatkan
penurunan kemungkinan kualitas air di sungai,
dan / atau perairan laut, dengan risiko
kerusakan dan degradasi ekosistem laut dan
pesisir. Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya kegiatan lain seperti kliring mangrove.
Produksi ikan di perairan pesisir di Sulawesi
Utara, misalnya, menurun sekitar 1,53% pada
tahun 1991 karena pembukaan hutan bakau
pada tingkat peningkatan pengiriman,
beberapa diantaranya membawa bahan-bahan
beracun dan berbahaya, mungkin
membahayakan organisme laut oleh polusi
laut juga.
2.2.Dampak Deforestasi
Ini adalah fakta bahwa banyak hutan
di daerah atas telah diubah, baik untuk tujuan
pertanian atau pemukiman. deforestasi seperti
menghasilkan tingkat sedimentasi yang tinggi
di perairan pesisir.
Supriharyono (1986) melaporkan
bahwa Deforestasi dan pengelolaan lahan
yang buruk di daerah daerah atas telah
menghasilkan tingkat sedimentasi yang tinggi
di pantai utara perairan Jawa Tengah, yang
diterima oleh aliran sungai dan air sungai dari
daerah terkikis. Sedimentasi yang mencapai
sekitar 135 mg / cm2 / bulan. Selain itu, ini
mengakibatkan penurunan hidup cakupan
terumbu karang di beberapa daerah, dari
sekitar 40% menjadi di bawah 30%
(Supriharyono, 1990). Sisa karang hidup
menunjukkan kondisi stres dengan
pertumbuhan yang lambat (Supriharyono,
1986, 1988, 1990). Dalam penelitian terbaru di
Karimunjawa National Park, Supriharyono et
al (1999) melaporkan bahwa kliring mangrove
di Karimunjawa dan Kepulauan Kamojan
telah mempengaruhi pertumbuhan karang di
pulau-pulau tertutup untuk kegiatan
pemotongan, misalnya Pulau Cemara Kecil.
2.3. Praktek merusak Ekosistem Pesisir Karena sebagian besar industri yang
terletak di daerah pesisir, daerah operasi
penangkapan ikan dari nelayan skala kecil
menjadi sempit dan sempit. Sementara itu, di
masyarakat pesisir, kondisi sosial mayoritas
anggotanya, khususnya nelayan, yang
mengerikan. Sebagian besar memiliki latar
belakang pendidikan dan ketertampilan yang
rendah, sebagian hanya selesai Sekolah Dasar
(Preliminary Sekolah), dan beberapa dari
mereka bahkan tidak lulus. Oleh karena itu
dalam kondisi ini, sangat sulit bagi mereka
untuk bersaing dengan nelayan dengan
teknologi penangkapan ikan yang modern.
Sebagai hasil dari pendidikan dan
keterampilan yang rendah, banyak dari mereka
yang hanya digunakan di daerah pesisir.
Beberapa dari mereka bahkan menggunakan
teknik penangkapan ikan yang merusak,
seperti explosives penggunaan dan bahan
beracun (KCN). Praktek ini ditemukan di
banyak tempat di ekosistem pesisir dan laut di
Indonesia, misalnya Selat Malacca, Kepulauan
Riau (Sumatera Timur), Teluk Jakarta (Jawa
Barat), Kepulauan Karimunjawa (Jawa
Tengah), Bunaken (Sulawesi Utara), Taka
Bonerate pulau (Sulawesi Selatan), Padaido
pulau (Biak Numfor Papua), dan lain-lain
(Supriharyono et al berlangsung). Praktek
penangkapan ikan tersebut mengakibatkan
kehancuran laut dan sistem pesisir, terutama
terumbu karang (Supriharyono et al, 1990;
2.4. Mangrove Forest Kliring
Banyak peneliti, misalnya Soegiarto
dan Polunin, 1982; KLH, 1993, telah
melaporkan bahwa mangrove, sebagai bagian
dari ekosistem, memberikan potensi ekonomi
yang berharga di daerah pesisir, karena sistem
ini mengandung produktivitas laut tinggi,
seperti ikan, udang, lobster, moluska, dan
kura-kura. Sayangnya, tribun bakau sering
dipotong karena beberapa alasan. Banyak
bukti membuktikan bahwa persentase hidup
cakupan bakau menurun, baik karena
langsung dan tidak langsung efek dari aktivitas
manusia di daerah pesisir. Deforestasi hutan
mangrove atau pembukaan lahan di banyak
daerah pesisir, seperti di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, untuk pengembangan
perikanan dan produksi arang mengakibatkan
penurunan jumlah total ikan yang ditangkap di
daerah-daerah (Supriharyono et al, 1990; ).
Hal ini dicatat bahwa sekitar 11.012 Ha daerah
mangrove hilang di Asahan, Deli Serdang, dan
Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara
karena produksi arang (Kurniawan, 1998).
kliring Mangrove untuk industri arang juga
dilaporkan di provinsi Riau, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Timur (Kasim Moosa et al, 1996).
Selain itu, produksi tahunan arang dilaporkan
sekitar 7,000-15,000 m3 di Riau, dan 70.000
m3 di Kalimantan Timur. Angka-angka ini,
bagaimanapun, masih di bawah kuota
pemerintah untuk ekspor arang, yaitu 500.000
m3 per tahun. Hilangnya pohon bakau yang
terkena dampak tidak hanya industri arang,
tetapi juga pengembangan perikanan.
Perkembangan payau budidaya ikan air,
terutama saat permintaan udang pisang
(Penaeus monodon) meningkat di pasar
ekspor, rsulted dalam pembukaan beberapa
daerah mangrove. Hutan bakau dipotong dan
berbalik intor tambak (tambak). Misalnya,
sekitar 5.000 ha hutan mangrove di Sumatera
Utara, 20.000 ha di Riau, 75.000 ha di Aceh,
dan 1.750 ha di Sumatera Selatan telah dibuka
untuk pembangunan tambak (Burdridge et al.
1988). Di Karimunjawa dan Kepulauan
Kamojan (bagian dari Kepulauan
Karimunjawa, Jepara), beberapa 51,9 Ha
mangrove telah dipotong untuk tambak pada
tahun 1999. kliring bakau ini meningkat di
daerah-daerah tahun ke tahun ( Balai Taman
Nasional Kepulauan Karimunjawa, 1999).
Ada juga wujud bahwa hutan mangrove
dipotong tidak hanya untuk pengembangan
tambak, tetapi juga untuk keperluan lain,
misalnya produksi kayu api dan arang. Di
Provinsi Riau, misalnya, hutan bakau dipotong
secara intensif . Produksi kayu meningkat
sekitar 14,5 %, dari 16,288.920 m3 di
1984-1985 untuk 18,649.178 m3 di 1985-1986. Total
produksi arang meningkat sekitar 17,5% ,
yaitu dari 10,901.062 m2 di 1984-1985 dan
meningkat menjadi 12,808.41 m2 di
1985-1986 . Selain itu, pembukaan hutan mangrove
juga dilakukan dalam rangka untuk
membangun sawah pasang surut, perumahan,
dll. Kondisi ini, jika tidak diawasi , akan
III. MANAJEMEN STRATEGI EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT
Dalam mengelola lingkungan pesisir
dan laut, Sugandhy (1993) menunjukkan
bahwa pengelolaan lingkungan ini tidak harus
dipisahkan dari lingkungan di darat. Hal ini
diperlukan untuk mengintegrasikan kegiatan
yang ada di darat dan orang-orang di daerah
pesisir. Diharapkan bahwa hal tersebut akan
meminimalkan konflik kepentingan dalam
memanfaatkan sumber daya alam dan
mengatasi pencemaran di laut yang berasal
dari tanah.
manajemen harus mencakup upaya
dalam perencanaan, upaya pemanfaatan,
pemeliharaan, pengendalian, evaluasi dan
restorasi, rehabilitasi, pembangunan dan
konservasi kelautan dan lingkungan pesisir.
Kelautan dan pengelolaan pesisir harus
mengembangkan secara optimal pemanfaatan
(berkelanjutan) dari sumber daya di
daerah-daerah dengan cara yang efektif dan efisien.
Pada saat yang sama, pengembangan kelautan
yang berkelanjutan harus dilaksanakan secara
optimal, dengan mempertimbangkan daya
dukung alam bersama-sama dengan
peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Dalam
banyak kasus, nelayan mungkin tidak tahu
apakah kegiatan mereka membahayakan
lingkungan laut atau tidak. Sebagai contoh,
banyak praktek penangkapan ikan, seperti
muro-ami, bombfishing, dan penggunaan
potasium sianida membahayakan terumbu
karang. Oleh karena itu, pemerintah melalui
COREMAP, saat ini sedang mengembangkan
proyek mencari praktik alternatif untuk
mengurangi dan akhirnya berhenti teknik
penangkapan ikan yang merusak terumbu
karang (Supriharyono et al., Dalam proses).
Proyek ini mengambil tempat di Taka
Bonerate dan Kepulauan Padaido (bagian dari
proyek COREMAP). Proyek ini berencana
mencari teknik perikanan yang berkelanjutan,
budaya laut dan mata pencaharian alternatif
bagi masyarakat pesisir, terutama di situs
tersebut.
3.1. Aturan dasar dan Peraturan di
Manajemen Wilayah Pesisir
Mengingat masalah di lingkungan
pesisir dan laut, pemerintah Indonesia telah
menetapkan beberapa hukum dan peraturan
untuk pengelolaan lingkungan. Ini, antara lain,
adalah:
Undang-Undang Nomor 5/1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan; Undang-Undang Nomor 1/1973 tentang
Landas Kontinen Indonesia;
Undang-Undang Nomor 5/1974 tentang
Goverrment Pelimpahan Kewenangan
untuk Pemerintah Daerah atau Propinsi; Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang
ZEE Indonesia;
Undang-Undang Nomor 5/1985 tentang
Perikanan;
Undang-Undang Nomor 9/1990 tentang
Kepariwisataan;
Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hidup
Undang-Undang Nomor 23/1992
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Undang-Undang Nomor 24/1992
tentang Penataan Ruang;
Undang-Undang Nomor 5/1994 tentang
Pengesahan Konvensi PBB tentang
Keanekaragaman Hayati.
Dengan aturan dan peraturan ini,
diharapkan bahwa kerusakan lingkungan laut
akibat aktivitas manusia akan berkurang. Di
banyak tempat di mana aturan dan peraturan
ini tidak mengambil efek, penyebabnya
mungkin kurangnya sosialisasi.
3.2. Pembangunan Kelautan Berkelanjutan
Dalam referensi untuk sumber daya
laut yang berkelanjutan, Program Konservasi
Laut yang Indonesia telah membentuk 10 juta
hektar kawasan konservasi laut, yang tersebar
di 85 cadangan di perairan laut Indonesia.
Pemilihan kawasan konservasi laut terutama
didasarkan pada Kelautan Atlas, dan informasi
dari beberapa lembaga yang terlibat dalam
kegiatan kelautan, misalnya perikanan,
pariwisata, dan lembaga penelitian kelautan.
Tujuan dari konservasi laut berdasarkan
Strategi Konservasi Nasional, yang diadopsi
dari IUCN (1994) untuk MPA (Marine
Protected Area). Tujuan dari konservasi laut
Indonesia mencakup tiga aspek. yaitu:
a) Untuk menjaga proses ekologi penting
dan sistem pendukung kehidupan
b) Untuk melestarikan bio-keanekaragaman
pesisir dan laut
c) Untuk menjamin pemanfaatan
berkelanjutan dari spesies dan ekosistem
Daerah-daerah cadangan laut akan
diperluas hingga 30 juta hektar pada akhir
tahun 2000. Namun, sejauh program ini
belum dievaluasi lagi, dan tidak ada jaminan
apakah sudah terealisasi atau tidak. Menurut
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHPA), pada tahun 1994
hanya 28% dari rencana ekspansi telah
menyadari, dari total kelautan daerah yang
diusulkan (2.800.000 hektar), yang melibatkan
sekitar 37 wilayah laut (Anonim. 1994).
Konservasi laut meliputi 14 wilayah laut untuk
Strict Marine Nature Reserve, enam area
untuk Wildlife Marine Nature Reserve dan
tujuh area untuk Marine Nature Taman
Rekreasi dan 10 Taman Nasional Laut.
Cadangan laut dibedakan dari satu ke yang lain
dengan intensitas gangguan aktivitas manusia
di daerah-daerah. Karakteristik ini adalah
sebagai berikut:
- Strict Marine Nature Reserve, (Cagar
Alam Laut) adalah wilayah laut kecil atau
besar, yang sangat dilindungi, dengan
tidak ada gangguan dan penggunaannya
terbatas pada non-manipulatif penelitian
dan pemantauan;
- Taman Cagar Alam Laut (Suaka Marga
Satwa Laut) adalah wilayah laut kecil atau
besar, yang sangat dilindungi, di mana
beberapa manipulasi spesies atau habitat
sebagai bagian dari manajemen yang
diizinkan; penggunaannya dibatasi untuk
- Marine Nature Rekreasi Taman (Taman
Wisata Laut) adalah wilayah laut,
terutama untuk keindahan alam dan
rekreasi, yang mungkin memiliki nilai
rendah untuk konservasi; dan
- Taman Nasional Laut (Taman Nasional
Laut) adalah wilayah laut besar yang
memiliki nilai alam yang luar biasa; dari
sigreificance nasional, regional dan gobal
dan cukup luas untuk penggunaan
rekreasi dan pendidikan tanpa
mengurangi nilai konservasi;
Sejak kawasan konservasi ini terletak
dekat dengan aktivitas manusia, yang
kemungkinan akan menggunakan potensi
sumber daya laut di sekitarnya, kadang-kadang
sangat sulit untuk mengelola kegiatan mereka
tanpa mengganggu pesisir dan laut
keanekaragaman hayati. Mengingat fakta ini,
jenis lain dari cadangan laut, yaitu
Multiple-Gunakan Marine Reserve, harus diusulkan
(Salm, 1984). Cadangan laut ini merupakan
wilayah laut yang sangat besar untuk
memungkinkan penggunaan tambahan
sumber daya, di mana panen komersial
dikendalikan, memungkinkan pengembangan
pariwisata buit dengan perlindungan yang
ketat dari daerah kritis. Untuk mengantisipasi
cadangan laut, PHPA membentuk sistem
zonasi. Sistem zonasi meliputi, antara lain,
zona perlindungan, zona rimba, zona intensif
digunakan (zona rekreasi) dan zona
penyangga. Zona ini ditandai dengan
penggunaan berikut:
- Zona Sanctuary, adalah zona sangat dilindungi, baik sebagai habitat atau untuk
perlindungan spesies;
- Zona Wilderness adalah zona dilindungi dengan menggunakan pengunjung yang
terbatas;
- Zona penggunaan intensif, merupakan zona dengan berbagai kegiatan rekreasi
(pengembangan dikendalikan oleh
pedoman tertentu);
- Zona Buffer, untuk kelanjutan semua penggunaan dan kegiatan yang
berkelanjutan dan yang ada.
Diharapkan dengan zonasi ini,
pemanfaatan sumber daya alam laut
terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu yang
diperbolehkan. Bahkan, namun, masih banyak
kondisi yang saling bertentangan. Banyak
bukti membuktikan bahwa ada aktivitas
manusia di zona dilindungi (Supriharyono et
al, 1992; 1993; 1999). Ada banyak kendala
untuk mencapai laut yang ideal dan
pengelolaan pesisir di Indonesia (Djohani,
1989; Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, 1996; Supriharyono et al, 1992; 1993;
1999; dan Supriharyono, 2000). Kendala ini
terutama:
- Kurangnya delineasi yang jelas tentang
tanggung jawab masing-masing
kementerian mengenai dampak lintas
sektor ;
- Fakta bahwa habitat pesisir tidak subyek
untuk Manag ement pemerintah daerah ,
karena kewenangan provinsi hanya
- Kurangnya bahan bangunan, dengan hasil
bahwa banyak orang lokal ( masyarakat
pesisir ) karang batu sebagai pengganti
bahan-bahan yang diproduksi ( batu bata
dan blok beton )
- Kurangnya kesadaran masyarakat ;
- Kurangnya sosialisasi mengani aturan dan
peraturan ;
- Kurangnya penegakan hukum : banyak
nelayan masih menggunakan alat tangkap
yang berbahaya, misalnya bahan peledak ,
bahan beracun ( KCN ) ;
- Kurangnya infrastruktur ;
- Kurangnya partisipasi masyarakat dalam
pelestarian lingkungan ; dan
- Kurangnya kontrol, monitoring dan
evaluasi daerah yang dilestarikan.
Selain kendala di atas, di beberapa
daerah pelestarian, misalnya Karimunjawa
Ketat Marine Nature Reserve dan Taman
Nasional Laut Bunaken, telah ditemukan
bahwa perbatasan antara zona tidak jelas.
Kadang-kadang tempat perlindungan atau
zona yang dilindungi terletak dekat dengan
zona pemanfaatan intensif atau berbagi
dengan pemukiman manusia. Ada contoh
bahkan di mana zona dilindungi (pulau)
adalah milik pribadi, dan 'karena itu akan
mempengaruhi tindakan manajemen. Selain
itu, banyak hal membuktikan bahwa
perlindungan atau zona yang dilindungi
menjadi objek untuk olahraga diving oleh
wisatawan, karena ini biasanya zona terbaik di
ekosistem terumbu karang (Supriharyono et
al, 1992; 1993). Hal ini mengakibatkan
penurunan hidup cakupan karang
(Supriharyono et al, 1999). masalah tersebut,
juga sedang diperdebatkan untuk Zonasi
untuk Taka Bonerate Taman Nasional Laut, di
Selayar, Sulawesi Selatan (Mochtar, 2000).
Sehubungan dengan kegiatan wisata di Taman
Nasional Karimunjawa, Supriharyono et al.
(1999) membuktikan bahwa manajer TNK
atau pemerintah daerah menghadapi masalah
air bersih segar untuk para wisatawan,
terutama saat musim kemarau. Oleh karena
itu, untuk pengelolaan wisata mungkin lebih
baik untuk memperkenalkan ekowisata bukan
pariwisata massal.
Dalam terang kendala ini, dalam
rangka untuk mengelola pesisir dan laut
lingkungan, oleh karena itu, ini harus
dipertimbangkan. Pengelolaan lingkungan
pesisir dan laut harus diintegrasikan dalam
pendekatan lintas sektor. Sugandhy (1993)
menyarankan bahwa pendekatan atau model
pesisir manajemen dan lingkungan laut dapat
mencakup:
- Struktur hirarkis memanfaatkan prinsip
desentralisasi dalam pengambilan
keputusan dan proses perencanaan;
- Pengembangan prosedur administratif
dan fungsional, baik secara vertikal dan
horizontal, untuk meningkatkan proses
pembangunan daerah;
- Struktur piramida untuk tim manajemen
dengan partisipasi pada tingkat yang
berbeda, Termasuk pemerintah pusat dan
daerah, sektor swasta, dan masyarakat
Seperti yang telah dinyatakan dalam
UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah,
yang Pemerintah Daerah atau Provinsi
memiliki kewenangan untuk mengelola
sumber daya mereka sendiri. Oleh karena itu,
diharapkan pemerintah daerah akan dapat
menghemat daerah mereka.
3.3. Alternatif untuk Praktek Merusak Apa yang sekarang terjadi adalah
bahwa anggota komunitas pesisir, terutama
nelayan, telah over-mengeksploitasi sumber
daya pesisir dengan praktek-praktek yang
merusak, seperti penangkapan ikan yang
merusak, dan penambangan karang. Hal ini
mungkin disebabkan tidak adanya kegiatan
alternatif lainnya, yang mungkin bisa
menghasilkan subsisten, misalnya makanan,
untuk keluarga mereka. Mengingat ini,
pemerintah Indonesia melalui proyek-proyek
COREMAP, saat ini sedang mempelajari
teknologi alternatif menggantikan aktivitas
yang merusak seperti penangkapan ikan yang
merusak dan penambangan karang, bagi
masyarakat pesisir. Dua situs telah beeii dipilih
untuk percontohan lapangan, pulau-pulau
yaitu Taka Bonerate di Selayar, Sulawesi
Selatan dan Kepulauan Padaido di Biak
Numfor, Papua (Supriharyono et al. In
progress). alternatif ini untuk praktik
penangkapan ikan yang merusak terumbu
karang akan terdiri dari tiga kegiatan, yaitu
teknologi perikanan yang berkelanjutan,
teknologi budidaya laut yang berkelanjutan
dan mata pencaharian alternatif bagi
masyarakat setempat, terutama nelayan di
daerah tersebut.
IV. KESIMPULAN
Kegiatan antropogenik di lingkungan
pesisir dan laut menyebabkan penurunan
potensi sumber daya nelayan di Indonesia.
Untuk mengurangi atau menghentikan ini,
pembentukan undang-undang dan peraturan
lingkungan tidak bisa dihindari . Selain itu,
dalam rangka untuk mengatasi masalah,
pemerintah juga mendirikan sejumlah
melestarikan laut di 37 daerah di Indonesia .
Meskipun pengelolaan pesisir telah
diprogram, termasuk sistem zonasi untuk
menjaga aktivitas manusia di wilayah laut
dilestarikan, kenyataannya adalah bahwa masih
ada kendala utama yang mempengaruhi
program ini, misalnya kurangnya delineasi
yang jelas tentang tanggung jawab
masing-masing kementerian, kurangnya kesadaran dan
partisipasi masyarakat ; kurangnya sosialisasi
peraturan dan regulasi, kurangnya penegakan
hukum, kurangnya kontrol, monitoring dan
evaluasi daerah dilestarikan. Manajemen
pesisir dan laut, oleh karena itu, perlu
diintegrasikan ke dalam upaya lintas sektor
dan activities.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. Kelautan Conscrvation di Indoneisa . Konservasi Indonesia , 10 ( l ) : 9 - 1l .
Jurnal Pembangunan Pesisir Isu dalam Manajemen Sumber Daya Pesisir dan Perencanaan di Sumatera Timur dan Selat Malaka, Pp 8-1 17. Burbridge, Republik Rakyat, Koesoebiono, H. Dirschl dan B. Patton (Eds) Pengelolaan Pesisir Zona di Selat Malaka. DESC / EMDI,
Djohani, R. Konservasi Laut 1989. Pembangunan Indonesia (Coral Kebijakan Reef). Sebuah Wildlife Dunia Laporan dana untuk WWF Indonesia Programme, Jakarta.
IUCN. 1994. Pedoman kategori pengelolaan kawasan lindung., Komisi IUCN di Taman Nasional dan Kawasan Lindung dengan bantuan dari World Conservation Monitoring Centre IUCN, Gland Swiss. 259.
Kasim Moosa, M et al. 1996. Studi negara Indonesia pada terintegrasi keanekaragaman hayati pesisir dan laut mana-jemen. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia di Coorporated dengan Direktorat Alam Manajemen Kerajaan Norway.
Kurniawan, Joni. 1998. Laporan hasil temuan Studi Lingkungan wiiayah Pesisir Kabu-paten Dati II Deli Serdang. Loka-karya Lapangan Partisipatip, BIPP Gedung Johor, 26 Nopember 1998.
Martosubroto, P. 1987. Pembangunan dan pengelolaan sumber daya perikanan laut Indonesia. Pekerjaan nasional naik Pembangunan, ent Managem dan Penggunaan Sumber Daya Kelautan Indonesia, Jakarta 23-26 Juni 1987.
Menteri Dinas Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1992. Strate-gy dan rencana aksi nasional tentang konservasi dan ekosistem terumbu karang mengelola-ment. Seminar Strategi Konservasi dan Pengelolaan
Ekosistem Terumbu Karang, Jakarta 28-29 Juli 1992.
Mrnistrv Negara Lingkungan Hidup. 1996. Indonesi & s Lingkungan Laut Sebuah Kebijakan, Strategi, Tindakan dan Isu. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Mochtar. M.Z. 2000. Rencana Zonasi Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate. Sulawesi Selatan Meshing Latihan, COREMAP, Jakarta. 24 p.
Salm. R.V. 1984. Mans penggunaan karang terumbu., hlm 15-22. Di Kenchington. R.A. dan BET. Hudson (eds.) Coral Reef Manajemen Handbook. UNESCO-ROSTSEA, Jakarta.
Soegiarto, A., dan N. Pollunin. 1982. lingkungan laut Indonesia. Dept Zoologi, Universitas Cambridge, 257p.
Sugandhy, A. 1993. Kelautan Terpadu dan Pesisir Resoirces Pengelolaan. Dunia Coast Konferensi, 1-5 November 1993, Noordwijk, The Hague, Netherland.
Supriharyono. 1986. Pengaruh sedimentasi pada terumbu karang tepi di utara Jawa Tengah, Indonesia. PhD Thesis. Berangkat. Zoologi, The University of Newcastle upon Tyne, UK.